Jumat, 26 Juni 2015

CDLB V 2

KISAH RIO - PELANGI DI ATAS BANGKA, chapter #46 versi: Erick HIdayat

dengan seijin dari pengarang, aku memberanikan diri untuk menulis ulang "Kisah Rio -  Pelangi di atas Bangka" mulai dari chapter terakhir...

#46 Pertemuan kembali dengan Kak Faisal.

Aku menahan nafas, badanku sudah tegang gak keruan. Di dalam dadaku, jantungku sudah berdentum begitu kencangnya hingga ku rasakan menggempur kepalaku. Setengah tak percaya akan apa yang ku lihat melalui jendela mobil, aku masih berbaring di jok belakang, sesuai permintaan Rizal, mendongak lalu buru- buru menundukkan kembali kepalaku, takut akan terlihat kak Faisal dan juga tidak kuat melihat seseorang yang begitu ku cintai, ku sayangi, ku rindukan, begitu mengaduk- aduk jiwa, imajinasi dan... Cintaku. Dari pertama ku lihat kak Faisal berjalan keluar dari gubuk, aku sudah tidak mampu mengendalikan air mataku.

'BRUK'

Suara pintu depan Mobil ditutup. Aku merasakan ada lompatan dalam dadaku.

'INILAH SAATNYA...'

Kesempatan sudah di depan mata. Namun tubuhku serasa kaku beku.

"Zal, gimana semuanya? Beres?"
"Beres kok."
"Gua lagi tunggu abang kasih uang, agak mepet soalnya di sini."

Dengan susah payah aku menahan gelombang emosiku. Kalau saja menuruti kata hatiku, aku sudah melompat memeluk kak Faisal dan menangis karena tak kuat menahan rindu. Mobil pun berjalan membawa kami bertiga.

"Eh aman kan situasi..." sambung kak Faisal sambil memeriksa ke sekeliling...

"HEI LU BAWA SIAPA INI?" bentak kak Faisal dengan suara menggelegar ketika ia melihatku...

Sementara aku baru berani menengadahkan kepalaku perlahan- lahan...

... Dan untuk pertama kalinya mata kami beradu...

... Setelah sekian tahun.

"ADEK..."

Dia duduk mematung sambil dadanya berputar menatap ke arahku.

"Kak..."

Suaraku bergetar menahan emosi sebisaku yang sedang meluluh lantahkan isi otakku. Semua pertanyaan yang sudah ku siapkan dari kemarin menguap saat aku menatap wajahnya. Yang mampu aku lakukan hanya membiarkan peluh jiwaku menetes.

Tak ada dari kami yang berani memecah kesunyian kami. Yang ku hanya tahu, kami sedang berbicara lewat mata, jendela jiwa kami. Air mata sudah tak dapat ku tahan lagi. Aku masih berusaha menahan sesegukan sambil kedua tanganku ku kepalkan di dadaku. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan kak Faisal ketika melihatku. Aku cuma bisa berharap kakak tidak marah.

"Sori Sal, Rio udah minta ketemuan ama lu. Janji... Selain dia gak ada yang tahu." kata bang Rizal berusaha memecah kesunyian diantara kami.

Aku bingung, apa yang di pikirkan kak Faisal. Aku berharap kakak tidak marah dengan mengorbankan kepercayaan kakak kepada bang Rizal.

Setelah kebekuan entah berapa lama, kak Faisal menjulurkan tangannya. Jantungku berdegup kencang ketika aku meraih tangannya. Aku merasakan hangat tangan kak Faisal... Benar dia masih hidup dan bernafas. Aku masih belum berani berbuat lebih lagi, takut dia satu saat bisa lebih marah lagi. Namun ia menggenggam tanganku lebih erat lagi.

Aku menutup mataku sambil tangisku mulai menembus pertahanan terakhir, kala aku merasakan tangan kak Faisal.

"Kak..."
"Ya dek..."
"Kaaaaak... "

Aku sudah berada di ujung emosiku. Aku sudah tak dapat menahan isak tangisku.

Faisal...

Aku tidak mengira Rizal berani membawa seseorang. Dalam keadaan seperti ini aku tidak boleh membiarkan siapapun mengetahui eksistensiku. Selain mama kandung dan kak Fairuz, tak ada yang tahu. Kalau bukan adek Rio yang ia bawa, habis Rizal aku pukuli. Begitu aku melihat adalah adikku sendiri, amarah dan panik ku pun surut. Aku termenung menatap adikku. Dia sudah lebih dewasa. Tetap tampan seperti adik yang ku banggakan, namun terlihat guratan kepedihan membekas pada wajahnya. Adek menatapku dengan segala pergumulan emosinya. Tak heran, setelah mempercayai aku telah wafat ternyata masih hidup dan bernafas. Isak tangisnya mulai memecah kesunyian, membuatku semakin kasihan melihatnya menderita. Isak tangisnya begitu memilukan, menyayat hatiku. Kalau saja aku berdua aku sudah akan memeluknya, membiarkan adek menumpahkan semua kepedihannya padaku. Biar aku pun ikut merasakan penderitaan adekku. Biar aku meresapi penderitaannya. Adek memegang tanganku, meresapi, mencium, menempelkannya pada pipinya sambil menangis membuatku mau tak mau ikut menangis juga. Begitu sulitnya untukku mengucapkan pertanyaan pertamaku, semua tertahan di benakku kala ku melihat dia begitu merindukanku, menderita begitu berkepanjangan.

Berkali- kali ia memanggil- manggil 'kakak' di sela- sela tangisnya membuatku semakin merasakan rindu yang selama ini ia pendam. Perih aku mendengarnya memanggilku seperti ini.

Rio...

Aku masih memegang erat tangan kak Faisal seolah tak akan ada hari esok. Tersedu sedan aku menangis sambil terus menerus memegang dan menciumi tangan kakak.

"Dek, lepasin dulu dek, biar kakak pindah ke belakang." suara kak Faisal terdengar lembut dan merdu di telingaku.

Kak Faisal melangkahkan kaki kanannya melewati jok depan, sambil menunduk bergeser ke belakang, sementara aku bergeser ke jok kiri memberikan tempat kepada kakak. Samar- samar aku melihat kontur kakak, rambut tebal agak bergelombang, dari remang- remang lampu jajanan yang menghiasi wajah kak Faisal aku melihat sorot mata yang sama, tajam namun meneduhkan aku, tulang pipi yang lebih jelas karena bertambah dewasa dan ditempa kehidupan yang keras. Postur kakak yang tidak jauh berdeda, hanya terlihat lebih dewasa, sedikit kurus.

"Kak... Ini bener kan kak... Masih hidup kan..." kalimat lengkap pertama yang bisa ku ucapkan.
"Iyah dek, ini kakak."

Aku sebenarnya ingin bertanya lebih jauh lagi, namun keinginan tubuhku untuk merasakan pelukan kak Faisal terlalu besar. Aku meraih wajah kakak dengan kedua tanganku, mengusap wajah kakak sambil setengah tidak percaya, dia masih hidup. Kak Faisal memegang kedua tanganku.

"Kak... Aku rindu kakak..." aku sambil kesulitan mengatur nafasku karena masih menangis, melepas semua rindu.
"Kakak juga dek, kakak rindu adek." jawabnya lembut.

Walau hidup telah menempanya menjadi sosok yang keras, namun di hadapanku, aku melihat kak Faisal tidak lupa untuk bersikap lembut kepadaku.

Aku memeluk kak Faisal. Dari pelukan lembut aku memeluk kakak hingga pelukanku bertambah erat. Aku sudah tidak mampu menahan tangisku. Terisak- isak aku menangis di dada kak Faisal. Aku melepas semua rindu yang selama ini menghimpit dadaku sambil aku membenamkan wajahku di dada kak Faisal. Aku hirup aroma tubuhnya sepuasnya, bau asem keringatnya yang sudah lama tak pernah ku cium. Pelukan kak Faisal yang tak kalah kencang itu pun membuat emosi dan air mataku terkuras habis di dalam mobil.

Rizal pun mau tak mau ikut trenyuh melihat kakak dan adik saling melepas rindu. Ia mengambil satu helai tissue untuk mengusap air matanya.

"Zal, ke kontrakan gua aja deh."
"Oke deh, gua udah bawa belanjaan buat lu ama makan nasi bungkus buat kalian."
"Thanks man..."

Mobil Rizal terus menyusuri pinggiran kota Palembang yang agak sepi, dengan penerangan seadanya.

"Kak, jauh amat kontrakannya..."
"Iyah dek, disini kakak susah sembunyi, kakak lahir di sini, kenal banyak orang disini. Jadi kakak harus cari tempat jauh begini."

Mobil Rizal melewati jalan yang semakin menyempit, berbelok ke kanan, lalu berbelok lagi. Sekitar 3 belokkan dari jalan raya, cukup tersembunyi. Aku bingung, masih ada orang yang membangun perumahan dan mau tinggal di daerah pinggiran seperti ini. Di pojok, terlihat deretan rumah yang di beri sekat tembok, terlihat seperti tempat kontrakan, ada 4 semuanya. Hanya 1 yang terlihat menyala, 3 lagi gelap. Mobil Rizal berhenti didepan.

"Rio, mau aku tunggu?" tanya Rizal.
"Gak kak, aku mau nginep malam ini. Besok aku baru pulangnya."
"Ya udah, besok jam 9 ku jemput aja."
"Oke. Makasih yah bang Rizal."

Kak Faisal mengambil 1 kantung plastik yang dibawakan Rizal lalu menutup pintu mobil. Mobil Rizal pun bergerak menjauh, sampai deru mesinnya tidak terdengar lagi. Sekarang suasana sudah benar2 sepi... Suara jangkrik menemani malam ini, dengan langit malam terlihat cerah. Aku masih menatap ke arah kakak, berusaha menikmati wajahnya, wajah yang ku rindukan bertahun- tahun, wajah yang ku tangisi setiap malam karena rindu.

"Yuk masuk dek, kita istirahat di dalem."

Kak Faisal menggenggam tanganku menuntunku masuk. Setelah membuka pintu, ku lihat satu ruangan ukuran 3m x 4m dengan kamar mandi di belakang. Satu panjang terletak di lantai, satu lemari ukuran kecil dari bahan kayu komposit yang sudah tua, satu meja, satu tv ukuran 14 inci. Aku tertegun. Pertama kali aku kenal kak Faisal, dia hidup dengan segala kemewahan yang bisa didapat. Sekarang, kakak hidup mengorbankan semuanya, kebebasannya, kehidupan mewahnya, masa depannya. Aku trenyuh melihat keadaannya sekarang.

"Seadanya aja yah dek, kakak lagi mepet, jadi agak hemat dikit." katanya sambil berjalan duduk di lantai.

Aku pun duduk di berhadapan dengan kakak.

"Kak, sejak kapan kakak tinggal di sini?"
"Baru dua minggu. Kakak sebelumnya di Bangka. Agak jauh dari tempat kak Fairuz."

Kak Faisal membuka kantong kresek yang dibawakan Rizal. Ada beberapa bungkus kue kering, roti dan selai, dua linting kopi kapal api, mie instan, sabun mandi dan sikat gigi, tidak lupa nasi bungkus untuk kami berdua. Kakak menaruh semua barang itu di atas lemari. Lalu kakak mengambil air dari botol kemasan 5 galon yang di beri pompa ke dalam ketel plastik pembuat air panas, lalu menancabkan kabelnya. Kakak mengambil dua sachet kopi kapal api dan bertanya,

"Dek, kamu mau minum kopi?"
"Boleh kak."

Kak Faisal pun mengambil 2 cangkir plastik dan membuka bungkusan kemasan kopi dan menaruhnya ke dalam gelas.

"Sori yah dek, keadaan kakak memang lagi serba ngepas. Nanti kalo kakak udah dapet suntikan dana, kakak bisa lebih nyaman lagi."
Aku duduk di lantai, sementara kakak mencabut kabel karena air sudah mendidih. Kakak lalu menuang air panas ke dalam gelas.

"Nih dek kopinya." kakak menyodorkan gelas kopinya.

Kak Faisal duduk di atas ranjang sambil mengambil bantal dan bersandar pada dinding. Lalu kak Faisal menatapku dengan tajam. Aku heran...

"Kenapa kak?"
"Duduk aja sini sebelah kakak."
"Kak... Kakak tahu kan aku gay."
"So what? Memang adek kira kakak benci gay? Sini lah kakak gini- gini juga rindu adek."

Tubuhku serasa melayang ketika kak Faisal tersenyum kepadaku. Aku berikan senyuman terbaikku dan naik ke atas ranjang duduk berdempetan dengan kakak. Aku merasakan desiran di sepanjang tubuhku. Ku beranikan diri untuk memeluk pinggangnya. Tubuh kakak seperti mengembang keatas kala menghirup nafas dalam- dalam sambil menutup mata. Bahagia sekali aku akhirnya bisa memeluk kak Faisal.

"Nah gini dong adekku tersayang."

Kak Faisal merangkul pundakku. Aku merasakan jiwaku bernyanyi indah sekali.

"Kak, kenapa kakak mau berbuat seperti ini?" Aku dengan hati- hati membuka pembicaraan. "Waktu itu, kondisi kakak memang udah kepepet dan kacau banget. Kakak di tekan dari banyak pihak, yang paling parah ketika Amalia hamil..."
"Kok kakak bisa nekad?"
"Gak tahu juga, namanya juga anak muda, kebablasan..."

Aku sebenarnya sudah mendengar dari Rizal mengapa. Namun aku tidak mau bertanya terlalu jauh soal itu.

"Belon lagi itu Rizal gak sengaja bunuh kurir itu. Yang paling parah itu mama. Vonis mama, status dibuang keluarga dan harus cari kerja sendiri tanpa ijazah uni... Itu pula yang buat kakak akhirnya punya ide nekad."
"Mama menyesal banget waktu itu. Nangis histeris di depan jasad ... Itu. Mama stress berat udahnya, hubungan papa dan mama makin renggang. Sikap papah ke mamah berbeda sejak itu... Sekarang mereka sudah cerai."
"Iyah kakak percaya kok, udah di ceritain ama Rizal soal sedihnya dan bang Fairuz, tapi... waktu kakak masih ada, apa mama terlihat membantu? Mama hanya bisa memvonis kakak. Jelas dong kalo kakak akhirnya merencanakan ini semua. Kakak cuma gak tega kamu yang ikut menanggung semua ini..."
"Aku yang merasa paling kehilangan seseorang yang amat ku sayangi..."

Aku tak mampu menahan air mataku. Sedikit aku terisak mengingat semua kenangan itu: kakak terlihat sangat tampan memakai setelan putih  memelukku untuk yang terakhir kalinya, kotak dan surat perpisahan. Makin diingat makin berat nafasku. Secara instingtif aku memeluk kak Faisal lebih erat. Rasa takut menyeruak ke dalam hatiku kalau ini hanya mimpi saja.

"Udah dek, jangan nangis lagi. Ada kakak di sini." sahut kak Faisal dengan sendu sambil memelukku tambah erat sambil kepalanya bersandar pada kepalaku. Ketika aku mencium sedikit bau asem keringatnya, barulah aku sedikit lebih tenang.

"Hidupku sejak itu seperti semuanya salah. Aku hanya melihat semuanya gelap didepan mata."
"Keputusan kakak memang berat, kakak kehilangan masa depan, kuliah gak tamat, dianggap mati. Kakak gak bisa cari kerja, takut bisa saja di kenali. Kakak juga cape hidup seperti ini, harus kabur dari satu kota ke kota lain takut dikejar mafia. Kakak beberapa kali lihat kamu di Bangka pengen sekali nyapa kamu, cuma sekali kakak udah sembunyi, jangan ampe kalian tahu."
"Memang waktu di Bangka kakak nyamar?"
"Iyah dong..."
"Emang pake nama siapa?"
"Kakak pake nama Rio."
"Loh kakak kok pake nama Rio?" tanya ku heran tapi sambil tersenyum.
"Cuma nama itu yang kakak kepikiran. Kak Fairuz dan mama Lina yang selama bantu kakak ampe bisa bertahan sejauh ini..."
"... Kakak juga harus melindungi teman- teman kakak. Di saat kakak udah kalap di vonis mama, mereka yang masih mau sama- sama cari solusi. Mereka tidak pernah meninggalkan kakak, padahal sumber keuangan kakak baru aja di putus mama. Itu yang buat kakak yakin mau berbuat sesuatu untuk mereka. Toh mereka ampe sekarang tetap membantu sebisanya..."
"... Kak Fairuz yang akhirnya minta tolong papa Alvin. Dia ada di pihak netral, jadi bisa di ajak kerja sama. Dari situ keadaan sudah lebih baik."
"Kenapa kakak gak minta tolong papa sekarang?"
"Ada batasnya dek, kakak bisa dibantu seperti ini aja udah sangat bagus. Masa mau minta lebih?"
"Kak... Rio minta dengan segenap hati, kakak jangan kabur lagi..."

Aku mulai panik... Aku memeluk kak Faisal lebih erat. Kak Faisal dengan lembut menepuk pundakku.

"... Jangan tinggalin Rio lagi. Rio gak mau lagi kehilangan kakak untuk kedua kali." aku menatap kakak dengan mata agak menghangat.
"Iyah dek, kakak gak akan kabur lagi." kak Faisal membalas tatapan ku dengan penuh kasih.
"Satu lagi kak, ijinkan Rio membantu kakak. Kakak gak bisa selesaikan semuanya sendiri."
"Gak bisa... Ini udah resiko kakak. Harus kakak selesaikan sendiri."
"KAK... Udah lah, jangan bawa gengsi kakak terus. Kak... Please dong... Kalo kakak masih anggap aku adek, ijinkan Rio bantu kakak. Rio yakin, pelan- pelan kita bisa selesaikan semua ini..."
"... Kak... Rio gak akan sanggup kalo harus kehilangan kakak lagi. Ini hati Rio mau dikemanain kak?... Sekali ini aja, biar Rio bantu kakak. Demi Rio yah kak..." aku sudah siap menumpahkan air mata, membayangkan kak Faisal harus pergi kabur lagi.

Sejenak kak Faisal menatapku dengan sorot mata tegas. Kali ini aku tidak mau menyerah. Aku balas dengan tatapan seorang adik yang mencintainya dan hanya ingin membantu kakaknya keluar dari masalahnya. Aku sempat takut kak Faisal bisa marah, namun setelah menunggu beberapa saat, itu tidak terjadi. Sorot mata kakak akhirnya pun melembut dan berkata,

"Okelah... Cuma satu yang kakak minta..."
"Apapun yang kakak minta."
"Mama dan yang lain jangan tahu dulu... Belum saatnya."

Aku lega dan senang sekali mendengar kak Faisal akhirnya mau menerima bantuanku. Tanpa aba- aba kak Faisal mencium pipiku sambil menarik nafas. Entah kata apa yang cocok untuk menggambarkan apa yang ku rasa saat itu.

"Makan yuk dek."
"Yuk."

Kakak mengambil dua piring plastik, sementara aku menyiapkan nasi bungkus yang dibawa Rizal. Hampir tak pernah kami menyiapkan makan berdua seperti ini sewaktu di rumah papa Harlan. Dalam hatiku aku berharap satu hari nanti aku akan melakukan ini semua berdua sampai kapanpun kami hidup.

'Ya Allah, aku tak tahu apa ini benar atau salah, tapi ijinkan aku hidup menemani dan di temani kak Faisal...' ujarku dalam hati sambil menghayati kebersamaan kami.

Kami menikmati hidangan sederhana kami. Aku duduk di lantai berhadap- hadapan dengan kakak. Suasana haru pun surut, tergantikan oleh suasana keakraban yang dulu pernah kami rasakan. Suap demi suap kami bertukar senyum. Ketika selesai, kakak langsung membereskan piring dan mencuci semuanya. Ini juga baru aku lihat, kakak sekarang sudah hidup mandiri.

Sambil menonton tv kami duduk berdua menikmati malam itu. Aku tak sadar dari tadi aku masih memegang tangan kak Faisal.

"Tenang dek, kakak kan gak kemana- mana." kata kak Faisal tersenyum melihat tingkahku.

Aku menunduk malu. Sekitar jam 11 kami pun bersiap tidur. Kakak mandi lebih dahulu sementara aku masih menikmati acara tv. Delapan menit sesudahnya, kak Faisal keluar dari kamar mandi. Postur kakak terlihat lebih kurus, namun ototnya terlihat lebih menonjol dan terlihat lebih kasar, membuat kakak terlihat seperti raja jajanan, sangat maskulin. Kulit kakak tidak lagi putih seperti dulu, agak lebih gelap walau tidak sampai sawo matang. Mungkin aja kakak sempat kerja serabutan selama persembunyiannya. Sedikit kumis dan jambang menambah pesona kakak.

"Ngapain pula kamu liat kakak kayak gitu... Ngiler nanti... Hahaha..."

Sambil tertunduk malu aku membawa baju ganti dan handuk ke kamar mandi. Sesudahnya aku bersiap tidur. Di ranjang, kakak sudah berbaring. Aku memadamkan lampu kamar. Sekarang kamar kami hanya di terangi lampu pijar dari luar yang menyinari kamar kami. Aku melihat samar- samar kakak berbaring. Aku pun berbaring telungkup memeluk kakak sambil kepalaku berada di atas dadanya. Ku rasakan damai dalam diriku. Akhirnya aku bisa tidur lelap sekali.
Menjelang subuh aku sudah terjaga dari tidurku. Aku perlahan- lahan menangkap keadaan sekeliling yang tidak familiar. Aku pun sadar, sedang menginap di tempat kak Faisal. Lampu kamar mandi menyala dan terdengar suara percikan air, kakak sedang mandi. Ini pun sesuatu yang baru buatku. Hidup sendiri dalam persembunyian telah banyak merubah kakak. Tak lama kakak pun keluar dari kamar mandi,

"Adek sudah bangun juga..."
"Iyah, mau sholat subuh."
"Yuk, barengan ama kakak."

Aku gembira mendengarnya. Kakak sudah lebih relijius. Aku pun mengambil wudhu dan kami berdua untuk yang pertama kalinya dalam hidup sholat berjamaah. Dalam hatiku aku meresapi setiap detik yang ku lalui bersama kak Faisal. Seusai sholat, kami berbaring berduaan di atas ranjang menyambut sang fajar meresapi kebersamaan kami. Awalnya aku canggung untuk memeluk kak Faisal, namun ketika kakak memelukku, aku pun memberanikan diri. Aku sebisanya bersikap wajar di luar, namun aku tak bisa menipu rasa di hatiku, kalau perasaan rindu yang kuat sekali sedang menggelora didalam diriku, sekalipun aku saat itu sedang duduk bersebelahan dengan kakak. Sepertinya jarak beberapa centi ini masih terlalu jauh. Setiap detik yang ku jalani bersama dengan kak Faisal adalah hal yang amat sangat berharga setelah aku pernah kehilangan sosoknya dan menangisinya setiap malam untuk waktu yang lama.

Setelah langit di ufuk timur merona, aku menyiapkan kopi pagi sementara kakak menyiapkan roti dan selai, juga piring dan sendok yang di pakai untuk mengolesi roti dengan selai. Kami pun kembali duduk berduaan di dalam kamar kontrakan yang sangat sederhana, sarapan roti dengan selai. Tak puas- puasnya aku memandang wajah kak Faisal. Kakak pun tersenyum.

"Dek, gimana itu hubungan kamu ama si Rian?" tanya kakak ditengah kami menikmati roti kami.

Aku ceritakan cukup detail kepada kakak, perubahan sikap Rian setelah menyusulku ke Palembang, sikap cemburu berlebihan yang mengarah kepada tindakan kekerasan dan hubungan yang lebih kearah tindakan seksual. Ku ceritakan juga Erwan yang ternyata mencintaiku setelah bertunangan hingga hubungan ku dengan dia membuat situasi ku di Bangka malah bertambah kusut. Tak luput ku ceritakan juga cemburu Rian yang melebihi batas normal hingga mengarah ke tindakan tak wajar, hingga paling parahnya membakar rumah emak karena cemburu tentang hubunganku dengan Erwan.

Kak Faisal mendengarkan dengan semua ceritaku sambil menikmati sarapan roti selai.

"Kakak udah bisa baca sifat Rian kayak gitu, cuma waktu itu kakak lagi dapet masalah yang lebih gawat lagi, jadi kakak gak sempet urusin itu. Kakak berharap kamu nantinya bisa jaga jarak aja ama dia. Kamu apa masih sayang ama Erwan?"
"Masih sih kak, awalnya justru dia yang nembak aku duluan. Aku gak sangka dia kayak aku. Cuma untuk sekarang, selama ada Rian, kita gak akan pernah bisa hidup tenang. Belum lagi rasa bersalahku ama Erwan yang gak jadi nikah. Beban berat semuanya buat ku kak... Semua yang ku jalani dalam hidupku jadinya salah atau berantakan. Kalo ku gak kuat iman ku udah mikir bunuh diri duluan."
"Jangan lah, masih ada kakak yang sayang ama kamu kan, nanti kakak kesepian gak ada yang temenin."
"Mana ku tahu kakak masih hidup waktu itu? Ku merasa semuanya udah buntu."

Kak Faisal memegang pundakku sambil menatapku,

"Udah dek, sekarang ada kakak. Kakak gak akan kemana- mana lagi. Kita hadapi semua bareng- bareng."

Ku tak sadar air mataku jatuh. Kak Faisal mengusap air mataku sambil menatapku penuh arti.

Di luar ku dengar suara mobil. Bang Rizal sudah menjemputku jam 9 lewat.

"Kak, Rio pulang dulu yah, lusa Rio dateng lagi."
"Ya dek, hati- hati di jalan. Ingat, jangan ada yang tahu kakak ada di sini."
"Iyah kak. Rio akan rundingan ama papa Alvin yah selanjutnya."
"Makasih yah dek."
"Gak masalah kak, Rio  sayang kakak."

Kak Faisal tidak mengucapkan apapun, dia hanya memelukku. Aku menarik nafas dalam- dalam, membiarkan aroma tubuh kak Faisal masuk lewat lubang hidungku dan terpatri di ingatanku.

Di rumah papa Alvin aku berusaha bersikap sewajar mungkin dan tidak memperlihatkan rasa bahagiaku. Mama dan emak memperhatikan wajahku yang cerah, ku jawab sebisaku, reuni dengan teman sekampus yang sudah hampir tamat. Di kamarku aku duduk merenung, memutar ulang peristiwa semalam. Baru saja aku tiba sepuluh menit yang lalu, namun rasa rindu kepada kakak kembali menyeruak kedalam kalbuku.

'pah, nanti siang ada waktu? Rio mau ngobrol ama papah.'

Butuh waktu enam menit hingga ada sms jawaban dari papa Alvin.

'lunch papa ada janji, tapi jam 3an papa udah senggang. Papa jemput di rumah?'
'oke, sip'

Jam 3 mendekati 3:30 barulah papa Alvin datang ke rumah. Aku langsung menghampiri mobil papa,

"Gak lagi sibuk kan pah?" sapaku sambil tersenyum.
"Tadi sih sibuk, sekarang papah sebenarnya sih udah bisa pulang kok. Mau kemana?"
"Kita bicara di cafe aja yah, ada yang mau dibicarakan, agak privasi deh."
"Oke deh."

Sesampainya di salah satu restoran di mall di pusat Palembang, kita pesan minuman.

"Oke Rio, kamu mau bicara apa nih ama papah?"
"Eh... Soal kak Faisal..."

Papa Alvin agak tegang mendengar jawabanku.

"Tenang pah, Rio sudah tahu dari bang Rizal dan pernah liat sendiri... Kemarin Rio ketemu dan nginep di tempat kakak."

Papa Alvin mulai lebih tenang.

"Pah, ada 2 hal yang mau Rio bicarain..."

Papa Alvin menyimak dengan serius.

"Satu, gimana kita bantu kak Faisal. Kakak gak bisa terus- terusan hidup kayak gini..."

Papa Alvin berfikir untuk agak lama.

"Memang gak gampang soal Faisal. Secara legal dia sudah dianggap meninggal."
"Soal gembong narkoba nya itu juga. Apa mereka masih ngejar kakak?"
"Gini deh, soal identitas bisa diurus, pake nama baru, kartu kk bisa ikut papa aja..."

Aku gembira sekali... Kak Faisal bisa secara legal jadi kakakku.

"Kenalan papah bisa urus ampe ktp pun bisa. Cuma papah harus minta bantuan temen papah di kepolisian, cari tahu apa mereka masih berkeliaran. Rio, tenang aja, papah udah bantu dari awal, papah pasti bertanggung jawab. Oh ya, gimana tempat Faisal?"
"Kumuh pah, gak tega liatnya. Kalo bisa ngekos aja yang sama jauhnya tapi lebih rapih dikit aja, Rio bisa lebih tenang."
"Gak usah kuatir. Satu- satu kita beresin. Pertama musti Faisal. Biar papah pastiin dulu."
"Makasih pah... By the way, papah gak keberatan kakak jadi tanggungan papah?"

Papa Alvin tersenyum.

"Anak kandung atau adopsi sama aja Rio, Faisal orangnya baek, cuma manja aja waktu kecilnya. Toh Faisal kan seperti anak mama Mega. Kamu tenang aja. Ada kalian yang sekarang mengisi hari- hari papah dengan kebahagiaan."

Mau tak mau aku pun terharu.

"Pah, maafin sikap Rio dulu- dulu yah... Rio nyesel kalo inget."
"Maafin juga papah yah, hidup kita memang banyak lika likunya..."
"... Rio, kamu gak kepikiran selesaikan studinya?"
"Rio rencananya sih mau lanjut lagi, tapi mau tunggu semua urusan kak Faisal tuntas dulu ampe dapet identitas baru. Jadi ada semangat untuk lanjut kuliah juga... Bareng ama kakak."
"Hm... Good idea... Ya udah langkah pertama dulu papah urusin. Pulang yuk."

Papa Alvin membayar minuman kami, lalu pulang ke rumah. Hari pun sudah sore menjelang maghrib.

"Kamu kapan mau ke tempat Faisal?"
"Lusa kali, minta bang Rizal yg anter. Rio mau belanja dulu buat kakak."
"Itu biar papah aja yang beli, nanti mamah curiga pula."
"Oh iyah yah."

Dua hari kemudian, aku bertemu dengan bang Rizal di kantor papa Alvin, dengan dua kantung besar persediaan makanan dan amplop yang cukup tebal. Aku asumsikan itu adalah suntikan dana.

Di tempat kak Faisal, suasana sudah lebih santai. Ku ceritakan kepada kakak tentang rencana papa Alvin untuk melacak gembong narkoba dan identitas baru. Kak Faisal cukup senang mendengarnya, merasa masa- masa persembunyiannya akan berakhir. Sedikit kekhawatiran tentang gembong narkoba masih bercokol, seperti apa yang ku pikirkan. Kak Faisal pun juga ikut tegang menanti kabar dari papa Alvin.

Hampir setiap kali aku bertemu kak Faisal sesudahnya aku membawa banyak barang persediaan, entah makanan ataupun keperluan lain yang di sediakan oleh papa Alvin, tak lupa juga subsidi biaya hidup kakak. Ku juga tidak lupa memberitahukan perkembangan papa Alvin mengurus gembong musuh Faisal. Kak Faisal pun seperti mendapat semangat baru ketika kakak mendengar usaha papa ikut membantu mengatasi gembong narkoba. Perlahan kak Faisal pun mulai sayang terhadap sosok papa Alvin.

Kurang lebih satu minggu kemudian papa mendapat kabar dari koneksinya di kepolisian. Aku bertemu dengan papa di kantornya satu sore.

"Ada kabar apa pah?"
"Papah dapet kabar dari kepolisian bahwa otak dari gembong sudah mati tertembak dalam operasi berantas narkoba dua tahun lalu, dan sisa anggota di jebloskan ke dalam penjara kurang lebih ada empat orang, dan bagusnya kak Faisal tidak ada kaitan apa- apa dalam insiden itu, itu yang bikin papah lega. Tapi papah pun masih kuatir ama sisa anggota yang masih ada di penjara. Mereka bisa saja mencari kak Faisal kemudian hari. Tapi mereka akan dalam intaian polisi kalo pun lepas."
"Sukurlah pah, paling gak otaknya udah gak ada lagi. Kak Faisal udah bisa lebih lega."
"Tinggal identitas baru. Itu gampang. Papah punya kenalan yang bisa bantu, pokoknya tinggal terima beres aja. Nanti bilangin ama Faisal."
"Iyah pah, besok aja Rio kesananya."
"Papah sekalian aja ikut kamu, ada yang mau papah bicarakan juga ama Faisal."
"Apa pah?"
"Papah juga mau dia lanjutkan studinya dan... Kembali ke keluarga kita."

Aku tertegun.

"Kak Faisal orangnya kadang keras kepala. Itu ku gak berani jamin."
"Kita bicara baek- baek aja, papah cukup percaya dia mau ngerti. Toh dia juga gak menikmati toh hidup kayak gini."
"Semoga yah pah."
"Papah yakin setiap niat baik pasti akan dirambut baik pula."
"Pah... Makasih yah, papah sudah terlalu banyak bantu kami." aku memeluk papah erat sekali.

Papah membalas pelukanku.

"Selama itu bisa papah lakukan, akan papah lakukan."

Wajah papah yang tampan tersenyum ke arahku.

Malam keesokan harinya, aku dan papah dalam perjalanan kontrakan. Aku berusaha mengingat jalan ke kontrakan kak Faisal.

"Jauh amat ini tempatnya..." sahut papa Alvin.
"Iyah pah, aku lagi ingat- ingat ini jalannya. Pah kayaknya itu di depan belok ke kiri deh."
"Iyah, kita harus cari tempat yang lebih beradab..."
"HAHAHA papah... Betul kan kataku..."
"Iyah."

Setelah melewati tiga belokkan, akhirnya kami sampai di satu tempat kontrakan yang terletak jauh sekali dari pinggiran kota. Terlihat dua rumah yang sudah kosong, satu bekas warung yang sudah hampir bobrok. Papa Alvin menghela nafas. Ku melihat papa dengan rasa haru. Kak Faisal bukan anak kandung, tapi tetap beliau rela memberi pertolongan dan kasih sayang.

Kami turun dari mobil, masing- masing dari kami membawa kantung belanjaan yang cukup besar. Kami berjalan menuju pintu dan mengetuk. Tak sampai satu menit kak Faisal membuka pintu.

"Oom, Adek..." kak Faisal sedikit tegang ketika melihat kami berdua.
"Jangan takut kak, tak ada yang tahu kok."
"Masuk, maaf seadanya yah keadaannya." jawab kakak berusaha sopan.

Beberapa saat setelah sunyi melanda papa Alvin membuka pembicaraan.

"Faisal, oom datang ke sini memang ada beberapa gak yang mau dibicarakan..."
"... Pertama, oom sudah dapat info dari kenalan baik di kepolisian, kalo otak gembong mafia narkoba, musuh kamu, dua tahun lalu mati tertembak bersama asistennya yang pegang peranan penting. Yang tersisa adalah anggota baru yang belum lama bergabung, kemungkinannya kecil mereka mengenal kamu... Kamu sudah bisa bebas..."

Aku melihat raut wajah kak Faisal perlahan menjadi cerah, seperti semua beban hidup yang mengimpitnya terangkat.

"Sukur alhamdulillah... Akhirnya aku bisa bebas hidup lagi. Oom, makasih yah untuk semua bantuan kepada Faisal."
"Oom senang bisa bantu. Satu lagi Faisal..."

Kak Faisal menatap kearah papa.

"... Oom punya kenalan yang bisa bantu urus identitas baru kamu, karena secara legal kamu dianggap wafat. Pake identitas kamu yang baru, kamu bisa hidup jadi warga sah..."

Kak Faisal tambah gembira mendengar penuturan papa.

"Wah bener Oom?"
"Iyah, itu sudah kami pikirkan. Itu keinginan Rio juga yang ingin lanjut kuliah bareng kamu."

Kak Faisal menatap kearah ku,

"Makasih yah dek... Kakak sangat bersukur punya kalian sebagai keluarga."
"Karena kamu masih belum cukup umur untuk punya kartu kk, oom mungkin bisa ajukan kamu..."

Semua terdiam.

"... Ikut kk oom aja, jadi oom bisa jadi wali sah kamu."

Kak Faisal terdiam dan terlihat kaget. Mulutnya menganga. Aku sudah takut kakak tidak suka ide itu dan membuat papa tersinggung.

"Benar oom?"
"Itu pun kalo kamu bersedia." papa menjawab dengan tenang.

Kak Faisal menundukkan kepalanya, lalu berkata dengan suara lembut,

"Punya ayah seperti oom adalah hal yang indah. Makasih Oom bersedia menolong aku sebanyak ini."

Aku lega bukan main, kak Faisal menerima tawaran ini.

"Oom..."

Kak Faisal terdiam, lalu mengangkat wajahnya dan menatap papa Alvin dengan tatapan damai,

"Papah..."

Aku kaget bukan main. Aku tahu sifat kak Faisal yang keras dan gengsi tinggi bertahun- tahun lampau ketika aku baru pindah ke Palembang. Aku cukup menderita di tahun- tahun pertama. Kali ini aku melihat kak Faisal yang berbeda. Papa Alvin tersentuh, lalu bergeser ke arah kak Faisal dan mereka saling memeluk satu sama lainnya.

"Aku merasa seperti lahir baru. Aku akan sangat berbahagia menjadi anak adopsi papa Alvin... Sebagai kakak Rio."

Kata kak Faisal seperti pelukan hangat yang ku rasakan. Paling tidak, aku mendapat kembali kasih sayang kak Faisal. Lebih dari itu tak aku pikirkan saat ini. Aku ingin membenahi hidupku yang bertahun- tahun berantakan dari musibah satu ke musibah lainnya.

"Nanti Oom cariin tempat kos yang lebih layak yah. Kamu tetap bisa bersembunyi selama kamu perlu. Aku cariin daerah yang lebih bagus tapi tetap agak ke luar kota."

"Boleh, pah, tapi Isal belum siap ketemu mama. Tunggu waktu yang tepat yah."
"Iyah, itu kamu yang bisa atur. Satu persatu kita benahi, nanti juga selesai."

Aku trenyuh, kakak memakai nama kecilnya di hadapan papa Alvin, artinya sudah terbangun kepercayaan. Selama dua jam kami mengobrol ringan setelah jiwa kami terangkat berkat cerita bahagia ini. Jam sebelas malam papa Alvin pulang dengan aku menginap di tempat kakak. Malam hari ketika tidur aku sudah mulai bisa membiasakan diri tentang berpelukan atau saling memegang tangan. Aku sudah tidak mempertanyakan lagi soal hetero- atau homoseksual ketika kami saling berbicara dengan bahasa kasih sayang.

Beberapa minggu berjalan. Setiap dua hingga tiga kali dalam satu minggu aku menginap. Satu malam ketika aku diantar papa Alvin ke tempat kakak, kami mendengar di kamar kakak ada satu suara lagi. Kami sempat bingung siapa. Namun aku sudah mengenal suara kak Fairuz. Benar, ketika kak Faisal membuka pintu, kak Fairuz berdiri menyambut kami.

"Halo Oom Alvin, Rio, lama gak ketemu yah." sapa kak Fairuz dengan ramah kepada kami.
"Malem Fairuz, gimana kabar istri ama anaknya?"
"Mereka baik, Faisal kecil udah tambah nakal... Mirip bapanya tuh..." kak Fairuz tersenyum mengarah ke kak Faisal yang tersenyum menahan malu.
"Halo Rio, gimana nih kabarnya?"
"Baek kak, Rio udah lebih bahagia, ditemeni kak Isal."

Aku merangkul kak Fairuz yang sudah lama tak ku lihat.

"Sukurlah kamu sudah mendapatkan kembali apa yang hilang."

Kak Fairuz sudah tahu cerita semuanya, jadi dia pun sama berterima kasih kepada papa Alvin. Suasana malam itu sungguh hangat. Kami mengobrol macam- macam, dari situasi di Bangka, rencana kak Faisal untuk meneruskan studi bersamaan dengan aku, identitas baru dan nama baru. Setelah menimbang kakak memilih nama Ferry, karena huruf awalan F yang sama. Malam itu aku baru bisa melihat kemiripan mereka. Wajah kak Fairuz lebih dewasa, jambang dan kumis lebih lebat, sementara kak Faisal lebih senang jambangnya di pangkas pendek dan tanpa kumis. Kumisnya selama ini hanya untuk supaya tidak mudah dikenali saja. Postur mereka sekarang sama tinggi, hanya kak Fairuz lebih langsing. Dia pun sangat mendukung kak Faisal ikut kk papa Alvin, setelah melihat semua pertolongan papa. Kak Fairuz pun berkata ini hanya soal legalitas dan hubungan darah tidak akan putus. Silaturahmi akan tetap terjalin. Namun aku sedih, aku malam itu tak bisa menginap. Kak Fairuz menginap selama tiga hari. Selama itu aku pun sering mengunjungi kak Faisal, juga melepas rindu kepada kak Fairuz.

Tiga minggu setelahnya, papa Alvin menemukan tempat kontrakan rumah yang lebih bagus, lagi- lagi dari kenalan bisnisnya. Terletak sama jauhnya dari kota. Rumah kontrakan berupa rumah berukuran 6 x 12m, sangat cukup untuk satu orang. Dua hari sesudahnya, kami, dibantu oleh kak Rizal pindahan. Barang kak Faisal memang tidak banyak, jadi kami lebih sekedar menemani kak Faisal. Juga untuk itu papa Alvin memberikan ponsel dengan nomor baru. Jadi hanya kami yang punya nomor ini dan kami sudah tahu nomor ini tak akan kami sebarkan. Tempatnya memang lebih asri, jauh dari kota, melewati daerah kosong. Di sekitarnya hanya ada sekelompok kecil perumahan dengan dua warung. Jarak ke mini market agak jauh. Kondisi rumah relatif baru, dan bersih, sangat nyaman. Ada dua kamar tidur, dan sudah diberi perabot yang cukup oleh papa.

Saya sungguh menikmati rumah kontrakan baru kakak. Kadang kak Rizal atau papa mengantarku kesana, dan selalu menginap. Secara tak langsung kami pun membiasakan diri hidup berdua. Aku hampir setiap kali disana pasti memasak untuk kakak. Kakak senang sekali dengan masakanku. Beberapa bulan kemudian, papa pun rampung mengurus identitas baru kak Faisal dengan mana Ferry. Ketika kami membicarakan rencana kuliah, kak Faisal belum siap untuk keluar kandang, memberitahukan eksistensinya kepada mama Mega. Jadilah kami masih menunggu kak Faisal untuk siap, itu sudah kesepakatan kami.

Satu hari, emak bilang padaku bahwa ia tidak betah tinggal di Palembang, karena tidak biasa menganggur. Apalagi dengan mbak Isah yang sedang akan merintis usaha café, meneruskan kueh emak, beliau mendapat semangat lagi untuk bekerja. Mama Mega memaklumi hal itu dan juga mengerti, ia pun bingung ingin berbuat sesuatu supaya tidak cepat pikun. Bersamaan dengan itu aku mendapat sms dari Erwan. Sudah lebih dari satu tahun aku putus kontak darinya, ketika aku sudah benar- benar jenuh dan muak dengan situasiku yang bertambah kacau.

'halo rio, pa kabar?'
'halo wan, lama bgt gak ada kabar. Gimana kabar lu? Ngapain aja?'
'gua baek aja, tinggal ama papa Alvin di palembang. Msh nganggur, blm lanjut studi. Gimana kabar lu '
'gua ud memutuskan utk married ama Anna'

Aku tertegun. Setelah semua yang terjadi, Erwan dan Anna masih sanggup berrekonsiliasi, dan akhirnya menempuhi hidup baru.

'selamat yah, gua bahagia untuk kalian'
'rio, km yakin kamu rela?'
'wan, aku ingin kamu bahagia'
'kebahagiaan gua cuma ama lu...'

Aku menahan nafas, aku tidak mengharapkan jawaban ini. Sebesar apapun cinta aku kepadanya, aku tahu, dalam hati kecilku, aku tidak akan bisa bersatu dengannya. Terlalu banyak pengorbanan untuk kebahagiaan yang belum jelas.

'wan, gua harap ini semua sudah bisa kita lewatkan. Gua bener ingin lu berbahagia dengan jalan hidup yang diterima masyarakat.'
'rio, gua tetap mencintai lu. Walau status gua akan jadi suami, ayah, gua tidak pernah bisa melupakan apa yang gua rasa kepada lu.'

Mataku berair. Aku tahu, cintaku kepada Erwan tidak pernah bisa pudar. Aku tahu apa yang Erwan perjuangkan untukku, menentang pernikahan, Anna dan keluarganya. Itu bukan sekedar bicara kosong. Erwan telah membuktikan cintanya, berjuang melawan semua halangan. Aku merasa bersalah telah meninggalkannya sendiri. Disinilah... Pada titik ini, aku hampir saja menyerah. Aku hampir saja bunuh diri. Dadaku sesak, nafasku berat.

MENGAPA AKU TAK PERNAH BISA MENCICIPI SEDIKIT SAJA BAHAGIA? APA YANG SALAH DENGAN AKU?

Aku menangis tersedu sedan. Aku sudah tidak kuat. Ryan, kak Faisal dulu, sekarang Erwan. Hanya satu hal yang belum lepas dariku... Nyawaku...

'wan, gua sadar, kita masih saling mencintai. Tapi... Maaf... Kita tidak bisa bersatu...'
'KENAPA RIO? GUA UDAH BERKORBAN SEGALANYA.'

Susah payah aku menahan isak tangisku.

'gua gak mau lu merusak hiduplu karena mencintai seorang gay yang cuma apes aja hidupnya'
'GUA TETAP MENCINTAI LU RIO! Walau gua nikah pun...'
'erwan, move on lah, biar kita simpan cinta kita dalam satu tempat aman'
'demi lu, gua sanggup, walau perih'
'wan, aku tetap menyayangi kamu sekalipun kita gak bersatu'
'... Rio, jangan pernah lupa aku tetap mencintai kamu, sekalipun badanku bersatu ama Anna'

Aku luluh lantah menjawab semua sms Erwan. Aku seperti membuka kembali luka lama.

'kapan resepsimya?'
'3 minggu lagi. Gua kirim undangannya yah'
'oke, pasti gua datang'

Dua hari berikutnya, larut undangan pun datang. Aku gembira, Erwan bisa merengkuh kebahagiaannya sendiri. Hanya pengakuannya di sms itu yang membuatku berat untuk pulang ke Bangka. Aku takut disana aku tak mampu melepas Erwan, belum lagi ketakutanku bertemu Ryan. Perasaanku berkecamuk. Sorenya, aku seperti biasa menginap di rumah kakak.

"Sayang yah, kakak gak bisa ikut temani kamu. Kakak tahu kamu pasti ingin kakak bisa ikut."

Aku tak langsung menjawab. Aku tertunduk, dalam hati aku mengiyakan.

"Kakak masih hidup dan ada bernafas di hadapan Rio, itu artinya segalanya kak."

Kak Faisal merapatkan tubuhnya kepadaku, merangkul pundakku.

"Kamu jangan sedih yah dek, kita kan lagi menata hidup kita lagi. Kita saling menguatkan satu sama lainnya aja."

Aku balas memeluk kak Faisal, membenamkan wajahku di dadanya. Kak Faisal membelai rambutku. Sungguh aku merasa damai dalam dekapannya.

Mama Mega sibuk membelikan segudang oleh- oleh untuk emak dan keluarganya. Hubungan mama dan emak sudah terjalin kembali. Aku pun bersukur mempunyai dua sosok ibu. Sifat mama sudah banyak melunak, tidak lagi terlalu mengatur.

Dua minggu kemudian, aku pun sudah berada di Bangka. Emak ikut aku untuk pindah dan bertemu dengan mbak Isah mengobati kangenku. Enak seperti biasa, tak bisa menganggur menikmati hidupnya, sejak suami Isah mampu mengangkat ekonomi keluarga. Isah pun tak mau kalah, usaha kue emak di teruskan, bercita- cita membangun warung kopi lengkap dengan penganan manis kue liar emak, menambah kemapanan keluarga. Aku tidak bisa lebih bahagia melihat kehidupan emak sekeluarga tambah makmur. Doa ku terkabul juga. Resepsi nikah Erwan masih dua hari lagi. Emak renang melihatku. Bersama emak dan membahagiakan emak sudah menceg cita- citaku. Emak bilang aku terlihat lebih senang. Di saat aku berdua dengan emak, aku ceritakan segalanya. Emak pun terkaget- kaget mendengar cerita kak Faisal. Satu kalimat dari emak yang mengejutkanku.

"Hubungan kamu dan Faisal adalah hubungan yang tidak biasa. Jalan jodoh kalian masih panjang, semua peristiwa mengarah kesitu."

Aku bingung mengartikan kalimat itu. Aku tanya emak apa maksudnya, emak hanya tersenyum diam.

"Suatu hari nanti kamu akan mengerti."

Esoknya, aku memberanikan diri untuk menghubungi Erwan.

'wan, aku ud sampe bangka kemaren. Ku ada di rumah emak, nanti siang ku mampir.'

Tak lama aku menunggu, sms balasan pun sampai.

'aku sekarang mampir tempatmu.'

Selang setengah jam kemudian, dia datang. Sulit untuk melupakan sosoknya, kebaikannya, pengorbanannya. Aku semakin tidak mengerti pilihanku meninggalkannya. Pandangan mata kami bertemu. Aku membaca pancaran cinta masih menyala untukku. Semakin bingung aku memikirkan aku telah menyakitinya.

"Baru datang kemarin?"
"Iyah, sore. Selamat yah pernikahannya."
"Rio, makasih yah udah datang."

Kami berpelukan melepas rindu. Aku ajak Erwan ke kamarku supaya lebih leluasa berbicara, setelah beberapa saat mengobrol dengan emak. Dalam kamarku, aku bingung, semua kata- kata yang ku rangkai hilang seketika. Kami saling menatap satu sama lainnya ditengah kesunyian.

"Wan, maafkan aku yah, aku telah menyakiti kamu." aku memberanikan diri memecah kesunyian.

"Sesakit apapun aku, aku tetap cinta kamu."
"Wan, aku berharap kamu hidup bahagia dengan Anna yah."
"Rio, apapun nanti hidupku, aku akan selalu menyimpan cinta ini."

Erwan mengangkat kedua tangannya, menempel pada pundakku. Dari situ telapak tangannya bergeser ke pipiku. Dia mengarahkan wajahku hingga aku menatapnya langsung ke matanya. Aku membaca kejujuran yang sangat bening. Aku melihat cinta yang tulus yang sudah ia buktikan. Ia sudah berjuang untuk cinta kita yang semu.

Aku menangis.

Menangisi takdir kita. Menangisi cinta kita yang telah lewat.

Erwan mendekatkan wajahnya kepadaku. Awalnya aku merasa risih karena ia sudah menetapkan dirinya menjadi seorang hetero, namun aku membiarkan semuanya terjadi. Erwan berhak mendapatkan yang terindah dariku. Kalau saat itu ia ingin mendapatkannya, akan ku berikan segalanya yang ada padaku. Bibirnya menyentuhku. Aku membiarkan diriku hanyut dalam ciumannya. Aku biarkan diriku larut dalam cintanya. Aku biarkan cintaku bersinar terang benderang, sebelum aku harus merekalannya padam, seperti supernova. Pagi itu, adalah kala terakhir kita menghayati sisa cinta kita. Sesudah kami melepas kebahagiaan itu melesat, kami berdua menangis.

"Rio, jangan lupa ama cinta aku yah."
"Erwan, jadilah suami dan ayah yang baik. Jangan kamu cari lelaki lain."

Setelah kami membersihkan sisa keringat dan lendir dengan kaos ku untuk ku cuci nanti, kami berbaring berdua, menikmati momen terakhir kami menjadi kekasih. Hingga jam makan siang kami hanya berbaring dan saling memeluk.

Dua hari setelahnya, aku menghadiri pesta resepsi Erwan dan Anna. Aku menebalkan kulit mukaku. Aku hanya datang sebentar, sekedar memberi salam kepada mempelai dan berbasa- basi dengan orang tua kedua mempelai. Sukurlah, mereka tidak mengungkit- ungkit masalah tahun kemarin. Erwan pun mengerti kalau aku tidak nyaman berlama- lama. Benar seperti apa yang ku takutkan, Ryan hadir, duduk sendiri. Aku kaget melihatnya. Ekspresi wajahnya kosong, seperti orang ling lung. Aku memberanikan diri untuk menyapanya.

"Halo Ryan, apa kabar?" sapaku hati- hati.

Ryan untuk sesaat tidak menjawab, duduk tertunduk. Aku mulai merasa tidak nyaman. Dia menoleh kepadaku. Aku terkejut melihat raut wajahnya yang kosong tanpa ekspresi.
Aku merasa kasihan atas nasibnya, namun aku juga sadar apa yang telah ia perbuat, menteror kehidupanku, merusak hubunganku dengan Erwan.

"Rio..." katanya singkat dengan lambat, seolah bingung.

Ia menatapku seperti teringat sesuatu. Pandangan matanya kosong. Aku tak nyaman ditatap seperti itu. Ia menggenggam tanganku, mendekapkannya pada dadanya dan ia menundukkan kepalanya seperti berdoa sambil ia tetap menggenggam tanganku dan larut dalam dunianya. Kalau saja dia tidak pernah melukaiku dan mencelakaiku aku tak pernah akan meninggalkan dirinya.  sudah mulai tambah tidak nyaman. Ryan yang diam setelahnya membuatku bingung.

"Ryan, aku akan tetap sayang kamu, hanya kita sudah tidak lagi mungkin bersama. Semoga kamu bisa mendapatkan kebahagiaan satu hari nanti."

Dia tidak menjawab. Pelan- pelan aku menarik tanganku dan memutuskan untuk pamit pulang dan memenangkan diri. Aku sudah tidak sabar untuk pulang balik ke Palembang.

Malamnya, aku mendapat sms dari Erwan.

'jangan pulang dulu, aku masih kangen kamu. Besok aku ke rumah kamu'
'oke. Aku masih bisa stay 3 hr lagi'

Pagi jam delapan, Erwan tiba di rumahku. Setelah mengobrol sebentar dengan emak, dia masuk ke dalam kamarku.

"Wan, kemarin Ryan datang sendiri. Mamahnya kemana?"

Erwan tak langsung menjawab. Dia menghela nafas.

"Wan, ada apa ama dia?"

Lalu ia bercerita,

"Waktu lu pergi, dia udah masuk ke RSJ. Namanya stress hebat karena gak tahan nanggung malu. Jadi namanya sakit. Tiga bulan sesudahnya mamahnya meninggal. Sekarang dia sebatang kara. Entah gimana, dia masih sanggup ngurusin dirinya sampai saat ini. Dia lebih sering di rumah sendiri. Dia memang hancur setelah lu tinggalin."

Aku menangis mendengar ceritanya. Sedikit aku merasa bersalah kepadanya.

"Mungkin aku bersalah udah meninggalkannya."
"Dia pun bersalah sudah mencelakai kami semua, mengadu domba kita."
"Iyah, aku sadar itu. Tapi aku tetap tidak tega untuk membenci dia."
"Jangan membenci dia, cukup menjaga jarak saja. Kita tolong dia disaat dia perlu pertolongan. Aku tidak dendam ama dia, cuma tidak mau terlibat terlalu jauh sama dia."

Aku menatap Erwan. Dia sekarang sudah menjadi suami. Dia tidak lagi bisa ku sentuh. Perasaan renang dan sedih bercampur jadi satu. Kita berdua menjadi risi satu sama lainnya. Niatku untuk memeluk dan menginginkan dipeluk olehnya sudah sirna. Sama juga dengannya. Dia pun tidak berbuat lebih lagi. Kita berdua duduk di atas ranjang. Karena kita sama- sama bingung, kita hanya saling memegang tangan. Tak ada kata- kata yang terucap. Kita sekarang sudah menjadi teman. Aku tahu dia tak rela melepasku, seperti aku yang tak rela dia menjadi hetero... Seorang Erwan yang telah berjuang demi cinta kita saat itu. Tak lama kami pun memutuskan tidur karena sama- sama mengantuk. Pun kita tidak melakukan apa- apa, hanya saling berpelukan. Siangnya kami baru pergi jalan ke restoran yang terletak agak di luar kota. Hingga sore kami menikmati waktu dan kebersamaan kami.

Malamnya, aku mendapat sms dari Ryan. Aku bingung membaca nya, karena kata yang dirangkai lebih mirip seseorang yang masih waras. Begini kata- katanya...

'rio, aku harap di kesempatan lain, kehidupan lain kita bisa bersama. Aku sudah hancur tanpa dirimu. Biarkan aku pamit. Semoga berbahagia. Maaf salah aku semua.'

Lama aku merenung apa maksud sms ini. Tapi hatiku sangat tersentuh. Ryan adalah cinta pertamaku. Dia adalah orang pertama yang menghormatiku waktu aku miskin sekali. Tetap saja aku tak sanggup membenci Ryan.  
Hingga jam 12 malam aku nyaris tak dapat tidur memikirkan sms Ryan. Akhirnya aku memutuskan untuk menyusul ke rumah Ryan karena sedari aku menerima smsnya hatiku sudah gelisah sendiri. Aku menggunakan motor mbak Isah untuk ke rumah Ryan. Kebetulan emak sedang keluar kamar hendak minum air.

"Mak, aku mau nyusul ke rumah Ryan yah, perasaanku gak enak nih dari Isya."
"Rio, ngapain ngurus dia, sejak kejadian itu emak sudah sungkan ama dia."
"Kasian mak, dia sendiri, juga tadi dia kirim sms aneh banget."
"Ya udah, kamu jaga diri kamu yah."

Perasaanku makin tidak keruan. Aku mulai berfikir ini bisa saja semacam firasat. Sesampainya ku di rumah Ryan, aku melihat rumahnya yang bertambah kumuh, lampu teras yang redup menyala tidak cukup membuat suasana depan rumah terang. Dari dalam ku nyaris tak bisa melihat apa- apa. Aku membuka pagar rumah, melongok ke dalam rumah, nyaris tak terlihat apapun. Aku sudah gelisah karena gugup oleh rasa cemasku.

"Ryan... Buka dong pintunya?" aku memanggil.

Lama tak ada jawaban. Aku sudah tambah gelisah. Aku ingat- ingat lupa Ryan selalu menyimpan kunci rumah di bawah salah satu pot tanaman. Aku mencari- cari kunci itu, dan tak ku sangka masih ada. Aku pun leluasa membuka pintu rumah. Aku melihat cahaya yang sangat redup, keadaan rumahnya sangat tak terurus. Bau apek menyeruak hidungku. Aku menyusuri tangga ke atas, ke kamar Ryan. Aku tertegun melihatnya sedang berbaring di atas ranjang. Aku pikir ia sedang tidur. Aku mendekatinya dan menyentuh tangannya. Ku heran, tubuhnya sama sekali tidak bereaksi apapun. Aku perhatikan ia bernafas pendek- pendek. Aku kaget. Aku melihat satu botol obat yang aku tidak tahu apa itu dan botol minuman yang ku curigai tuak. Betul saja, pas aku cium, bau alkohol menyengat hidungku. Aku mengerti dalam kepanikanku, ia menelan pil tidur dengan tuak. Seluruh tubuhku serasa tersengat listrik.

"RYAN! Jangan bunuh diri. Bangun... Bangun..."

Aku berteriak panik. Ia masih bisa membuka matanya, namun hidupnya sudah mulai berpamit dari jasadnya. Pandangan mata yang sudah nyaris padam.

"Rio... Maaf..." hanya itu yang keluar dari mulutnya.

Aku mulai menangis.

"Ryan, jangan dulu, jangan ... Jangaaaannn." tangisku sudah nyaris pecah.

Ryan berusaha menatapku untuk yang terakhir kalinya. Satu pandangan terakhir dia, penuh cinta, penuh penyesalan.

"RYAN... Kenapa?"

Mulutnya terbuka, namun sudah tak ada kata yang keluar. Aku terus menatap kearah matanya yang makin kosong, tatapan yang semakin menjauh...

Aku pun tak sadar, aku masih menatap Ryan yang saat itu baru saja menjadi jasad, sambil matanya masih menatapku...

Tak ada lagi cinta,
Tak ada lagi nyawa,
Tak ada lagi kehidupan,
Tak ada lagi sisa dari seseorang yang pernah merajut cinta denganmu.

Ku menatap mata dari sesosok jasad yang ada di pangkuanku. Ryan pulang berpamit di dekapanku. Aku baru saja menghantar mantan kekasihku pulang ke Rahmatullah...

Aku mencium bibirnya untuk yang terakhir kalinya. Masih ada sisa kehangatan dari mantan seorang Ryan. Aku membelai rambutnya. Aku memeluknya. Pelukan terakhir dariku.

Selamat jalan Ryan, sahabatku, kekasihku...
Semoga kau mendapat kebahagiaan di mana pun kau berada...

Aku menelpon Erwan. Tak sampai dua puluh menit ia sudah sampai. Ia tertegun. Tangis ku terhenti, beku sehabis melepas satu nyawa...

Aku memandikan jasadnya, aku nikmati setiap belaian, sapuan sabun dan guyuran air di badannya. Untuk yang terakhir kalinya aku masih bisa menyentuh Ryan sebelum berpisah untuk selama- lamanya. Erwan dan emak membantu dalam proses ini. Aku mengurus jasadnya hingga ke pusara. Paginya, jasad Ryan sudah bersatu di alam kubur dengan upacara sederhana dihadiri emak, Erwan dan beberapa teman dan beberapa tetangga dekatnya. Satu batu nisan sederhana ku letakkan sendiri. Dia telah mencelakaiku. Tapi dia adalah cinta pertamaku...

FIRST LOVE NEVER DIES...

Pulang ke Palembang keesokan harinya, aku masih terguncang. Aku kehilangan Erwan yang sudah menjalani hidup baru, aku menghantar kepergian Ryan untuk selama- lamanya. Di titik ini aku merasa hidupku berakhir. Sepanjang perjalanan aku berusaha untuk tidak menangis. Aku berusaha berpikir masih ada kak Faisal, emak, papa Alvin, mama mega, saudara papa yang sangat mengasihi aku. Sesampainya ku di Palembang, papa Alvin menjemputku. Ketika aku menatap mata papa yang penuh kasih, pertahananju pun jebol. Papa Alvin heran melihatku dengan emosi tumpah ruah berjalan dan langsung memeluk tubuh gempal papa dan menangis. Aku tak sanggup berkata apapun selain memeluk papa Alvin. Papa mengira aku sedih karena aku kehilangan Erwan yang menikah, memelukku terheran- heran.

"Udah Rio, nangis aja, tapi di mobil yah, yuk kita jalan dulu." sahut papa Alvin dengan lembut.

Kami berjalan ke mobil. Di dalam mobil aku sedikit mampu menahan emosiku.

"Kamu mau bicara di sini ato di rumah?"
"Di rumah aja yah pah, lebih santai." jawabku dengan suara tercekat.

Di rumah, aku menceritakan semuanya. Papa terdiam beberapa saat, seperti menahan rasa sedih. Aku memeluk papa, sangat membutuhkan rasa kasih sayang. Papa memelukku.

"Maafkan papa yah, Rio, hidup kamu banyak lika liku nya. Papa merasa bersalah telah meninggalkanmu."
"Rio tahu, itu bukan salah papa, cuma kenapa nasib Rio kok kayak gini banget..."
"Sabar yah Rio. Kamu masih punya papa, mama mega, emak, kak Isal, sepupu kamu. Kamu udah gak sendiri lagi yah."

Kalimat yang papa ucapkan sangat menguatkanku untuk lanjut. Ryan sudah lama menjadi masa lalu.

"Rio, dari kemaren kak Isal udah nanyain kamu. Kamu mau nginep ama dia malem ini?"
"Kalo papa gak keberatan..."

Papa tersenyum.

"Papa seneng banget punya dua anak sekarang. Kenapa papa harus protes?"

Aku masih bisa tersenyum di sela- rela tangisku. Sore itu kami tidak melakukan apapun. Papa menelpon kantor sesaat mengatur segala sesuatu dan memesan makanan resto sederhana. Sejak beberapa saat papa mulai makan vegetarian. Aku pun tidak kesulitan dengan pola makan papa. Sepanjang sore kami duduk di pekarangan belakang samping kolam renang. Minum kopi dan menikmati kue. Baru selepas magrib aku diantar papa ke tempat kakak. Kak Faisal sudah tidak sabar menunggu kedatangan kami sejak aku sms kakak sore sebelumnya.

Sesampainya di tempat kakak, ku merasakan melihat Ryan pada sosok kak Faisal.

"Malem papa, Rio, udah pulang nih dari Bangkanya."

Aku hanya mengangguk, lalu memeluk kakak. Kak Faisal heran melihat gelagatku, sambil memelukku. Di rumah, kami bertiga, aku belum bercerita banyak. Papa Alvin mampu mengangkat suasana yang sendu. Kak Faisal sudah makan malam, jadi kami bertiga menikmati kopi, hanya papa yang minum teh. Hingga jam 10 malam papa menikmati kebersamaan kami, lalu papa pulang karena besok harus kerja.

Baru setelah kami berdua, aku ceritakan semuanya, sedetail- detailnya. Kak Faisal pun tak mampu menahan sedihnya ketika aku ceritakan betapa aku dengan kedua tanganku aku memandikan jasad Ryan. Aku pun menangis tersedu- sedu. Masih jelas ku rasakan belaianku pada kulit Ryan ketika memandikan jasadnya. Mentalku pun jatuh. Kak Faisal tak mampu berkata apapun, hanya memelukku.

"Kak... Jangan tinggalkan Rio lagi..."

"Rio gak sanggup lagi kehilangan lagi. Jangan kak... Jangan kak... Kaaaak... Jangaaaaaann..."

Racauku berulang- ulang di sela- rela tangisku.

"Udah... Kakak udah disini ama kamu. Kamu gak akan pernah lagi kehilangan kakak." jawab kak Faisal menahan tangisnya.

Kakak memelukku terus, berusaha memberikan perlindungan dan cinta kasih. Benar kata papa, walau kehilangan Ryan, aku masih mempunyai orang- orang di sekelilingku yang mencintaiku. Dengan kekuatan ini aku pun perlahan bangkit. Sepedih apapun itu, aku telah berpamitan dengan cinta pertamaku. Ryan akan selalu ada dan hidup dalam hatiku, sebagai kenangan manis...
"... Every might in my dream,
I see you, I feel you,
That is how I Know you go on..."

Malamnya, aku bermimpi...

Aku menjajakan jajanan kue emak, hanya anehnya, sekeliling kampung tak ada satu pun orang terlihat. Aku bingung sendiri. Aku langsung melangkah ke rumah Ryan. Sesampainya di rumahnya, ku lihat rumahnya bercat putih bersih, mengkilap kemilau. Ryan sebagai anak umur dua belas tahun menungguku dipagar. Senyum tersungging terlihat tampan sekali.

"Halo Ryan, ini kue buat kamu." sapaku dengan suara bocah.
"Hehehe... Makasih yah, lumayan buat bekal perjalanan panjang aku nih."

Aku tak menanyakan apa maksudnya, berfikir ku sudah tahu maksud perkataannya.

"Rio, doain aku yah, supaya aku dapat pengampunan dari Allah."
"Iyah Ryan, akan aku doain kamu untuk selamanya."
"Sampai Allah mengampuni aku aja, nanti ku kasih tandanya." jawab Ryan sambil memakan lahap semua kue yang ku bawa.

"Rio, aku pamit yah, ku masih ada azab yang harus ku tanggung. Banyak- banyak doa yah untuk pengampunanku."
"Iyah Ryan, akan ku lakukan."
"Kamu baek- baek yah, ada kak Faisal yang akan menjagamu yah. Bye..."

Saat yang bersamaan, Ryan sudah menghabiskan semua kue yang ku bawa. Dia mencium bibirku, lalu masuk ke dalam rumah. Setelah ia menutup pintu rumahnya, kabut tebal turun dari langit menutup semua rumahnya. Aku masih berdiri di sana, tak mampu melihat apapun. Setelah kabut itu hilang menipis, di atas tanah itu tak terlihat lagi rumah Ryan. Aku tak mengerti, mengapa sepertinya aku maklum dengan fenomena itu. Aku berjalan masuk ke area itu, dan melihat satu makam, dan tertera nama Ryan. Aku mulai berjongkok dan melantunkan doa...

... Aku bangun dari tidurku. Aku melihat ke ponselku... Jam tiga dini hari. Aku duduk di samping ranjang, berusaha mengumpulkan semua kesadaranku. Aku berjalan keluar dari kamar tidur, ke ruang tamu. Satu lampu yang menyala dari dapur memerangi seluruh rumah dengan sinarnya yang temaram. Aku menangis. Sebuah perpisahan yang indah dari Ryan.
Aku merenung sendiri di ruang tamu. Aku masih bergelut antara kesedihan dan hal- hal yang indah yang masih aku miliki. Betul kata orang- orang, kita akan lebih akan mengingat hal indah dan kebaikan seseorang yang meninggal, dan melupakan segala hal yang buruk. Entah berapa lama aku duduk, aku mendengar suara langkah seseorang, kak Faisal.

"Dek, kamu gak apa- apa?" kak Faisal duduk di sebelahku dan merangkulku.
"Aku tadi mimpi tentang Ryan."
"Oh yah? Ceritain deh."

Aku menceritakan mimpiku.

"Dek, wajar kalo kamu sedih. Kakak ngerti itu. Cuma kamu jangan lupa kalo banyak orang yang sayang ama kamu, kakak kan sayang sama kamu kan." jawab kak Faisal.

Semenjak sholat subuh hari itu, aku selalu melantunkan doa untuk Ryan.

Hidupku pun berlanjut. Beberapa waktu berlalu. Aku mulai rindu untuk meneruskan studiku, begitu suka dengan kakak. Kakak mengalami sendiri betapa susah dan miris nasibnya tanpa mengantongi ijazah universitas, sulit mencari kerja, apalagi dengan status tak jelas.

Satu hari, papa mengantarku ke tempat kakak dengan membawa satu map.

"Apa itu pah?" tanyaku.
"Nanti deh di tempat kakak kamu akan liat." jawab papa tersenyum penuh arti.
"Dih papa, maen rahasia aja."
"Udah, bentar lagi juga tahu toh. Yuk jalan."

Di tempat kak Faisal, papa baru menunjukkan isi map itu. Sebuah KTP dan paspor untuk kak Faisal.

"Faisal, ini semua surat identitas sudah jadi, lengkap dari akta kelahiran atas nama aku dan mama Mega, ktp dan paspor baru kamu, atas nama Ferry. Tinggal ijazah sekolah dan surat transfer mata kuliah yang akan alot urusinnya."

Wajah kak Faisal langsung bersinar, mengetahui kakak sudah menjadi penduduk sah dan mempunyai identitas yang jelas.

"Papah..." sahut kak Faisal.

Aku melongo, masih kaget dengan panggilan itu.

"... Makasih untuk semua pertolongan papah. Isal bersukur menjadi anak papah."

Kak Faisal memeluk papa erat sekali.

"Papa juga bersukur punya kamu."

Hanya saja, hingga kapanpun kami tetap kesulitan memanggil kakak dengan nama Ferry. Di luar sana aku harus memaksakan diriku memanggil kakak dengan nama itu.

"Pah, Isal janji, nanti kalo sudah siap, pasti akan lanjut studi lagi. Isal gak mau buang- buang waktu seperti dulu lagi."
"Itu nanti papa urus. Lega satu urusan beres."

Mereka saling menatap. Hari itu kak Faisal resmi menjadi bagian dari keluarga papa Alvin. Tinggal mama yang harus kami beritahu.

Hubunganku dengan Koko pun tetap terjaga. Denngan status baru aku sebagai anak sah papa Alvin dan mama Mega, Koko dan mamanya merasa aku jadi bagian dari keluarganya. Aku sesekali dijiemput koko untuk menginap dan tetap dimanja. Dengan kasih sayang mama Koko, aku serasa mempunyai tiga sosok ibu. Benar nasihat orang tua, ketabahan membawa kebahagiaan.

Kehidupan mama Mega sudah lebih tenang. Hari- hari berjalan sambil mama menikmati waktunya sendiri bersama putri kesayangannya di rumah asrinya. Mama membuka usaha kue kering dan mulai di pasarkan ke tetangga sekitar. Mama bilang sekalian mendapat penghasilan tambahan dan daripada menganggur. Aku pun sering mampir ke rumah mama, menginap sesekali, walau lebih sering di tempat kak Faisal. Hubungan mama Mega dan papa Alvin mulai terjalin kembali. Sekarang, tak ada yang menghalangi mereka, sehingga mereka pun bertambah akrab. Emak di Bangka ku beri tahu kabar ini, juga heran dan bersukur, kata emak, senang melihat keluarga berkumpul menjadi satu. Kak Faisal pun memantau semuanya dari ceritaku. Ketika ku tanya kak Faisal tentang siap tidaknya muncul kembali, kakak bilang masih belum waktunya, tapi kakak sudah siap kalau saatnya tepat. Sementara itu, papa Alvin mulai sering mendatangi kediaman mama Mega, terkadang seharian di akhir minggu. Buatku, kedekatan mama dan papa sudah wajar, dan mereka toh berhak bahagia. Aku terus mendukung mereka untuk dekat, kalaupun mereka tidak menikah, mereka bisa saling menjaga satu sama lain.

Tak ku duga, ada cerita mengejutkan datang dari mama dan papa setelah sekitar delapan bukan mereka akrab satu sama lain. Mereka berniat menikah kembali. Aku dan kakak senang dan mendukung mereka bersatu. Mama Mega lega aku mendukungnya. Emak sudah seperti mengetahui mama dan papa akan bersatu, sudah tidak heran lagi. Kak Faisal secara tidak terduga bilang siap menunjukkan eksistensinya kehadapan mama. Aku pun mengatur strategi sambil gugup membayangkan apa yang mungkin terjadi.

"Mah, Rio punya hadiah untuk perkawinan mamah."
"Udah, hadiah apaan pula, yang penting kamu ikut dukung mama ama papa aja sudah cukup."
"Mah, ini hadiah spesial udah Rio siapin buat mama khusus loh."
"Ya udah, apa sih?" mama jadi pemasaran.
"Besok yah."
"Ya udah, mama tunggu yah." jawab mama tersenyum.

Malamnya, aku kembali menginap di tempat kakak dan sekalian bicara dengan kakak tentang pertemuan kembali dengan mama. Sesampainya di tempat kakak, aku kaget melihat kakak sudah memangkas rambutnya rapih sekali. Satu tahun lewat kakak tinggal bersama kami membuat kulit kusamnya kembali memutih, nyaris seputih dulu. Dengan rambut cepak, wajah kakak terlihat amat sangat tampan, menyihir hingga 
ke hatiku. Aku tak sadar menatap lama sekali, menikmati ketampanan kakakku.

"Apaan sih kamu? Kayak baru kenal aja." kakak risi ditatap seperti itu.
"Sori kak, kakak tampan banget malam ini." jawabku sambil tetap menatap ke wajah kakak.
"Ah kamu ini, besok- besok kamu bosan liat kakak pula. Tak usah kamu pelototin lama- lama."
"Kak, sampai kapanpun aku akan selalu terpesona liat kakak. Di mataku kakak adalah lelaki idamanku yang paling sempurna."

DEG...

Mukaku memerah menahan malu. Aku baru sadar telah salah ucap.

"Maaf kak... Rio salah ucap." aku buru- buru menundukkan kepalaku menahan malu.

Kak Faisal tak terlihat marah. Kakak tersenyum manis kearahku. Kedua tangan kakak menyentuh pipiku. Aku pikir kakak akan menamparku karena telah lancang. Kakak mengelus pipiku. Aku beranikan diriku menatap ke arah kakak yang menatapku dengan pandangan yang tak biasa. Ku melihat tatapan mata yang terlalu mesra untuk kakak adik. Aku sendiri pun masih sadar, kakak sudah pernah menghamili Anita, aku masih bersikeras berpendapat kak Faisal heteroseksual. Namun saat itu aku tak mungkin salah. Itu adalah tatapan untuk seseorang yang ia cintai. Apa artinya?

"Dek, kamu masih tetap mencintai kakak?"

Seperti kehilangan kata- kata, aku menundukkan kepalaku. Akhirnya aku beranikan diriku untuk berterus terang.

"Iyah kak, Rio... Tetap cinta kakak."
"Adek mau tahu apa yang kakak rasakan ama kamu?"

Dalam hatiku aku menjerit: TOLONG BILANG KAKAK CINTA AKU...

"Rio terima kok kalo kakak straight." jawabku pelan.

Kak Faisal tak menjawab. Ia masih tersenyum kepadaku. Dulu, senyuman kakak lebih berarti kakak sedang akan menjebakku dan mencelakaiku. Namun kali ini...

Bibir kak Faisal bertemu dengan bibirku. Jantungku berdegup kencang, tanganku kaku. Ku masih tidak percaya kakak akan menciumku. Kak Faisal bermain- main dan berpagut- pagutan dengan bibirku, lalu membuka bibirnya lebih lebar lagi hingga melingkupi seluruh mulutku. Aku yakin seyakin- yakinnya, ini bukan ciuman kasih sayang antara kakak dan adik. Yang membuatku makin gugup, lidah kak Faisal masuk kedalam mulutku dan kedua tangan kakak memegang kepalaku dan menahan wajahku untuk kakak ciumi, bahkan membuat bibirku menempel makin rapat. Lidah kak Faisal bermain- main dengan lidahku, lalu menyapu seluruh rongga mulutku dan kak Faisal melakukannya sungguh mahir dan terasa nyaman sekali kala melakukannya.

APAKAH KAK FAISAL GAY?

Aku tidak terlalu tahu berapa lama kak Faisal menciumku, namun aku tahu kak Faisal tak mungkin straight kalau nyaman menciumku bermenit- menit. Dengan kecupan yang begitu mesra, kak Faisal menyudahi ciumannya, lalu menatapku dengan bibir setengah terbuka dan mata nanar menatapku. Kakiku bergetar melihat bibir seksinya, begitu gagah... Begitu jantan.

YA TUHAN... KAK FAISAL BEGITU TAMPAN BERWIBAWA.

"Kak... Kakak..."
"Iyah dek, kakak MENCINTAI KAMU."

Aku merasakan seluruh tubuhku berdengung. Kepalaku menghangat. Aku jelas sekali tak mampu menjawab. Aku bengong menatap kak Faisal...

"Kakak sudah lama kepincut kamu, lalu entah kapan kakak berubah mencintai adek."
"Kak..."
"Ya dek..." jawab kak Faisal begitu mesra menggetarkan kalbu.
"Boleh Rio peluk kakak?"

Kak Faisal tersenyum.

"Adek bisa memeluk kakak sampai kapanpun. Kalau adek mau, kita akan saling mencintai sebagai pasangan."

Air mataku menetes... Bahagia...

"Iyah kak, Rio sangat mencintai kakak. Rio ingin memiliki kakak..."
"Milikilah kakak... Kakak berjanji, akan memberikan diri kakak seutuhnya untuk kamu, dan kamu akan menjadi cinta kakak."

Semua penderitaanku, air mataku, jalan hidupku yang berliku... Bermuara kepada seorang kakak angkat yang bernama Faisal yang mencintaiku, menyerahkan dirinya untuk aku miliki, aku cintai. Aku akhirnya melihat seberkas cahaya di ujung terowongan gelap yang panjang. Di ujungnya kak Faisal yang menyambutku.

Itulah kali pertama aku dan kakak berciuman...

Sepanjang malam, kami saling memeluk. Aku tidak konsentrasi menikmati tayangan tv, kerap menatap ke arah kakak. Lucunya, kak Faisal pun sama. Alhasil, kami kerap beradu pandang dan saling tersenyum. Saat tidur, aku gugup sendiri. Aku akan tidur di sebelah kak Faisal yang baru saja menjadi kekasihku. Ac ruangan sudah dinyalakan, namun kak Faisal tidak memakai kaus, hanya celana pendek longgar duduk di ranjang, menyambutku yang baru selesai sikat gigi. Aku dengan gugup berjalan kearah ranjang sambil menatap kak Faisal. Tubuhnya sudah lebih padat berisi dari pertama kami bertemu, membuat aku tambah salah tingkah. Ada perasaan "DEG" sewaktu lututku menempel pada tubuh kakak. Aku nekad memberanikan diri membelai tangan kakak. Jantungku berdegup kencang.

"Kenapa gugup dek?" tanya kakak dengan suara lembut.
"Gak tahu kak." cuma itu yang mampu ku jawab sambil terus menatap kakak.

Kakak menyambut tanganku, menempelkannya pada pipinya, lalu mencium telapak tanganku. Kakak pun memandu tubuhku dan membaringkannya. Kak Faisal bertumpu pada kedua tangannya yang mengapit tubuhku berada tepat diatas tubuhku. Entah apa yang menyambar otakku, aku tak henti- hentinya terpukau.

"Dek... Tidur yuk."

Malam itu aku tidur dengan kak Faisal pertama kali sebagai kekasih.  
Aku dibangunkan oleh alarm di ponselku menjelang sholat subuh. Sambil mengucek mataku, aku memperhatikan kak Faisal yang tidur di sebelahku berbaring terlentang. Kakak pun menggeliat bangun, sudah terbiasa sholat berjamaah. Sesudah sholat subuh, kami berbaring kembali. Rencananya, menjelang makan siang kami berangkat ke tempat mama, sementara papa sudah tiba terlebih dahulu. Kakak berbaring hanya mengenakan celana pendek, sementara aku memakai kaos dan celana santai. Aku mengelus perut kakak dengan tangan kananku sambil aku berguling ke kiri, ke arah kakak. Kak Faisal mengelus tanganku, menatapku. Aku pun nekad menindih tubuh kakak dan menempatkan kedua tanganku mengapit kepala kakak. Kakak memegang dadaku dengan kedua tangannya.

"Masih aneh yah terasanya yah?" tanya kakak.
"Iyah kak, kayak mimpi."
"Gak kok, ini kenyataan."

Kami pagi itu tidak berbuat lebih dari memeluk. Kami berdua sama- sama gugup menanti pertemuan antara mama dan kakak. Papa yang akan menjemput kami jam sembilan nanti.

Jam sembilan lewat, papa pun datang menjemput kami. Aku pun sudah gugup membayangkan reaksi mama melihat kak Faisal muncul kembali setelah yakin meninggal. Kak Faisal terlihat lebih tegang, sedari tadi duduk tidak tenang seperti kena ambeien.

"Dek, mama bakal marah gak yah?" kakak bertanya dengan suara lembut.
"Gak mungkin lah kak. Mamah sangat kehilangan kakak. Tiap kali liat foto keluarga matanya sampe basah. Mama pasti akan sangat bahagia liat kakak."
"Tenang Faisal, papa tahu banget mama sangat kehilangan kamu."

Papa mendengar pembicaraan kami memenangkan kakak. Perjalanan ke rumah mama memang tidak singkat. Berada di ujung lain kota Palembang memerlukan waktu. Sekitar empat puluh menit, mobil papa pun memasuki kompleks rumah mama.

"Kita udah masuk kompleks mama." gumanku.

Ku melihat kak Faisal tambah tegang. Kakak duduk tegak dan tangannya menggenggam tanganku. Ku rasakan tangan kakak dingin dan sedikit gemetar. Amat sangat jarang kakak takut. Terakhir kakak takut ketika menghadapi sidang keluarga yang memulai perjalanan ini.

Mobil papa berhenti di depan rumah mamah. Wajah kak Faisal sudah sangat tegang mendekati takut.

"Kakak gak usah takut, ada Rio ama Papa."
"Faisal, kamu sudah siap?"

Kakak memejamkan mata, menarik nafas panjang lalu menjawab,

"Ya... Isal siap..."

Kakak Faisal terlihat tegang, namun sudah tak ada kata mundur. Memang tak bisa di bantah, kakak meninggalkan mama dengan luka batin yang mendalam, hingga perceraian mama dan papa Harlan.

Papa Alvin membuka pintu dengan kunci yang papa pegang.

'hm... Sudah pegang kunci toh' pikirku.

Pas aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah, barulah aku ikut gugup. Drama apa lagi yang akan terjadi... Semua adegan sinetron terbayang di kepalaku, dari adegan tangis hingga perang bintang...

"Mah... Lagi dimana?" papa memanggil.
"Pah... Rio... Bentar... Siapin sarapan.

Kak Faisal sudah sangat tegang, terlihat nyaris ketakutan.

"Udah kak, percaya Rio. Mama masih sa..."

"PRANG...."

Kami semua menoleh kearah dapur, melihat mama berdiri dengan mata melotot kearah kakak, piring berisi sayur nangka tumpah berserakan di lantai.

"FAISAL..." Mama berguman sambil memegang pipinya, tak sadar sayuran yang ia jatuhkan.

"Mama... Ini Isal... Masih hidup."

Kak Faisal berjalan mendekati mamah dari pinggir menhindari sayuran yang tumpah. Mamah seperti orang linglung meraba, memegang tangan kakak. Mama Mamah melotot ke arah kakak, sama sekali tidak terlihat marah.

"Isal masih hidup..."
"Iyah nah, ini beneran Isal."

Tatkala aku melihat tangan mama mengelus pipi kakak, aku sudah tak mampu membendung air mataku. Mama mengelus elus seluruh wajah kak Faisal. Wajah mama sudah bersimbah air mata, begitu pula dengan kakak. Merasa cinta kasih mama Mega yang tidak surut, menyentuh hati kakak. Sekeras apapun sifat kakak, kakak akhirnya luluh lantah terharu biru merasakan kasih sayang mama Mega, sekalipun tak ada hubungan darah.

Aku memeluk papa Alvin. Papa pun ikut larut dalam suasana haru. Kami berdua kaget mendengar mama menangis kencang sekali. Mama berulang ulang memanggil nama kak Faisal dengan nama kecil, memeluk kakak kencang sekali, begitu pula dengan kakak.

Aku dengan papa sibuk membersihkan lantai, sambil mengepel lantai. Mama dan kakak ku lihat duduk di ruang makan, sambil mama tetap memegang tangan kakak.

"Isal... Kenapa kamu tinggalin mama?" tanya mama di sela- sela tangisnya.
"Mah, maafin Isal yah, Isal sudah banyak buat masalah."
"Mamah udah maafin kamu. Yang penting kamu masih hidup. Masa lalu tidak perlu di ungkit lagi."

Ini pun hal baru. Mamah dulu selalu mengingat semua kesalahan seseorang dan selalu menyerang dengan alasan ini. Itu yang sempat membuat hubungan mama dan emak memanas. Aku lega mama sudah melepas semua beban masa lalu tentang kakak.

Sarapan pagi menjelang siang itu ditemani masakan seadanya, berkat sayur nangka yang tumpah. Masih tersisa ayam gulai dan telur. Namun tetap terasa lengkap untukku, ada mama, papa dan kak Faisal. Aku tidak putus- putusnya bersukur atas apa yang Allah karuniakan setelah penderitaan hidupku bertubi- tubi. Sepanjang siang, kami berempat bersantai- santai di rumah mama. Mama duduk bersebelahan dengan kakak, terus menerus memeluk kakak. Karena kita masih kenyang pada jam makan siang, kami hanya menyiapkan minuman dingin. Malamnya aku dan kakak menginap di rumah mama, sementara papa pulang.

Pernikahan papa dan mama dilakukan sederhana. Tak ada resepsi, hanya mengundang emak dan sekeluarga yang menginap di rumah papa. Pihak keluarga papa Harlan tidak diundang. Mama Mega terlanjur dimusuhi oleh tante Laras yang mati- matian membenci mama Mega  Aku menemani emak selama ada di Palembang. Emak yang hanya aku kasih tahu tentang hubunganku dengan kakak Faisal. Emak terlihat mengerti. Kak Faisal tinggal beberapa hari dengan papa dan mama. Hubungan kak Faisal dengan papa cepat terjalin. Walau kakak masih ada merasa canggung, mama menghadapi kakak dengan cinta kasihnya. Sifat mama pun jauh melunak yang membuat kakak bisa kembali akrab. Walau pahit semua musibah yang dialami kami semua, namun sang Khalik mengubahnya menjadi berkah yang indah, berbuah manis pada waktunya. Beberapa waktu sesudahnya, papa resmi membawa kk yang berisikan nama:

Alvin Hosea Silalahi
Megasari Silalahi
Ferry Faisal Silalahi
Rio Septa Silalahi
Wenny Savitri Silalahi

Ketika aku membaca nama kakak, tak sadar mataku membasah.

"Kenapa Rio?" tanya mama.
"Itu mah, kak Faisal resmi jadi kakak Rio."
"Iyah, satu berkah yang terindah untuk hidup mamah. Kita berkumpul sebagai keluarga utuh."

Hari itu kami merayakannya dengan masakan mama yang terkenal lezat.

Mulai hari itu, mama ikut papa ke kediamannya, kakak dan aku sering menginap di tempat papa. Tiap kali kakak menginap, mama mencekoki kakak dengan masakan bertumpuk, ala gunung Krakatau, nasi sepiring penuh, dua potong ayam atau rendang potongan besar pula.Postur tubuh kaka pun kembali gempal berisi. Kakak dimanja seperti dahulu, namun kakak sekarang sudah dewasa dan sikapnya membuat mama kaget. Barulah kami bisa resmi melanjutkan studi kami.

Tak lama kemudian aku mendapat kabar lewat Odie, papa Harlan masuk rumah sakit kena serangan jantung. Mama jelas tak mungkin menjenguk, mengingat reputasinya yang sudah rusak, sehingga lebih memilih mengirim bouquet bunga. Tante Laras nyaris membuangnya, namun justru papa Harlan yang meminta agar dipajang dekat ranjangnya. Walau semua usaha untuk menyembuhkan papa Harlan, namun sang Khalik berkehendak lain. Papa Harlan wafat satu bulan setelah dirawat. Lagi- lagi kami dilarang hadir, namun kami sekeluarga mengunjungi makamnya beberapa hari sesudahnya. Kak Faisal merasa terpukul, tak sempat melihat papa Harlan, terseret situasi permusuhan. Adapun Odie akhirnya sesudahnya mengaku gay dan sengaja studi di Australia untuk mendapatkan permanent residence dan bisa hidup bebas dari tekanan keluarga, terutama mamanya. Peristiwa oom Sebastian membuatnya sangat menjaga jarak dengan keluarganya. Odie pun tahu bahwa aku sudah berpacaran dengan kakak.

Kak Fairuz pindah ke Palembang bersama mama Lani ke rumah papa Harlan. Kak Faisal karena telah dinyatakan wafat, tidak mendapat hak waris. Namun mama Lani dan kak Fairuz sepakat menghibahkan 40% dari warisan papa Harlan dalam bentuk deposito, sangat amat cukup untuk hidup mewah. Namun setelah berunding, aset itu akan di gunakan untuk memutar bisnis satu hari nanti, tadi tidak di gunakan. Kakak sekarang sudah ditanggung penuh oleh papa Alvin.

Pas saat pendaftaran untuk kuliah, berkas data kuliahku relatif mudah diurus. Namun dengan status unik kakak, opsi sementara yang terlihat adalah mengulangi dari awal. Disini aku dan kakak melihat kegigihan papa mengurus semuanya, hingga transkrip nilai bisa di pindahkan kepada nama kakak yang baru, sehingga hanya harus menyusun skripsi. Kami pada umur diatas dua puluhan, berdua diantara mahasiswa yang lebih muda, berjuang untuk gelar Sarjana S1. Kuliah kakak selesai satu tahun kemudian, dan kakak sudah mantap meneruskan ke S2. Aku sendiri masih ada empat semester. Aku pun tak kalah. Mengejar semua mata kuliah satu semester lebih awal. Aku pun ikut mengikuti kakak, studi hingga S2. Selama kurang lebih empat tahun kami masuk ke dalam dunia perkuliahan.

"RIO..." aku kaget menengar suara yang ku kenal menyapaku.
"HAH... Oom Sebastian..." jawabku kaget.

Oom Sebastian terlihat tambah berotot gempal, dengan kumis tipis yang membuatnya tambah macho.

"Rio... Kamu ngapain?"
"Aku lanjutin kuliah. Ini udah mau wisuda, bentar lagi mau lanjut."
"Baguslah."
"Oom lagi ngapain?"
"Lagi cari udara segar aja. Rio, kita bisa bicara di cafe?"

Awalnya aku sungkan, hanya kali ini aku menyanggupinya. Kami pun masuk ke mall dan menemukan tempat yang cukup nyaman untuk mengobrol di food court.

"Oom... Apa masih ama mbak Ratna?"
"Masih Rio, oom gak sampai hati meninggalkan mereka. Cuma..."
"Cuma apa oom?"
"Oom punya hubungan ama bawahan oom namanya Bagaskara, juga kayak kita."

Aku asalnya ingin protes, namun melihat kehidupan yang ku jalani bersama kakak, aku akhirnya mengerti arti dari kebahagiaan hakiki.

"Asal mbak Ratna gak protes ato tersakiti aja."
"Sampai kayak gini ini bener berliku- liku kisahnya."
"Kalo oom mau ceritakan, Rio akan jadi pendengar baik."
"Waktu oom balik setelah kedua kali oom susul kamu, oom kena sidang keluarga. Oom di hujat habis- habisan. Di cap bejat dan apapun semua kata yang tak kayak oom ceritakan."
"Oom waktu itu berusaha untuk kembali ke kehidupan yang 'bermartabat' . Delapan bulan setelah itu oom mulai lebih sering murung. Oom sendiri gak tahu kenapa. Oom sudah sulit berhubungan ama mbak Ratna udah gak bernafsu karena stress, cari cowok lain gak bisa karena gerak- gerik oom di batasi sekali, terutama ama tante Laras."

"Oh ya... Aku sampai sekarang pun gak pernah suka ama tante Laras."

"Sampai satu kali, melewati satu tahun, oom sudah gak kuat lagi, selama empat hari oom mengurung diri di kamar, gak makan, gak minum. Oom sudah sangat putus asa. Oom akhirnya kena depresi."

Aku merasa kasihan dengan kisah oom Sebastian.

"Oom akhirnya di rawat di rumah sakit, lalu oom di bawa ke psikolog. Disitu akhirnya oom bener- bener bisa cerita semuanya. Dokter ahlinya bener sangat mau mengerti keadaan kaum kita. Hanya hasilnya cukup menjatuhkan oom..."

"Kenapa oom?"

"Keluarga besar akhirnya tahu, oom itu 80% gay..."

"... Entah itu berkah atau musibah, keluarga akhirnya bisa terima, selama kebutuhan mbak Ratna tetap oom biayain dan jaga perkawinan kita. Itu yang membuat nama oom masih lumayan terselamatkan. Oom ama mbak Ratna belakangan akhirnya sepakat, kalo mbak akan cerai baik- baik kalo dapat pengganti oom yang bisa menjadi suami dan ayah. Sampai saat itu, oom masih menghidupi mbak dan anak."

Aku mulai menaruh simpati atas penderitaan Oom.

"Entah dari mana ceritanya, temen curhat Oom dari kesatuan sama, duda, istri dan anaknya meninggal waktu kecelakaan Ferry waktu nyusul dia ke Kalimantan, lagi main ke rumah dan ngobrol banyak. Dia pun depresi karena kehilangan keluarganya. Begitu mereka berkenalan, mbak dan teman oom sepertinya ada saling suka. Mbak baru bilang tiga bulan lalu. Teman oom juga entah gimana seperti tertarik ama mbak."

"Oom, apa rencana oom tidak terdengar..."

"Gila? Iyah betul... Tapi... Daripada mbak tambah menderita, oom depresi terus... Entahlah, apa ini jalan Tuhan atau kesalahan Oom... Cuma yang diatas yang tahu."

"Oom bahagia ama oom Bagas?"

"Iyah, kami mulai dekat waktu kami di kesatuan yang sama. Dia masih belum coming out waktu itu. Karena kami berdua gay, kami akhirnya mencoba menjalin hubungan. Kami awalnya banyak bertengkar karena pengaruh depresi oom dan sifat kami sama- sama keras. Tapi dia tipe setia dan tahan banting. Dia rela bertahan demi oom yang waktu itu menduakan dia. Rencananya, setelah mbak cerai ama oom dan nikah ama temen oom, kita akan merantau ke Jakarta, dan keluar dari kesatuan sebelum dikeluarkan dengan tidak hormat karena skandal."

Aku sudah mulai bisa berdamai dengan masa laluku dengan Oom Sebastian. Aku memang tidak setuju dengan rencananya, tapi siapakah aku yang menentukan benar buat salah. Aku juga menjalani kehidupan yang persis sama salahnya.

"Oom, apapun nantinya, Rio mendukung oom ama oom Bagas. Rio senang jadi teman oom dan oom Bagas."

"Makasih yah Rio, oom seperti mendapat teman berbagi dan support... Apalagi dari kamu yang pernah oom cintai, disaat orang lain cuma bisa menjatuhkan kita dengan mudahnya."

"Mereka punya mata, tetapi tak mau melihat,

Mereka punya telinga, tetapi tak mau mendengar,

Mereka punya hati, tetapi tak mau merasakan..."

Kami berbincang- bincang selama empat puluh menit, hingga oom Bagas muncul. Oom Bagas tidak sekekar oom Sebastian, dengan paras wajah yang terlihat masih muda dan tak kalah gantengnya, terlihat baik dan jujur. Kami berkenalan dan mengobrol sebentar dan mudah akrab. Itu bukan kali terakhir aku mendengar dari oom. Ketika aku ceritakan semua kisah oom, kak Faisal pun cukup takjub mendengar kisah hidup oom.

Menurut cerita oom sesudahnya, oom akhirnya resmi bercerai dari mbak Ratna, mbak Ratna pun menikah dengan teman Oom, pindah ke Lampung, oom Sebastian di buang keluarga papa Harlan, terutama tante Laras karena dianggap aib.
Satu hari, aku mendapat sms dari oom Sebastian,

'oom ud urus semua, beberapa hr lg merantau ke jakarta. Bisa ketemu?'
'boleh. Kapan?'
'nanti sore?'
'oke, pas pulang kuliah jam 5'
'oke'

Aku menghubungi kakak bahwa aku akan bertemu dengan oom, dan kakak pun ingin bertemu dan menyambung tali silaturahmi.

Di salah satu restoran di mall, kami berempat bertemu. Untuk kakak ini pertama kalinya bertemu dengan oom setelah bertahun- tahun. Oom belum tahu tentang eksistensi kakak sebagai Ferry. Kami langsung di rambut oleh oom Sebastian dan oom Bahas. Oom Sebastian menatap kakak terkejut dan mata melongo tak percaya.

"Fa... Faisal..."
"Iyah oom, ini Isal."
"Kamu masih hidup?"
"Iyah oom, semua cuma cover up aja waktu itu."

Kakak menceritakan secara ringkas kisahnya. Oom mendengar semua cerita dengan takjub. Suasana bincang kami mulai santai setelahnya.

"Oom mau pamit ama kalian. Dua hari lagi kami akan merantau."
"Oom apa udah dapat pekerjaan baru?" tanya kakak.
"Udah. Oom dapet koneksi di Jakarta, jadi oom ama Bagas langsung direkrut jadi bodyguard. Bisnisnya lagi kenceng. Mereka lagi butuh banyak personil baru."
"Wah, Rio seneng dengernya. Jadi gak nganggur."
"Iyah, juga uang pensiun dari sana kan gak banyak."
"Tenang oom, nanti Isal bantu."
"Makasih Sal. Oh ya Rio, ada salam dari Odie."
"Oh... Odie anaknya tante Laras?"
"Iyah, ini nomor nya di Aussie."
"Oh, studi di sana?"

Oom mendiktekan nomor Odie, sementara aku mencatatnya. Kami masih berbincang- bimbang setengah jam lamanya, baru kami pun berpisah. Ada sedikit rasa sedih, namun tali silaturahmi kami sudah terjalin, sehingga kami pun tetap bisa saling menghubungi. Kakak pun mulai akrab dengan oom setelah oom merantau.

Oom hidup bahagia dengan oom Bagas. Setelah beberapa tahun ikut kerja menjadi bodyguard, mereka pun mengelola bisnis body guard berdua yang lumayan sukses Jakarta berkat dukungan mantan bosnya, yang kemudian merambah ke cafe khusus gay beberapa tahun sesudah mereka menabung. Walau jauh di Jakarta, oom sering berkontak denganku lewat jejaring sosial, bercerita kalau kehidupan gay di sana jauh lebih ramah, dan oom jadi rebutan setiap orang disana. Oom pun akhirnya tahu hubunganku dengak kak Faisal dan sama- sama mengerti. Kak Faisal pun mulai lebih dekat dengan Oom lewat gaya hidup kita. Aku bahagia untuk Oom Sebastian dan pacarnya, oom Bagas.

Lewat akun Facebook kami kembali akrab dengan Odie. Odie pun mengaku biseks kepada kami. Rencana tinggal di Aussie itu untuk menhindari ibunya dan tekanan menikah. Odie pun mengikuti jalan derita oom dan tahu betul sifat ibunya yang tega membuang kerabat yang dianggap aib.

Papa dan mama tiba- tiba mendapat kesempatan bisnis pertambangan di Kalimantan. Mereka pun pindah ke sana dengan Wenny. Mama pun perlahan tahu tentang hubungan spesial kami. Mamah kali ini memilih untuk tidak mencampuri apapun tentang kami dan membiarkan kami berdua mengartikan sendiri apa itu kebahagiaan. Itu adalah hal baru yang patut kami syukuri. Kami memilih untuk bertahan di Palembang karena aku masih studi dan prospek karir kakak yang cukup bagus setelah kakak lulus. Kami menempati rumah papa berdua yang membuat kami kerepotan menjaga dan merawat rumah papa yang terbilang mewah dan terlalu besar. Untuk alasan praktis, kolam renang kami ubah jadi gazebo, menjadi taman belakang yang luas.

Aku mendapat panggilan kerja dari perusahaan Jepang di Bangka langsung setelah mendapatkan gelar S2 lewat kakak angkatan. Kak Faisal sudah lebih dahulu bekerja di Palembang selama empat tahun menunggu kelulusanku. Ku ajak berunding ketika aku mendapatkan posisi di Bangka. Kakak tidak mempermasalahkan ketika harus pindah kerja ikut aku. Ketika aku mendapatkan panggilan dari perusahaan Jepang yang beroperasi di Bangka, aku sedikit menggunakan unsur nepotisme. Kakak kelas yang memasukkanku, ku mintai tolong untuk mencarikan lowongan kerja untuk kakak. Aku sangat bersukur,  dengan jeda dua bulan setelah aku mulai bekerja, kakak menyusul pindah kerja di tempat sama. Karena marga kami sama, kami ditempatkan di divisi yang berdeda. Selain istirahat siang, kami tidak mungkin berkomunikasi, bahkan lewat ponselpun dilarang, satu disiplin ala Jepang yang lama kelamaan menjadi kebiasaanku. Sore setelahnya, baru kami menikmati waktu kami berdua...

2012

Satu tahun sejak kami bekerja di perusahaan Jepang, lima tahun sejak kami mendeklarasikan cinta kami...

Hari Sabtu pagi, aku masih enggan bangun. Malam sebelumnya kami bersama merayakan pesta dengan segenap jajaran petinggi merayakan hari jadi perusahaan dan keuntungan diatas target. Ekspatriat Jepang menyuguhkan segala minuman dan makanan, dari Sake , bir, kopi dan soft drink lainnya hingga makanan khas Jepang. Saya dan kakak hanya menikmati minuman non alkohol dan berbagai makanan. Kakak sudah tidak minum alkohol sejak peristiwa itu. Makanan Jepang yang melimpah, membuat kami semua malas berjalan pulang melewati tengah malam. Aku bangun dengan perut begah kekenyangan berkat asupan gizi kemarin malam. Aku mengucek mataku. Baru kali ini aku melewati sholat subuh, karena pulang jam satu dini hari. Kak Faisal masih tidur terlentang, seperti kebiasaannya, hanya mengenakan celana boxer pendek dan longgar, mengekspose bagian erotisnya.

Aku bangun dari ranjang disambut cipus, kucing peliharaan kami yang kami rawat dari kecil. Kami temukan dia berumur satu bulan sendirian di tepi jalan raya. Aku berjalan ke wc diikuti kucing. Aku berjalan ke dapur menyiapkan sarapan pagi untuk kucing, berupa nasi dan sisa sayur kemarin yang aku panaskan. Cipus makan dengan lahap.

Aku sesudahnya kembali ke kamar tidur. Kakak masih belum bangun. Aku berbaring menyamping ke arah kak Faisal, mengelus dada hingga ke perut dengan halus. Setiap centi aku resapi gesekan kulit kami. Aku memang berubah sedikit lebih romantis sejak pertemuan kembali. Turun ke pinggang aku memeluk kakak, membuat kakak bangun. Kakak membuka matanya.

"Udah bangun dek?"
"Belon lama, tadi habis kasih makan cipus."

Kakak menggeliat masih mengantuk, lalu menarik tubuhku ke atas tubuhnya. Aku menindih tubuhnya. Aku mencium kakak tepat di bibir.

"Masih mau tidur nih?" tanyaku
"Tidurin kamu sih kakak mau banget." jawab kakak bercanda.
"Mau dong..." aku menjawab dengan manja.

Kakak menggeliat, lalu memutar tubuhku hingg aku berada di bawah kakak. Lalu kakak menciumku. Aku tidak memperdulikan bau mulut kakak yang baru saja tersadarkan dari tidurnya. Buatku yang pernah kehilangan kakak, itu adalah sesuatu yang sangat berharga.

"Bentar yah, kakak ke wc dulu."

Kakak berjalan ke wc. Tak sampai tiga menit, kakak sudah kembali berbaring memeluk dan menindih tubuhku. Kedua tangannya, melingkar melewati pundakku lalu memegang kepalaku dari belakang. Kami saling berkomunikasi lewat tatapan mata kami. Bermenit- menit aku nikmati menatap mata kak Faisal.

Kebiasaan kala mencium, kakak selalu bermain dengan lidahnya meliuk- liuk dengan lidahku, lalu menyapu seluruh rongga mulutku menghisap dan meniupkan udara, seolah kita bertukar nafas. Aku merasakan penyatuan yang unik.  Tangan kakak turun ke dadaku, mengapit erat- erat tubuhku. Aku sudah hafal kebiasaan kakak, dari senangnya bermanja ria di ranjang ketika bangun, apalagi setelah buang air kecil. Kami hampir selalu bermanja ria walau tak selalu berujung dengan bercinta kasih.

Setiap akhir pekan kakak selalu ingin dimanja oleh masakanku atau main ke cafe emak bahkan sore hari pada hari kerja. Cafe emak adalah hasil investasi kami, berbekal kue emak yang tetap laris dan mengekor trend dari Jakarta dibarengi kopi khas Sumatra hasil suami mbak Isah yang rajin mendatangkan kopi dari daerah unggulan.

Dua puluh menit berlangsung, kami berguling- guling menikmati ciuman kami, merasakan pertukaran jiwa kami, kedekatan kami. Sesudahnya, kami pun memulai hari yang panjang ini dengan kopi susu. Saya ke dapur menyiapkan air panas, kopi, sementara kakak menyiapkan kopi, susu kental manis. Setelah siap, kami duduk di ruang tamu, menikmati tayangan tv pagi.

Aku sudah menemukan pelabuhan hidupku. Dalam cinta kak Faisal, aku akhirnya menemukan arti hidupku. Kami merajut hidup dan cinta bersama. Pertengkaran tidak pernah luput, tapi kami tahu, kemana kami melangkah...

Kami melangkah menuju palungan cinta kami bersama...

TAMAT