Senin, 21 Maret 2016

Adikku Alvin Christian - Part 10

KITA UNTUK SELAMANYA

Aku tidak langsung balik ke istana Syah, nongkrong dulu di mall makan fried chiken. Mungkin terdengarnya norak, tapi momen aku makan di restoran junk food begitu bisa dihitung pakai jari. Ingin sih tapi ada saja yang membuatku tidak jadi. Berhubung aku ini pelahap potensial maka pesananku sangat banyak: nasi-ayam-minuman, humberger dan kentang goreng. Tidak peduli orang-orang melihatku dengan tatapan heran disertai gelengan kepala. Aku beli dengan uangku ini bukan minta uang bapakmu! Gumamku dalam hati.

Aku langsung melahap nasi+ayam, aku membayangkan sedang melahap si Agung, pasti nikmat! Hahahaha *evil devil mode: on. Bagiku makan adalah kegiatan paling indah di dunia. Saat sedang enak-enak menyantap ada telpon masuk. Dengan malas aku rogoh ponselku dengan tangan yang masih berlapis minyak & saus.
Ibu is calling....
Kalau yang ini sih wajib-mesti-kudu-fardhu ‘ain-tidak boleh tidak diangkat. Langsung saja kutekan tombol hijau:
“halo Assalamualaikum..” sapaku dengan mulut masih tidak berhenti mengunyah.
“walaikumsalam.. dit, Ibu sama Ayah sudah tiba di Bandung. Sekarang lagi di hotel xxx..” ujar Ibu.
“wew, hotel?” ujarku menyela omongan Ibu.
“jangan mikir yang macam-macam dulu! Kamar kita masing-masing dan gak bareng,” ujar Ibu dengan nada tegas.
“iya bu, maaf..” jawabku langsung bergidik mendengar nada bicara Ibu itu.
“iya. Tolong kamu sebutkan alamat lengkap sekolah Alvin itu sama petunjuk arahnya!” ujar Ibu dari seberang san terdengar sedikit grapak-grupuk mencari kertas untuk mencatat. “yang detil ya, kalau sampai Ibu dan Ayah terlambat itu gara-gara kamu lho..”
“iya bu iya..” ujarku (-____-‘) sambil menjelaskan alamatnya, sesekali Ibu bergumam ‘iya’ sambil bertanya-tanya sedikit tentang alamatnya, memastikan beliau punya gambaran.

“Ibu alamat hotelnya dimana? Adit mau ketemu Ibu! Kangen..” ujarku dengan nada melas dan manja.
“kan bisa ketemu besok!”
“gak mau, maunya sekarang!”
Ibu menghela nafas panjang, beliau pun menyebutkan alamat hotelnya beserta petunjuk arahnya. Aku sih iya iya saja meski kurang memahami, yang penting sudah ada gambaran arah menuju kesananya. Ujung-ujungnya pasti pakai GPS ponselku juga.
“oh iya dit, si Feri juga ikut lho..” tambah Ibu.
“hah? Feri?” aku tersentak kaget mendengarnya.
“iya, dia ikut bareng Ayah. Katanya pengen ketemu Alvin juga,”
Kok Lena tadi tidak bilang apa-apa ya? Apa jangan-jangan Feri tidak minta izin lagi? Itu anak nekat juga. Dan di kepalaku terus bermunculan spekulasi-spekulasi tak jelas hingga Ibu memanggil-manggilku.
“kamu jadi gak mau kesini? Limitnya sampai jam delapan!” ujar Ibu.
“eet dah bu, kayak quota internet aja ada limitnya..”
“eeh kamu ini, mestinya Ibu yang protes, baru datang belum istirahat udah dapet kunjungan..”
“iya iya deh, hehehe. Adit langsung meluncur kesana ya bu..”

Okay, waktunya berangkat! Berhubung makananku masih banyak aku minta kantung saja kepada pramusajinya, lumayan buat ngemil. Sambil menuju parkiran aku SMS Revan meminta izin untuk menggunakan motornya lebih lama lagi. Sekeluarnya dari area mall, GPS-nya langsung kuaktifkan. Sebenarnya GPS kurang direkomendasikan jika digunakan dengan kendaraan motor, tapi biarlah toh juga tetap akan menunjukan posisi dengan benar.

Bandung sudah tidak terlalu beda dengan Jakarta, jadi tidak membuatku canggung untuk bermain dengan kecepatan. Kira-kira setengah jam perjalananku (dengan petunjuk dari GPS serta bertanya dengan penduduk sekitar tiba juga aku di hotel tempat Ayah-Ibu-Feri menginap) kuperhatikan lagi bangunan hotel ini. Tidak terlalu mewah sih tapi juga tidak bisa dibilang jelek, ada taman yang cukup luas di depan dan samping hotel serta lampu yang seperti di kolam renang Revan. Aku langsung masuk menuju parkiran dan naik ke lobi menuju resepsionis.

Kamar Ibu ada di lantai tiga nomer 172, begitulah informasi yang kudapat dari resepsionis. Resepsionisnya laki-laki dan perempuan, yang perempuan lumayan manis sampai-sampai aku betah memperhatikannya terus. Mereka berdua sempat agak heran melihatku yang menenteng plastik bergambarkan logo restoran junk food. Dikirannya aku petugas delivery kali ya? Lobi hotel tampak cukup unik dengan menggunakan furnitur kayu jati asli dan desain ruangan yang seperti di keraton-keraton. Indonesia banget, kesan pertamaku saat melihatnya. Sederhana tapi berkelas, mungkin ini alasannya Ibu memilih hotel ini. Kalau Ayah pasti maunya yang minimal bintang lima, selera eksekutif sih jadi tidak heran.

Sekeluarnya dari lift aku mulai mencari-cari kamar Ibu. 159, 160, 161 dst. Ketika aku menelusuri lorong satu persatu. Cara yang repot memang tapi bagiku sekarang sudah terlalu malam untuk memikirkan cara yang efisien. Mau ketemu Ibu saja susahnya minta ampun. Sekitar lima menit pencarian akhirnya sampai juga, berhubung aku malas mengetuk pintu, ku kirim SMS saja. Dua puluh detik setelah laporan pengirimannya masuk, pintu sudah terbuka. Bukan pintu kamar Ibu tapi pintu kamar yang di seberangnya.
“kak Adit?” panggil seorang anak yang tak lain adalah adik iparku: Ferdian Adhiyanto.
“kamu..kok disini fer?” gumamku sambil garuk-garuk kepala.
Pertanyaan bodoh ‘kan tadi Ibu sudah jelaskan di telpon. Si Feri ini hanya nyengir, selama sepersekian detik matanya mengarah kepada bungkusan yang kupegang. Dan hal itu tidak luput dari jangkauan sensorku, intuisiku mengatakan Feri keluar kamar karena ingin mencari makan: lapar malam-malam.

“laper fer?” tanyaku dengan nada jahil seperti Revan.
Feri menggelengkan kepala, tapi mukanya terlihat agak pucat. Aku lalu mengangkat kantung cemilanku di depan mata Feri seraya menggoyang-goyangkannya.
“kak Adit udah kaya apaan tauk ah!” ujar Feri sambil mengerutkan dahinya, tapi matanya tak bisa membohongiku bahwa dia tertarik dengan bungkusan makananku.
“hehehehe.. kalo lapar ngaku aja, ntar aku bagi ini..” sahutku sambil mengelus kepala Feri.
Feri pun nyengir kemudian langsung menganggukan kepalanya.

Nah benar kan? Ku buka ikatan kantong plastiknya sehingga Feri bisa melihat cemilan yang ada disitu. Pintu kamar Ibu pun terbuka , Ibu sedang mengenakan sweater dan celana panjang.
“kedinginan bu?” ujarku mendahului beliau bicara.
“iya! Udah, buruan masuk!” ujar Ibu dengan nada jengkel. “fer, kamu mau masuk juga atau mau lagi mau cari makanan?”
“ini makanannya bu!” ujarku mengancungkan bungkusan makananku sambil menuntun Feri masuk.

Ibu terlihat lebih muda meski wajahnya sedang lelah. Terlihat lebih muda karena bahagia. Yeah! Ibu bahagia dengan pilihannya yang menjadi tenaga didik di daerah terpencil. Sesuatu yang sangat beliau impikan sejak muda dan ditekuni sepenuh hati. Kuoper kantung makananku ke Feri dan langsung kupeluk Ibu. Erat sekali, aku rindu sekali dengan beliau ini. Setelah sekian lama terpisahkan jarak karena obsesi mulia Ibu.
“udah gede juga, masih peluk-pelukan gini..” ujar Ibu seraya mengelus-elus kepalaku. “gak malu tuh diliatin Feri?”
“anggap aja saia gak ada bu..” ujar Feri sambil ke pojokan ruangan.
Ibu menggeleng-gelengkan kepala kepadaku. Sedang aku langsung memasang cengiran lebar.

“Ibu gak kangen apa sama Adit?” tanyaku dengan manja.
Ibu langsung memelukku dengan erat, ini pelukan yang sangat kurindukan. Yang terakhir kurasakan saat aku menjelang aku masuk pesantren.
“kangenlah.. masak Ibu gak kangen sama anak semata wayang Ibu ini..” ujar Ibu dengan nada bergetar, bisa kurasakan ada rasa rindu yang luar biasa. “sering Ibu teringat kamu dit, apakah kamu udah makan? Apakah kamu udah bisa nyuci baju dengan benar..”
“ah Ibu mikirinnya sesuatu yang enggak banget!” protesku sambil mendongakan kepalaku ke arah wajah Ibu. “pikirin ke’ apa Adit udah jadi orang kaya, udah beli sebuah pulau di kepualaun seribu atau udah bikin kompleks perumahan,”

Ibu mencubit pipiku sampai merah, “masih gak berubah ya, pengkhayal kelas berat..”
Aku tertawa hehehe. Mungkin saja didengar malaikat dan dicatat untuk dilaporkan kepada Tuhan. Dan di-ACC deh, aku pasti sangat bersyukur atas itu.
“oh iya, Lena gimana dit?”
“uhuk! Uhuk!” Feri yang ada diujung sana terbatuk-batuk saat sedang melahap humberger.
“maaf-maaf, tadi keselek. Anggap aja aku gak ada..” ujar Feri kembali pura-pura tidak ada disitu.
Ibu kembali beralih kepadaku.

“Lena minta cerai kalau Adit masih ngotot buat menemui Alvin..” ujarku lirih.
Ibu tersentak kaget mendengarnya, “kok bisa? Kenapa?”
“entahlah bu, mungkin karena Adit gak pernah kasih dia..” aku ragu untuk jujur kepada Ibu, tapi sepertinya jujur itu harus meski menyakitkan. “Adit gak pernah kasih dia nafkah batin..”
“APA???!” Ibu sontak melepas pelukannya dariku, dia menatapku tidak percaya. “tega sekali kamu sama dia dit?!”
“iya bu, Adit tau..” aku mengusap-usap belakang kepalaku. “adit kayaknya kebanyakan menyesali kepergian Alvin, bu. Sampai-sampai dia agak terlantarkan..”
“ya tapi gak segitunya juga dit! MasyaAllah..” Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.
Sepertinya aku menyesal sudah jujur, reaksi Ibu lebih dari yang kuduga.

“tapi diluar dari hal yang itu, Adit seratus persen menjamin kebutuhannya dengan baik kok!” aku mencoba membela diri. Lena tidak pernah kekurangan finansial, kasih sayang ataupun kebutuhan lain-lain selain yang itu.
“kamu itu gak peka sekali sih jadi laki-laki..” tambah Ibu dengan dahi ditekuk.
Dan niat hatiku yang ingin kangen-kangenan mengharukan malah jadi diceramahi selama setengah jam nonstop. Butuh strategi jitu untuk bisa mengalihkan perhatian Ibu. Feri di ujung sana terlihat agak tegang mendengar pengakuanku, mungkin dia tidak menyangka aku sekejam itu kepada kakaknya. Sepertinya salah juga mengajak Feri kesini.

Setelah setengah jam menceramahiku, Ibu jadi mengantuk dan langsung tidur di kamar. Jangan heran, hotel ini di dalam kamar ada kamar. Lebih mirip seperti apartemen gitu.
“inget dit, nanti pokoknya kamu harus minta maaf kepada Lena!” pesan Ibu sebelum menutup pintu kamarnya.
“iya bu..”
“jangan cuma iya iya doank..”
“laksanakan kanjeng!”
Dan Ibu menutup pintu kamarnya. Hatiku lega, akhirnya selesai juga penderitaanku ini. Lebih baik aku dicambuk seratus kali daripada mendengarkan omelan Ibu.

Saat aku sedang menggaruk-garuk kepala Feri memanggilku pelan.
“kak adit..”
“iya fer..” jawabku sambil menoleh ke arah anak itu.
Wajahnya sekarang malah terlihat sedikit pucat. Padahal seharusnya kan aku yang memucat sehabis mendapat kuliah tiga puluh menit dari Ibu.
“ada yang mau aku omongin kak..” ujar Feri.
“yaudah, bilang aja..”
“tapi jangan disini..”
“emang kenapa?” sepertinya sebuah top secret nih.
“ngomonginnya di tempat yang lebih tenang aja,” sahut Feri sambil menengok kiri-kanan. Padahal di lorong kamar ini memang tak ada siapa-siapa selain kami berdua. “taman samping hotel aja, gimana?”
Aku melirik ke arah jam kukuk di ruang depan, masih jam delapan lewat sepuluh, belum terlalu malam.

Aku dan Feri pun beranjak dari kamar menuju taman belakang. Aku lagi-lagi terkesan melihat desain taman yang cukup artistik. Tanaman pagarnya diatur sedemikian rupa dengan bentuk yang lucu-lucu. Ada yang berbentuk gajah bersayap, ikan terbang sampai boneka salju. Feri menunjuk sebuah bangku di dekat air mancur dan kami pun melabuhkan pantat kami disitu. Di jam segini masih ada beberapa orang yang sedang menghabiskan waktunya di taman. Apa mereka tidak kedinginan ya? Aku saja mulai menggigil.
“kak..” panggil Feri pelan.
“eh iya..” hampir saja aku lupa dengan Feri yang terabaikan sejenak. “kamu mau ngomong apa fer?”
“hmmm.. tadi aku denger.. kakak sama kak Lena.. cerai?” Feri terlihat agak ragu untuk menyinggungnya.
Aku menganggukan kepalaku karena agak malas menjawabnya.
“karena kakak ngotot.. mau ketemu Alvin?”
Sepertinya Feri sudah tau jawabannya. Kujawab lagi dengan anggukan, berat saja rasanya mengatakan ‘iya’. Dan tampaknya Feri mengerti topik yang sedang kami bicarakan ini sesuatu yang tidak kusukai.

“apa menurut kakak itu gak terlalu berlebihan.. kalau kak Lena minta cerai hanya karena itu?” lanjut Feri dengan hati-hati mengucap kata.
“bukannya sudah jelas, alasannya karena itu!” jawabku dengan nada sedikit jengkel. Apa anak ini tidak memperhatikan obrolanku dengan Ibu tadi?
“kak Adit kaya gak kenal kak Lena aja,” ujar Feri sambil menghela nafas panjang. “kak Lena kan sayang banget sama kakak, meskipun kakak.. agak mengecewakan dia soal yang itu..”
“maksud kamu??!” mendadak aku sewot, gak enak juga lah cink dibilang begitu sama anak bocah yang bahkan belum ada pengalaman seputar pernikahan.
“maaf kak, bukan maksud Feri nyinggung..” Feri buru-buru minta maaf, ia mendesah nafas pendek. “ada alasan lain yang membuat kak Lena mengambil keputusan ekstreme kaya gitu!”

“alasan apa?” aku mengerutkan dahi. “apa ini tentang aku dan Alvin?”
Feri diam sejenak, sepertinya ia sedang mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu yang top secret itu. Dan aku cukup penyabar menunggu Feri membuka mulut.
“ini.. soal kak Alvin dengan..” Feri berbicaranya sepotong-potong seolah sedang mencoba memberikan efek dramatis seperti di sinetron-sinetron.
“dengan siapa fer?” desakku dengan memasang tampang serius.
“ini soal kak Alvin denganku,” jawab Feri pelan.

“kamu?” aku jadi tambah bingung deh.
“I love your little brother,” ujar Feri pelan.
“what?!”
“aku menyukai adikmu itu, kak!” Feri menjawab sedikit keras.
Dan malah aku yang panik, aku menengok ke kiri-kanan memastikan tak ada yang dengar. Dan untunglah orang-orang disini sedang sibuk dengan diri mereka sendiri. Sekarang mataku kembali mengarah kepada Feri, kutatap anak ini dengan tatapan tidak percaya. Ferdian Adhiyanto, satu-satunya adik laki-laki Lena yang punya prestasi top di bidang akademik, berkarakter dan good-looking ini.. ternyata sama seperti Alvin?? sama-sama sakit?? Eh jangan, tidak boleh bilang begitu (teringat pesan Ayah).

“dan aku mengakui itu kepada kak Lena..” lanjut Feri pelan.
“apa??!” aku bergidik membayangkan reaksi Lena seperti apa. Aku tau Lena sebenarnya agak anti dengan orang-orang menyimpang. Tapi dia menghormatiku dengan tidak terlalu frontal ketika kebetulan kami membahas soal mereka, sebab Alvin salah satu dari mereka itu.
“sebenarnya yang waktu aku menginap ke rumah kakak itu, bukan cuma sekedar mau refreshing menjelang lomba..” lanjut Feri sambil menundukan kepala. “tapi karena memang kak Lena ingin menbicarakan sesuatu denganku. Kak Lena curiga, Vita begitu ngotot untuk bisa memenangkan lomba denganku ini. Sampai Vita sakit karena terlalu memforsir diri belajar..”

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku masih tidak percaya. Seseorang seperti Feri ternyata penyuka sesama jenis? Alvin seorang gay saja aku terkejut apalagi Feri yang jelas-jelas sangat lelaki. Dunia oh dunia.

“Vita punya alasan mengapa dia memaksakan diri mengikuti lomba yang sebenarnya tidak terlalu dia sukai, kak..” ujar Feri melanjutkan. “Vita tau aku menyukai kak Alvin, dan kakak sendiri tau Vita juga menyukai kak Alvin. Dia taruhan denganku, jika dia berhasil memenangkan lomba itu aku harus menyerah untuk mendapatkan kak Alvin.
Demi obsesi cintanya itu dia benar-benar berusaha keras, sepulang sekolah mengurung diri di kamar untuk belajar, browsing mencari materi, privat dengan guru sampai kemana-mana menenteng buku. Yang dia pikirkan adalah bagaimana memenangkan lomba itu, aku sudah bilang agar dia jangan memaksakan diri, tapi dia tetap kekeuh dengan tekadnya itu hingga jatuh sakit. Pada akhirnya Vita gagal ikut lomba karena harus dirawat karena kelelahan. Tapi dia tidak terima, sampai-sampai sedang dirawat pun dia ngotot ingin pergi ke tempat lomba..”

Tak kusangka sebegitu besarnya cinta Vita kepada Alvin. Hingga dia rela memaksakan dirinya seperti itu. Memang yang namanya wanita kalau sudah berurusan dengan yang namanya cinta pasti rela berkorban dengan sangat.

“kak Lena yang khawatir dengan kondisi Vita pun mencoba berbicara dari hati ke hati. Vita malu menjawabnya dan melemparkan kepadaku. Alhasil aku dipaksa mengaku oleh kak Lena..”
Aku tidak mau membayangkan kata-kata apa saja yang terlontar dari mulut Lena saat ia mendengar pengakuan adik laki-laki kesayangannya ini.
“kak Lena marah, dia sangat marah. Dia jadi membenci kak Alvin, aku dan Vita bersaing untuk mendapatkannya. Dan kata kak Lena, perasaanku ini.. sungguh tak wajar, tidak normal dan.. menjijikan,”

Perlahan kudekap Feri, aku tau yang dia rasakan ini berat sekali. Terlebih kata-kata dari kakaknya sendiri. Kuelus-elus rambutnya yang hitam seperti malam itu. Feri membenamkan kepalanya di dadaku, bisa kurasakan isak tangisnya ia tumpahkan.
“sabar ya de. Nanti aku akan bicarakan lagi kepada Lena..” ujarku mencoba menghibur anak itu.
“ka..karena itu kak Lena ngotot bercerai dari kakak. Karena kakak.. mau mencari kak Alvin,” isak Feri sesunggukan dalam dekapanku. “kak Lena.. tidak mau ada kak Alvin di kehidupannya. Dia bahkan menyuruhku agar tidak berhubungan lagi dengan kak Alvin.. jika kak Adit sudah membawa pulang kak Alvin. Aku ikut Ayah dan.. Ibu kak Adit saja diam-diam, biar kak Lena panik sekalian..”
Waduh! Nekat juga ini anak, tapi bagus juga sih bentuk protes dia. Salah satu cara membuat Lena meluluhkan pendiriannya adalah membuatnya panik.
“yaudah, it’s okay! Semua insyaAllah akan baik-baik saja. Yang penting besok kamu ketemu Alvin kan?”
Mendadak isak tangis Feri berhenti, dia jadi jauh lebih tenang.

Sebuah pengakuan yang cukup mengejutkanku, aku tidak tau harus menanggapinya bagaimana. Feri sudah kembali ke kamar, aku cuma sempat cium tangan kepada Ayah tanpa mampir dulu. Waktu sudah semakin larut, aku tidak enak dengan motor Revan yang kupakai sejak tadi sore. Aku pun pamit pulang a.k.a kembali ke istana Syah. Jam sudah menunjuk pukul setengah sepuluh, dan istana Syah sudah sepi seperti gedung sekolah. Dengan gerakan sedikit menyelinap aku ke kamar Revan.

Kudapati Revan belum tidur, dia sedang asyik berkutat dengan laptopnya di tempat tidur.
“selamat datang pak Firdaus, gimana jalan-jalannya? Seru?” tanya Revan tanpa mengalihkan matanya dari layar laptop.
“lumayan, Ayah dan Ibu gue udah ada di Bandung. Tadi gue abis ketemu sama mereka..” sahutku sambil meletakan kunci motor di meja.
“wah, kenapa gak suruh nginap disini aja?”
“ya gak enaklah bro, ngerepotin banget ntar..”
“selaw aja kali ama gue dan keluarga. Kamar ada banyak bisa dipilih mau yang mana dengan nuansa yang berbeda-beda pula..”
“lah udah kaya hotel?”
“bukan hotel, kan kata lu rumah kontrakan?”
Kujitak saja kepala Revan, itu anak cuma tertawa-tawa cekikikan saja sambil kembali mengetik dengan lihainya.

“chattingan ama ade lu?” tanyaku sambil mengintip ke layar laptop Revan.
“yep..” jawabnya kembali mengetik balasan chatting dengan lihainya.
Tampilan biru salah satu jejaring sosial yang sangat terkenal, sayang aku tidak terlalu minat dengan jejaring sosial. Jika ada perlu SMS saja, hahaha.
“nama FB lu apa dit?” tanya Revan sambil membuka tab baru di perambannya.
“Adit One..” jawabku sambil tidur tengkurap di sebelah Revan, menatap aktifitas Revan di layar laptopnya.
Revan mengetik dengan cepat username-ku itu. Tampak mutal friendsku macam Karim, Fandi dan Tio.
“aah! Foto fb lu masak cuma dua? Gak pernah diupdate, gak diprotek pula..” komentar Revan seolah perbuatanku itu adalah perkara pidana yang tidak berperikemanusiaan.

“eh eh, ini foto lu sama Alvin ya di depan museum Fatahillah Kota Tua?” tanya Revan sembari menunjuk sebuah foto. Cepat sekali perhatian anak ini teralihkan.
Iya itu! Tapi kapan aku mengunggahnya ya? Kok aku tidak ingat?
“Alvin manis juga ya..” gumam Revan sambil bertopang dagu memperhatikan foto Alvin yang waktu itu masih SMP.
“siapa dulu donk kakaknya..” sahutku dengan nada bangga.
“beda jauuuh! Alvin itu kaya orang chinese sedang lu jelas banget pribuminya..” komentar Revan yang jelas-jelas Jleb! Sekali.
Sekali lagi kujitak anak itu lalu aku melompat dari tempat tidur menuju kamar mandi. Aku mau sholat isya kemudian tidur. Besok ada permainan yang harus kulakukan dengan Agung. Permainan yang begitu menyebalkan.

***

Mataku terbuka perlahan, kuraih ponselku yang ada diatas meja: jam lima pagi. Kulirik Revan yang masih tertidur dengan nyenyaknya. Masih seperti kemarin, dia memelukku dengan erat seakan aku guling, telanjang dada pula. Kalau ada orang rumah mendapati kami sedang seperti ini bisa-bisa terjadi fitnah nih. kutatap langit-langit kamar, membayangkan permainan macam apa yang akan diberikan Agung. Kemudian kulirik Revan yang kepalanya bersandar di dadaku, anak ini malah mempercayai Agung seratus persen. Dukun mana sih yang jadi langganan Agung itu? hebat sekali ilmunya, aku juga mau donk *eh?!

Perlahan kupindahkan posisi kepala Revan ke bantal, aku ingin keluar mencari udara segar. Jantungku sedang berdetak tidak karuan.
“dit.. jangan pergi,” Revan ngelindur sambil mencoba menyambar tanganku tapi tidak kena.
Walah! Ini anak lucu juga, diam-diam kuelus kepalanya dengan lembut seperti yang sering kulakukan kepada Alvin.
“Adit gak akan kemana-mana kok, van..” bisikku iseng ingin tau reaksinya.
Dan reaksi Revan yang mengangguk-angguk pelan lalu kembali nyenyak. Aku menekuk alisku, kucubit saja pipi Revan sampai merah. Kulitnya kencang juga, ini salah satu yang jadi pembeda orang kaya dengan orang pinggiran.

Aku lalu meninggalkan Revan, sekeluar kamar bingung juga mau kemana. Rumah ini terlalu luas dan banyak pilihannya membuatku jadi bingung. Aku tiba-tiba teringat kolam renang jadi kuputuskan untuk kesana. Atmosphere-nya kan meneduhkan sekali, terlebih momen melihat sunrise. Jujur aku lebih suka melihat matahari terbit daripada matahari terbenam. Meski orang bilang panaroma matahari terbenam itu romantis tapi masih lebih menarik melihat matahari terbit. Saat melihat matahari terbit aku serasa melihat suatu kebesaran Allah yang luar biasa. Jiwaku bergetar dan lisanku tergerak mengucap asmaMu Yang Agung.

Oalah! Lagi-lagi ada saja yang membuatku teringat dengan orang itu. Seseorang yang jauh dari makna agung sendiri. Dengan penuh semangat kubuka pintu kaca itu, di ufuk timur sana langit masih didominasi sebagian malam yang belum hilang. Aku mendengar melodi lagu Evanescence yang My Immortal, dan kebetulan sedang memutar lirik yang paling aku sukai. Aku diam sesaat untuk meresapi bagian yang itu.
I’ve tried so hard to tell myself that you’re gone
But though you’re still with me
I’ve been alone all along
Pelan-pelan aku menoleh ke arah sumber lagu, dan kulihat Rena sedang duduk di kursi malas tak jauh dari tempatku berdiri. Dia tersenyum kepadaku.

“pagi sekali kamu bangun dit..” sapanya dengan ramah. “gak sabar ya mau liat Alvin tampil hari ini?”
“iya nih kak..” jawabku singkat. Tapi mungkin aku tidak akan sempat melihat Alvin bertanding, sebab aku ada misi suci demi menyelamatkan umat manusia (-____-‘).
“dulu aku pernah lho ketemu Alvin, sekitar satu tahun yang lalu..” ujar Rena menerawang masa lalu.
“oh iya?! dimana kak?”
“aku masih ingat, waktu itu aku singgah ke sebuah masjid untuk buang air kecil. Tanpa sadar aku membakar rokok padahal masih ada di lingkungan masjid. Dan anak itu dengan gaya seperti orang dewasa memintaku mematikan rokok itu lalu pergi dengan jumawanya..”
“sok tua banget itu anak,” aku tersenyum membayangkannya. Oh Alvin adikku.
“dan aku gak nyangka bakalan bertemu lagi sama dia,” tambah Rena sambil tersenyum menggeleng-gelengkan kepalanya. “di sekolah lamaku pula, sebagai kapten tim basket. Kamu pasti bangga ya sebagai kakaknya..”

“i..iya eh pasti itu kak..” jawabku malah mendadak gagap. “tumben kak Rena nongkrong disini? Biasanya di taman yang bawah?”
Sepertinya pertanyaanku itu agak bodoh deh, aku jadi ngeri dia menjawab:
‘ini kan rumah gue, mau di taman bawah kek, mau di kolam renang lantai dua kek, atau di atas pohon beringin kek, suka-suka gue donk! Masalah gitu buat lo?’
Cukup dengan khayalan tingkat tinggiku.

“lagi mau cari suasana baru aja biar gak bosen,” jawab Rena mulai membakar rokoknya. Rena menawarkan rokoknya kepadaku. Entah setan apa yang menghipnotisku sehingga aku menerima dan ikut membakarnya juga. Tak kusangka rokok bisa senikmat ini.
“aku baru tau kamu ngerokok juga dit,” celetuk Rena sambil menghembuskan asapnya seperti asap kereta api.
“lagi stress aja kak,” sahutku sambil menikmati racun ini. Dulu aku begitu membenci rokok dan budak-budaknya tapi sekarang aku menjilat ludah sendiri, aku malah menikmati rokok ini.
Rena tersenyum mendengar jawabanku, sebuah jawaban standar dari orang-orang yang tiba-tiba merokok.
Aku ingat Rena berjanji akan melanjutkan obrolan yang waktu kami di masjid, tapi aku sedang tidak berselera untuk menagihnya.

Mentari di ufuk timur perlahan menampakan dirinya dengan malu-malu, cahayanya indah sekali membuka cakrawala pagi ini. Pemandangan hijau kebun teh disana yang tadinya gelap perlahan bermandikan cahaya matahari yang keemasan, benar-benar menggetarkan jiwaku.
“subhanallah..” gumamku melihatnya sambil tersenyum lebar.
Betapa indah ciptaan Allah ini, dan begitu beruntung aku bisa melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.

Setelah beberapa menit melihat terbitnya sang surya aku mematikan rokokku dan beranjak.
“duluan ya kak, ada misi suci yang harus kuselesaikan dulu,” ujarku kepada Rena.
Rena menganggukan kepala sambil tersenyum, aku pun melangkah pergi meninggalkannya.
“dit..” panggil Rena sebelum aku menghilang di balik pintu kaca. Aku menghentikan langkahku dan langsung menoleh ke arahnya. “good luck!”
Aku tersenyum menganggukan kepala seraya mengancungkan jempolku, lalu dengan so cool (baca: sok kuul) melanjutkan langkahku.

Aku kembali ke kamar Revan, mandi kemudian bersiap-siap. Sholat shubuh dulu meminta ridho Ilahi, semoga aku bisa memenangkan permainan ini. Dan sepertinya aku harus meminjam motor Revan lagi. Revan masih meringkuk malas di tempat tidurnya.
“van..” bisikku pelan di telinganya. Anak itu malah membenamkan dalam-dalam wajahnya ke bantal.
“Revan..” panggilku lagi sambil memelintir telinganya.
“hmmmm..”
“pinjam motor lagi ya..”
“iya bro, apa sih yang enggak buat lu..” gumam Revan dibalik bantal.
“terima kasih,”
Aku menatap sekilas Revan yang kembali ngulet membalikan badannya mencari posisi tidur yang enak. Betapa beruntung aku punya teman sebaik dia. Kemudian aku menutup pintunya pelan dan beranjak pergi.

Jam menunjuk setengah enam kurang sepuluh, aku langsung memacu motor dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Jam setengah enam pas aku dan Agung janjian di sebuah taman bunga dekat sekolah. Kuparkir motorku di depan, sekilas kupandangi taman yang sepertinya sudah tidak terurus ini. Taman bunga apanya? Tanamannya saja hanya tinggal pohon mati dan semak yang tidak beraturan. Saat sedang asyik memperhatikan taman ini, aku menangkap sosok seseorang yang sedang duduk di pinggiran pancuran air yang sudah mati. Orang itu tak lain dan tak bukan adalah Agung, takkusangka orang semacam dia itu bisa datang lebih awal.
“jam setengah enam kurang dua menit, kupikir mas Adit bisa jauh lebih awal. Mengecewakan sekali..” ujar Agung sambil berdecak panjang.
“gak usah banyak bacot dah, to the point aja!”

Agung tersenyum licik, “permainannya gampang, mas Adit cuma perlu menemukan sebuah benda berharga milik Alvin di taman ini aku sudah meletakannya di sebuah tempat yang tersembunyi, jika mas Adit berhasil membawanya ke hadapanku sebelum pertandingan Alvin selesai maka aku gak akan mengganggu ALvin lagi. Tapi kalo mas Adit gagal dan tidak kembali sebelum waktu yang sudah ditentukan, mas Adit harus menghilang dari kehidupan Alvin, selamanya..”
Aku menelan ludah mendengarnya. Ya Allah, kok aku bisa ketemu dengan penghuni rumah sakit jiwa yang kabur seperti ini sih?!
“petunjuknya mudah kok mas,” ujar Agung kemudian melangkah menuju pintu keluar. “benda itu ada di pohon kenangan, sebuah kenyataan yang pahit..”
“hah?”
“happy finding,” ujar Agung seraya meninggalkanku.
Ah anak menyebalkan! Taman ini tidak terlalu besar, tapi bukan perkara mudah menemukan sebuah benda yang bahkan aku tidak tau apa.

Aku memandang sekeliling taman yang merupakan kumpulan pepohonan mati yang menyisakan batang & ranting tanpa daun serta semak dan tanaman liar dimana-mana. Di tengah-tengah taman ada sebuah kolam air mancur rusak yang tadi diduduki Agung. Aku memandang sekilas pemancur air di kolam itu yang berbentuk patung wanita memakai kemben berpose menuang air dengan jambangannya. Kupikir model kolam air mancur seperti ini mahal, terbuat dari batu candi. Dulu taman ini pasti taman yang ramai dan indah. Hei! Ada misi yang harus kucapai dulu! Antara hidup dan mati ini, ayo Adit! Fokus fokus. Dan kini aku, Aditya Firdaus mulai melakukan pencarian.

***
Alvin tampak gelisah, dia tidak mendapati Agung di tempat tidur. Dia khawatir Agung sedang merencanakan sesuatu lagi. Alvin menyambar sweater putih untuk menutupi dadanya yang telanjang, ia segera meluncur keluar mencari Agung. Entah kenapa dia merasa punya firasat buruk. Begitu Alvin tiba di tangga ia akhirnya melihat sosok orang yang dicarinya, Agung sedang menaiki tangga sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Melihat kehadiran Alvin dihadapannya Agung langsung tersenyum, namun Alvin langsung membuang pandangannya.

“nyariin aku ya babe?” tebak Agung yang memang pandai membaca pikiran.
“kegeeran kamu!” jawab Alvin langsung berbalik kembali ke kamar, rasa penasarannya sudah hilang ini.
Tiba-tiba Agung sudah berada disamping Alvin dan merangkulnya dengan mesra.
“apa-apaan sih?!” Alvin memberontak, tapi sayang dia kalah kuat dari Agung.
Agung tetap memaksa Alvin dalam posisi rangkulan bak sepasang kekasih itu. Mau tidak mau Alvin harus menyerah, hari ini akan menjadi hari yang bersejarah, dia tidak boleh bermasalah.
“gak usah pura-pura kalo kangen,” bisik Agung di telinga Alvin, dekat sekali hingga bibirnya bersentuhan dengan daun telinga Alvin.
Alvin bergidik saat salah satu titik rangsangnya itu disentuh. Agung tersenyum mesum sembari mengacak-acak rambut Alvin.
“aku paling suka aroma tubuh kamu kalo belum mandi,” bisik Agung lagi. Alvin langsung menyabet perut Agung karena kesal, Agung hanya tertawa pelan seakan sabetan tadi tidak ada rasanya.

Setiba di kamar Agung langsung mengunci pintunya.
“kamu dari mana?” tanya Alvin dengan dingin.
“jalan-jalan..” jawab Agung sambil melompat ke tempat tidur. “sini donk de, tiduran di sebelah aa..” ujar Agung seraya menepuk-nepuk sisi kosong di sebelahnya.
Alvin melempar sweater putihnya tepat di muka Agung kemudian menyambar handuk yang tergantung di belakang pintu dan gayung berisi peralatan mandinya.
“hmmm.. gak ada aroma parfum di dunia ini yang bisa menandingi aroma tubuhmu, babe..” Agung menggombal, tapi gombalan itu hanya membuat Alvin makin jengkel.

“kakak kamu manis juga ya. Orangnya baik dan rela berkorban, pantas saja kamu naksir berat sama dia..” ujar Agung sambil memandangi sweater putih Alvin.
Alvin terdiam mematung sejenak di depan pintu yang baru terbuka setengah, kemudian ia langsung melengos pergi seakan tidak peduli dengan kata-kata Agung. Sedang Agung cuma tersenyum menatap jemarinya yang menghitung mundur sambil mengendus-endus sweater Alvin.

Tebakannya jitu, Alvin kembali ke kamar masih dengan handuk di pundak kirinya tanpa memakai baju atasan dan celana panjang piyama. Wajahnya terlihat cemas dan menyimpan semacam rasa waswas akan sesuatu.
“apa yang kamu lakukan dengan kakakku?” tanya Alvin lirih, ia langsung mengunci pintu dan menghampiri Agung.
“cuma sebuah permainan kecil kok vin..” ujar Agung kemudian beranjak ke posisi duduk di tepi tempat tidur, ia terlihat begitu senang karena mainannya terpancing.
“main barbie?” sergah Alvin jengah dengan Agung yang terlalu bertele-tele.
Agung langsung berdiri dan mengecup bibir Alvin, tangan kanannya menahan kepala Alvin dan tangan kirinya memeluk tubuh Alvin menahan agar tubuh mereka tetap saling berdempet. Tindakan Agung yang tiba-tiba itu membuat Alvin tak sempat menghindar, lagi-lagi dia harus kembali pasrah dengan perlakuan Agung.
Agung dengan leluasa menikmati manisnya bibir Alvin. Ciuman itu berlangsung lumayan lama, sebab Agung sangat nafsu kalau berciuman.

Terdengar suara pintu kamar diketuk, kesempatan Alvin untuk menghentikannya tapi Agung masih tetap ngotot tak mau melepas kenikmatan sepihaknya. Ketukan di pintu makin kencang dan sering sehingga mau tak mau Agung harus menyerah kepada situasi. Alvin menyeka bibirnya dengan handuk sebelum membuka pintu, dan ia terbelalak melihat orang-orang di depan pintu. Mereka adalah Ayah, Ibu dan Feri. Alvin jelas-jelas senang melihat kedua orang tua angkatnya, tapi si Feri gimana ceritanya? Tanpa buang waktu Alvin langsung memeluk Ayah kemudian Ibu. Dengan Ibu Alvin lebih lama memeluknya, rindu sekali pastinya.
“masyaAllah vin, Ibu kangen banget sama kamu..” ujar Ibu mendekap erat tubuh Alvin. Seandainya Ayah dan Feri ikut-ikutan berpelukan makan mereka akan tampak seperti Teletubies.
“Alvin juga kangen Ibu..” ujar Alvin tak kalah erat mendekap tubuh Ibu. “maafin Alvin bu..”
Selesai berpelukan dengan Ibu, Feri langsung menyambar tubuh Alvin. Gantian mau meluk. Pelukannya erat sekali sampai Alvin kesulitan bernapas.
“kamu sendiri kesini?” tanya Alvin agak waswas mencoba mencari sosok Lena atau Vita.
“enggak lah, kak! Aku sama oom dan tante..” jawab Feri sambil nyengir.
“yaudah, daripada diri kaya patung mending kita masuk..” ujar Alvin mengajak Ayah, Ibu dan Feri masuk ke kamar.

Agung tau diri dan memilih meninggalkan mereka untuk reunian keluarga. Sebenarnya agak kesal juga sih karena kedatangan keluarga Alvin itu mengganggu kesenangannya. Dia masih belum puas menikmati Alvin. Agung memilih duduk-duduk di beranda atas gedung sekolah, tempat Alvin menyendiri semalam. Dia membakar rokoknya yang tinggal sebatang lalu membuang bungkusnya ke bawah. Kepulan asap nikotin itu setidaknya bisa mengusir segala rasa frustasi. Di lapangan yang masih pagi ini tampak beberapa guru dan murid saling berkoordinasi mempersiapkan untuk pertandingan final. Agung tersenyum mengejek.
“buang-buang tenaga aja..” gumamnya sendirian sambil menghisap rokoknya.
Yang pasti mereka yang sedang sibuk dibawah sana pasti bangun lebih pagi untuk melakukan persiapan ini itu. Padahal kemarin-kemarin semua tampak cuek-cuek saja dan lebih fokus untuk memfasilitasi kebutuhan tim basket.

Tanpa terasa rokoknya sudah habis, putungnya kembali dibuang ke bawah, biar tukang sapu saja yang membersihkan sampah-sampahnya. Dari atas sana Agung mengamati semua kesibukan dan hiruk-pikuk tersebut, hingga dalam waktu satu jam lapangan sudah rapi dan siap digunakan. Waktu terus berjalan, perlahan tim dari sekolah Budi Luhur datang dengan jaket kebesaran tim basket mereka. Disusul rombongan suporter serta beberapa rombongan dari sekolah lain yang ingin melihat pertandingan final. Tim basket Budi Luhur yang semua anggotanya bertubuh kekar dan atletis tampak cukup percaya diri. Mereka memang remaja-remaja yang tampan, beberapa kali diteriaki oleh gadis-gadis. Agung sudah pernah melihat mereka, tapi baginya Alvin seribu kali lebih menarik.

Alvin dan timnya sedang mendengarkan pengarahan dan pak pelatih dan kepala sekolah. Tak jauh dari situ oom Fian mengawasi, beliau tau bapak kepala sekolah kadang sedikit frontal kalau menyemangati anak-anaknya. Dan diseberang sana tim SMAK Budi Luhur juga sedang memberikan pengarahan juga. Ayah, Ibu dan Feri duduk di barisan paling depan, Revan sedang sibuk memilah cemilan untuk mereka habiskan sepanjang pertandingan, sedang Rena entah ada dimana. Hari ini kegiatan belajar-mengajar sengaja ditiadakan mengingat momen hari ini sangat penting.

Waktu pun menunjuk menunjuk pukul delapan kurang lima belas menit, pembukaannya diawali dengan beberapa cingcong dari kepala sekolah dan penyelenggara turnamen. Omongan mereka tak lain tak bukan adalah untuk sportif dan menegaskan kalah menang sama saja. Di lain sisi kedua tim yang akan bertanding tampak saling pasang tampang garang terlebih Alvin yang menatap lurus-lurus ke arah kapten tim basket Budi Luhur yang bernama Herdy. Alvin tersenyum menantang ke arah Herdy sambil memasang handband kapten di lengan kirinya.

Begitu jam berdentang tepat pukul delapan, saat yang ditunggu-tunggu pun akhirnya datang. Kedua tim itu memasuki lapangan dan berbaris rapi saling berhadap-hadapan. Perbedaan tinggi antar tim terlihat mencolok tapi hal itu bukan menjadi faktor penentu kemenangan, ini soal kekompakan tim (by Rendi) dan having fun with the games (by Rena). Alvin bersama timnya yakni Heru, Toni, Wahid dan Zami sedangkan timnya Herdy yakni Tomi, Johan, Mike dan Edi. Setelah lempar koin tim Alvin yang mendapat kesempatan melempar bola. Bola dilempar tinggi ke udara, meski kalah tinggi tapi Alvin bisa merebut bola itu dan menggiringnya dengan gesit. Mike yang bertubuh tinggi besar langsung menghadang dribling-nya, Alvin langsung mengoper ke Wahid yang gerakannya lebih gesit. Dan Wahid dengan kelihaiannya mengecoh Tomi yang mencoba merebut bola.

Permainan tim Herdy sangat bagus dan mereka pandai memanfaatkan peluang, sedang tim Alvin juga tampil dengan baik namun mereka lebih menikmati permainan basket ini. Setidaknya begitulah penilaian Agung selama sepuluh menit terakhir. Matanya tak berhenti mengawasi Alvin yang bermain dengan penuh semangat. Tanpa disadari Agung pun tersenyum.

“memang lebih enak melihat pertandingan dari sini ya?” ujar seseorang mengagetkan Agung.
Anak itu langsung menoleh ke arah sumber suara yang seorang wanita. Rena tersenyum anggun kearahnya.
“Agung Sugiharto? Benar-benar jauh dari nama Reynaldi Prasetiyo Agung..” ujar Rena sambil menghisap rokoknya dan menatap ke arah pertandingan yang makin memanas. “kamu benar-benar tidak pandai mengarang nama..”
Entah kata-katanya barusan mengejek Agung atau hanya sebuah gumaman isengnya.

“mau rokok?” tawar Rena sembari menyodorkan rokoknya kepada Agung. Saling berbagi kepada sesama perokok aktif adalah suatu kebaikan juga.
Rejeki seperti ini tentu tidak akan ditolak Agung, mubadzir! Dia langsung mengambil sebatang dan membakarnya. Dari tadi mulutnya sudah asam karena sejak pagi baru icip sebatang.
“gak nyangka bisa bertemu dengan seorang Rena Awalia Syah di tempat macam ini..” ujar Agung seraya melirik sebentar ke arah Rena. “wanita bodoh yang salah mempercayai impian, cinta dah harapannya kepada seorang bajingan..”
“begitukah caramu menghormati abangmu?” celetuk Rena seakan tidak menggubris ejekan Agung tadi.
“orang itu sama sekali tidak pantas kupanggil abang. Lagipula dia sudah mati, dia tidak akan mempermasalahkan bagaimana aku memanggilnya..”
“suatu saat kamu akan memanggilnya abang, percayalah..”

Agung hanya tersenyum sinis, ia kembali memperhatikan jalannya pertandingan. Skor sekarang adalah 12-8 untuk tim Budi Luhur. Alvin dan kawan-kawan harus bisa membalikan keadaan.

***

Aku sudah enam belas kali memutari taman ini, tanganku pun sudah kotor karena menggali tanahtapi hingga saat ini masih tidak bisa juga menemukan benda itu. Kutendang saja ranting kering di dekat kaki, aku sebal sekali dengan Agung. Aku kan paling tidak bisa bermain teka-teki macam ini, aku bukan detektif Conan yang bisa memecahkan teka-teki dalam sekejap. Agung memang sengaja melakukan permainan yang tidak bisa kumenangkan. Tenang Adit, tenang! Semua harus diselesaikan dengan kepala dingin. Aku duduk di pinggir kolam air mancur untuk melepas lelah sejenak.

Kuamati kolam air mancur yang sudah tidak berfungsi ini, desainnya sederhana dan menarik apalagi patung pemancur airnya juga bagus pahatannya. Sifat isengku pun kambuh (kalau sedang bete sangat, sifatku yang satu ini pasti keluar) aku berdiri dan mendekati patung itu, kuelus permukaan patung itu. Polesannya halus dan mantap, menunjukan bahwa pembuatnya bukan orang biasa. Pandanganku beralih jambangannya yang ternyata terdapat ukiran-ukiran artistik. Kusentuh ukiran itu, seakan bisa merasakan saat sang pembuat patung sedang mengukirnya.

Eh sebentar, ukiran yang disebelah sini agak beda. Ini seperti huruf, aku memiringkan kepalaku untuk membaca ukiran huruf itu:
Pohon Kenangan
Hei! Ini tulisannya pohon kenangan? Apa ini ya? Tanganku langsung menyusup ke dalam jambangan, dan ternyata ada sesuatu. Segera saja kuambil dan kulihat benda apa itu: IPhone. Apa-apaan ini? kenapa benda mahal ini bisa disia-siakan seperti ini? Atau Agung sengaja mengejekku yang tidak pernah memegang ponsel mahal macam ini :P
Begitu kubuka kunci layar, yang terbuka adalah galeri ponsel ini. Disitu hanya ada satu file yakni sebuah video. Apa jangan-jangan video dokumentasi kebiadaban Agung terhadap Alvin lagi? Segera kuputar file itu. Video itu berdurasi sekitar sepuluh menit, aku menontonnya dengan seksama.

Aku lemas melihat video itu, langsung kukantongi ponsel itu. Agung sepertinya memang benar-benar menginginkan aku pergi dari kehidupan Alvin. Sekarang aku harus ke Nusa Bakti, setidaknya aku ingin melihat kemenangan Alvin untuk terakhir kalinya. Sebelumnya kan Alvin sudah menyatakan, dia tidak mau melihatku lagi. Tapi aku Aditya Firdaus, orang yang keras kepala tapi aku akan menghormati keputusannya. Aku mengambil langkah seribu menuju sang kuda besi dan memacu dengan kecepatan tinggi. Aku sudah tidak memedulikan limit waktu yang Agung syaratkan.

Perlahan cuaca yang tadinya cerah malah mendung disertai angin dingin. Ah! Masa bodo, tak ada angin yang bisa menghalangiku. Tak lama hujan pun turun juga, deras lagi. Biarin deh bajuku basah, toh setiba disana bisa dikeringkan. Pandanganku sedikit kabur, karena air hujan yang terus-terusan membasahi kaca helmku. Aku terus saja melaju dengan kecepatan tinggi, sampai ke pertigaan depan belok ke kiri lalu lurus terus maka sampai lah di sekolah. Pertigaan itu lumayan sepi dan jarang ada kendaraan lewat. Begitu aku sudah sampai di depan pertigaan tiba-tiba ada kucing hitam lewat menghalangi jalurku. Aku spontan banting stir ke kanan, aku sempat melihat kucing itu menoleh ke arahku seolah tersenyum.

Sebelum semua jadi gelap tiba-tiba aku baru terpikir, mana ada kucing sedang hujan deras begini jalan dengan santainya pula.


Jangan Menangis..

:: no POV ::

Pertandingan makin berat tatkala hujan turun, tapi hal itu tak menyurutkan semangat kedua tim. Skor sekarang sudah imbang 18-18. Keduanya makin sengit mempertahankan skor dan berusaha merebut angka. Ayah, Ibu, oom Fian, Feri dan Revan terus menyemangatinya. Tak peduli hujan mereka tetap setia di bangku paling depan. Diam-diam Alvin berharap kakaknya ada diantara para penonton yang sedang bersorak riuh. Matanya sesekali menyapu ke arah deretan penonton. Dan hasilnya nihil.

Revan sesekali melihat sekeliling, mencoba mencari sosok Adit. Rena pasti sudah mengatakan kepadanya bahwa Adit pagi-pagi sudah berangkat. Bahkan menghubungi nomernya pun sulit. Adit, where are you? Gumam Revan di dalam hati. Suara teriakan penonton membahana bak gladi resiknya terompet akhir zaman, Revan langsung menoleh ke arah pertandingan yang sempat diabaikannya. Alvin berhasil melakukan tembakan tiga angka. Herdy dan kawan-kawan kontan geram, mereka pun semakin ganas menjebol pertahanan tim Nusa Bakti. Teriakan penyemangat dari suporter tim Alvin makin kencang dan semangat.
“ayo Alvin, cukup pertahankan skor sekarang!” gumam Revan dalam hati.
Beberapa kali Herdy dan Tomi berusaha memasukan bola, tapi Alvin dan Zami selalu berhasil menghalangi dengan baik. Hingga kemudian break selama lima menit.

Awalnya sang wasit mengusulkan untuk menunda dulu pertandingan sampai hujannya reda. Tapi baik tim Alvin maupun tim Herdy tetap ngotot agar tetap dilanjutkan. Wasit menoleh ke arah kepala sekolah kedua tim. Kedua bapak kepala sekolah setuju dengan keinginan anak-anak mereka. Setelah istirahat singkat kedua tim kembali ke lapangan, tanpa peduli tubuh mereka basah kuyup ditimpa air hujan. And the game’s start again.

Revan melirik jam tangannya, waktu seakan memburu dan mereka harus bisa bertahan sekaligus mengungguli dari yang lain. Tiba-tiba suara riuh penonton pecah lagi, Tomi berhasil mencuri kesempatan dan melakukan slam dunk. Hanya beda satu poin lagi, tim Alvin masih diatas angin tapi mereka tidak boleh lengah sedikitpun. Meski didera hujan yang cukup deras, pertandingan malah kian memanas.

Sementara Agung dan Rena yang tadinya menonton dari beranda atas terpaksa turun dan mencari sudut sepi. Sebab dimana-mana sudah ramai terisi oleh murid-murid yang menonton.
“pacarmu bermain bagus..” gumam Rena kepada Agung. “dia benar-benar menghayati dan menikmati permainan..”
“kan kak Rena yang telah menanamkan semangat itu,” sahut Agung sambil bertopang dagu, menatap kosong kearah pertandingan.
“tetap aja sebagus apapun kata-katanya tapi kalau yang disemangati tidak benar-benar menerima, semua akan sia-sia. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri..”

Dan pada akhirnya Alvin dan kawan-kawan berhasil mempertahankan skor hingga pluit tanda selesai pertandingan berbunyi. Teriakan kencang dari para suporter dan kepala sekolah mengalahkan suara derasnya hujan. Mereka yang menang saling berpelukan dan mengacak-acak rambut ; mengekspresikan suka cita yang meluap. Sedang mereka yang kalah hanya bisa menatap dengan penuh kecewa dan tersenyum berusaha menerima kekalahan ini. Herdy mendekati Alvin yang sedang melompat-lompat seperti orang gila. Ia mengulurkan tangan ke arah Alvin mengajak berjabat tangan. Alvin tersenyum sambil menyambut tangan Herdy.
“you are my powerful rival,” ujar Herdy kemudian melepas seragam basketnya dan disodorkan kepada Alvin, mengajak tukaran seragam.

Ini kan bukan pertandingan sepak bola? Tapi ya sudahlah! Alvin pun melepas seragam basketnya dan menukarnya dengan seragam Herdy. Sesaat Alvin mengamati tubuh atletis Herdy, perut yang six pack serta dada yang bidang. Alvin menelan ludah mencoba menghalau nafsu yang naik sampai ke matanya. Seandainya saja semua orang di tempat ini dikutuk menjadi monyet kecuali mereka berdua Alvin pasti sudah nekat menerkam Herdy.
“one day, I will win of you..” ujar Herdy dengan gaya cool.
“I will be waiting for it!” jawab Alvin sambil meletakan seragam tukarannya di pundak.

Sebagai lawan yang kalah Herdy cukup sportif, dia benar-benar lawan yang tangguh. Feri nekat menembus hujan memasuki lapangan dan memeluk Alvin erat, dengan sebelumnya menitipkan ponselnya kepada Revan. Tadinya Revan ingin melakukan itu tapi keduluan Feri.
“selamat ya kak! Tadi itu kakak keren banget..” ujar Feri tersenyum lebar seakan dia ikut memenangkan pertandingan ini.
“iya donk, alhamdulillah..” sahut Alvin dengan jumawa. “kemenangan ini milik bersama bukan semata kontribusiku saja..”
Dan Alvin mengacak-acak rambut Feri ; yang tadinya berniat mengelus-elus lembut. Karena saking semangat dan senangnya mungkin.

Agung menangkap momen itu, mendadak dia langsung naik darah. Tapi yang jelas Agung tidak bisa berbuat apa-apa sekarang, dia akan membuat rencana. Rena hanya tersenyum melihat kegelisahan Agung. Sampai sekarang Rena masih tak habis pikir bagaimana mungkin adik mantan kekasihnya itu ternyata adalah biseks? Padahal ini anak terkenal playboy dulu.
“berani-beraninya..” gumam Agung geram.
“cuma pelukan suka cita gung,” komentar Rena memandangi luapan kegembiraan tim Nusa Bakti.
Tapi Agung tidak menggubris kata-kata Rena, dia langsung beranjak dari tempatnya duduk turun kebawah menemui Alvin dan Feri yang sedang berpelukan. Anak yang satu ini memang sangat pecemburu dan posesif.

Begitu Agung sampai di lantai bawah, langkahnya untuk melabrak Feri terhenti tatkala Revan mendatangi mereka duluan. Tapi Revan mendatangi mereka bukan untuk ikut-ikutan memeluk tapi mengatakan sesuatu kepada Alvin. Agung hanya bisa mengawasi dari kejauhan dan menebak-nebak apa yang dibicarakan mereka. Alvin yang tadinya begitu sumringah langsung pucat pasi, mendengar berita yang disampaikan Revan. Mereka bertiga langsung meninggalkan lapangan dan bergegas pergi diikuti Ayah dan Ibu, tidak peduli hujan-hujan begini. Agung bertanya-tanya dalam hati, mau kemana gerangan mereka?

Dengan mobil Revan yang disupiri oleh Ayah mereka bergegas menuju suatu tempat. Revan duduk di sebelah kursi supir sebagai penunjuk arahnya. Ayah berusaha setenang mungkin mengemudikan mobil, sekalipun raut wajahnya menunjukan kecemasan yang bergejolak. Ibu tampak begitu shock dan menghapus air matanya yang menetes tanpa henti. Alvin pun tak kalah cemasnya, matanya mulai merah berkaca-kaca. Feri disampingnya mencoba menguatkan.

Revan mendapat telpon bahwa seseorang mengalami kecelakaan dengan mengendarai motornya. Seseorang yang dimaksud itu pasti adalah Aditya Firdaus, Revan masih ingat tadi pagi Adit bilang ingin pinjam motor. Dan sekarang Adit sedang berada di rumah sakit, masih ditangani dokter di Unit Gawat Darurat dan keadaannya kritis. Revan mendesah panjang, hari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan, tapi kabar itu mengubah semuanya.

Entah berapa lama yang mereka tempuh hingga tiba di rumah sakit, waktu terasa begitu lama. Setelah mendapat informasi dari resepsionis mereka langsung menuju ruang UGD. Ruangan itu masih tertutup rapat, disana ada tiga orang bapak-bapak yang sedang duduk di kursi depan ruang tersebut. Sepertinya salah satu dari mereka yang menelpon Revan. Revan dan Ayah langsung berbicara kepada mereka sedang Ibu, Alvin dan Feri mendengarkan.

Orang-orang itu adalah penduduk sekitar yang kebetulan baru pulang dari kota. Dari keterangan yang didapat dari orang-orang itu, Adit dan si motor ditemukan dalam keadaan terguling di pinggir jalan anu yang notabene masih jalan yang belum beres. Banyak batu-batu menghiasi pinggir-pinggirnya, niatnya batu-batu itu digunakan untuk memperindah pinggir jalannya. Ketika itu mereka mendapati Adit terhempas agak jauh dari motor, kepalanya menabrak batu yang paling besar dan tajam sampai helm yang dipakainya pecah. Tapi sayangnya mereka baru menyadari adanya kecelakaan itu tiga puluh menit kemudian. Kondisi Adit sudah parah ditambah tubuhnya kehujanan. Seandainya Adit dibawa lebih awal mungkin dokter bisa berbuat lebih banyak.

Ibu menangis sejadi-jadinya, hampir beliau roboh kalau saja Alvin dan Feri tidak menahan tubuh Ibu. Pelan-pelan mereka mendudukan Ibu ke kursi. Ibu sesunggukan menahan rasa sedih luar biasa, Alvin mencoba menghibur dan menenangkan beliau, begitu pula Ayah. Ibu begitu terpukul dengan berita ini, bagaimana tidak? Baru semalam beliau bertemu putra semata wayangnya setelah hampir setahun lebih mereka tak bertemu.
“tenang bu, kak Adit pasti akan baik-baik saja..” ujar Alvin mencoba menyemangati.
Ibu seakan tidak mendengar, beliau membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya. Dengan mulutnya yang mengucap pelan AsmaNya. Yang bisa mereka lakukan sekarang adalah berdoa. Hanya Tuhan dengan kuasaNya yang bisa menolong Adit.

Tanpa sadar Alvin jadi ikut menangis, padahal dari tadi ia mencoba menahan rasa sedihnya. Alvin menatap kosong pintu ruang UGD itu, berharap dokter keluar dengan wajah cerah dan menyatakan kakaknya baik-baik saja.
“laki-laki tidak boleh menangis!” gumam Alvin dalam hati. Beberapa kali ia mengusap air matanya, tapi malah membuat air matanya makin deras.
“sekarang kita hanya bisa berdoa dan menyerahkan kepada Allah, kak..” ujar Feri sembari menepuk-nepuk bahu Alvin.
Revan harap-harap cemas menunggu sang dokter, dia yang mengajak Adit ke Bandung untuk menyenangkan sahabatnya tapi ternyata disini Adit malah mengalami musibah. Dia memandangi pintu ruang UGD itu dengan perasaan tak menentu.
“hal seperti ini tidak seharusnya terjadi,” gumam Revan kepada dirinya sendiri. Dia mulai merutuki dirinya sendiri. “I wish I could do something..”

Mereka harus menunggu cukup lama, waktu seakan sedang mempermainkan dengan seenaknya. Beberapa kali Ayah melihat ke jam tangannya, satu menit saja terasa seperti satu jam, Ibu tengah bersandar di bahunya dan keadaan beliau sudah lebih tenang. Ketiga bapak-bapak yang menolong Adit masih disana juga, mereka ingin mengetahui keadaan Adit. Revan menoleh ke arah Alvin dan Feri yang tertidur di bangku tunggu. Mereka tertidur dengan wajah yang lelah, kepala Alvin tengah bersandar di bahu Feri.

Perlahan pintu ruang UGD terbuka dan keluarlah para dokter. Wajah dokter-dokter itu tampak lelah dan tidak cerah. Mereka sadar bahwa orang-orang yang tengah duduk di depan ruang UGD adalah orang-orang yang menunggu hasil dari kerja mereka. Salah satu dari dokter-dokter itu mewakili untuk berbicara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar