Senin, 21 Maret 2016

Memories Of Him - Part 6

~Rico Pov~
“Haaaaaaaaaahhhhhhhhhhhh….” aku menghela nafas panjang dan keras.

Aku menempelkan pipi kiriku ke atas meja. Aku capek.

“Kenapa kamu?” tanya Alvin yang memperhatikanku.
“Capek,” jawabku singkat.

Gimana nggak capek kalau pulang sekolah ada tambahan pelajaran untuk persiapan UAN. Tiap hari harus pulang jam tiga sampai jam empat sore. Untung aku udah nggak ikut ekskul basket. Coba kalau masih ikut, bisa tambah capek aku.

“Ya udah ayo pulang!” ajak Alvin.
“Nanti dulu, Awe kan belum ke sini,” kataku pelan.
“Ah iya juga ya,” desis Alvin.

Aku terus merebahkan kepalaku di atas meja. Terlihat anak-anak berhamburan keluar kelas. Mataku juga sempat melihat Pandu yang berjalan meninggalkan kelas. Aneh juga orang macam Pandu bisa masuk IPA. Bukannya aku mendeskriminasi, tapi biasanya orang kayak Pandu itu otaknya buntu (itu nmx diskriminasi Ric –a). Denger-denger dia juga dapet beasiswa sejak kelas sepuluh sampai sekarang.

“Aku tinggal sebentar ya,” tiba-tiba Alvin langsung berjalan keluar kelas ninggalin aku sendiri.

Hiperbola banget sih aku. Aku kan nggak sendiri di kelas ini. Masih ada beberapa temen yang belum pulang.

“Hai nggak pulang?” tanya Lena ketika berjalan melewati mejaku.
“Nunggu Awe,” jawabku.

Dreett…Dreett…

Tiba-tiba hpku bergetar, tanda ada sms masuk karena getarannya singkat. Aku buru-buru merogoh kantong celanaku, mengambil hpku, membuka dan membaca isinya.

From: Tuan Muda
Kamu sama Awe pulang aja duluan. Aku masih ada urusan.

Aku mengerutkan kening membaca sms Alvin.

Urusan?

Sedetik kemudian senyumku merekah. Kebetulan. Kalau Alvin nggak ikut pulang, aku bisa kencan sama Awe hehe. Nggak-nggak bukan kencan, tapi jalan-jalan hehe. Aku mau ajak Awe jalan-jalan ke Mall atau kemanapun yang dia suka.

Terlihat Awe memasuki kelasku dengan wajah cerianya. Aku langsung menyambar tasku dan tas nya Alvin lalu berjalan menghampiri Awe.

“Yuk,” ajakku.

Terlihat Awe yang kebingungan. Dia memandang kearah bangku ku yang sudah kosong lalu memandang tas Alvin yang aku bawa.

“Alvin nanti di jemput supir,” kataku.

Awe tersenyum lalu memutar tubuhnya dan berjalan meninggalkan kelas. Aku mengikutinya dari belakang. Setelah sampai di parkiran mobil aku dan Awe langsung masuk ke dalam mobilku. Tanpa banyak bicara aku langsung melajukan mobilku kearah Mall terdekat. Awe nggak protes karena aku nggak memulangkannya dulu ke rumah. Dia anaknya nyantai dan nggak banyak protes.

Setelah sampai ke Mall, aku dan Awe langsung menyambar es krim magnum. Kesukaanku dan Awe. Kami berjalan-jalan melihat-lihat isi Mall sambil memakan es yang kami beli tadi. Setelah es habis, Aku langsung mengajak Awe makan.

“Kamu pesen apa tadi?” tanyaku.

Sebenernya aku pengen nraktir dia makan, tapi kburu Awe bayar sendiri.

Awe langsung mengeluarkan nota yang dia dapat tadi dan menyodorkan ke arahku.

Ayam Asam Manis. Makanan ke sukaan Awe.

-Kamu?- tiba-tiba Awe menyodorkan notesnya ke arahku.
“Ayam-ayam’man,” jawabku asal. Awe tertawa pelan.

Terlihat pipi Awe sedikit memerah ketika tertawa. Lucu sekali. Aku jadi ingin memeluknya. Mencubit dan mencium pipinya. Tapi aku nggak melakukannya karena aku takut Awe akan marah lagi sama aku. Selain itu kami ada ini di tempat umum.

Setelah pesanan kami datang. Aku dan Awe langsung melahap habis semuanya. Laper berat sih. Aku tertawa ketika melihat pipi dan bibir Awe belepotan kuah saos dari makanan yang dia makan tadi. Karena nggak ada tissue aku mengulurkan tanganku kearah Awe untuk membersihkan kuahnya itu. Aku menyapu perlahan pipinya dengan punggung tanganku. Tiba-tiba mata kami berdua beradu. Aku menatap matanya dan dia juga menatap mataku. Sambil terus berpandangan, aku mulai mengusap bibirnya dengan jari-jariku. Aku mengusap bibirnya dengan sangat perlahan. Menikmati tiap inci bibirnya yang sangat lembut itu dengan jari-jariku.

“Mama buruan,” teriak anak kecil pada mamanya yang langsung menyadarkanku.

Aku buru-buru menarik jari-jariku menjauh dari bibir Awe. Awe langsung menundukkan kepalanya. Wajahnya terlihat memerah. Sedangkan aku jadi salah tingkah mengingat kelakuanku tadi.

“Ki..kita pulang aja yuk,” ajakku, Awe menganggukkan kepalanya tanpa menatapku.

Cuma itu kata-kata yang terlintas dalam otakku. Aku mau pulang. Aku nggak tau harus gimana menghadapi situasi yang canggung kayak gini. Akhirnya aku dan Awe meninggalkan Mall. Selama di dalam mobil aku dan Awe cuma terdiam membisu. Aku nggak tau harus ngomong apa ke Awe. Apalagi Awe juga terus menundukkan kepalanya. Aku cuma berharap Awe nggak marah lagi sama aku.

Setelah sampai di depan rumah Awe, Awe langsung keluar dari mobilku meninggalkan aku.

Aku menghela nafas berat.

Dia marah.

Dreett…Dreett…

Aku mengambil hpku yang aku letakkan di samping kiriku.
From: Awe cutezz

Makasih traktiran es magnum nya. Kapan-kapan gantian aku yang nraktir ^^

Aku masih terpaku membaca sms dari Awe. Sekilas nggak ada yang special sms dari Awe, tapi aku jadi tau kalau Awe nggak marah sama aku.

YES. Hahahaha… Awe nggak marah…Awe nggak marah… Oh God, aku bisa gila kalau kayak gini terus hahahaha…





~Alvin Pov~
Aku ngikutin Pandu dari belakang. Terlihat Pandu berhenti di depan ruang KepSek. Dia mengetuk pintu lalu masuk ke ruangan itu. Aku langsung mendekati ruang KepSek dan berdiri bersandar di samping pintu. Nggak lama kemudian terdengar suara pintu di buka dari dalam.

“Loh Alvin?! Ngapain kamu di sini?” tanya Pandu. “oh mau ketemu KepSek ya?”
“Ah..oh nggak. Aku..aku cuma pengen ketemu kamu.”

Aku langsung menundukkan kepalaku dalam-dalam karena malu.

Aiizz.. Ngapain juga aku bilang kayak gitu?! Tapi aku emang pengen ketemu dia sih. Aku pengen lebih akrab sama dia.

“Oh gitu. Hmm.. kamu belum di jemput ya?”
“Aku neb…eh iya aku belum di jemput,” jawabku bohong.
“Oh.. Kalau gitu kamu mau bantuin aku nggak?”
“Mau..mau.. Bantuin apa?” tanyaku semangat.
“Ngambil mangga. Ya udah ayo, keburu sore nanti,” kata Pandu sambil berjalan kearah kebun.

Aku segera mengikuti langkahnya. Sesampainya di kebun aku langsung mengambil hp dari kantong celanaku dan mengirimi Rico sms yang isinya aku masih ada urusan dan menyuruh dia untuk pulang duluan. Setelah itu aku kembali memperhatikan Pandu yang sibuk dengan kain merah yang tadi dia ambil dari gubuk peralatan.

“Kenapa mangganya di ambil Pan?” tanyaku.
“KepSek takut kalau mangga yang sudah matang jatuh dan mengotori kolam. Makanya aku di mintai tolong buat ngambil mangga-mangga yang matang itu,” jawab Pandu.
“Terus kainnya buat apaan?”
“Nanti kamu juga tau sendiri,” kata Pandu sambil tersenyum ke arahku.

DEG

Aku langsung menundukkan kepalaku ketika Pandu membuka baju seragamnya. Nggak tau kenapa aku jadi malu sendiri liat Pandu telanjang dada seperti ini. Padahal aku sering banget liat Rico telanjang dada dan aku nggak pernah malu liatnya.

“Aku mau panjat pohon, kamu di bawah aja ya,” kata Pandu, “tolong masukkan bajuku ke tas.”

Tiba-tiba pandu melempar bajunya ke arahku. Bajunya itu sukses mendarat di kepalaku. Hidungku langsung mencium aroma badan Pandu dari bajunya itu. Aromanya sungguh cowok banget. Wajahku terasa memanas dan tubuhku melemas di buatnya. Untuk beberapa detik aku masih membaui baju itu sampai aku sadar dengan kelakuan anehku. Aku buru-buru memasukkan baju itu ke dalam tasnya. Aku takut kalau Pandu melihat kelakuan anehku tadi.

“Vin tolong ambilin kain panjang itu,” kata Pandu sambil menunjuk kearah kain berwarna merah yang tergeletak nggak jauh dari tempatku berdiri.

Aku segera mengambil kain merah panjang itu.

“Ini di apain?” tanyaku bingung.
“Ehm..coba ke dua ujungnya kamu ikatkan di pohon ini lalu dua ujung yang lain kamu pegang,” perintah Pandu.

Aku langsung mengikatkan dua ujung kain yang aku pegang pada pohon mangga yang ada di depanku lalu ujungnya aku pegang.

“Gini?” tanyaku lagi sambil melihat ke arah Pandu.
“Iya. Coba kamu berjalan mundur tiga langkah,” kata Pandu lagi.

Aku langsung berjalan mundur tiga langkah menurut aba-abanya. Kain panjang itu jadi terlihat seperti jaring yang siap menangkap apapun yang terjatuh dari atas. Ya benar, aku dan Pandu sedang mengambil mangga dari pohon mangga yang nggak jauh dari kolam ikan di mana aku tenggelam dulu.

BLUUGG…

Tiba-tiba sebuah mangga jatuh tepat di atas kain panjang yang terbentang di tanganku. Sedetik kemudian mangga-mangga yang lain ikut berjatuhan. Bahkan ada dua mangga yang terpental jatuh ke tanah. Aku mengangkat wajahku dan melihat Pandu tersenyum ke arahku.

“Yang banyak Pan,” mintaku semangat.
“Beres,” kata Pandu sambil terkekeh.

Aku seneng banget hari ini. Baru pertama kali ini aku membantu mengambil mangga langsung dari pohonnya. Biasanya aku cuma makan mangga yang sudah di potong berbentuk dadu.

Terlihat Pandu memanjat lebih tinggi lagi dan mengambil mangga yang sudah matang lalu menjatuhkannya. Dengan sigap aku mengarahkan kain panjang itu mengikuti arah jatuhnya mangga-mangga itu. Aku terus mengamati Pandu dari bawah. Terlihat Pandu sedang memilih-milih mangga yang matang untuk di ambil. Tiba-tiba Pandu turun perlahan dari pohon.

“Udah habis,” katanya setelah kakinya menginjak tanah.
“Masa sih?” tanyaku sambil mengamati mangga-mangga yang bergelantungan, “tuh yang di sana masih ada,” tunjukku kearah mangga yang bergerombol.
“Nggak bisa ngambilnya. Sulit,” kata Pandu sambil menepuk-nepuk ke dua telapak tangannya.
“Ooo..lha terus ini mau di apain?” tanyaku sambil melihat mangga-mangga yang sudah terambil.
“Ya di makan. Nanti sebagian mangganya kamu bawa pulang aja,” jawab Pandu.
“Emang boleh?”
“Ya boleh lah,” kata pandu sambil tertawa pelan.

Pandu berjalan melepaskan ikatan ujang kain pada pohon mangga. Setelah itu aku dan Pandu meletakkan kain yang atasnya sudah penuh dengan mangga itu ke tanah. Pandu berjongkok lalu membagi mangga itu menjadi dua bagian. Ternyata jumlahnya pas dua puluh mangga.

“Vin tolong ambilin tas plastic dan pisau di sana,” kata Pandu sambil menunjuk kearah gubuk untuk menyimpan alat-alat berkebun.

Aku langsung berjalan dan masuk ke gubuk kecil itu untuk mengambil tas yang dia maksud tadi. Setelah itu aku kembali ke tempat Pandu lagi.

“Ini kan?” tanyaku sambil menyodorkan tas plastic kearah Pandu.
“Iya. Thanks ya,” kata Pandu sambil mengambil tas plastic itu dari tanganku.

Aku ikut berjongkok dan mengamati apa yang di lakukan Pandu. Terlihat Pandu memasukkan sepuluh mangga ke dalam tas plastic itu.

“Nih,” katanya sambil menyodorkan tas plastic yang sudah terisi mangga padaku.
“Makasih Pan,” kataku sambil menerima mangga pemberiannya itu. Pandu tersenyum.

Aku langsung menundukkan kepalaku. Melihatnya tersenyum seperti itu membuatku malu sendiri.

Kenapa aku jadi sering malu kalau bersama dengannya ya? Dadaku juga sering berdebar-debar.

“Mau makan mangga?” tanya Pandu, aku mengangguk tanpa berani menatapnya.

Dengan ujuang mataku aku dapat melihat Pandu sedang memungut dua mangga yang terjatuh tadi dan mulai mengupas kulitnya dengan pisau yang aku bawakan tadi.

“Oh ya Pan, aku boleh minta no hp mu nggak?” tanyaku.

Aku baru ingat kalau malam itu aku belum sempat menanyakan no hpnya.

“Boleh,” jawab Pandu.

Pandu berhenti mengupas mangga dan berjalan menuju tasnya. Dia mengambil bolpoin dari dalam tasnya. Setelah itu dia berjalan ke arahku. Tiba-tiba Pandu menggenggam tangan kiriku.

“Ini no hp ku,” kata pandu sambil menulis deretan angka-angka di punggung tangan kiriku.
“Hah?? Oh i..iya,” kataku kaget.

Aku kira dia tadi mau ngapain, ternyata dia nulis no hp nya. Bikin deg-deg’an aja.

Pandu mengantongi bolpoin nya lalu meneruskan mengupas kulit mangga itu. Nggak sampai semenit kulit mangga yang dia pegang sudah terkelupas semua. Pandu mulai memotong mangga itu menjadi dua bagian dan hanya menyisakan bijinya.

“Nih,” Pandu menyodorkan potongan mangga terbesar ke arahku.

Aku langsung menerimanya dan memakannya.

“Manis,” kataku.
“Enak kan?!”
“Iya,” jawabku, “oh ya, hari ini kamu nggak kerja di bengkel?” tanyaku.
“Kerja, tapi nanti jam lima sampai malam,” jawab pandu, “aku cuma kerja part time kok di sana,” lanjutnya lagi.
“E..emang gajinya cukup buat sehari-hari?” tanyaku ragu-ragu.

Aku takut kalau Pandu tersinggung dengan pertanyaanku. Tapi aku bener-bener pengen tau.

“Sebenernya nggak cukup tapi ya aku cukup-cukupin,” kata Pandu sambil memakan potongan mangga yang satunya.

Akhirnya kami makan mangga dengan mengobrol. Ternyata selain kerja di bengkel, Pandu juga kerja sebagai penjaga di tempat kosnya. Bengkel dan tempat kos itu ternyata miliknya Aan. Aan minta tolong ke Pandu buat ngawasin anak-anak yang kos di tempatnya. Selain mendapat gaji, Pandu juga tinggal gratis di tempat kos itu.

“Aan baik ya,” gumamku.
“Jangan sampai Aan dengar omonganmu barusan. Bisa Ge Er dia,” kata Pandu pelan, aku tertawa.
“Aku mau lagi dong,” kataku setelah mangga yang di beri Pandu tadi habis.

Pandu tertawa pelan melihatku ketagihan seperti ini.

“Pan, aku mau nyoba ngupas kulitnya,” kataku ketika melihat Pandu mulai mengupas kulit mangga yang satunya.

Pandu segera mengoper mangga dan pisaunya ke arahku. Aku mulai mengupas kulit mangga itu perlahan-lahan. Baru kali ini aku mengupas kulit mangga sendiri. Terlihat Pandu mencuci tangannya di kran air dekat kolam lalu berjalan kearah tasnya, mengambil bajunya lalu memakainya.

“AAUUUU…” pekikku kesakitan ketika jari telunjukku tergores pisau.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya pandu yang buru-buru menghampiriku, aku menggeleng pelan.

Terlihat darah segar mulai mengalir dari jari telunjukku dan mengenai mangga yang sedang aku pegang.

“Yaaaaaah.. mangganya kena darahku,” kataku panik.
“Biarin aja mangganya,” kata Pandu sambil mengambil mangga dan pisau dari tanganku dan meletakkannya ke kain merah tadi.

DEG

Jantungku hampir copot ketika Pandu memegang tanganku dan memasukkan telunjukku ke dalam mulutnya. Pandu menyedot telunjukku lalu meludahkan darahku. Dia melakukannya sampai tiga kali.

“Kamu cuci dulu tangan dan jarimu itu ke kran air yang di sana. Aku mau ambil handsaplas dulu,” kata Pandu sambil beranjak meninggalkanku.

Aku masih terdiam memandangi jariku yang terlihat basah. Basah karena terkena mangga dan ludah Pandu. Perlahan-lahan aku mendekatkan telunjukku itu ke bibirku. Jantungku berdebar keras saat jari telunjukku menempel pada bibirku. Aku mulai menjilat sendiri jariku itu dengan sangat perlahan. Mukaku terasa panas dan ada getaran aneh yang menjalar pada tubuhku. Sedikit demi sedikit aku mulai membuka mulutku dan memasukkan jariku. Aku memutar lidahku di jari telunjukku itu. Sesekali aku mengeluarkan sebagian telunjukku lalu memasukkannya lagi.

“Vin ngapain kamu?”

DEG

Aku kaget setengah mati ketika mendengar suara Pandu dari sisi kananku. Aku nggak menyadari kedatangannya.

“A..aku masih mengeluarkan darahnya,” kataku gugup.

Aku buru-buru beranjak dari dudukku dan mencuci tanganku. Setelah itu aku kembali ke Pandu.

“Kemarikan jarimu!”

Aku segera mendekatkan tangan kiriku ke arahnya. Pandu segera menempelkan handsaplas itu ke jariku yang terluka.

“Makasih,” kataku pelan.
“Makanya hati-hati. Untung cuma tergores sedikit,” kata Pandu, “ya udah kita pulang aja. Udah sore ini.”
“ASTAGA AKU BELUM SMS PAK UJANG BUAT JEMPUT AKU,” teriakku panic.

Aku baru sadar kalau aku belum sms Pak Ujang. Lha sekarang aku pulangnya naik apa? Naik taxi??

“Aku anter aja,” kata Pandu, aku langsung tersenyum lebar.





~Pandu Pov~
“Aaaahhh..ahh..egghhh…”

Plok..plok..plok…

“Aku..aku mau..aakkhh..ke..ke..luaaaaRRRGGGGGGHHH….”
“Aaahhhh….”
“Aku..aku juga mau keluar..eegghhh…”
“AAAAARRRGGHHHH….” (@_@a..apa ini haha)

PATZ…

“Lhoh..kok di matiin sih Pan?!” protes Yayan.
“Ck Pandu nggak seru ah,” timpal Vino.
“Pandu jahat ah,” kata Amel sambil mendorong kepala Oboy dari selangkangannya.

Aku menghela nafas sejenak lalu memandang Yayan, Vino, Ipang, Renata, Amel, Alisa, Yoga, Oboy, Merry, Hendra dan Udin (udin2 nmamu norak tp terkenal hihi…mndadak inget nm udin haha) secara bergantian. Tanpa banyak bicara aku menunjuk jam dinding yang tertempel di dinding ruang tamu.

“Yang cewek cepet pulang dan yang cowok bersihin tempat ini!” kataku jengah, nggak ada reaksi, “SEKARANG!!” bentakku jengkel.
“Iya..iya.. ah baru juga jam sebelas lebih udah di suruh pulang,” gerutu Alisa sambil membetulkan kemejanya yang berantakan.
“Iya nih. Padahal masih seru-serunya. Ah bener-bener deh,” timpal Yoga yang menutup resleting (bnr g tulisanx?) celananya.
“Kalian pikir ini tempat mesum apa?!” kataku jengkel, mereka cuma manyun-manyun nggak jelas.

Aku berjalan mendekati sofa dan menghempaskan pantatku di samping Merry yang masih membetulkan rambutnya.

“Ya sekali-kali kan boleh Pan. Ini Ultahku loh,” kata Merry genit sambil meraba-raba dadaku.
“Met Ultah deh,” kataku malas sambil menepis perlahan tangan Merry.

CUP

Tiba-tiba Merry mencium bibirku sekilas.

“Ngapain sih kamu ini?” aku segera mendorong tubuh Merry menjauh.
“Minta kado darimu,” kata Merry sambil mengedipkan sebelah matanya ke arahku. Aku cuma mendengus melihat tingkahnya itu.
“Ya udah kami pulang dulu ya,” pamit Renata sambil berjalan menuju pintu keluar.
“Sinting,” gumamku sambil tertawa ketika melihat Renata keluar sambil membawa bra nya di tangan.
“Pan aku pulang dulu ya. Oh ya, nih buat kamu,” kata Amel sambil melemparkan sesuatu ke arahku.

Aku langsung tertawa pelan ketika melihat benda yang di lempar Amel. Kondom.

Satu persatu cewek genit itu mulai meninggalkan tempat kos. Aku cuma terduduk di sofa sambil mengamati para lelaki hidung belang itu membersihkan ruang tamu. Sesekali aku melempar kondom pemberian Amel tadi ke atas lalu menangkapnya lagi.

“Bantuin bersih-bersih dong Pan!” gerutu Udin yang sedang membereskan sampah yang berserakan.
“Ogah. Aku kan nggak ikut Party,” kataku sambil mengantongi kondom tadi.

Aku mencolek krim roti tart yang ada di atas meja lalu menjilatnya. Manis.


Beggin, beggin you
Put your loving hand out, baby
Beggin, beggin you
Put your loving hand out darling


Tiba-tiba lagu beggin terdengar dari hpku. Aku buru-buru mengambil hpku dari kantong celanaku. Di layar hpku tertera no baru yang belum aku save.

“Hallo,” sapaku.
“…”
“…”
“Hallo,” sapaku lagi.
“Ha..hallo,” terdengar suara dari seberang sana.

Suara cowok.

“Ini Pandu?”
“Ya benar. Ini siapa ya?” tanyaku sambil mencolek krim di roti tart tadi dan menjilatnya.
“Aku Alvin.”
“Oh kamu Vin. Kirain siapa tadi. Ada apa?”
“Ng..ngak ada apa-apa. Aku cuma nyoba no hp yang kamu kasih tadi siang,” kata Alvin.
“Oh gitu. Aku kira tadi no hp yang aku kasih udah terhapus pas kamu cuci tangan tadi.”
“Ya emang ada yang samar sih makanya aku telfon aja buat mastiin hehe,” kata Alvin sambil tertawa pelan. Aku tersenyum.

Suara Alvin terdengar lebih lembut kalau lewat telfon.

“Pan..”
“Ya?”
“Aku..aku boleh nggak jadi temenmu?”

Aku langsung tertawa.

“Kita kan emang temenan Vin. Gimana sih kamu ini,” kataku sambil berusaha meredam tawaku.
“Ehm..gi..gitu ya hehe.. makasih ya Pan kamu udah mau jadi temenku.”
“Biasa aja kali Vin,” gumamku sambil tersenyum.
“Pan..”
“Hmm?”
“Boleh nggak aku telfon atau sms kamu tiap hari?” tanya Alvin lirih.
“Boleh aja sih. Tapi buat apa kok sampai tiap hari gitu?”
“Aku…aku pengen denger suaramu.”
“Hah??”
“Met malem. Bye..”

Tiba-tiba Alvin memutuskan telfonnya. Aku yang masih bingung cuma memandang layar hp ku yang sudah kembali normal dengan wallpaper pemandangan. Sedetik kemudian aku tersenyum mengingat kata-katanya tadi.

“Aku pengen denger suaramu,” desisku mengulang kata-kata Alvin.
“Suara siapa?”

DEG

Aku kaget ketika mendengar suara dari samping kiriku. Terlihat Vino sedang cengengesan nggak jelas ke arahku.

“Bukan siapa-siapa,” kataku ketus sambil beranjak dari dudukku.
“Alvin oh Alvin,” kata Yoga cengengesan.

Aku memandang Yoga galak. Yoga langsung menutup mulutnya rapat-rapat.

“Alvin oh Al..”
“HAI..!!” bentakku jengkel.

Yoga langsung kabur meninggalkan ruang tamu di selingi gelak tawa anak-anak yang lain. Tapi tawa mereka langsung lenyap ketika aku mengangkat bogem kananku ke udara.

Aku mendengus sebal. Dengan malas aku melangkahkan kakiku mendekati pintu keluar. Aku mau beli rokok di warung, sekalian mencari angin segar. Langkahku terhenti ketika berpapasan dengan Johan yang mau masuk ke dalam. Johan adalah penghuni tempat kos ini yang usianya paling muda. Umurnya masih 13 tahun. Tapi karena badannya tinggi dia sering di kira anak SMA.

“Dari mana?” tanyaku.
“Bali,” jawabnya singkat, jelas, padat dan jutek. (ps. Balapan liar)

Aku yakin dia baru kalah taruhan.

“Jo,” panggilku.

Johan langsung menghentikan langkahnya lalu memutar tubuhnya menghadapku. Aku langsung merogoh kantong celanaku mengambil kondom pemberian Amel tadi, setelah itu aku melemparkannya kearah Johan. Johan langsung menangkap kondom itu. Dia langsung tersenyum ketika melihat kondom itu.

“Sinting,” gumamnya sambil membuang kondom itu ke tempat sampah yang ada di dekatnya.

Aku melanjutkan langkahku sambil tertawa. Kali ini aku nggak naik sepeda motor untuk pergi, karena tempat yang akan aku tuju sangat dekat dengan tempat kosku. Sesampainya di warung kopi yang aku tuju, aku langsung membeli rokok kesukaanku.

“Meoowww…Meoowww…Meoowww..”

Tiba-tiba suara kucing terdengar dari hp ku menandakan kalau ada sms masuk. Aku langsung mengambil hpku dari kantong celanaku dan membaca sms yang masuk.

From: Ipang ketipang
Bos km kan lg kluar, skalian beliin shampo ya. Uangnya nanti aku ganti. Thx

“Pak ada shampo nggak?” tanyaku pada penjual kopi di warung ini.
“Wah nggak jual mas,” jawab bapak itu.
“Oh ya udah makasih ya Pak.”
“Ya..ya mas.”

Akhirnya aku memutuskan untuk beli di mini market. Dari warung kopi ke sana udah nggak terlalu jauh. Aku melangkahkan kakiku menuju mini market itu. Jalanan udah nampak sepi. Cuma ada beberapa kendaraan yang lewat. Nggak sampai lima belas menit kakiku sudah mendekati mini market tujuanku. Tapi langkahku langsung terhenti ketika aku melihat sesosok cowok yang aku kenal.

Dia…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar