Senin, 21 Maret 2016

Memories Of Him - Part 12

~Clay Pov~
Wkwkwkwkwkwkwk…>>> D.A.L <<<…..duh maaf ya namanya g banget…aq bnr2 bngung klo soal pilih2 nama gt hahaha…Dark Angel Lucifer.. setahuku Lucifer adalah malaikat yg mengkhianati Tuhan, makanya dia di turunkan d bumi dan dikutuk menjadi iblis. Lucifer sendiri punya julukan sebagai “The God Of Light” dan “The Fallen Of Angel.” Nggak tau kenapa karakter Ryo seperti Lucifer dalam benakku. Sekilas dia terlihat baik tapi ternyata di sisi lain dia punya sesuatu yang mengerikan..makanya aku memberi sepasang sayap hitam di jaket D.A.L yang berwarna putih. Hmm…klo mnurut kalian si Ryo ini gmn?? Apa yg kalian pahami dari seorg Ryo?? Pngn tw pendpt kalian aja hehehehehe…. ^^


~Rico Pov~
Drap…drap…drap…

Kakiku terus membawa tubuhku ini menjauh dari toilet neraka itu untuk menghindari hal-hal yang nggak diinginkan.

Sebenarnya aku ke toilet mau buang air kecil, tapi malah di hadang teman-teman sekelasku yang sudah lengkap dengan gayung dan bungkusan plasti yang berisi air.

Setelah posisiku agak jauh dari toilet, aku berhenti sebentar untuk mengisi paru-paruku dengan oksigen. Tapi tiba-tiba…

BYYYUURRRR…

“Hahahahaha..kena-kena,” seru Ayu pelaku penguyuran air di tubuhku.

Nggak lama kemudian aku merasakan guyuran air lagi dari beberapa arah. Nggak cuma itu, ada juga yang melempariku dengan telur dan tepung.

“Hai udah dong!!” aku berusaha menjauhi para pelaku kejahatan itu, tapi rasanya sia-sia saja.

Aku sudah terkepung.

“Rasain! Makanya jangan kabur. Percuma juga kamu kabur, pasti bakal tertangkap lagi hahahaha,” seru Pino dengan tawanya yang membahana.

Sedangkan aku cuma terdiam sambil membersihkan kulit telur yang bersarang di rambutku dan pundakku.

Mereka benar-benar kejam memperlakukanku seperti ini. Apa mereka nggak sadar kalau masih ada 3 jam pelajaran setelah istirahat pertama ini dan 3 jam pelajaran lagi setelah istirahat ke dua?? Mana mungkin aku ikut pelajaran dalam keadaan kacau kayak gini hhuuuffhhh… menyebalkan.. >.<

“Acara pembukanya sudah kelar, sekarang tinggal menunggu acara intinya,” kata Hendro, “TRAKTIRAAAANNNNN….” teriaknya girang yang di ikuti teriakan dari beberapa teman yang lain.
“Hai…nggak ada ya yang namanya traktiran setelah aku di guyur kayak gini,” dengusku kesal.
“Ih dasar pelit. Namanya aja ultah, ya pasti ada acara basar-basahan dan traktirannya dong,” protes Ayu.
“Iya tuh. Harusnya kamu bangga kami inget ultahmu,” sahut Yongki.
“Iya-iya. Nanti istirahat ke dua aku traktir kalian di kantin Bu Yeyen,” dengusku kesal, “minggir-minggir!! Aku mau ke toilet dulu,” aku segera berjalan pergi meninggalkan teman-temanku yang gila traktiran itu.

Aku sedikit berlari untuk sampai di toilet. Jujur aja, aku malu. Dalam keadaan seperti ini otomatis aku jadi pusat perhatian anak-anak yang lain. Malah ada beberapa dari mereka mengucapkan selamat ultah padaku, padahal aku nggak kenal mereka siapa –a. Yah setidaknya mereka tau kalau hari ini aku ultah dan memberiku ucapan selamat, biarpun aku harus merelakan tubuhku menjadi adonan dalam waktu singkat.

Akhirnya aku sampai juga di toilet yang tadi batal aku masuki karena ada para pengacau itu. Untung sekarang toiletnya sepi, jadi aku nggak perlu lagi menghindar ke sana ke sini hehe.. aku langsung membersihkan tangan dan kepalaku yang terkena tepung dan telur dengan air di watafel yang mempunyai kaca di depannya.

Tiba-tiba aku mendengar bel berbunyi nyaring, tanda waktu istirahat sudah habis.

Haduh gimana ini kepalaku masih bau amis. Bajuku juga udah basah dan kotor.

Akhirnya aku menghabiskan waktuku di toilet yang sepi ini. Aku masih bingung dengan tubuhku yang kotor.

“Di sini kamu rupanya,” tiba-tiba sebuah suara mengagetkanku.
“Pandu?!” desisku saat tau pemilik suara itu adalah Pandu.
“Tadi aku mencarimu ke mana-mana,” katanya sambil berjalan ke arahku, refleks aku jadi berjalan mundur menjauhinya.

Padahal aku nggak ada niat untuk menjauhinya, tapi kakiku punya pikirannya sendiri. Ya mungkin ini kebiasaanku yang selalu menghindarinya saat bertemu dengannya. Tapi aku langsung berhenti setelah menyadari kebodohanku.

“Kenapa mencariku?” tanyaku.
“Ini, aku dititipi ini sama Alvin,” jawab Pandu sambil menyodorkan kantong plastic ke arahku.

Aku langsung mengambil kantong plastic itu lalu membukanya dan melihat isinya.

“Seragam?!” seruku girang.

Mataku langsung bersinar-sinar melihat seragam dan celana panjang yang ada di dalamnya.

“Shampo dan sabun?” desisku, “ini…handuk???” aku mengamati handuk yang ada di dalam kantong plastic itu juga.
“Alvin yang membawa itu semua dari rumah. Katanya, kamu pasti membutuhkannya hari ini.”
“Ck…kenapa sih dia nggak bilang daritadi kalau bawa ini semua?! Jahat banget sih. kalau aku tau dia sudah mempersiapkan semua ini buat aku, aku nggak perlu kebingungan kayak tadi kan?!” degusku sebal, “terus sekarang Alvinnya mana?” tanyaku ke Pandu yang sekarang sedang buang air kecil di salah satu urinoir yang ada di sisi kiriku. Kalau di sisi kananku bilik-bilik wc.
“Dia ada di UKS. Asmanya kambuh.”
“KAMBUH???” pekikku kaget.
“Tenang aja. Dia nggak apa-apa kok,” kata Pandu sambil berjalan ke wastafel untuk mencuci tangannya, “nggak sampai pingsan.”
“Bener dia nggak apa-apa?” tanyaku meyakinkan.
“Iya dia nggak apa-apa,” jawab Pandu yang sekarang membasahi rambutnya dengan air, “jam ke 4 ini kamu bolos aja. Mandi di sini. Biar aku yang jagain Alvin.”

Aku terdiam memperhatikan Pandu yang sedang menguncir rambutnya.

“Apa?” tanya Pandu yang sadar kalau sedang aku amati.
“Kenapa kamu perhatian banget sama Alvin?” tanyaku yang langsung membuat mata Pandu sedikit melebar menatapku.
“Ya karena kita teman,” jawab Pandu sambil melempar pandangannya kearah lain.
“Yakin hanya seperti itu?” tanyaku lagi.

Aku nggak tau dapat darimana keberanianku ini sampai berani bertanya kayak gini ke Pandu. Tapi aku bener-bener penasaran dengan mereka berdua. Habisnya Alvin selalu membela Pandu saat aku menjelek-jelekkannya, sedangkan Pandu selalu perhatian ke Alvin. Ya kayak sekarang ini misalnya, dia dengan senang hati mau nemenin Alvin di UKS. Selain itu aku menyadari sesuatu waktu melihat Pandu yang sedang menatap Alvin ataupun sebaliknya, saat Alvin menatap Pandu. Tatapan mereka penuh arti. Itu bukan tatapan mata seseorang untuk temannya, tapi tatapan mata seseorang untuk kekasihnya. Tatapan yang penuh cinta. Seperti tatapan mataku untuk Awe (ciieehh haha).

“Apa maksudmu?” tanya Pandu balik sambil menatap tajam ke arahku, seketika itu juga nyaliku jadi ciut –a.
“Ya..ya..habisnya kalian itu terlihat kayak lebih dari teman,” kataku sambil menundukkan kepalaku untuk menghindari tatapan matanya yang mematikan.
“Kami cuma teman,” kata Pandu.
“Masa sih?” tanyaku yang masih mencari jawaban biarpun aku sudah takut setengah mati.
“Iya,” jawabnya singkat, “Ya udah aku mau balik dulu. Kasian Alvin di UKS sendirian.”
“Tunggu Pan!” cegahku saat Pandu hampir keluar dari toilet.
“Apa lagi?” tanya Pandu sambil membalikkan badannya menghadapku.
“Apapun hubunganmu dengan Alvin, bisakah kamu berjanji sesuatu padaku? Ah…nggak. Bukan janji. Tapi sumpah. Iya bersumpah.”
“Sumpah?” tanya Pandu sambil mengernyitkan dahinya.
“Iya bersumpah. Bersumpahlah kalau kamu akan selalu menjaga dan melindungi Alvin. Bersumpahlah kalau kamu nggak akan membuatnya bersedih dan sakit hati.”
“Biarpun kamu nggak menyuruhku bersumpah, aku sudah pasti akan melakukan semua itu,” kata Pandu sebelum meninggalkan toilet.

Aku menghela nafas ketika menyadari sesuatu.

Ternyata dia memang menyukai Alvin. Dari jawabannya tadi sudah membuktikan semuanya. Dan nggak menutup kemungkinan kalau Alvin juga mempunyai perasaan yang sama dengan Pandu. Kecewa juga sih sama Alvin, bisa-bisanya dia menjalin hubungan dengan seorang cowok dan menyembunyikannya dariku. Tapi rasanya aku paham sama pemikirannya. Dia pasti nggak mau membuatku marah dan kecewa. Setidaknya itu yang aku rasakan saat menyembunyikan hubunganku dengan Awe dari Alvin. Aku juga takut membuatnya marah dan kecewa denganku gara-gara statusku yang sedikit menyimpang itu. Rasanya aku harus berpura-pura nggak tau apa-apa tentang hubungan mereka berdua.

Lagi-lagi aku menghela nafas berat. Setelah itu aku memasuki salah satu bilik WC. Sejenak aku ragu untuk mandi di sana. Tempat itu terlihat sempit dengan satu closet dan satu shower kecil yang biasa di buat membersihkan pantat setelah PUP. (mksdx shower yg di tekan tuas besinya lalu akn keluar air. Klo g d pencet g akan kluar airnya ^^ aq lp namanya jd aq tulis aja ‘shower’ haha).

Weeekkzz…masa aku mandi di sini sih???

Aku mengernyitkan dahiku dan memandang jijik pada shower yang kini sudah ada dalam genggaman tanganku.

Ah bodo.. daripada bau amis seharian.

Akhirnya aku membuka satu persatu bajuku dan bersiap-siap untuk mandi. Semoga aja setelah mandi aku nggak bertambah bau –a.





~Awe Pov~
Sudah hampir dua jam aku mondar-mandir di dalam Mall seorang diri. Rencananya aku mau membeli kado untuk Rico, tapi setelah di Mall aku jadi bingung sendiri mau beli apa. beberapa barang sudah aku lihat, tapi nggak ada yang cocok. Mau aku belikan topi tapi nggak jadi, habisnya Rico kan nggak suka pakai topi. Mau aku belikan baju tapi nggak di bolehin sama kak Hengky. Katanya hadiah berupa kain seperti baju atau sapu tangan bisa memutuskan suatu hubungan. Aku nggak mau kalau harus putus dari Rico >.<. Sebenarnya pilihan terakhirku jatuh di aksesoris, tapi rasanya itu juga nggak mungkin karena Rico nggak suka pakai aksesoris. Nah kan bingung lagi hiks..T-T. Mau beli sepatu tapi uangku nggak cukup. Aku cuma membawa uang nggak sampai seratus ribu. Habisnya uang jajanku bulan ini cuma sisa segitu. Aku nggak mau minta uang lagi ke Tante. Kasian Tante. Jadi aku harus benar-benar memilih barang yang harganya terjangkau tapi kualitasnya nomor satu. Ada nggak ya hmm…

Karena bingung mau memberi kado apa akhirnya aku masuk ke dalam swalayan yang memang ada di dalam Mall ini. Ya siapa tau aja aku bisa nemuin makanan ke sukaan Rico. Tapi apa pantas sih kalau makanan di bikin kado?? Marah nggak ya dia?? Hmm… jadi bingung. Ah sudah lah nggak apa-apa, lagian aku juga mau lihat-lihat coklat. Cuma lihat aja, nggak beli. Iya nggak beli.

* * *
* * *
* * *

~20 menit kemudian~

Aku pandangi kantong plastic yang ada di tanganku. Rasanya aku jadi ingin menangis kalau melihat kantong plastic ini.

Gimana aku bisa sebodoh ini sampai bisa membelanjakan hampir setengah dari uangku untuk coklat dan snack?! Lalu gimana dengan kado untuk Rico?? Uangku pasti nggak cukup untuk membeli kado yang bagus untuknya. Rasanya cuma aku yang belum mendapatkan kado untuknya. Jangan-jangan aku nggak akan bisa memberinya kado?! Umm…aku benar-benar bukan pacar yang baik huhuhuhuhuhuhuhu…

“Awe kan?” tiba-tiba sebuah suara menyapaku dari samping kanan.

Aku langsung mengangkat wajahku yang daritadi tertunduk lesu untuk mengetahui siapa pemilik suara itu.

Cowok bertattoo.

Aku melihat cowok bertattoo temannya Pandu sedang berjalan mendekatiku. Dia nggak sendirian. Dia bersama salah satu temannya.

Sebenarnya aku tau namanya Aan tapi aku lebih suka memanggilnya cowok bertattoo. Habis badannya banyak tattoo nya sih.

“Ah… ternyata benar,” desisnya sambil tersenyum ke arahku, “sama siapa kesini?” tanyanya.

Aku masih terdiam sambil menatapnya. Tiba-tiba wajah dan mataku jadi memanas.

“Wow..wow..wow..wow… Tahan! Tahan! Please jangan lagi. Jangan nangis lagi!” kata cowok bertattoo itu panic.

Aku yang mendengar kata-katanya jadi makin ingin menangis. Aku ingin mengadu ke dia tentang betapa bodohnya aku.

“Ki..kita ke foodcourt aja yuk! Mau kan?!” tanya cowok bertattoo itu yang langsung mendapat anggukan kepalaku sebagai jawabannya.

Akhirnya aku, cowok bertattoo dan temannya itu berjalan ke arah foodcourt. Setelah sampai di sana kami bertiga langsung duduk di salah satu tempat yang kosong.

“Kamu mau pesan apa?” tanya cowok bertattoo.
“Nggak mau pesan apa-apa,” jawabku lirih.
“Hmm…emm…kalau minum?” tanyanya lagi. Aku menggeleng, “hmm..oke,” desisnya sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

Sepertinya dia sedang bingung menghadapiku saat ini. Apalagi aku pernah menangis saat melihatnya di kos-kos’annya Pandu. Dia pasti nggak mau melihatku menangis lagi di hadapannya. Padahal aku mau cepat-cepat mengadu ke dia. Tapi aku juga takut kalau dia jadi terbebani setelah aku curhat. Jadi yang bisa aku lakukan sekarang cuma diam sambil terus menatap ke cowok bertato itu penuh harap. Berharap dia mempersilahkan aku mengutarakan isi hatiku saat ini.

“A…apa ada yang mau kamu katakan?” tanya cowok bertattoo itu saat menyadari tatapan mataku.

Spontan aku langsung langsung menatapnya berbinar. Tapi nggak sampai sedetik mataku kembali memanas.

“Sebenarnya aku ke sini mau beli kado tapi sebagian uangku malah aku beli’in coklat sama snack,” kataku pelan sambil menahan tangisanku yang hampir tumpah.
“Ka…do?” tanya cowok bertato. Aku mengangguk.
“Hari ini ulang tahunnya dan aku belum memberinya kado,” kataku.
“Ehm..yang ultah itu pacarmu ya?” tanya cowok bertato itu lagi. Aku mengangguk lagi, “hmm…gitu…” desis cowok bertato itu.
“Aku harus gimana??” tanyaku putus asa, “dia pasti kecewa sama aku.”
“Kalau menurutku sih dia pasti mau menerima apapun yang kamu berikan ke dia,” kata cowok bertato itu.
“Iya sih aku tau. Tapi kan….” aku nggak melanjutkan kata-kataku.

Aku cuma tertunduk lesu.

“Memangnya sisa uangmu sekarang berapa?” tanyanya.

Aku langsung merogoh kantong celanaku dan mengambil dompet. Ku buka dompetku itu dan melihat isinya.

“Cuma sisa empat puluh delapan ribu lima ratus,” jawabku lirih.
“Ehm…gimana kalau kamu pakai uangku dulu buat beli kado?” tanya cowok bertattoo itu.
“Nggak usah. Aku nggak mau beli kado dari hasil berhutang,” kataku pelan, “aku mau beli kado dari uangku sendiri.”

Ya sebenarnya bukan uangku sendiri sih. Aku kan dapat uangnya dari Tante –a.

“Hmm…gitu,” desis cowok bertattoo itu, “aduh susah juga ya,” cowok bertattoo itu menggaruk-garuk kepalanya.

Aku masih tertunduk lesu sambil sesekali melirik kearah cowok bertatto dan temannya yang dari tadi hanya diam saja sambil memainkan hp nya.

“Hai bantuin dong! Jangan diem aja!” kata cowok bertattoo itu ke temannya.
“Bantuin apa?” tanya temannya dengan ekspresi datar.

Dia sama sekali nggak melepas pandangannya dari layar hp nya.

“Ya bantuin mikir. Kasih saran gitu tentang kado yang harganya terjangkau tapi bagus.”
“Kenapa aku harus ikutan mikir? Itu kan bukan urusanku.”
“Ck..kamu ini…” dengus cowok bertattoo itu kesal, “sorry ya We. Johan ini anaknya emang gini. Nggak ada baik-baiknya sama sekali,” kata cowok bertattoo ke aku. Aku cuma tersenyum menanggapi kata-katanya.
“Sebenarnya ada yang bisa aku berikan untuknya. Aku nggak akan keluar uang untuk itu dan dia juga pasti akan senang menerimanya,” kataku lirih, “tapi aku ragu untuk memberikannya.”
“Kenapa ragu? Berikan saja ke dia.”
“Tapi itu…”
“Udah nggak usah tapi-tapian. Daripada kamu bingung terus kayak tadi mendingan berikan saja kado itu untuknya,” potong cowok bertattoo, “dia pasti menganggap kado itu special.”
“Special?”
“Hu’um. Kan itu kado darimu. Kado dari orang yang dia sayang,” cowok bertattoo itu tersenyum ke arahku sambil mengacak-acak rambutku.
“Uummm…special ya… apa benar itu akan jadi kado special untuknya??”
“Aku jamin.”

Aku diam sejenak untuk berpikir. Tapi akhirnya aku memutuskan untuk memberikan itu sebagai kado. Nggak ada salahnya juga memberikan itu sebagai kado. Aku ingin kadoku menjadi kado yang paling special untuknya. Kado yang nggak mungkin orang lain berikan untuknya.

“Nah gitu dong…senyum,” kata cowok bertattoo yang membuat senyumku makin berkembang.
“Ya udah kalau gitu aku duluan ya. Aku mau beli pita,” kataku sambil berdiri dari kursiku, “bye-bye cowok bertattoo…bye-bye Johan,” pamitku sebelum kakiku melangkah pergi meninggalkan mereka.

Aku terus berjalan tanpa menghiraukan panggilan cowok bertattoo itu. Aku harus cepat-cepat membeli pita itu. Mau-nggak mau aku harus memberikan kadoku hari ini juga. Karena ini hari terakhir. Ehm..maksudku kalau lebih dari jam 12 malam kadoku akan jadi percuma. Kan ultahnya sampai jam 12 malam nanti. Jadi kadonya harus di serahkan sebelum jam 12 malam nanti. Parahnya lagi ini sudah hampir jam 8 malam. Waktuku benar-benar nggak banyak >.<.

Akhirnya kakiku sampai juga ke istana kado yang ada di dalam Mall ini. Aku nggak perlu melirik barang-barang di sana untuk kadoku. Aku sudah punya kadonya. Yang aku butuhkan cuma pitanya.

Setelah memilih-milih pita yang cocok untuk kadoku, akupun langsung membayarnya di kasir.

Nah sekarang kadonya udah siap..ya anggap aja udah siap >.<. Pitanya juga sudah ada. Sekarang tinggal ke rumah Rico. Hmm…moga-moga ini jadi kado yang paling special untuknya.

Ku rogoh kantong celanaku untuk mengambil hp ku. Tanpa banyak pikir aku langsung menelfon Rico.

“Iya We?” tanya Rico setelah mengangkat telfonku.
“Ehm..Ric kamu ada di rumah nggak?”
“Iya aku di rumah. Kenapa?”
“Itu…aku mau ke sana.”
“Malam-malam gini?”
“Hu’um. Aku ingin mengi…menginap di sana.”
“Heee??? Nginap??” tanya Rico kaget, “mak…maksudmu kamu mau tidur di rumahku gitu??”
“Iya. Boleh nggak?”
“Ya…ya boleh saja lah hehehe…sekarang kamu ada di mana? Apa perlu aku jemput?” tanya Rico girang.
“A…anu… nggak usah. Aku bisa ke sana sendiri. Kamu tunggu aja di rumah.”
“Hmm..ya udah aku tunggu. Kalau gitu hati-hati di jalan ya sayang.”
“I..iya,” kataku sebelum memutuskan sambungan telfon kami.

Setelah menata jantung dan hatiku, aku langsung berjalan keluar Mall menuju tempat parkir motor. Saatnya memberikan kadoku.

AYO AWE SEMANGAT!!! Ah salah.. AYO AWE KUATKAN HATI’MU!!! (untuk gerakan tubuh dan ekspresi wajahnya awe bayangkan sndri2 ya hahaha…)

~Rico Pov~
TING…TONG…
“Tuh ada tamu. Bukain sana!” perintah kak Danil yang sedang sibuk menggunting kuku kakinya di sofa tamu.
“Nggak usah kamu perintah juga bakal aku bukain,” kataku ketus sambil berjalan kearah pintu dan membukanya.

Senyumku langsung mengembang saat melihat Awe sudah datang.

“Masuk!” ajakku sambil sedikit menarik tanganya agar dia segera masuk ke dalam rumah, “habis belanja ya?” tanyaku saat melihat kantong plastic yang ada di tanganya dan langsung di jawab dengan anggukan kepalanya.
“Hai We. Tumben ke sini malam-malam,” sapa kak Danil.

Dia melihat Awe sekilas lalu sibuk lagi dengan kukunya.

“Iya,” sahut Awe dengan senyumnya, “aku mau nginap di sini kak.”

Ah…manisnya pacarku ini. Apalagi kalau sedang tersenyum seperti itu. Kalau aja nggak ada kak Danil di sini, sudah habis tuh pipi sama bibir aku ciumin hahahahahaha….

Untuk beberapa saat kak Danil menghentikan aktifitasnya dan melihat aneh ke Awe.

“Sudah lepas dari notes ya?” tanya kak Danil.
“I..iya,” jawab Awe sambil menundukkan kepalanya.
“Hmm gitu,” desis kak Danil, “udah izin belum sama orang rumah kalau mau nginap di sini?” tanya kak Danil yang sudah sibuk dengan kukunya lagi.
“Sudah kak,” jawab Awe.
“Eh kamu udah makan belum?” tanyaku.
“Ehm…belum,” jawab Awe pelan.
“Ya udah kita makan yuk. Kebetulan aku juga belum makan,” kataku sambil mendorong tubuh Awe kearah dapur.

Daritadi aku terus tersenyum mengingat Awe akan menginap di sini. Rasanya pasti menyenangkan tidur sama pacar hehehehehe… Eitz tenang dulu. Aku nggak akan berbuat mesum ke dia kok. Aku akan berusaha menahan diriku, karena aku nggak mau melihatnya menangis lagi seperti waktu itu. Waktu aku hampir menyerangnya saat mengajarinya main gitar dulu.

“Udah mau berangkat ya kak?” tanyaku ke kak Andi saat aku melihatnya keluar dari kamarnya.

Dia sudah terlihat rapi (?) dengan kaos hitam dan celana jins di bawah lututnya. Anting hitam yang biasanya di lepas kalau sedang ada di rumah kini sudah terpasang di kedua daun telinganya. Nggak cuma itu, kalung yang panjangnya seperut dengan bandul tengkorak (tw ‘bandul’kan??) juga sudah menggantung di lehernya.

“Iya,” jawab kak Andi, “ya udah aku berangkat dulu. Yuk We,” pamit kak Andi. Dia juga menepuk punggung Awe sebelum beranjak pergi.

Sejenak aku menatap kepergian kak Andi. Kak Andi adalah seorang DJ di salah satu café di kota ini. Sebenarnya Papa dan Mama sudah melarangnya kerja di café yang mengharuskan dia selalu pulang di atas jam 12 malam. Tapi Kak Andi yang terkenal sedikit begal itu tetap memaksa. Dia memang sangat berbeda dari kak Danil. Biarpun kak Danil cerewet tapi dia selalu mematuhi nasehat ortu. Sayang sampai sekarang kak Danil belum punya pacar-pacar juga padahal dia udah mapan. Terlalu pilih-pilih sih orangnya. Dasar.

“Yuk We,” akupun mendorong tubuh Awe lagi.

Sampai di meja makan aku langsung menyuruhnya duduk di kursi. Di meja makan sudah tersedia nasi dan laukpauk untuk makan malam. Tapi sayang ayam gorengnya habis. Dan aku tau siapa pelakunya.

“HOI.. KAK!! MANA AYAMNYA? KENAPA AKU NGGAK DI SISAIN SATUPUN?!” teriakku jengkel.
“UDAH NGGAK USAH CEREWET!! MAKAN AJA SEADANYA!!” balas kak Danil dengan berteriak juga.
“AH SELALU AJA GITU. YANG ENAK-ENAK SELALU DI BABAT HABIS DULUAN,” teriakku sebal, “gimana We? Ayamnya sudah di bantai kak Danil. Kamu mau makan sama yang ada ini atau kita beli makan di luar?” tanyaku ke Awe.
“Ehm..makan ini aja,” jawab Awe.

Akhirnya aku mengambil dua piring, dua sendok dan dua gelas untukku dan Awe. Untung aja masih ada tahu dan tempe sebagai pelengkap sayur.

“Oh iya We. Kenapa mendadak kamu ingin nginap di sini?” tanyaku sambil mengambil nasi dan sayur.
“Ehm..aku..eee…itu..nanti kamu juga tau sendiri,” jawab Awe gugup.
“Nanti kamu tidurnya bareng aku loh. Habis di sini nggak ada kamar tamu,” kataku sebelum menyuapkan nasi ke dalam mulutku.
“Ehm…” Awe mengangguk dengan pipi sedikit mengembung karena mulutnya penuh dengan nasi.
“Nggak takut kalau aku apa-apain?” godaku sambil menunjukkan senyum jahilku.

Aku tersenyum saat melihat Awe yang bertambah gugup. Dia langsung menundukkan kepalanya untuk menghindari tatapan mataku. Uhh…manisnya. Nanti malam benar-benar akan jadi neraka buatku. Tidur sekamar dengan makhluk semanis ini tapi nggak bisa ngapa-ngapain T-T.

Setelah selesai makan, aku mengajak Awe nonton film di ruang tengah. Aku sudah menyiapkan beberapa film komedi kesukaannya. Ku lihat Awe terus tersenyum dan tertawa saat melihat adegan kocak yang di suguhkan film-film itu. Sesekali mulutnya sibuk mengunyah-ngunyah snack yang dia bawa tadi. Ah… aku paling suka melihat wajah lugunya itu. Menggemaskan.

“Udah malam lo. Kalian nggak tidur?” tanya kak Danil saat berjalan melewati ruang tengah.
“Nanti aja. Sekalian nunggu Papa dan Mama pulang,” jawabku.
“Mereka nggak akan pulang malam ini. Tante nyuruh mereka nginap di sana,” kata kak Danil.
“I…ini jam berapa sih?” tiba-tiba Awe bertanya dengan paniknya.
“Jam setengah 11,” jawab kak Danil.

Tiba-tiba Awe langsung berlari menuju tangga yang mengarah ke lantai dua.

“Kenapa dia?” tanya kak Danil bingung.
“Nggak tau,” jawabku, “ya udah aku susul dia aja. Sekalian mau tidur,” kataku sambil beranjak dari dudukku dan menyusul Awe.
“HOI MATI’IN DULU TV NYA!!” teriak kak Danil sebal.
“KAMU AJA DEH YANG MATI’IN!! KAN SEKARANG KAMU YANG LEBIH DEKET SAMA TV NYA,” balasku dengan teriak juga.

Aku mendengar kak Danil ngomel-ngomel nggak jelas. Tapi masa bodo dengan semua itu. Biarin aja dia yang mematikan TV nya. Dia kan yang lebih dekat sama TV nya.

“We?” panggilku sambil menggedor pintu kamarku yang tertutup dan terkunci dari dalam.
“Tung…tunggu sebentar!” sahut Awe dari dalam.

Akhirnya aku hanya bisa menunggu dengan rasa penasaran. Aku duduk di anak tangga yang ada di samping kamarku, menunggu Awe membuka pintu untukku.

Tapi setelah hampir 10 menit menunggu Awe tetap belum membuka pintu kamarku.

Lagi apa sih dia ini. Lama banget. Jangan-jangan dia ketiduran lagi.

Saat aku bertanya-tanya apa yang di lakukan Awe, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari dalam kamarku. Aku segera bangkit dari dudukku dan berlari menuju kamarku yang pintunya masih tertutup.

Suara apa tadi???

“We?!! Awe!!!” panggilku sambil menggedor pintu.

Hening. Nggak ada jawaban.

“We, apa yang jatuh tadi?” tanyaku sambil tetap menggedor pintu kamarku.
“…”
“We…Awe kamu nggak apa-apa kan? Buka dong pintunya!” aku terus menggedor pintu kamarku. Kali ini aku menggedornya cukup keras.
“…”
“ADA APA SIH KOK RIBUT BANGET?” tanya kak Danil dengan berteriak.

Makhlum kak Danil ada di lantai bawah, jadi mau nggak mau harus berteriak kalau ngomong dari jarak sejauh ini.

“INI LO, AWE NGUNCI PINTU KAMARKU DARI DALAM. TERUS AKU DENGAR ADA SUARA BENDA JATUH DARI SANA,” jawabku sambil ikut berteriak.

Tepat setelah aku berteriak, aku mendengar suara kunci di putar dari dalam. Perlahan-lahan pintu kamarku terbuka. Mataku langsung melebar dan mulutku langsung terbuka saat melihat pemandangan yang ada di depanku.

“Ada apa sih?” tiba-tiba sudah nongol di sisi kananku dan sekarang sedang mendekat ke arahku.
“WAAAAAAAAAAAAA…..” teriakku panic, “TURUN!! TURUN!! JANGAN KE SINI!!!” tanpa sadar aku terus berteriak dan melempar ke dua sandalku kearah kak Danil.
“ADUH..DUH!! NGAPAIN SIH KAMU INI??!” bentak kak Danil saat salah satu sandalku mengenai mukanya.

Tanpa banyak bicara lagi aku langsung masuk ke dalam kamarku dan menguncinya dari dalam. Teriakan dan makian kesal kak Danil masih terdengar dari luar kamarku. Aku juga mendengar suara timpukan di pintu kamarku. Mungkin dia melempari pintu kamarku dengan sandalku yang tadi aku lempar ke dia. Setelah beberapa detik kak Danil ngamuk-ngamuk nggak jelas di depan kamarku, akhirnya dia pergi juga.

Untuk beberapa saat aku hanya diam menghadap pintu kamarku yang tertutup. Aku menelan ludah beberapa kali sebelum memutar tubuhku menghadap Awe yang berdiri nggak jauh dariku.

Terlihat Awe sedang tersenyum gugup ke arahku. Perlahan-lahan dia melangkahkan kakinya menuju ke arahku.

“Ka…kakimu…” aku melihat dia berjalan sedikit tertatih.

Dan mau nggak mau aku jadi melihat seluruh tubuhnya yang polos.

“Tadi aku terpeleset potongan pita-pita itu,” jawabnya sambil menunjuk ke lantai yang kini berserakan dengan potongan tali pita.
“Sakit nggak?” tanyaku.

Sebenarnya aku ingin menghampirinya lalu mengusap-usap lutut kanannya yang terlihat sedikit memerah. Tapi aku nggak bisa. Aku nggak bisa mendekat ke arahnya kalau kondisinya seperti ini.

“Ehm…nggak kok. Nggak terlalu sakit,” jawab Awe pelan, “oh iya. Met ultah ya Ric. Maaf aku nggak bisa memikirkan kado lain se…selain ini,” desisnya sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Aku yang syock mendengar kata-katanya cuma bisa menelan ludah. Jantungku sudah nggak terkontrol lagi. Dentumannya mungkin bisa mengalahkan dentuman drum.

WOOAAAA….APA MAKSUDNYA INI?? APA DIA MAU MEMBERIKAN TUBUHNYA ITU SEBAGAI KADO?? Ya ampun…tenang…tenang Ric!! Jangan-jangan ini cuma mimpi. Setelah aku mendekat ke arahnya, aku akan jatuh dari tempat tidur lalu terbangun. Atau bisa juga sebelum aku menyentuhnya, jam bekerku berbunyi nyaring sehingga membuatku harus bangun dari mimpi indahku ini. Baiklah…sepertinya aku harus membuktikan dulu ini semua cuma mimpi atau bukan.

Akhirnya dengan perasaan bercampur aduk akupun berjalan mendekat kearah Awe yang kini masih tertunduk dalam. Perlahan-lahan tapi pasti, aku mulai mendekatkan tanganku ke wajahnya dan membelai lembut pipinya. Terasa nyata.

Oke ini bukan mimpi. Ini nyata. Baiklah kalau gitu, aku akan menerima kadoku ini dengan… SENANG HATIIIIII… (goblok haha..)

Waktu aku hampir ‘menyerangnya’, tanpa sengaja mataku menangkap sesuatu yang membuatku jadi mengurungkan niatku.

Aku langsung menghela nafas dan berjalan melewatinya. Ku sambar selimut tebalku yang ada di tempat tidur lalu menutupi tubuh Awe dengan selimut itu. Awe tersentak kaget saat aku melakukan itu. Matanya menatapku seolah bertanya ‘kenapa’? padaku. Aku tersenyum. Ku pegang kedua bahunya yang kini sudah tertutup selimut. Perlahan-lahan aku membawa tubuhnya ke dalam pelukanku.

“Jangan di paksa. Aku nggak mau kamu memaksakan diri seperti ini,” kataku.
“A..aku nggak memaksakan diri kok,” desisnya dalam pelukanku.
“Tangan gemetaran hebat gitu kamu bilang ‘nggak memaksakan diri’?!” tanyaku.

Awe diam. Aku langsung menghela nafas lagi.

“Kamu nggak usah memberiku kado, karena aku sudah mendapatkannya darimu.”
“Hmm? Kado? Kado apa? Aku kan belum memberimu kado apa-apa.”
“Sudah kok. Aku sudah mendapatkannya jauh sebelum hari ultahku.”

Awe mendorong tubuhku pelan sampai pelukan kami terlepas. Dia menatapku dengan kening yang sedikit berkerut.

“Kado apa sih?” tanyanya bingung, sedangkan aku cuma terkekeh pelan sebelum memeluknya lagi.
“Kamu. Aku kan sudah mendapatkan kamu,” jawabku, “kamu itu adalah kado special yang pernah aku dapatkan,” desisku.

Awe terdiam. Dia nggak berkomentar apa-apa.

“Nah makanya kamu nggak usah memaksakan diri kayak gini lagi,” kataku sambil melepaskan pelukanku.

Aku pun mulai melepas pita yang melingkar di leher dan yang melingkar di kedua pergelangan tangan dan kakinya. Setelah itu aku memunguti baju Awe yang berserakan di lantai.

“Nih pakai!” kataku sambil menyodorkan baju itu ke Awe yang masih berdiri sambil terbalut selimut di tubuhnya.
“Maaf,” desisnya.
“Udah nggak usah minta maaf. Kamu kan nggak salah apa-apa. Aneh rasanya kalau kamu minta maaf gini,” kataku sambil mengacak-acak rambut hitamnya.
“Mau kemana?” tanya Awe saat melihatku melangkahkan kakiku menuju pintu kamar.
“Keluar. Kamu kan mau ganti baju.”
“Ngg..nggak usah. Kamu di sini aja.”
“Eh tapi ka…” belum selesai aku bicara tiba-tiba Awe melepas selimut yang menutupi tubuhnya dan dengan santainya dia memakai satu persatu pakaiannya di depanku.

Mau nggak mau aku jadi melihat tubuh polos itu lagi.

Tuhan apa Engkau sedang mengujiku?? Aku tadi sudah bersabar dan ‘menekan’ semuanya tapi kenapa aku di suguhkan pemandangan indah ini lagi hiks..hiks.. Sudah bisa di tebak kalau malam ini aku nggak akan bisa tidur sama sekali T-T

Setelah selesai memakai semua pakaiannya, Awe pun langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurku. Di berguling-guling ke kanan dan ke kiri di sana. Aku tersenyum melihat kelakuannya itu.

“Ric!” panggil Awe.
“Hmm?” tanyaku sambil berjalan ke tempat tidurku.

Aku langsung merebahkan rubuhku di samping Awe dan memiringkan tubuhku menghadap ke arahnya.

“Apa aku sudah benar-benar menjadi kado untukmu?” tanya Awe yang ikut memiringkan tubuhnya ke arahku sehingga kami saling berhadap-hadapan.

“Iya,” desisku sambil tersenyum.

Terlihat Awe juga tersenyum ke arahku.

“Aku sayang banget sama kamu Ric,” kata Awe pelan tapi mampu membuat jantungku kembali berdetak cepat.

Perlahan-lahan dia menggeser tubuhnya ke arahku dan…

CUP…

Dia mencium bibirku sekilas.

“Kado kecil dariku,” katanya cepat sebelum dia membenamkan kepalanya ke dadaku dan menjadikan lengan kananku sebagai bantal.

Aku masih terdiam dengan mata melebar karena kaget gara-gara ulahnya barusan. Tapi sedetik kemudian aku tersenyum sambil melingkarkan tangan kiriku di atas tubuhnya untuk memeluknya.

“Nakal,” desisku sebelum mencium ujung kepalanya.





~Alvin Pov~
“Kenapa kamu Ric? Kok mukamu kusut gitu,” tanyaku saat melihat wajah Rico yang kusut dengan mata sedikit memerah.
“Kurang tidur,” jawabnya sebelum menguap lebar.

Dia langsung duduk di kursi yang ada di sisi kananku.

“Kok bisa kurang tidur sih?” tanyaku sambil menyendok makanan terakhirku.
“Ya bisa aja,” jawabnya nggak jelas, “apa tuh? Daging?” tanya Rico sambil menunjuk wadah yang berisi sup daging.
“Iya. Mau?” tanyaku yang langsung mendapat anggukan kepala dari Rico.

Aku pun langsung mengambil sendok baru dan menyendok daging yang ada di dalam sup itu.

“Nih,” akupun menyodorkan sendok itu ke mulut Rico yang sudah membuka.

Tepat ketika aku menyuapkan daging itu ke mulut Rico, Awe muncul.

“Lho, kamu sama Awe Ric?” tanyaku.
“Iya,” jawab Rico sambil mengunyah daging yang ada di mulutnya.
“Hmm..” gumamku, “oh ya, sini We!” aku mengayunkan tanganku ke Awe memberi isyarat supaya dia bergabung denganku dan Rico.

Tapi Awe sama sekali nggak mendekat ke arahku. Dia malah berbalik dan berjalan ke depan lagi.

“Kenapa dia?” tanyaku ke Rico.
“Nggak tau. Ya udah aku susul dia dulu. Kamu cepetan siap-siapnya,” kata Rico sambil berlalu pergi.

Akupun langsung meminum air mineralku sebelum berjalan ke ruang tengah untuk mengambil tas. Setelah semua beres, aku langsung menyusul Rico dan Awe.

“Yuk!” seruku ke Rico dan Awe yang terlihat mengobrol di ruang tamu.

Kami bertiga akhirnya keluar rumah dan masuk ke dalam mobil Rico yang terparkir di depan rumahku. Setelah kami masuk mobil, Rico langsung melajukan mobilnya menuju sekolah. Seperti biasa, aku dan Awe sama-sama memilih duduk di belakang. Tapi entah cuma perasaanku aja atau nggak, sepertinya Awe mendiamkanku pagi ini. Di dalam mobil dia sama sekali nggak mengajakku ngobrol. Ya emang sih dia anaknya pendiam, mungkin karena bawaan sejak dulu. Tapi ini beda. Kalau nggak sengaja ketemu pandang denganku, dia langsung membuang mukanya kearah lain, kayak sewot-sewot gimana gitu.

Karena penasaran aku langsung mengambil hp dan mengirimi Rico sms yang isinya menanyakan kenapa Awe aneh pagi ini. Aku nggak bertanya langsung ke Rico karena takut terdengar Awe. Rico yang membaca smsku langsung melihatku dari kaca mobil sambil mengangkat ke dua bahunya.

Kenapa ya? Apa aku sudah bikin salah sama dia? Tapi rasanya nggak deh. Kemarin aja hubungan kami masih baik-baik aja. Hmm…aneh.

Akhirnya mobil yang kami tumpangi sudah sampai di sekolah. Aku, Awe dan Rico langsung turun dari mobil setelah mobil terparkir rapi di tempat parkir.

“Aku ke kelas duluan ya,” pamitku ke Rico dan Awe sebelum berlari kearah Pandu yang sedang berjalan seorang diri setelah memarkir motornya.
“Pagi Pan,” sapaku saat aku sudah berhasil menyusulnya.
“Pagi,” balasnya sambil tersenyum tipis ke arahku.
“Udah ngerjain tugas biologi belum?” tanyaku.
“Udah dong. Kamu?” tanya Pandu balik.
“Udah,” jawabku.

Akhirnya selama perjalanan menuju kelas, aku dan Pandu terlibat obrolan ringan. Rasanya begitu menyenangkan. Aku bersyukur bisa mengenal dan dekat dengan Pandu seperti ini. Coba dari kelas sepuluh dulu aku sudah mengenal dan akrab dengannya, pasti hari-hariku akan lebih menyenangkan.

Setelah sampai di kelas aku langsung di sapa beberapa teman sekelasku. Untuk beberapa saat aku terpaksa mengobrol dengan mereka, sedangkan Pandu sudah berjalan dulu menuju bangkunya. Setelah cukup berbasa-basi, aku langsung melangkahkan kakiku menuju bangku Pandu. Tapi langkahku terhenti saat melewati mejaku dan Rico. Rico sudah duduk di kursinya saat aku masih mengobrol dengan teman-temanku tadi.

“Tadi Awe kenapa sih?” tanyaku masih penasaran.
“I..itu. Aku ya nggak tau,” jawab Rico sedikit gugup(?), “udah nggak usah di pikir! Mungkin aja dia lagi ada masalah gitu,” lanjut Rico cepat.
“Tapi aneh juga sih. Tiba-tiba dia kayak marah gitu sama aku. Apa aku ada salah sama dia ya?”
“Udah lah nggak usah di pikir! Nanti waktu istirahat aku tanyain ke dia deh,” kata Rico, “terus hari ini kamu mau duduk sama siapa? Aku atau Pandu?” tanyanya.
“Hehehe…Pandu,” jawabku pelan.
“Hmm…jadi aku di tinggal lagi nih ceritanya?” tanya Rico yang cenderung menyindir.
“Sorry,” desisku.
“Ya udah sana…sana! Hus…hus!!” usir Rico sambil memanyunkan bibirnya.

Aku tau kalau dia nggak benar-benar marah. Karena dia sempat tersenyum tipis setelah memanyunkan bibirnya.

Hari inipun aku berhasil duduk berdua dengan Pandu atas izin yang ikhlas dari Rico. Biasanya sih Rico ngomel-ngomel dulu sebelum aku pindah tempat duduk ke bangkunya Pandu.

Baru saja aku meletakkan tasku ke atas meja Pandu, tiba-tiba bel tanda masuk berbunyi. Pelajaranpun akhirnya di mulai.

* * *

“Udah mau pulang ya?” tanyaku saat melihat Pandu langsung memasukkan semua bukunya saat guru matematika kami keluar dari kelas.
“Iya,” jawabnya singkat.
“Aku boleh ikut nggak?” tanyaku yang membuat Pandu menghentikan kegiatannya dan menatapku ragu.
“Hmm…untuk saat ini jangan dulu ya,” jawab Pandu pelan.
“Yaahh.. kok nggak boleh?” tanyaku kecewa.

Baru kali ini Pandu melarangku ikut ke tempat kosnya.

“Ya karena masih ada sedikit masalah di kosku. Takutnya kamu akan terganggu dengan masalah kami,” jawab Pandu sambil tersenyum ke arahku.
“Sampai kapan aku nggak boleh ke sana?” tanyaku lesu.

Ya ampun kenapa aku jadi egois dan bersikap kayak anak kecil gini sih?! Tapi aku benar-benar kecewa karena nggak di bolehin main ke tempat kosnya.

“Sampai masalah kami selesai,” jawab Pandu, “oh ya…untuk beberapa hari kedepan kamu jangan main ke tempat nongkrongku dulu ya. Karena aku nggak akan ke sana untuk beberapa hari ini.”
“Kenapa?”
“Ya…ya…karena ada masalah di tempat kos. Makanya aku harus lebih sering berada di tempat kos untuk menyelesaikan masalah di sana,” jawab Pandu cepat.

Aku cemberut mendengar jawabannya. Rasanya ada yang dia sembunyikan dariku. Tapi apa??

“Udah nggak usah cemberut gitu! Kan cuma sebentar. Kalau masalahnya udah kelar, kamu bisa main ke tempat kos dan tempat nongkrongku lagi,” kata Pandu sambil mengusap pelan kepalaku, “ya udah aku duluan ya,” pamit Pandu sebelum meninggalkanku.

Akhirnya aku cuma bisa memandang kepergiannya dengan sebal.

“Ayo pulang!” ajak Rico yang kini sudah berdiri di pintu kelas dengan Awe.

Dengan lesu, akupun berjalan kearah mereka berdua.

“Kalian pulang aja dulu. Aku masih ada urusan di sini,” kataku, “nanti biar Pak Ujang yang menjemputku,” lanjutku lagi.
“Hmm..gitu. Ya udah kami duluan ya,” pamit Rico, “yuk We!”
“Ah sebentar. Aku mau ngomong dulu sama Alvin. Kamu duluan aja, nanti aku susul,” kata Awe yang spontan membuatku menatapnya.
“Oh ya udah kalau gitu, aku tunggu di parkiran aja,” sahut Rico sebelum berjalan meninggalkan aku dan Awe.
“Mau ngomong apa?” tanyaku penasaran.

Untuk beberapa saat Awe cuma diam sambil menggigit bibir bawahnya.

“Maafin aku ya Vin. Aku udah jahat sama kamu seharian ini,” kata Awe penuh penyesalan di tiap kata-katanya, “aku udah nyuekin kamu.”

Aku tertegun mendengar permintaan maaf darinya, tapi sedetik kemudian aku senyumku langsung mengembang. Dia benar-benar anak yang manis. Mood nya cepat sekali berubah ^^.

“Iya tenang aja, aku udah maafin kamu kok,” kataku sambil mengusap pelan kepalanya.
“Bener?” tanya Awe dengan mata berbinar-binar, aku langsung mengangguk, “makasih ya Vin dan maaf.”

Aku tertawa pelan saat mendengar dia mengucapkan terima kasih dan kata maaf secara bergantian.

“Ya udah kamu pulang aja dulu. Kasian Rico kalau harus nunggu kelamaan.”
“Ah iya. Ya udah aku pulang dulu ya Vin,” pamit Awe, “daaa…Vin.”
“Dadaa… juga,” balasku sambil tersenyum menatap kepergian Awe.

Aku terus menatap kepergian Awe. Setelah tubuhnya nggak terlihat lagi olehku, aku langsung mengambil hp dan menelfon Pak Ujang untuk menjemputku. Sebenarnya aku nggak mau berlama-lama di sekolah. Alasanku nggak bareng Rico karena aku ingin jalan-jalan dulu sebelum pulang ke rumah. Aku masih kesal dengan sikap Pandu tadi. Makanya aku ingin jalan-jalan, supaya rasa kesalku itu hilang.

Setelah menelfon Pak Ujang, akupun langsung beranjak meninggalkan kelas. Sekolah sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa anak saja yang masih asyik bercengkrama dengan temannya di lorong kelas. Ada juga anak-anak yang berdiri di dekat pintu pagar karena menunggu jemputan. Sama seperti aku.

Aku menghela nafas sejenak sambil menyenderkan punggungku ke dinding.

“Hai Vin,” tiba-tiba ada sebuah suara yang menyapaku dari sisi kananku.

Kuputar sedikit kepalaku untuk melihat siapa orang yang baru saja menyapaku. Tapi mataku langsung melebar kaget saat mengetahui siapa pemilik suara itu.

“Masih ingat denganku?” tanya orang itu sambil tersenyum.

Senyum yang sama seperti malam itu.

“Ryo,” desisku.

~Alvin Pov~
“Ryo,” desisku.
“Ah…senangnya kamu masih ingat aku,” kata Ryo masih dengan senyumnya.
“Ka…kamu kok bisa ada di sini?” tanyaku bingung.
“Ya bisa aja. Aku kan kesini emang mau bertemu denganmu,” jawabnya sambil tersenyum.
“Mau bertemu denganku? Emangnya ada apa ya?” tanyaku lagi.
“Nggak ada hal penting sih. Aku cuma mau mengobrol denganmu,” jawab Ryo sambil membenarkan letak kacamatanya, “gimana kalau kita pergi berdua dan mencari tempat yang nyaman untuk ngobrol? Kebetulan aku bawa helm dua.”
“Maaf tapi sebentar lagi jemputanku datang. Lagian aku masih banyak tugas sekolah yang harus aku selesaikan untuk besok,” tolakku halus.

Sebisa mungkin aku tersenyum ramah di hadapannya. Aku takut kalau dia tersinggung dengan penolakanku ini. Nggak tau kenapa aku sedikit takut berhadapan dengannya. Apalagi Ipang sudah menyuruhku untuk berhati-hati sama Ryo.

“Yach sayang. Padahal aku mau ngebicarain tentang Pandu.”

Eh? Pandu?

“Ya udah kalau gitu, aku pulang aja.”
“Ah tunggu!” cegahku.

Tanpa sadar aku menarik lengan jaketnya saat dia berbalik dan mulai melangkah pergi. Seketika itu juga langkahnya terhenti. Dia langsung berbalik ke arahku dan tersenyum.

“A…aku lupa kalau tugasnya nggak di kumpulin besok. Jadi kita bisa pergi ke tempat yang nyaman untuk mengobrol,” kataku.

Sebenarnya aku penasaran tentang hubungan mereka berdua. Rasanya ada sesuatu yang aku nggak tau tapi Ryo tau. Jadi aku harus tau apa yang sebenarnya terjadi.

“Bagus. itu yang aku mau,” desis Ryo sambil tersenyum, “yuk!” ajak Ryo.

Ryo segera berjalan kearah motornya yang terparkir nggak jauh dari kami berdiri. Sedangkan aku mengambil hp dan menelfon Pak Ujang. Aku memberitahu ke Pak Ujang kalau aku masih ada urusan dan nanti aku akan pulang naik taxi. Setelah menelfon Pak Ujang aku segera menyusul Ryo yang sudah duduk manis di atas motornya. Ryo langsung menyodorkan helm ke arahku. Tanpa banyak bicara aku langsung mengambil helm itu dan memakainya. Setelah itu akupun naik ke motornya. Motor yang aku tumpangi kini perlahan-lahan mulai bergerak meninggalkan area sekolahku.

Ternyata Ryo membawaku ke salah satu café. Café yang kami datangi masih sepi, mengingat ini masih jam-jam sibuk. Jadi masih sedikit pengunjung yang datang. Setelah kami duduk tempat yang paling pojok, salah satu waiter mendatangi kami sambil membawa dua daftar menu.

“Silahkan pesanannya,” kata waiter itu ramah.

Waiter itu memberikan daftar menu ke aku dan Ryo. Aku cuma melihat-lihat daftar menu itu tanpa ada niat untuk memesannya.

“Aku pesan black coffee sama french fries,” kata Ryo sambil mengembalikan daftar menu itu ke waiter, “kamu pesan apa?” tanya Ryo ke aku.
“Nggak. Aku nggak mau pesan apa-apa. Aku ke sini bukan untuk makan, tapi untuk membicarakan Pandu,” jawabku sambil mengembalikan daftar menu itu ke waiter.

Ryo terdiam sejenak lalu mulai tersenyum lagi.

“Itu aja ya mas,” kata Ryo ke waiter yang masih berdiri di dekat meja kami.
“Baik, di tunggu ya kak,” sahut waiter itu sebelum meninggalkan kami berdua.
“Jadi?” tanyaku menggantung.

Ryo menatapku sambil tersenyum.

“Kenapa buru-buru gitu? Santai aja lah.”
“Apa yang kamu ketahui tentang Pandu? Ada apa di antara kalian? Kenapa Pandu kelihatan begitu membencimu?” tanyaku memberondong.

Aku nggak mau berbasa-basi dengannya terlalu lama.

Tapi bukannya menjawab pertanyaanku Ryo malah tertawa.

“Apa ada yang lucu?” tanyaku sambil mengerutkan dahiku bingung.
“Nggak. Nggak ada yang lucu,” jawabnya di sela-sela tawanya yang mereda, ”aku baru tau aja kalau kamu itu nggak tau banyak tentang Pandu.”

DEG

Dadaku sakit mendengar kata-katanya. Aku memang nggak tau banyak tentang Pandu. Padahal hubunganku dengan Pandu sudah sangat dekat, tapi tetap saja aku nggak tau banyak tentang dia.

“Apa benar kamu ini mainan kesayangannya?” tanya Ryo sambil bertopang dagu.

Senyum di bibirnya masih terlihat. Tapi kali ini senyumnya lebih terlihat sebagai sindiran. Uuugghh…aku benar-benar kesal dibuatnya.

“Maaf lama, ini pesanannya,” kata waiter yang kini sudah ada di samping meja kami.

Waiter itu meletakkan semua pesanan Ryo di atas meja.

“Silahkan di nikmati,” kata waiter itu lagi sebelum beranjak meninggalkan kami.
“Jadi apa yang membuatnya membencimu?” tanyaku lagi dengan sedikit kesal setelah waiter tadi menghilang.

Lagi-lagi Ryo tertawa setelah mendengar pertanyaanku. Dasar aneh. Bikin tambah bingung dan penasaran aja.

“Kamu salah. Dia nggak membenciku, tapi dia takut padaku,” jawab Ryo yang sukses membuatku mengerutkan kening.
“Kenapa juga dia harus takut padamu?” tanyaku.

Aku bingung kenapa Pandu harus takut sama Ryo yang terlihat lemah ini. Menurutku Ryo ini bukanlah orang yang akan menang jika bertarung secara fisik. Di lihat dari manapun dia ini tipe cowok rumahan, sama sepertiku. Satu-satunya kelebihan dia adalah auranya yang begitu menekan dan sedikit menakutkan.

“Apa kamu mau mendengar alasannya? Alasan kenapa dia takut padaku?” tanya Ryo sambil meminum minumannya.
“Iya,” jawabku.

Ryo tersenyum sambil memajukan tubuhnya ke arahku. Tapi nggak bisa terlalu dekat, karena badan kami berdua terhalang oleh meja.

“Karena Pandu sudah membunuh adikku,” desisnya yang membuatku membelalakkan kedua mataku.
“Mem…bu…nuh…?” ulangku dengan mulut sedikit bergetar.
“Iya. Dia sudah membunuh adikku,” katanya sambil menatapku tajam.

Sedetik kemudian tatapannya melunak dan senyumnya kembali mengembang.

“Kamu bercanda kan?! Pandu nggak mungkin membunuh orang,” kataku dengan menahan emosi yang mendadak muncul.

Enak aja dia menuduh Pandu sebagai pembunuh. Pandu itu baik, perhatian, setia kawan. Nggak mungkin orang seperti Pandu membunuh.

“Ah iya aku ingat. Dulu waktu kelas sebelas ada gossip tentang Pandu yang membunuh anak dari SMA lain. Tapi itu semua nggak benar. Pandu juga sudah bilang sendiri ke aku kalau dia nggak membunuh siapa-siapa,” kataku.
“Yang mana lagi itu? Aku baru tau kalau dia di juga pernah membunuh orang lagi waktu SMA,” sahut Ryo sambil mengangkat ke dua alisnya.
“Aku bilang itu semua cuma gossip. Jadi kamu jangan pernah menuduh Pandu yang macam-macam!!” seruku dengan suara sedikit keras.
“Sssstttt!!! Jaga mulutmu. Ini di tempat umum,” kata Ryo sambil menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya.
“Biar aja. Biar aja semua orang tau kalau kamu ini pembohong. Suka menuduh orang seenaknya,” dengusku kesal.

Ryo menghela nafas sejenak sebelum tersenyum dan bertopang dagu lagi.

“Yang pertama, aku bukan pembohong. Yang ke dua, aku nggak suka menuduh. Yang ke tiga, dia membunuh adikku waktu SMP bukan SMA,” kata Ryo masih dengan bertopang dagu.

Dia mencolek kentang goreng yang ada di atas meja ke saos cabe lalu memakannya. Di jilatnya jari-jari tangannya yang terkena saos.

Aku terdiam. Rasanya emosiku sudah sampai di ubun-ubun.

Pandu membunuh adiknya? Membunuh waktu SMP?? Yang benar saja!! Kebohongan apa yang aku dengar ini??!!!

“Makanya dia takut denganku. Takut kalau aku balas dendam,” kata Ryo lagi, “kadang ketakutan yang sangat parah bisa terlihat seperti benci.”
“Sudahlah. Aku nggak mau mendengar omong kosong ini lagi. Aku mau pulang,” dengusku kesal.
“Apa kamu mau pulang begitu saja? Apa kamu nggak ingin tau apa yang akan di lakukan Pandu malam ini?” tanya Ryo saat aku mulai berdiri dari kursiku.
“Apa yang akan dia lakukan?” tanyaku masih dengan posisi berdiri.

Kutatap Ryo tajam. Ryo juga membalas tatapan mataku. Sedetik kemudian tersungging senyum tipis di bibirnya.

“Dia mau balapan denganku,” jawabnya.
“Ba…balapan?” tanyaku.
“Yupz…balapan,” jawabnya sambil tersenyum lebar, “kalau aku kalah, aku akan memberikan sejumlah uang padanya. Tapi kalau dia yang kalah, tempat nongkrong X-Dragon otomatis akan jadi daerah kekuasaan D.A.L,” lanjutnya.

Ryo menatapku yang masih berdiri. sedangkan aku cuma diam. Jujur aja aku masih belum tau arah pembicaraan ini.

“Tapi itu semua cuma akal-akalanku saja untuk memancing Pandu keluar dan mau berhadapan langsung denganku. Sebenarnya Aan langsung menolak tantanganku itu dengan alasan, Pandu nggak akan setuju. Dia bilang Pandu bukan orang yang mata duitan. Sebenarnya aku juga tau kalau Pandu pasti akan menolak tantanganku itu. Sejak dia membunuh adikku, dia nggak mau lagi berurusan dengan D.A.L, apalagi berurusan denganku” kata Ryo sambil memakan kentang gorengnya lagi, “tapi tadi siang pemikirannya berubah. Dia menelfonku dan menerima tantanganku.”

Pandu menerima tantangan Ryo? Apa sikap Pandu yang aneh tadi ada kaitannya sama ini? Kenapa aku nggak tau apa-apa tentang ini? Apa dia bermaksud menyembunyikannya dariku? Panduuuu…sebenarnya seberapa banyak yang belum ku’ketahui tentangmu????

Tiba-tiba badanku terasa lemas memikirkan semua itu. Perlahan-lahan aku mulai duduk lagi di kursiku.

“Kalau dia menerima tantanganku, berarti aku bisa balas dendam ke dia. Aku senang sekali membayangkan akan bermain-main dengan tubuhnya.”

Akupun langsung menelan ludah dengan sedikit susah payah. Bagaimana bisa dia bicara seperti itu dengan tersenyum. Dia benar-benar orang yang mengerikan.

“A…apa yang akan kamu lakukan pada Pandu?” tanyaku pelan.
“Hmm… apa ya… mungkin aku akan menghajarnya sampai babak belur,” jawab Ryo, aku langsung menelan ludah, “atau mungkin aku akan mem…bu…nuh…nya,” desis Ryo.

Mataku langsung melebar dan tubuhku mendadak menggigil mendengar kata-katanya. Satu yang aku tau tentang orang yang ada di depanku ini. Dia gila. DIA SINTING.

“Aku akan melaporkanmu ke polisi,” kataku sambil mengambil hp dan menekan angka darurat untuk menelfon pihak yang berwajib.
“Yang pertama, kamu nggak akan menelfon polisi karena kalau itu kamu lakukan aku nggak akan menjamin keselamatan Pandu. Yang ke dua, polisi nggak akan menangkapku karena sudah ada orang yang akan menanggung semua kesalahanku.”

Mendengar kata-katanya, aku langsung mematikan sambungan telfonku.

“Tindakan tepat,” katanya sambil tersenyum ke arahku.

Senyumannya benar-benar memuakkan.

“Jadi apa maumu? Kenapa kamu memberitahu semua ini padaku? Bukankah kamu akan lebih leluasa kalau nggak ada satu orangpun yang mengetahui rencanamu?”
“Yach..mungkin kamu benar. Seharusnya aku nggak memberitahu orang lain tentang rencanaku ini. Tapi nggak tau kenapa aku ingin memberitahumu. Karena aku berpikir ini semua akan jadi lebih menyenangkan.”
“Please jangan sakiti Pandu,” desisku, “aku mohon.”
“Hmm…gimana ya?!”
“Aku mohon…Aku akan memberimu apapun, tapi sebagai gantinya tolong jangan lukai Pandu,” kataku pelan.
“Segitu sayangkah kamu sama dia?” tanya Ryo, aku tertunduk, “mengharukan,” desisnya.
“Ternyata ada juga yang berani melakukan penawaran denganku,” kata Ryo lagi sambil tersenyum, “kamu benar-benat menarik Alvin.”
“Cepat katakan apa yang kamu mau!” kataku nggak sabar.

Aku ingin semua ini berakhir. Berhadapan dengannya seperti berhadapan dengan raja iblis. Menekan, menakutkan dan mengerikan. Rasanya untuk bernafas saja jadi terasa sangat berat.

“Aku mau kamu.”

Aku terkesiap.

“Apa?”
“Aku mau kamu,” ulang Ryo pelan, “nanti jam 9 malam datanglah ke sini sendirian dan jangan sampai ada orang lain yang tau tentang ini. Nanti ada orangku yang akan menjemputmu dan mengantarkanmu padaku.”
“Untuk apa sih ketemu nanti malam? Bukannya kita sekarang sudah ketemu?! Selesaikan sekarang saja!” tanyaku.
“Hmm..nggak bisa sekarang. Aku maunya nanti malam,” jawab Ryo santai.

Aku langsung menghela nafas berat mendengar kata-katanya.

Apa sih maunya??

Nggak tau kenapa aku merasakan sesuatu yang menakutkan akan menimpa diriku. Tapi kalau aku tolak, Pandu bisa dalam bahaya.

“Oke,” desisku, “cuma itu aja kan?! Kalau udah nggak ada permintaan lain aku mau pulang,” kataku sambil berdiri dari kursiku.
“Sampai ketemu nanti malam Alvin,” kata Ryo sambil tersenyum.

Aku mendengus kesal dan langsung beranjak pergi meninggalkannya.

“Taxi!” seruku menghentikan sebuah taxi yang melintas di depan café yang aku singgahi.

Selama di dalam taxi aku terus memikirkan percakapanku dan Ryo tadi. Aku masih belum tahu kenapa dengan gampangnya aku menyetujui permintaannya. Belum tentu juga dia melepaskan Pandu ketika aku menemuinya nanti. Lagian aku nggak tau apa yang akan dilakukannya padaku.

Hhhaaaaahhhh….coba aja aku bisa menghubungi Pandu…

“AAAAAAA…..BENAR. KENAPA AKU NGGAK TELFON PANDU AJA LANGSUNG…” teriakku tanpa sadar.
“Ma…Mas nggak apa-apa?” tanya supir taxi kaget.
“Eh i…iya mas. Aku nggak apa-apa kok,” kataku sambil menahan malu.

Buru-buru ku ambil hp’ku dan menelfon Pandu.

Benar juga ya kenapa aku bisa sebego ini. Harusnya aku tinggal telfon Pandu dan memintanya untuk nggak berurusan lagi dengan Ryo.

Nada tunggu masih terdengar di telingaku.

Ayo angkat Pan….!!!

Tiba-tiba…

“Eeehhhh…kok di reject???!!!!” seruku panic saat telfonku di reject.

Dengan cepat ku ulang panggilanku untuk Pandu.

“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif…..”
“Yaaaahhhh….” dengusku kesal.

Uuggghh…apa sih yang dipikirkan Pandu? Kenapa dia malah mematikan hpnya? Ck…

“Mas sudah sampai,” kata supir taxi itu mengagetkanku yang sedang mendengus-dengus kesal.
“Oh..Oh iya Mas, tolong antar aku ke jalan XXX,” kataku.

Tanpa banyak tanya lagi taxi yang aku tumpangi sudah melaju pergi meninggalkan rumahku menuju tampat kosnya Pandu. Setelah sampai di kos Pandu, ternyata Pandunya belum pulang. Akhirnya aku langsung berlari ke bengkel Aan yang nggak jauh dari tempat kos Pandu. Berharap Pandu ada di sana.

“Pandu ada di sini nggak?” tanyaku saat berhambur masuk ke waiting room.

Aku langsung terdiam saat melihat Aan sedang sibuk menerima telfon.

“Iya Pak, mobilnya sudah bisa di ambil sekarang. Iya..iya..” kata Aan dengan orang yang ada di seberang telfon sana.

Aan yang melihatku cuma berdiri di dekat pintu memberiku isyarat untuk duduk dengan tangannya. Aku pun segera berjalan dan duduk di sofa yang sering aku duduki ketika aku kesini.

“Iya Pak sama-sama,” kata Aan sebelum menutup telfonnya, “ada apa Vin?” tanya Aan sambil berjalan ke arahku dan duduk di sofa yang ada di depanku.
“Pandu ke sini nggak?” tanyaku cepat.
“Nggak tuh. Emangnya dia nggak ada di kos?” tanya Aan. Aku langsung menggeleng lemah sebagai jawabannya.
“Kenapa? Apa kalian bertengkar lagi?” tanya Aan hati-hati. Dan lagi-lagi aku menggeleng.

Aku langsung mengambil hpku dan menelfon Pandu lagi. Tapi sedetik kemudian aku mematikan lagi sambungan telfonku dengan lesu. Hpnya masih belum aktif.

Kemana sih kamu Pan?? Kenapa hp mu nggak aktif?? Sebenarnya ada apa ini?? Jangan bikin aku takut!!

“Ada apa sih Vin? Kok kamu kelihatan panic gitu?”
“Hmm…?” desisku sambil menatap Aan, “ah nggak. Bukan apa-apa kok,” jawabku akhirnya sambil tersenyum.

Tiba-tiba aku tersadar sesuatu.

Ah benar juga ya, Aan pasti tau hal itu. Bukannya dia sudah bersama Pandu sejak Pandu masih SMP?!

“Ehm..mas. Aku mau tanya nih. Boleh nggak?”
“Boleh. Emang kamu mau tanya apa?”
“Ehm..wak..waktu anak-anak D.A.L datang ke tempat nongkrong kapan hari itu, aku nggak sengaja dengar obrolan anak-anak tentang Pandu dan Ryo. Ka.. Kata mereka, Ryo…Ryo datang ke tempat nongkrong karena mau balas dendam ke Pandu. Apa itu benar? Emangnya Pandu salah apaan kok Ryo sampai mau balas dendam gitu?” tanyaku.

Aku terpaksa bohong. Aku nggak bisa jujur ke Aan kalau aku baru bertemu dengan Ryo. Aku takut kalau Aan sampai tau aku bertemu dengan Ryo, masalahnya akan jadi lebih gawat dari ini. Sekarang aku cuma bisa berharap kalau keputusanku ini benar.

Aan nggak langsung menjawab pertanyaanku, dia masih diam sambil mengerutkan keningnya. Sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.

“Siapa mereka? Apa kamu kenal sama orang yang membicarakan Pandu?” tanya Aan.
“Nggak. Aku nggak kenal mas. Memangnya ada apa sih? Apa ada sesuatu di antara mereka berdua?”

Lagi-lagi Aan terdiam. Dan itu membuatku makin penasaran tentang hubungan Pandu dan Ryo.

“Nggak ada apa-apa sih. Itu semua cuma salah paham aja,” kata Aan pelan.
“Salah paham?” tanyaku sambil mengerutkan kening.
“Iya. Kejadian yang hampir melibatkan semua anak-anak kos di tempatku,” jawab Aan, “yang nggak terlibat cuma Johan sama Hendra. Karena Johan belum ngekos di tempatku, sedangkan Hendra dulu sibuk belajar untuk ujian masuk universitas.”
“Memangnya kejadian apa sih?” tanyaku nggak sabaran.
“Gini, 3 tahun yang lalu anak-anak kos di tempatku ngadain bali (ps.balapan liar) tanpa sepengetahuanku. Mereka ngadain bali dengan anak-anak D.A.L. Waktu itu adiknya Ryo juga ikut,” kata Aan.
“Terus?”
“Ya itu. Waktu bali adiknya Ryo mengalami kecelakaan. Dia di tabrak truk pengangkut barang waktu melintas di perempatan jalan dan langsung meninggal di tempat.”

Aku langsung menelan ludah saat mendengar kata ‘meninggal’.

Tapi tunggu dulu. Kenapa Ryo nyalahin Pandu? Bukannya itu semua cuma kecelakaan?!

“Lalu apa hubungannya Pandu sama kejadian itu?”
“Sebenarnya Pandu nggak ada hubungan apa-apa sama kejadian itu. Saat kejadian itu, Pandu sedang bersamaku di kos,” desis Aan, “dia cuma mengakui ke Ryo kalau dialah yang mengajak D.A.L balapan. Dia melakukan itu untuk melindungi teman-temannya. Haaaahhh…dasar anak bodoh. Dia melakukan itu tanpa pikir panjang. Waktu itu dia nggak tau kalau Ryo itu orangnya sangat mengerikan. Ryo bukan tipe orang yang akan memaafkan kesalahan sekecil apapun. Biarpun sudah aku jelaskan kalau itu sebuah kecelakaan, tapi Ryo tetap menganggap Pandu sebagai pembunuh adiknya. Aku sendiri sampai bingung menangani masalah yang satu itu.”
“Oh jadi gitu ceritanya,” desisku.

Rasanya aku begitu lega setelah mendengar cerita dari Aan. Ternyata Ryo yang seenaknya sendiri menuduh Pandu.

Aku langsung menghela nafas.

“Tapi sejak kejadian itu anak-anak kos jadi nggak enak sama Pandu. Mereka merasa berhutang budi sama dia. Kalau waktu itu Pandu nggak sok jadi pahlawan, bisa habis mereka di tangan Ryo,” kata Aan.

Dia berdiri dari sofanya lalu berjalan ke ke kulkas dan mengambil teh botol dari sana.

“Nih minum dulu! Sampai lupa nggak nyuguhin apa-apa,” kata Aan sambil tertawa ringan.
“Makasih mas,” kataku sambil menerima teh botol yang di sodorkan ke arahku.

Ku minum sedikit teh itu untuk membasahi tenggorokanku yang kering. Aku baru sadar kalau aku belum minum sejak istirahat ke dua di sekolahku tadi.

“Tapi kamu jangan khawatir, aku selalu mengawasi Pandu kok. Aku nggak mau dia berurusan lagi dengan D.A.L.”

Terlambat An. Dia udah menerima tantangan itu. Dan masalahnya sekarang Pandu menghilang. Aku nggak bisa menghubunginya sama sekali. Aku bingung. Aku ingin bilang ke kamu tentang semuanya. Tentang aku yang bertemu dengan Ryo dan segala ancamannya, tapi aku takut. Takut kalau Ryo akan berbuat yang macam-macam padanya. Aku nggak mau kalau Pandu sampai kenapa-napa. Mungkin menyetujui permintaan Ryo adalah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan Pandu. Ya biarpun sampai detik ini aku ragu dengan keputusanku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar