Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 26

Hari ini rumahku kedatangan begitu banyak saudara. Mama begitu sibuk mempersiapkan segalanya untuk menyambut para kerabat jauh yang datang untuk membantu di pesta nanti. Kak fairuz dari tadi pagi sudah pergi entah kemana.

"rio jalan yuk.. Bete nih dirumah terus.. Mana rame lagi.!"
odie mengeluh padaku.

Aku Tertawa melihat odie yang cemberut karena kesal.

"iya rio.. Kita jalan kemana kek.. Daripada dirumah kayak cewek aja.!"
tedi ikut ikutan.

Tedi anak pak cik yudi kakak dari mama. Orangnya lebih pendek sedikit dariku. Rambutnya agak ikal tapi wajahnya lumayan tampan. Sepertinya garis keturunan dari keluarga mama tak ada yang jelek.

"oke lah kalau gitu.. Tunggu sebentar aku siapkan mobil dulu.."
aku meninggalkan odie dan tedi.

Aku juga sebetulnya lagi bosan dirumah. Berisik sekali disini, para kerabat yang telah lama tak reuni membuat keadaan dirumah ini jadi tak ubahnya dengan pasar malam.

Aku menelpon koko untuk mengajaknya ikut bersama kami, aku menyuruhnya bersiap siap. Aku megeluarkan mobil dari garasi. Odie dan tedi menunggu sambil duduk di tangga teras. Aku berhenti tepat didepan teras. Odie dan tedi berdiri lalu masuk ke dalam mobil.

"kita jemput koko dulu.."
aku memberitahu odie.

"sip lah.. Yang penting kita jalan jalan.."
jawab odie sekenanya.

"rio kita kerumah teman mu yang cewek aja ya!"
tedi berharap.

Anak satu itu memang playboy. Dari awal datang sampai sekarang selalu saja cewek yang ia bahas dengan tak bosan bosan.
Aku dan odie sudah bete dari tadi mendengar ceritanya.

"ngapain juga kerumah cewek, siang siang gini kayak nggak ada kerjaan aja!"
sungut odie terdengar bosan.

"ya ampun odie.. Bagiku tak ada hari yang membosankan kalau ada wanita.. Kan wanita itu makhluk yang indah.. Tanpa wanita dunia ini akan suram..!"
tedi bagai tak perduli dengan jawaban odie. Aku tak menanggapi apa apa, semakin aku bicara pasti tedi semakin menjadi jadi.

"sok ganteng banget!"
balas odie cemberut.

"ya ampun die.. Kok sok ganteng.. Kan emang ganteng.. Tau nggak, gini gini di kampus aku punya banyak cewek loh!"
ujar tedi narsis.

"mau muntah ni yo, kamu bawa kantong plastik nggak?"
tanya odie asal.

"buka aja jendelanya die.. Muntah diluar aja."
aku ikut asal.

"kalian berdua pasti sirik sama aku kan.. Tedi penakluk wanita.."
tedi makin pede aja.

"aduh ted, nggak level banget bersaing sama kamu, lagian wajah kamu tu nggak ada apa apanya dibanding rio.. Dua puluh persen nya aja nggak nyampe.."
odie membelaku.

"oh ya.. Masa sih.. Kok aku nggak tau ya?"
tedi nyengir menyebalkan.

"ya iyalah.. Aku kan belum buta.. Biasa lah ted kalo orang nggak pede dengan wajah malah jadi narsis.. Beda yang dari asalnya udah ganteng.. Nggak neko neko..!"
odie terdengar tak sabar.

"buktinya mana.. Rio aja nggak punya pacar sampai sekarang.. Kalau aku sudah ada buktinya, tau kan sama tyas cewek yang waktu di sma dulu anak tiga ips sekarang mengejar ngejarku loh.."
promosi tedi dengan bangga.

"iya dia mengejar ngejar kamu dengan pentungan untuk membunuhmu karena tak tahan melihat muka kamu yang bikin dia mau muntah!"
balas odie dengan tega.

"sembarangan.. Dia itu naksir sama aku tau.. Bahkan dia sempat menangis di dadaku karena aku putuskan.!"
pamer tedi sumringah.

"huh.. Menangis didadamu, apa tak salah.. Paling juga ia menangis meminta kamu tak mengganggu dia lagi."
odie makin senewen.

Aku tersenyum sendiri mendengar mereka bertengkar mulut untuk hal nggak penting kayak gitu.

"si rani masih inget nggak?"
tanya tedi lagi.

"rani babu bu sulas yang suka beli sayur sama mang jono yang tiap pagi dorong gerobak di komplek itu?"
tebak odie asal.

"enak aja..bukan rani yang itu, yang aku maksud tuh, Itu si rani finalis gadis sampul yang dapat juara tiga itu.. Masa gak tau sih.."
tedi jadi tak sabar.

"emangnya kenapa dia?"
tanya odie tak berselera seolah tau akan kemana arah pembicaraan tedi.

"nah kamu pasti tak percaya kalau ia pernah menelponku.."
mata tedi berbinar binar.

"ada keperluan apa dia telpon kamu, lagian masa sih dia mau menghabiskan pulsa hanya untuk hal hal tak berguna seperti itu!"
tikam odie tanpa perasaan.

Tapi dasar terlalu pede bukannya tersinggung malah tedi dengan bangganya melanjutkan bualannya itu.

"entah darimana dia tau nomorku, aku sih curiga dia sudah lama mengincarku, soalnya nomor ku ini kan ekslusif.. Nggak banyak yang tau, kalau sampai dia bisa mendapatkan nomorku, aku yakin ia sudah menghabiskan banyak waktu untuk itu.. Bisa jadi ia sewa detektif.."
tedi tersenyum lebar.

Odie melongo seolah tak percaya dengan kata kata yang barusan ia dengar.

"sudahlah ted.. Kamu itu lagi ngigo ya.. Sadar dong.."
ujar odie sewot.

"tuh kan aku udah yakin kamu pasti iri, tapi wajar die bukan cuma kamu saja kok yang iri karena itu, banyak kok temanku yang lain reaksinya sama kayak kamu waktu aku ceritakan..."
tedi tertawa dan memandangi odie dengan tatapan kasihan.

"rani itu kan terkenal pintar, kamu jangan fitnahin dia ted, dosa tau! Kamu kan sudah tau kalau fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan."

"untuk apa sih aku fitnah, nggak banget deh.. Aku ceritakan ini sama kalian biar kalian tu termotivasi mendengarnya, apa kalian tak merasa hampa, diumur duapuluhsatu tahun belum juga punya cewek..."
tanpa beban sedikitpun tedi mengatakannya.

"apa urusannya sama kamu kalau aku sama rio belum pacaran, toh kami juga nggak ganggu kamu.. Buat apa kamu mengurusi masalah kami?"
odie jadi berang.

"ups tunggu dulu bro.. Jangan emosi, aku kan nggak ada maksud apa apa.. Cuma kasihan aja, kalian kan lumayan cakep, apa dosa kalian sampai belum dapat cewek juga?"
tanya tedi dengan wajah bloon.

Ingin rasanya aku menarik bibir tedi biar dia bisa diam walaupun cuma satu menit. Untunglah kami sampai juga dirumah koko.

Aku bergegas turun supaya tak mendengar lagi ocehan tedi. Aku berjalan ke pintu, belum sampai aku diteras koko sudah keluar duluan.

"mau jalan kemana yo?"
tanya koko sambil menghampiriku.

"kamu ada ide?"
aku balik bertanya.

"gimana kalau kita kerumah papamu aja.."
usul koko.

Aku menggaruk kepalaku. Dulu koko pernah mengajakku kerumahnya papa dan reaksiku membuat ia dan papa kaget. Namun sekarang semua keadaan sudah berbeda. Aku dan papa kini sudah dekat. Dan aku belum pernah masuk ke dalam rumahnya itu. Aku jadi teringat kalau rumah papa begitu mewah, untuk apa dia membeli rumah sebesar itu kalau ia hanya tinggal sendirian disitu. Aku menganggukan kepala.

"oke ko, boleh juga.. Kita kerumah papaku saja."
aku berbalik ke mobil. Koko ikut masuk ke dalam duduk dibelakang bersama tedi. Kulihat tedi memperhatikan wajah koko lalu gantian memandangi aku.

"kenapa?"
tanya koko risih.

"nggak cuma heran aja, wajah kalian berdua kok mirip ya..!"
tedi menggaruk kepalanya.

Koko langsung tertawa.

"emang.. Kami kan saudara.."
jawab koko bangga.

"maksudmu?"
tedi masih belum mengerti.

"rio belum cerita ya kalau aku sama dia tuh sepupu.."
jawab koko sabar.

"yang bener yo?" tanya tedi kaget.

"iya.. Kok kaget gitu?"
aku tersenyum simpul.

"tapi kok bisa ya.., kan aku tau semua keluarga kita.. Semua susur galur dari nenek moyang kita juga aku kenal.. Tapi kenapa aku baru tau kalau aku punya sepupu dia ini?"
tedi masih belum percaya.

"ya terang aja bego.. Rio kan bukan anak kandung papanya.. Udah lah males aku jelasinnya ribet..!"
odie menjelaskan.

"iya itu aku juga tau, cuma kok rasanya aku..."

"papa kandung rio itu adiknya mama koko!"
odie memotong kata kata tedi dengan tak sabar.

Tedi langsung terdiam. Aku dan koko tersenyum melihat tedi dan odie yang jadi kayak orang berantem gitu.

"ya sudah.. Dari tadi kalian berdua berdebat terus.. Mana cuaca panas, nanti malah jadi berantem beneran loh.."
aku menengahi sambil terus konsen menyetir.

Aku memutar setir berbelok ke kiri menuju jalan kearah rumah papa. Sudah dua hari papa pulang kerumahnya karena ia merasa sudah sehat.
Waktu mama koko tau aku dan om alvin sudah berbaikan, ia sangat senang hingga menangis karena terharu.
Mama koko bersyukur aku bisa bersatu lagi dengan om alvin. Aku senang sekali bisa melihat mama koko begitu bahagia.

*************


Kami telah sampai dirumah om alvin. Aku memasuki pagar rumahnya yang tinggi terbuat dari besi berukir ukir warna emas bagai pintu istana. Odie dan tedi tercengang melihat rumah papaku yang sangat mewah.

"gila ini rumah keren banget!"
desis odie tak bisa menyembunyikan kekagumannya.

"ini rumah om alvin!"
jelasku singkat.

Odie langsung melihatku meminta kepastian.

"iya die ini rumah ayah kandungku.. Kok kamu jadi heran gitu.."
jawabku tak perduli sambil berjalan menaiki undakan tangga yang melingkar yang membawa kami ke teras rumah papa.

Aku baru kali ini melihat rumah ini waktu siang seperti saat ini. Memang betul betul rumah impian, jendelanya besar besar, tanaman yang terawat dengan rapi membuat semakin indah pekarangan yang luas ini. Koko menekan bell yang ada di pintu rumah ini. Tak berapa saat kemudian seorang pria muda membuka pintunya. Ia menunduk hormat saat melihat koko.

"om ku ada?"
tanya koko pada pria itu.

"ada lagi berenang di belakang.. Silahkan masuk.."
ia melebarkan pintu agar kami bisa masuk ke dalam.

Lalu ia mengantarkan kami menemui papa. Aku memandangi isi rumah itu dengan takjub. Memang sih kalau sekarang aku sudah agak terbiasa melihat rumah yang mewah, tak seperti dulu waktu aku baru tiba di palembang.

Jujur harus ku akui om alvin punya selera yang sangat tinggi. Tiap ruangan di rumahnya begitu menyatu dengan peralatan yang melengkapi ruangan itu. Lukisan lukisan yang berbingkai dalam ukuran berbagai macam menempel di dinding masing masing dilengkapi dengan lampu sorot kuning keemasan hingga menambah kesan artistik.

Tirai tirai dari bahan mengkilap setinggi tinggi langit langit membuat kami seolah olah sedang berada dalam ruangan istana. Rumahku jelas masih kalah dibanding rumah papa. Ternyata papa memang benar benar sukses.

"kamu itu beruntung banget rio.. Mama kamu kaya.. Papa kamu apalagi.."
odie menarik nafas dalam dalam sambil menekan ludah mengomentari apa yang ia lihat. Aku tersenyum pada odie.

"itu pak alvin lagi berenang..!" pria muda tadi menunjuk papa yang sedang berenang dengan lihainya cuma memakai celana dalam hitam di kolam renang berbentuk persegi panjang.

Kami mendekat ke kolam renang itu. Aku duduk di kursi yang ada disitu. Saat menyadari ada kami, papa langsung berenang ke tepi.

"halo.. Kok mendadak banget.. Ayo ikutan berenang.. Sejuk loh.!"
tawar papa sambil naik keluar dari kolam.

Tubuh papa begitu kekar dan padat, bagaikan tubuh yang terawat karena olahraga. Bulu bulu menyemak di sekujur dadanya turun hingga ke perut dan menghilang tertelan celana dalamnya.

"malas ah pa, dingin.. Tadi udah mandi dirumah.."
aku menolak.

"kan beda mandi di shower sama di kolam nak.. Ayo lah.!"
papa agak memaksa. Ia duduk di dekat bangku yang biasa dipakai untuk turis berjemur dibawah sinar matahari.

"aku nggak bawa celana ganti pa..!" aku mulai tertarik.

"nggak masalah.. Papa bisa suruh harto ke mall buat beli sekarang!" ujar papa sambil tertawa. Lalu papa memanggil sebuah nama, pria yang tadi mengantar kami datang terburu buru.

"kamu ke belikan celana dalam sekarang!" papa memerintahnya.

Tanpa banyak tanya pria tadi mengangguk dan berbalik masuk ke dalam rumah lagi.

"ayo mandi sekarang!"
ujar papa sambil berdiri lagi lalu terjun ke dalam kolam. Sempat aku lihat odie menatap papa dengan ganjil, namun aku tak begitu menhindahkannya.

Tanpa di komando lagi aku buka baju dan celana hingga yang tersisa cuma celana dalam saja begitu juga dengan koko dan tedi. Cuma odie saja yang masih duduk dengan wajah memerah.

Koko dan tedi nyebur ke dalam kolam. Aku menghampiri odie dengan heran

"ada apa die?"
aku bertanya sama odie.

"kalian mandi aja yo.. Aku malas soalnya dingin.."
tolak odie.

"nggak kok die, airnya lumayan hangat.."
aku mencelup jempol kaki ke kolam.

"kalian aja lah..."

"kenapa, kamu malu cuma pake celana dalam, santai aja lah.. Semua disini kan cowok.. Ayo dong buka lah celana sama baju kamu, nggak usah banyak alasan!"
kataku setengah memaksa.

Akhirnya odie membuka juga bajunya.

"masa sih kamu mau berenang pake celana jeans?"
tanyaku tak yakin saat aku lihat tak ada indikasi odie mau membuka celana panjangnya.

Dengan ragu odie membuka juga celana panjangnya. Mataku langsung terbelalak saat melihat bagian depan celana dalam odie yang menonjol bagaikan mau meloncat isinya. Odie melihatku penuh rasa malu ia langsung menutupi tonjolan celananya dengan kedua belah tangannya.

"odie punya kamu hidup?" aku menarik nafas kaget. Odie mengangguk pelan ia berdiri menunggungi kolam takut terlihat sama tedi, koko dan papa.
Untung saja mereka sedang adu renang jadi tak melihat odie. Aku menggelengkan kepala dengan heran. Apa yang membuat benda di bawah perut odie bangun. Dengan cepat aku dorong odie hingga tercebur di kolam. Lalu aku ikut nyebur menyusul odie.

"kalau dalam kolam nggak kelihatan punya kamu lagi berdiri die.."
aku berbisik sama odie.

"rio kamu jangan marah ya, aku.. Aku.. Barangku berdiri gara gara melihat tubuh papa kamu..!"
jawab odie membuat mataku terbelalak. bener bener gila!
"odie apa kamu udah sinting, dia itu papaku..!"
aku melotot pada odie. namun ia hanya cengengesan.
"kamu juga sih yo, punya papa kok bisa sekeren itu gimana aku bisa nahan..!" jawab odie tanpa rasa bersalah.

"awas ya kalau kamu berani macam macam, kamu jangan bikin malu aku.."
peringatku sambil berenang menjauhi odie dan ikut bergabung bersama papa dan koko. odie tertawa terbahak bahak menyusul kami.

kami adu berenang, siapa yang kalah harus mentraktir makan. aku senang waktu odie kalah, tau rasa dia beraninya naksir sama papaku.
dulu almarhum kak faisal yang dia taksir, sekarang malah om alvin.

selesai berenang kami keluar dari kolam lalu duduk di tepian kolam. harto yang jadi pembantu dirumah ini membawakan kami beberapa sirup jeruk serta roti panggang. papa duduk tepat disampingku dan mengambil segelas sirup lalu meminumnya.

"kamu mau tinggal ama papa nggak?"
tanya papa serius. aku menatappapa dengan bingung. tentu saja aku mau banget tinggal sama om alvin, tapi apakah mama akan memberikan ijin sementara mama dan papa kan saat ini sudah tak ada hubungan apa apa lagi. kalau sampai aku mengatakan keinginan om alvin itu pasti mama akan amarah besar.

"kayaknya nggak bisa pa... mama tak akan mengijinkan"
aku menolak dengan berat hati.

"tapi kamu kan sudah dewasa sekarang nak dan kamu bebas menentukan pilihan mau tinggal sama mama atau papa, asalkan kamu bisa menyampaikan sama mama tanpa membuat dia tersinggung, papa yakin mamamu akan memberikan ijin."
kata om alvin dengan yakin. namun aku tak bisa seyakin om alvin karena aku sangat mengenal mama.

"nanti lah om tunggu sampai keadaan memungkinkan, tak lama lagi kak fairuz akan menikah, mama lagi sibuk... aku tak mau mnambah beban pikiran mama.. tapi aku janji akan membahas hal ini dengan mama nantinya."
aku menghibur om alvin. aku tau kalau om alvin kecewa tapi om alvin tak menunjukkanya padaku. ia tetap tersenyum.

"kalian pasti belum makan siang kan, kita cari restoran ya... ajak teman temanmu sekali sekali makan direstoran sama sama"
om alvin mengusulkan.

mendengar kata restoran tedi langsung tersenyum lebar. aku mengelengkan kepala melihat tingkah tedi. sebetulnya anak itu asik namun percaya dirinya yang berlebihan cenderung bikin kesal saja.

aku, koko, odie, dan tedi mengeringkan tubuh dengan handuk yang disiapkan oleh harto lalu memakai kembali baju kami. harto juga sudah menyiapkan celana dalam baru untuk kami.




papa mengajak kami makan di restoran sarinande jalan veteran, restoran makanan khas yang makanannya lumayan enak di lidah. papa memesan begitu banyak makanan kalau untuk kami berlima sudah lebih dari cukup.

ia meminta kami agar tak usah sungkan sungkan atau malu malu kucing. papa orangnya supel dan terbuka, ia ramah pada semua temanku, tak dapat aku gambarkan perasaan banggaku pada papa.

aku makan sampai puas tapi tetap saja kesulitan untuk menghabiskan semua makanan yang telah dipesan karena terlalu banyak, mungkin dikira papa kami semua ini kuli bangunan. tak disangka sangka kami bertemu kak fairuz dengan mamanya dan amalia di restoran ini.

begitu melihatku kak fairuz tersenyum senang, ia berdiri dari kursinya dan menghampiriku. ternyata kak fairuz dan papa sudah agak akrab. papa mengajak kak fairuz bergabung bersama kami namun ia menolak karena tak enak sama amalia dan mamanya. aku melihat ke mama kak fairuz yang langsung melambaikan tangannya padaku yang langsung aku balas sambil tersenyum ramah.

karena masih ada pekerjaan, papa mengajak kami pulang. aku mengantar papa sampai rumahnya. papa berpesan agar aku sering sering menemuinya dirumah, katanya ia telah mempersiapkan kamar untukku apabila sewaktu waktu aku mau menginap dirumahnya. kami semua berpamitan dan tak lupa berterimakasih sama papa.

setelah mengantarkan koko kembali kerumahnya, aku bersama odie dan tedi kembali pulang kerumah.

**********************




"laras coba lihat apa ada yang kurang dengan kebayaku ini?"
tanya mama kuatir, entah apa yang mama risaukan karena aku lihat penampilan mama sudah sempurna sekali. baju kebaya yang begitu pas melekat di tubuh mama dengan bahan yang berkilauan itu pantas sekali mama kenakan.

"kayaknya bross kakak itu kekecilan deh.. ada yang lain nggak kak?"
jawab tante laras sambil mengamati mama dari atas ke bawah. tante laras sendiri masih sibuk membetulkan posisi kain batik yang ia pakai agar lipatannya lebih rapi.

"bik tin..............!" mama berteriak memanggil bik tin. dengan tergopoh bik tin datang menghampiri mama.

"aada apa bu?"
tanya bik tin cepat.

"ambilkan kotak perhiasanku diatas meja rias.. buruan kami hampir telat nih..!" buru mama tak sabar. aku menggelengkan kepala melihat tingkah mama yang panik. padahal baru jam tujuh pagi saat ini dan akad nikahnya akan di laksanakan jam sembilan ini di kediaman amalia. bik tin berbalik setengah berlari ke kamar mama untuk mengambil kotak perhiasan yang mama maksud tadi.

"ma itu kan sudah cantik... apalgi sih yang kurang?" aku menegur mama.

"kamu mana mengerti soal dandan sayang.. tuh liat kerah baju kamu ada kerutan, ayo rapikan.. mama tak mau melihat kamu lusuh, muka kamu kok belum di bedak.. buruan ke kamar, disana masih ada tukang riasnya.. ayo buruan...!"
jerit mama dengan heboh seperti nenek kehilangan konde.

dengan cemberut aku menuju ke kamar tamu dimana ada juru rias yang mama maksud. ternyata sudah ada odie disana yang sedang duduk dengan manis di depan kaca rias sambil di bedaki oleh seorang banci laknat.

"mau di make up juga ya say?"

tedi menirukan gaya banci dengan sangat sempurna sekali saat melihat aku masuk. aku cemberut sama tedi yang menyebalkan ini.

"aduuuuh kok malah cemberut, mas ganteng kan mau mangkal.. yang menor ya bedakinnya..."
tedi makin menjadi jadi seolah memang dia banci sungguhan. pipi odie menggembung karena menahan tawa. sementara itu entah mas atau mbak yang sedang mermbedaki odie itu cemberut sejadi jadinya hingga bibirnya yang tebal itu menjadi mirip sekali dengan spons bedak yang ia pegang.

"udah lah jangan kayak orang stress gitu ted, kalo mau jadi bencong beneran gih sono ke kambang iwak sekalian aja mangkal... sayang kalo punya bakat nggak di salurkan..!"
gerutuku kesal. odie tertawa ngakak mendengarnya. sedangkan tedi cuma nyengir nggak jelas.

"siapa lagi nih yang mau di bedak.. buruan sini.."
tanya perias itu. aku lansung mendekat lalu duduk di tempat odie tadi duduk. tanpa banyak bicara dia langsung membedaki ku. aku tak banyak bergerak membiarkan saja dia menyelesaikan tugasnya sambil ku melihat wajahku di depan kaca. tak sampai sepuluh menit selesai sudah dan sekarang giliran tedi. aku berdiri lalu menghampiri odie.

"ke depan yuk die.."
kataku pada odie.

"yuk.. gerah banget disini.."
jawab odie sambil berjalan mengikuti aku keluar dari kamar itu.

"wooi.......tunggu aku dong, nggak setia kawan banget... jangan tinggalkan aku sendirian disini monyet!!"
teriak tedi saat melihat aku dan odie mau meninggalkannya.

"ngapain juga kami nungguin kamu.."
ujar odie sambil tertawa kesenangan.

"tapi kan dari tadi aku nemenin kalian..!!"
protes tedi tak terima.

"met kencaan teman, daaaaaaaaaaaaaa.......!"
odie melaambai menirukan gaya kemayu untuk membalas tedi tadi, lalu buru buru meninggalkan tedi.

aku dan odie tertawa terbahak bahak melihat wajah tedi yang merah karena kesal tadi.

"ngapain kalian berdua tertawa tawa gitu..?"
tanya mama yang sedang ngobrol sama tante laras dan tante kami yang lain yang semuanya sudah berdandan rapi memakai kebaya.
aku menceritakan kejadian dalam kamar tadi sama mama dan tante laras, mereka berdua tersenyum mendengarnya.

"aku tuh bingung ngurusin tedi dik... kerjanya cuma pacaran terus..!"
mama tedi mengeluh.

"ya namanya juga anak lelaki kak, pastilah doyan pacaran apalagi kalau sudah tau sama perempuan.."
kata mama masih tersenyum.

"tapi saya kuatir kalau sampai dia tu kebablasan, adik tau sendiri kan gimana anak anak sekarang kalau pacaran kadang suka bikin kita was was.."
tambah tante wati lagi.
mama terhenyak seolah kata kata taante wati tadi mengingatkannya dengan kejadian pada almarhum kak faisal dulu, bukannya pernikahan kak fairuz dengan amalia juga kan akibat kesalahan yang dilakukan oleh almarhum dulu.

tante laras yang cepat tanggap langsung mengganti pembicaraan ke arah lain. ia menanyakan mama apa sudah menghubungi ibu ibu RT untuk pengajian.

setelah semua siap kami berkumpul didepan teras rumah untuk berangkat kerumah amalia. kak fairuz yang sudah memakai baju adat aisan gede satu mobl bersama aku papa dan mama. aku bisa merasakan kegelisahan yang dirasakan oleh kak fairuz. aku mencoba menghiburnya untuk mengurangi sedikit kegelisahan yang ia rasakan.

kami tiba dirumah amalia yang sudah berdiri tenda berjajar begitu panjangnya. dihiasi oleh janur dan bunga bunga yang sangat megah, kontras dengan keadaan rumah amalia biasanya.
pesta ini seolah bagaikan cinderella disunting oleh pangeran. kami disambut oleh dendangan musik orkestra.

kami turun dari mobil lalu berjalan menyusuri karpet yang sudah digelar menuju ke tempat ijab kabul yang juga sudah dihias hingga terlihat sangat indah.
kak fairuz duduk diatas bantal lantai disarung beludru merah bersulam benang emas yang senada dengan pelaminan ukir jati yang membentang sepanjang limabelas meter berkilauan warna keemasan.





aku melihat ada mama kak fairuz yang sedang duduk di bangku tamu bagian belakang, entah kenapa ada rasa tak tega melihatnya. seharusnya ini menjadi pestanya. namun keadaan membuatnya harus merelakan dia hanya sebagai tamu di pesta anaknya sendiri. beberapa kali aku melihatnya mengusap airmatanya dengan tissue saat ijab kabul antara kak fairuz dengan amalia dilaksanakan. sedangkan mama seolah tak ada perasaan sentimentil sedikitpun tak ada keharuan terpancar di wajah mama, dari awal aku sudah menyadari kalau pernikahan ini adalah prestise bagi mama yang akan mengangkat namanya karena telah mengikhlaskan kak fairuz menikah dengan gadis dari keluarga yang bersahaja.

andai saja para tamu tau bagaimana kejadian dibalik pernikahan yang penuh dengan keterpaksaan ini. aku yakin mama tak akan bisa tersenyum selebar itu lagi. tapi mama adalah wanita yang penuh dengan gengsi tinggi.
aku sendiri tak menyangka kalau mama akan bersikap demikian, aku kecewa jauh dalam hatiku pada mama namun aku bisa berbuat apa untuk mengubahnya, kalau mama adalah seorang ibu bagiku apapun keadaannya dia tetaplah ibuku.

aku memang agak kecewa saat tau kalau ibuku adalah orang yang tak seperti aku harapkan tapi tuhan telah menggariskan bahwa itulah ibuku.



mempelai telah bersanding duduk di pelaminan, tamu tamu berdatangan memenuhi kursi di tiap tiap tenda yng telah disiapkan, panitia semakin sibuk melayani para tamu untuk menyajikan makanan yang lezat dari katering pilihan mama.

semakin siang tamu semakin ramai, aku berjalan berkeliling bersama odie. rian tak datang sama sekali meskipun undangan telah aku tinggalkan di bawah pintu rumahnya. kalau memang hubungan kami harus berakhir aku akan merelakannya. apapun yang sudah aku berikan akan aku lupakan. aku akan menganggap itu sebagai bentuk kasih sayang yang aku berikan untuknya. andai harus berakhir biarlah tanpa ribut ribut lagi. aku juga sudah sangat lelah dengan semua ini.

"rio kok melamun sih?" suara mama kak fairuz menyadarkan aku dari renungan ku. aku tersenyum dan memberi tempat untuknya duduk.

"mama sudah makan?" tanyaku sedikit kuatir, aku tak yakin kalau ia bisa ikut menikmati pesta ini.

"jangan kuatir.. mama sudah makan sayang, kamu sendiri kok dari tadi mama perhatikan selalu melamun terus.. lagi mikirin apa..?"
ia bertanya dengan penuh perhatian.

"nggak kok ma, cuma aku berharap saja kalau ini adalah awal dari kebahagiaan kak fairuz dan amalia...mama kalau capek istirahat aja dulu, acara ini kan sampai malam.." aku menyarankan.

"iya sayang kamu jangan kuatir, mama hanya ingin terus berada disini untuk memastikan kalau semuanya berjalan lancar."

"kalau ada perlu apa apa mama jangan segan segan minta padaku ma.. anggap saja aku anak mama..."
entah kenapa rasanya aku lebih merasakan kedamaian saat bersama mamanya kak fairuz.

tanpa aku duga tiba tiba ia memelukku. aku tercengang tak menduga hal itu akan terjadi. sempat kulihat dari pelaminan mama yang sedang duduk terbelalak melihat kejadian ini.

mama langsung berdiri meninggalkan kursi pelaminan dan berjalan terburu buru menghampiri kami. mam menarikku dengan sekali sentak hingga membuat kaget mama kak fairuz.

"sudah cukup lina...!" dengan marah mama melihat pada mama kak fairuz. namun mama kak fairuz langsung bisa menetralisir keadaan.

"kenapa sih mega, memangnya ada yang salah... kok datang datang langsung marah begitu.. saya kan cuma ngobrol sama rio..."
jawab mama kak fairuz dengan tenang.

"kamu jang an sok akrab dengan anakku.. dan jangan berpura pura baik, aku tau kamu pasti ada maksud tertentu kan!!"
tuduh mama tanpa perasaan.

"terserah kamu mau bilang apa tapi aku tak mempunyai pikiran jahat dengan anakmu, lagipula aku kan tak melakukan apa apa.. kamu saja yang mendramatisir keadaan.."

"sudahlah ma jangan bertengkar seperti ini, masih banyak tamu.. malu kalau sampai mereka tau.."
aku coba mengingatkan mamaku, namun tak ia gubris.

"kamu tak tau siapa dia rio makanya mama mau jangan sampai kamu terpengaruh padanya.. dia pasti sedang merencanakan sesuatu.."
ujar mama berapi api.

"saya rasa keadaan terbalik jauh mega, bukannya apa yang barusan kamu katakan tadi itu sudah pernah kamu lakukan pada saya.. kenapa, kamu takut ya kalau karma itu akan datang?"
mama kak fairuz menantang mata mama tanpa rasa gentar. mama terdiam bagai kehilangan kata kata yang akan ia ucapkan untuk menjawab.

sepertinya papa tau ada kejadian tak beres papa duduk dengan gelisah melihat ke arah kami.

"kamu jangan takut, rio kan sudah dewasa dan tak mudah dipengaruhi seperti waktu itu kamu lakukan pada faisal anakku... pura pura baik sama keluarga kami ternyata hanya untuk merebut apa yang aku punya..!"

aku bengong mendengar kata kata yang barusan mama kak fairuz katakan sama mama.

"satu lagi mega, ambil saja semua untuk kamu karena saat ini yang penting bagiku bukan apa yang telah kamu ambil dariku, aku sudah ikhlas.. apa sih yang kekal didunia ini, harta, suami, anak.... aku sudah cukup mendapat pelajaran dari hidup ini, semua itu tak kan kekal.. kalau Allah mau mengambil semuanya, maka sekejap mata akan hilang... aku sudah merasakan kehilangan suami, kehilangan harta bahkan anak.. tak ada lagi yang aku takut akan hilang dariku saat ini termasuk nyawa.. satu satunya yang aku takut hilang hanyalah keimanan dalam diriku.. sadarlah mega, orang yang berpikiran buruk tak akan pernah bahagia... kalau kamu orang baik, maka kamu akan memandang segala hal dari sisi positif.. camkan itu..!"

mama kak fairuz menyelesaikan kata katanya lalu meninggalkan aku dan mama setelah sempat tersenyum tipis padaku.


"kenapa sih kamu jadi dekat sama mamanya fairuz, mama tak suka itu rio..!"
cecar mama kesal.

"memangnya apa salahnya ma kalau aku ngobrol sama mamanya kak fairuz lagipula dia tak menjelek jelekan mama..."
aku balik protes.

"tak usah banyak tanya, yang pasti mama ada alasan sendiri melarang kamu melakukan itu."
mama terdengar tak sabar.

"harus ada penjelasannya dong ma nggak bisa melarang gitu aja, lagian dia baik kok sama aku."
jawabku tenang.

"apa kamu tak pernah terpikir kenapa dia jadi baik sama kamu?"
tanya mama lagi hingga membuatku bingung.

"seperti mama baik sama almarhum kak faisal dulu apa harus ada alasannya ma?"

"itu beda rio, mama memang benar benar menyayangi almarhum kakak kamu itu nak, tapi kali ini kan kasusnya beda.. lina itu mantan isteri papa kamu, mama tak mau kalau sampai terjadi sesuatu yang tak kita inginkan di kemudian hari."
mama mendesah seperti sangat lelah.

"jangan membayangkan yang tidak tidak ma.. lagian perasaanku mengatakan kalau tante lina itu orangnya baik."
aku tetap dengan pendirianku. mama mendengus kesal.

"sudah lah ma, bukan saat yang tepat untuk kita berdebat, tuh liat papa udah gelisah nungguin mama, banyak tamu antri yang mau salaman."
aku mengingatkan mama.

"nanti kita bahas lagi hal ini, mama masih belum puas kalau kamu belum mendengarkan mama..."
ujar mama sebelum meninggalkanku sendiri dan kembali ke pelaminan. aku tak menjawab lagi karena tak mau memperpanjang masalah, aku sangat kenal mama dan ia pasti tak akan melupakan begitu saja apa yang terjadi hari ini.


aku melihat koko bersama mamanya dan om alvin papaku sedang mengisi buku tamu. bergegas aku menghampiri mereka. om alvin dan mama koko tersenyum lebar begitu melihatku.
om alvin hari ini terlihat begitu tampan memakai setelan batik model jas dan celana katun sutera hitam.

"hai rio apa kabar..?"
sapa om alvin begitu melihatku.

"baik om, terimakasih ya sudah mau hadir."
jawabku senang. om alvin dan mama koko mengangguk.

"silahkan cari tempat duduk dulu ko, ajak papaku dan mama kamu.."
kataku pada koko.

"kami mau kasih selamat dulu buat kakamu yo.."
jawab koko tersenyum.

"oh silahkan.."
aku mengantar mereka berjalan menuju ke pelaminan.

mama agak melongo saat melihat om alvin hingga perlu beberapa saat sebelum ia mengangkat tangannya untuk membalas salam om alvin.
aku sedikit cemas dengan keadaan ini, apakah papa sebenarnya sudah tau kalau om alvin itu mantan suami mama, soalnya aku lihat papa sepertinya bersikap biasa biasa saja seolah papa tak kenal dengan om alvin.

setelah selesai memberikan ucapan selamat buat kak fairuz, koko bersama mamanya dan om alvin duduk di kursi tamu bagian paling depan.
aku menyuruh panitia bagian saji untuk mengantarkan kue serta minuman ke kursi mereka.

diam diam aku memperhatikan mama yang kembali jadi gelisah di tempat duduknya seolah ada kerikil tajam di pantatnya, beberapa kali aku lihat mama diam diam melihat om alvin, begitu juga om alvin tak jauh beda dengan mama.

tak banyak yang menyadari hal itu namun aku bisa merasakan ada sesuatu yang ganjil dari mama dan om alvin dan aku akan mencari tahu tentang itu.

aku bisa merasakan ada sesuatu yang mama da om alvin sembunyikan, semoga saja tidak seperti yang aku pikirkan.



***********************


pesta telah usai dan berjalan dengan lancar, tinggal sisa sisa kelelahan yang mengelayuti seisi rumah ini. semua tamu telah pulang. aku tak melihat lagi mama kak fairuz di pesta setelah pertengkarannya dengan mama tadi.
kasihan dia, pastilah hatinya begitu sakit dengan perlakuan mama. hanya karena dia bicara denganku, mama jadi sebegitu marah padanya.

mungkin saat ini dia sedang di hotel. aku akan menemuinya tapi aku mau mandi dulu, tubuhku keringatan dan gerah setelah dari pagi disibukkan oleh pesta. beberapa kerabat ada yang langsung pulang, ada juga yang menginap, tedi dan odie sudah sejak setengah jam yang lalu terkapar di kamarku karena kelelahan menjadi panitia di pesta.

aku senang akhirnya satu masalah selesai juga. sekarang kami tak perlu lagi kuatir dengan kehamilan amalia karena ia sudah punya suami yang bertanggung jawab pada anaknya nanti dan leganya dari keluarga sendiri.

setelah acara tadi kak fairuz masih tinggal dulu dirumah amalia. rencananya minggu depan mereka berdua pindah kerumah ini untuk sementara sebelum kak fairuz nantinya memboyong amalia ke jakarta ikut dengannya.

aku menghabiskan waktu hampir setengah jam mandi hingga tubuhku terasa benar benar segar. setelah selesai berpakaian rapi, aku ke garasi menyalakan mobil lalu meluncur ke carissima tempat mama kak fairuz menginap.

aku berjalan menyusuri koridor menuju ke kamar mama kak fairuz. saat aku mau mengetuk pintu tiba tiba aku mendengar seperti ada suara orang sedang bicara di dalam kamar. niatku mengetuk pintu aku urungkan. aku jadi penasaran ada siapa di dalam bersama dengan mamanya kak fairuz.

pelan pelan ku buka pintunya sedikit dan mengintip ke dalam. nafasku langsung terasa sesak, ternyata yang sedang bicara dengan mama kak fairuz adalah papa.

"kamu sendiri sudah tau lina kalau aku sekarang sudah punya anak lagi. aku tak mungkin meninggalkan isteriku.... apa yang terjadi baru aku sadari sekarang...saat semuanya sudah terlambat... mengertilah...!"
suara papa terdengar begitu memohon.

"kamu menuduh aku menghianatimu bang, sakit rasanya... aku sudah berusaha menjelaskan kalau semua hanya salah paham saja, tapi apa mau kamu mendengarkanku... sekarang kamu sudah menerima balasannya, anakmu meninggal karena wanita yang kamu puja puja itu.."
balas mama kak fairuz dengan suara datar. tangannya meremas ujung bed cover putih bersih hingga berkerut.

"faisal meninggal karena kecelakaan lin, itu tak ada sangkut pautnya dengan mega, kamu tak melihat bagaimana mega begitu terpukul saat faisal pergi..."

"sudahlah bang aku masih menghormati abang sebagai mantan suamiku meskipun abang sudah banyak membuat aku kecewa, aku tak meminta abang datang kemari.. kalau hanya untuk memintaku memaafkan abang, aku sudah lama melupakannya. abang bisa hidup dengan tenang tanpa rasa bersalah kok.."
mama kak fairuz masih terlihat tenang.

"setelah ini apa yang akan kamu lakukan lin, aku tak tega melihat kamu seperti ini, aku mau membantumu... katakan apa yang dapat aku lakukan agar aku bisa membayar rasa bersalahku, aku bingung lin.. entah kenapa aku merasa kehidupanku semakin hari semakin tak berarti.. entah apa yang aku inginkan aku sudah tak tau lagi..."
papa seperti mau menangis namun ia tahan.

"bukannya apa yang kamu inginkan sudah kamu dapatkan semuanya bang, apa sih yang mengganjal.. isteri kamu cantik, kamu punya karir yang bagus, apalagi yang kurang sih... ketenangan, maaf bang aku tak pernah menyumpahmu sedikitpun. namun aku tau saat saat seperti ini akan abang alami juga pada nantinya..."
mama kak fairuz berdiri mendekati jendela dan melihat ke luar, sinar bulan purnama memantul lewat jendela kaca lebar di balik gorden.

"kamu ingat saat pertama kita hidup bersama dulu, tak ada kemewahan..namun kita bahagia lin, hungga lahirnya fairuz, bisnis kit amulai maju, mungkin memang rejeki anak kita ya lin..."
papa merenung mengingat kenangan masa lalunya.

"sudahlah bang jangan dikenang lagi masa lalu itu, tak ada lagi gunanya.. aku sudah melupakan semuanya karena terlalu sakit untuk dikenang..."
mama kak fairuz memejamkan matanya sambil menggeleng, dua bulir air mata mengalir lewat kelopak matanya yang tanpa riasan.nampak sekali kalau dia begitu sakit jika mengenang masa lalunya bersama papa.

"kamu tak menyangka kalau lelaki yang kamu cintai nantinya yang justru jad mimpi buruk bag kamu ya lin... aku minta maaf.."
ujar papa serak.

"sudahlah bang aku kan sudah bilang lupakan semua.. itu hanya masa lalu, setiap manusia punya masalah... dan lucunya masalah itu kita alami setelah kita lebih mapan...dari situ aku jadi mengerti..dengan harta tak selamanya kebahagiaan itu kita peroleh, justru itu yang membuat aku kehilangan hal yang lebih berharga yaitu keluargaku..."
akhirnya lepas juga tangisan mama kak fairuz mungkin karena sudah tak sanggup lagi menahan sesak yang selama ini menghimpit hatinya.

tanpa terduga papa menghampiri mama kak fairuz dan memeluknya. meski awalnya terlihat kaget namun mama kak fairuz tak melawan ataupun menolaknya.
aku hanya bisa bengong menyaksikan dan mendengarkan semua itu.


perlahan aku tutup lagi pintu dan meninggalkan kamar mama kak fairuz dengan langkah gontai.

aku pergi dari hotel dengan perasaan yang tak menentu. sepanjang jalan aku melamun hingga beberapa kali hampir meleset dari jalan. pikiranku kacau. kenapa harus muncul lagi masalah baru.. apakah memang hidupku tak kan lepas dari masalah, benar apa yang dikatakan oleh mama kak fairuz. masalah itu datang justru setelah aku memiliki banyak uang.


*****************



"pagi ma, lagi masak apa..?"

mama yang sedang menguas kulit udang langsung menoleh dan tersenyum.

"pagi juga sayang nih mama lagi masak udang saus tomat kesukaan kamu.."

amalia yang ada di samping mama terlihat sibuk mengiris bumbu, nampaknya amalia sudah agak terbiasa dan tak canggung lagi disini. mama juga bersikap agak lunak padanya.
aku agak sedih juga membayangkan ia dan kak fairuz akan segera pindah dari rumah ini, padahal aku mulai terbiasa dengan adanya mereka disini.

"kamu udah sarapan nak?"
tanya mama sambil menaruh potongan sayuran ke dalam wajan diatas kompor.

"belum ma, ini udah agak laper juga sih.."

"tuh diatas meja ada nasi goreng bikinan amalia, enak kok.. makan dulu sana.."

"nasi goreng sosis yo, kamu kan suka.."
kata amalia yang kelihatannya sudah selesai mengiris bumbu.

"kak fairuz mana mel, kok aku nggak liat.."

"katanya ke hotel menemui mamanya, tadi mamanya menelpon minta di temani ke pasar untuk cari oleh oleh buat dibawa pulang ke jakarta."

"emangnya kapan kalian mau pindah, kok kayaknya buru buru amat, apa nggak sebaiknya tinggal disini aja.. kak fairuz kan bisa kerja di kantor papa, aku yakin papa pasti seneng kalo kak fairuz mau..."

"aku sudah pernah bilang gitu tapi abang nggak mau, katanya ia mau coba berusaha sendiri, aku sih nggak bisa melarang juga kalau memang gitu maunya.."

"fairuz emang keras kepala, mama kan mau menimang cucu mama... kalau kalian jauh bagaimana mama mau deket deket sama anak kalian nanti.."
timpal mama.

"iya ma amel juga udah sampaikan keinginan mama itu sama abang tapi ia bilang biar nanti kalau ada rejeki kami akan bawa anak kami main kesini.."
amalia tersenyum.

"iya tapi kapan, jangan jangan kalian udah keburu lupa sama kami disini... mama yakin pasti lina akan melarang kalian kesini lagi.."

"nggak mungkin lah ma, kan keluarga amel masih disini juga, mana mungkin amel melupakan mereka... kalau lebaran amel mau ngumpul sama keluarga disini."
tegas amalia.

"syukurlah kalau kamu berpikir demikian, ya udah katanya rio mau sarapan.. kok malah jadi melantur kayak gini.. mel kamu tolong liat masakan mama ya, mama mau ke kamar mandi dulu."

"iya ma, oh ya garamnya udah mama tambahkan belum ma?"
tanya amel sembari mengaduk sayuran dalam panci.

"udah tadi dikit, coba kamu cicip lagi siapa tau kurang.. mama nggak tahan lagi nih mau pipis.."
jawab mama cepat lalu buru buru meninggalkan dapur.
aku meninggalkan amalia lalu ke ruang makan dan sarapan.

**************



"hai rio mau langsung pulang ya...?"
teriak rizal setengah berlari menghampiriku yang baru saja keluar dari halaman kampus.

aku berhenti menunggu rizal dekat, nampaknya anak satu itu ada hal yang mau ia katakan .

"ada apa zal...?"

"aku mau minta tolong sama kamu sobat.."
suara rizal terdengar agak panik.

"emangnya ada apa sih zal, apa yang bisa aku tolong.?"

"kamu punya uang nggak yo?"
tanya rizal agak ragu.

"berapa?"

"2 juta yo..."

"loh emangnya buat apa zal, kok banyak amat.."
tanyaku heran, buat apa uang segitu buat rizal, bukannya orangtuanya lumayan berada, ia pasti bisa minta sama orang tuanya kalau uang segitu mustahil nggak dikasih.

"bagaimana yo, ada nggak... aku serius butuh yo, aku janji akan kembalikan secepatnya."
desak rizal agak tak sabar.

"ada sih zal, cuma aku mau tanya buat apaan sih kok mendadak gitu.."

"aku belum bisa cerita sekarang yo, nanti aku ceritakan, kamu bawa nggak uangnya sekarang..?"

"ya nggal lah zal, buat apa juga aku bawa uang segitu ke kampus.. aku harus ambil ke ATM dulu.. kalau gitu kamu temani aku ke ATM biar lebih cepat.."

rizal langsung tersenyum cerah, nampaknya ia sangat lega mendengar aku mau memberikan pinjaman untuknya. aku mengajak rizal ke ATM untuk menarik uang sejumlah yang mau ia pinjam. betapa kagetnya aku ternyata saldo tabunganku masih bersisa 3 juta lebih saja. aku baru teringat kalau dalam bulan bulan ini aku terlalu banyak pengeluaran untuk membantu rian.

kalau aku memberikan pada rizal, uangku hanya tinggal sejutaan saja, aku takutnya nanti aku ada keperluan mendadak, tapi kalau aku membatalkan beri pinjaman sama rizal aku nggak enak.
terpaksa aku tarik juga 2 juta lalu aku kasih ke rizal.

"makasih yo, aku janji akan segera ganti.. kamu memang sahabat yang baik.. aku gak akan pernah lupakan ini yo.."
ujar rizal dengan berbinar binar. aku hanya tersenyum dan mengangguk.aku pamit sama rizal karena aku harus ke rumah papa. tadi aku sudah janji sama papa untuk datang ke rumahnya.



"papa ada...?"
tanyaku pada harto yang sedang menyirami tanaman di depan halaman. harto menutup keran dan meletakan selang ke atas rumput.

"ada, langsung masuk aja.. sepertinya bapak lagi ada di belakang"
jelas harto.

aku meninggalkan harto lalu masuk ke dalam dan mencari papa di halaman belakang rumahnya. ku lihat papa sedang bersantai sambil membaca majalah sambil duduk di bangku yang ada di bawah pohon jeruk.

"asik banget pa..."

mendengar suaraku papa langsung berdiri dan meletakan majalah di bangku. ia berjalan menghampiriku.

"udah pulang kuliahnya?"
tanya papa sambil merangkul bahu ku.

"udah pa, ada apa papa nyuruh aku kesini, tadi katanya papa mau ngomong?"

"santai aja dulu, kamu udah makan belum, kalau mau makan langsung aja ke dapur, tadi papa beli lauk masak di restoran.."

"rio masih kenyang pa, emangnya ada apa sih ngomong aja sekarang kan bisa.."
desakku tak sabar.

"selama ini kan papa belum pernah kasih apa apa ke kamu, sekarang papa mau tanya kamu mau apa.. papa akan berusaha untuk mengabulkannya selama papa mampu.."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar