Senin, 21 Maret 2016

Adikku Alvin Christian - Part 2

Hari-hari sibuk dimulai

Aku mendaftar di perguruan tinggi nomer satu di Indonesia yakni Universitas Indonesia. Tes masuknya yang sulit membuatku semakin terpacu untuk tembus UI. Kebanyakan teman-temanku ikutan bimbel di tempat-tempat terkenal sedang aku hanya bermodalkan buku-buku yang kupinjam dari kakak kelasku. Aku fokus belajar. Yang ada dalam pikiranku adalah aku harus tembus SNMPTN! Persiapanku harus matang, keseriusan dan belajar intens adalah kuncinya. Sebisa mungkin aku mengurangi intensitas main dan nonton TV, lebih banyak aku sibukan waktuku untuk belajar belajar dan belajar. Dan untuk menyempurnakan: kemanapun aku berada di tanganku pasti ada buku atau lembaran soal ujian SNMPTN tahun lalu. Saat di kamar mandi menunaikan hajat bahkan saat hang out dengan teman-temanku, selalu ada buku yang mengawalku. Sampai-sampai temanku mengeluh, “lu udah syahadat buku ya?”
“syahadat buku? Apaan tuh?” tanyaku keheranan.
“lu udah sumpah setia dengan selalu ada buku di tangan lu hingga ajal menjemput,” jawab temanku enteng.
“sialan lu, hahahaha.” Balasku.

Sering kali keasyikan berkutat dengan soal-soal ujian sampai aku sering lupa makan. Dan saat itu terjadi Ibu lah yang akan banyak ngomel.
“kamu boleh punya cita-cita besar, tapi jangan sampai jadi over obsesif sehingga melupakan hak tubuh kamu!” omel Ibu kepadaku.
“iya bu, iya!” ujarku meninggalkan lembaran soal menuju meja makan.
Sebagai anak yang baik aku tidak membantah tapi jujur masakan Ibuku yang biasanya nomer satu tidak membuatku berselera makan.
“Ibu udah cape-cape masakin makanan kesukaan kamu, dit! Biar kamu nafsu makan, kalo perut keroncongan gimana pelajaran bisa masuk ke kepala kamu?” Ibu melanjutkan omelannya.
Sejujurnya aku mau tertawa karena diomeli oleh Ibu, tapi rasanya itu tidak sopan. Aku jadinya hanya senyum-senyum tak jelas.
“liat tuh! Alvin nungguin kamu di meja makan!” tunjuk Ibu dengan isyarat matanya, kulihat Alvin duduk di meja makan dan hanya memainkan sendok di piring. “dia bilang mau nungguin kamu, biar bisa makan bareng! Udah enam tahun kita jarang-jarang kan kumpul dalam satu meja makan?”
aku tidak mau mendengar Ibu terus-terusan mendumel, akhirnya kuturuti saja semua yang beliau katakan. Beliau menyendokan nasi lumayan banyak ke piringku lengkap dengan lauk-lauknya dan aku harus berusaha keras agar semua masuk ke dalam perutku. Sempat kulihat Alvin terkekeh melihat betapa kikuknya diriku.

Siang menjelang sore teman-temanku datang, teman-temanku yang punya misi sama denganku dan mereka ikut bimbel. Bahkan ada yang sampai ikut dua bimbel sekaligus, yang sudah punya nama pula. Mereka adalah Fandi, Tio dan Karim. Dan mereka pun berbagi ilmu kepadaku sekaligus kami mengerjakan soal bersama. Ibu pun menyiapkan cemilan bernutrisi buat kami berupa sandwich isi telur dan puding susu. Lumayan dimakan sambil belajar. Jam dinding menunjukan waktu setengah lima lewat lima menit, sudah satu setengah jam kami belajar.
“okeh, sampe sini dulu! Waktunya istirahat dan dinginkan kepala sejenak.” Ujar Fandi meletakan bukunya.
“tanggung bos,” ujarku masih semangat.
“eh bedul! Kalo otak lu terus-terusan digeber ntar meledak,” timpal Tio sambil mengunyah sandwich telur yang masih tersisa. “tadi sausnya dimana?”
“nih,” ujar Karim seraya menyodorkan sebotol saus, “eh sob, pulau pulau apa yang bikin monyet bingung?”
“monyet ngomong monyet,” Fandi berkelakar.
“cuma monyet sejati yang menyebut orang lain monyet lantaran tidak bisa menjawab teka-teki seorang yang bijak,” jawab Karim dengan santai, singkat tapi dalam sekali.
“sialan lu,” balas Fandi kemudian terdiam berpikir. Aku dan Tio pun ikut-ikut berpikir.
Semenit berlalu dan kami masih berpikir, Karim mulai tak sabaran. “your time is gonna to be running out,” ujar Karim sambil mengetuk-ngetuk meja.
“pulau Kalimantan!” jawab Tio dengan yakin.
“salah!” jawab Karim dengan tanpa dipikir dulu.
“kok salah? Kan emang banyak monyet yang dilindungi di Kalimantan?” balas Tio tak mau menyerah dengan jawabannya.
“itu orang utan, dul!” sahut Fandi gemas.
“emang beda ya? Bukannya satu spesies?” ujar Tio bloon.
“bedalah! Meski sama-sama primata tapi beda,” tambahku berlagak seperti Galileo. “nah, kalo ama lu baru satu spesies!”
“kampret!” tanggap Tio tidak terima.
“woii, kok jadi debat begini? Udahlah, kalian emang satu nenek moyang Nguknguk.” ujar Karim sambil nyengir. Anak yang satu ini memang jagonya ngecengin.
“pulau Irian,” ujar Fandi asal.
Karim menggeleng.
“pulau Bali!” tebakku sama asalnya.
“bukan,”
“pulau pulauan!” jawab Fandi dengan khayalan tingkat tingginya yang ngaco.
Karim masih memberi isyarat ‘bukan’.
“gue nyerah dah!” ujarku tak mau pusing lagi.
Karim memandang Tio dan Fandi, keduanya menggelengkan kepala tanda menyerah.
“payah lu semua,” tanggap Karim cengengesan. “jawabannya Pulau Jawa!”
Aku, Tio dan Fandi saling berpandangan dan mencelotehkan satu kata yang sama, “pulau Jawa?”
“nah pada bingung kan lu? Berarti kalian monyet! Hahahahaha,” Karim tertawa puas.
Aku, Tio dan Fandi langsung berdiri melakukan jurus maut: Kelitikan Tiga Dewa. Karim memohonkan pengampunan dalam tawa-derita atas ulah isengnya.

“tau gak, elo emang monyet sejati!” ujarku dalam proses eksekusi Karim, “lu kan tadi bilang cuman monyet sejati yang bilang orang laen monyet..”
“hahahaha, ampun! Hahahaha, a..ampu.. hahahaha, ampun!” begitulah suara rintihan tawa penderitaan Karim.
Suara kebisingan yang aku dan teman-teman ciptakan rupanya mengusik ketenangan Alvin dari istirahat siangnya. Ia mengintip dari balik celah tembok. Tapi keberadaannya langsung kuketahui. Kulihat adikku itu mengintip dengan matanya yang agak merah dan wajah sayu. Hanya mengenakan kaos oblong putih tanpa lengan yang kegedean dan celana boxer merah.
“eh dede, sini de!” ujarku sambil memberi Alvin isyarat untuk mendekat.
Adikku malah ngumpet ke kamarnya. Aku kemudian mendatangi Alvin dan menggiringnya ke tengah teman-temanku seperti serigala yang membawa domba untuk dimakan ramai-ramai.
“kenalin nih! Temen-temen kakak, de.” Ujarku kepada Alvin seakan lupa tadi kelakuanku yang mengganggu istirahatnya.
Alvin tampak malu-malu, ia berusaha tidak menatap langsung teman-temanku. Dia memang bukan tipe anak yang mudah langsung akrab.
“ini, ade’ lu yang sering lu ceritain dulu?” tanya Fandi sambil mendekat.
“beda banget ama lu, dit! Alvin cakep, putih-sipit kayak orang Cina. Nah kok elu kaya tukang cabe di Pasar Minggu! Hahahahaha” komentar Karim tanpa ampun.
“sialan lu, biar kata kulit gue gak putih-putih banget tapi banyak yang naksir,” ujarku sedikit narsis.

“Erma, Yanti, Siska, Tari, Suci, Tiara.” Tiba-tiba Fandi menyebutkan nama-nama gadis yang sempat dekat denganku dulu.
“dan yang terakhir Lena,” ujar Tio melakukan finishing touch.
Aku hanya nyengir terpaksa sambil melirik sebentar Alvin yang sensi mendengar nama Lena. Aku memutar otak mencoba mengalihkan arah obrolan teman-temanku, tapi terlambat.
“tau gak vin? Adit ini yang paling digilai kaum hawa di Pondok dulu, banyak yang naksir! Tapi…..” ujar Fandi makin semangat.
Alvin tampak memaksakan diri untuk tersenyum sambil sesekali melirik ke arahku.
“tapi cuma Lena yang berhasil menaklukan hati Aditya Firdaus,” ujar Tio menyambung kalimat Fandi.
“begitu yah?” ucap Alvin pelan, seperti orang yang tidak niat ngomong.
“iya, vin! You know? Satu hal yang membuat Adit dan Lena secara tidak sengaja terikat adalah buku Harry Potter.” Tambah Fandi mulai membuka-buka kisah lamaku, kisah lama yang tak pernah kuceritakan kepada Alvin.
“Harry Potter?” ulang Alvin agak heran mendengarnya. Dia pasti masih ingat dulu dia sering menggangguku saat membaca novel itu.

Fandi mengganggukan kepalanya dengan yakin, “dua-duanya kan penggila Harry Potter, pas di perpus cuma ada satu novelnya yang ke tujuh, dua-duanya sama-sama pengen minjem, Adit udah lebih dulu booking tapi Lena yang duluan dapet. Langsung Adit marah-marah sama petugas perpustakaannya karena main ngasih ke orang lain yang mesennya belakangan, terus besoknya sama guru pembina perpustakaan dipanggil lah Lena dihadapkan sama Adit. Awalnya sih debat seru tuh berdua, tau sendirilah seorang Aditya Firdaus tak akan mau mengalah kalo berkaitan sama Harry Potter dan Lena juga gak mau kalah, bayangin aja sampe jadi tontonan mereka dua-dua debat! Sampai akhirnya Adit yang ngalah. Nah! Dari situ deh benih-benih cinta mereka berdua timbul..”
“so sweet kan de?” ujar Tio sambil merangkul pundak Alvin dan cengar-cengir gak jelas ke arahku.” Eh, jadi manggil ade dah tuh.. maaf maaf,”
“gak apa-apa kok manggil begitu,” ujar Alvin santai.
“oh iya! Pacar kamu anak mana, vin?” tanya Karim iseng.
Wajah Alvin tampak memerah ; lumayan jelas karena kulitnya yang putih. “belum punya, bang!”
“masa? Cakep-cakep begini jomblo?” ulang Karim lagi, rasa penasarannya makin menjadi.
“serius, bang!” jawab Alvin singkat, ia mulai kehabisan kata-kata meski posisinya tidak tersudut.
“ato jangan-jangan udah gak doyan cewek lagi??” tanya Tio ekstrim sambil tertawa.
Alvin hanya menjawab dengan sebuah cengiran (meski hal itu sebenarnya bukanlah jawaban).
“masa cakep begini lu kira doyan batangan?” timpalku.

“ya enggaklah bro! orang yang kaya gitu keliatan dari tingkah lakunya,” ujar Fandi dengan gaya sok tau. “agak begini…” Fandi menirukan gaya ngondek dengan gerakan tangan yang agak melambai.
“wew..” ujarku dan Alvin berbarengan.

Tembus UI

“ALHAMDULILLAH!!” pekikku saat kulihat namaku di daftar orang-orang yang tembus UI. Begitu pula Karim, Fandi dan Tio. Kami berempat kompak sujud sukur tak peduli jika semua mata tertuju kepada kami. Yeah! Kami saat itu sedang berada di sekolahnya Karim sebuah SMU RSBI yang telah memiliki fasilitas free hotspot (maklum gratisan lover) tepatnya di area lobi yang banyak bangku dan dekat dengan pemancar hotspot,. Tio dan Fandi pergi ke kantin membeli makanan dan minuman, sekedar merayakan hasil perjuangan kami selama ini.
“gak sia-sia kan bagi-bagi ilmu ini?” ujar Karim kepadaku.
“eh, hah?” sahutku seperti orang bego.
“waktu itu kan lu sempet pesimis tembus kalo enggak ikutan bimbel, tapi kenyataan berkata lain kan?” ujar Karim kemudian membuka facebook di laptopnya.
“i..iya sih,” jawabku teringat dulu, aku agak pesimis bisa tembus SNMPTN karena bekal yang kumiliki kuanggap kurang sekali.
“gimana sih yang pesantren? Masak sampe lupa ama faktor Tuhan?” singgung Karim masih fokus ke laptop. “hidup ini harus balance antara ikhtiar dan doa, u know?”
Faktor Tuhan, kenapa aku waktu itu tak pernah berpikir sampai situ ya? Teori ku saat itu adalah jika tidak belajar tekun, tidak ikut bimbel dan tidak punya bekal yang cukup maka aku tidak mungkin tembus SNMPTN. Tapi teori itu terpatahkan oleh paradigma teman-temanku. Dan kata-kata Alvin.

…nostalgia
Aku teringat waktu itu, kira-kira lima hari sebelum ujian. Seperti biasa jam setengah tiga malam aku bangun untuk buka buku, sebab pada jam-jam segitu otakku akan lebih mudah menerima pelajaran. Dibekali segelas susu hangat aku mulai melahap buku-buku macam sosiologi, sejarah, ekonomi dll.
“kak…” sebuah suara memanggilku, aku menangkap sosok di balik daun pintu kamarku yang setengah terbuka. Sosok Alvin perlahan mulai jelas terlihat dengan mata merah karena kantuk, ia hanya mengenakan celana panjang piama yang bercorak garis garis.
“ade belond tidur?” ujarku sambil bangkit dan menghampirinya.
“abis pipis,” jawabnya polos sambil menguap.
Kugiring adikku ke tempat tidur, biar dia lanjutkan istirahatnya di kamarku saja ; ia tidak pernah menolak kalau kusuruh tidur di kamarku.
“kakak gak tidur?” tanya Alvin saat merebahkan diri di kasurku.
“tadi udah tidur, sekarang bangun lagi buat belajar.” Ujarku sambil menarik selimut untuknya. “untuk tembus SNMPTN butuh perjuangan yang gigih!”
Alvin tampak terdiam menatap kosong kearahku, aku tersenyum kepadanya kemudian kembali ke meja belajar melanjutkan kegiatanku. Biarlah ia melanjutkan tidurnya, besok dia sekolah. Aku mencari paragraf terakhir yang aku baca tadi.

“kakak gak sholat tahajud?” Alvin tiba-tiba berdiri disampingku.
“eh? Tahajud?” ulangku sedikit kaget karena keberadaannya yang tiba-tiba.
“tahajud kak, terus sholat hajat. Biar apa yang sedang kakak ikhtiarkan bisa tercapai dengan mudah,” ujar Alvin dengan ekspresi di wajahnya yang kutangkap sebagai senyuman, walau senyumnya seperti memaksakan diri. “emang kakak gak kepikiran kesitu?”
“hmm, enggak! Kan kalau kita mau mendapatkan sesuatu yang kita inginkan harus berusaha dan kerja keras,” jawabku dengan bangga. “lagipula bekal kakak masih jauh dari cukup, de. Kakak gak ikutan bimbel dan buku-buku yang selama ini kakak baca cuma buku-buku SMU pinjaman dari senior kakak. Jadi kemungkinan buat tembus itu kecil, mungkin 45 persen doank,”
Alvin menghela nafas sebentar, “hidup ini kan ada Penciptanya, Yang mengatur semua yang ada di semesta ini bahkan sampai yang terkecil-kecilnya yaitu Allah. Kalau kakak udah dekat sama Allah gak ada hal sulit kak, imposible is nothing!”
Aku terkesima mendengar kata-kata adikku itu, benar juga sih teorinya itu. Tapi saat itu aku masih tetap mengacu pada teori ‘yang berusaha yang dapat’. Tapi untuk menghormati Alvin aku memutuskan untuk sholat tahajud, dan ia pun mau ikut juga. Katanya sih untuk mendoakan keberhasilanku. Aku dan Alvin sholat tahajud dua rakaat kemudian aku melakukan sholat hajat, dalam doa aku memohon agar bisa tembus SNMPTN dan kuliah di UI ini menjadi batu loncatanku untuk kehidupan yang lebih baik kedepannya baik dalam urusan karir dan jodoh.

Alvin berbisik kepadaku, “sekadar mengingatkan, kak. Kadang apa yang kita mau belum tentu yang terbaik di mata Allah, begitu juga sebaliknya. Karena itu kita berdoanya agar mendapatkan yang terbaik buat kita, apapun itu! Kalau di mata Allah baik maka insyaAllah itu yang terbaik buat kita!”
“iya dede bawel,” ujarku sambil mendekapnya dengan penuh kasih sayang, beruntung sekali aku punya adik seperti dia, meski bukan adik kandung. Dalam hatiku aku berjanji kepada Allah : aku akan menjaganya dan melindunginya selama aku mampu.

***

“eh rim, si Fandi SMS gue. Katanya kita langsung ke kantin aja.” Ujarku saat membaca pesan yang baru saja masuk.
Karim mengangguk dan mengatur laptopnya ke modus standby kemudian baru ia beranjak bersamaku menuju kantin. Ternyata Fandi dan Tio membeli banyak makanan seperti keripik kentang, hamburger, coklat batang, soft drink dan lain-lain. Pantas saja mereka menyuruh ku dan Karim ke kantin, lagipula mereka sudah menempati sebuah meja.
“waduh.. makanan orkay mulu nih,” komentarku saat melihat belanjaan mereka.
“kapan lagi lu nyobain makanan orang kaya,” ujar Fandi sambil mengunyah keripik kentang rasa rumput laut dengan ganas.
“ngeselin,” sahutku sambil duduk di kursi yang kosong.
Karim meletakan laptopnya dan kembali berinternet ria.
Tio melirik Karim, “kenapa gak pake Ipad aja sob? Ato Galaxy Tab? Kan lebih enak dipakenya, lebih futuristik.” Tio mengeluarkan Ipad miliknya.
“kayaknya tangan gue gak cocok ama hal-hal yang berbau futuristik,” sahut Karim masih serius dengan laptopnya. “make laptop aja udah menurunkan kelihaian gue menulis, apalagi make barang semacam tablet PC?”
“emang gitu ya?” komentar Fandi sambil membuang bungkus keripiknya yang sudah habis sekejap.
“iyalah mas bro,” jawab Karim. “kecanggihan teknologi semakin memanjakan kita. Segala yang memanjakan cenderung membuat kita malas dan pada akhirnya akan membinasahkan kita suatu saat,”
“berat ah omongan lu, rim!” sahut Fandi sambil garuk-garuk kepala.
“ambil positifnya ajalah,” komentar Tio (yang sebenarnya kurang penting tapi gak mau kalah)
Karim hanya magut-magut dibalik laptopnya.
“kalo gitu kasian donk tukang pos?” ujarku tiba-tiba.
“ada lagi pake bawa-bawa tukang pos.” ujar Fandi geleng-geleng kepala. “what’s up with postman?“
“gara-gara facebook, tukang pos jadi banyak yang nganggur deh.” Ujarku sambil menyedot soft drink yang nganggur di meja.
“bisa aja lu,” ujar Karim kemudian nyengir ke arahku.

Ponselku berdering, menandakan ada satu SMS masuk. Dengan gaya cool aku membukanya dan berisi:

Sender: Lena Humairoh
Dit, t’nyta Feri adk q knl sm Alvin
Satu skul ,,

Aku tercengang membacanya, langsung kubalas
Sent!
Oh y?
Kok Alvin g blg y?
G kusangka dunia s’smpit ini..

Sender: Lena Humairoh
Nnti bis ospek
q n k2 adk q mau main
blh kan?

Sent!
Boleh lah!
Dtg aja! Pintu rmh ku slalu
t’buka untk mu
hehehehe

Sender: Lena Humairoh
Gombal …
Hohohoho 

Tak kusangkan dunia sesempit ini, memang Tuhan itu penuh misteri dan kejutan. Kusedot lagi soft drink di tanganku. Setelah ospek Lena dan kedua adiknya mau main ke rumahku, tiba-tiba aku nyengir sendiri, rasanya senang sekali.
“kenape lu dit? Ketawa sendiri gitu kayak orgil?” tanya Tio tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“gue gak ketawa, bedul! Orang gue lagi nyengir-nyengir,” jawabku dengan kalem.
“gue pikir saking senengnya kita tembus SNMPTN, elu… ya begitulah,” ujar Fandi sambil mengelus-elus dagunya.
“sialan lu, gak segitunya kaleeee,” ujarku.
“tapi tadi SMS dari siapa?” tanya Tio.
“hem, itu dari…” ujarku dengan pede tingkat dewa.

Kata-kataku terpotong oleh seseorang, “woii, Karim Abdullah!”
Tampak seorang remaja yang sebaya dengan kami berdiri di samping Karim. Si Karim pun lantas menengok.
“Revan?” Karim menyebut nama anak itu. Dan Revan pun tersenyum kepadanya, menampakan deretan giginya yang putih cemerlang terlebih wajahnya tampan dan manis, cocok menjadi model dan bintang iklan. Mereka berdua tampak berbincang-bincang sesaat; topik pembicaraan yang tak kumengerti.
“nah, van! Ini teman-temanku Tio, Fandi dan Adit,” ujar Karim kemudian mengenalkan kami semua.
Otomatis aku, Tio dan Fandi bangkit menyambut jabatan tangan dari Revan Andika Syah, begitulah anak itu memperkenalkan diri. Dia sahabat Karim di Bandung yang juga akan menjadi penyandang almamater UI.
“kalian ini calon-calon mahasiswa UI ya?” ujarnya dalam senyum yang cool.
“lu juga kan?” balas Fandi mencoba berlagak cool juga tapi malah jadi ku’ul.
“enggak bro..” Aku, Tio, Fandi dan Karim mendelik mendengarnya, “enggak salah lagi,..” jawab Revan ternyata berkelakar.
“ternyata buah apel tetanggaan ama buah pir yah?” ujar Tio.
“maksudnya?” sahutku.
“liat sendiri, Karim dan temannya Revan gak jauh beda. Demen ngerjain orang!” jelas Tio.
Kesimpulan yang bagus kupikir.
Karim dan Revan tertawa lepas mendengarnya, kadang Tio punya metafora yang unik.

Revan menyempatkan diri mengobrol dengan kami, membahas seputar jurusan yang menjadi pilihan masing-masing dan persiapan (mental) untuk OSPEK.
“senior mah sangar kayak singa pas OSPEK! Ntar kalo udah selesai juga jinak kayak anak kucing,” ujar Revan berkelakar lagi. Aku, Tio, Fandi dan Karim terkikih mendengarnya.
“kenapa ya mesti pake ada yang namanya OSPEK?” gumam Fandi tiba-tiba.
“ntar kalo lu udah jadi senior juga ngerti kenapa,” jawabku.
“kalo gue kurang setuju bung, kalo kekejaman yang kita terima dari senior lantas dilampiaskan kepada yang junior maka gak akan ada habis-habisnya!” ujar Revan menanggapi. “banyak kan kasusnya? Pelampiasan dendam pribadi yang kadang suka keterlaluan!”
“kalo gue mah langsung ke senior yang ngerjain gue,” ujar Karim dengan tegas.
Mendengar kata-kata Karim itu aku jadi ingat, dulu waktu MOS pernah ada senior yang mengerjai Karim habis-habisan, setelah MOS selesai Karim mendatangi seniornya itu dan menantang adu basket satu lawan satu. Karim yang mendapat julukan atlit basket saat SMP berhasil mempecundangi seniornya yang merupakan kapten tim basket sekolahnya 14-0 ; dihadapan ratusan siswa sekolahnya.
“yaelah, mereka juga ngerti kok! Namanya juga menempa mental!” sambung Tio tak mau kalah.
“kita liat aja nanti,” ujarku diplomatis.

Baru Fandi ingin menimpali, seseorang memanggil Revan. Kami menoleh berbarengan ke arah sumber suara. Tampak seorang pemuda yang umurnya kira-kira 20an yang wajahnya mirip dengan Revan ; sepertinya kakaknya. Orang itu memberi isyarat untuk ikut dengannya: pulang. Revan langsung beranjak.
“teman-teman, pengawal gue udah ngajakin pulang. Sampai disini perjumpaan kita, sampai ketemu di UI,” ujar Revan kemudian melengos menghampiri kakaknya. Kakaknya sempat tersenyum kepada kami sebelum menghilang di belokan gang bersama Revan.
“pengawalnya kok mirip banget ya ama Revan?” gumam Fandi tiba-tiba. “kayak saudara kandung,”
(-________-‘)
“itu emang saudara kandungnya, di!” ujar Tio, mendahului Karim (yang notabene sahabatnya Revan) “Rendi Kurniawan Syah, betul gak rim?”
Karim mengangguk, ia tak menyangka Tio juga kenal. Aku dan Fandi melongo.
***

Memasuki masa OSPEK aku, Tio, Fandi dan Karim pun terpisah karena kami memilih jurusan yang berbeda-beda. Aku pribadi pribadi cukup antusias mengikuti acara OSPEK ini, senior-seniornya memang kejam tapi masih dalam batas kewajaran (menurutku). Semua berjalan lancar dan aku beruntung karena selama OSPEK tidak pernah melakukan kesalahan. Mengenai persiapan atribut OSPEK Alvin membantu dengan baik. Dan setelah seminggu masa-masa tidak tenang akhirnya aku sempurna menyandang status MAHASISWA. Alhamdulillah!
Petualanganku sebagai mahasiswa pun dimulai. Tidak terlalu jauh berbeda memang dengan sekolah tapi beda level. Bahkan di setiap ada kesempatan Ibu senang sekali bercerita tentang statusku sebagai mahasiswa UI kepada teman-teman sesama ibu-ibu. Terselip kebanggaan tersendiri karena aku telah membuat Ibuku bangga.

Ponsel Nokia 6720 Classic-ku berdering ; mendendangkan nada SMS, aku yang sedang ngemil roti selai langsung menyambarnya.

Sender: Lena Humairoh
aq ykin hr ni km lbur
Vita n Feri mau main nih
Ssuai jnji q abs ospek
Luang g?

Waduh? Mereka mau main? Aku belum ada persiapan apalagi Ibu sedang arisan keluarga besar, kulirik jam dinding: 09:15. Masih sempat buat mempersiapkan yang mesti disiapkan.

Sent!
Luang kok
Mainlah…
B-)

Aku langsung berbenah rumah dan kikuk sendiri. Meskipun sebelum Ibu berangkat beliau sempat merapihkan rumah. Sekitar lima belas menit ribet sendiri akhirnya tampilan ruang tamu tampak lebih baik. Aku puas dengan pekerjaanku sendiri, kemudian giliran berbenah diri sendiri: mandi. Yang biasanya mandi hanya sepuluh menit kutambah durasinya jadi tiga puluh menit. Beginilah anak muda yang sedang kasmaran. Selesai mandi Alvin kebetulan lewat di depanku.
“eh de, mandi buruan! Udah siang juga” ujarku sambil menghentikan langkahnya.
“gak mandi kan baunya tetep sama? Tetap harum,” jawab Alvin sambil nyengir.
“sudahlah, nurut ama kakakmu ini. Mandi!” ujarku sambil mengendus Alvin, memang sih meski dia gak mandi bukan bau tak sedap yang timbul malah aroma khas laki-laki (kalau cewek yang menciumnya pasti sudah terbakar nafsu)
“iya deh kak, pinjem handuknya tapi..” ujar Alvin sambil menunjuk handuk yang tengah kupakai untuk menutupi bagian bawah tubuhku.
“ntar kamu ngeliat tubuh paling seksi sejagat raya,”
“wau, boleh donk..” jawabnya sambil cekikikan.
Aku mengacak-acak rambutnya, “di kamar mandi masih ada satu handuk, pakai aja yang itu!”
“siap, jendral!” ujar Alvin sambil berlagak hormat bendera.

Aku langsung melengos ke kamar, memilih baju santai tapi menarik. Aku harus tampil keren di depan Lena, lalu kupilih T-shirt putih bergambar gajah Thailand dengan celana training cokelatku yang ada garis dua di pinggirnya. Rambut kulapisi gel biar makin keren dan tak lupa sentuhan terakhir: parfume, kusemprotkan di titik-titik penting. Maka sempurnalah penampilanku. Kulihat ke arah cermin, perfecto, ujarku dalam hati. Lena bilang ia dan adik-adiknya akan datang jam sepuluh, aku memutuskan menunggu di teras depan. Ku ketik sebuah SMS menanyakan posisi Lena dan adik-adiknya sekarang. Dan tak lama:

Sender: Lena Humairoh
Just a momment, .

Sent!
Sbaik’a jgn lma2
Brasa sribu thn nich..

Sender: Lena Humairoh
Lebay

Aku suka sekali menggombal. Terlebih sudah cukup lama tidak bertemu Lena, rindu sekali. Tiba-tiba aku senyum senyum sendiri.

“lagi ngapain disitu kak?” tanya Alvin muncul dari ambang pintu.
“menunggu…” jawabku spontan menoleh ke arahnya.
Aku mengerutkan dahi: Alvin mengenakan kaos singlet kusam favoritnya dengan celana training pendek selutut, rambutnya yang belum kering tampak acak-acakan ; betul-betul bagai langit dan bumi dengan penampilanku.
“wah kakak keren banget, pas nih! Kita jalan-jalan yuk! Udah lama kan kita gak main?” usul Alvin sambil tersenyum. Ide yang spontan sekaligus sebuah permintaan yang berat.
Aku berpikir dan bingung. Aaaaargh!! Seperti mendapat buah simalakama. Selama beberapa menit aku terjebak dalam pikiranku.
“kenapa kak? Kok mukanya jadi pucat begitu?” tanya Alvin mendekat.

Sulit untuk bilang ke Alvin bahwa Lena akan datang, bisa-bisa ia mengacaukan acara hari ini ; membuat Lena jadi tak mau bertemu denganku lagi. Mendadak aku ingin sekali menjitak Alvin, melampiaskan kekesalanku karena sikapnya ke Lena, ketidak sukaannya ke Lena. Aku menepuk pundak Alvin dengan keras dan meremasnya dengan sepenuh hati.
Spontan adikku mengaduh, “aaauuw! Sakit kak!”
Alvin berusaha melepas cengkraman tanganku tapi tenaganya masih kalah jauh. Aku langsung memeluknya dengan erat. Ia terdiam dalam dekapanku (yang lumayan kuat) sambil kutepuk-tepuk pelan punggungnya.
“de, please! Jangan kecewakan kakakmu ini ya?” bisikku di telinganya, sepintas seperti sebuah cumbuan untuk merangsang.
Alvin masih terdiam, kuharap dia paham. Aku melepaskan pelukanku ; naluriku mengatakan beberapa detik lagi Lena akan muncul, aku menengok kebelakang. Dan benar, Lena datang dikawal kedua adiknya di kiri dan kanannya. Sekilas ia mirip Dewi Athena yang memakai pakaian muslimah. Sedang Vita dan Feri berpakaian semi casual, keduanya tampak serasi dengan pakaiam masing-masing.
“Assalamualaikum,” ujar mereka kompak.
“walaikumsalam!” jawabku. Dan Alvin mengikuti setelahku.
“jadi ini toh alasannya jadi keren,” bisik Alvin diam-diam dari belakangku.
“ayo masuk,” ujarku ramah kepada ketiga tamuku, mengabaikan kata-kata Alvin.
Sempat kulihat Vita diam-diam menatap ‘naksir’ kepada Alvin ; sedang anak itu hanya garuk-garuk perut dan tidak peduli dengan penampilannya sekarang.

“silahkan duduk,” ujarku mempersilahkan, “mau minum apa wahai tamu agung? Sirup? Teh manis? Atau susu?”
“Sirup!” jawab Lena
“Teh manis yang anget,” jawab Vita
“susu dingin,” jawab Feri
Ketiganya punya selera yang bervariasi.
“okay,” jawabku, “vin, bikinin pesanan tamu kita!”
“lho? Kok aku ?” ujar Alvin keberatan.
“tamu itu raja. Ayolah cuma sirup, teh sama susu kok,” ujarku dengan santai.
Alvin mengangguk terpaksa dan meninggalkan kami menuju dapur.
“aku bantuin deh,” ujar Feri tiba-tiba bangkit.
“eh jangan, kamu kan tamu de. Just enjoy our services!” ujarku menahan Feri.
“gak apa-apa kak, kasian kak Alvin,” ujarnya sambil tersenyum dan menyusul Alvin.
Oh iya, Feri kan kenal sama Alvin, tapi kok Alvin kayak gak kenal gitu? Gumamku dalam hati. Aku melirik Vita ; kelihatan dia menyesal karena kalah cepat sama adiknya. Eh.. kalah cepat? Memangnya Feri juga naksir sama Alvin? Ada-ada saja pikiranku ini.

“tadinya aku cuma ajak si Feri, eh Vita juga mau ikut. Katanya bosen dirumah mulu,” ujar Lena membuka pembicaraan.
Tak pelak wajah Vita memerah. Aku jadi senyam-senyum sendiri melihatnya.
“bosen apa bosen, vit?” godaku (sifat isengku muncul)
“hmm.. enggak, eh.. enggak kok mas..” ujar Vita gugup.
“emangnya mas tukang bakso?” ujar Lena menimpali, tampaknya dia punya pikiran yang sama denganku. “biasanya Vita langsung ngumpet kalo aku minta temani ke warung. Tapi kali ini tumben tanpa kuajak dia yang ngajuin diri mau ikut.”
Vita langsung gugup kuadrat. Tak tau harus berkata apa, kartunya dibuka secara blak-blakan oleh kakaknya. Aku dan Lena terkikih sendiri melihat Vita.
“jangan khawatir vit, Alvin Christian available kok.” Ujarku mengakhiri sesi ngerjain, kasian kan anak orang?
Vita mengalihkan diri dengan handphone nya, pura-pura SMS. Aku bisa melihat ada gurat senang di wajahnya.
“tuh, available ternyata Alvin.” ujar Lena masih belum puas ngerjain Vita.
“kakak, apaan sih!” sahut Vita malu-malu.
“dasar ABG..” goda Lena.
“oh iya, di sekolah Alvin gimana? Pendiam ya?” tanyaku. Penasaran juga sih seperti apa adikku kalau di sekolah.
“wah aku gak tau, kak. Aku kan gak satu sekolah sama Alvin, yang satu sekolah kan Feri.” Jawab Vita.
“ooh, kirain satu sekolah juga.” Ujarku sambil garuk-garuk kepala.
“tadinya Feri sama Vita bakalan satu sekolah, tapi mama akhirnya ngedaftarin Feri di sekolahnya Alvin,” jelas Lena.
“apa gak repot itu,” komentarku sambil mengerutkan dahi.
“ya lumayan repot sih, tapi mau gimana lagi.” Ujar Lena.

Aku magut-magut, kulirik Vita yang masih menyibukan diri dengan handphone nya.
“kok gak masuk pesantren aja, vit?” tanyaku kepada Vita.
“hmm… aku pengen sekolah yang biasa aja,” jawab Vita diplomatis.
“bukannya yang lebih seru yang gak biasa?” celetukku memancing pendapatnya.
“abis di pesantren sekelas cewek semua, gak ada cowoknya.” Ujar Vita blak-blakan ,”eh salah ya? Hehehe.”
Aku cekikikan mendengar pendapatnya. Lena menggeleng-gelengkan kepalanya. Dasar ABG! Sifatnya dengan adik-adiknya memang banyak yang berbeda meski rupa mereka cenderung mirip.
“tapi ngomong-ngomong Alvin lama banget bikin minumnya,” gumamku melenceng dari topik. Aku beranjak ingin mengecek ke dapur.
Alvin dan Feri muncul membawa nampan berisi minuman dan makanan kecil.
“sori bikin nunggu lama,” ujar Alvin tanpa dosa.
Lena tersenyum, tapi aku merasa tidak enak.

Kami akhirnya ngobrol-ngobrol seru berlima. Meski Alvin lebih banyak diam, Vita dan Feri tak bosan mencoba membuka obrolan dengannya. Kulihat Vita tergolong orang yang ramai dan ceplas-ceplos (terbalik dengan kakaknya yang agak kalem) sedang Feri hampir sama hanya saja Feri pandai mendramatisir kata-katanya sehingga aku jadi terpingkal-pingkal dibuatnya. Lena yang tadinya kalem akhirnya menunjukan sisi lainnya yang humoris : ia banyak menceritakan beberapa cerita lucu yang membuatku, Vita dan Feri terpingkal-pingkal. Kalau Alvin tak usah ditanya. Aku tak lupa bercerita tentang karcis parkir yang (untungnya) ditemukan Vita dan sikap kurang menyenangkan petugas parkiran itu. Aku dan Lena mengintip kembali album masa lalu dan membagi pengalaman-pengalaman berharga kami semasa sekolah. Lumayan kan buat Alvin, Vita dan Feri yang masih di bangku SMP ; buat bekal. Dari pembicaraan kami aku dapat informasi bahwa Lena juga masuk UI tapi beda fakultas denganku sehingga kami jarang ketemu, tak apalah! Yang penting nanti kami akan sering-sering cari waktu luang. Saking sibuknya persiapan tembus SNMPTN sampai aku jarang komunikasi dengan Lena, begitu pula dia. Sayang tidak ada Ibu, kalau ada Ibu pasti lebih ramai. Sebab Ibu selalu punya topik pembicaraan yang seru.

Rencana

Adzan memotong keseruan obrolan kami. Aku mengajak Alvin dan Feri sholat duluan sedang Lena dan Vita setelahnya. Setelah itu aku dan Lena diam-diam pergi ke taman dekat rumah, supaya bisa ngobrol lebih leluasa. Alvin, Vita dan Feri kutinggalkan saja di rumah supaya mereka juga lebih leluasa. Vita pasti ingin melakukan pendekatan dengan Alvin, dan aku yakin Feri pasti mengerti. Taman hari ini tidak sepi tampak beberapa anak kecil bermain dengan riang di ayunan dan prosotan dan beberapa remaja sedang kumpul-kumpul, sayang sebagian diantara mereka pada merokok. Miris aku melihatnya, masih anak sudah bergaul dengan benda beracun yang bernama rokok.
“kayaknya baru kemarin yach kita masuk di sekolah yang sama,” ujar Lena tiba-tiba.
Aku menoleh ke arah Lena, ia memperhatikan apa yang kuperhatikan. Kemudian ia melihat ke arahku, menatapku dalam-dalam. Glek! Aku mendadak gugup.
“waktu itu lucu ya, segalanya berjalan begitu cepat tanpa kita sadari.” Ujarku berkata bak penyair.
“dunia membuat kita terlena sehingga tiap detik yang kita lalui sering terbuang percuma sehingga yang ada hanyalah penyesalan,” sahut Lena seolah menjawab kata-kataku.
“waah.. itu mah ketinggian, len. Yang sedang-sedang sajalah..” ujarku langsung menyerah. Omongan nih anak suka dalem banget kayak sumur.
Lena tersenyum ia kemudian menatap sebuah pohon tertua di taman, pohon yang teduh dan paling hijau di taman. Daunnya berguguran ditiup angin sore yang sejuk. Sepertinya semesta sedang berpihak kepadaku.

“oh iya, len. Mama kamu kenapa misahin Feri sama Vita sekolahnya?” tanyaku sebenarnya penasaran.
“Feri itu prestasi akademiknya lebih bagus dibanding Vita, papa jadi lebih menganak emaskan Feri, apalagi Feri anak laki-laki satu-satunya di keluargaku. Vita jadi sering dibanding-bandingin. Padahal Vita juga punya prestasi, dulu dia pernah juara lomba debat bahasa inggris dan mandarin lho, tapi sayangnya di mata papa itu bukan apa-apa. Tetap aja Feri yang terbaik.” Urai Lena.
Aku termenung mendengar cerita Lena dan tanpa sadar menghela nafas panjang.
“by the way, Alvin itu kayaknya gak suka sama aku ya?” gumam Lena kemudian mengalihkan pandangannya kepadaku.
“eh, kenapa kamu berpikiran kayak gitu?” sahutku agak kaget dengan pertanyaan itu.
“aku bisa liat, dit. Dari sikapnya, cara dia menatapku, bahasa tubuhnya..” ujar Lena, membuatku diam seribu bahasa. Aku sendiri belum sempat bertanya kepada Alvin mengenai hal itu.
“Alvin belum kenal lebih dekat kan sama kamu, aku yakin kalau dia sudah kenal kamu dia akan berubah. Bisa-bisa dia ngerebut kamu dari aku,” sahutku sambil nyengir.
“lebay,” ujarnya singkat dan padat tapi sepenuh hati.

Kami terdiam sejenak, membiarkan angin sore berhembus lembut melewati kami. Lembut sekali seperti sutra bening. Aku menarik nafas mengumpulkan keberanianku.
“Len, kamu mau lanjutin hubungan kita sampai ke tingkat yang lebih serius gak?” tanyaku dengan agak degdegan.
“tingkat serius? Nikah maksud kamu?”
Aku menganggukan kepalaku dengan mantap. “iya nikah. Aku sudah pikir kan matang-matang dan sudah siap. Aku ingin menikahimu, memilikimu secara halal dan menjalani kehidupan baru yang diridhoi Allah. Kamu dan aku,”
Lena terdiam seribu bahasa mendengarnya, wajahnya langsung memerah.
“kamu jangan khawatir, aku sudah pernah bicarakan ini sama Ibu. Dan beliau tidak keberatan selama aku konsisten dan bisa tanggung jawab dengan pilihanku. Kalau masalah nafkah kamu gak perlu khawatir, aku ambil kelas paralel supaya bisa kuliah sambil kerja. Ayahku akan membantuku mencarikan pekerjaan,”
Lena menundukan kepalanya, sepertinya sedang berpikir.
“aku ingat kamu pernah bilang bahwa kamu siap nikah muda, memiliki keluarga yang sakinah mawadah warohmah? Dan aku pun sama siapnya denganmu!” tegasku lagi meyakinkannya.
Aku makin mantap dengan kata-kataku. Lena tampak berpikir keras.
“aku akan siap satu tahun lagi, saat usiaku genap 18 tahun!”
Kata-katanya tegas dan sulit kubantah. Aku terdiam memikirkannya.
“satu tahun itu memang bukan waktu yang lama tapi juga tidak singkat, apa kamu bisa berjanji tetap menjaga hatimu selama menunggu genap usiamu itu?”
“aku akan jaga hatiku ini untukmu,” jawab Lena dengan mantap. “bagaimana dengan kamu? Kamu janji akan jagi hatimu juga untukku?”
“pasti, itu pasti!” Aku tersenyum, alhamdulillah.
****

Sudah waktunya Lena dan kedua adiknya pulang, sebelumnya Lena berjanji akan pulang sebelum jam 5. Alvin tampak sedang mengajarkan Vita dan Feri efek photoshop di kamarku.
“adik-adik, waktunya kita pulang nih. Mba janjinya ama mama sebelum jam lima. Ayo siap-siap!” ujar Lena mengakhiri sesi tersebut.
“bentar lagi lah, mba!” ujar Feri dengan nada memelas.
“kalo mba diomelin nanti mba gak bisa ajak Feri jalan-jalan lagi. Nanti kan bisa main lagi, apalagi kalian satu sekolah kan? Bisa ketemu kapan aja,”
Kata-kata Lena itu tak terbantahkan. Feri akhirnya tak berkutik. Aku diam-diam heran kok malah Feri yang sedikit ngotot untuk tinggal bukannya Vita yang jelas-jelas lagi kasmaran sama Alvin.
“vin, nanti-nanti ajarin lagi ya,” ujar Vita seraya bangkit dari tempatnya duduk diikuti Feri.
“beres,” jawab Alvin mulai mematikan PC nya.

“vin, kapan-kapan main ke rumah ya, biar lebih intensif ngajarin dua anak kembar ini.” Ujar Lena.
Alvin hanya menjawab dengan mengangguk. Aku jadi agak kesal melihatnya meski Lena tampak tidak terlalu mempermasalahkan.
“jangan kapok main-main kesini ya?” ujarku basa-basi.
“beres kak,” ujar Feri sambil cengar cengir menoleh ke arah Vita.
Vita mencubit lengan Feri dengan wajah merah.
Lena tersenyum melihat tingkah kedua adiknya, “gak ada yang ketinggalan kan? Oke dit, terima kasih ya sudah menerima kami sebagai tamu di rumah kamu. Maaf kalo jadi ngerepotin,”
“jangan sungkan.. jangan sungkan,” ujarku dengan santai.

Setelah mengantar Lena dan kedua adiknya sampai ke ujung gang aku langsung menemui Alvin. Dia sedang menonton film spongebob kesukaannya.
“kakak berharap ade bisa bersikap lebih dewasa,” ujarku to the point.
“maaf kak,” jawabnya tanpa menoleh ke arahku, tatapannya masih lurus ke televisi.
Uratku mulai bermunculan.
“siapapun dia, kamu suka atau enggak, please! Tamu harus dihormatin, Ibu udah ngedidik kita buat memuliakan tamu kan?” ujarku dengan nada tegas. Aku berusaha sebisa mungkin tidak mengeluarkan nada emosi tapi sepertinya masih kentara.
Alvin pun terdiam tanpa membantah, entah karena omonganku atau nada bicaraku. Pelan-pelan ia menundukan kepalanya. Aku jadi merasa bersalah kepadanya, biar bagaimanapun aku tidak pernah marah kepada adikku.
Aku menghela nafas panjang, perlahan aku duduk di sampingnya. “emang kenapa sih ade gak suka sama Lena?”
Sesuatu yang mestinya kutanyakan kepadanya dari awal.
Alvin menggelengkan kepalanya pelan tanpa berani menatap mataku.
“apa Lena membuat kesan buruk buat ade? Atau nyakitin hati ade?” tanyaku lagi.
Sebuah pertanyaan yang klise sebab Alvin baru dua kali bertemu Lena, itupun sebentar saja. Yang lagi-lagi dijawab dengan sebuah gelengan kepala. Aku sebenarnya hampir kehilangan kesabaranku tapi melihat Alvin seperti itu aku tidak tega. Kami berdua sama-sama terdiam di ruang tengah. Spongebob and the gank yang sudah cape-cape berlaga di layar kaca pun terabaikan.


Ibu pulang tepat setengah jam sebelum makan malam, beliau rupanya sudah membeli lauk siap saji. Untunglah! Sebab aku tak sempat membuatkan makan malam. Dengan kelihaiannya sebagai Ibu rumah tangga berpengalaman, dalam waktu dua menit makan malam terhidang rapi di meja makan.
“dit.. vin.. hidangan sudah tersedia! Ayo makan!” seru Ibu dengan suaranya yang menggema.
Aku yang baru selesai mandi langsung menyerbu ke meja makan. Lapar sekali diri ini sebab dari siang belum makan.
“kayaknya enak nih bu..?” celetukku sambil menyendok nasi ke piringku. “meski gak seenak bikinan Ibu,”
“cobain dulu,” ujar Ibu diplomatis, beliau tampak beberapa kali menengok ke arah kamar Alvin.
Alvin belum keluar dari kamarnya, sepertinya tidur. Tidak mungkin Alvin tidak lapar, insting laparnya pasti akan menggiring dia menuju meja makan.
“bu..” ujarku sebelum Ibu menyuruhku memanggil Alvin. “Adit udah katakan ke Lena. Dan dia bilang bersedia,”
“hah? Bener itu, dit? Alhamdulillah..” ujar Ibu kaget bercampur senang.
Aku langsung nyengir-nyengir bangga, “aku harus nunggu Lena berusia delapan belas tahun.”
“sekitar satu setengah tahunan ya?” sahut Ibu menerka.
“iya, kira-kira satu setengah tahun.”
“emangnya kamu bilang gimana ke Lena?” tanya Ibu penasaran.
“biasalah! Dengan keahlian Adit merangkai kalimat indah dan bismillah!” ujarku dengan bangga.

Ibu mengangguk-angguk, tak perlu ditanya lagi kemampuanku dalam berpuitis dan mengarang indah, sudah pasti aku jagonya.
“tapi Ibu gak nyangka kamu berani nikah dini,” ujar Ibu tiba-tiba.
“daripada Adit pacaran, pergaulan bebas dan ampe kebablasan? Mendingan Adit memiliki gadis yang Adit sayang dengan cara yang halal yakni menikah,” ujarku dengan mantap.
“hmm.. tapi bener ayah kamu bakalan ngebantu kamu dapet kerjaan yang bagus?” tanya Ibu lagi.
“insyaAllah, bu! Ayah bilang mau bantu. Dan semuanya juga kembali kepada Allah. Mudah-mudahan dipermudah,” ujarku meyakinkan Ibu.
Ibu mengangguk-angguk lagi, sekarang beliau sudah lebih yakin. Aku pun dengan tenang mulai menyantap makan malam yang terhidang.
“kalo Alvin gimana? Dia udah tau?” tanya Ibu kemudian.
Seketika aku berhenti mengunyah. Dan terdiam: aku belum memikirkan yang ini. Aku menelan bulat-bulat kunyahanku, “nanti Adit akan kasih tau dia. Pelan-pelan,”
Ibu menghela nafas, pastinya rumit buatku untuk menempuh hidup baru dengan Lena jika Alvin tidak menyetujuinya. Dia sudah jadi bagian dari keluargaku, persetujuannya juga menjadi pertimbangan penting.
“yaudah, itu bisa kamu dan Alvin omongin, sekarang tolong panggil dia. Ada yang ingin Ibu kasih tau ke kamu dan Alvin.” ujar Ibu.
Tanpa bertanya dan membantah aku langsung menyambangi kamar Alvin. Tak lama kemudian aku kembali dengan Alvin yang bermata merah (habis tidur)
Ibu tersenyum menyambut kami. “tidur sore-sore kurang bagus lho, vin. Ntar jadi gampang lupa.”
Alvin gantian membalas senyum Ibu tanpa berkata apa-apa. Ia pun menyendok nasi dan lauk ke piringnya dan ikut bergabung menyantap hidangan.
“sekarang kan kita udah lengkap, ada sesuatu yang ingin Ibu bicarakan kepada kalian.” Ujar Ibu tiba-tiba.
Aku dan Alvin langsung memandangi Ibu. Seratus persen perhatian kami tertuju pada Ibu.
“begini nak, sebenarnya sudah dari lama Ibu ditawari jadi guru untuk sebuah sekolah di Jawa Tengah, yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerahnya. Padahal anak-anak disana semangat buat sekolah. Disamping kekurangan tenaga didik juga fasilitas sekolahnya jauh dari kata layak. Sehingga Ibu dan kawan-kawan Ibu merasa terpanggil untuk menjadi relawan disana. Generasi muda itu adalah kunci keberhasilan masa depan bangsa, sudah menjadi tugas bagi yang senior untuk mendidik mereka. Bagi Ibu ingin rasanya jadi lebih berguna bagi orang lain, apalagi Ibu masih lincah. Tapi Ibu agak berat ninggalin kalian berdua, Ibu takut kalian belum cukup mandiri tanpa bantuan Ibu. Menurut kalian gimana?”

Wau! Aku mendadak kagum kepada Ibuku, ternyata beliau punya obsesi yang mulia. “Subhanallah! Luar biasa itu bu! Adit setuju kalo Ibu berniat jadi tenaga didik, pahlawan tanpa tanda jasa!”
“pahlawan sih pahlawan, tapi Ibu juga masih punya tanggung jawab sebagai orang tua kamu dan Alvin..”
“jangan khawatirlah bu, Adit kan jebolan anak pondok yang udah terlatih hidup prihatin dan mandiri. Adit juga sudah dewasa, insyaAllah Adit bisa mengurus diri sendiri serta menjaga dede satu-satunya ini,” ujarku meyakinkan Ibu.
Ibu terdiam sejenak, beliau mencoba memahami dan mempertimbangkan pernyataanku.
“percayalah bu, Adit akan bertanggung jawab dan menjaga nama baik!” tambahku lagi.
Ibu masih terdiam, Ibuku ini tipikal orang yang berpikir matang meski sudah kuyakinkan dengan kata-kata maut ala Aditya Firdaus. Beliau beralih menatap Alvin yang dari tadi hanya diam saja mendengarkan, ia kelihatan harap-harap cemas.
“menurut kamu gimana, vin?” tanya Ibu.
Alvin menggaruk-garuk kepalanya, “terserah Ibu, kalo menurut Ibu itu baik untuk Ibu ya.. just do it!”
“Ibu gak ingin menjadi orang tua yang gak baik. Yang ninggalin anaknya hanya demi obsesi lama,” ujar Ibu dengan nada setengah lirih. “makanya Ibu perlu pendapat kalian,”
“Ibu jadi guru disana untuk berapa lama?” tanya Alvin tiba-tiba.
“gak bisa diperkirain, tergantung dari kitanya. Maunya sih sampai sekolah itu bisa mandiri,”
“buat Adit, mewujudkan keinginan itu gak dosa kok bu. Ibu selama ini sudah mendidik Adit dan Alvin dengan baik, Ibu sudah menjalankan peran Ibu sebagai orang tua yang baik. InsyaAllah kami bisa jaga diri. Lagi pula kan masih ada Ayah, jadi Ibu gak perlu terlalu khawatir,”

Ibu terdiam sebentar dan kemudian mengganggukan kepala tanpa mengatakan iya atau kalimat persetujuan lainnya. Aku sempat menangkap sekilas ekspresi wajah Ibu yang cemas mendengar aku menyebut Ayah. Tapi sepertinya hanya perasaanku saja, Ibu kan memang orang yang ekspresif (cocok sekali jadi guru)
“Ayah udah lama gak ketemu Adit. Udah kaya selebriti, sibuk banget.” Ujarku iseng, masih penasaran ingin membuktikan perasaanku.
“namanya juga manager HRD. Banyak tugas dan tanggung jawab yang diemban Ayah kamu itu. Kata dia sih kadang sampe nginep di kantor nyelesain kerjaan,” sahut Ibu.
“ooh gitu. Kok Ibu bisa tau?” aku makin penasaran.
“Ibu kan kadang-kadang SMS-an ama Ayah kamu. Tetap aja dia sering minta petuah-petuah dan nasihat sama Ibumu ini,”
“wah.. wah.. CLBK donk bu!” godaku sambil nyengir. Yang kemudian diam saat Ibu melotot kearahku, sudah cukup sampai situ saja.
“jangan ngebahas sesuatu yang Alvin gak ngerti,” ujar Ibuku diplomatis, beliau melirik sekilas Alvin yang sambil makan memperhatikan kami mengobrol.
“dit, jaga Alvin ya.. sekarang kamu walinya,” ujar Ibu kepadaku, beliau menatapku lurus-lurus ; serius sekali. Aku agak bergidik ditatap seperti itu.

Selesai makan malam Ibu dan Alvin balik ke kamar masing-masing, diam-diam aku menyusul Ibu ke kamarnya. Jujur aku masih saja penasaran kok Ibu lebih up to date seputar Ayah? Sudah lama aku tidak main ke kamar Ibu dan aku kaget: ternyata banyak berkas-file-catatan yang isinya rencana, visi-misi, inovasi dan strategi ibu untuk memajukan sekolah di pelosok nan terpencil itu. Rupanya Ibu sudah merencanakan matang-matang, gak nyangka.
“kenapa dit? Ada yang mau kamu bicarain lagi?” tanya Ibu sembari merapikan catatannya yang berserakan di meja.
“gini bu.. to the point aja,” ujarku sambil mengumpulkan keberanian. “Ibu kok gak bilang-bilang sering kontak-kontakan ama Ayah? Adit aja yang anaknya jarang banget bahkan buat sekedar say hello,”
Ibu terdiam, ekspresi wajahnya kosong. Aku mendadak tidak enak kepada Ibu, apa kata-kataku terlalu dalam ya? Tapi kayaknya masih dalam batas kewajaran. Beliau kembali merapikan fail-failnya dan menyusunnya dalam satu folder.
“bu…” panggilku.
“nanti kamu akan ngerti sendiri, dit.” Ujar Ibu singkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar