Senin, 21 Maret 2016

Memories Of Him - Part 15 (Final)

~Awe Pov~ (Final)
“Mama pulang dulu ya Ric, mau mandi-mandi dulu. Daritadi pagi mama belum mandi,” kata tante Yuni ke Rico.
“Mau aku anter?” tanya Rico yang membantu mamanya mengemasi barang-barang yang nggak perlu untuk di bawa pulang.
“Nggak usah. Kamu di sini aja nemenin Alvin sama Awe,” jawab tante Yuni, “oh ya We, kalau lapar kamu makan aja roti yang ada di sini,” kata tante Yuni ke aku.
“Iya tante. Aku akan makan rotinya kalau aku sudah selesai makan apel ini,” sahutku sambil menunjukkan apel yang sudah terbelah dua ke tante Yuni.
“Ih lucu banget sih kamu We,” kata tente Yuni, “coba anak-anak tante selucu dan seimut kamu, pasti tante jadi awet muda.”

Aku cuma tersenyum malu-malu mendengar omongan tante Yuni.

“Ya udah tante pulang dulu ya,” pamit tante Yuni ke aku, “Ric, kalau ada apa-apa hubungi mama!”
“Iya ma,” sahut Rico sambil mengambil tempat duduk lalu meletakkanya di samping tempat tidur Alvin.

Setelah kepergian tante Yuni, akupun kembali menikmati apelku.

“Kamu mau ini?” tanyaku sambil menyodorkan potongan buah apel ke Rico.

Rico menatapku sekilas lalu menggeleng pelan.

Aku langsung menghela nafas kecewa.

Aku kan sudah mengupas apel ini dengan susah payah, masa dia nggak mau makan sedikitpun.

Akhirnya karena kesal aku memaju-majukan bibirku. Rico yang melihatku manyun cuma tersenyum tipis.

“Aku nggaak tega memakannya,” kata Rico sambil mengusap kepalaku, “kamu tau, apel adalah buah kesukaan Alvin,” katanya lagi sambil menatap Alvin yang belum bangun dari tidurnya.

Jujur aja aku sedikit jealous melihat Rico yang sangat perhatian ke Alvin. Pasti enak ya jadi Alvin yang tiap hari dan tiap saat selalu mendapat perhatian lebih dari Rico. Coba aku yang jadi Alvin.

“Eh..tapi aku nggak mau sama Pandu.”
“Ha?? Pandu?” tanya Rico bingung.

Dia melihat ke arahku dengan wajah yang kebingungan.

“Eh..itu..enggak hehehe…” kataku gugup.

Aahhhhh…Awe bego ><!! Kok aku bisa mikir yang enggak-enggak sih?! Alvin kan lagi sakit..tega banget aku mikir kayak gitu..uugghhh…

Tiba-tiba Rico menarikku dari kursi. Mau nggak mau akhirnya aku berdiri juga. Rico langsng menarikku ke arahnya dan memelukku. Karena dia sedang duduk, jadi dia memelukku pinggangku.

“Kenapa sampai sekarang dia belum sadar-sadar juga?” tanya Rico sambil membenamkan wajahnya di dadaku.
“Ehm…mungkin sebentar lagi,” kataku sedikit ragu.

Ku usap-usap pelan kepala Rico lalu ku cium rambut hitamnya itu.

Dia pasti sangat khawatir. Wajar sih..sampai sekarang Alvin belum sadar-sadar juga.

“Kata dokter kan Alvin dalam kondisi yang stabil. Jadi…aku rasa nggak akan ada masalah,” kataku lagi.
“Semoga,” desis Rico sambil mempererat pelukannya pada pinggangku.

Tiba-tiba Rico melepas pelukannya dan merogoh saku celanya. Untuk beberapa saat Rico hanya menatap layar hpnya yang terus bergetar di tangannya.

“Ada apa?” tanya Rico jutek pada sang penelfon.
“Tu…tunggu!! Ini siapa??” tanya Rico sedikit panic, “JANGAN BERCANDA!! AKU NGGAK SUKA LELUCON!!!” aku tersentak kaget saat mendengar Rico membentak orang yang menelfonnya.

Ada apa sih??

Aku memegangi dadaku yang berdetak kencang karena kaget.

“A..apa?? ja..jadi???” kali ini Rico terlihat khawatir. Ah nggak…bukan khawatir, tapi syock.
“Dia…dia ada di mana sekarang??” tanya Rico sambil menatap Alvin.

“Tiba-tiba Rico berlari keluar kamar dan menatap kearah kiri kamar.”

Aku yang penasaran jadi ikut-ikutan melihat ke arah yang dia lihat.

Lorong yang ku lihat banyak suster-suster yang berlalu lalang. Sepertinya ada hal gawat yang sedang terjadi. Jangan-jangan ada pasien yang baru saja meninggal. Aaahhh…apaan sih aku ini. Tebakanku kok menakutkan gini ><

“Aku melihatnya,” desis Rico masih menatap kesibukan para suster itu, “iya…kita di rumah sakit yang sama,” kata Rico lagi dengan suara yang makin mengecil.

Setelah itu dia memasukkan hpnya ke dalam saku celananya dan masuk ke dalam kamar lagi.

“Kamu ngapain??” tanyaku saat melihat Rico memasukkan semua benda-benda berharga ke dalam lemari kecil dan langsung menguncinya.
“Tadi teman Pandu baru menelfonku. Katanya Pandu kecelakaan,” katanya sambil memeriksa apakah ada barang berharga yang tertinggal.
“Lhoh, kok bisa??” tanyaku kaget.
“Aku juga nggak tau. Belum jelas. Yang aku tau, dia ada di rumah sakit ini.”
“Jangan-jangan yang tadi?!” desisku panic.
“Aku belum tau, makanya aku mau kesana. Kamu mau di sini atau mau ikut?” tanya Rico yang sudah ada di dekat pintu.
“Ikut.”

Aku dan Ricopun langsung berjalan menuju lorong yang masih ramai dengan aktifitas para suster. Dari lorong itu kami berbelok ka kanan dan melihat kamar jenazah yang penuh dengan para pengunjung dan beberapa perawat rumah sakit. Tapi…rasanya para pengunjung itu nggak asing buatku.

“Aan?!” seruku saat melihat Aan berada di salah satu para pengunjung itu.

Ah benar. Mereka semua adalah teman-teman Pandu. Ada Aan, Johan dan beberapa wajah yang nggak asing buatku. Tapi…jangan-jangan…

“Apa yang terjadi? Mana Pandu? Bagaimana keadaannya?” tanyaku ke Aan saat aku sudah ada di sampingnya.

Aan cuma menatapku dengan pandangan kosong. Matanya terlihat merah. Tiba-tiba dia menarikku dan memelukku. Dia menangis. Sedangkan Rico yang daritadi hanya diam saja, langsung berhambur masuk ke dalam kamar jenazah itu.

Nggak sampai lima menit, aku mendengar keributan dari dalam kamar janazah. Karena penasaran, aku dan Aan pun langsung masuk ke dalam untuk melihat apa yang terjadi. Aku langsung menutup mulutku syock. Aku syock melihat wajah orang yang aku kenal tergeletak di sana.

“BANGUN!! AYO BANGUN!! KAMU JANGAN SEENAKNYA NINGGALIN ALVIN!! BUKANNYA KAMU BILANG KALAU KAMU AKAN MENJAGANYA?!! TAPI KENAPA??? KENAPAAA???” teriak Rico sambil memukuli dada Pandu dengan dua tangannya.
“BERHENTI!! JANGAN MEMUKULINYA TERUS!! DIA SUDAH SANGAT KESAKITAN TADI, JADI JANGAN BIKIN DIA KESAKITAN LAGI!!!” Johan, salah satu teman Pandu berusaha menjauhkan Rico dari Pandu.
“Relakan saja!” kata salah satu perawat yang membantu Johan untuk memegangi Rico.
“BANGUN!! DASAR BRENGSEK!! AYO BANGUN!!” teriak Rico yang masih berusaha lepas dari cengkraman ke dua orang itu, “APA YANG AKAN AKU KATAKAN KE ALVIN KALAU DIA SADAR NANTI HUUHH???!!!”

Aku menelan ludah dan mulai menangis. Aku nggak menyangka kalau pemikiranku tadi benar-benar menjadi kenyataan. Seharusnya aku nggak berpikir tentang ada pasien yang meninggal.

“Apa yang akan aku katakan ke dia??” desis Rico sambil terduduk di lantai dengan masih di pegangi oleh Johan dan perawat tadi, “apa?” desisnya lagi.
“Ini semua salahku. Kalau saja aku nggak nggak mengizinkan dia dan anak-anak yang lain membalas dendam ke D.A.L, kejadian ini nggak akan terjadi. Maafin aku,” kata Aan sambil meremas bahu kiriku.

Aku tau dialah yang sangat terpukul sekarang. Dia sudah mengganggap Pandu saudaranya, dan sekarang saudaranya itu meninggalkan dia untuk selamanya.

“Maafin aku,” desis Aan.

Air matanya kembali tumpah dan membasahi ke dua pipinya.

“Pandu?” sebuah suara yang amat aku kenal terdengar lemah dari arah pintu.

Spontan kami yang ada di dalam kamar jenazah langsung melihat ke sumber suara itu.

Alvin.

“Alvin? Kamu…kamu…” Rico langsung berjalan mendekati Alvin yang masih berdiri di depan pintu.

Rico langsung menangkap tubuh lemah Alvin yang hampir terjatuh.

“Kenapa kamu ke sini?” tanya Rico yang nggak mendapat jawaban dari Alvin.
“Kenapa Pandu ada di ruangan ini?” tanya Alvin tanpa mengalihkan pandangannya dari Pandu.
“Dia…dia…”
“Maaf Vin,” tiba-tiba Aan meminta maaf ke Alvin, “Semua ini terjadi karena aku. Aku…aku yang salah,” kata Aan lagi.
“Ini hp mu kan?! Tadi aku terpaksa buka-buka hpmu buat nyari nomor nya Rico. Sorry kalau lancang,” Aan menyodorkan hp ke Alvin yang masih terpaku di sana.

Alvin sama sekali nggak menggubris Aan. Dia cuma terdiam di ambang pintu dengan mata yang nggak pernah lepas dari sosok Pandu yang terbaring kaku.

“Mau kemana? Kamu harus kembali ke kamarmu! Kamu kan baru siuman,” Rico langsung menahan tubuh Alvin saat Alvin mulai melangkahkan kakinya kearah Pandu.
“Aku mau kesana Ric. Pandu memanggilku. Tadi dia memanggil namaku,” desis Alvin.

Mata kosongnya terus menatap sosok Pandu.

“Tapi kamu harus istirahat Vin!” Rico masih membujuk Alvin.
“Aku mohon Ric! Aku mau bertemu dengannya,” kata Alvin lirih.

Dia berusaha melepaskan diri dari cengkraman Rico. Rico yang bingung langsung menatap Aan dan Aan cuma menggangguk pelan. Akhirnya setelah menghembuskan nafas beratnya, Rico memapah Alvin mendekat kearah Pandu yang terbaring. Untuk beberapa saat Alvin hanya menatap sosok Pandu.

“Pan..aku sudah di sini,” desis Alvin sambil mengusah wajah Pandu dengan punggung tangan kirinya.

Tangan kanannya yang terbalut kain putih itu dia tempelkan di perutnya. Mungkin untuk mengurangi rasa sakit.

“Pandu…buka matamu! Aku sudah ada di sini. Bukannya tadi kamu memanggilku?!” desis Alvin.

Dia masih mengusap pipi Pandu. Dan aku baru menyadari kalau selang infuse yang seharusnya terpasang di tangan kirinya sudah nggak ada.

Ah benar. Harusnya dia masih memakai selang infuse itu.

“Ric. Infuse’nya?!” bisikku ke Rico yang berdiri di samping Alvin.
“Aku tau,” desisnya pelan tanpa melepaskan pandangannya dari Alvin. Seolah-olah dia takut Alvin akan melakukan hal yang berbahaya.
“Ah…ayo…ayo buka matamu Pan!” kali ini Alvin mulai membuka kelopak mata Pandu yang terpejam dengan jari-jari tangannya, “aku ada di sin…sini,” desis Alvin yang mulai terisak.
“Bukankah tadi kamu menyebut namaku?!!” desis Alvin yang kini wajahnya mulai basah oleh air mata.
“Sekarang…sekarang aku sudah ada di sini karena panggilanmu. Buka matamu Pan!!” suara Alvin makin mengecil dan terdengar sangat memilukan.

Aku yang tadi sempat berhenti menangis kini mulai menangis lagi. Rasanya aku seperti ikut merasakan sakit hati Alvin.

“Pandu..aku mohon…buka matamu!!” Alvin mulai mulai menggerakkan tangan kanannya yang terluka ke arah Pandu lalu menggengam tangan kiri Pandu.
“Kamu nggak…kamu nggak boleh pergi dengan cara seperti ini,” desis Alvin di sela-sela isakannya, “kamu curang Pan!! Kamu curang!!” desisnya lagi.
“Kamu nggak boleh pergi!!” suara Alvin makin mengecil dan melemah, “kamu nggak boleh pergi!! Kamu nggak boleh pergi!!” desis Alvin berulang-ulang.

Tiba-tiba tubuh Alvin limbung ke samping, tapi Rico langsung menangkap tubuh Alvin.

“Ka..kamu nggak apa-apa??” tanya Rico panic.

Alvin hanya menggeleng pelan.

“Lebih baik kita kembali ke kamar.”
“Nggak!! Aku…aku mau di sini. Aku mau menemani Pandu.”

Alvin masih terisak pelan. Kini wajahnya benar-benar sudah basah oleh air mata yang terus keluar dari ke dua mata indahnya.

“Pandu sudah pergi Vin. Relakan dia!”
“Nggak boleh!! Dia nggak boleh pergi!! Dia harus membuka matanya lagi. Dia harus menatapku lagi,” desis Alvin dengan suara paraunya, “kalau dia nggak segera membuka ke dua matanya, aku akan membencinya. Aku akan membencinya.”
“Vin…” Rico menatap iba ke Alvin yang terus terisak.
“Dia harus bangun Ric. Dia belum…dia belum mendengar isi hatiku,” Alvin menatap Rico dengan mata sembabnya, “dia belum mendengar pernyataan cinta dariku.”

Alvin tertunduk sambil terus terisak. Tangan kirinya menggenggam erat lengan baju Rico.

“Dia belum mendengarnya.”

Rico yang nggak tahan melihat kondisi Alvin akhirnya memeluknya. Dia memeluk Alvin yang terus terisak. Baru beberapa detik Rico memeluknya, Alvin langsung melepaskan pelukan Rico.

“Aku tau..aku tau cara membangunkannya,” kata Alvin cepat.
“Vin…”
“Bener kok. Aku tau caranya,” kata Alvin dengan mata yang sedikit melebar.

Aku yang melihat sikap aneh Alvin cuma menangis sedih.

“Alvin. Dia sudah pergi. Dia nggak mungkin kembali.”
“Bisa. Mau ataupun nggak mau, Pandu harus kembali. Dia harus kembali membuka ke dua matanya lagi,” kata Alvin sambil tersenyum aneh.

Tiba-tiba Alvin mendekat ke arah Pandu dan membelai bibirnya dengan jari-jari tangannya. Lalu perlahan-lahan dia mulai mendekatkan wajahnya ke wajah Pandu dan akhirnya dia…menciumnya. Aku kembali menangis. Hatiku miris melihatnya.

“Bangun! Ayo bangun!!” desis Alvin setelah mengakhiri ciuman singkatnya.

Merasa nggak ada perubahan dari Pandu, dia pun mulai mendekatkan bibirnya lagi ke bibir Pandu. Untuk ke dua kalinya, dia mencium Pandu yang sudah tak bernyawa.

“Kenapa? Kenapa kamu nggak mau bangun? Seharusnya kamu bangun setelah mendapat ciuman!!” desis Alvin yang kembali terisak, “seharusnya kamu bangun!!” desis Alvin lagi.
“Aku…aku menyukaimu Pan. Aku menyukaimu. Aku…aku sangat menyukaimu,” desis Alvin di sela-sela isakannya yang nggak pernah berhenti, “aku mencintaimu.”

Setelah mengungkapkan isi hatinya, Alvin kembali mendekatkan wajahnya dan mencium Pandu. Kali ini bukan sekedar bibir yang menempel di bibir. Alvin melumat bibir Pandu. Dia terus melumat bibir Pandu yang cuma diam dan nggak akan mungkin bisa membalas ciumannya. Air mata yang terus keluar dari ke dua mata Alvin, kini nggak cuma membahasi wajahnya saja, tapi juga membasahi wajah Pandu yang ada di bawahnya. Aku yang melihat itu semua nggak kuat menahan gejolak yang ada di hatiku. Aku memeluk Rico dan langsung menangis sejadi-jadinya di dadanya.

Apa ini akhir kisah antara Alvin dan Pandu? Kenapa begitu menyakitkan? Tuhan..apa ini hukumanmu untuk mereka? Apa aku dan Rico akan Engkau hukum dengan cara yang sama??





# # #

# # #

# # #

# # #





~End Flash Back~
Angin sepoi-sepoi berhembus pelan dan membuat rambut pria setengah baya yang tengah melamun itu menjadi berantakan.

“Apa Om nggak pilih kasih? Makam di sini kan ada dua. Kenapa cuma makam papa aja yang di bersihin?” tiba-tiba terdengar suara yang membuat pria setengah baya itu tersadar dari lamunannya.

Pria setengah baya itupun menengok ke sumber suara itu. Seorang pria muda yang tampan terlihat berdiri nggak jauh dari tempatnya. Pria itu nampak gagah dengan baju casual yang melekat pada tubuhnya. Rambutnya yang berwarna kecoklatan terlihat bergoyang karena ulah nakal dari sang angin.

“Pandu?! Kok kamu keluar dari mobil??” tanya pria setengah baya itu kepada pemilik suara itu.

Pria muda yang di panggil Pandu itu cuma nyengir menanggapi pria setengah baya yang di panggilnya Om itu.

“Males ah di mobil mulu,” dengus Pandu.
“Tapi demammu??”
“Tenang aja. Tadi aku udah minum obat kok. Sekarang udah mendingan,” jawab Pandu.
“Dasar. Kamu ini mirip banget sama papamu. Sama-sama keras kepalanya,” omel pria setengah baya sambil memunguti daun-daun kering yang hinggap dengan indahnya di atas makam yang dia kunjungi.
“Sampai-sampai penyakitnya juga menurun,” tambah si Pandu.
“Bangga??”
“Nggak. Aku nggak bangga kok. Malah kesal,” dengus Pandu sambil jongkok di samping makam yang terletak di samping kanan makam papanya, “aku punya asma juga kan karena papa,” dengusnya lagi.
“Udah trima aja! Itu tandanya papamu sayang sama kamu.”
“Dia nggak sayang sama aku. Kalau dia sayang sama aku, dia nggak akan ninggalin aku dan mama sendirian.”

Pria setengah baya itu cuma bisa menghela nafas panjang sambil memandang punggung Pandu yang lebar. Punggung lebar yang nggak bisa menyembunyikan betapa rapuhnya dia. Semenjak kecelakaan mobil 17 tahun yang lalu, Pandu selalu menyalahkan dirinya sendiri. Dia merasa kalau dirinyalah yang sudah membuat papanya meninggal.

“Pan…”
“Harusnya papa nggak membanting kemudi ke kiri. Harusnya saat itu aku yang mati,” desis Pandu sambil memunguti daun kering di sebuah makam yang memamerkan sebuah foto pria muda yang umurnya lebih muda beberapa tahun di bawahnya.
“Kita sudah membahas ini berulang kali dan…”
“Harusnya aku nggak bermain-main dengan papa. Harusnya aku nggak jahil menutup mata papa yang sedang mengemudi,” potong Pandu yang mulai berkaca-kaca, “Pandu…maaf…aku nggak bisa menjaga papa seperti dirimu yang menjaga papa,” Pandu mulai membersihkan foto yang berdebu itu.

Di bawah foto itu tertulis nama Pandu. Nama yang sama dengan namanya.

“Padahal kamu sampai mempertaruhkan nyawa demi melindungi papa dari para berandalan. Tapi aku malah membuat papa meninggal,” kali ini butiran-butiran bening mulai jatuh dari kelopak matanya.

Pandu memang tau hubungan papanya dan Pandu yang sudah meninggal itu sangat akrab. Pria setengah baya itulah yang memnberitahunya. Tapi pria setengah baya itu tidak membeberkan semua kebenaran yang ada kepada Pandu kecilnya itu. Pandu kecil hanya tau kalau papa dan Pandu yang sudah meninggal itu menjalin sebuah persahabatan.

PLUUUKKK…

Pandu tersentak saat pria setengah baya itu menepuk punggungnya cukup keras.

“Kamu itu udah besar, tapi masih aja cengeng. Papamu pasti malu punya anak kayak kamu. Badannya aja yang besar, tapi…” pria setengah baya itu memotong kalimatnya dan menatap remeh ke Pandu yang masih mengeluarkan air mata.
“Biar!!” dengus Pandu sambil mengusap pipinya yang basah dengan punggung tangannya.

Pria setengah baya itu cuma tersenyum sambil mengacak-acak rambut Pandu.

“Semua kejadian pasti ada hikmahnya,” kata pria setengah baya itu sambil menatap foto di makam Pandu, “makanya…”
“Jangan salahkan dirimu, karena semua itu terjadi bukan karena kamu tapi karena kehendak dari Yang Di Atas,” potong Pandu sambil memanyunkan bibirnya.
“Nah kan itu kamu tau.”
“Ya jelas tau kalau tiap hari, tiap saat, tiap jam, tiap menit dan tiap detik Om Rico selalu bilang hal yang sama,” sindir Pandu.
“Enak aja. Nggak segitunya kali Pan,” dengus pria setengah baya yang di panggil Om Rico oleh Pandu.

Pandu hanya terkekeh pelan.

Di saat sedih, cuma Ricolah yang bisa membuatnya tertawa dan tersenyum. Bahkan Diana, teman masa kecilnya tak mampu menghapus kesedihan dari wajah Pandu. Tapi sayang, Rico selalu sibuk menangani bisnis papanya, sehingga dia jarang ada di rumah. Rico terpaksa menjadi wali Pandu untuk mengurus bisnis papanya sampai Pandu sudah siap untuk mengambil alih semuanya. Sebenarnya Pandu ingin Rico menikah dengan Amel (ingat? ^^), mamanya. Tapi sayang, Rico menolaknya. Rico masih belum bisa melupakan cintanya yang dulu.

“Yuk pulang!” ajak Pandu sambil berdiri, “aku ada janji sama Diana di café.”
“Kamu ini…ck…nggak usah!! Baru juga demamnya turun,” omel Rico yang kini ikutan berdiri.
“Mau gimana lagi. Aku ada tugas kuliah yang harus selesai hari ini, karena besok sudah harus dikumpulkan.”
“Ngerjain tugas kok di café,” sindir Rico, Pandu nyengir, “ya udah ayo!!”
“Om duluan aja. Aku nyusul.”

Akhirnya Ricopun berjalan meninggalkan Pandu yang masih ingin di sana. Tapi setelah beberapa langkah, dia berhenti melangkah dan memutar tubuhnya kearah makam. Dia tersenyum saat melihat Pandu sedang berjongkok di samping makam papanya dan mencium fotonya. Perlahan-lahan sosok Pandu kecil mengabur dan berubah menjadi sosok yang lain. Kini yang terlihat di matanya adalah sosok Pandu yang lain. Pandu berandalan. Pandu yang sangat dia benci karena sudah membuat Alvin menangis setiap malam. Sosok itu mencium foto Alvin dengan lembut. Akhirnya sosok itu memudar dan berganti dengan sosok Pandu kecil saat ciuman tak nyata itu berakhir. Pandu kecilpun akhirnya berjalan dan menghampiri Rico yang masih tersenyum lembut ke arahnya.

“Yuk!” ajak Pandu yang sudah ada di sampingnya.

Akhirnya kedua manusia berbeda usia itupun meninggalkan makam dan menuju café yang menjadi tujuan Pandu. Setelah sampai di café, Pandu langsung masuk, sedangkan Rico langsung melajukan mobilnya menuju tempat janjiannya dengan seseorang yang kini harus dia anggap sahabat biarpun dia masih sangat mencintainya. Ternyata Tuhan punya cara lain untuk memisahkannya dengan orang yang di cintainya itu. Tante Lila yang menginginkan cucu, akhirnya memaksa Awe untuk menikah. Awe terpaksa mengabulkan permintaan tante Lila karena dia merasa sudah berhutang banyak ke Tante yang selama ini sudah merawatnya. Dan cuma dengan cara itulah dia bisa membalas semua kebaikan yang sudah wanita itu berikan kepadanya. Benar-benar hukuman yang menyakitkan untuknya dan untuk Rico.

Di dalam café, Pandu langsung menghampiri seorang gadis tomboy yang sedang duduk sendirin sambil menikmati sebatang rokok. Begitu melihat Pandu mendekat ke arahnya, gadis itu langsung mematikan rokoknya dan buru-buru menghilangkan asap rokok dengan daftar menu yang ada di atas meja.

“Ck…gimana sih?! Udah tau janjian sama aku malah ngerokok,” dengus Pandu sambil menutupi hidungnya, “kalau asmaku kambuh gimana?
“Sorry. Habis aku be te sih gara-gara kamu nggak nongol-nongol,” kata gadis itu sambil menyeruput minumannya.

Pandu cuma mendengus sebal sambil menjatuhkan Pantatnya ke kursi yang berseberangan dengan sang gadis.

“Tadi tiba-tiba aku di ajak Om Rico ke makamnya papa,” jelas Pandu.
“Om Rico balik ke sini?” tanya gadis itu.
“Hu’um, tapi nggak lama kok. Dia mesti balik lagi ke sana ngurus kerjaan.”

Sang gadis yang bernama Diana itu cuma mengangguk-angguk paham.

“Mana kak Ririn?” tanya Pandu sambil mulai membaca daftar menu.
“Dia lagi nganter mama ke mall.”
“Ah…harusnya aku nitip oleh-oleh nih ke Tante Anne,” Pandu tergelak pelan, “oh ya..kok tumben Om Awe nggak nganterin Tante?”
“Papa ada janji sama temannya (tw kan sp tmnx ^^).”

Sekarang gantian Pandu yang mengangguk-anggukkan kepalanya.





# # #

# # #

# # #

# # #





Di dalam mobil hitam yang sedang melaju dengan kecepaatan sedang, duduklah seorang pria muda berseragam putih abu-abu di jok belakang. Kedua matanya terpejam karena menikmati music kesayangannya melalui headsetnya. Di telinga kirinya melingkar anting berwarna putih keemasan. Rambutnya yang berwarna hitam pekat membuat wajah cutenya terlihat semakin cute. Benar-benar pria yang mempunyai wajah di atas rata-rata (??).

“Den, benar aden mau ke café?” tanya sang sopir ragu-ragu.

Pria muda itu nampak diam tak merespon pertanyaan dari supirnya. Merasa pertanyaannya di abaikan, sang supir mulai melirik ke tuannya melalui kaca spion.

“Den, apa benar aden mau pergi ke café?” sang supir mengulang pertanyaannya dengan sedikit lebih keras. Berharap tuannya mendengarnya.

Perlahan-lahan mata pria muda itu terbuka. Dia menatap balik sang supir dari kaca spion sehingga tatapan mata mereka bertemu.

“Ehm..apa nggak sebaiknya kita pulang? Setelah pulang sekolah tadi, aden kan belum pulang kerumah. Kalau Bapak tau bisa bahaya,” kata supir itu makin gugup.

Pria muda itu masih terdiam. Dilepaskannya headset yang daritadi dia pakai dan memasukkannya ke dalam saku celananya.

“Apa kamu di gaji untuk menasehatiku?” tanya pria muda itu sambil tersenyum.

Dia masih menatap supirnya itu dari kaca spion, membuat supirnya makin gugup.

“Ya…ya nggak sih Den,” jawab sang supir dengan perasaan was-wasnya.
“Jadi kamu tau kan tugasmu?” tanya pria muda itu masih dengan senyumnya.
“I…iya.”
“Kalau gitu lakukan tugasmu dengan baik kalau nggak mau aku pecat,” kata pria muda itu membuat sang supir kini terbungkam.

Sang supir kini membawa majikan kecilnya itu menuju café tujuannya dengan hikmat. Setelah sampai di café, pria itu segera masuk dan berjalan mencari meja di mana kakak perempuannya sudah menunggunya di sana. Tapi tiba-tiba…

BRRRUUUKKKK…

Seseorang yang nggak dia kenal menubruknya dari samping hingga dia terhuyung dan terjatuh di lantai yang dingin.
“Ups..sorry,” desis seseorang yang baru menabraknya tadi, “kamu nggak apa-apa?” tanya orang itu sambil mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri.

Tapi pria muda itu hanya terdiam dan terpaku menatap orang yang baru saja menabraknya itu. Tiba-tiba saja dadanya berdetak sangat cepat karena melihat ketampanan orang itu.

“Ada yang sakit?” tanya orang itu sedikit panic.
“Eh..oh..nggak. Nggak ada yang sakit kok,” jawab pria muda itu sambil tersenyum untuk menyembunyikan kegugupannya.

Dia langsung menyambut uluran tangan orang tadi untuk berdiri.

“Vin!! Alvin!!” terdengar suara panggilan dari salah satu meja yang ada di bagian paling pojok.

Pria muda itu langsung melihat ke sumber suara itu dan mendapati kakaknya sedang melambaikan tangan ke arahnya.

“Ehm..namamu Alvin?” tanya orang yang menabraknya tadi.
“Iya. Namaku Alvin,” jawab pria muda itu sambil tersenyum, “ya udah aku ke sana dulu ya. Lain kali hati-hati kalau jalan,” kata pria muda itu masih dengan senyumnya.

Setelah itu dia langsung melangkahkan kakinya mendekat ke kakaknya dan duduk di kursi yang kosong. Nggak tau kenapa khusus untuk hari ini kakaknya telah menjadi dewa penyelamatnya. Kakaknya telah menyelamatkannya dari sesuatu yang menurutnya paling memalukan. Baginya, salah tingkah kerena seseorang yang belum dia kenal itu sudah sangat memalukan. Seumur-umur dia nggak pernah salah tingkah seperti itu.

“Ngapain kamu, kok gugup banget?” tanya gadis yang beberapa tahun lebih tua di atasnya itu.
“Cowok itu bikin aku gugup,” jawab pria yang bernama Alvin itu sambil tersenyum semanis mungkin.

Gadis itu langsung mengikuti arah pandang adiknya itu. Senyum tipis langsung tercetak di bibirnya yang berwarna pink karena polesan lipstick.

“Kamu suka dia?” tanya gadis itu sambil memandang adiknya yang terus menatap orang itu.
“Nggak tau. Tapi yang jelas dia sudah berhasil membuatku gugup dan salah tingkah,” jawab Alvin sambil tersenyum.
“Hebat juga dong cowok itu. Dia bisa bikin kamu jatuh cinta pada pandangan pertama,” goda gadis itu sambil memakan steak nya.
“Jangan menggodaku kak!” kata Alvin dengan senyumannya yang sedikit menakutkan.
“Hahaha…jangan menekanku dengan senyumanmu itu! Senyumanmu itu nggak akan mempan untukku,” kata gadis itu sambil tertawa pelan, “kamu ini sama kayak papi. Senyuman kalian itu benar-benar menakutkan.”
“Kamu benar-benar menyindirku kak,” kata Alvin menatap tajam kakaknya, sebuah senyuman yang masih setia terukir di bibir tipisnya, “aku nggak sama dengan pembunuh itu.”
“Kamu masih membencinya?” tanya gadis itu sambil melipat ke dua tangannya ke atas meja dan membalas tatapan mata adiknya, “kejadian itu cuma kenakalan remaja dan papi sudah menjelaskan semuanya. Lagipula papi juga sudah menyesali perbuatannya.”
“Namanya membunuh tetap saja membunuh kak,” kata Alvin, “sudahlah, jangan membicarakan orang tua itu lagi! Aku bosan. Aku mengajakmu ke sini bukan untuk membicarakannya.”

Gadis cuma itu menghela nafas panjang lalu mulai memakan steak nya lagi.

“Iya aku tau. Kamu mengajakku ke sini untuk curhat kan?!”
“Iya. Tadi aku baru baru putus dari Donny.”
“Hmm?? Kenapa?? Bukannya kalian saling sayang??”

Alvin tersenyum saat mendengar kata ‘sayang’ yang keluar dari mulut kakaknya.

“Dia selingkuh.”
“Woowww…”
“Tapi persetan dengannya. Karena aku sudah menemukan yang lain.”
“Dia?” tanya gadis itu sambil menatap orang yang sedang menghisap inhalernya, “dia punya asma. Kamu yakin? Lagian kamu juga belum tau siapa namanya.”
“Asma nggak masalah buatku. Kalau masalah nama, aku akan mendapatkan namanya sebelum kita pulang dari tempat ini. Lagian apa kamu tau kalau dia sudah mencuri pandang ke tempat ini beberapa kali?!”
“Serius??” tanya gadis itu tak percaya.

Lagi-lagi gadis itu melemparkan pandangan matanya ke arah orang itu. Tepat di saat dia melihatnya, orang itu juga sedang melihat ke arah mejanya.

“See??” Alvin tersenyum ke kakaknya yang terlihat kebingungan.
“Dia gay juga?? Atau dia menatap ke sini karena ada aku??”
“I don’t know,” jawab Alvin, “tapi kita akan segera tau,” lanjutnya saat melihat orang yang daritadi di pandangnya kini berjalan mendekat ke arah mejanya.

“Egh…namamu Alvin kan?!” tanya orang ragu-ragu.

Alvin langsung tersenyum dan menopang dagunya dengan tangannya. Sedangkan kakaknya cuma menatap bengong ke arah orang itu dan adiknya secara bergantian.

“Iya,” jawab Alvin masih dengan senyumannya.
“Kenalkan, namaku Pandu,” kata orang itu sambil menyodorkan tangannya.

Alvin nggak langsung membalas uluran tangan Pandu, dia malah menatap kakaknya sambil mengangkat ke dua alisnya. Setelah itu barulah dia membalas uluran tangan Pandu.

“Ada perlu apa ya denganku?” tanya Alvin masih belum melepaskan genggaman tangannya.

Kali ini dia sudah bisa menguasai kegugupannya dan bersikap wajar(?).

“A..anu.. namamu sama dengan nama almarhum ayahku. Jadi secara nggak sadar aku ingin mengenalmu,” kata Pandu malu.

Dia sadar kalau tingkahnya ini sangat memalukan. Harusnya dia nggak bersikap seperti ini kepada anak yang lebih muda darinya.

Alvin yang mendengar kata-kata Pandu sempat terdiam sesaat lalu tertawa.

“A…ada yang salah?” tanya Pandu bingung.
“Nggak..nggak ada yang salah. Aku cuma berpikir kalau kamu ini…” Alvin menggantung kata-katanya dan menatap lekat Pandu, “menarik,” lanjutnya lagi dengan senyuman khasnya.

Tanpa mereka sadari genggaman tangan mereka masih belum terlepas. Mereka terus menatap satu dengan yang lain, seolah-olah ada sesuatu yang sulit untuk di jelaskan dengan ribuan kata-kata. Sesuatu yang bisa menarik hati mereka berdua seperti magnet. Mungkin inilah awal kisah di antara mereka berdua. Kisah antara Pandu dan Alvin.


TAMAT

Kritik dan saran 08566144661

Tidak ada komentar:

Posting Komentar