Senin, 21 Maret 2016

Adikku Alvin Christian - Part 5

Seseorang yang seperti engkau

Tiga hari aku meringkuk di kamar, pak Beni sudah menawarkan untuk tinggal di rumahnya saja tapi aku selalu menolak. Pak Beni sudah terlalu baik kepadaku, dikasih kamar ini saja aku sudah sujud syukur setiap hari. Oh iya, aku sudah minta agar tidak memperpanjang masalah ini. Aku tidak mau ada ribut-ribut antar mandor hanya gara-gara aku. Dan pak Beni dengan terpaksa menuruti keinginanku ini. Dokter Fian memberiku beberapa obat yang harus rutin kuminum, tapi karena aku orangnya malas jadi diminumnya kalau ingat saja. Atau pak Beni yang mengingatkanku untuk minum obat. Setelah istirahat yang cukup serta (beberapa kali) minum obat secara teratur punggungku akhirnya lurus lagi. Aku masih belum diijinkan kerja yang berat-berat oleh pak Beni. Aku tau karena dia peduli kepadaku tapi dia punya jawaban sendiri kalau digoda sama rekan dan anak buahnya.
“itu anak tau sendiri kan? Badannya kurus, kecil dan kerempeng pula. Baru juga sembuh dari cidera punggung masak gue suruh angkut-angkut karung beras? Kalo punggungnya sengklak? Dia lapor polisi dan nuntut gue? Berabe urusannya ..”
Jawaban yang membuatku cemberut mendengarnya. Memang pak Mandor yang satu ini paling jaga image.Tapi meski begitu upah yang kuterima setara dengan upah angkut barang berat.

Melihat aku yang masih baik-baik saja, Sukro mulai mengutus orang-orangnya. Yaitu orang-orang yang tidak suka melihat pak Beni baik kepadaku. Mungkin mereka adalah orang-orang yang merasa bahwa merekalah yang lebih pantas menerima kebaikan pak Beni, atau apa. Orang-orang itu bernama Wito, Sandi dan Bejo. Ada saja kelakuan mereka seperti Wito yang hobi menyenggol-keras punggungku, Sandi sering menyebarkan gosip yang tidak-tidak kepada para pekerja yang lain dan Bejo yang sering bertindak kasar kepadaku. Dan entah kenapa si bos sering mengutus pak Beni ke tempat yang jauh-jauh sehingga aku jarang bertemu dengannya. Sukro dan ketiga budaknya pun semakin leluasa menyiksaku. Aku sering berpikir, kenapa sih mereka sampai segitunya kepadaku? Hanya karena kedekatanku dengan pak Beni. Pak Beni hanya menganggapku seperti adiknya sendiri. Bahkan pak Beni menyuruhku memanggilnya Koko atau abang. Tak pernah ada maksud yang lain, pak Beni pun tak pernah berbuat macam-macam kepadaku.

Sore itu aku duduk di halaman samping bangunan, tubuhku masih nyeri dan sakit karena pukulan-pukulan si Bejo. Ingin masuk ke kamar tapi badanku belum mau beranjak. Aku menghela nafas panjang sambil memejamkan mata. Setidaknya di tempat ini aku aman dari para budak Sukro. Tenggorokanku terasa kering tapi minumanku ada di kamar, perutku pun berkonser ria tapi makananku ada di kamar. Tubuhku ini belum mau beranjak juga, sudah pewe dan tidak mau diganggung gugat. Alam mimpi mulai menggelitikku untuk masuk, pelan-pelan beban di hati dan pikiranku terangkat. Gerbang mimpi tampak indah, menarik dan unik. Aku berjalan pelan-pelan menuju kesana. Tubuhku tiba-tiba terasa ada yang memegang dan lama-lama berat. Entah kenapa mataku terasa berat dan perih. Lama kelamaan mataku terbuka, kepalaku terasa ditepuk-tepuk, kemudian tepukan itu berhenti seketika. Aku memandang sosok yang berdiri di depanku. Pandanganku masih belum pulih dari godaan alam mimpi. Nyawaku yang sempat buyar pun kuhimpun lagi.
“de.. masih hidup?” sebuah pertanyaan konyol terlontar dari si pengganggu tidurku.
Tapi bukan pertanyaan konyol sih kalau melihat kondisi dan tempat keberadaanku sekarang. Aku menggeliat mencoba untuk bangkit, sosok itu langsung membantuku bangun dan memapahku. Kesadaranku masih pulih 100%, tapi dalam setengah sadar itu aku merasa orang yang memapahku ini kak Adit. Auranya rada-rada mirip.

Orang itu mengeluarkan kunci dari sakunya dan perlahan membuka pintu kamar. Dari mana tuh orang punya kuncinya? Pikirku dalam hati. Orang itu membaringkanku ke tempat tidur kemudian menutup pintu dan menguncinya. Aku mencoba menegakan kepalaku, siapa sih orang itu? Orang itu mendekat ke arahku, berhubung kepalaku agak pening jadi apa yang kulihat seperti dalam gerakan slow motion. Mungkin Sukro kali ya? Tapi mana mungkin Sukro memapahku ke kamar, yang ada dia membawaku ke gudang kosong untuk main siksa-siksaan. Pandanganku sedikit kabur makanya aku agak memicingkan mata. Orang itu tersenyum kepadaku, wajahnya tidak menunjukan gelagat orang jahat.
“udah, tidur aja dulu! Istirahat bos ..” ujarnya sambil meluruskan tubuhku agar berbaring sempurna.
Aku mendadak langsung ngantuk, mataku terpejam pelan-pelan tapi pasti.

***

Mataku terbuka, rasa kantukku mendadak hilang. Rasa sakit di kepalaku sirna sudah dan jadi sedikit lebih ringan. Oh iya! Ada seseorang yang memboyongku ke kamar! Aku memandang sekeliling, kutangkap sesosok manusia membelakangiku yang sedang asyik melakukan sesuatu. Tenggorokanku terasa kering sekali seperti menelan pasir padang tandus. Aku mencoba bangkit ke posisi duduk.
“aaw ..” aku mengerang karena ada rasa nyeri di punggungku.
Orang itu spontan menoleh.
“akhirnya bangun juga si ade ..” ujarnya kemudian beranjak dari posisi duduknya dan mendekat kepadaku.
Ia pun tersenyum kepadaku. Senyuman yang membuatku tak berkedip menatapnya.
“namaku Revan,” ia memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. “Revan Andhika Syah, keponakan dokter Fian ..”
Dokter Fian? Keponakannya? Waduh, ada apa ini? Pikiranku malah berkecamuk duluan dengan sejuta pertanyaan.
“tadi sore oom Fian menyuruhku mengantarkan obat ini ke kamu,” ujar Revan sambil menunjuk bungkusan putih di dekat air mineral. “dan aku menemukan kamu dalam kondisi yang kurang fit maka dari itu aku inisiatif mindahin kamu ke tempat yang lebih layak ..”
Aku garuk-garuk kepala sambil nyengir, “makasih ya bang ..”
“sama-sama,” jawabnya sambil membuka bungkusan plastik obat.

“yang sakit tadinya cuma punggung tapi sekarang merembet ke beberapa bagian ..” ujar Revan menyiapkan obat untuk kuminum. Ia lalu menyodorkanku sebungkus roti isi kacang hijau untuk pengganjal perutku sebelum minum obat.
Aku mengunyah sedikit-sedikit, susah makan sesuatu kalau sedang tidak lapar. Apalagi makanannya yang tidak disukai.
“gak doyan isi kacang ijo ya?” tanya Revan menebak isi pikiranku.
Aku mengangguk pelan. Aduuh! Terlalu jujur sekali aku ini, aku langsung menyesal sendiri. Tapi Revan hanya tersenyum, kemudian ia membantuku meminum obat.
“makasih ya, bang ..” ujarku pelan, aku mencoba tersenyum tapi sepertinya lebih mirip seringai menahan nyeri.
“kamu emang gak takut sendirian begini?” tanya Revan sambil merapikan bungkusan obat ke atas meja.
“enggak bang, disini gak angker kok. Kalo mau kabur lewat gerbang belakang bangunan juga bisa ..”
“bukan soal ghaib maksudku, de ..” sela Revan sambil nyengir, ia mulai merapikan kamarku tanpa disuruh. “tapi kalau misalkan, ada sesuatu lah sedangkan kamu sendirian. Mau minta tolong ama siapa?”

Aku berpikir sejenak. “iya juga ya, tapi mau kemana lagi? Aku gak punya tempat tinggal lain selain disini bang. Yang ini juga udah untung dikasih ama pak Toni,”
“hmmm..” Revan menghentikan sesaat kegiatan berbenahnya. Ia menoleh ke arahku sebentar.
“kenapa bang?” tanyaku.
“enggak apa-apa. Masalah itu masih bisa dibicarakan,” jawab Revan dengan santai. Ia kembali melanjutkan kegiatannya.
Dibicarakan? Aku tidak mengerti. Ah sudahlah! Nanti kepalaku malah mumet. Revan berbenah dengan santai tapi cekatan, sambil bernyanyi-nyanyi kecil yang cuma dia dan Tuhan bisa dengar.
“abang malah jadi beres-beres, aku ngerepotin nih ..” aku basa basi sedikit.
“gak apa-apa kok,” jawabnya singkat, kemudian menoleh ke arahku sambil tersenyum.
Aku mendadak melting melihat senyuman itu. Revan normal enggak ya? Moga aja enggak! Hihihi.. pikiranku mulai macam-macam. Tidak sampai lima menit kamarku pun bersih, barang-barangku tertata dengan rapi serta enak dilihat.

“okeeh.. sudah bersih, sudah cling ..” gumam Revan puas dengan hasil pekerjaannya sendiri.
“makasih ya bang, maaf kalo jadi ngerepotin ..” ujarku seraya bangkit ke posisi duduk.
“santai aja de, ini mah udah pekerjaanku sehari-hari ..”
“ooh,” aku kehabisan kata-kata untuk kuucap.
Revan kemudian duduk bersandar ke tembok. Iseng ia melirik ke aku yang masih terjaga dan menatap kosong langit-langit kamar.
“kamu emang gak ngantuk abis minum obat?”
“aku udah kebal ama obat,” jawabku dengan jumawa.
“jiaaah, omongannya ngeselin ..” celetuk Revan sambil merogoh ponselnya.
Mulai deh ia sibuk mengutak-atik gadget itu, mungkin SMS-an sebab mengetik papan tombolnya cepat sekali. Persis kak Adit yang sangat terampil mengetik SMS. Dari tempat tidur aku cuma memperhatikan Revan saja. Ekspresi wajahnya yang teduh membuatku betah mengamatinya lama-lama. Revan memasukan ponselnya ke saku dan beranjak bangun.

“abang mau pulang?” tanyaku dengan nada melas.
“kalau kamu mau aku tetap disini aku akan disini kok,” jawabnya dengan gaya cool.
Walah, rejeki nomplok nih. Haram kalau ditolak!
“ngerepotin gak?” aku sekaligus memastikan kalau omongan Revan tidak sekedar basa-basi saja.
“enggak kok, tenang aja bro ..” jawabnya singkat tapi meyakinkan.
Aku tersenyum lebar.
“kan disini bisa sekalian uji nyali,” tambah Revan yang langsung menghapus senyum lebarku.
“ini bukan dunia lain!” ujarku sedikit sewot.
“hahahahahahaha ..” Revan tertawa sambil geleng-geleng kepala. Ia merogoh lagi ponselnya dan mulai sibuk utak-atik.
Kupikir Revan sedang SMS-an tapi ternyata ia sedang memilih lagu dan memutarnya untuk menyemarakan suasana. Ini lagu lama Dewa19 yang dinyanyikan kembali oleh Reza Artamevia. Lagu ini pernah menjadi sound track sebuah sinetron yang sering ditonton Ibu dulu. #Cinta kan membawamu.

Tiba saat mengerti, jerit suara hati
Letih meski mencoba
Melabuhkan rasa yang ada

Mohon tinggal sejenak, lupakanlah waktu
Temani air mataku, teteskan lara
Merajut asa, menjalin mimpi, endapkan sepi-sepi

Cinta ‘kan membawamu,
kembali disini, menuai rindu, membasuh perih
Bawa serta dirimu,
dirimu yang dulu, mencintaiku, apa adanya

Saat dusta mengalir, jujurkanlah hati
Genangkan batin jiwamu, genangkan cinta
Seperti dulu, saat bersama, tak ada keraguan

Dulu aku tidak terlalu memperhatikan lagu ini, tapi entah kenapa aku baru sadar kalau lagu ini agak sedih ya. Aku menghayati sekali tiap bait dan melodi lagu ini.
“bang, putar lagi donk lagu yang tadi ..” pintaku kepada Revan yang entah sejak kapan sudah ada disampingku, duduk bersandar di pinggiran tempat tidurku.
“lagu Reza?” tanyanya diikuti kepalanya menoleh ke arahku.
Aku menganggukan kepala dengan penuh semangat. Dan Revan pun memutar lagu itu lagi, ditambah ia ikut bernyanyi menimpali suara Reza. Suara Revan memang tidak bagus-bagus amat tapi ia pede mengekspresikan diri. Lagi-lagi seperti kak Adit. Ah! Mungkin akunya saja yang berlebihan, di dunia ini kan pasti ada orang yang punya talenta dan hobi yang sama. Mungkin aku cuma terlalu rindu kepada kakakku itu.

“de, orang chinese ya?” tanya Revan membuka pembicaraan.
“bukan! Aku orang pribumi bang, tapi banyak aja yang bilang begitu ..” jawabku, rasanya sudah bosan menjawab pertanyaan macam itu.
Revan tertawa kecil sambil melirik ponselnya sebentar, “soalnya muka ama kulit bener-bener kaya orang chinese tapi suaranya beda,”
“masak?” sahutku seperti orang bodoh. Aku garuk-garuk kepala.
“iya, orang chinese kentara dari suaranya. Apalagi yang laki-laki ..” tambah Revan.
“oooh,” ujarku (kehabisan kata-kata)
Revan memutar lagu yang lain, lagu barat yang tidak aku kenal. Mulutnya komat-kamit mendendang pelan mengikuti lagunya.
“kalau abang orang Bandung ya?” tebakku asalk-asalan.
“eh, kok tau?” Revan langsung menoleh ke arahku.
“errrr.. nebak aja,” jawabku dengan jujur.
“tebakan yang jitu, aku orang Bandung tapi waktu kecilnya lama tinggal di Kudus. Dan sekarang tinggal di Jakarta sama oom ku soalnya aku kuliah di UI,” sahut Revan sekaligus memperkenalkan diri secara tidak langsung.
“UI?” ulangku mendengar kata UI.
“iya, de. Jurusan Sastra Indonesia sebab aku cinta bahasa Indonesia,” ujar Revan dengan bangga. “kita putra-putri Indonesia berbahasa satu, bahasa Indonesia ..”
“yang benar ‘Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia’ bang ..” ujarku mengoreksi.
“ooh iya ya? Tapi kalau yang itu versiku sendiri ..” jawab Revan tak mau kalah.
Aku tertawa lepas, orang yang unik. Setiap orang punya gaya dan ciri khas masing-masing, yang akan membuatnya istimewa. Dan sepertinya aku bertemu dengan orang istimewa, seistimewa seorang Aditya Firdaus.

“abang nginep gak?” tanyaku pelan. Entah kenapa aku jadi tidak mau sendirian.
Revan tersenyum, sebuah senyuman penuh arti. “oom sih nyuruhnya nganter obat aja, bukan buat ngejaga pasien ..”
Aku langsung kecewa, ya sudahlah! Sendiri lagi kan sudah biasa.
“tapi kalau pasiennya minta ditemani, ya aku mungkin gak nolak ..” sambung Revan.
Membuatku sebal sekaligus senang.
“abang ngelawak aja nih!” protesku pura-pura cemberut.
Revan mengacak-acak rambutku seenaknya. Sampai rambutku benar-benar seperti orang baru bangun tidur. Aku tambah cemberut sambil memperbaiki tatanan rambutku. Revan cuma nyengir-nyengir saja, puas dengan pekerjaannya. Setidaknya malam ini aku tidak sendirian. Revan ternyata orang yang menyenangkan dan aku melihat sosok seorang kakak di dalam dirinya.


Pilihan

Revan bercerita banyak kepadaku. Salah satunya tentang Oomnya, Arfian Dewantara adalah lulusan terbaik sekolah tinggi kedokteran. Padahal banyak rumah sakit besar yang mau menerimanya tapi beliau lebih memilih untuk bertugas di daerah. Di tempat terpencil yang sarana kesehatannya masih belum diperhatikan pemerintah setemat. Memang gaji yang didapat tidak seberapa, tapi kata beliau ada semacam kepuasan batin yang tak bisa dinilai dengan uang. Dokter Fian merupakan dokter yang punya jiwa sosial tinggi. Ditempat tugasnya pula dokter Fian bertemu jodohnya dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Namun Tuhan punya rencana lain, istri dan anaknya dipanggil menghadap Ilahi. Hal itu benar-benar membuat dokter Fian depresi. Setelah lima tahun beliau mengabdikan diri dokter Fian kemudian memutuskan untuk kembali ke Bandung, kembali ke keluarga untuk menenangkan diri.

Suatu ketika temannya yang juga dokter datang, ia mengajak dokter Fian bermain ke tempatnya di Jakarta. Hitung-hitung sekalian main dokter Fian pun setuju. Dan di Jakarta, beliau miris melihat betapa kaum kurang mampu dinomer duakan sedang mereka yang bergaya parlente di-VIP kan. Sekarang uang yang berbicara. Jiwa sosialnya yang sempat terkubur karena depresi pun bangkit kembali, beliau memutuskan mendirikan sebuah klinik non komersil. Sebelum menjadi besar seperti sekarang klinik itu pun banyak jatuh bangunnya. Ada saja yang tidak suka atau sengaja menghambatnya oleh pihak-pihak tertentu, dengan macam-macam alasan inilah itulah. Tapi berkat kegigihan dokter Fian dibantu rekan-rekan seprofesinya, klinik itu mampu bertahan hingga kini bahkan semakin kokoh. Dan sampai sekarang klinik itu murni bertujuan sosial dengan tarif rakyat.

Aku terkesima mendengar cerita itu, tak kusangka masih ada dokter yang peduli. Rumah sakit jaman sekarang lebih mengutamakan komersialisasi daripada fungsi sebenarnya.

“ade emang gak sekolah?” Revan tiba-tiba bertanya.
Glek! Pertanyaan itu belum siap aku jawab, untuk saat ini. Aku tidak berani menatap mata Revan. Kami terhening selama beberapa saat, kulirik sebentar Revan. Dan dia masih menatap lekat kearahku seperti kuntilanak melihat mangsanya (tapi gak sampai segitunya juga)
“mau share sesuatu gak? Kayaknya ade punya sesuatu yang dipendam?” sahut Revan seakan bisa membaca pikiranku. Dia mengelus-elus kepalaku dengan lembut.
Berat sih memendam semua ini sendirian, apa Revan bisa kupercaya ya? Feelingku mengatakan dia orang baik, tapi aku masih saja ragu.
“yaudah kalau ade belum bisa cerita,” ujar Revan lagi sambil menggeserku ke pojok: dia naik ke tempat tidur dan tiduran juga disebelahku.
Aku bangkit ke posisi duduk sambil melotot ke arah Revan. Sementara Revan hanya cengar-cengir sambil menopang kepalanya dengan melipat kedua tangan keatas.
“sempit bang,” protesku sebal.
“masak ade tega ngebiarin aku tiduran di lantai yang dingin?” sahutnya sambil nyengir.
“dan sejak kapan abang manggil aku ade?” aku membalas omongannya yang melenceng dari topik.
“biar lebih akrab aja donk, ade aja manggil aku abang. Ya enggak?” dengan mudahnya Revan membalikan omonganku.
Persis kak Adit yang tak terbantahkan. Aku menghela nafas menyerah, tubuhku kurebahkan kembali ke tempat tidur. Meski sempit-sempit hajar sajalah. Tiba-tiba Revan menarikku dan merapatkan tubuhku dengannya, kepalaku disandarkan ke dadanya. Terasa begitu hangat. Aku tiba-tiba merasa ngantuk dan lama-kelamaan tertidur juga.

Lumayan lama aku tertidur hingga mataku terbuka. Alarmku bunyi: aku belum sholat! Aku menoleh ke sampingku dan tidak menemukan Revan yang tadinya tidur disebelahku. Jam menunjuk pukul setengah sembilan, apa dia pulang ya? Aku langsung loncat dari tempat tidur menuju kamar mandi. Selesai berwudhu aku langsung sholat. Rasanya seperti ada yang hilang jika aku belum sholat. Setelah sholat aku teringat kembali soal Revan. Kemana ya dia? Tidak mungkin pulang, katanya mau menemaniku. Aku memandang sekeliling seolah ia sedang bersembunyi di satu tempat di kamarku. Nihil, seperti yang seharusnya.

Cklek! Bunyi daun pintuku terbuka, lalu muncullah sosok yang kutunggu: Revan membawa bungkusan dalam plastik putih. Aromanya tidak terlalu tajam tapi aku bisa mengendus keberadaan makanan. Perutku mendadak bunyi dengan kerasnya. Revan tersenyum-senyum mendengarnya sementara aku tertunduk malu.
“laper ya?” goda Revan sambil tersenyum jahil. Ia duduk di sampingku dan mulai menggelar makanan yang dibawa.
Sebungkus besar nasi goreng dan sekotak martabak manis terhidang di depan mataku. Seleraku terbit sejadi-jadinya hingga air liurku hampir menetes melihatnya.
“kok nasi gorengnya cuma satu?” tanyaku saat Revan membuka karet bungkusan nasi goreng.
“tukang yang ini kalo bikin nasi goreng porsinya jumbo, sebungkus aja lebih dari cukup buat dua orang..” jawab Revan dengan santai, ia sekalian mengeluarkan sendok plastik dari plastik.
Aku tercengang melihat sebungkus nasi goreng itu, banyak sekali porsinya. Dan aroma sedapnya menggelayuti hidungku. Kuraih sendok plastik yang sudah disiapkan, dengan penuh napsu ku arahkan sendok ke gundukan nasi goreng itu.
“cuci tangan dulu,” sela Revan menyodorkan baki cuci tangan yang entah sejak kapan sudah dia siapkan.
Kubiarkan sendokku menancap di gundukan, selesai cuci tangan aku kembali melanjutkan misi suci.
“jangan lupa baca doa, de ..” sela Revan lagi. Ia terlihat berdoa sebentar dengan khusyuk baru makan.
Berhubung Revan yang beli maka aku ikuti aturan dia, aku berdoa sebentar kemudian langsung sikat.

Melihat cara makan Revan yang begitu tenang dan beradab, aku pun memelankan kecepatan makanku. Kuakui saat sedang lapar aku makan agak rakus.
“de, apa kamu gak mau sekolah lagi?” tanya Revan di sela-sela makan kami.
Kunyahanku perlahan melambat, aku tak berani melihat ke arah Revan. Dia pasti sedang menatapku lurus-lurus.
“ade masih remaja, sayang kalau sekolahnya putus di tengah jalan ..” ujar Revan.
Kupikir benar juga sih, gara-gara kabur dari rumah masak aku harus senasib dengan anak jalanan yang tidak sekolah?
Revan melanjutkan, “aku bisa bantu ade supaya sekolah lagi, kebetulan di Bandung oom bersama teman-temannya mendirikan sebuah sekolah. Sistem pendidikannya bagus, guru-guru pendidiknya terdedikasi dan ada asramanya lagi. Gimana de?”
Bandung? Berarti aku meninggalkan Jakarta? Seperti seorang perantau yang meninggalkan kampung halamannya demi menggapai cita-cita. So sweet! Pasti terlihat keren.
“mau gak de?” Revan membangunkanku dari khayalan tingkat tinggi.
“biar kupikir-pikir dulu, bang ..” jawabku pelan.
Di kepalaku mulai bergema berbagai pertanyaan. Bagaimana dengan pak Beni? Bagaimana dengan kak Adit? Nanti dia makin kesulitan mencariku? Aah! Mana mungkin kak Adit peduli kepadaku.
“kalau ade mau, ade bisa hubungi aku. Masalah ongkos dan lain-lain biar aku yang tanggung,” ujar Revan semakin meyakinkanku.

Aku seperti tersedak, tanpa pikir panjang aku minum sebotol air mineral yang tersedia. Revan kini menatapku seakan aku makhluk aneh. Tapi tatapan (yang menurutku menyebalkan) itu cuma sebentar, Revan cuma menggelengkan kepalanya pelan dan melanjutkan makan. Aku masih berpikir saja, di kepalaku menggema perdebatan sisi kiri dan sisi kanan. Bisa ditebak sendirilah apa yang diperdebatkan. Selesai kami makan Revan yang membereskan semuanya, ia menyuruhku minum sebuah tablet multivitamin rasa buah. Sesaat aku merasa seperti anak bocah.
“tidur lagi gih! Istirahatkan lagi badan ade biar cepet pulih ..” ujar Revan sambil membenahi peralatan makan.
Aku pun menurut saja dan kembali ke singgasana kasur. Tak sulit bagi dewi mimpi membawaku ke dunia sesaatnya. Beberapa detik sebelum mataku terpejam total yang kulihat adalah siluet Revan yang dengan cekatannya berberes. Ia sempat menoleh kearahku. Dan tersenyum.

Jam dua malam aku terbangun lagi, kalau sedang sakit begini bawaannya pasti tidur dengan tidak tenang. Aku menengok ke bawah tempat tidurku: Revan tampak sedang meringkuk pulas beralaskan selimut. Sepertinya dia ingin agar istirahatku sempurna tanpa gangguan (dari dia lagi), pelan-pelan aku langkahi dia sambil berbisik permisi dengan pelan. Tenggorokanku agak kering, ingin minum sedikit supaya lebih segar. Dan botol airnya terletak di meja dekat lemari, yang persis di samping Revan. Sambil menenggak mataku malah mengarah ke Revan. Kuperhatikan wajahnya yang begitu teduh saat tidur, membuatku tak bosan melihatnya terus.

***

“kamu kuat tuh kerja nguli?” tanya Revan kepadaku.
Kami sedang sarapan. Dia membawakan nasi uduk dua bungkus lengkap dengan kerupuk dan gorengannya, serta segelas minuman isotonik dari kelapa.
“ya dikuat-kuatin aja, bang ..” jawabku dengan mulut penuh. Aku lapar sekali seperti orang yang tak kenal makanan. “namanya orang kerja, nyambung hidup demi sesuap nasi ..”
Revan sedikit berdehem lalu kembali melanjutkan makan. Entah apa maksudnya tapi dia tidak bertanya-tanya lagi. Entah kenapa aku merasa atmosphere nya kurang mengenakan, aku ingin membuka obrolan.
“dari penghasilan pertama itu udah ada yang masuk ke kotak amal masjid belond?” Revan mendahuluiku.
Pertanyaan itu mengingatkanku dengan sebuah janji. Janji untuk menyisihkan sebagian pendapatan pertamaku untuk masjid. Aku jadi malu sendiri, sempat lupa gara-gara keenakan. Kulihat Revan malah nyengir-nyengir saja. Entah apa maksudnya, apa dia tau? Tapi janji itu kuucap dalam hati. Atau dia bisa baca pikiranku? Orang yang satu ini memang ajaib.
“kenapa bang nyengir-nyengir?”
“enggak apa-apa, kali aja udah inget ..” sahut Revan dengan santai.
Aku tercengang. Wah! Benar-benar orang ajaib yang satu ini. Apa jangan-jangan dia punya indera keenam lagi? Bahaya sekali! Pikiranku tak aman.
“dah! Makan aja dan jangan mikir yang enggak-enggak!” ujarnya lagi sambil menaruh tahu goreng ke nasiku. Gorengan pelengkapku sudah habis kulahap tanpa nasi.
Daripada isi kepalaku dioprek lebih dalam lagi sebaiknya cari aman saja, aku lanjut makan (dengan lebih santai)
“abang jam setengah sembilan kuliah, jam dua selesai langsung kesini. Gak apa-apa kan sendirian?” tanya Revan. Pertanyaan itu seakan-akan aku anak bocah yang takut ditinggal sendirian.
“iya gak apa-apa,” jawabku (¬,¬”).
“matanya biasa aja donk,” celetuk Revan sambil tertawa. Mungkin baru kali ini dia melihatku cemberut, ya iyalah! Baru kemarin ketemu.

Selesai makan aku dan Revan mandi bergantian. Tadinya aku mau ngajak dia mandinya bareng saja, toh lebih efisien dan menyenangkan tapi sepertinya itu bukan ide yang waras. Revan sekalian siap-siap kuliah. Sebenarnya aku malas mandi toh ujung-ujungnya meringkuk di kasur lagi, tapi Revan memaksaku setelah mendapat bonus ceramah tentang pentingnya menjaga kebersihan. Ini orang memang cocok kalau jadi penyuluh kesehatan.
“giliran abang,” ujarku sambil menggosok handuk kecilku di rambut. Aku cuma mengenakan boxer pendek. Pakaian rumahan kalau tidak kemana-mana.
Revan langsung masuk ke kamar mandi dan memulai ritualnya. Sedang aku duduk di kasur dan mendapati dua ponsel yang tergeletak pasrah. Yang satu panjang seperti remote AC tapi tombolnya cuma satu sedang yang satu lagi tipe candy bar biasa. Berhubung aku tidak suka mengusik privasi orang maka kupinggirkan kedua perangkat seluler itu ke sebelah bantalku, kemudian aku tidur-tiduran.

Tidak lama Revan keluar dari kamar mandi, wangi semerbak menghambur ke setiap penjuru kamar. Tak terkecuali hidungku. Kutengok saja ke arah sumber aroma. Aku tidak berkedip, Revan yang topless baru mengenakan celana jeans hitamnya, tengah mengeringkan rambutnya dengan handuk. Tubuhnya putih dan sixpack membuatku ngiler melihatnya. Otot-otot di lengannya terbentuk dengan sempurna, begitu pula di dada dan perutnya. Revan terlihat begitu seksi. Bagiku saat sedang seksi adalah waktu selesai main basket (atau olahraga lain) dan selesai mandi. Revan tipikal seperti kak Adit, tidak suka berlama-lama waktu mandi. Dan sekejap dia sudah berpakaian lengkap ala mahasiswa. Kemeja lengan pendek biru muda dengan sebuah simbol di dada kirinya. Dia menuju ke arahku, sepertinya mau mengambil ponselnya.
“ponselnya …” baru dia ingin bertanya tapi matanya sudah menangkap keberadaan ponselnya di sebelah bantalku. Revan langsung mengantonginya dan berbalik sambil menyambar tasnya.
“satu lagi ketinggalan nih, bang ..” panggilku sambil mengancungkan ponselnya.
Revan berhenti sebentar kemudian menoleh ke arahku. “itu buat ade. Di buku telponnya udah aku simpan nomerku, kalau ada apa-apa ade bisa kontak,”
Setelah itu ia lanjut melengos dan menghilang dibalik pintu. Aku bengong menatap pintu, kemudian kulihat ponsel yang ternyata milikku itu. Dari depan sih bisa kutebak ini ponsel fiturnya komplit dan bermerk pula meski sekarang eranya layar sentuh. Alhamdulillah! Aku berterima kasih atas nikmat yang Engkau berikan, Engkau tidak pernah meninggalkanku. Sekarang aku akan tunaikan janjiku padaMu.

Jam sepuluh aku keluar kamar sembari memakai kaos, hari ini tampak sedikit mendung karena awan gelap yang mendominasi. Aku mengantongi uang sebesar dua puluh lima ribu dimana dua puluh ribu yang akan aku sumbangkan, lima ribunya buat jajan (hehehe). Jam segini masjid itu masih sepi, makanya dengan santai aku menuju kotak amal besar-hijau yang berdiri tegak di dekat pintu masuk. Tengok kiri-kanan sebentar takut ada yang melihat (berasa maling) sebab aku ingat kata pak Ustadz: Tangan kanan diatas sedang tangan kiri tidak tau. Maksudnya kalau bersedekah, berinfaq ataupun beramal bukan untuk dipamerkan, kalau bisa diam-diam saja. Cukup diri sendiri dan Tuhan yang tau. Plung! Begitu suara selembar hijau itu saat sampai ke dasar kotak, meski suara itu cuma khayalanku semata. Aku pun berbalik dan beranjak meninggalkan masjid dengan hati lega. Tiba-tiba sensorku menangkap sesuatu yang membuat mataku gatal. Dari arah kiri tampak seorang wanita baru keluar dari toilet akhwat, menenteng sepatu high heels nya kemudian memasukan sebagian isi dompetnya ke kotak amal. Tapi di mulutnya bertengger benda yang tidak seharusnya dibawa ke masjid: rokok yang menyala. Wanita itu pun dengan santainya berjalan hingga berpapasan denganku. Dia sadar aku sedang mengernyit ke arahnya.
“kenapa de?” tanyanya sambil memindahkan rokoknya dari mulut ke jemarinya yang lentik.
Penampilannya mentereng, dari baju, aksesoris sampai model rambutnya menunjukan wanita ini dari keluarga bukan sembarang. Bahkan dari suara dan wajahnya menunjukan dia wanita yang pintar dan berkelas. Apalagi sorot matanya tajam seperti belati perak.
“itu ..” ujarku sambil menunjuk pentungan mini yang menyala.
Wanita itu sekilas melihat rokoknya, tak sampai sedetik ia mengerti isyarat yang aku maksud.
“ooh iya, maaf-maaf ..” ujarnya sambil tersenyum. Sebuah senyum yang penuh arti, khasnya seorang wanita.

Tanpa ragu ia mematikan rokoknya yang masih panjang dan membuang ke tempat sampah.
“clear?” tanyanya sambil menatapku dengan sorot matanya yang tajam.
“absolutely!” jawabku sambil meninggalkannya. Kata Absolutely adalah kata favorit kak Adit yang sering dia ucapkan.
Tak jauh dari masjid ada sebuah lapangan yang disulap jadi taman hijau oleh RT-RW setempat. Berhubung taman itu tak jauh dari jalan ramai alhasil setiap sore pun banyak orang. Kalau jam dua belas siang biasanya ada tukang-tukang jajanan. Aku memandang uang lima ribuku. Lima ribu dapat apa ya? jadi teringat iklan es krim yang mengangkat tema uang lima ribu yang cukup mengocok perut. Jangan-jangan nanti aku juga dikerjai saat menyodorkan uang lima ribu ini. Sudah! Sudah! Jangan kebanyakan berkhayal Alvin!

Setiba di taman ternyata tukang-tukang jananan lumayan banyak. Soalnya anak SD baru pulang sekolah. Aku ngiler melihat dawet ayu, mataharinya sudah mulai terasa meski banyak awan mendung. Beli tiga ribu juga sudah puas, ujarku kepada diri sendiri. Setelah itu aku duduk-duduk di bangku dekat pohon jambu susu. Benar-benar segar dawet ayu ini, alhamdulillah ya Allah. Aku merogoh ponselku, iseng ku-SMS Revan. Agak kaku juga aku menggunakannya, sebab aku tidak pernah punya handphone sendiri. Ujung-ujungnya pasti pinjam handphone kak Adit, baik untuk SMS temanku atau sekedar main game.

To: Revan
Bang, jam berapa pulang?
Sent!

Sambil menunggu SMS balasan aku sedot lagi dawet ayunya. Sensasi kesegaran alami itu menyegarkan tenggorokanku lagi, manthaff! Tinggal ditunggu saja pileknya. Tak berapa lama ponselku berdering.

Received message from: Revan
Jam2 de .. ==‘
Ky.a td dh bilang dH ?

Oh iya! Kan memang tadi Revan sudah bilang jam dua, pikun sekali aku ini (-____-‘)

“kak Alvin?” sebuah suara memanggil namaku. Aku mengenal sekali suara itu, sampai tersendak minumanku.
Kutengok perlahan ke arah sumber suara, berharap suara itu cuma kebetulan saja. Tapi sepertinya Tuhan berkata lain, tebakanku (sialnya) tidak meleset. Tidak jauh dari tempatku duduk berdiri seseorang yang dulu merupakan adik kelasku sekaligus adik pacar kakakku (malas nyebut namanya) yakni Ferdian Adhiyanto. Dengan setelan kemeja tangan panjang hitam yang digulung dengan celana jeans model beggy dan tas gunung yang menggantung di punggungnya.
“Feri?” ucapku pelan, menyebut nama kecilnya. Entah dia tau soal aku kabur dari rumah atau tidak, tapi dari ekspresinya yang biasa saja sepertinya dia tidak tau.
“lagi apa kak disini?” tanyanya dengan polos, tanpa permisi dia duduk di sebelahku.
“aku lagi nyuci,” jawabku dengan santai.
Feri tampak keheranan dengan jawabanku.
“lagi duduk-duduk santailah fer,” timpalku lagi sambil nyengir.
“sendirian aja? Gak sekolah kak?”
“lagi males denger suara guru, fer. Makanya nyari suasana disini,” jawabku asal.
“ooh,” cuma jawaban pendek dari Feri yang mewakili kepuasannya atas jawabanku.
“kamu sendiri ngapain disini? Gak sekolah!” aku tanya balik. Daripada Feri nanya yang macam-macam lebih baik aku yang tanya duluan.

Feri mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Aku tau betul benda itu, yakni undangan pernikahan. Mataku tak berkedip menatap undangan itu, undangan yang bertuliskan Aditya Firdaus & Lena Humairoh. Hatiku hancur berkeping-keping. Sepertinya kepergianku disambut baik oleh kak Adit untuk melancarkan rencana pernikahan dininya. Okeh! Sekarang kak Adit dapatkan apa yang ia mau. Aku mati-matian menahan diri agar tampak biasa saja di depan Feri.
“aku izin sekolah, menjelang pernikahan tugasku banyak. Sekarang lagi disuruh ngantar undangan ke rumah-rumah saudara. Yang salah satunya ada di dekat sini,”
Aku tidak terlalu memperhatikan omongan Feri, kepalaku terlanjur digelayuti frustasi dan hatiku dihantam rasa kecewa yang luar biasa. Suara Feri terdengar seperti suara tokoh Chipmunks di telingaku, tidak terlalu jelas dan lucu. Aku hanya menanggapi kata-kata Feri dengan senyuman saja.

Tanpa disuruh pergi pun Feri pamit mau melanjutkan tugasnya.
“duluan ya, kak. Tugas yang lain masih menanti. Nanti aku main ke rumah ..” ujar Feri sambil tersenyum. Sebuah senyuman yang mirip sekali dengan kakaknya, tapi aku suka senyuman dia itu.
“salam ya buat ibuku dan kak Adit,” sahutku.
Feri tampak heran tapi tidak bertanya. Dia tetap berjalan dan melanjutkan pekerjaannya. Minuman dawetku yang masih ada lumayan banyak kubuang begitu saja di tempat sampah dekat situ. Seleraku hilang seratus persen. Sinar matahari menjelang siang yang menyengat pun berganti menjadi sebuah mendung. Tak kusangka cuaca bisa begitu mengerti aku.

Dan aku sekarang benar-benar galau. Daripada aku gigit-gigit batang pohon sebaiknya aku pulang. Aku ingin menyendiri.

Aku kembali ke kamarku tepat beberapa saat sebelum hujan turun. Aku menatap ke arah jendela yang menampilkan suasana hujan live. Aku melepas kaosku dan langsung meringkuk dibalik selimut. Sekarang aku bisa menangis sepuasku. Tangisan sekaligus raungan yang tersembunyi dibalik suara hujan. Aku tidak terima kalau kak Adit menikah dengan Lena. Aku sangat menyayangi kak Adit, seseorang yang paling berarti dalam hidupku. Tapi aku bisa apa? Kak Adit sudah membenciku, dia ingin menjalani hidup yang normal. Yeah! Hidup yang normal. Bukan denganku yang tidak normal. Kugigit bantalku seakan ingin mengoyaknya, tak peduli gigiku jadi ngilu. Tak apalah yang penting aku puas. Terbayang kak Adit bersama Lena, berjalan di pelaminan dengan senyum bahagia. Mereka akan mengikat janji sehidup semati dan bahagia selamanya.
“AAAAAARGH!!” aku meraung sejadi-jadinya. Tapi percuma saja, suaraku tertelan hujan yang semakin deras. Tak ada yang mendengar kecuali Tuhan.

Dan aku menangis sejadi-jadinya, membenamkan wajahku ke bantal. Tak peduli nafasku jadi sesak, hatiku jauh lebih sesak. Aku teringat sebuah kenangan dulu. Saat dimana Ibu mengetahui tentang diriku yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar