Senin, 21 Maret 2016

Memories Of Him - Part 14

~Pandu Pov~ (Pukul 22.35)
Ku lirik jam yang ada di dinding ruang tamu rumah Amel. Jam setengah sebelas lebih lima menit. Masih ada tiga puluh menitan lagi sebelum balapanku dengan Ryo dimulai.

Ku hela nafas panjang sebelum berjalan menuju kamar Amel.

“Mel aku cabut dulu ya,” pamitku setelah membuka pintu kamarnya dan melongokkan sedikit kepalaku ke dalam.
“Cepet banget baliknya. Santai aja lagi Pan!” kata Amel yang sibuk mengecat kuku kakinya dengan kutex warna hitam.
“Iya nih. Jarang-jarang kan kamu main sama kita-kita,” celetuk Alisa yang sedang membaca komik dengan di temani sebatang rokok.
“Aku masih ada urusan. Jadi nggak bisa di sini terus-terusan,” kataku, “oh iya Mel, thanks ya tumpangannya. Aku jadi ngerepotin kamu.”
“Idih ngapain juga pakai terima kasih-terima kasih’an segala. Biasanya juga nggak pernah,” sindir Amel yang sukses membuatku terkekeh.
“Anggap aja itu terima kasih dariku untuk pertama dan terakhir kalinya,” kataku masih dengan tawaku.
“Nggak ikhlas banget sih rasa terima kasihmu itu,” sindir Melly yang sibuk dengan rambutnya.

Dia menggulung-gulung rambutnya dengan rol rambut.

“Mending aku ngucapin makasih satu kali daripada nggak sama sekali,” balasku, “ya udah aku cabut dulu ya. Bye cewek-cewek,” pamitku sebelum menutup pintu kamar Amel lagi.

Aku langsung berjalan keluar rumah tanpa berpamitan pada orang tua Amel, karena memang mereka lagi nggak ada di rumah.

Setelah naik dan mens-tarter motorku, aku langsung meninggalkan rumah Amel. Tadi setelah pulang sekolah, aku nggak langsung pulang ke kos. Aku lebih memilih pergi ke rumah Amel untuk bersembunyi sementara waktu. Aku sengaja nggak menghubungi Aan dan teman-temanku yang lain agar mereka nggak ikut terlibat dalam masalah ini. Alvin, apalagi. Dia nggak boleh terlibat lebih dalam dengan Ryo dan ngank’nya. Karena itu aku terpaksa berbohong padanya dan mematikan hp ku saat Alvin menelfonku. Aku tau orang macam apa si Ryo itu. Dia akan melakukan apapun untuk membalaskan dendam padaku. Alvin adalah sasarannya yang paling pas. Ryo pasti sudah tau hubunganku dengan Alvin hanya dengan sekali lihat. Dan dia nggak akan menyia-nyiakan hal itu untuk menghancurkanku. Makanya, sebelum semuanya terlambat aku harus melakukan sesuatu. Aku terpaksa menerima tantangan darinya. Tapi sebelum bertanding, aku akan menukar taruhannya. Nggak ada salahnya di coba kalau itu bisa menjauhkan Alvin dari jangkauannya.

Aku langsung menghentikan motorku di depan salah satu rumah yang nggak terlalu besar. Setelah memarkir motorku di halaman rumah itu, aku langsung berjalan kearah pintu rumah itu dan mengetuknya pelan. Sambil menunggu pintu di buka, aku melihat halaman rumah itu. Ada berbagai tanaman hias di halamannya. Nggak banyak sih, tapi tetap menarik karena pemilihan jenis dan warna bunganya yang sangat cantik.

DUUK…

Tiba-tiba kakiku menyenggol sesuatu di bawah sana. Setelah aku lihat ternyata ada pot dengan bunga seperti kertas. Aku nggak tau namanya apa, tapi bunga ini banyak aku temui di rumah-rumah orang. Bunga yang sederhana tapi cantik.

“Cari siapa?” tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku dari belakang.

Aku langsung memutar badanku dan melihat seorang cowok bermuka tembem sedang berdiri di ambang pintu dengan tatapan mata penuh selidik.

“Ricky. Aku ke sini mau mencari Ricky,” jawabku.
“Kamu teman gank’nya? Ada perlu apa malam-malam gini sama dia?” tanyanya ketus.
“Aku…”
“Pandu?!” terlihat Ricky muncul dari ruangan tengah dengan bercelana pendek tanpa baju, alias bertelanjang dada, “ngapain kamu ke sini?” tanya Ricky sambil mencengkeram lengan cowok tembem yang mau masuk ke dalam.
“Ngapain sih? Lepas nggak?!” dengus cowok tembem itu sambil berusaha menarik lengan kanannya kanannya yang di cengkeram Ricky.

Tapi bukannya di lepas, Ricky malah menarik cowok itu ke arahnya lalu memeluknya dari belakang.

“Kenalin, dia ini kakak TER…CIN…TA…KU. Namanya DiAAAAAWWWWW….” tiba-tiba Ricky berteriak sebelum kata-katanya selesai di ucapkan.

Ricky langsung melepas pelukannya pada cowok tembem itu lalu mengusap lengan kanannya yang digigit cowok tadi.

“AKU BUKAN KAKAKMU!!!” teriak cowok tembem itu sebelum beranjak meninggalkan Ricky dan aku.

Aku yang kaget dengan adegan barusan cuma terbengong-bengong melihat kepergian cowok tembem itu.

“Ck dasar..gendut sialan. Aku kasih ‘pelajaran’ baru tau rasa dia,” dengus Ricky kesal, “kamu ngapain ke sini Pan?” tanya Ricky sambil terus mengusap lengannya yang kini terlihat sedikit memerah.
“Eh..apa? Ah iya, aku…aku ke sini mau pinjem motormu,” kataku sedikit ngeblank.
“Buat apa?” tanya Ricky sambil membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan aku masuk dengan kode tangannya.
“Aku mau balapan. Dan aku pasti bakal kalah kalau balapan dengan motorku itu,” jawabku sambil melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah lalu duduk di salah satu sofa yang ada di ruang tamu itu.

Baru kali ini aku masuk ke dalam rumah Ricky. Aku memang tau alamat rumah Ricky, tapi nggak pernah mampir ataupun bertamu ke sini. Paling-paling cuma lewat di depannya saja.

“Bali sama siapa? Taruhannya besar nggak?” tanya Ricky sambil mengeluarkan motornya yang sudah terparkir rapi di sisi ruang tamu.
“Ada deh. Mau tau aja hehe…” kataku menyembunyikan kebenarannya.
“Halah, ngapain si main rahasia-rahasiaan segala?” dengus Ricky kesal.

Dia sudah masuk kembali ke ruang tamu setelah memarkir motornya di halaman.

“Udah deh nggak usah banyak cing cong. Sekarang mana kuncinya? Tadi aku lihat nggak ada kunci di motormu,” kataku mulai nggak sabaran.

Bisa bahaya kalau dia sampai tau aku bali dengan siapa. Bisa-bisa rencanaku gagal total.

“Ck..mau pinjam atau ngrampok?!”
“Ngrampok.”
“Mana senjatamu?”

Aku langsung mengeluarkan pisau lipat dari saku lalu mengarahkannya ke leher Ricky.

“Oke…lupakan! Aku cuma bercanda,” kata Ricky sambil menjauhku pisau lipatku dari lehernya, “aku ambil kuncinya dulu di kamar,” kata Ricky.

Dia berjalan masuk, sedangkan aku mengantongi pisau lipatku lagi. Sebenarnya aku membawa pisau lipat ini untuk jaga-jaga. Aku nggak pernah menggunakannya satu kalipun. Kalau aku di ganggu atau di buat kesal oleh seseorang, aku cukup menghajarnya sampai babak belur.

“DASAR BRENGSEK!!!” tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam.

Akupun langsung melongokkan kepalaku untuk melihat apa yang terjadi. Tiba-tiba pintu yang ada di samping ruang tengah terbuka dan muncullah cowok tembem tadi sambil menutupi bibirnya. Dia terlihat sangat kaget waktu pandangan mata kami nggak sengaja bertemu. Seketika itu juga dia berlari dan memasuki salah satu ruangan lain. Nggak lama setelah itu Ricky keluar dari ruangan ruangan yang sama dengan cowok tembem keluar tadi.

“Ngapain kalian tadi?” tanyaku setelah Ricky mendekat ke arahku, “bibirmu kenapa tuh?” tanyaku lagi saat melihat bibir bawahnya terluka dan mengeluarkan sedikit darah.

Ricky nggak langsung menjawab pertanyaanku. Dia malah menyeringai aneh sambil mengusap bibirnya yang berdarah itu dengan ibu jarinya.

“Mau tau aja,” katanya menirukan kata-kataku tadi.

Aku cuma menghela nafas jengah.

“Mana kuncinya?” tanyaku sambil mengulurkan tanganku ke arahnya.
“Jangan sampai rusak ya,” kata Ricky sambil meletakkan kunci motornya ke tanganku.
“Beres. Kalau sampai motormu rusak, ambil aja motorku sebagai gantinya. Toh aku nggak akan memakainya lagi setelah ini.”
“Nggak deh, thanks. Motormu nggak akan bisa gantiin motorku yang mahal itu.”
“Dasar belagu. Sok banget sih.”

Ricky cuma tertawa pelan saat melihatku mendengus kesal.

Aku dan Ricky akhirnya berjalan keluar rumah menuju halaman. Aku langsung mens-tarter motornya dan memakai helm ku sendiri.

“Aku titip motorku ya.”
“Iya tenang aja. Lagian motor butut kayak gitu pasti nggak akan ada yang nyuri.”

Lagi-lagi aku mendengus kesal mendengar kata-katanya. Tanpa bicara lagi aku mulai melajukan motor Ricky menuju tempat bali antara aku dan Ryo.

Aku nggak tau apa ini bisa menjauhkan Alvin dari jangkauannya. Tapi untuk saat ini, hanya inilah yang bisa aku lakukan. Alvin nggak boleh terlibat dalam masalahku dengan Ryo.

Nggak terasa motorku sudah masuk ke area jalan di mana D.A.L sering berkumpul. Ku lihat kanan dan kiriku terparkir beberapa motor dan mobil-mobil mewah. Berbeda sekali dengan tempatku yang cuma di penuhi motor-motor butut. Di sisi-sisi jalan ada juga anggota D.A.L yang bergerombol dan memperhatikanku yang melewati mereka. Mereka pasti tau aku bukan anggota D.A.L. Jaket yang aku pakai sudah bisa menunjukkan dari kelompok mana aku berasal.

Aku terus mencari di mana si brengsek itu berada, tapi mataku sama sekali nggak menangkap sosoknya. Akhirnya aku menghentikan motorku di sisi jalan yang lumayan sepi. Ku rogoh saku celanaku dan mengambil hp ku yang dari tadi siang aku matikan. Sms beruntun langsung masuk ke dalam hpku saat aku menyalakannya. Ada 34 sms yang masuk. 28 sms dari Alvin dan sisanya sms dari Aan dan teman-teman. Aku terpaksa nggak membaca sms-sms itu karena aku langsung menekan tombol call pada nomor Ryo yang sengaja aku simpan untuk sekedar jaga-jaga.

“Di mana?” tanyaku saat telfonku di angkat.
“…”
“BRENGSEK!!! AKU TANYA, KAMU LAGI ADA DI MANA?? CEPAT JAWAB!!” bentakku geram.
“Santai dong. Kok nggak sabaran banget sih. Aku ada di belakangmu kok.”

Aku langsung membalikkan badanku dan melihat Ryo sedang berdiri nggak jauh dari tempatku. Dia langsung tersenyum sambil memasukkan hp nya ke dalam saku celananya.

“Sendirian?” tanya Ryo sambil berjalan mendekat ke arahku, “tumben,” lanjut Ryo saat tau aku hanya diam saja dan menatapnya tajam.
“Aku nggak punya banyak waktu, jadi cepat di mulai dan kita selesaikan semuanya,” kataku dingin, “tapi sebelumnya, aku mau menukar taruhannya.”

Ryo mengangkat ke dua alisnya dan menatapku bingung.

“Kalau aku menang, aku minta kamu jangan mengganggu Alvin. Jauhin dia dan jangan libatkan dia ke dalam urusan kita,” kataku sambil memasukkan hp ke dalam saku celanaku.

Aku masih menatapnya tajam.

“Kalau aku nggak mau gimana?” tanya Ryo sambil tersenyum.
“Kamu harus mau. Alvin nggak ada sangkut pautnya dengan masalah kita. Jadi jangan libatkan dia!!” kataku berusaha menahan emosi yang hampir meluap.

Aku nggak boleh emosi sekarang. Belum saatnya. Kalau sampai emosiku meledak sekarang, semuanya akan sia-sia.

“Gimana kalau aku bilang semuanya sudah terlambat?”
“Apa maksudmu?” tanyaku sambil menatapnya penuh curiga.

Ryo tersenyum sambil merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Mataku langsung melotot kaget saat melihat benda yang di acungkan Ryo ke arahku.

Hp itu….

BBRRUUKKK…

Aku langsung menerjang Ryo dan mencengkeram kerah jaketnya dengan sangat kasar.

“KAMU…..KAMU APAKAN DIA BRENGSEK???” bentakku sambil terus mencengkeram kerah jaketnya.

Kali ini aku sudah nggak bisa mengontrol emosiku.

Kenapa…kenapa hp Alvin ada sama dia?! Apa yang sudah dia lakukan ke Alvin??

Anggota D.A.L yang ada di sekitar ku dan Ryo langsung mencengkeram bahu, tangan dan tubuhku. Mereka berusaha melepaskan tanganku dari kerah jaket Ryo. Tubuhku sedikit tertarik karena tarikan mereka, tapi cengkeramanku pada kerah jaket Ryo nggak terlepas. Yang ada, Ryo ikut tertarik bersamaku.

“AN***NG!! LEPASIN NGGAK??!!” bentak salah satu orang yang berusaha melepaskan tanganku dari kerah jaket Ryo.

Aku nggak memperdulikan tendangan dan pukulan yang mendarat di tubuhku. Tendangan dan pukulan mereka sama sekali nggak berpengaruh padaku untuk saat ini.

“DI MANA DIA BRENGSEK?? KAMU APAKAN DIA??” tanyaku masih dengan bentakan.
“Apa begini caramu bertanya pada seseorang?” tanya Ryo dengan tersenyum, “kamu menyakitiku Pandu.”
“AKU BISA MELAKUKAN LEBIH DARI INI PADAMU DAN KAMU JUGA TAU ITU. AKU BISA MEMBUNUHMU SAAT INI JUGA,” bentakku sambil mengendurkan cengkeramanku pada kerah jaketnya, lalu menggantinya dengan cekikan di lehernya.

Terlihat wajah Ryo memerah menahan cekikanku. Matanya terpejam dengan butiran air yang keluar di ujung matanya. Tangan Ryo berusaha melepaskan tanganku dari lehernya, tapi sumpah mati, aku nggak akan pernah melepaskannya. Bajingan ini memang lebih baik mati.

“Ka…kalau aku ma…mati…aku pastikan ka…kamu nggak akan pernah bertem…bertemu dengannya lagi,” kata Ryo terbata-bata karena cekikan pada lehernya.

Aku yang mendengar kata-katanya langsung melepaskan cekikanku. Seketika itu juga Ryo langsung membungkuk dan batuk-batuk.

BUUUAAAGG…

Tiba-tiba sebuah pukulan melayang tepat di rahang kiriku.

“BERANINYA KAMU MENCEKIK RYO. SUDAH BOSAN HIDUP HAH???!!!!” bentak cowok berambut Mohawk yang baru saja memukulku tadi.

Dia langsung mencengkeram kerah jaketku dan siap memukulku lagi.

“Berhenti Rom! Jangan ikut campur!”
“Tapi Yo. Dia sudah berani mencekikmu. Dia…”
“Aku bilang berhenti! Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Ryo sambil tersenyum kearah cowoh berambut Mohawk itu.

Perlahan-lahan cowok itu mulai melepaskan cengkeramannya pada kerah jaketku. Sedangkan aku masih menatap tajam kearah Ryo. Daritadi aku sama sekali nggak mengalihkan tatapan mataku. Aku nggak memperdulikan pukulan cowok berambut Mohawk itu karena aku terus menatap Ryo.

“Sorry Pan, orang-orangku sangat kurang ajar padamu. Aku harap kamu nggak tersinggung dengan tingkah laku mereka,” kata Ryo.

Senyum iblisnya masih terlihat di bibirnya.

“Di mana dia? Apa yang sudah kamu lakukan padanya hah?” tanyaku dengan nada pelan tapi penuh penekanan di tiap katanya.

Ku kepalkan ke dua tanganku untuk meredam emosiku yang terus meluap. Aku nggak boleh bertindak gegabah lagi. Alvin ada di tangannya dan aku sama sekali nggak tau apa yang akan di lakukan Ryo padanya kalau aku bertindak gegabah lagi seperti tadi.

AARRRGGHH BRENGSEK..!!!

“Ikutlah denganku dan kamu akan bertemu dengannya. Kita juga bisa menyelesaikan urusan kita di sana.”
“Oke, tapi jangan libatkan Alvin lebih dari ini!”
“Tergantung gimana nanti.”

Ku masukkan tanganku ke dalam saku celanaku dan mencengkeram pisau lipat yang ada di sana.

Ryo…kalau sampai terjadi apa-apa dengannya aku nggak akan segan-segan membunuhmu dengan tanganku sendiri.

~Rico Pov~ (Pukul 04.28)
Tidur lelapku terusik saat merasakan pegal di lengan kananku. Perlahan-lahan ku buka kelopak mataku yang masih terasa berat. Aku hampir terlonjak kaget kerena mendapati seseorang terlelap dalam pelukanku dan menggunakan lengan kananku sebagai bantalnya. Untuk beberapa saat aku masih terpaku dan berusaha menyimpulkan apa yang baru saja terjadi. Mataku sama sekali nggak berkedip sewaktu melihat sosok polos tanpa busana yang kini ada di dalam pelukanku. Tiba-tiba mukaku memanas saat mengingat kejadian beberapa jam yang lalu.

Aaaahhhh….kok aku bisa lupa sih?!

Aku langsung mengusap wajahku dengan telapak tangan kiriku.

Ini benar-benar kado paling ekstrim yang pernah aku dapatkan biarpun terlambat satu hari >.<.

Tiba-tiba Awe mengerang pelan lalu merapatkan pelukannya di tubuhku. Ah… harus aku akui kalau jantungku sekarang berdetak sangat tidak normal. Mau gimana lagi, posisiku dan dia ini benar-benar sangat ekstrim. Paha kanannya yang mulus itu menimpa paha kiriku dan tanpa sengaja menyentuh juniorku yang sedang berkembang. Rasanya…sesuatu banget gitu (hahahaha…).

Tiba-tiba dia merapatkan kedua matanya yang sudah terpejam. Terlihat keningnya berkerut-kerut. Ku ulurkan tanganku dan menyentuh keningnya dengan jariku, membuat kerutan itu menghilang. Setelah itu aku memperhatikan wajah polosnya yang akhir-akhir ini selalu memenuhi hatiku dan pikiranku tanpa jeda. Aku tertawa pelan saat mengingat dia cemburu sewaktu Alvin menyuapiku sup. Sebenarnya apa sih yang dia pikirkan? Bisa-bisanya dia cemburu hehe… Aku dan Alvin sudah seperti saudara sendiri. Sejak kecil kami selalu bersama. Nggak ada perasaan khusus untuk Alvin selain sebagai kakak, adik, dan sahabat. Dasar Awe hehehe…

Karena lenganku sudah sangat pegal, akhirnya aku mengangkat kepala Awe dan menarik tanganku dengan sangat perlahan. Tapi gerakanku itu ternyata membuat tidur Awe terganggu. Perlahan-lahan dia membuka kedua matanya dan menatapku. Aku sempat terdiam karena kaget saat dia menyunggingkan senyum di bibirnya.

“Ah…ha…hai. Kok bangun?” tanyaku gugup.

Awe nggak membalas pertanyaanku, dia malah mengeratkan pelukannya pada tubuhku dan menyembunyikan wajahnya di dadaku.

“A…apa sakit?” tanyaku makin gugup, “sorry kalau tadi malam aku mem…membu…atmu sakiiiitt,” kataku pelan dan penuh penyesalan. Yaahh…biarpun penyesalannya nggak 100% sih hehehehe :p

Setelah itu aku menggigit bibir bawahku dan menunggu reaksi dari Awe.

“Nggak sakit. Kalau kamu yang melakukannya, aku nggak merasakan sakit,” desis Awe pelan.

Dia masih menyembunyikan wajahnya di dadaku.

“Ka…kalau kamu mau lagi…aku…aku nggak apa-apa,” desis Awe lagi yang langsung sukses membuat bola mataku hampir copot.
“Serius?” tanyaku dengan mata berbinar-binar.

Awe menganggukkan kepalanya.

HAAAHHHAAAAYYYYY…KESEMPATAN HAHAHAHAHA…

Aku langsung memeluk Awe dan langsung menindihnya, tapi sewaktu aku mau mencium bibirnya tiba-tiba aku teringat sesuatu.

“Kita bisa terlambat sekolah kalau kayak gini,” desisku sambil merebahkan tubuhku lagi di samping Awe.

Terdengar Awe terkikik sambil melingkarkan tangan kanannya di tubuhku. Ku pencet hidungnya dengan jari telunjuk dan jari tengahku karena gemas. Awe yang nggak bisa bernafas akhirnya mencari udara lewat bibirnya yang terbuka. Aku yang melihat itu cuma menyeringai penuh arti. Tanpa buang-buang waktu lagi, aku langsung mengecup bibir Awe yang terbuka dan langsung memasukkan lidahku di sana. Untuk beberapa saat aku terus menciumnya dengan posisinya yang sama. Awe yang mulai kehilangan udara dalam paru-parunya langsung memukul dan menendang tubuhku sampai terjatuh.

“Sakiiiitt kaaallliiiii Weeeee,” protesku sambil mengusap siku kiriku yang nggak sengaja terbentur lantai yang dingin.

Setelah itu aku langsung cemberut dan berpura-pura marah padanya. Awe yang melihatku cemberut langsung menghampiriku dan berjongkok di sampingku.

“Sakit ya?” tanya Awe sambil mengusap sikuku, sedangkan aku hanya diam dan masih berpura-pura marah.
“Sorry ya Ric, aku nggak sengaja tadi. Habisnya kamu juga gitu sih,” kata Awe lagi kali ini dengan sedikit cemberut.

Aku masih diam dan masih berpura-pura marah.

“Aaaaaaa…. Rico jangan marah! Maaf deh gara-gara aku sikumu jadi sakit,” Awe mulai merengek minta maaf.

Aku langsung mendengus, pura-pura kesal padanya. Awe tersentak kaget saat aku menepis tangannya yang mengusap sikuku dengan sedikit kasar.

“Kamu tau nggak, wajahku sudah sakit gara-gara tonjokan kak Andi kemarin, terus sekarang gara-gara kamu sikuku jadi ikutan sakit,” dengusku masih pura-pura marah.
“Maaf Ric. Aku nggak sengaja,” kata Awe dengan ekspresi penuh penyesalan, “maaf,” lagi-lagi Awe meminta maaf padaku.

Akhirnya tawaku terlepas juga. Aku tertawa terbahak-bahak karena melihat ekspresi Awe yang menurutku sangat lucu itu hehehehe.

“Kamu ngerjain aku,” Awe melotot ke arahku.

Setelah itu dia memajukan bibirnya beberapa centi hehehe..

“Ah udah ah, aku mau mandi dulu. Setelah aku mandi, gentian kamu yang mandi. Setelah itu aku antar kamu pulang buat ambil baju seragammu,” kataku sambil beranjak berdiri.

Ku ulurkan tanganku dan menarik tangan Awe sampai dia berdiri. Setelah itu aku menarik selimut yang sudah nggak berbentuk dari atas tempat tidurku dan melingkarkannya di tubuh polos Awe. Tiba-tiba Awe memalingkan mukanya dariku.

“Ng…uunngg..sana-sana! Buruan mandi sana! Jangan telanjang terus kayak gitu!” kata Awe gugup.

Aku langsung tertawa melihat kegugupan Awe.

Dreett…Dreett Dreett…Dreett Dreett…Dreett

Tiba-tiba hp ku yang ada di atas meja bergetar lama tanda ada telfon masuk. Di layar hp ku tertera nomor tak di kenal. Sejenak aku ragu mau menjawabnya, tapi karena Awe memberi kode supaya telfon itu di angkat akhirnya mau nggak mau aku angkat juga telfon dari nomor tak di kenal itu.

“Hallo,” sapaku.
“…”
“Hallo??”
“…”
“Tolong ya jangan iseng!! Ini masih pagi-pagi buta dan aku nggak mau di ganggu,” kataku ketus.
“Ric. Alvin…Alvin,” keningku langsung berkerut saat mendengar nama Alvin di sebut.
“Siapa ini?? Ada apa dengan Alvin??” tanyaku bingung.

Tapi kebingunganku itu langsung terjawab setelah penelfon itu menjelaskan sesuatu padaku.

“Mau kemana?” tanya Awe saat melihatku memakai semua bajuku dengan sangat tergesa-gesa.
“Rumah sakit,” jawabku dengan panic.
“Siapa yang sakit?” tanya Awe yang kini sudah duduk di sisi tempat tidurku dengan tubuh polosnya yang masih terbalut selimut.
“Alvin. Alvin masuk rumah sakit. Yang menelfonku tadi Pandu,” jawabku sambil mengambil kunci mobilku yang ada di laci meja belajarku.
“Aku ikut,” kata Awe ketika aku menuju pintu kamarku.
“AKU TUNGGU DI MOBIL,” teriakku sambil menuruni tangga.

DOK….DOK…DOK…

Aku langsung mengetuk pintu kamar kak Danil dengan keras sehingga membuat kak Danil memasang wajah garangnya saat membuka pintu kamarnya.

“TAU ADAT NGGAK SIH??!!” bentak kak Danil.
“Bilang ke Mama kalau Alvin masuk rumah sakit xxx!” kataku sambil berlalu dari kamar kak Danil.
“Eh…apa? Maksudnya gimana nih?” tanya kak Danil bingung.

Dia mengikutiku sampai ke ruang tamu.

“Kakak nggak tuli dan aku nggak perlu mengulanginya lagi,” kataku sambil membuka pintu rumah, “buruan kasih tau mama! aku tunggu di rumah sakit,” kataku lagi sebelum keluar dari rumah, meninggalkan kak Danil yang kini berubah menjadi panic.

Dia langsung masuk ke dalam rumah lagi, sedangkan aku langsung masuk ke dalam mobilku dan menyalakan mesinnya. Nggak lama kemudian terlihat Awe keluar dari rumahku dengan sedikit tergesa-gesa dan langsung masuk ke dalam mobilku.

“Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Alvin bisa masuk rumah sakit?” tanya panic.
“Aku juga kurang jelas. Pandu cuma bilang kalau Alvin ada di rumah sakit dan kondisinya kurang bagus. Pandu juga bilang kalau Alvin mengalami luka sayatan yang membuatnya banyak kehilangan darah dan di tambah asmanya yang kambuh,” jawabku mulai melajukan mobilku.

Setelah sampai di rumah sakit, aku dan Awe langsung ke bagian receptionist untuk menanyakan di kamar mana Alvin di rawat. Nggak sampai lima menit aku sudah mendapatkan kamar Alvin di rawat. Tanpa buang-buang waktu lagi, aku dan Awe langsung menyusuri lorong rumah sakit menuju ke kamar Alvin.

“Itu…itu kan Pandu,” kata Awe sambil menarik-narik lengan bajuku.
“Ya, aku tau,” desisku sambil memperhatikannya dengan seksama.

Pandu terlihat duduk di deretan kursi yang ada di depan kamar-kamar inap kelas tiga. Dia terlihat kusut dan sangat berantakan. Celana abu-abunya nampak kotor dan berdebu. Jaket hitamnya nggak mampu menutupi luka lebam yang ada di dadanya. Aku juga melihat ada beberapa luka memar di wajahnya, serta perban yang membalut keningnya. Nggak tau kenapa firasatku jadi makin nggak enak saja.

“Mana Alvin?” tanyaku saat sudah dekat dengannya.

Pandu mengangkat wajahnya menatapku. Matanya merah dan wajahnya nampak lesu.

“Di mana Alvin?” tanyaku makin nggak sabaran.
“Dia di sana,” jawab Pandu sambil menunjuk salah satu kamar kelas tiga itu.

Aku langsung menerobos masuk ke kamar Alvin di rawat. Untuk beberapa detik aku cuma terpaku melihat sosok itu terbaring tak berdaya di atas tempat tidur.

“Ya ampun Alvin. Kenapa bisa sampai kayak gini?” Awe langsung mendekati Alvin yang masih tertidur.
“Sorry,” desis Pandu dari belakangku.

Refleks aku memutar badanku menghadap Pandu dan langsung melayangkan tinju ke wajahnya. Setelah itu aku mencengkeram kerah jaketnya dan menatapnya tajam. Beberapa orang yang ada di kamar ini langsung berteriak histeris.

“KENAPA DIA BISA SAMPAI SEPERTI INI HAAA???” bentakku dengan rahang mengeras.
“Sorry,” desisnya tanpa berani menatap mataku.
“Aaaaaa…Rico sudah…sudah!! Ini di rumah sakit, jangan bikin ribut di sini!” Awe berusaha menenangkanku.

Dia berusaha melepaskan tanganku dari kerah jaket Pandu.

“KENAPA ADA MEMAR-MEMAR DI WAJAHNYA?? KENAPA DENGAN LENGANNYA?? KAMU APAKAN DIA HAAA???” bentakku makin keras karena sudah nggak bisa menahan emosiku lagi.
“Rico sudah!! Tolong berhenti!!” Awe masih berusaha menenangkanku.

Pandu cuma terdiam dan menundukkan kepalanya.

“JADI BEGINI CARAMU MENJAGA DIA???” bentakku lagi, “DASAR BRENGSEK!!”

BBUUUGGGHHH…

Untuk yang ke dua kalinya aku melayangkan pukulanku ke wajahnya yang sudah babak belur. Saat aku mau memukulnya lagi tiba-tiba dua orang security rumah sakit datang dan memisahkan aku dari Pandu, lalu menyeretku dan Pandu keluar dari kamar.

“Tolong jaga tingkah laku kalian! Ini di rumah sakit. Kelakuan kalian sudah membuat pasien lain jadi terganggu,” kata salah satu security itu dengan tegas.

Security itu menatap tajam kearah kami berdua.

“Maaf Pak. Maafin kami. Kami janji hal tadi nggak akan terulang lagi,” kata Awe dengan ekspresi khawatir.
“Baiklah kami mengerti. Tapi kalau sampai kejadian tadi terulang lagi, kami tidak segan-segan untuk mengusir mereka dari sini,” kata security yang satunya lagi.
“Iya Pak, sekali lagi maafkan kami,” kata Awe sambil membungkukkan sedikit badannya.

Akhirnya kedua security itu pergi meninggalkan aku, Pandu dan Awe. Terlihat beberapa orang dan pasien yang nggak sakit parah menonton kami dari kejauhan. Aku nggak ambil pusing dengan tatapan ingin tau mereka. Aku cuma terdiam sambil terus menatap Pandu tajam. Pandu masih sama seperti tadi. Dia masih berusaha menghindari kontak mata denganku. Sedetik kemudian ada seorang suster melintas di depan kami. Aku langsung memanggil suster itu dan meminta dia untuk memindahkan Alvin ke kamar VVIP. Serta memintanya untuk memberikan perawatan terbaik untuk Alvin. Suster itupun memintaku untuk mengurus administrasinya. Setelah semua selesai aku urus, aku kembali ke tempat di mana aku meninggalkan Awe dan Pandu tadi.

“Mulai sekarang jauhin Alvin!” kataku dingin tanpa menatap Pandu yang ada di depanku.
“Ric, jangan gitu!” protes Awe sambil menggenggam tanganku.
“Kalau sampai aku melihatmu mendekati Alvin lagi, aku nggak akan segan-segan memisahkan kalian dengan cara apapun juga.”
“Ric!!”
“Aku ngerti. Tanpa kamu suruhpun aku akan menjauhinya.”
“Pandu!!”
“Bagus kalau gitu,” aku langsung membalas genggaman tangan Awe lalu menariknya pergi meninggalkan Pandu yang kini duduk dengan wajah kusutnya.

Tiba-tiba Awe menghempaskan tangannya sampai genggaman tangan kami terlepas.

“Apa-apaan sih kamu Ric?! Jangan kayak gitu!! Kasian Pandu. Ini semua bukan salah Pandu.”
“Aku tau.”
“Tapi kenapa??”

Aku menatap Awe yang kini sedang menatapku sedih.

“Dunia mereka itu berbeda. Pandu hidup dalam lingkungan yang dingin dan keras. Alvin hidup dalam lingkungan yang hangat dan penuh perhatian. Alvin nggak akan bisa hidup dalam kehidupan Pandu yang keras, begitu juga sebaliknya.”
“Ta…tapi mereka saling suka,” Awe mulai merengek.
“AKU TAU ITU, TAPI LIHAT DAMPAKNYA!! ALVIN MASUK RUMAH SAKIT KARENA PANDU NGGAK BECUS MENJAGANYA,” teriakku kesal sampai membuat Awe tersentak kaget, “sorry,” desisku yang menyadari kalau teriakanku barusan membuat Awe ketakutan.
“Aaaaaa…maaf..aku..aku minta maaf,” desis Awe sambil menundukkan kepalanya.

Dia terlihat sangat ketakutan sekarang. Aku langsung menghela nafas panjang untuk meredam emosiku.

“Pulanglah! Tante Lila pasti mencemaskanmu karena kamu nggak pulang semalaman,” kataku sambil mengusap rambutnya lembut.

Setelah itu aku langsung meninggalkan Awe dan menuju ke kamar baru Alvin. Ku dekati sosok yang masih tertidur itu. Terlihat beberapa luka memar di wajahnya biarpun nggak separah luka memar di wajah Pandu. Aku sangat sedih melihatnya seperti ini. Padahal dia nggak pernah mempunyai luka memar di wajahnya dan luka di tubuhnya. Sekarang aku harus melihat tubuhnya terluka seperti ini. Rasanya benar-benar nggak rela.

“Hai bego! Kenapa kamu bisa sampai kayak gini ha? Apa saja yang kamu lakuin sampai kamu terluka kayak gini??” omelku ke Alvin yang jelas-jelas belum sadar dari pengaaruh obat biusnya, “lihat tanganmu!! Terluka sampai segini parahnya. Kamu mau cari mati haa??!!!”

Aku langsung menghela nafas panjang.

Ku genggam tangan tangan kanan Alvin perlahan karena takut membuat sakit lengannya yang terluka.

“Jangan membuatku khawatir terus Vin!!”





~Pandu Pov~ (Pukul 18.27)
“Mas nggak capek? Dari tadi mas ini belum pulang lo. Emangnya mas nunggu siapa sih?” tanya mbok penjaga warung kopi yang aku singgahi.
“Nunggu temen mbok. Dia sakit dan di rawat di sana,” kataku sambil menunjuk rumah sakit yang berseberangan dengan warung kopi yang aku singgahi.
“Kok mas nunggunya di sini? Kenapa nggak ke sana aja?” tanya mbok itu sambil membuatkanku segelas kopi lagi, “lagian mas ini juga perlu periksa lo. Lihat luka yang ada di kening mas itu! Darahnya keluar lagi.”

Aku tersenyum sambil menyeka darah yang sudah mengalir ke pipiku.

Aku memang sengaja nggak mau di periksa lebih lanjut karena aku lebih mengkhawatirkan Alvin.

“Nggak apa-apa mbok. Lukanya nggak parah,” jawabku sambil mengoleskan ampas kopi ke rokokku.

Si mbok meletakkan kopi baru di samping gelas kopi ku yang sudah habis dan tinggal ampasnya saja.

“Lagian dia sudah ada yang menjaga kok mbok,” kataku lagi sambil menghisap rokokku yang kini batangnya sudah berwarna hitam karena ampas kopi.

Si mbokpun akhirnya cuma mengangguk mengerti lalu kembali melayani pembeli di warungnya.

Sebenarnya dari tadi aku belum pulang ke kos. Berjam-jam ku habiskan waktuku untuk duduk di kursi yang ada di rumah sakit dan di warung kopi. Biarpun Alvin sudah di jaga oleh Rico, tapi aku tetap ingin menjaganya biarpun dari jauh. Semua ini salahku. Alvin sampai terlibat dan masuk rumah sakit karena salahku. Aku nggak bisa menjaganya.

Aaaaaahhhhhh….

Ku pegang kepalaku yang terasa sakit.

“Kamu nggak apa-apa?” sebuah suara menegurku dari samping.
“Awe?”

Terlihat Awe memandangku khawatir.

“Apa sakit?” tanya Awe sambil menyentuh keningku yang terbalut perban.

Aku cuma menggeleng pelan sambil memegang tangan Awe lalu menurunkannya.

“Uuhhmmm… maaf ya tadi Rico sudah memukulmu.”
“Nggak apa-apa. Aku memang pantas di pukul kok,” aku kembali menghisap rokokku lagi lalu menghembuskannya, “gimana keadaan Alvin? Apa dia sudah sadar?”
“Aku belum tau. Aku baru datang,” jawab Awe, “daritadi kamu di sini? Belum pulang?” tanya Awe.
“Aku nggak mau pulang. Aku nggak bisa meninggalkan Alvin.”

Tiba-tiba aku melihat Awe menatapku sedih lalu dia memelukku.

“A…apa?” tanyaku bingung.
“Sayang banget ya sama Alvin?” tanya Awe masih dengan posisi memelukku, “maafin Rico ya. Tadi dia cuma emosi aja, makanya bicara kayak gitu ke kamu.”
“Ah…itu…” aku yang bingung mau jawab apa akhirnya cuma bisa melepaskan pelukan Awe.
“Wah siapa ini?” tanya mbok pemilik warung saat melihat Awe.
“Adikku,” jawabku cepat.
“Adik?” tanya Awe tanpa suara.

Wajahnya kelihatan bingung. Aku cuma mengangkat ke dua alisku. Mau gimana lagi? Orang-orang di warung ini sudah menatap curiga ke arahku dan Awe. Apa lagi tadi Awe sempat memelukku. Lebih baik aku bilang kalau Awe ini adikku daraipada mereka semua berpikiran yang macam-macam.

“Oh adiknya. Tuh mas adiknya sampai ke sini buat jemput mas. Lebih baik mas pulang lalu istirahat,” kata mbok itu.

Aku cuma tersenyum.

“Mbok rokok!” seorang pembeli meminta rokok pada mbok.

Si mbok akhirnya beranjak dari depanku lalu mengambilkan rokok untuk pembeli itu.

“Kamu mau mengunjungi Alvin kan?!” tanyaku ke Awe yang sedang membawa kantong plastic yang penuh dengan buah.
“Uhm,” Awe mengangguk sambil tersenyum.
“Ya udah sana!” aku mendorong bahu Awe.
“Nggak ikut?”
“Nggak deh. Aku mau pulang aja. Lagian Rico pasti akan menghajarku lagi kalau aku muncul di depannya.”

Awe pun manggut-manggut tanda mengerti.

“Ya udah aku ke sana dulu ya?!” kata Awe.

Setelah itu dia beranjak pergi sambil melambaikan tangannya ke arahku.

“Mbok ini uangnya,” kataku sambil meletakkan sejumlah uang di atas meja, setelah itu aku langsung masuk ke dalam angkutan yang berhenti nggak jauh dari warung kopi tadi.

Beberapa penumpang langsung melihat ke arahku. Jelaslah mereka merasa aneh dengan penampilanku. Aku memakai celana abu-abu yang sudah kotor sama jaket yang nggak kalah kotornya. Apalagi dengan luka di sana-sini. Lengkap deh. Aku jadi kayak orang yang habis tawuran. Akhirnya aku lebih memilih melihat ke luar jendela. Melihat rumah sakit yang terus menjauh. Ku jatuhkan putung rokokku lalu ku injak sampai mati.

Tunggu ya Vin. Akan ku buat orang yang melukaimu membayarnya dengan sangat mahal.

Setengah jam kemudian, angkutan yang aku naiki sampai juga di depan kos ku. Akupun turun dari angkutan umum dan berjalan masuk ke kos ku.

“Kemana aja kamu?” tanya Aan saat aku baru masuk ke kos.

Aan menatapku tajam. Aku tau dia sedang marah sekarang.

“Kok luka-luka gini? Kamu habis berkelahi? Sama siapa? Aduh kepalamu berdarah,” Vino memegang daguku lalu memperhatikan semua luka di wajahku terutama luka di dahiku.
“Aku nggak apa-apa,” aku menepis pelan tangan Vino lalu mulai berjalan kearah kamarku.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku Pan! Kamu dari mana saja? Kenapa kamu bisa terluka kayak gini? Kemarin Ricky sms aku katanya kamu bali. Kenapa aku sampai nggak tau kalau kamu ikutan bali?” Aan mencecarku dengan pertanyaan-pertanyaan yang memuakkan.
“Bukan urusanmu.”
“Jelas ini urusanku. Kamu anggotaku, kamu juga tinggal di kosku, jadi aku harus tau apa aja yang kamu lakukan.”

Aku nggak menjawab pertanyaan Aan, tapi aku merogoh saku celanaku dan mengambil hp ku. Ternyata di sana tertera rentetan telfon yang nggak terjawab serta setumpuk sms. Aku nggak menghiraukan itu semua. Aku mulai mengetik sms singkat ke Ricky yang memberitahukan kalau motornya ada di jalan xxx dan kuncinya ada di kosku.

“Ini kunci motornya Ricky. Kalau dia kesini berikan kunci itu ke dia. Kalau ternyata motornya hilang, motorku boleh dia ambil,” kataku sambil melempar kunci motor Ricky ke Aan.
“Mau kemana lagi kamu? Kenapa bawa-bawa itu?” tanya Aan waktu melihatku mengambil gear dan rantai dari laci mejaku.
“Bukan urusanmu,” jawabku dingin.

BBUUGGGHHH…

Tiba-tiba Aan memukul rahangku sekuat tenaga sampai membuatku terjengkang kebelakang. Darah segar kembali membasahi bibirku yang kering dan menyebabkan rasa perih. Ku usap darah itu sambil menatap Aan tajam.

BBUUUGGGHH…

Kali ini aku membalas memukul Aan tepat di pipi kirinya. Aan langsung menahan tubuhnya yang terhuyung-huyung ke belakang. Akhirnya perkelahianku dengan Aanpun terjadi. Kami saling pukul, tinju dan tendang. Emosiku yang tertahan sejak kemarin akhirnya kuluapkan pada Aan yang nggak tau apa-apa. Aku membencinya. Aku membenci semua orang yang sudah melukai Alvin. Aku membenci Gin. Aku membenci Ryo. Aku membenci semua anggota D.A.L. Dan aku akan membalas semuanya. Akan ku hancurkan mereka tanpa sisa. Akan ku buat mereka menderita. Akan ku buat mereka merasakan neraka yang aku ciptakan. DASAR BRENGSEK!! ANJ**G!! FUCK!!

“DASAR BRENGSEEEEEK!!!” teriakku sambil terus memukuli Aan yang ada di bawahku.
“WWOOOEE….WWWOOOOOEEEE…KENAPA INI??” Ipang tampak terkejut mendapati aku yang sedang menghajar Aan habis-habisan, “WOOOOEEEE…!!! TOLONGIN WOOOEEEE!!!” teriak Ipang lagi memanggil bantuan.

Sedetik kemudian anak-anak yang ada di kos langsung berhamburan masuk ke dalam kamarku.

“JANGAN MENDEKAT!!” bentak Aan saat Ipang, Oboy dan Udin berniat memisahkan kami berdua.
“Ta…tapi…”
“AKU BILANG JANGAN MENDEKAT!!!” bentak Aan lagi.

Aku yang masih diliputi emosi terus saja melayangkan bogem mentahku ke Aan yang sama sekali nggak membalas semua pukulanku. Berkali-kali tinjuku mengenai hidung dan rahangnya. Darah segar terus mengalir dari hidung dan ujung bibirnya.

Tiba-tiba Aan menarik lenganku hingga aku terjatuh menimpa tubuhnya.

“Apa masih belum puas?” tanya Aan sambil mendekap kepalaku ke bahunya.
“…”
“Sebenarnya apa yang terjadi? Baru kali ini aku melihatmu menangis Pan.”
“…”
“Kamu membuatku sedih.”
“…”
“Kalau ada masalah, cerita! Jangan di pendam sendirian.”
“Mereka melukainya,” kataku lirih.
“Hah??”
“Mereka melukai Alvin. Sekarang Alvin masuk rumah sakit,” kataku makin lirih dengan suara serak.

Tanpa ku sadari aku sudah menangis di bahu Aan. Ah nggak, mungkin aku sudah menangis waktu memukuli Aan tadi. Baru kali ini aku menangis. Aku nggak pernah menangisi hidupku, tapi sekarang aku menangis karena Alvin.

“Siapa? Siapa yang melukai Alvin?” tanya Aan sambil mendorong bahuku dan menatapku tajam.
“Ryo,” jawabku sambil mulai berdiri dan duduk di tepi tempat tidurku, “bajingan tengik itu yang sudah melukai Alvin.”

Aan tersentak keget.

“Ryo?” ulangnya tak percaya, aku mengangguk, “jadi kamu mau balas dendam?” tanya Aan sambil mulai berdiri.
“Aku nggak akan nglepasin dia. Dia harus merasakan apa yang sudah Alvin rasakan,” kataku sambil mengepalkan tanganku kuat-kuat, “jadi aku harap kamu nggak ikut campur dan menghalangiku.”

Aku langsung berjalan menuju pintu keluar tapi langsung di hadang oleh Ipang, Oboy, Udin, dan Yoga.

“Minggir!!” kataku sambil menatap tajam ke mereka berempat.

Nggak ada reaksi.

“AKU BILANG MINGGIR!!” bentakku.
“Ck…sabar dong Pan!” kata Oboy sambil tersenyum ke arahku.
“Kami nggak akan membiarkanmu berpesta sendirian,” kali ini Johan yang baru muncul ikutan bicara.
“Maksud kalian?” tanyaku sambil memicingkan mataku.
“Boleh kan?” tanya Udin sambil tersenyum ke Aan yang sedang duduk di atas mejaku.

Aan yang sedang membersihkan darah di hidung dan bibirnya cuma mengangkat ke dua alisnya.

“Hubungi anak-anak yang lain! Malam ini kita berpesta,” kata Aan sambil menyeringai.

Ipang, Oboy, Udin dan Yoga langsung tersenyum lebar. Johan cuma diam sambil mulai menghisap rokoknya lagi. Sedangkan aku cuma menatap Aan dengan mengerutkan dahiku.

“Apa-apaan ekspresimu itu?!” tiba-tiba Aan melempar kunci motor Ricky ke arahku.
“Serius?” tanyaku meyakinkan, “bukannya kamu nggak suka perkelahian antar gank?”
“Yaahh… mau gimana lagi. Kali ini Ryo udah keterlaluan,” kata Aan, “lagian tangisanmu tadi sudah menggugah sanubariku,” kata Aan dengan lebaynya.
“Brengsek!” dengusku kesal sambil melempar kunci Ricky ke Aan (kasian kuncix Ricky huhuhu).

Akhirnya Aan benar-benar mengumpulkan anak-anak yang lain di tempat biasa kami nongkrong. Ternyata mereka benar-benar sudah mempersiapkan segalanya. Dari batu, balok kayu serta senjata lainnya yang biasa di buat tawuran. Sepertinya mereka sudah menunggu-nunggu saat ini terjadi. Dasar. Sebenarnya aku senang karena ada yang mau membantuku. Nggak mungkin juga aku mengamuk di markas D.A.L seorang diri.

Setelah semuanya siap, kamipun menuju markas D.A.L dengan berkonvoi. D.A.L yang mendapat tamu tak di undangpun langsung kocar-kacir nggak karuan. Mereka benar-benar nggak siap menghadapi kami yang sudah lengkap dengan alat-alat tempur. Sebagian dari mereka langsung pergi dengan mengendarai motor dan mobilnya, sedangkan yang tersisa cuma mereka yang memang suka berkelahi dan nggak takut resiko. Akhirnya perkelahianpun nggak terhindarkan lagi. Dari dua kubu langsung saling serang. Lemparan batu terus terjadi. Aku, Aan dan Hendra mencoba memasuki area D.A.L lebih dalam lagi untuk mencari Ryo dan Gin.

Nggak gampang mencari mereka. Apalagi kami terus di hadang beberapa orang D.A.L. Tapi mereka langsung berhadapan dengan Aan dan Hendra. Sedangkan aku terus focus mencari sasaranku.

Tiba-tiba…

BBUUUAAAAGGGHH…

Aku langsung tersungkur setelah sebuah balok kayu sukses menghantam punggungku.

“AAAAARRRRRGGHH….” aku mengerang kesakitan saat salah satu dari banyak cecunguk itu menghantam kepalaku dengan botol minuman.

Seketika itu juga pandangan mataku menjadi kabur. Kepalaku kembali sakit, bahkan lebih sakit.

“Shit!!” umpatku saat melihat darah di kepalaku keluar lagi.
“AAARRRRGGGHHHH…” tiba-tiba si brengsek tadi mengerang kesakitan lalu tersungkur tak jauh dari tempatku.

Ku lihat Johan berdiri di sampingku sambil membawa tongkat pemukul bola.

“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya sambil mengulurkan tangannya ke arahku.

Aku menggeleng pelan sambil menyambut uluran tangannya untuk berdiri. Sedangkan tanganku yang kiri masih memegang kepalaku yang terus mengeluarkan darah.

“Kamu melihat Ryo?” tanyaku masih memegang kepalaku yang sakit.

Darah yang keluar dari kepalaku mengalir ke wajahku dan membasahi leherku.

“Sepertinya kamu nggak perlu mencarinya lagi,” kata Johan sambil melihat ke belakangku dengan muka datarnya.

Aku segera memutar tubuhku dan mendapati Ryo sedang berdiri nggak jauh dariku. Di sebelahnya ada Gin yang berdiri sambil mencengkeram salah satu temanku. Sekali hentak, temanku dari X-Dragon yang aku nggak tau namanya itu langsung tersungkur di depanku. Dia pingsan dengan sekujur luka di wajah dan tubuhnya.

“Ah…sudah ku duga kamu akan ke sini,” kata Ryo sambil tersenyum, “apa perlu kita berjabat tangan?” tanyanya sambil menyodorkan tangannya.

Aku tetap diam tak bergeming, begitu juga dengan Johan. Ku tatap tajam Ryo dan Gin secara bergantian. Emosiku kembali meluap saat mengingat merekalah orang yang sudah membuat Alvin terluka. Membuat Alvin merasakan sakit yang nggak pernah dia rasakan sebelumnya. Si brengsek itu.

“Oh ya. Gimana kekasihmu itu? Apa dia masih hidup?” Ryo kembali tersenyum.
“AAARRRGGGHHH…. BRENGSEEEEKKK!!!!” aku yang sudah di kendalikan emosi akhirnya melayangkan tinjuku kearah Ryo, tapi tinjuku langsung di tahan oleh Gin yang ada di sampingnya.
“Lawanmu bukan dia. Tapi aku,” kata Gin sebelum melayangkan bogem mentahnya ke rahangku membuatku tersungkur.

Tiba-tiba…

BBUUUUGGGHHH….

Aku langsung menoleh ke asal suara pukulan. Nggak jauh dariku terlihat Johan sedang baku hantam dengan salah satu cecunguk dari D.A.L.

Jadi sekarang tinggal aku dan mereka berdua?

Aku kembali menatap tajam Ryo dan Gin. Dengan segala sisa tenagaku, aku berusaha berdiri dan mencoba melilitkan rantai yang biasa di pakai Ricky ke tanganku. Nggak menunggu lama lagi, aku dan Gin sudah saling pukul. Sedangkan Ryo cuma berdiri nggak jauh dari tempatku dan Gin berkelahi. Dia berdiri sambil melipat ke dua tangannya di depan dadanya. Aku sedikit kewalahan menghadapi Gin. Biarpun Gin sempat terluka, tapi lukanya nggak separah lukaku. Belum apa-apa aku sudah mendapat pukulan bertubi-tubi dari nya. Lagi-lagi kepalaku mengeluarkan darah. Aku mengusap mataku yang perih karena kemasukan darah yang mengalir dari dahiku yang teluka.

“Uuugghhh…” mataku melebar saat merasakan benda tajam menghujam tubuhku.

Nggak cuma sekali benda itu menghujam perut dan dadaku. Tapi berkali-kali. Entah apa yang aku rasakan saat ini. Yang jelas aku kesakitan dan… ketakutan.

“Sorry,” desis Gin sambil mencengkeram lengan kananku dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya terus menghujamkan pisau lipat itu tepat di perutku, “cuma ini satu-satunya cara untuk melindungi orang yang aku sayang,” desisnya lagi sambil menancapkan pisau lipat itu lebih dalam ke tubuhku.

Perlahan-lahan cengkraman tangannya pada lenganku mengendur. Aku yang nggak kuat menopang tubuhku akhirnya jatuh tersungkur dengan darah yang keluar dari perut dan dadaku.

“PANDU!!” teriak Johan.

BUUAAAGGHHH…

Aku melihat Johan memukul Gin. Tapi hal itu nggak berlangsung lama karena teman-teman Gin membantu Gin. Johan juga di hajar habis-habisan. Sedangkan aku yang masih syock cuma terdiam sambil memegangi pisau lipat yang menancap di perutku.

Si brengsek itu menusukku dengan pisau lipatku sendiri. Pisau lipat yang nggak sengaja aku jatuhkan di ruang pengap itu.

“Shit..!!” umpatku sambil menahan rasa sakit di seluruh tubuhku.

Tiba-tiba sebuah sirene mobil polisi terdengar dari kejauhan. Orang-orangku dan orang-ornag dari D.A.L langsung berhamburan pergi. Begitu juga dengan Ryo dan Gin. Mereka meninggalkan Johan yang sudah terkapar nggak jauh dari tempatku terkapar. Tiba-tiba Johan mulai merangkak ke arahku lalu memegang lenganku.

“To…tolong!!” Johan mulai meminta tolong dengan suaranya yang serak, “toloongg!!” lagi-lagi Johan masih meminta tolong dengan susah payah.

Orang-orang dari X-Dragon yang lewat cuma melihat sekilas ke arahku lalu lari terbirit-birit saat melihatku dengan luka tusukan.

Brengsek. Aku hajar mereka nanti. Dasar pengkhianat.

Aku melihat Johan mulai mengangkat tubuhnya lalu duduk di sampingku. Di letakkannya kepalaku ke pahanya. Wajahnya terlihat sangat panic. Baru kali ini aku melihat ekspresinya yang sepanik ini. Aku terus mengerang menahan sakit di sekujur tubuhku. Darahku terus saja keluar dari perut dan dadaku. Berkali-kali aku menelan ludah untuk membasahi tenggorokanku yang mendadak kering. Tangan dan kakiku juga mulai terasa dingin.

“TOLOOONGG!!” teriak Johan lagi.

Perlahan-lahan keluar cairan bening dari ke dua matanya.

“TOOOLLOOONGGG PANGGIL AMBULANS!!!” teriak Johan sekuat tenaga.

Akhirnya tangisnya pecah. Dia menangis.

“Tolong panggil ambulans!!” katanya lirih, “panggil ambulans!! Aku mohon panggil ambulans!!”

Suaranya seperti tertelan. Dia mulai menundukkan kepalanya dan cairan bening itu perlahan-lahan jatuh tepat di wajahku. Johan terus saja menangis dengan hebatnya. Aku tersenyum samar melihatnya menangis seperti ini.

Ternyata dia memang masih anak kecil.

Ku ulurkan tanganku dan mengusap air matanya yang terus jatuh. Darah yang tadi ada di tanganku kini menodai wajahnya. Johan masih terus menagis. Bahkan kini tangisannya semakin kencang.

Tiba-tiba nafasku yang tadinya memburu kini mulai melambat. Pandangan mataku pun menjadi kabur dan telingaku seperti mendengung. Setiap jeritan dan tangisan Johan terdengar sangat pelan dan jauh. Tapi anehnya aku mulai bisa mendengar detak jantungku sendiri. Detakannya memang semakin lama semakin pelan, tapi suaranya terdengar sangat kencang. Mengalahkan semua suara bising yang ada di sekitarku.

Tuhan, apa aku akan mati? Apa aku akan mati dengan cara yang mengenaskan seperti ini? Nggak!! Aku nggak boleh mati. Aku nggak mau mati sekarang. Aku memang pernah bilang kalau aku nggak takut mati, tapi aku yang sekarang benar-benar takut mati. Lagian kalau aku mati sekarang, aku nggak akan bisa lagi bertemu dan berkumpul dengan teman-temanku lagi. Aku nggak akan bisa lagi main gila-gila’an sama mereka. Aku juga belum membalas semua kelakuan bejat Ryo dan Gin. Ini semua benar-benar nggak adil. Di saat Alvin harus menderita dan kesakitan, mereka malah tertawa puas.

Lagian kalau aku mati sekarang, aku nggak akan bisa melihat Alvin lagi. Aku nggak akan bisa melihat wajahnya lagi. Aku nggak akan bisa menjaganya lagi. Aku juga belum sampat menyatakan perasaanku. Berilah aku kesempatan untuk bisa menyatakan perasaanku padanya. Berilah aku kesempatan. Biarpun sekali. Berilah aku kesempatan untuk hidup. Berilah aku kesempatan untuk mengatakan ‘i love you’ padanya. Aku mohon. Hanya tiga kata yang ingin aku ucapkan untuknya. Untuk orang yang aku sayangi dan…dan aku cintai. Cuma tiga kata.

Kelopak mataku sudah terasa berat untuk terus terjaga. Perlahan-lahan aku mulai memejamkan ke dua mataku.

Alvin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar