Senin, 21 Maret 2016

Memories Of Him - Part 1

~Writer Pov~
Terlihat seorang pria paruh baya dengan setelan baju serba putih sedang menatap sebuah makam tua yang ada di depannya. Sedetik kemudian pria itu berjongkok di samping makam itu, di ambilnya beberapa daun yang terlihat berserakan di atas makam tersebut. Lalu daun itu di buang nggak jauh dari makam itu.

“Hai apa kabar? Apa kamu baik-baik saja di sana?” tanya pria itu sambil memegang lalu mengusap perlahan “Hai apa kabar? Apa kamu baik-baik saja di sana?” tanya pria itu sambil memegang lalu mengusap perlahan foto yang tertempel di kijing (batu nisan) yang terbuat dari marmer putih di sebelah kanan dia berjongkok.

Hening, tak ada jawaban. Hanya ada hembusan angin yang bertiup membuat rambut pria itu sedikit bergoyang. Kesunyian yang mencekam. Tapi pria itu hanya merasakan ketenangan ketika berada di samping makam tua itu. Tak ada rasa takut karena kesunyian itu. Tak ada rasa gundah sedikitpun di hatinya sama seperti dulu, sewaktu pria di foto itu masih mengisi hidupnya.

“Maaf baru bisa mengunjungimu sekarang. Aku baru pulang dari Jerman dan baru sampai ke sini kemarin malam,” kata pria itu sambil tersenyum melihat foto pria itu. seakan-akan memberi kesan kalau pria itu masih hidup dan berada di sisi nya.
“Tapi aku nggak bisa lama-lama di sini, aku harus kembali lagi ke sana. Maaf kalau kamu akan kesepian lagi tanpaku,” desisnya.

Raut wajahnya mendadak memancarkan kesedihan yang mendalam. Dia merasakan kekosongan yang amat sangat dalam hatinya. Berat rasanya memikirkan perpisahan mereka lagi.

“Mungkin bukan kamu saja yang akan kesepian kalau aku kembali ke Jerman. Aku juga pasti sangat kesepian karena harus berpisah denganmu lagi.”

Pria itu menghela nafas untuk mengisi paru-parunya yang daritadi sudah terasa sesak.

“Padahal dulu kita selalu bersama. Rasanya seperti baru kemarin kita bercanda tawa,” kata pria itu sambil tertawa pelan seperti mengingat sesuatu.

Sedikit demi sedikit senyumnya mulai memudar. Pria itu mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Matanya terlihat kosong seperti menerawang jauh entah ke mana. Membawa pikirannya jauh melayang menghitung mundur waktu demi waktu yang telah terlewati.


~Flash Back~

~Rico Pov~
Aku berjalan memasuki rumah megah yang ada ada di depanku. Memasuki ruang tamu yang besar dengan hiasan keramik-keramik mahal seperti vas dan hiasan kecil lainnya.

“Bi, Alvin di mana?” tanyaku pada salah satu pembatu di rumah ini yang sedang mengepel lantai.
“Lagi makan,” jawab Bi Yum singkat.

Tanpa banyak tanya lagi aku langsung melangkahkan kakiku melewati ruang tamu dan ruang keluarga menuju ruang makan untuk menemui tuan muda di rumah ini.

Ya benar, rumah megah ini bukan rumahku, tapi rumah temanku yang namanya Alvin. Nah pertanyaannya, kenapa aku punya teman anak orang kaya seperti Alvin? Itu karena ortuku adalah orang kepercayaan Papa dan Mama nya Alvin yang di beri kuasa untuk mengurusi rumah ini. Lagian sejak kecil aku sudah di angkat anak oleh om dan tante agar aku bisa menjadi teman main Alvin. Sejak kecil Alvin sering sakit karena daya tahan tubuhnya yang lemah, karena itu dia jadi sering nggak masuk sekolah dan akhirnya jadi nggak punya teman dekat. Bukannya mereka nggak mau berteman dengan Alvin, mereka cuma nggak pe de aja berteman dengan anak setajir Alvin. Aku sih bisa ngerti pemikiran mereka, karena aku juga gitu awalnya. Nggak pe de berteman dengan Alvin. Tapi pikiran nggak pe de itu hilang ketika aku udah kenal dan deket sama Alvin. Anaknya asyik. Asyik buat di kibulin karena terlalu polos hehe. Selain itu Alvin orangnya nggak sombong, anak nya baik, murah senyum, pinter dan sabar. Nggak rugi lah temenan sama dia.

“Udah selesai makannya?” tanyaku pada Alvin yang terlihat duduk manis di kursi meja makan.

Alvin melihat ke arahku lalu tersenyum. Senyumnya bisa membuat para cewek klepek-klepek deh.

“Pagi Ric,” sapanya, “tinggal sedikit lagi kok,” lanjut Alvin sambil meneruskan makannya.

Aku langsung berjalan mendekati Alvin. Terlihat masih ada beberapa sossis di piringnya. Tanpa permisi aku langsung mencomotnya.

PLAK..

“ADUH..” pekik ku kaget karena tiba-tiba Bi Surti memukul tanganku sampai sossis yang aku comot tadi terlepas dan jatuh ke piring Alvin lagi.
“Jangan ganggu den Alvin makan!” omel Bi Surti.
“Apaan sih Bi?! Cuma ambil sossis doang kok,” gerutuku.
“Ya biarpun cuma sossis itu namanya nggak sopan tau!” omel Bi Surti lagi.

Aku jadi manyun-manyun kerena udah kena omel pagi-pagi. Sedangkan Alvin malah tertawa pelan melihat tingkahku dan Bi Surti.

“Nggak apa-apa kok Bi,” kata Alvin pelan sambil memberikan sossis tadi ke arahku dengan garpu baru tentunya.

Aku langsung melahapnya dari garpu yang di sodorkan Alvin. Merasa masih kurang, aku pun langsung mencomot beberapa sossis lagi dari piring Alvin dan langsung memakannya.

“Ngelunjak!!!” omel Bi Surti lagi sambil menjitak kepalaku.
“EHMM…” pekikku tertahan karena mulutku sedang penuh dengan sossis.

Aku langsung mengusap-usap kepalaku yang kena jitak.

Gila nih bibi satu ini. Galaknya amit-amit kalau sama aku.

“Waduh Bi, jangan galak-galak dong sama Rico,” kata Alvin sambil mengusap-usap kepalaku pelan.
“Iya tuh Vin, galak banget ya. Pecat aja deh bibi satu ini!” gerutuku sok manja mumpung ada yang belain haha..
“Berani ya kamu ngomporin den Alvin. Bibi bikin perkedel juga kamu,” kata Bi Surti geram sambil mulai memukul pantatku dengan ujung sapu.

Aku berusaha menghindari pukulan Bi Surti dengan berlari memutari meja makan. Tiba-tiba terdengar suara panggilan dari arah dapur. Bi Um memanggil Bi Surti dengan suara panic. Aku nggak tau ada masalah apa di dapur, tapi aku bersyukur karena Bi Surti langsung beranjak meninggalkan ruang makan menuju dapur. Aku nggak kena pukul lagi deh hehe.

“Ya udah berangkat yuk,” ajak Alvin yang ternyata sudah menyandang tas sekolahnya.
“Ah anu..kamu beneran mau masuk sekolah hari ini?” tanyaku gugup.

Aku hampir saja melupakan sesuatu. Aku datang ke rumah Alvin bukan semata-mata mau jemput dia ke sekolah aja, tapi ada hal lain yang harus aku omongin ke dia.

“Ya iya lah. Aku sudah nggak apa-apa kok,” jawabnya mantap sambil mulai berjalan meninggalkan meja makan.
“Tapi kan..ehm..”
“Apa?” tanya Alvin karena aku nggak meneruskan kata-kataku.

Alvin menghentikan langkahnya lalu melihat ke arahku, menunggu kelanjutan kalimatku.

Mendadak aku jadi ragu juga buat ngomong ke dia.

Enaknya dia di kasih tau apa nggak ya? Nanti kalau dia sudah tau lalu dia jadi panic gimana? Apa biar dia tau sendiri aja ya? Kayaknya lebih baik kalau dia tau sendiri aja. Semoga aja dia mau maafin aku setelah dia tau apa yang terjadi di sekolah, tepatnya di kelas nanti. AMIN.

“Ng..nggak jadi,” kataku akhirnya sambil mulai berjalan meninggalkan meja makan.
“Ayo!” kataku lagi ketika melihat Alvin yang masih terdiam di tempatnya berdiri tadi. Tanpa bertanya lagi dia langsung menyusul langkahku.

Ya lebih baik kamu nggak usah bertanya dulu.

Aku dan Alvin langsung menuju halaman depan di mana mobilku terparkir. Mobilku ini pemberian dari om dan tante. Sebenarnya tanpa aku jemputpun Alvin bisa di antar ke sekolah sama supir pribadinya. Tapi Alvin lebih suka bareng aku, jadi tiap hari aku yang harus antar jemput dia. Aku sih nggak keberatan, karena aku jadi punya teman kalau ke mana-mana.

Setelah kami berdua masuk ke dalam mobil, aku langsung melajukan mobilku kearah sekolah dengan perasaan was-was dan rasa bersalah. Ya.. rasa bersalah…hehe..maaf ya Vin…





~Alvin Pov~
Aku dan Rico berjalan melewati lorong-lorong kelas menuju kelas kami yang ada di lantai dua. Beberapa kali aku di sapa beberapa anak yang berpapasan dengan kami, dan aku membalas sapaan mereka di sertai senyuman. Padahal banyak dari mereka yang nggak aku kenal, tapi anehnya mereka banyak yang kenal aku. Akhirnya aku dan Rico sampai di kelas 12 IPA 5, kelas kami.

“Pagi Vin, gimana badannya? Udah baikan?” sapa Nina yang duduk di bangku paling depan.
“Pagi Nin. Iya sudah baikan,” balasku sambil tersenyum kearah Nina.
“Alvin, aku kangeeeennnn,” seru Yenny yang mendadak muncul dan langsung bergelanyut manja di lengan kananku. Aku cuma tertawa pelan sambil berusaha melepaskan tangan Yenny sesopan mungkin.
“Yenny curang ah, aku juga mau nempel-nempel sama Alvin,” seru Dina yang ikut melingkarkan tangannya di lengan kiriku.
“Haaaaiiiiiii… stop!! Nggak liat apa Alvin udah sesak nafas gara-gara kalian nempel-nempel kayak gini?!” omel Rico sambil berusaha melepas tangan Dina dan Yenny dari lenganku.
“Apaan sih? Ganggu aja. Nggak tau apa kami lagi pe-de-ka-te?” protes Dina.
“Iya nih. Padahal dia sendiri juga nempel terus ke Alvin,” timpal Yenny sambil kembali ke tempat duduknya.
“Heh beda ya. Aku ini temen deketnya Alvin plus body guard nya, jelas aja aku harus nempel ke Alvin terus” cerocos Rico nggak jelas.

Akhirnya adu mulut antara Dina, Yenny dan Rico pun berlangsung.

Perasaan mereka bertiga selalu nggak bisa akur deh. Lagian si Rico juga gitu, padahal dia cowok, tapi selalu nggak mau ngalah biarpun lagi berhadapan dengan cewek. Dasar.

Aku pun mengedarkan pandanganku ke semua penjuru kelas. Tapi aku merasa ada yang aneh di sini.

“Ric, tempat duduk kita yang mana?” tanyaku pada Rico yang masih saja berdebat dengan Dina dan Yenny.

Rico langsung terdiam dan melihatku. Tak ada jawaban darinya, yang ada hanya raut wajah yang nampak kebingungan. Sedetik kemudian dia menempelkan kedua telapak tangannya lalu menundukkan kepalanya di depanku.

“Sorry Vin. Kemarin karena panic aku jadi melupakanmu.”
“Maksudnya?” tanyaku bingung.

Rico kembali menatapku sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dia terlihat seperti orang yang sedang kebingungan.

“Ke..kemarin waktu kamu nggak masuk, aku telat masuk ke sekolah. Lalu setelah aku sampai di kelas ternyata semua bangku sudah terisi. Yang masih kosong cuma bangku di samping Aldo dan…dan.. bangku di samping dia,” jelas Rico sambil menunjuk cowok yang duduk di bangku paling pojok belakang sendiri.
“Makanya tanpa sadar aku memilih duduk di samping Aldo. Aku nggak mau duduk di samping dia. Maaf ya Vin,” lanjut Rico sambil berjalan menuju bangku Aldo lalu duduk di samping Aldo.

Mendadak rasa ngeri menghantuiku ketika melihat cowok yang di tunjuk Rico tadi.

Cowok yang di tunjuk Rico tadi namanya Pandu. Dia adalah anak yang paling di takuti di sekolah ini. Waktu masih kelas sepuluh dulu dia sudah berani menghajar salah satu guru di sini sampai babak belur. Lalu ada gossip lagi kalau dia pernah menghajar sepuluh anak dari sekolah lain seorang diri. Bahkan karena perkelahian itu ada seorang anak yang terbunuh gara-gara dia. Kalau yang terakhir aku nggak percaya, karena kalau dia bunuh orang, pasti dia masih mendekam di penjara saat ini.

Biarpun gitu tetap aja aku merasa ngeri. Karena selain gossip-gossip mengerikan itu, masih banyak gossip lain tentang dia. Misalnya, kalau ada orang yang berani menatap matanya, orang itu bakal di hajar sama dia. Lalu kalau ada orang yang nggak sengaja menyenggol atau menabrak tubuhnya, orang itu bakal di bunuh sama dia. Dia juga terkenal suka memeras orang kaya dan nggak segan-segan memukul orang itu kalau keinginannya nggak terpenuhi. Preman di sekolah ini aja nggak ada yang berani sama dia. Pandu juga di gossipkan ‘make’ plus jadi pengedar. Pokoknya dia itu benar-benar orang yang berbahaya >.<

Ya mau nggak mau aku jadi percaya deh. Lagian kalau di liat dari fisiknya emang dia itu cocok buat jadi preman. Tinggi badannya sekitar 175-180 cm, mungkin bisa lebih tinggi lagi. Kulitnya kecoklat-coklatan. Badannya besar. Rambutnya agak panjang dan selalu di kuncir, ya biarpun yang terkuncir cuma sedikit sih. Tatapan matanya selalu tajam dan terkesan mengerikan, yang seakan-akan berkata, ‘berani bertatapan mata denganku berani terima resikonya’ gitu. Ada bekas luka gores di pelipis kirinya, yang tambah memberi kesan berbahaya padanya. Dan sekarang aku harus duduk sama dia? Oh GOD mimpi apa aku kemarin??? Ya ini emang salahku juga sih karena kemarin aku nggak masuk kerena demam. Padahal kemarin adalah hari pertama masuk ke kelas dua belas dan biasanya anak-anak akan berebut tempat duduk.

Aku menatap ke Rico dengan tatapan ‘HELP ME’ tapi aku cuma dapat jawaban ‘SORRY’ dari bibirnya tanpa suara. Terlihat beberapa anak langsung mengerti kondisiku, tapi nggak ada yang berani komentar atau menolongku. Mereka cuma menatapku dengan pandangan simpatinya.

Tiba-tiba bel tanda masuk berbunyi. Akhirnya dengan berat hati aku melangkahkan kakiku mendekati meja Pandu. Terlihat Pandu yang asyik dengan headsetnya sambil menggoyang-goyangkan kursinya. Ke dua kakinya di naikkan di atas meja. Sejenak aku hanya terdiam di samping mejanya.

“Ehm..Pan,” panggilku nyaris berbisik karena rasa takut yang aku rasakan.
“…”

Nggak ada respon darinya. Melihatku aja nggak.

“PAN…” panggilku lagi setengah berteriak.

Pandu langsung melihat ke arahku dengan tatapan tajamnya. Aku buru-buru menundukkan kepalaku menghindari tatapannya. Aku takut di hajarnya.

“Hmm?” tanyanya malas.
“Aku…ng.. boleh duduk sini nggak?” tanyaku ragu-ragu sambil melirik ke arahnya sekilas.

Terlihat Pandu sudah melepas headsetnya. Dia juga sudah menurunkan kakinya dari atas meja. Tapi dia masih melihat ke arahku. Aku jadi tambah takut aja. Jangan-jangan setelah ini dia akan menghajarku.

“Terserah,” jawabnya singkat.

Aku langsung menatap ke arahnya. Kaget juga karena nggak nyangka dia akan ngijinin aku duduk di sampingnya. Aku kira dia akan menghajarku dulu baru aku boleh duduk di sampingnya.

“Apa?” tanya nya ketika dia tau aku sedang menatapnya.
“Ng..nggak apa-apa,” kataku sambil menundukkan kepalaku lagi.

Dengan perlahan-lahan aku duduk di sampingnya. Setelah itu, sedikit demi sedikit aku menggeser kursiku sampai setengahnya keluar dari meja. Aku takut dekat-dekat sama dia. Ya moga-moga aja seharian ini aku bisa selamat dari maut.

~Rico Pov~
“Maaf ya Vin, aku bener-bener minta maaf,” kataku meminta maaf pada Alvin ketika sedang mengisi jam istirahat di kantin.

Rasanya udah nggak terhitung berapa kali aku minta maaf ke dia.

“Aku tadi kan sudah bilang, kamu nggak salah. Jadi kamu nggak usah minta maaf terus,” kata Alvin sambil tersenyum kearahku, lalu dia melanjutkan memakan bekal yang di bawa nya dari rumah.

Alvin ini kesehatannya sangat di pantau sama ortunya. Dia nggak boleh jajan sembarangan. Jadi sudah hal biasa kalau melihat Alvin ke kantin tapi bawa bekal dari rumah hehe.

“Tapi kan aku tetep nggak enak sama kamu,” kataku lagi.

Tiba-tiba tangan kananku di goyang-goyang sama Awe yang duduk di sebelahku.

Posisi saat itu aku dan Awe duduk bersebelahan dan Alvin duduk di depan Awe.

Awe menyodorkan notes ke arahku yang sudah ada tulisannya.

Isinya:
-Ada apa sih?-
“Ini, tadi Alvin duduk sama Pandu,” jelasku.

Awe melebarkan matanya kaget. Lalu dia mengambil notes yang dia sodorkan ke arahku tadi, membaliknya, menulis lagi di bagian belakang, lalu menyodorkannya ke arahku lagi.

Isinya:
-Kok bisa?-

Aku menghela nafas sejenak. Memegang ke dua bahunya lalu menatap ke dua matanya (kek mau apa ae haha).

“Nanti aja aku jelasin,” kataku, setelah itu aku melepaskan tanganku dari bahunya.
-Yah kok gitu???- tulisnya lagi.
“Ya gitu.”

Mendengar jawabanku dia jadi manyun-manyun nggak jelas. Ngambek karena cuma dia yang nggak tau masalahnya. Wajar sih dia nggak tau, soalnya dia nggak sekelas sama aku dan Alvin.

Banyak yang mengira Awe ini bisu, tapi itu salah. Dia pernah cerita ke aku dan Alvin kalau dia mengalami trauma, ya biarpun dia ceritanya lewat tulisan sih. Awe nggak akan bicara kalau nggak ada hal yang sangat penting. Sebenarnya namanya bukan Awe tapi Agung Wahono Saputra. Tapi karena di sekolah ada tiga anak yang mempunyai nama Agung, jadi namanya di singkat jadi A.W saja. Cara manggilnya Awe. Dia di panggil gitu biar namanya nggak sama kayak nama kedua anak lainnya. Awe ini anaknya manja banget. Kesannya emang aneh kalau cowok umur 17 tahun dan sudah kelas dua belas tapi masih manja kayak gini. Aku nggak tau manjanya itu karena dampak dari traumanya dulu atau bukan. Tapi hal itu nggak jadi masalah buat aku dan teman-teman lainnya. Aku kenal Awe sejak MOS kelas sepuluh dulu. Kami bertiga satu kelompok.

“Jangan ngambek gitu ah, sini aku kasih permen,” kataku.
-Aku bukan anak kecil, aku nggak suka permen- tulisnya.
“Yakin???”

Dia diam saja, setelah itu dia mengalihkan pandangannya dariku.

“YAKIN?????” ulangku.

Tetap nggak ada reaksi.

“Ya udah aku makan sendiri aja,” lanjutku.

Aku mengambil satu permen candy dari sakuku lalu membuka bungkusnya, setelah itu aku melemparkannya ke dalam mulutku. Terlihat Awe mulai melirik ke arahku. Aku sengaja menggerak-gerakkan bibirku memberi kesan kalau permennya enak. Terlihat Awe merapatkan bibirnya. Nggak sampai sedetik dia sudah menyodorkan notes ke arahku lagi.

-Mau….- tulisnya.
“Udah habis. Aku kan cuma punya satu,” godaku lagi.

Awe langsung manyun. Aku tertawa senang sudah bikin dia ngambek 2x hahaha..

“Udah jangan nggodain Awe lagi,” protes Alvin sambil menyenggol tanganku, “nih aku punya coklat,” lanjut Alvin lagi sambil memberikan lima coklat yang bungkusnya berwarna emas kearah Awe.

Dengan cepat Awe langsung menyambar coklat itu. Di bukanya satu bungkus lalu di makannya.

“Enak?” tanya Alvin sambil mengusap perlahan kepala Awe.
-Enak- tulis Awe.
“Kalau gitu nanti pulang sekolah mampir ke rumahku ya, aku masih punya banyak. Kemarin lusa Papa baru pulang dari singapur dan beli coklat banyak,” kata Alvin sambil tersenyum. Di cubitnya pipi kanan Awe pelan.

Awe tersenyum senang sambil mengangguk.

“T.E.R.L.A.L.U M.E.M.A.N.J.A.K.A.N,” sindirku kearah Alvin.
“Biarin, daripada kamu yang selalu nggodain Awe,” balas Alvin.

Aku mencibir.

Habis enak sih nggodain Awe. Alvin emang polos, tapi masih lebih polosan Awe. Jadi gampang kalau mau ngerjain dia hehe… Apakah aku kejam? Ah nggak juga hahaha…

“OH IYA,” teriakku tiba-tiba karena mengingat sesuatu.

Alvin dan Awe langsung menatap ke arahku.

“Apa?” tanya Alvin bingung.
“Nggak. Gini lo. Selama kelas sebelas dulu kan Pandu selalu duduk sendirian. Berarti jumlah anak di kelas kita seharusnya ganjil kan?!”

Tampak Alvin sedang berfikir untuk mencerna kata-kataku.

“Iya juga ya,” desis Alvin sambil menjentikkan jarinya, “ah Hendro. Hendro tadi nggak masuk,” lanjutnya dengan mata berbinar-binar.
“Yupz. Dan aku baru ingat kalau kemarin Hendro juga nggak masuk. Jadi kalau besok Hendro sudah masuk, kita bisa satu bangku. Aldo biar duduk sama Hendro,” kataku senang.

Terlihat Alvin tersenyum lebar. Awe juga terlihat senang. Apalagi aku. Karena akar masalahnya dari aku hehe.

Cepatlah masuk Dro. Nasib Alvin ada di tanganmu.





~Alvin Pov~
Ternyata perkataan Rico kemarin benar. Hendro baru masuk hari ini. mau nggak mau, kelasku harus menambah satu meja lagi. Akhirnya aku duduk sama Rico dan Aldo duduk sama Hendro. Awalnya aku takut kalau mendadak pindah tempat duduk. Takut kalau Pandu jadi tersinggung lalu marah ke aku. Tapi ternyata dia cuek bebek aja. Rasanya hari ini lebih menyenangkan daripada kemarin. Apalagi hari ini belum ada pelajaran, jadi tambah menyenangkan. Tadi cuma perkenalan aja dari para guru-guru yang akan mengajar, setelah itu jam kosong lalu pulang. Rico sudah pulang lebih dulu sama Awe. Katanya, dia mau nganter Awe beli permen dan manisan. Karena aku males jalan-jalan, aku menolak ajakan Rico. Aku lebih memilih langsung pulang. Sekarang aku masih menunggu jemputan dari rumah.

Sambil menunggu jemputan, aku berjalan-jalan menyusuri lorong kelas yang sudah mulai sepi. Melihat dan membaca artikel yang terpasang di mading.

“Vin,” panggil seseorang padaku.

Aku menoleh ke asal suara yang memanggilku tadi. Pak Ali, KepSek di sekolahku sudah ada di belakangku.

“Ya Pak?” tanyaku sopan.
“Kamu kenal sama Pandu?”
“Iya kenal. Kami sekelas,” jawabku.
“Oh kalau gitu tolong panggil Pandu. Suruh dia ke ruanganku,” kata Pak Ali.
“Ta..tapi sepertinya dia sudah pulang Pak,” kataku.
“Dia belum pulang kok. Dia ada di kebun belakang sekolah. Tolong panggilkan dia ya Vin,” kata Pak Ali. Lalu Pak Ali berjalan meninggalkanku sendiri.

Aku di suruh manggil Pandu?? ADUH….>.<

Dengan berat hati aku melangkahkan kakiku menuju kebun belakang sekolah. Di sekolahku ini ada kebun mini untuk kegiatan ektrakulikuler bercocok tanam. Tapi yang berminat sama kegiatan ini cuma sedikit. Karena kesannya nggak keren dan cuma bikin badan kotor.

Aku melihat ke area kebun tomat dan lombok, sepi. Lalu aku berjalan melewati tanaman cabai dan sawi. Mataku berhenti mencari sosok Pandu ketika aku melihat dia sedang duduk bersandar pada pohon mangga dekat kolam ikan. Dengan perlahan aku mulai mendekatinya. Setelah posisiku cukup dekat dengannya, aku dapat melihat Pandu sedang memejamkan matanya.

Dia tidur? Kok bisa-bisanya dia tidur di sini.

“Pan,” panggilku pelan.

Nggak ada reaksi. Dia tetep memejamkan matanya.

Dengan hati-hati aku melangkahkan kakiku lagi agar aku lebih dekat dengan Pandu. Aku berjalan sehati-hati mungkin karena aku berjalan di sisi kolam yang sangat licin karena bebatuannya sudah di lapisi bryophyta atau lumut.

“PaaaaAAAAAANNN..WAAA..WAAAAAAAAA…..WAAAAAAAAAA….”

Tiba-tiba keseimbangan tubuhku hilang karena terpeleset dan….

BYYUUUURRRRRRRRRRRRRR….

Aku yang panik berusaha meronta-ronta agar tubuhku tetap berada di atas air. Aku nggak bisa berenang. Aku takut. AKU PANIK.

Terasa air mulai masuk kedalam mulutku ketika aku berusaha bernafas. Sesak, itulah yang aku rasakan. Tubuhku seakan sulit untuk bisa mengapung.

GOD…. AKU TENGGELAM >.<






~Pandu Pov~
Aku terbangun dari tidur ayamku karena mendengar suara teriakan dan percikan air ke wajah dan tubuhku. Dengan sedikit malas aku membuka kedua mataku. Aku tertegun ketika melihat ada cowok sedang berenang di kolam ikan. Aku memperhatikan cowok itu, berusaha melihat wajahnya.

Alvin? Kenapa dia berenang di kolam ikan??

“AKKHH…toll….” kata Alvin terputus-putus karena kepalanya kembali masuk ke dalam air dan cuma lambaian tangan yang terlihat di permukaan.

Setelah aku amati, dia bukan berenang tapi dia sedang tenggelam.
Tenggelam dikolam ikan?? Yang benar saja!!

Aku buru-buru masuk ke air dan mendekatinya. Karena dia terus berontak, aku jadi sedikit kesulitan buat memegang tubuhnya. Akhirnya aku berhasil memegang kerah belakang lehernya, lalu menariknya keluar dari dalam air.

Setelah tubuhnya terangkat dari air, dia berusaha menggapai-gapai tubuhku dengan tangannya. Lalu dia memeluk tubuhku erat. Kedua tangannya di lingkarkan ke leherku dan kedua kakinya di lingkarkan di pahaku, menandakan kalau dia takut tenggelam lagi. Sejenak aku cuma terdiam. Bingung.

Aku menghela nafas karena menghadapi situasi yang konyol ini.

“Kamu ngapain sih, kok bisa tenggelam di kolam yang airnya cuma setinggi dada?” tanyaku jengah.
“Ah Pa..Pandu.”

Tiba-tiba Alvin langsung melepas pelukannya dariku. Tapi lagi-lagi tubuhnya tenggelam dari air. Dengan sigap, aku langsung memegang lengan kanannya dan menariknya lagi.

“Jangan panic! Ha..hai..tenang dulu!! Kolam ini nggak dalam,” kataku menenangkan Alvin yang terus berontak.

Sedikit demi sedikit dia mulai tenang. Dengan wajah kebingungan, dia berusaha berdiri dengan ke dua kakinya di dalam kolam. Sedetik kemudian wajahnya memerah dan dia langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam. Rasanya dia baru sadar kalau kolamnya nggak dalam.
Kalau untukku, air yang ada di kolam cuma setinggi dada, kalau untuk Alvin airnya setinggi leher.

Setelah memastikan dia sudah tenang, aku melepaskan genggamanku dari lengannya lalu berjalan keluar dari kolam. Alvin mengikutiku dari belakang. Setelah kami sudah keluar dari dalam kolam, aku langsung berjongkok untuk melepas sepatuku, sedangkan Alvin langsung terduduk di tepi kolam sambil berusaha mengatur nafasnya.
Seragam dan sepatuku jadi basah karena tadi aku lupa nggak melepasnya dulu. Aku melirik ke cowok bego yang terduduk di sebelahku. Cowok dengan kulit pucat itu duduk sambil memeluk kedua lututnya. Terlihat badannya basah kuyup. Tas, seragam dan sepatunya sukses mandi dengan air kolam.

Setelah ke dua sepatuku terlepas, aku juga melepas atasanku lalu memeras airnya. Setelah air di bajuku terperas, aku memakainya lagi. Aku nggak mau pulang dengan bertelanjang dada.

“HAATTTCCHHIIMMM…..”

Aku melihat kearah Alvin yang tiba-tiba bersin. Dia langsung menundukkan kepalanya lagi ketika tau aku melihat ke arahnya. Aku baru ingat kalau dia baru demam kemarin.

Aku berjalan mendekat ke arahnya, lalu mendekatkan tanganku untuk memegang keningnya. Aku mau mengecek suhu tubuhnya. Tapi aku mengurungkan niatku untuk memegang keningnya ketika melihat dia memejamkan matanya rapat-rapat dan memundurkan kepalanya.

Aku menghela nafas sejenak.

Aku lupa kalau dia ini takut sama aku, sama kayak anak lain yang takut sama aku. Akhirnya aku mengambil jaketku yang tergeletak di sisi pohon lalu melemparkannya ke atas kepalanya. Terlihat dia tersentak kaget dan buru-buru mengambil jaket itu dari atas kepalanya. Sedetik kemudian dia melihat bingung ke arahku.

“Lepas bajumu, pakai jaketku!!” kataku sambil mengambil sepatu dan tasku, setelah itu aku berjalan pergi.
“A..anu Pan,” panggilnya dengan suara serak.

Aku menghentikan langkahku lalu memutar sedikit leherku untuk melihat ke arahnya.

“Ma..makasih,” katanya lagi dengan muka memerah, sedetik kemudian dia menundukkan kepalanya lagi.

Aku melanjutkan lagi jalanku tanpa mengucapkan sepatah katapun untuknya. Tapi baru beberapa langkah aku berjalan, aku mendengar Alvin memanggil namaku lagi.

“Apa?” tanyaku jengah.
“Itu..tadi kamu di panggil KepSek.”
“Hah?? Kenapa nggak bilang daritadi??!!!” kataku jengkel.

Aku buru-buru berlari meninggalkan dia, meninggalkan kebun, melewati lorong kelas menuju ruang Kepsek dengan tubuh basah kuyup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar