Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 22

#27 MAMA DAN OM ALVIN






Rasanya aku tak bisa percaya om alvin berani datang kesini. Mulutku seolah terkunci tak bisa berkata apa apa. Om alvin mendekatiku.

"siang rio, lagi santai ya?" sapa om alvin santai seolah kedatangannya itu adalah hal biasa baginya.

"di mana mama kamu?" tanya om alvin lagi.

"buat apa om kemari..?" tanyaku ketus, aku berdiri hendak meninggalkan om alvin dan masuk ke rumah namun om alvin mencekal tanganku.

"kamu sekarang sudah dewasa rio, aku papa kamu...!" desah om alvin putus asa.

"iya kamu bapak kandungku, terus kenapa memangnya..?" aku menantang mata om alvin.

"jangan seperti ini pada papa, sudah lama sekali papa ingin bertemu denganmu, papa ingin kamu tau papa menyayangimu!" om alvin hampir meratap namun itu tak menyurutkan kemarahan ku terhadapnya.

"ada siapa rio, kok ribut sekali?"

aku terperangah mendengar suara dari belakangku. Darahku terasa surut dari kepala.

"ada tamu kok nggak disuruh masuk nak... Memangnya sia..." kata kata mama terhenti saat melihat tamu yang bersamaku ini.

"apa kabar mega?", om alvin tersenyum pada mama seolah tak ada yang janggal.

"ka...kamu.."

wajah mama pucat pasi. Mama terdiam memandangku lalu gantian memandang om alvin.


"sudah lama kita tak bertemu.. Kamu tak banyak berubah.." om alvin mengulurkan tangannya pada mama.

Butuh beberapa detik untuk mama menyalami om alvin. Aku tak tau apa yang sedang mama pikirkan sekarang. Aku tak tahu apa motif om alvin mendatangi rumah ini. Aku juga tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Yang aku tau pasti kepalaku mendadak sakit. Aku benar benar terkejut.

"kalian sudah.. Lama.. Kenal?" tanya mama dengan suara bergetar. Aku terdiam tak tau harus menjawab apa.


"sudah hampir lima tahun..." ku dengar suara om alvin yang menjawab.


"apakah..." mama memutus kata katanya dan melihatku. Wajah mama semakin pucat.

"dari mana.. Kamu tau saya tinggal disini.. Bukannya kamu..."
mama begitu pucat seolah sedang melihat hantu.


"sebetulnya aku sudah lama tau kamu disini mega.." om alvin memutus kata kata mama. "maaf kalau kedatanganku disini membuat kamu tidak senang, tapi aku butuh ketemu dengan anak kita..."
om alvin terdengar begitu putus asa.

"buat apa kamu bertemu dengannya, aku bisa menjaganya sendiri.."
jawab mama ketus.


"tapi aku juga ingin bertemu dia, aku tak mau kalau sampai akhir hidupku nanti aku tak sempat menjadi papa baginya.."
om alvin meminta dengan memelas.


"tak usah sok perhatian begitu, toh selama ini aku juga yang menjaganya.."
mama melengos dengan angkuh.


"aku mengerti kemarahanmu belum reda, tapi tolong jangan pengaruhi rio untuk membenciku..." om alvin mendesah.


"kamu bilang apa, aku pengaruhi rio untuk membenci kamu?"
mama begitu terkejut dan marah.


"om mama tak ada sangkut pautnya dengan kemarahanku, jangan bicara sembarangan... Harusnya om bisa berpikir kalau punya otak!"
aku tak bisa menahan kemarahan hingga keluar kata kata kasar dari mulutku. Om alvin terkejut hingga wajahnya menjadi pucat.


"pergi dari sini vin, kamu membuatku pusing.." suara mama melunak, ia memandangku penuh terimakasih.


"satu lagi om, aku sudah bahagia bersama mama dan papaku, jadi kehadiran om tak aku butuhkan lagi... Terlepas om bapak kandungku, itu tak ada artinya sama sekali bagiku.. Seperti kata mama, kedatangan om hanya membuat kepala jadi pusing..!" tikam ku datar. Aku sengaja mengatakan itu biar om alvin segera pergi. Aku tak mau sampai papa tau masalah ini dan mendengarnya, itu akan menimbulkan masalah baru dirumah ini. Om alvin terdiam dan menunduk lesu. Mungkin ia tak menyangka aku akan mengatakan hal ini. Ia menggelengkan kepala pelan seolah masih ada yang mengganjal dihatinya.


"tapi aku papamu rio.." suara om alvin bergetar parau.


"iya saya tau...terimakasih sudah memberitahu saya.. Dan itu tak ada pengaruhnya sama sekali.." aku membatu.
Air mata bergulir dari sudut mata om alvin. Ia menangis. Mama membuang muka. Kulihat mata mama juga berkaca kaca.


"dulu kamu yang meninggalkan aku mega, kamu pergi tanpa memberitahuku.. Aku mencarimu kemana mana tapi tak pernah bertemu.. Sekarang kau menimpakan semuanya padaku.." desah om alvin pahit.


"kalau kamu menuruti kata kataku, ini tak akan terjadi vin, tapi kamu tak pernah percaya padaku, kamu bilang menyayangi aku tapi apa buktinya.. Semua kata kata ama kamu percayai.. Semua sudah terlambat, pulang lah.. Kita jalani kehidupan masing masing..." mama menyusut air matanya dengan telapak tangan.


"berikan aku waktu untuk menjernihkan semua ini mega.."


"semua terlanjur keruh, walaupun bisa jernih sudah tercemar.. Jadi percuma saja vin.. Lupakan masa lalu kita.. Kamu bukan yang dulu lagi begitupun juga aku..." suara mama semakin pelan,
aku tau mama menahan penderitaan yang ia rasakan saat ini. Aku bisa melihat kalau om alvin masih begitu menyayangi mama dari tatapan matanya ke mama. Kenapa aku harus berada pada posisi seperti ini, saat ini keluargaku yang punya hubungan darah denganku sedang berkumpul, mama dan om alvin. Tapi bukan seperti ini yang aku mau. Bukan ini hal yang aku impikan selama ini. Aku selalu berharap yang indah indah. Namun selalu saja keinginan jarang sekali seindah kenyataan. Aku berbalik meninggalkan mama dan om alvin di teras. Dengan langkah cepat aku berjalan ke kamar.


"ada apa rio?" tanya kak fairuz heran.


"nggak apa apa kak,.." aku tak memperdulikan kak fairuz. Sampai di kamar aku langsung mengunci pintu.
Kak fairuz mengetuk pintu dan memanggilku, namun tak aku indahkan. Hingga akhirnya dia capek sendiri dan pergi. Ada apa dengan semua ini, apa yang menggerakan om alvin hingga berani datang.
Aku berdiri di jendela melihat ke beranda. Om alvin masih bicara sama mama. Tak lama kemudian ku lihat mama masuk ke dalam sambil membanting pintu. Suaranya cukup keras hingga terdengar sampai kamarku. Om alvin bengong menatap pintu dengan tak percaya.


Bukannya langsung pergi, ia malah berdiri bagaikan orang bodoh didepan pintu. Tak lama pintu terbuka lagi. Kak fairuz keluar dan berbicara sama om alvin. Aku tak dapat mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Tapi tak beberapa menit ku lihat kak fairuz berjalan sama om alvin menuju ke mobil om alvin dan mereka masuk ke dalam mobil.
Setelah itu mobil om alvin bergerak meninggalkan pekarangan rumah. Jantungku masih saja berdebar debar. Aku berjalan menjauhi jendela lalu duduk di tepi tempat tidur. Terdengar pintu kamarku di ketuk.


"rio buka pintunya sayang.." terdengar suara mama memanggilku. Aku diam tak bergeming.


"mama tak kamu mendengarkan mama, tolong buka pintu sebentar nak.. Mama ingin bicara!"
suara mama terdengar makin memelas. Aku kasihan juga namun ego ku melarang aku membuka pintu. Aku masih pusing dan tak ingin bicara, apalagi membahas masalah ini. Semuanya sudah kacau.
Om alvin dan mama punya kehidupan masing masing. Entah kenapa aku bisa begini kacau. Punya masalah yang aneh. Begitu banyak orang orang masuk dalam kehidupanku dan semuanya berhubungan. Masa kecilku hanya mengenal emak, ayah dan ayuk ayuk ku, kemudian ayah meninggal dunia tinggal aku emak dan ayuk ayukku. Saat mulai remaja aku harus terpukul dengan kenyataan bahwa emak hanyalah ibu yang mengasuh dan membesarkanku. Emak bukan ibu kandungku.


Aku harus di paksa untuk menyayangi ibu baru. Meninggalkan emak dan ayukku serta tanah kelahiran yang aku cintai. Sekarang apakah aku bisa menerima om alvin sedangkan selama ini gara gara dia lah aku jadi mengalami semua ini. Aku harus meninggalkan orang orang yang aku sayangi. Apakah ia sadar kalau ia telah membuatku tersiksa.
Jalan hidupku jadi penuh liku. Aku tak yakin apa di hatiku masih ada tempat untuk seorang ayah lagi. Sedangkan ayah itu tak sedikitpun memiliki kenangan indah yang aku lalui bersamanya. Aku lelah. Sudah cukup rasanya semua ini bagiku. Cukup bagiku tahu siapa ayah kandungku. Tapi takkan ada ruang lagi untuknya di hatiku. Sekarang mama sudah menata hidupnya lagi. Sudah punya suami dan anak lagi. Jadi tak ada alasan bagi om alvin untuk datang kembali dan membuat ketenangan keluarga ini terancam.


"rio sayang kamu marah sama mama ya?" suara memelas mama di luar kamarku kembali membuat aku tersadar dari lamunanku. Aku beranjak dari tempat tidur dan membuka pintu. Mama berdiri di tengah pintu. Air mata bercucuran di pipinya. Aku membuang muka karena tak sanggup melihat mama menangis.


"maafkan mama nak.." mama terisak. Aku tak menjawab, aku bingung harus berbuat apa sementara hatiku masih tak menentu.


"kalau kamu marah mama bisa mengerti,.. Mama bersalah..tapi kamu harus mengerti, mama juga tak menyangka kalau ia akan datang lagi..." mama terdengar pasrah.

"ma, aku sudah tau semuanya.. Aku tak menyalahkan mama.." aku memeluk mama. Mama membalas pelukanku dengan heran.

"kamu tak marah?" mama seperti tak percaya. "marah ma... Tapi bukan marah sama mama.. Aku marah sama om alvin!" ujarku berapi api.

"sejak kapan kamu tau kalau dia ayahmu.." mama menghapus air mata dengan saputangan lalu melepaskan pelukannya.

"almarhum kak faisal yang menceritakan lewat surat yang ia tulis sebelum ia meninggal.." aku menceritakan kejadian sebenarnya. Mama semakin terkejut.


"jadi almarhum kakakmu juga sudah tau?" desis mama heran.

"iya, almarhum tau karena curiga dengan kemiripanku yang sangat dengan om alvin.." ujarku berterus terang.

"maafkan mama nak, bukan mama tak mau menunjukan siapa ayahmu sebenarnya. Tapi memang kami sudah lama sekali tak bertemu, selama ini mama begitu membencinya karena telah membuat mama menanggung sendiri penderitaan selama ini.." ungkap mama geram.


"kalau memang begitu mama tak perlu lagi berhubungan dengan om alvin... Tutup semua tentang dia!" aku mendengus kesal.


"tapi mama tak melarang kalau kamu mau dekat dengannya nak, bagaimanapun juga di adalah ayah kandungmu.." mama menyela.


"entahlah ma, untuk saat ini aku belum mau dekat dekat dengan om alvin, dia tak memberikan kesan yang bagus dimataku..!"


"terserah kamu kalau itu menurutmu yang terbaik..." mama menarik nafas lega. Aku tersenyum pada mama.


"kalau begitu mama tinggal dulu,..!" mama hendak beranjak. Tiba tiba aku baru ingat, aku tahan mama "tunggu sebentar ma, tadi ku lihat kak fairuz pergi bersama om alvin, entah kemana mereka berdua!"


"oh ya?" mama berbalik kembali dan terlihat sangat terkejut mendengar kata kataku tadi.


"iya ma, tadi aku lihat sendiri... Kak fairuz keluar dan menemui om alvin, mereka bicara sebentar entah apa yang di katakannya tapi setelah itu mereka berdua pergi sama sama..." aku menjelaskan. Mama tak mengatakan apa apa. Ia meremas jemarinya, wajahnya kembali kalut.


"aneh, bukannya mereka tak saling mengenal kan, kok bisa mereka jalan berdua?" tanya mama seperti kepada dirinya sendiri.


"beberapa hari yang lalu aku dan kak fairuz sempat bertemu om alvin, aku sudah cerita sama kak fairuz kalau om alvin itu ayah ku ma.." entah kenapa aku baru menyesal telah menceritakan tentang om alvin pada kak fairuz sekarang.


"terus bagaimana reaksi fairuz?" mama jadi gelisah.


"reaksinya biasa aja ma.."


"semoga dia tak macam macam, mama tak mau ada masalah lagi dirumah ini, saat ini mama lagi fokus sama persiapan untuk lamaran dan pernikahan fairuz dan amalia.." gerutu mama.


"iya ma.. Jangan terlalu di pikirkan, aku yakin kak fairuz tak akan macam macam kok, mungkin ia tak enak saja karena melihat om alvin yang sendirian kita tinggalkan di teras.." aku berasumsi.


"mungkin juga ya..." mama menyetujui.


"eh ma itu ada suara mobil, mungkin kerabat kita sudah datang.." aku memasang kuping. Mama menoleh ke arah jendela.


"itu mobil tante laras. Ayo kita sambut mereka dulu..!" ajak mama buru buru.


"iya ma, pasti ada odie, dia menelpon katanya mau ikut mamanya kesini.." aku mengikuti mama menuju ke depan rumah. Mama berdiri di tengah pintu ruang tamu memandangi tante laras sekeluarga sedang turun dari mobil mereka.


"assalamualaikum..." tante laras memberi salam.


"waalaikum salam laras.. Silahkan masuk.." sambut mama senang. "hai rio..!" odie menjabat tangan ku.


"apa kabar die, udah makan lom?" aku balas menjabat tangan odie erat erat.


"udah tadi di jalan kami singgah di restoran.."


"masuk dulu yuk.!" "apa kabar rio?" om beno menyapaku.


"baik om... Alhamdulillah.." aku menyalami om beno dan mencium tangannya.


"wah kalau rio sudah ketemu odie, bakalan nggak keluar keluar dari kamar tuh.!" canda tante laras.


"tante bisa aja.. Si odie tuh kalau di kamar pasti suka mejeng depan tipi main game..." aku menyalami tante laras dan mencium tangannya.


"kalian kan sama aja.. Kalau nggak ada alu mana lesung bisa berbunyi.." tante laras berperibahasa.


"mama bisa aja..." odie bersungut sungut.


"kalian pasti capek habis dari perjalanan jauh, lebih baik istirahat dulu dek.." mama mengajak tante laras ke kamar tamu.


"istirahat bisa nanti, aku mau tau kak, kok mendadak gini si fairuz mau menikah sama amalia?" terlihat sekali kalau tante laras sudah tak sabar menanyakan masalah itu.


"kakak juga sampai sekarang nggak habis fikir dek laras, tapi si fairuz itu memang sulit di tebak, kakak hanya bisa berharap ia tak main main.." ungkap mama sedikit kuatir.

"kalau dia main main aku sendiri yang akan menghajarnya.." timpal tante laras tegas.


"kamu tau sendiri gimana kelakuan fairuz.." tambah mama lagi.


"sepertinya lina tak mendidiknya dengan baik.. Padahal dulu lina itu baik.. Tapi lama lama bikin kesal juga.." tante laras mengeluh.


"sudahlah dek, yang penting sekarang semua sudah bisa diatasi.. Cuma kakak agak kuatir apa fairuz akan lama di sini.."


"sepertinya kalau ia sampai memutuskan mau menikah dengan amalia pastinya ia mau lama disini kak mega..!" tante laras menggelengkan kepala seolah kata kata mama Tadi terlalu aneh dan tak perlu dikatakan.


"kamu benar, cuma yang masih mengganjal di pikiranku saat ini, jika fairuz menikah, lina pasti akan datang, bukan kah dia mamanya fairuz..." mama agak mengeluh.


"yang pastinya kak, lina nggak mungkin menginap disini kan, jadi sudahlah berpikir yang nggak nggak itu..!" timpal tante laras tak sabar.


"semoga aja gitu dek..." harap mama agak tercenung. Aku dan odie diam mendengar pembicaraan mama dan tante laras. Kulihat odie memasang tampang prihatin.


"die, ke depan yuk..!" aku menepuk bahu odie. "main basket?" tanya odie.


"bukan die, ada yang mau aku tanyakan sama kamu!" ujarku sedikit berbisik. Odie mengangkat alisnya.


"emangnya mau tanya apaan?"


"aku nggak mau orang dirumah ini dengar, kita keluar dulu!" ujarku agak tak sabar, odie memang suka lelet. Odie mengikutiku ke beranda. Kami duduk agak jauh dari teras rumah, dekat pohon cemara hias tepat di samping air mancur buatan.


"kamu mau ngomong apa sih?" tanya odie penasaran.


"kamu tau kan sama om alvin..?" aku bertanya sama odie.


"iya tau lah, aku belum amnesia. kan kamu pernah ngajak aku jalan bareng dia..!" odie terdengar gemas.


"dia bapak kandungku die..." aku menatap air mancur yang mengalir di depanku.


"apa...!!" sentak odie terkejut.


"kamu dengar kan?" aku menatap odie.


"tentu saja rio.. Katamu dia bapak kandungmu, apa betul yo?" odie sepertinya tak percaya.


"itulah kenyataannya..!"


"tentu saja rio.. Ha..ha.. Aku sudah curiga dari dulu.. Selamat ya rio..!" odie mengulurkan tangannya hendak menyalamiku. Aku cemberut melihat odie.


"maksud kamu?" tanyaku sambil mendelik.


"ya kamu itu beruntung loh, kan om alvin orangnya baik banget, dia juga perhatian sama kamu, kalian begitu mirip.. Pokoknya om alvin itu betul betul tipe ayah idaman deh!" ujar odie asal. Langsung ku ketok kepalanya dengan buku jariku.


"aduu..h..!" odie meringis dan mengusap kepalanya.


"sembarangan aja kalo bicara, aku itu kesal sama om alvin bego..!" ujarku gemas.


"ya jangan asal main getok gitu dong yo, kan sakit.." odie meringis sambil terus mengusap usap kepalanya.


"ya udah sori kalo gitu.. Tapi aku betulan kesal sama om alvin.." aku bersungut sungut. Odie melongo melihatku, bibirnya agak terbuka seperti orang idiot.


"kok gitu..!" gumam odie. "om alvin sudah lama tau aku ini anaknya dan dia merahasiakan semuanya padaku, dia berpura pura baik padaku ternyata semua itu hanyalah sandiwaranya saja.." ujarku berapi api.


"ya ambil positifnya aja rio, masa sih orang baik berpura pura, bukannya kamu bilang tadi dia bapakmu, masa sih dia berpura pura baik?" tanya odie heran. Aku mendengus sebal.


"bukan begitu maksudku tuyul, ku kira selama ini om alvin orang yang benar benar baik, kamu bisa berpikir nggak sih die, sebetulnya kebaikannya itu adalah kewajibannya karena dia bapakku!.." aku hampir menjerit karena frustrasi dengan odie yang nggak nyambung.


"benar juga ya... Dia baik karena kamu anaknya, buktinya waktu itu mana ada dia belikan aku baju walau selembar sedangkan kamu dibelinya lebih dari setengah lusin.. Aku sempat berpikir kamu beruntung banget waktu itu.." odie mengingat kejadian beberapa tahun lalu saat aku diajak om alvin ke mall.


"nah itu dia, kenapa aku sampai nggak kepikiran waktu itu ya!" ungkapku sebal.


"kan kamu bilang om alvin baik sama kamu karena wajah kalian berdua mirip..." ujar odie sambil mengangguk angguk.


"bodohnya aku sampai nggak kepikiran gitu ya, padahal aku kan mirip banget sama tengku rian tapi dia gak gitu gitu amat sama aku die..." aku mendesah.


"mukamu.. Emangnya kamu siapa, tuh ngaca di kolam.!" odie menatapku dengan tatapan mengasihani.


"biasa aja kali muka tuh!" aku menjewer kuping odie kesal.


"aduh..tangan kamu tuh atraktif banget sih dari tadi..!" gerutu odie sambil menepiskan tanganku.


"makanya jadi orang tu jangan bloon die, kasihan orangtua kamu udah menghabiskan banyak uang buat nyekolahin kamu!" balasku tak mau kalah.


"soalnya yang bloon duluan itu kan kamu.." odie tertawa.


"kembali ke topik.. Tadi om alvin datang kerumah...!" aku kembali serius. Mata odie langsung terbelalak. "dia datang kesini..?"


"iya.. Bahkan tadi ia bertemu dengan mama..!" aku menambahkan. Odie jadi makin tercengang.


"reaksi tante mega bagaimana yo?" odie jadi penasaran.


"mama tak banyak bicara, langsung masuk ke dalam meninggalkan om alvin gitu aja!" aku menceritakan kronologis kejadiannya.


"trus kamu gimana?" tanya odie lagi. "ya sebelum mama masuk aku udah duluan ninggalin om alvin.."


"kenapa bisa gitu..?" odie jadi heran. "mulai lagi deh bloon nya.. Kan udah aku bilang kalau aku kesal sama om alvin , odieeeeeee...!" aku kembali sebal.


"maksudku kok nggak kamu maki maki aja kalau sebal..?" odie mengerutkan alisnya.


"nggak segitunya kalee.. Emangnya kalo sebal harus maki maki orang?" "kan mama ku gitu, kalo sebal habis orang dia maki.." odie memberi contoh.


"sori ya aku bukan mama kamu, dan aku nggak judes kayak tante laras.." timpalku kesal.


"tapi mama kalau marah pasti ada alasannya kok.." odie membela mamanya.


"terserah.. Apalah.. Lupakan mama kamu, Yang penting saat ini aku belum bisa menerima om alvin, biarpun dia bapak kandungku, aku lebih senang dengan keadaan sekarang, dengan mama dan papa tiriku.." aku berdiri.


"tak baik memendam kebencian yo, bagaimanapun juga dia harus kamu hormati karena dia bapakmu, ntar kualat loh.." odie sok menasehati.


"nggak usah kamu bilang juga aku sudah tau die.." desahku pelan.


"jadi sekarang lebih baik kamu tak usah memikirkan hal itu dulu, biarlah semua mengalir rio, aku yakin pada saatnya nanti kamu bisa menerima om alvin.." odie berdiri dan berjalan disampingku.


"entahlah.."


"aku yakin..." odie bersikeras.


"mendingan kita ke dalam dulu. Aku punya film baru pasti kamu belum nonton.." aku mengalihkan pembicaraan.


"wah film apa rio?" tanya odie antusias.


"true lies.. Yang main arnold.. Pokoknya film nya bagus banget die!" promosiku dengan gencar.


"ayo noton sekarang..!" ujar odie semakin bersemangat. Aku mengajak odie ke kamar. Kami nonton film hingga sore. Kalau saja mama tak mengingatkan untuk sholat, mungkin aku dan odie masih tenggelam di kamar dengan film film lainnya. Aku dan odie sholat berjamaah. Selesai sholat aku dan odie keruang makan. Kami makan bersama orangtua kami.


"fairuz kemana ya?" tanya tante laras.


"mungkin kerumah temannya,dia memang jarang makan sama sama, dek laras.." jawab mama.


"kenapa sih anak itu sulit diatur, padahal dulunya dia nggak gitu.." keluh papa.


"sekarang dia sudah dewasa bang, ya wajarlah dia berubah, lagipula dia kan nggak gede disini, mungkin saja dia belum bisa menyesuaikan diri.." tante laras berpendapat.


"biarkan saja lah pa, kalau kita terlalu mengatur ngatur dia bisa bisa dia tidak betah.." ujar mama sabar.


"tapi kedatangan dia sedikit mengobati kesepian dirumah ini semenjak kepergian faisal.." sela papa sedikit termenung.


"iya pa, mama juga merasa begitu, meskipun hingga saat ini dia belum bisa menerima aku ini sebagai mama tirinya.." mama mengeluh.


"sabar kak mega, nanti juga dia pasti bisa menyesuaikan diri, asalkan kakak memperlakukan dia sebagai anak dan menyayangi dia.." nasehat tante laras bersimpati.


"aku kurang yakin dik laras, rio yang anak kandungku saja butuh waktu lama untuk bisa menganggap aku sebagai mamanya, bagaimana fairuz yang jelas jelas menganggap aku sebagai penyebab papa dan mamanya dulu berpisah.." ungkap mama kuatir.


"nanti kalau dia tau kenyataan sebenarnya pasti dia bisa mengerti.." tante laras meyakinkan mama. Papa dan om beno diam tak menimpali omongan mama dan tante laras.


Mama mengangguk dan tersenyum pada tante laras. Aku menghabiskan isi di piringku dengan cepat. Ku lihat odie telah selesai makan. Ia mengupas jeruk dan membuang serat putih yang menempel hingga betul betul bersih. Aku jadi tak sabar melihatnya. Odie begitu telaten hingga makan pun seperti diatur. Kalau aku tak mau repot repot, habis kupas ya langsung makan. Selesai makan tante laras dan mama membereskan meja. Aku mengajak odie duduk diruang keluarga. Bik tin mengantarkan kopi dan empek empek goreng untuk kami berdua. Aku memencet remote mencari cari siaran yang menayangkan film. Odie sibuk sendiri mengutak atik hp nya.


"hp baru ya?" tanyaku sambil melirik hp nya yang bagus. "nggak kok udah sebulan dikasih papa.." jawab odie tanpa mengalihkan tatapannya pada layar hp.


"itu namanya baru monyet!" ujarku sambil melirik hp nya lagi. "kameranya udah vga loh..." odie berpromosi.


"masa sih..?" aku pura pura tak tertarik. Padahal aku penasaran sekali pengen melihatnya. "iya memorinya juga gede banget udah 256 megabyte.." odie menyombongkan kecanggihan hp nya itu.


"masa.?" aku bergeser lebih dekat ke odie.


"ini keluaran terbaru loh, bisa mp3 dan muter film.." tambah odie sambil memamerkan hp itu di depan mataku.


"berapaan tuh?" aku sekilas melihat layarnya yang besar dan bening.


"kamu pengen beli juga?" odie mengerutkan alisnya.


"buat apa, aku nggak mau hp sama dengan kamu.." aku mencibir.


"makanya melek teknologi dong.. Uang banyak tuh hp masih aja jadul.." odie mengejekku.


"enak aja kalo ngomong, emangnya aku harus mengurusi hp aja tiap hari,." aku membela diri.


"katanya mirip tengku rian, tapi hpnya kalo dipake buat lempar anjing bisa peang kepala tu anjing.." odie menghinaku. Aku kesal sekali.


"huh hp gitu aja bangga.. Biar besok aku beli sekalian selusin, buat ngeganjal kaki meja, buat nutupi lobang angin dan sisanya buat nyumpel mulut kamu itu!" ujarku kesal. Odie terbahak bahak mendengarnya.


"nih ada sms dari dion, temanku di kampus.." odie kembali menekuri hp nya.


"teman apa pacar kamu?" tembakku langsung. Muka odie langsung memerah.


"temen kok.. Beneran..!" odie mengelak.


"bilang aja pacar, gak usah jaim gitu lah sama aku die.." aku menggoda odie.


"pelan pelan ngomongnya monyet, nanti kedengaran mama bisa mampus aku!" sungut odie sambil melirik ke dapur.


"upsss.. Sori die.." aku ikut melirik ke dapur. Ku lihat mama lagi asik ngobrol sama tante laras.


"gimana kabar rian?" tanya odie setengah berbisik.


"sehat die, cuma dia lagi banyak masalah.." "emangnya dia ada masalah apa?" odie ingin tau. Aku menceritakan pada odie tentang masalah yang dihadapi rian, hanya sama odie lah aku bisa terbuka setelah kak faisal sudah tak ada lagi. Odie mendengarkan ceritaku dengan serius dan menanggapinya dengan simpati. Bahkan ia mengusulkan akan membantu jika memang aku membutuhkannya. Aku sangat berterimakasih pada odie. Sekitar jam delapan kak fairuz pulang. Papa langsung memanggilnya untuk membicarakan lagi tentang lamaran yang akan dilangsungkan dua hari lagi. Aku dan odie hanya mendengarkan pembicaraan mereka dari ruang keluarga. Aku tak sabar lagi rasanya menunggu pesta pernikahan itu. Pasti rumah ini akan ramai nantinya.


"rio jalan yuk..." odie kelihatan bosan.


"jalan kemana die?" tanyaku heran, tak biasanya odie mengajak keluar.


"terserahlah kemana saja, kerumah teman kamu juga boleh kok rio.." usul odie.


"ya sudah kalau memang mau keluar, ayo.. Kita kerumah rizal temanku aja..!" aku mengajak odie ke garasi untuk mengambil mobil. Semoga saja rizal ada dirumah. Sebenarnya aku pengen banget kerumah koko, tapi aku tak mau kalau sampai bertemu om alvin disana nanti, jadi aku terpaksa menahan keinginan kerumahnya. Padahal kalau main kerumah koko aku lebih terbiasa, mereka baik padaku. Tak sampai limabelas menit aku dan odie telah sampai dirumah rizal. Aku memarkir mobil dekat pekarangan rumahnya. Nampak ibu dan bapak rizal sedang duduk di depan teras rumahnya.


"assalamualaikum..rizalnya ada tante?" aku bertanya sama mamanya.


"waalaikum salam.. Ada, tunggu sebentar tante panggil dia di dalam." jawab mama rizal ramah. Ia beranjak dari kursi dan masuk ke dalam.


"silahkan masuk dulu..." bapak rizal mempersilahkan kami. "iya om.. Nggak jalan ya om?" aku berbasa basi.


"lagi mau dirumah aja, teman kuliahnya rizal ya?" bapaknya menanyaiku.


"iya om kami satu kampus, tapi aku dua tingkat dibawah rizal om.." jawabku sopan.


"hai rio... Tumben.. Sama siapa?" rizal yang baru keluar dari rumahnya langsung menghampiriku. Ia kelihatan senang sekali melihat aku datang.


"sama odie sepupuku dari lubuk linggau bro.. Ganggu nggak?" tanyaku.


"nggak lah, masa ganggu.. Ayo kita kesamping aja, lebih enak santai disitu sambil ngobrol.." ajak rizal sambil membawa aku dan odie lewat samping rumahnya. Dari balik kaca jendela aku melihat intan adik rizal sedang asik belajar di depan televisi. Jadi ingat kejadian beberapa malam yang lalu saat rizal menjemputku diacara ulang tahun adiknya itu.


Rizal membawa kami dibagian belakang rumahnya. Ada teras juga namun lebih tertutup karena dipagari dengan beton tinggi. Cukup luas dan ditata apik dengan tumbuhan bunga serta buah yang tak terlalu rimbun. Lampu taman yang berdiri di beberapa sudut menambah artistik suasana kebun kecilnya itu. Aku langsung merasa betah duduk disini.


"enak banget disini ya zal.." ujarku sambil duduk di kursi jati bersandaran empuk.


"iya rio, papa kan hobi berkebun, kalau pulang kerja tiap sore dia mengurusi kebun ini, kadang kalau hari minggu kami bakar bakar ikan disini.." rizal menjelaskan.


"iya kayaknya bikin acara bakar bakar dan nyate asik juga.." aku menyetujui.


"oh ya teman kamu ini siapa namanya?" tanya rizal ramah. Aku tersentak, sampai lupa aku mengenalkan odie sama rizal.


"kenalan dulu zal, odie.." tanpa disuruh lagi odie langsung mengulurkan tangannya, Rizal membalasnya.


"tunggu sebentar aku mau ke dalam dulu bikinin kalian minuman." ujar rizal.


"nggak usah repot gitu zal kita cuma main aja kok.." aku menahan rizal.


"nggak apa apa kok aku pengen ngopi." rizal bersikeras. Sementara rizal masuk ke dalam rumahnya aku dan odie duduk menunggu sambil melihat lihat kebun ini yang lebih tepat dibilang taman ini dengan antusias.


"rio kayaknya aku pengen nyuruh papa bikin kayak ginian di rumahku.." kata odie kagum.

"emangnya papa kamu doyan berkebun ya?" tanyaku ingin tau.


"nggak juga sih, mana pernah papa berkebun, satu rumput aja nggak pernah papa cabut kalau tumbuh di halaman rumah." jelas odie. Aku tersenyum mendengarnya. Mana mungkin om beno yang begitu sibuk masih bisa meluangkan waktu untuk mengurusi kebun seperti ini.


"kan bisa bayar orang yang ngerjainnya.." aku memberikan usul.


"iya juga sih, cuma halaman rumahku itu nggak seluas ini yo, mestinya cuma dapat taman kecil aja ya.. Pengen banget bisa pindah ke sini.." ungkap odie.


"maksud kamu mau pindah kerumah rizal..?" aku jadi heran.


"ya nggak lah yo, maksudku pindah ke palembang..!" odie sedikit sewot. Aku tertawa.


"kirain mau ikut rizal, naksir ya sama rizal?" godaku. Odie makin cemberut.


"bukan tipe ku yo.."


"emangnya tipe kamu yang kayak gimana sih?" aku penasaran.


"seperti almarhum.." jawab odie singkat. Saat mengatakan almarhum tadi suara odie jadi bergetar.


"tapi kak faisal sudah tak ada lagi dan dia juga normal die.." aku mengingatkan odie.


"aku tau yo, kalau ingat sama almarhum faisal, aku rasanya betul betul kehilangan.. Senyumnya, tawanya dan segala galanya tentang dia..!" odie menerawang kenangannya tentang kak faisal.


"aku juga gitu die, kadang kalau ingat kak faisal, aku suka sedih sendiri.." mataku berkaca kaca. Sungguh aku tak bisa melupakan kebaikan kak faisal hingga saat ini. Perhatian dan kebaikannya padaku. Semua kenangan kenangan indah saat ia masih ada. Odie membisu, sepertinya ia juga sedang mengenang kak faisal.


"kok jadi pada diam gitu?" rizal mengagetkan aku dan odie.


"nggak zal tadi kami lagi membicarakan tentang almarhum.." aku berterus terang.


"jangankan kalian yang saudaranya yo, kami saja yang temannya faisal aja begitu kehilangan. Sulit rasanya harus kehilangan teman dan sahabat sebaik beliau.." rizal ikut ikutan.


"sekarang kita hanya bisa mendoakan kak faisal agar tenang disisinya. Segala kebaikannya hanyalah tinggal kenangan indah..." tutur odie bijaksana.


"iya die kamu benar." aku mengangguk menyetujui.


"tuh di minum kopinya." tawar rizal.


"makasih zal.." aku mengangkat cangkir kopi dan meminum isinya sedikit. Rizal juga menyuguhkan sepiring kue. Kami mengobrol dengan asik. Ada ada saja yang dibahas mulai dari kampus hingga cewek cewek. Aku tau saat membahas tentang cewek, odie kurang antusias. Aku berdiri melihat koleksi tanaman anggrek milik mama rizal. Semuanya sedang berbunga. Ada yang berbau harum. Saat itulah tiba tiba intan muncul.


"kak rizal bisa tolong bantu liat komputerku entah kenapa aplikasi wordnya nggak berjalan!" kata katanya terputus saat ia sadar ada aku disini. Wajahnya menyiratkan antara kaget dan senang.


"apa kabar intan..?" aku menyapa adik rizal itu.


"rio... Kapan datang, kok nggak tau ya..?" seru intan dengan suara yang aku rasa sedikit aneh, agak terlalu riang namun dipaksakan tenang.


"udah sejam lebih kok, kamu aja yang lagi asik belajar dari tadi..." aku tersenyum simpul.


"emangnya kenapa dengan wordnya kok nggak bisa jalan gitu?" rizal menjawab pertanyaan adiknya tadi.


"iya kak aku juga bingung, padahal aku mau ngeprint ketikan aku kemarin. Tadi siang aku pake nggak apa apa kok.." intan menjelaskan.


"kayaknya kamu harus instal ulang deh.." kata rizal.


"apa data dataku nggak hilang kak?" intan agak kuatir. "kalau kamu simpan filenya di harddisk nggak bakalan hilang kok.." tambah rizal.


"kalau gitu tolong kakak liat dulu dong.." pinta intan memelas.


"tunggu sebentar ya yo aku mau liat komputer adikku dulu.." rizal menoleh padaku.


"iya zal nggak apa apa, liat aja dulu." aku menjawab cepat cepat. Rizal masuk ke dalam rumahnya. Aku kembali duduk.


"kok jarang main kesini?" intan bertanya padaku. Ia menyender di samping pintu.


"iya intan, soalnya dirumah sedikit sibuk.." jawabku apa adanya.


"hei malah nunggu disini...katanya minta liat komputernya..!" rizal balik lagi dan menarik adiknya dengan kesal.


"sori kak.." intan tertawa kecil lalu mengikuti rizal masuk ke dalam. Aku tertawa sendiri melihatnya.


"cantik juga ya adiknya rizal itu yo, agak agak mirip vira yuniar." odie berpendapat.


"iya die aku juga melihatnya gitu.." aku membenarkan. Intan memang cantik. Hidungnya mancung dan memang mirip sekali dengan vira. Tapi intan lebih putih. Aku dan odie ngobrol berdua sementara menunggu rizal memperbaiki komputer adiknya. Selang beberapa saat kemudian intan datang lagi dengan membawa satu piring kue.


"kak rio ini aku bikin sendiri, eksperimen sama mama tadi sore.." jelas intan tanpa ditanya.


"makasih intan, nggak usah repot repot gitu.." aku jadi nggak enak hati.


"dimakan dong rio.. Kasih tau apa kekurangannya.." nampaknya intan begitu berharap aku mau mencicipi kue buatannya itu. Intan duduk di kursi tepat di depanku. Aku mengambil sepotong kue buatan intan dan mencicipinya.


"bagaimana..?" intan harap harap cemas.


"enak, manis dan empuk.." aku tersenyum pada intan.


"ayo die dicoba, enak die.." aku menyenggol odie yang sedari tadi hanya diam saja.


"eh iya.. Aku cicip ya.." ujar odie minta izin sama intan.


"dimakan dong.. Nggak usah sungkan sungkan gitu.." amalia menjawab cepat dan memasang senyum ramah.


"betul kata rio, kue buatan kamu enak.. Nggak kalah sama kue yang dijual di supermarket yang sering dibeli mama.." odie memuji intan dengan berlebihan. Sebetulnya rasa kue itu standar aja.. Kelihatan sekali dibuat oleh orang yang baru belajar membuat kue, namun aku tak mungkin berkata terus terang, tak baik mengecewakan orang yang berniat baik pada kita.


"masa sih.. Yang bener.. Makasih ya, memang aku tadi membuatnya lama sekali, soalnya baru belajar sih.. Jadi harus ekstra hati hati dalam menakar komposisi bahannya. Mungkin itulah yang membuat rasanya jadi enak.." intan jadi sumringah dan terlihat bangga. Aku mendengar suara aneh seperti orang yang tercekik dari mulut odie. Diam diam aku cubit pinggangnya tak terlalu keras. Aku tak mau kalau sampai odie tertawa.


"oh gitu ya.. Bagus kalo gitu.." aku tak tau harus berkomentar apa lagi. "kata mama aku harus belajar masak dan bikin kue.. Jadi nanti aku bisa mewujudkan cita citaku untuk mempunyai restoran sendiri.." intan terlihat begitu senang.


"amin.. Semoga keinginan kamu itu terkabul.." aku menimpali.


"eee.. Malah asik asikan disini ya!" rizal muncul dan Kembali bergabung bersama kami.


"udah selesai kak?" tanya intan sambil nyengir karena malu. "sudah tuh.. Bagus ya, sudah minta tolong sama orang malah ditinggal!" gerutu rizal sebal.


"iya deh kak maaf.." intan makin cengengesan nggak jelas. "buruan masuk sana.. Udah malam!" usir rizal kesal. Intan agak cemberut. Ia bersungut sungut meninggalkan kami masuk ke dalam rumah.


"sori ya agak lama.." kata rizal setelah adiknya pergi.


"nggak apa apa kok zal.." jawabku.


"oh ya rio, ntar minggu ada acara nggak?" tanya rizal tiba tiba.


"belum sih.. Ada apa memangnya zal?" tanyaku ingin tau.


"ngumpul dirumahku aja ya.. Ajak juga odie.. Kita bakar ikan disini.." kata rizal sambil mencomot kue yang tadi dibawa oleh intan.


"dalam rangka apa bakar bakar?" tanyaku penasaran.


"nggak cuma mau ngumpul ngumpul aja yo, biasanya kan kami rutin bikin acara, apalagi dulu waktu masih ada faisal.. Kue apa ini!" rizal melempar kue yang baru ia gigit sedikit ke selokan. Odie cekikian melihat rizal membuang kue buatan adiknya itu.


"insya allah kami datang... Nanti aku harus bawa apa?" aku menyandar di punggung kursi.



"nggak usah bawa apa apa.. Datang aja yo.." ujar rizal. "baiklah kalau gitu pasti aku usahakan datang.." aku menyanggupi. Aku dan odie dirumah rizal sampai jam sebelas. Karena sudah larut aku pamit pulang. Sebenarnya rizal masih ingin ngobrol, tapi melihat odie yang sudah berkali kali menguap karena ngantuk, jadi aku putuskan pulang saja. Keadaan dirumah sudah sepi begitu aku dan odie pulang. Aku menaiki tangga teras dan memencet bell. Tak menunggu lama pintu terbuka. Kak fairuz yang membukanya.



"belum tidur kak?" tanyaku sambil masuk rumah.


"nungguin kamu, ada yang mau kakak bicarakan. Penting..." kak fairuz terlihat serius.


"ada apa kak, mengenai om alvin ya?" aku menebak, mengingat tadi sore kak fairuz pergi sama om alvin jadi pasti yang mau ia bicarakan seputaran om alvin.


"iya dek, kamu belum ngantuk kan?" kak fairuz mengamatiku. "belum sih, tapi odie kayaknya udah mau tidur tuh.." aku menunjuk ke odie yang menungguku sambil menyender di dinding.


"kalau masih ada hal penting yang mau di bicarakan nggak apa apa yo, biarlah aku tidur duluan.." ujar odie penuh pengertian.


"iya die, kamu pergilah ke kamar duluan, aku mau ngobrol dulu sama kak fairuz." odie mengangguk lalu meninggalkan aku berdua saja dengan kak fairuz.


"kenapa dengan om alvin kak?" jantungku jadi berdebar lebih kencang.


"banyak yang kami bicarakan tadi.." kak fairuz menggantung kalimatnya.


"ya maksud aku kak fairuz bicarain apa saja sama dia tadi?" aku makin penasaran.


"awalnya dia shock dengan reaksi mama waktu bertemu dengan dia tadi.." kak fairuz mulai menjelaskan.


"wajar aja mama bersikap begitu sama dia.. Tak bisa membela isterinya sendiri.." aku tak acuh.


"dia banyak bercerita dari awal bertemu mama kamu, dan kakak memutuskan kalau tak sepenuhnya itu kesalahan om alvin yo.." kak fairuz menghela nafasnya.


"maksud kakak mau menyalahkan mama?" aku jadi agak panas.


"bukan begitu dek, cuma kalau adek mendengar ceritanya dari satu sisi, maka adek gak akan bisa menilai dengan objektif.."


"tapi kenyataan di depan mata begitu, bagaimana aku bisa mengambil kesan positif terhadapnya.." aku membantah.


"apa pernah kamu berpikir kalau om alvin berbuat seperti itu apa penyebabnya?" kak fairuz membuat pertanyaan yang sulit ku jawab.


"mana aku tau kak, selama ini kenal aja nggak sama dia.." aku bersikeras.


"coba tinggalkan dulu amarah kamu itu, bagaimana bisa berpikir jernih kalau hatimu sudah memendam kemarahan... Sekarang coba kamu memposisikan keadaan kamu yang mengalami kejadian seperti yang dialami om alvin.. Nah kakak mau tau apa yang akan kamu lakukan?" kak fairuz sepertinya ingin mengujiku.


"aku tak mau memposisikan jadi dia kak, karena kami tak sama.." aku masih membantah.


"jangan keras kepala rio, kakak sedang berusaha untuk meluruskan masalah, tolong ingat dia bapak kamu, apapun kesalahannya kamu tak berhak untuk membencinya.." kak fairuz mengingatkanku.


"iya kalau posisi bapak yang bertanggung jawab kak, tapi untuk bapak yang hanya status, ku rasa sikap yang aku ambil ini masih terlalu bagus.." ujarku muak. "lagian kenapa juga kakak yang jadi pusing mengurusi masalah ini, emangnya om alvin membayar kakak berapa untuk membujukku?" aku menambahkan. Sekilas ku lihat perubahan pada ekspresi wajah kak fairuz, namun sepertinya ia bisa cepat mengendalikan diri.


"kamu memang keras kepala persis seperti mama kamu.. Kalau kamu bisa berpikir apa kamu tak pernah membuat kesalahan, kamu pikirkan kembali. Kamu bisa saja bicara itu pada om alvin, tapi coba kalau kamu menuntut kesempurnaan, apa kamu itu sempurna, bisa nggak kalau aku menuntutmu untuk menjalani hidup secara normal, berhenti mencintai rian, masih banyak perempuan yang ada di sekeliling kamu.. Pasti kamu takkan mau, begitu juga om alvin rio, ia cuma manusia dan takkan pernah luput dari khilaf serta salah.. Andai kamu bersikap seperti itu jangan salahkan orang kalau nantinya tak bisa menerima keadaan kamu, ingat segala perbuatan itu ada balasannya." tikam kak fairuz kesal. Darahku langsung surut dari kepala rasanya mendengar kata kata kak fairuz itu. Aku tertunduk.


"maafkan aku kak bagaimanapun juga aku sudah mengenal om alvin lima tahun lebih lama dari kakak mengenalnya, apa kakak yakin tau apa yang ada di benak om alvin, kakak harus berpikir, sudah dua kali ia gagal dalam rumah tangga, pertama dengan mama dan kedua dengan tante sophie, apa kedua isterinya itu yang salah?" aku balik bertanya pada kak fairuz agar dia bisa menilai secara jernih bukan hanya aku saja yang ia minta menghadapi masalah dengan pikiran jernih. Kak fairuz tak langsung menjawab tampaknya ia harus berpikir dulu sebelum menemukan kata kata yang tepat.



"segala kemungkinan selalu ada dek, tak semua kegagalan pernikahan selalu bersumber pada orang yang telah pernah gagal, bisa jadi ia selalu mendapatkan jodoh yang tak bisa memahami dia.." ulas kak fairuz dengan sabar.


"aku capek berdebat kak, pada intinya aku mengenal om alvin dan sempat mengaguminya. Dia tahu aku ini anaknya hanya beberapa hari berselang setelah aku mengenalnya, dan kakak bisa jelaskan kenapa dia tak langsung mengatakan yang sebenarnya padaku, apa alasannya?" aku menantang kak fairuz.


"kakak bisa jelaskan karena om alvin sudah mengatakan semuanya pada kakak..!" jawab kak fairuz tegas. Aku terhenyak. Apa benar om alvin telah menjelaskan pada kak fairuz tentang alasannya itu.


"apa alasannya kak?" aku mencari kejujuran dimata kak fairuz.


"om alvin bilang kalau ia takut dengan reaksi kamu, kalau kamu tau ia takut kamu membencinya. Dan sekarang hal itu sudah terbukti, jadi kakak rasa ketakutan om alvin itu cukup beralasan.." kak fairuz tersenyum sinis.


"justru kebencian ku itu karena om alvin tak berterus terang!" ingin rasanya aku berteriak saking kesalnya. "apa kamu bisa menjamin itu semua?" balas kak fairuz dengan nada menyindir.


"tentu saja.. Setiap malam aku berdoa semoga bapakku seperti om alvin, aku begitu mengaguminya dan sangat ingin dianggap sebagai anak olehnya.. Tapi sampai bertahun tahun itu hanya menjadi doa yang tak terbalas.. Setelah aku bosan. Baru aku tau kalau ia adalah bapak kandungku. Dan yang membeberkan semuanya itu adalah almarhum kak faisal... Aku jadi berpikir seandainya aku tak tau masalah itu, apa sampai sekarang ia punya keberanian untuk mengakui kalau aku anaknya?" rasanya lelah sekali aku berdebat masalah ini dengan kak fairuz karena ini seperti tak ada habisnya.


"dia menunggu saat yang tepat untuk memberitahu kamu.." kak fairuz masih bertahan dengan pendapatnya.


"bukan kak, bukan itu alasannya, kalau kakak mau tau alasannya apa.. Biar aku kasih tau, om alvin sadar aku telah membencinya.. Om alvin baru sadar kalau aku telah mengetahui semuanya, dan ia takut kalau aku akan terus membencinya..." air mataku mulai mengambang, sekuat tenaga aku berusaha agar tak sampai mengalir jatuh. Kak fairuz terdiam. Ia memandangku iba.


"maaf rio, tapi cobalah untuk memaafkan dan menerimanya, berdamailah dengan hatimu.. Kamu pasti akan lebih tenang jika sudah memaafkan bapak kandungmu itu.." suara kak fairuz sudah mulai melemah. Aku rasa kak fairuz mulai bisa mengerti dengan apa yang aku rasakan. "kalau aku sudah memaafkannya apakah itu cukup baginya?" aku menatap kak fairuz tajam.


"akui dia sebagai bapak kamu.. Jangan jadi anak durhaka rio.." "aku bisa memaafkan dia kak, tapi jangan paksa aku menerimanya. Aku tak perduli apapun yang kakak pikirkan, tapi silahkan kakak temui dia, katakan kalau hanya maaf sudah aku berikan, tapi tolong sampaikan juga padanya kalau ia jangan menggangguku lagi. Aku ingin tenang. Dan dia juga akan tenang." aku menyelesaikan kata kataku lalu meninggalkan kak fairuz tanpa perduli kalau ia masih memanggilku. Aku masuk ke kamar dan mengunci pintu. Lelah otak ku berpikir saat ini. Aku ingin beristirahat agar bisa melupakan sejenak masalah yang memuakkan ini. Jangan harap om alvin mengira bisa memanfaatkan kak fairuz untuk membujukku. Hatiku sudah tertutup untuk om alvin. Aku sudah cukup puas tau kalau ia bapakku. Selebih dari itu bagiku tak perlu. Biarkan selalu begini keadaannya Tak ada yang perlu diubah lagi. Tanpa terasa aku menangis. Begitu banyak hal yang terjadi dalam hidupku. Begitu rumit alur yang aku jalani. Aku lelah...






Pagi beranjak terasa lebih cepat dari biasanya. Aku bangun dengan kepala yang terasa masih pusing. Mungkin disebabkan terlalu banyak berpikir dan menangis. Aku rasa agak sulit menarik nafas, hidungku agak buntu. Mungkin terkena pilek. Ku rapikan kamarku. Kamar yang dulunya kamar kak faisal ini sudah aku tata ulang. Beberapa alat alat kak faisal telah aku pindahkan. Aku tak mau setiap detik selalu teringat dengan kak faisal. Itu hanya membuatku jadi tak bersemangat. Meskipun beberapa minggu lalu kak fairuz sudah meminta maaf padaku dan menyuruhku mengambil kembali kamarku yang sekarang ia tempati namun aku menolaknya.


Biarlah aku disini saja. Lagipula tak ada bedanya juga aku tidur di kamar mana selagi
Masih bisa tidur. Dulu juga waktu masih di bangka kamarku sempit dengan kasur yang tipis namun tak menghalangi aku untuk tidur nyenyak. Odie terlihat lelap, tidurnya tenang tanpa dengkuran. Sesekali ia terlihat mengkerut karena dingin. Aku memperbaiki posisi selimutnya serta mengurangi temperatur dingin ac.








Hari ini suasana dirumah agak sibuk Persiapan untuk lamaran kerumah amalia. Tante laras membungkus hantaran yang disusun dalam keranjang keranjang rotan. Mulai dari kosmetik, bahan gaun, pakaian dalam, payung, jarum, benang, gunting dan berkeranjang keranjang hantaran yang memenuhi lantai ruang keluarga. Odie membantu mamanya membungkus keranjang itu dengan plastik bening bermotif bunga kecil kecil. Macam macam bentuknya. Sepertinya papa dan mama tak mau tanggung tanggung mempersiapkan pesta untuk kak fairuz ini.



Dadaku jadi sesak teringat dengan kejadian dua bulan lalu, mama mati matian menentang adanya pesta meriah untuk pernikahan kak faisal. Meskipun kak faisal mengikhlaskannya. Namun aku yang jadi sedih. Begini kontras suasana dengan persiapan pernikahan kak faisal yang tanpa seserahan dan lamaran resmi. Kak faisal meninggal tiga hari sebelum ia melangsungkan akad nikah. Ditengah kesibukan seperti ini kak fairuz malah masih tidur nyenyak di kamarnya. Tadi aku sudah mencoba membangunkan kak fairuz namun ia masih mengantuk. Untung saja acara lamaran diadakan malam ini, jadi tak perlu terlalu diburu buru.



"rio tolong ambil bunga emas di atas meja itu!" tante laras menunjuk ke arah meja yang ia maksud. Tanpa bertanya aku menghampiri meja itu dan mengambil bunga yang ia maksud. Ada beberapa macam bunga dari bahan kertas mengkilap. Aku mengambil yang berwarna emas dan kuberikan pada tante laras.


"makasih.." tante laras menyematkan bunga bunga itu pada setiap keranjang hingga terlihat semakin indah. hantaran yang bernuansa keemasan tak kurang dari tiga puluh keranjang berukuran sedang. Entah untuk apa begitu banyak hantaran, bukannya pernikahan itu yang penting ijab dan kabul nya. Tante sukma dan om sebastian baru tiba. Mereka masuk ke dalam rumah dan memberi salam. Melihat tante sukma langsung tante laras berdiri dan memeluknya.


"apa kabar dik.. Kok siang amat baru kesini..?" tanya tante laras senang.


"iya kak.. Maaf tadi masih menyelesaikan beberapa kerjaan dirumah, soalnya nggak ada pembantu.." tante sukma langsung ikut bergabung duduk diatas karpet.


"banyak sekali hantarannya kak.." seru tante sukma keheranan. "nggak tau dik, kak mega tuh udah kayak mau ngasih sumbangan bencana aja.." tante laras terkekeh. Kak meganya mana?" tante sukma agak heran karena di lihatnya mama nggak ada.


"katanya lagi pilih pilih baju di butik." jawab tante laras sambil menggunting pita jepang warna emas.


"apa kabar rio..." om sebastian merangkul pundakku akrab.



"alhamdulillah sehat om, kok jarang kesini sih om.. Sibuk banget ya?" aku balik bertanya.

"itu tantemu lagi ngidam, suka aneh aneh jadi om susah untuk keluar lama lama.." jawab om sebastian membuat jantungku berdesir. Ternyata tante sukma sedang hamil sekarang. Om sebastian kelihatan bahagia saat mengatakannya. Berarti tak lama lagi om sebastian akan mempunyai seorang anak.


"wah selamat ya om.." aku menyalami om sebastian. Ia menatapku dalam. Seolah mencari sesuatu jawaban yang ingin ia temukan. Namun aku membuang pandangan ke samping. "dimana fairuz?" tanya om sebastian.




"masih tidur om.." aku menarik nafas dan menetralisir perasaan yang lain yang kurasakan menerpa hatiku saat ini.


"waduh hebat yang punya hajat, sementara orang lain sibuk ia enak enakan tidur.." om sebastian menggelengkan kepala. "mungkin dia capek om, soalnya semalam kayaknya dia begadang.."


"mama kamu mana?" om sebastian mengitari pandangan ke seluruh ruangan."



"pergi belanja mungkin sebentar lagi juga pulang.." jawabku. Om sebastian mengajakku ke taman di belakang rumah. Aku mengikutinya menyusuri Jalan setapak buatan dari batu kali berwarna putih membentang bagai alur ditengah hamparan rumput manila tebal. Om sebastian berhenti di bawah pohon belimbing dan mengajakku duduk dibawah pohon itu.


"ada apa om?" tanyaku heran, om sebastian mendongak melihat buah belimbing yang menguning dan besar besar hasil rawatan tukang kebun dirumah ini.


"sudah lama kita nggak berdua seperti ini ya rio.." om sebastian hampir berbisik.


"om kan sekarang sibuk dengan kerjaan dan isteri om.." aku ikut ikutan mendongak. Langit tak begitu cerah, terlalu banyak awan yang berarak hingga menutupi matahari.


"itu bukan berarti om tak memikirkanmu, apalagi semenjak kakakmu meninggal pasti kamu merasa kesepian." om sebastian menatap mataku.


"iya sih om, terasa sekali tanpa kak faisal, meskipun ada kak fairuz, rasanya beda om.." aku ingin sekali curhat.


"kuliah kamu lancar kan?" "sukurlah om, aku punya cita cita dan aku harus mewujudkan itu mumpung sekarang aku ada kesempatan.." aku tersenyum pada om sebastian. Ia mengusap rambutku seperti dulu dulu.


"kamu memang punya prinsip... Om bangga sama kamu.." ujar om sebastian penuh kasih sayang.


"terima kasih om, aku juga bangga punya om yang gagah dan Baik.. Oh ya selamat ya om.. Semoga nanti anak om sehat" aku menyandar dibahu om sebastian. Angin semilir menerpa tubuh kami hingga terasa sejuk dan nyaman.


"andai waktu bisa diputar kembali.." om sebastian berbisik. "tentu kita takkan pernah kenal om.." aku ikut berbisik. Om sebastian menegakan badannya dengan mendadak.


"kok begitu?" ia bertanya heran.


"karena kalau waktu bisa diputar, semua orang bisa memperbaiki kesalahannya.. Mungkin mama tak akan menikah dengan om alvin dan rio tak lahir dari rahim mama om.." jawabku santai. Om sebastian tertawa dan mencubit pipiku.


"tapi tunggu.. Tadi kamu bilang mamamu menikah dengan om alvin.. Siapa dia?" mendadak om sebastian jadi serius. Ia menatapku tajam ingin meminta penjelasan. Aku menelan ludah menatap mata om sebastian dan menunduk Lalu mulai bercerita.


Aku duduk disamping kak fairuz yang sedang menyetir. Mama dan papa di bangku belakang sementara tante laras, odie, om beno satu mobil dibelakang kami bersama pak ngah samsumin dan isterinya yang saudara papa. Tante sukma dan om sebastian di mobil belakang membawa hantaran. Saat tiba di halaman rumah amalia kami tak langsung turun. Menunggu dua mobil dibelakang kami tiba. Setelah semuanya sudah sampai baru aku dan kak fairuz turun diikuti mama dan papa. Kak fairuz sepertinya agak pucat entah karena cemas atau ketakutan. Aku membantu tante sukma mengeluarkan hantaran yang segunung itu. Masing masing kami membawa keranjang hantaran. Ibu amalia menyambut kami dengan senyum sumringah, senyum yang pertama semenjak kehamilan amalia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar