Senin, 21 Maret 2016

Adikku Alvin Christian - Part 1

Sekilas..

Namaku Aditya Firdaus, aku seorang siswa kelas enam yang berumur 11 tahun. Aku tinggal dengan Ibu yang seorang PNS, orang tuaku berpisah saat usiaku 5 tahun. Waktu itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti arti perceraian dan hingga sekarang aku masih mencoba memahami keputusan kedua orang tuaku. Setelah perceraian tersebut ibuku memilih untuk tinggal di daerah Jakarta Timur. Meski telah berpisah ayah ibuku tetap akur tanpa ada adu mulut saat mereka bertemu. Ayahku rutin mengunjungiku setiap week end dan terkadang aku menginap di tempat ayahku. Kata teman-temanku, jika orang tua bercerai, sang ayah akan menikah lagi tapi hingga kini aku belum melihat tanda-tanda itu dan tak nampak ayah memiliki teman wanita. Paling sering teman-temannya yang mungkin teman kantor yang sering main ke rumah ayah.

Meski pindah ke lingkungan baru dalam keadaan broken home, aku tidak mengalami kesulitan yang berarti dalam bersosialisasi dengan anak-anak disini. Rumahku berada di antara dua teritorial, yang satu area kompleks yang terdiri anak-anak orang kaya dan yang seberangnya area pemukiman yang agak padat dan bisa dibilang kumuh. Tak banyak anak kompleks yang membaur dengan anak-anak yang dari pemukiman padat, mereka cenderung membentuk geng geng sendiri dan suka memamerkan kekayaan orang tua mereka, sedang anak dari pemukiman padat lebih welcome dan kompak meskipun bahasa yang mereka gunakan cenderung kasar dan ada kebiasaan-kebiasaan mereka yang kurang sopan. Kalau aku pribadi berteman dengan siapa saja.

Dari berbagai teman-temanku yang berbagai macam rupa dan karakter yang mungkin akan sangat panjang jika kuuraikan. Dan pada cerita ini aku fokuskan kepada seorang bocah yang bernama Alvin, tetanggaku yang rumahnya di depan rumahku agak ke kiri sedikit. Bocah berumur 5 tahun itu sering bermain ke rumahku terlebih saat aku sudah pulang sekolah. Wajahnya bisa dibilang ‘imut’ dan agak bulat sehingga ia nampak manis dan menggemaskan. Aku sendiri suka mencubit-cubit pipinya. Apalagi di usianya yang saat itu dia sedang aktif-aktifnya dan pastinya sebagai anak laki-laki: sedang nakal-nakalnya tapi senakal-nakalnya Alvin tak sampai membuat naik darah, sebab ia pandai meminta maaf. Pernah suatu kali Alvin mencoret-coret bukuku, ia meminta maaf sambil memberikan semua permennya kepadaku dengan wajah memohon yang membuat siapapun akan luluh, dan saat permintaan maafnya ku-approve maka ia akan tersenyum berseri-seri.

Sayangnya keaktifan dan kecerdikan Alvin ini tidak didukung dengan kehidupan yang layak untuknya. Ibunya sering kali mengabaikannya, ibunya lebih memilih tidur dan atau pergi entah kemana daripada bermain dengan Alvin. Sedang ayah tirinya yang entah-kerjanya-apa-tapi-di-rumah-melulu sering berbuat kasar kepada anak itu. Suatu ketika sudah sore, ayahnya menjemput paksa Alvin yang sedang main dengan teman-teman usia sebayanya dengan menjewer anak itu hingga ke rumah. Pernah di tengah malam aku mendengar Alvin menangis entah karena apa, suara itu terdengar memilukan. Jujur aku kasihan dengan anak itu namun aku bisa apa? Yang bisa kulakukan seperti mengajak Alvin bermain atau minimal aku akan ada untuknya, sebagai salah satu tanda bahwa aku peduli kepada Alvin. Oleh karena itulah Alvin dekat sekali denganku.
Pernah kutanya kepada Ibu perihal Alvin tersebut, Ibu hanya mengelus kepalaku dan berkata “itu masalah pribadi orang lain, dit.” Aku tak pernah puas dengan jawaban Ibu itu, namun Ibu bertindak sama seperti aku, beliau sangat baik kepada Alvin. Ibu sering mengajak Alvin untuk makan siang bareng atau memberi Alvin bacaan anak-anak, karena ia sangat suka membaca.

Kejadian tak terlupakan

Hari itu adalah pengumuman kelulusan SD dan aku lulus dengan nilai yang memuaskan. Dalam waktu dekat aku dan Ibuku akan pindah ke daerah Jakarta Selatan karena ibuku dipindah tugaskan kesana dan aku sendiri akan masuk Pesantren daerah Bogor, aku memang sudah bertekad untuk lebih memperdalam agama dan bersekolah di sekolah yang ada asramanya supaya aku lebih mandiri dan solidaritasku terasah. Aku pulang sekolah dengan jalan kaki lewat jalan dekat jalur kereta sengaja aku memilih jalur yang agak jauh untuk melihat pemandangan-pemandangan yang tak akan aku lihat lagi untuk ke depannya, apalagi di area dekat rel kereta itu ada lapangan tempat aku dan teman-temanku sering bermain bola atau bermain layangan. Aku ingin mengenang semua hal yang telah kulewati selama lima tahun di tempat ini. Bernostalgia sesaat memandang ke sekeliling dan mencium aromanya. Aku menganggapnya sebagai kegiatan perpisahan meski terdengar agak aneh. Dalam kegiatan perpisahanku tersebut dari jauh aku melihat dua sosok yang aku kenali: Alvin dan ayah tirinya, mereka persis sedang di pinggir rel kereta. Aku mempercepat langkahku untuk melihat lebih dekat, pikiranku sudah berprasangka macam-macam.

Dan ternyata benar! Kulihat Alvin meronta sambil menangis namun tenaganya tak cukup kuat untuk melawan ayahnya. Ayah tirinya itu tengah menahan tangan kanan Alvin di rel dan dari jauh ada kereta yang sedang melaju. Aku melotot, ayah tirinya itu akan melindaskan tangan anaknya ke kereta, sambil tertawa-tawa seperti orang stress. Kereta Ekspress yang melintas itu berkali-kali membunyikan klaksonnya yang bisa menulikan telinga, tapi tetap saja tak ia indahkan. Dasar gendeng! Aku segera berlari, dengan seluruh tenaga kutarik tubuh ayah tiri Alvin itu ke belakang hingga orang itu terjerebab dan kepalanya terantuk batu, cukup keras namun tidak terlalu fatal. Agak janggal jika aku bisa membuat orang dewasa terjerebab, tapi aku terlalu panik untuk memikirkan itu.

Kugendong Alvin yang masih terisak dari area rel kereta dan membawanya menjauh, menuju tempat yang aman. Bagiku tak ada tempat yang lebih aman selain rumahku. Untunglah Ibuku ada di rumah. Kejadian tadi aku ceritakan dengan detail tanpa ada satu bagian pun yang tertinggal, Ibuku terkejut. Beliau langsung menelpon Pak RT, sebab masalahnya sudah sampai sejauh ini. Alvin masih shock, ia memeluk tubuhku erat sekali sambil terisak, aku pun mendekapnya dengan erat seraya mengelus-elus rambutnya yang ikal.

Alvin lebih memilih bersamaku dan ibuku daripada bersama ayahnya. Begitulah pilihannya ketika Pak RT akan mengembalikannya kepada Ibunya. Anak itu tiba-tiba saja berbicara dengan lantang menolak untuk kembali kepada ibunya, Alvin malah memelukku seakan bersembunyi dari sang Ibu. Ibunya tak nampak kaget, ia justru tak keberatan putranya berpindah wali. Sedang ayah tirinya dilaporkan ke polisi dan menjalani pemeriksaan. Sejak saat itulah Alvin resmi menjadi adik tiriku. Aku senang sekaligus sedih, senang karena sekarang tak akan ada yang menyakiti Alvin lagi dan sedih karena hanya sebentar aku bersamanya dan akan berpisah dari anak itu, aku akan memulai ajaran baru di Pesantren. Namun Ibu memastikan Alvin akan baik-baik saja.

Aku

Enam tahun aku mondok, aku menikmati kehidupanku itu. Aku pun terlatih untuk hidup mandiri dan paham makna solidaritas. Menghadapi orang-orang dari berbagai daerah yang memiliki karakter, latar belakang serta budaya yang berbeda-beda. Dan pesantren tempatku menimba ilmu bukan tipikal pesantren yang fanatik dengan agama, modern tapi tidak melupakan sentuhan islami dan nilai akhlak. Disana aku dididik menjadi seorang yang punya berkepribadian dan memiliki skill tanpa melupakan akhlakul karimah. Kadang guru-guru disini menyebut murid sebagai ‘mujahid muda’. Dan seperti tujuan awalku, aku semakin mengerti dan dekat dengan agama. Alvin sekarang sudah menjadi murid SMP, adikku itu semakin tampan dan manis di usianya yang sudah remaja. Ia tumbuh menjadi anak yang baik dan berakhlak. Setiap liburan ramadhan, Alvin lah yang paling menanti dan menyambut kepulanganku. Selalu ada-ada saja yang ia lakukan dan lagi Alvin selalu punya cerita-cerita yang seakan tak habis-habis, sedang aku sebagai kakak yang baik selalu menjadi pendengar yang baik, toh ceritanya juga unik-unik. Aku melihat usahanya untuk selalu berada di dekatku. Ibu hanya tersenyum menggelengkan kepalanya melihat tingkah Alvin. Wajar sih, aku ketemu Alvin cuma 2 minggu sekali dalam satu tahun selama enam tahun ini. Dia pasti rindu kepadaku yang merupakan sosok abang untuknya. Suatu ketika aku tanya siapa cewek yang dia taksir, Alvin selalu menggelengkan kepala. Ia mengaku tak ada cewek di sekolahnya yang menaruh hati kepadanya. Aku yakin dia bohong, mungkin malu mengatakannya.
Yang jelas aku tak percaya, anak semanis dan sebaik Alvin tidak ada yang naksir.

Pada hari wisudaku di pesantren, mama dan Alvin datang. Dengan bangga aku berhasil menjadi peraih nilai terbaik kedua seangkatan. Kulihat ibu menitikan air mata melihatku dengan jas hitam mengkilatku di podium di deretan para ‘juara’ dan Alvin tersenyum lebar melihatku. Seselesai acara wisuda kupeluk mereka, dua orang yang sangaaaat aku sayangi di dunia ini. Sayang ayah tidak bisa datang karena sedang bertugas di luar kota. Tak apalah! Aku sudah dewasa dan paham akan tanggung jawab dan loyalitas ayah kepada pekerjaannya.
“bangga gak, bu?” tanyaku iseng kepada Ibu sambil memamerkan plagiat juara keduaku.
“ya banggalah! Orang tua mana yang gak bangga ngeliat anaknya dapet penghargaan?” ujar ibuku sambil mengusap matanya dengan sapu tangan.
Aku nyengir lebar-lebar, tentu saja! Siapa sih yang tak bangga?
“selamat ya, kak!” ujar Alvin.
Aku menoleh ke arahnya, adikku itu mengenakan kemeja biru tua bergaris biru muda pucat dengan jeans hitam. Rambutnya rapi dan tampak basah oleh gel. Wajahnya tampak berseri-seri dan cemerlang. Tak pelak aku pun memeluk anak itu, erat sekali.
“makasih dedeku, kakak sayang dede.” Ujarku kepadanya sambil mengacak-acak rambutnya, aku lupa rambutnya sudah tertata rapi tapi Alvin tidak protes, ia malah membalas pelukanku.

Begitu aku melepaskan pelukanku Ibu berkata, “dit, mestinya kamu ucapin selamat juga donk ke Alvin!”
“hah? Selamat apaan, bu?” tanyaku bego.
“Alvin kan peringkat pertama, semester ini dia berusaha mati-matian. Apalagi pas Ibu bilang kalo kamu itu selalu dapet tiga besar tiap semester, dia langsung full-tank.”
“wau,” ujarku yang tak punya kata-kata untuk menggambarkan cerita Ibu. Aku menatap Alvin yang kini tampak tersipu-sipu malu.
Aku langsung mencubit-cubit pipinya yang chubby, “alhamdulillah! Alvin juga gak kalah ama kakak. Pertahankan terus ya, de! I absolutely proud of you.”
“makasih, kak.” Ujar Alvin tersenyum berseri-seri.
Aku mencium kepala Alvin yang beraroma shampoo sebagai bentuk rasa sayangku kepadanya. Aku celingak-celinguk sebentar kemudian menitipkan plagiat penghargaan itu kepada Alvin dan buru-buru pergi.
“mau kemana, dit?” teriak Ibuku melihat tingkahku.
“ada perlu sebentar, bu. Ntar balik lagi kok! Ibu ke tenda duduk aja! Adit gak lama kok,” ujarku kemudian menghilang di tikungan.

Aku mencari-cari orang itu, aku memasuki batas antara pondok santri putra dan santri putri yang berbentuk gapura bertuliskan “Ahlan Wasahlan”. Kehidupan antara santri putra dan santri putri terpisah, tapi pada hari ini akhirnya aturan itu selesai. Kami sudah janjian untuk bertemu disini seselesai acara. Gadis itu bernama Lena. Ia memiliki wajah yang manis dan teduh, siapapun akan merasa nyaman di dekat dia. Terlebih Lena juga tergolong orang yang mudah berkawan dan pendengar yang baik. Aku melirik arloji, sekarang seharusnya acara sudah selesai. Aku menatap gapura itu yang tetap kokoh berdiri meski telah termakan usia, kulihat lagi jalan setapak yang kemudian berbelok menuju area pondok santri putri.
“dit!” panggil sebuah suara. Aku langsung menoleh mencari sumber suara.
Gadis itu datang dengan langkah ringannya, ia tampak cantik dengan gamis biru yang menjadi pakaian wisuda untuk santri putri. Aku tersenyum melihat kedatangannya.
“maaf ya, tadi temen-temen malah ngajakin foto-foto, sekarang aja masih tuh, makanya aku kabur aja. Tapi sebentar lagi juga mereka pada ke depan,” ujar Lena.
Aku masih tersenyum kepadanya tanpa mengedipkan mata, sungguh cantik makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini.
“dit, haloooo,” ujar Lena mengibas-ngibaskan tangannya di depan mataku. “kamu kenapa?”
“aku yakin yang dihadapan aku bukan manusia,” ujarku.
“maksud kamu apa?” tanya Lena keheranan, mungkin ia mengira aku kesambet.
“iyah, gak mungkin ada manusia secantik kamu, aku yakin kamu bidadari, bidadari yang jatuh dari khayangan!” ujarku mantap. Rayuan gombalku.
Lena tersipu malu, Ia tersenyum dengan pipi yang kemerahan. Tidak salah jika aku pernah memanggilnya ‘Humairoh’.
“yuk, ke depan! Ibu dan adikku udah menunggu kamu lho!” ujarku tak mau membuang waktu.
“a..aku malu, dit.” Ujar Lena.
“kenapa mesti malu? Ketemu calon mertua kok malu?” godaku lagi sambil nyengir.
“gombal!” ujar Lena makin merah pipinya.

Aku berjalan lebih dulu dan Lena mengikuti dari belakang (maklum, masih tetap menjunjung tinggi batasan antara laki-laki dan perempuan) sambil aku mencari-cari tenda yang dipakai Ibu dan Alvin untuk berteduh. Sementara aku sedang celingak-celinguk disana ibu melihatku dari kejauhan. Beliau melihatku bersama Lena dan sebagai yang sudah lebih berpengalaman tentu Ibu tau. Lena akhirnya yang menunjuk tempat Ibu dan Alvin duduk karena aku masih tak kunjung menemukannya, sebelumnya aku pernah menunjukan foto keluargaku. Ibu langsung berdiri melihat aku dan Lena sudah di hadapannya.
“ehem, bu! Kenalin ini temen Adit, namanya Lena.” Ujarku memperkenalkan dengan senyum sumringahku tanpa rasa malu-malu.
“Assalamualaikum, tante.” Ujar Lena seraya mencium tangan Ibuku sebagai simbol penghormatannya.
Ibu tampak tersenyum kepadanya kemudian sekilas kepadaku. Aku bisa membaca isyarat dari beliau.
“dan ini adikku, Alvin.” Ujarku seraya menunjuk ke arah Alvin.
Lena yang tadinya ingin menyapa terdiam sesaat melihat wajah dingin Alvin yang memancarkan aura tidak bersahabat, tatapan matanya tajam kepada Lena. Baru kali ini aku melihat Alvin seperti itu. Tapi Lena masih tetap menyapanya.
“hai, kamu Alvin ya? Adit sering cerita lho tentang kamu,” ujar Lena mencoba seramah mungkin.

Alvin masih tak bergeming, ia hanya menganggukan kepala tanpa mengucap sepatah katapun. Aku menggaruk-garuk kepala melihat tingkahnya. Dalam suasana yang kurang menyenangkan seperti itu lewatlah gerombolan santri putri.
“hmm, yaudah, aku balik keteman-teman aku dulu ya, tante.. vin… dit..” ujar Lena sambil melempar senyum setulus mungkin kepada kami. Ia pun melengos pergi bergabung dengan teman-temannya tersebut. Banyak diantara mereka melihat ke arahku, penasaran sepertinya. Aku masih menatap Lena.
“vin, gak sopan sama orang begitu!” tegur Ibu tiba-tiba tak sengaja membuyarkan lamunanku.
Anak itu masih tetap diam, kulihat raut wajahnya berubah jadi cemberut. Aku tak mengerti kenapa dia seperti itu, selama perjalanan pulang sampai tiba di rumah. Alvin masih memasang tampang seperti itu serta tetap diam meski aku mencoba mengajaknya ngobrol.
Alvin kenapa sih? Apa tadi aku nyinggung perasaan dia yah? tanyaku kepada diri sendiri. Kulirik adikku itu, ia tengah memperhatikan pemandangan di luar jendela. Satu sifat khas Alvin adalah ia tak bisa menyembunyikan perasaannya jika ia tidak suka kepada orang lain, biasanya pasti ia terang-terangan bersikap tidak suka.
“de, kamu kenapa sih? Kakak tadi nyinggung kamu ya?” tanyaku seraya mendekatinya.
Alvin masih tak acuh. Aku merangkul Alvin sambil membenamkan wajahku ke kepalanya sebentar.
“de, jelek tau kalo cemberut.” Godaku, berharap setidaknya dia menanggapinya. Alvin masih tetap di dunianya sendiri. Aku hampir kehabisan akal,

“aaaaw!!” teriak Alvin keras ; aku menggigit telinga kanannya dengan sepenuh hati. Ibu yang sedang tertidur di bangku depan langsung bangun.
“ya Allah, kenapa ini?” koar Ibuku menengok dari bangku depan. Sedang pak supir tetap saja kalem dan fokus pada pekerjaannya.
“ini, bu! Kak Adit gigit telinga Alvin!” ujar Alvin sambil mengelus telinganya yang memerah, takut telinganya copot mungkin.
“kenapa sih, dit? Kamu udah gede juga, masih aja kamu gangguin adik kamu?” sembur Ibu.
Aku hanya diam sambil senyum-senyum sendiri saja, aku memaklumi karena beliau yang sedang tidur karena kelelahan jadi bangun karena tingkah kekanak-kanakanku.
Ibu menggelengkan kepala kemudian kembali tidur, sempat kulihat mata Ibu merah. Beliau pasti sedang lelah sekali. Alvin tampak cemberut, aku masih tetap merangkulnya seakan ia akan kabur dan loncat dari jendela.

Setibanya di rumah, kami kembali ke kamar masing-masing. Aku pun kembali ke kamarku, kamar yang sudah kutinggalkan selama enam tahun. Semua masih sama: tempat tidur dengan sprai yang biru saat aku meninggalkan kamar ini, gambar Silver Hawk and team kreasiku sendiri yang kubingkai dan kutempel di dinding, buku-bukuku yang terdiri dari novel Harry Potter 1-7 serta komik-komik Doraemon masih tersusun rapi di rak meja belajar serta aroma kamar yang dingin. Kuhirup dalam-dalam aroma ini, kemudian aku menjatuhkan tas dan kulepas pakaian wisudaku. Seperti biasanya dulu, di kamar aku hanya mengenakan celana boxer. Kubaringkan tubuhku di ranjang kesayanganku, membiarkan tubuhku merasakan kembali kelembutan ranjang ini sambil kutelantangkan kedua tangan dan kakiku. Nikmat sekali, aku menyadari betapa besar nikmat dari Tuhan ini. Aku kemudian beranjak bangun menuju jendela kamarku. Jendela ini adalah media penghubungku melihat teras belakang, tempat aku biasa membaca buku, setidaknya menjelang keberangkatanku dulu. Aku suka baca buku Harry Potter atau Doraemon sekaligus, buku-bukunya kutumpuk dan satu per satu kubaca. Biasanya saat aku sedang khidmat-khidmatnya Alvin suka datang mengajakku bermain mobil-mobilan. Tiba-tiba aku teringat Alvin, adik kecilku itu mungkin masih marah.

Aku keluar dari kamarku menuju kamarnya, tampak sepi dan tak ada tanda-tanda kehidupan dari dalam. Sepertinya Alvin sedang tidur, aku tetap nekat untuk masuk tanpa mengetuk pintu. Dewi keberuntungan sedang berpihak kepadaku, pintunya pun tak dikunci. Aku menyelinap dan langsung mengunci pintunya dari dalam untuk keamanan, mataku mencari kemudian menemukan sebuah gundukan di atas tempat tidur yang tertutup selimut. Kudekati perlahan seperti predator mendekati mangsanya. Telapak tanganku kuletakan dua senti di atas gundukan berselimut itu mencoba merasakan hawa panas tubuh Alvin yang tersembunyi di bawahnya. Dan perlahan kubuka selimut itu dari bagian kepala, dan tampak kepala Alvin yang sedang terlelap ; wajahnya begitu lucu saat sedang tidur membuatku makin gemas. Senyum terukir di wajahku, anak ini tampak polos dan manis. Aku jadi ingin tidur di sampingnya, ngantuk juga sih aku lama-lama, mungkin nostalgianya bisa nanti. Tanpa buang waktu ku jatuhkan tubuhku di tempat tidur dan memeluk Alvin dari belakang, lumayan enak juga dia kalau dijadikan guling. Pelupuk mataku mulai menutup dengan sendirinya, sleeping mode in process kalau bunyi alarmnya.

“Alviiin, Adiiiit! Bangun! Udah maghrib..” sayup-sayup suara Ibu membangunkan sembari mengetuk pintu kamar. Aku pasti bangun, cuma Ibu yang bisa membangunkanku langsung dalam sekali ucapan jika aku tidur, dengan satu kali panggilan sayang seperti tadi. Aku berusaha mengumpulkan nyawa dan menghimpun kesadaran, aku ingat bahwa aku sedang berada di kamar adikku. Kutengok gundukan tubuh Alvin yang tertutupi selimut.
“Adiiiit, Ibu tau kamu di dalam sana! Ayo bangun! Sholat!” suara Ibu kembali menggema ke seluruh penjuru rumah.
Seandainya pintu lupa kukunci tadi pasti suara Ibu sudah berkumandang di telingaku dan membuatku sadar dalam hitungan detik.
“iya, bu! Adit udah bangun.” Jawabku dengan enggan sambil garuk-garuk kepala. Jika aku tidak menjawab atau meyakinkan ibu bahwa aku sudah bangun maka bisa-bisa pintu kamar Alvin didobrak.
“bangunin Alvin yah, dit.” Ujar Ibu kemudian yang kuyakini beliau sudah menjauh dari pintu.
Tanganku mengguncang-guncang tubuh Alvin yang masih tertidur dibalik selimut bermotif gambar Spongebob itu. Anak itu seakan tak bergeming, aku memutar otak: kutepuk pinggul Alvin dengan agak keras (sesuai standard pondokku). Sontak Alvin terbangun dengan kaget sampai-sampai selimutnya terjatuh ke lantai.
“sakit kak!” keluh Alvin sambil mengelus-elus bagian pinggulnya yang kutepuk. Alvin tidur cuma pakai celana boxer warna putih, kebiasaan anak laki-laki kalau tidur.
Aku cuma nyengir-nyengir dengan hasil perbuatanku. “sholat maghrib dulu yuk de,”
“iya…” jawab Alvin dengan malas, ia menguap lebar.
Masih belum puas dengan yang tadi kuacak-acak sekalian rambutnya Alvin. Yang kedua ini dia tidak protes dan cuma diam.
“udah gak ngambek lagi kan?” tanyaku sambil mendekatkan wajahku dengan wajah Alvin.
Adikku itu hanya menjawab dengan gelengan kepala dan wajah yang kusam. Wajahnya kelihatan lucu kalau sedang cemberut a.k.a kusam seperti itu, kucubit-cubit pipi kirinya yang masih tembem.
“Alvin kangen ama kakak,” ujarnya tiba-tiba.
Aku sempat bengong sebentar mendengar kata-kata Alvin itu (tanpa menghentikan aksi cubit-cubit pipinya) “kangen gimana?”Alvin tak menjawab, dia malah menatapku hampa.
Wah, aku harus membalikan situasi! Tanpa buang waktu aku langsung menyerangnya dengan jurus: Kelitikan Dewa Bumi. Alvin yang paling tidak tahan kelitikan spontan berteriak. Tapi sebelum teriakannya menggema keluar, kutekap mulutnya. Kuincar daerah pinggang yang merupakan titik kelemahan terbesarnya. Alvin keringat dingin menerima serangan (dadakan) ku ini sampai-sampai ia lemas dan menitikan air mata. Cukup puas aku melihat Alvin terkapar tak berdaya bermandikan keringat.
“anda menyerah jendral?” ujarku dengan penuh kemenangan. Setelah membiarkannya bernafas sejenak aku langsung menggiring Alvin ke kamar mandi: cuci muka dan wudhu. Let’s pray maghrib together!

Setelah sholat maghrib berjamaah dengan Alvin, kami beranjak menuju meja makan dimana Ibu sudah menyiapkan makan malam, beliau makan duluan menyantap masakannya berupa dendeng sapi, Sup, balado ikan dengan kerupuk kulit.
“kayaknya nyenyak tidur kamu di kamar Alvin ya, dit?” sapa Ibu saat aku menarik kursi meja makan. Sesaat beliau melirik ke arah Alvin. Alvin tampak tersipu sambil menyendokan nasi ke piringnya.
“de, kamu sendokin nasi buat kakakmu dong.” Ujar Ibu sambil nyengir.
Alvin menurut, ia langsung menyendokan nasi ke piringku, “segini cukup, kak?” tanyanya dengan polos.
“cukup, cukup.” Ujarku sambil mengangguk-angguk menerima piring tersebut.
“nah, itu baru adik yang berbakti sama kakaknya,” goda Ibu tersenyum dan melanjutkan makannya.
Alvin tampak makin memerah wajahnya. Iseng aku mengacak-acak rambutnya ; halus sekali rambut adikku ini sudah begitu tebal lagi dengan warna hitam khas orang Asia.
“ntar ikut kakak jalan-jalan nyok,” ujarku kepada Alvin spontan.
Ibu langsung bereaksi, “mau kemana malam-malam, dit?”
“maen aja, bu! Kan udah lama Adit gak ajak si ade jalan-jalan?” ujarku sambil nyengir.
“boleh gak, bu?” tanya Alvin, sebuah pertanyaan yang tidak Ibu sangka, sebab Alvin tergolong anak yang tak suka jalan-jalan, apalagi kalau malam-malam.
Ibu tampak berpikir sejenak, melihat kepadaku sebentar kemudian beralih ke Alvin. “yaudah, boleh. Tapi dit, jaga Alvin! Dia harus tetap dalam pengawasan kamu lho!” ujar Ibu dengan tegas, tetap sifat protektif beliau selaku orang tua masih saja belum hilang-hilang.
“siap, jendral!” ujarku sambil memperagakan sikap hormat kepada atasan gaya militer. Aku pun menoleh ke arah Alvin. “habis makan, siap-siap! Kita berangkat jam tujuh tepat,”
“beres, komandan!” jawab Alvin tak mau kalah, sampai-sampai nasi yang yang tengah ia kunyah hampir tersembur dari mulutnya.
Aku dan Ibu cekikikan melihat tingkahnya.

Jam tujuh kurang lima aku menuju garasi memanaskan si Jupiter Z biru sambil memakai jaket hitam corak putih favoritku. Kuperiksa lagi kelengkapan motor dari A sampai Z nya, sebab aku tipe yang paling tak suka berurusan dengan makhluk jalanan bernama Polisi Lalu Lintas. Hidungku mengendus aroma wangi yang begitu semerbak, semakin lama semakin mendekat ; aroma parfum mahal.
“udah siap belom, kak?” tanya Alvin dari belakangku.
“tinggal nunggu ni motor panas aja,” ujarku sambil menengok ke arahnya.
Penampilannya betul-betul keren: Alvin mengenakan setelan kemeja tangan panjang biru muda bergambar ukiran Naga yang menyerupai lukisan Hena dengan celana Jeans hitam yang dihiasi rantai dompet di saku kiri serta sepatu kets cokelat tua. Ditambah lagi parfum yang Alvin pakai, ia tersenyum lebar menampakan jejeran giginya yang putih dan rapi kepadaku.
“keren banget penampilan ade, kaya lagi mau jalan ama pacar aja!” celetukku menggodanya.
“pacar mah pacar,” ujar Alvin seraya mengamati si Jupiter Tua yang tetap kelihatan baru berkat polesan tangan dinginku. “beda kalo acaranya jalan ama kakak sendiri, standard penampilannya harus jauh lebih tinggi,”
Aku terpukau mendengarnya, berasa geer sendiri. Ingin kuacak-acak rambutnya tapi sayang karena rambut Alvin sudah rapi oleh gel. Kurasa mesin motor sudah cukup panas, kemudian kubawa keluar depan gerbang, tanpa kusuruh Alvin langsung mengunci gerbang dan duduk manis di jok belakang sambil memakai helmnya. Tanpa aba-aba langsung kukebut si Jupiter dengan kecepatan yang cukup mengejutkan jantung sampai Alvin terkaget dan spontan memelukku dengan erat. It’s a long road, so let’s fast!

Dan dalam waktu lima belas menit kami tiba di tempat tujuan: Gramedia. Sengaja aku tak bilang sebelumnya kepada Alvin kemana, biar dia tidak protes saat berangkat tadi. Setelah memarkir si Jupiter di posisi yang tepat kuserahkan karcis parkir kepada Alvin. Kusempatkan untuk mengaca di spion memastikan penampilanku tetap oke.
“kakak udah kaya pembalap aja,” celetuk Alvin dengan muka agak ditekuk, ia bukan tipe orang yang suka kebut-kebutan apalagi kebutan gila macam yang kulakukan tadi.
Aku cuma nyengir-nyengir gak jelas kepadanya, kami pun langsung naik ke lantai dua tempat dimana ribuan buku terjejer untuk dibaca atau lebih tepatnya dibeli baru boleh dibaca. Kulirik Alvin: adikku ini malah tampak melongo melihat ribuan buku yang tersusun rapi di atas puluhan rak yang berjejer di hadapannya, aku yakin Alvin pusing. Aku langsung menuju rak novel, aku gemar membaca novel terlebih novel yang lucu atau yang inspiratif. Anak Kos Dodol Tamat, kutemukan dari sekian banyaknya buku di deretan novel, aku sempat membaca Anak Kos Dodol seri pertama dan kedua serta versi komiknya yang karakter gambarnya sangat gokil dan menarik. Tanpa buang waktu kuambil sampel buku tersebut (yang tidak dipasangi segel) kemudian kucari bangku yang available untuk kududuki.
“komik di sebelah sana, de!” ujarku kepada Alvin. Aku lupa kalau dari tadi anak itu tidak terlalu suka baca novel dan hanya mengikutiku saja.
Tanpa pikir panjang Alvin langsung menyambangi bagian komik.

Aku bawa juga AKD versi komik, sebab seingatku komik jarang yang diberi sampel untuk dibaca gratis. Jika Alvin balik lagi, setidaknya aku punya sebuah buku untuk dia baca. Beberapa menit aku menelusuri isi buku, Alvin mendatangiku dengan muka bete.
“kak, pulang yuk!” ujar Alvin sambil garuk-garuk kepala.
Aku tersenyum, “nih coba ade baca!”
Alvin menerima buku AKD versi komik dengan enggan, tapi aku mendudukan adikku itu di bangku samping (kebetulan sekali sedang kosong).
“ade baca dulu, baru komen!” ujarku setengah berbisik kepadanya. “dihayatin ya..” tanganku tak tahan lagi mengacak-acak rambutnya.
Meski terlihat ogah-ogahan akhirnya Alvin membaca buku itu, aku diam-diam tersenyum nyengir melihatnya, menunggu reaksinya. Satu menit, dua menit, lima menit dan…
“hahahhahaha,” Alvin tertawa lepas membaca komik itu. Tak pelak semua mata tertuju kepadanya. Sedang aku biarkan saja, kubiarkan Alvin menikmati sensasi serunya membaca buku Anak Kos Dodol. Cuma sekitar satu jam aku dan Alvin di Gramedia, Ibu sudah mulai mengirim SMS berisi kalimat-kalimat bernada cemas dan khawatir. Biasalah orang tua, paling tidak bisa tenang kalau kedua anaknya malam-malam begini masih keluyuran. Dan sebagai anak yang baik aku dan Alvin memutuskan pulang. Alvin memutuskan untuk membeli komik Anak Kos Dodol seri satu dan dua sebelum pulang.
“jalan-jalan yang seru, baru kali ini ke toko buku seasik ini.” Ujar Alvin kepadaku saat menuruni tangga keluar menuju parkiran.
“eh, de! Kalo kita bawain Ibu donut gimana?” tanyaku sambil melirik toko Donut di lobi depan toko buku.
“that’s a good idea, Alvin pengen yang strawberry ya?” ujar Alvin dengan semangat.
“cowok kok doyannya yang strawberry?” tanyaku dengan nada mengejek sambil memasuki toko donut itu.
“biarin, enak kok!” timpal Alvin tak mau kalah.
“yaudah, ade yang pilihin ya,” ujarku kemudian diikuti anggukan Alvin. “pesenin minuman juga, haus kakak pengen minum.” Aku memberikan uang selembar seratus ribuan untuk Alvin memesan donut dan minuman
“okeh,” ujar Alvin menuju meja pemesanan.
Sementara Alvin sedang memesan makanan aku mencari meja kosong untuk aku duduki sebentar. Toko donut ini sudah agak sepi karena waktu sudah memasuki jam malam. Setelah beberapa detik memilah kuputuskan untuk menempati meja di pinggir dinding kaca yang dekat dengan pintu masuk. Dekat pintu keluar dan pemandangannya cukup bagus yakni menghadap pintu masuk Gramedia.

“Adit?” sebuah suara memanggilku saat aku baru duduk sedetik, suara perempuan ; yang sangat kukenal.
Lena menatapku dengan tatapan tak percaya, begitu pula aku ketika melihatnya. Lena tidak sendiri, ia bersama seorang cewek. Aku menyebutnya cewek karena ia berpakaian layaknya remaja pada umumnya, tapi tidak vulgar dan terbuka. Wajahnya mirip dengan Lena dan ia tersenyum seraya menundukan pandangannya. Dan kurasa aku mengenal remaja itu.
“ini pasti Vita ya?” tebakku dengan pede. Gadis itu hanya tersenyum dan menganggukan kepalanya. Kulihat wajahnya agak memerah. Vita ini adalah salah satu bungsu adik Lena yang masih SMP kelas dua. Kukatakan ‘salah satu adik bungsu’ karena Vita punya saudara kembar yang lahir setelah dia, adik laki-laki.
“adik kamu mana?” tanyaku lagi iseng,
“lagi di mobil ..” jawab Vita singkat, aku bisa merasakan nada malu-malu.
Aku nyengir, Vita masih nampak malu-malu maka aku beralih ke Lena.
“gak nyangka kita ketemu disini yah?” celetukku.
“kayaknya dunia ini begitu sempit..” ujar Lena meniru kata-kata pujangga.
“hahahaha, bisa aja dikau. Oh iya, duduk sini aja! Kebetulan aku sama Alvin baru selesai baca buku jadi mau duduk-duduk dulu,” ujarku menggeserkan bangku untuk Lena tepat dihadapanku dan Vita di sebelahnya.
“kak, nih donut dan minumannya, ayo buruan! Jangan bikin Ibu nunggu..” ujar Alvin dari belakang ; sedikit mengagetkanku. Nada bicaranya dingin apalagi sikapnya seakan mengacuhkan Lena dan Vita.
“kita cuma sebentaran kok, dit. Soalnya keluarga lagi pada nunggu di mobil, pengen makan donut.” Ujar Lena buru-buru. “vit, kamu pesenin gih!”
“yah, sayang sekali ya,” ujarku sedikit kecewa.
“Ibu kan udah SMS kita nyuruh pulang, kak.” Ujar Alvin lagi, semakin menyudutkan posisiku.
“iya ya.. ya udah Len, duluan ya.. salam untuk keluarga,” ujarku kemudian membopong Alvin, tak lupa kulemparkan senyumku kepada Lena. Lagi-lagi Alvin begini, bersikap kurang menyenangkan kepada Lena.

“ade gak suka ya sama Lena?” tanyaku saat di tangga menuju parkiran motor.
Alvin hanya diam menenteng bungkusan berisi donut itu. Aku tidak bertanya lagi, biarkan sajalah.
“karcisnya mana de?” ujarku kepada Alvin saat petugas parkiran menghadang meminta karcis untuk memastikan.
Alvin merogoh kantongnya ; yang kiri dan hasilnya nihil, ia merogoh kantongnya yang kanan dan hasilnya pun sama. Aku mulai berkeringat dingin, repot nih mana uang di kantongku cuma cukup untuk bensin pulang. Alvin pun uangnya habis untuk beli dua buku AKD. Dan mas-mas petugas parkir sudah mulai tak sabar.
“yaudah, bayar aja denda tiga puluh ribu,” ujar si Mas dengan santai.
What? Tiga puluh ribu, uangku tak akan cukup untuk itu. Aku menoleh kepada Alvin, wajahnya mengguratkan rasa bersalah yang teramat sangat.
“gimana ya bang, bukannya gak mau tapi uang kita lagi tiris banget. Udah tinggal buat bensin,” ujarku dengan nada melas.
“wah, motornya bakalan ditahan kalo gitu,” jawab si Mas dengan enteng sambil mengambil koran Lampu Hijau diatas rak penitipan helm.
“tolonglah bang, suer dah! Emang udah gak ada uang,” jelasku lagi.
“tapi bisa tuh beli buku sama beli donut,” balas si Mas sambil membolak balik lembaran koran itu.

Aku menoleh kepada Alvin lagi: anak itu tengah sibuk merogoh-rogoh dan mencari sepotong karcis parkiran yang menjadi sumber permasalahan di saku celana dan dompetnya. Dan hasilnya masih sama: nihil. Aku menghela nafas panjang, aku harus tetap tenang.
“please bang, jangan motor! Ntar kita pulang naik apa?” ujarku lagi dengan nada memohon kepada si Mas yang tampak tak peduli.
“ya, resiko lah. Makanya kalo yang namanya karcis parkir tuh ditaro di tempat yang bener! Ato jangan-jangan tadi kamu masuk gak ambil karcis? Maen nyelonong aja?” ujar si Mas seenaknya.
Aku mulai naik darah, “saya masuk pake karcis mas! Enak aja, saya juga tau aturan!”
“yaudah sih, gak usah pake urat.” Ujar si Mas menatap kami dengan tatapan meremehkan dari balik korannya.
Alvin mencolek bahuku, “apa kita telpon ibu?” adikku berbicara setengah berbisik.
“jangan, vin! Gak enak ngebikin Ibu repot malem-malem begini,” jawabku.
Saat aku dan Alvin sedang sibuk bisik-bisik diskusi, datang seorang temannya si Mas.
“yaudah de, gini aja kamu taro SIM kamu disini, sebagai jaminan nanti kamu bayar denda gimana? Daripada pulang ngesot? Emang rumah kalian dimana?” ujarnya dengan logat Jawa yang hampir hilang.
“kalah polisi, pake acara nahan-nahan SIM,” celetuk Alvin.
Sontan teman si Mas itu melotot kearahnya namun Alvin tak tampak takut malah menatap balik orang itu. Wau, sisi lain adikku yang baru kali ini aku lihat.
“kamu itu masih kecil….” Ujar temannya si Mas akan memulai ocehannya.

Omongan orang itu terhenti saat terdengar suara salam menghampiri kesengitan mereka, aku menoleh ke arah sumber suara. Vita, adik Lena tampak berdiri disana bersama seorang laki-laki yang wajahnya mirip dengannya, aku yakin itu pasti Feri saudara kembarnya Lena.
“maaf ngeganggu, tapi tadi aku nemuin ini di dunkin.” Ujar Vita menyerahkan sepotong kertas yang terlipat kecil: karcis parkirku yang hilang.
“makasih,” ujarku seraya menerima karcis yang hilang itu.
“yaudah kak, hatur nuhun ya. Orang rumah udah nunggu di mobil.” Ujar Vita pamit seraya menarik adiknya buru-buru. Feri hanya sempat melemparkan senyum kepadaku dan Alvin tanpa sempat mengucapkan salam perkenalan.
Sekarang aku menatap penuh kemenangan kearah dua petugas parkir yang mencoba menzhalimiku dan Alvin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar