Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 15

#19 UJIAN UNTUK AMALIA

“Ajak amalia kesini fai, mama ingin lebih mengenal dia. “ kak faisal yang sedang menonton televisi diruang tengah langsung memalingkan muka ke mama, bukan cuma kak faisal yang terkejut, tapi aku juga. Sudah dua hari kak faisal pulang, baru hari ini mama membahas kembali mengenai amalia. Kemarin sore tante laras sama om beno sudah kembali ke baturaja. Odie tinggal disini selama liburan. Om sebastian sudah tinggal di barak, tadi pagi koko telpon untuk memastikan aku jadi atau nggak ikut ia dan om alvin makan ke restauran, karena kemarin kemarin aku belum sempat.
“nanti aku tanyakan sama amalia dulu ma sempat apa nggak nya.. Soalnya amalia sibuk bantu ibunya bikin jualan..” jelas kak faisal terdengar senang.
“cantik juga pacar kak fai..” odie nimbrung.
“ya jelas dong.. Gue kan ganteng..” kak faisal narsis.
“huuuu… Dasar.. Nggak boleh di puji dikit..” sungut odie. Kak faisal tertawa. Aku senang dengan keakraban yang mulai kembali datang dirumah ini, apalagi dengan kehadiran odie, yang penuh semangat, suka bercanda, serta perhatian. Terasa lengkap.
“rio, mau temani mama ke supermarket nggak?” tanya mama.
“kapan ma?”
“sebentar lagi, mama besok ada arisan dirumah, takutnya kalau nggak belanja hari ini, besoknya nggak keburu..”
“rio udah ada janji ma…” sesalku.
“janji sama siapa sayang?” mama ingin tau.
“koko sama om nya mau mengajak aku jalan jalan..” aku menjelaskan.
“ya udah.. Kalau memang nggak bisa nggak apa apa.. Odie kamu ajak kan?” mama memastikan.
“tentu aja ma, dari kemarin odie udah reseh mau ikut.. Kalo nggak diajak bisa bisa ia nangis..!” aku bercanda. Odie cemberut mendengarnya. Ia langsung memimpuk aku dengan bantal kursi. Spontan aku mengelak.
“enak aja, emangnya kamu.. Suka nangis!” sungut odie.
“hahaha.. Bukannya kamu anak mama.. Kan anak mama biasanya manja..!” aku mengolok odie.
“nggak lucu!” cibir odie kesal.
“udah jangan berantem, udah pada gede masih kayak anak kecil..!” tegur mama.
“iya tante, rio kan masih anak kecil, masih suka merengek minta jajan!” canda odie sambil buru buru berlari menghindari aku yang mau memimpuknya lagi.
“faisal aja yang temani mama ya?” rayu mama. Kak faisal menggaruk garuk kepala.
“iya deh.. Tapi fai mau mandi dulu ma, habis itu baru fai temani mama..” jawab kak faisal.
“oh ya fai, besok jangan lupa suruh amalia main kemari, sekalian bantu bantu mama masak..” mama mengingatkan kak faisal.
“oke ma.. Tenang aja.. Pasti fai ajak amalia besok, mama pasti nggak tau kalo amalia itu jago sekali masak, ia juga sangat rajin ma, di jamin mama pasti suka sama dia..” promosi kak faisal.
“sudah.. Buruan mandi sana, ntar keburu siang..!”
Setelah kak faisal dan mama pergi, aku dan odie bersiap siap, menunggu jemputan, kata koko ia akan menjemputku dirumah. Aku berganti pakaian, lebih casual namun rapi. Odie memakai bajuku juga.
“keren nggak die?” tanyaku pada odie sambil merentangkan tangan, meminta pendapatnya mengenai baju yang aku kenakan.
“wah.. Keren banget, mirip sama bintang film..” jawab odie serius.
“beneran die, film apa? Kamu lihat dimana?” tanyaku penasaran. Masa sih ada bintang film yang wajahnya mirip sama aku.
“itu mirip banget sama pemain film dokumenter… Flora dan fauna.. Episode bekantan..!” jawab odie sambil ngacir tertawa terbahak bahak.
“sialaaaaaaan…......!”

*****************
setelah sepuluh menit menunggu, akhirnya sebuah mobil sedan memasuki pekarangan rumahku. Koko turun dari mobil dan menghampiriku.
“sudah siap yo?”
“udah ko, om alvin mana?”
“dalam mobil, dia nggak mau turun.. Ayo buruan..”
“oke, yo die.. Kita jalan..!” aku menarik tangan odie, bersama koko masuk dalam mobil, kaca sedan yang gelap membuat aku tak bisa menebak ada berapa orang dalam mobil, ternyata setelah aku masuk, cuma ada om alvin.
“rumahmu kok sepi, pada kemana yang lain, Kamu nggak pamit dulu sama orangtua kamu?” tanya om alvin.
“nggak ada siapa siapa dirumah, papa kerja, mama sama kak faisal ke supermarket, sebentar lagi juga pulang..!” jawabku sambil duduk.
“ya udah kita berangkat sekarang..!” ujar om alvin.
“mama kamu nggak ikut ko?” tanyaku.
“mama nggak sempat yo, lagi ada kerjaan..”
“rumah kamu bagus sekali yo..”
suara om alvin terdengar aneh.
“itu rumah orangtua om, kalo rumahku belum ada… Hehehe..” jawabku diplomatis. Om alvin tertawa sumbang, entah kenapa aku merasa om alvin seperti agak penasaran, beberapa kali ia melihat ke rumahku. Seolah ada yang ia cari. Om alvin menyetir dengan santai, membawa aku jalan jalan mengelilingi kota. Berputar putar dulu sebelum akhirnya menentukan restauran yang ia pilih. Kami turun dari mobil memasuki restauran yang suasananya tak terlalu ramai tapi cukup nyaman. Beberapa meja disusun dengan penuh gaya dialasi taplak kotak kotak dan lain penutup berenda. Sebuah vas dengan bunga segar menghiasi masing masing meja. Suara alunan musik yang santai membuat suasana menjadi lebih rileks.
Om alvin mengajak duduk di meja sudut paling dekat dengan jendela kaca yang dihiasi lampu berkelap kelip bagaikan bintang. Aku suka dengan suasana dalam restoran ini. Seorang pelayan menghampiri kami dengan membawa beberapa buku menu. Om alvin mengambil buku menu dan membacanya.
“pilih saja yo mau pesan apa..” tawar om alvin. Aku mengangguk dan mengambil buku menu itu kemudian meneliti isinya satu persatu. Akhirnya aku memutuskan memesan daging steak tenderloin, lengkap dengan kentang, banana split dan macadamian sunset punch. Om sebastian menulis menu pada sebuah kertas di klipboard. Koko menyebutkan pesanannya, begitu juga odie. Setelah selesai menulis makanan yang kami order, om alvin memberikannya pada pelayan.
“tunggu ya pak..” ujar pelayan itu sambil tersenyum ramah, kemudia berbalik kembali ke belakang. Sementara menunggu, om alvin mengeluarkan rokok, kemudian menyalakannya.
“sudah pernah kesini sebelumnya yo?” tanya om alvin sambil mengembuskan asap rokoknya.
“belum om, baru kali ini..” jawabku sambil melihat ke sekeliling. Beberapa orang pengunjung mengisi ruangan ini, duduk dengan santai seperti kami juga.
“biasanya kalau kamu pulang sekolah, ngapain aja?” tanya om alvin lagi.
“paling dirumah om, bikin pr dan belajar, kalau ada teman ya ikut jalan…” jawabku apa adanya.
“betah tinggal di palembang?”
“betah om, cuma tetap lebih enak waktu di bangka dulu, lebih alami, banyak pantai..”
“om juga kangen sama bangka, lama sekali tak kesana..” om alvin terdengar agak murung.
“rencananya setelah lulus kuliah aku mau ke bangka lagi om.
“kembali ke bangka?” tanya om alvin heran.
“iya.. Rencananya aku mau cari kerja di bangka aja, agar bisa dekat sama emak..”
“loh bukannya kamu sudah ada mama disini, apa nggak kasihan meninggalkan dia?”
“kan ada kak faisal, lagipula aku memang tak ada niat untuk tinggal seumur hidup disini…” jelasku. Om alvin mengangguk.
“kapan kapan om mau mengajak kamu main ke jambi… Mau nggak?” tanya om alvin.
“wah… Beneran nih om? Mau banget…!” aku senang sekali, prospek akan diajak om alvin ke jambi membuat aku jadi bersemangat. Aku memang menyukai om alvin. Ia begitu baik dan berwibawa. Ia juga begitu perhatian serta kebapakan. Andaikan om alvin adalah papaku, pasti aku senang sekali. Saat kami sedang asik mengobrol, pesanan datang, berlimpah makanan disusun diatas meja hingga terlihat agak sesak.
“dimakan yo..” kata om alvin setelah pelayan pergi.
“makasih om.. Ayo die kita makan..” aku mengajak odie agar ia tak canggung. Odie mengangguk, kemudian kami makan sambil mengobrol sesekali. Om alvin banyak bertanya mengenai aku. Entah kenapa aku bagai merasa terlalu banyak yang ingin om alvin ketahui mengenai aku. Ia menanyakan dari aku kecil hingga menanyakan papa, mama dan juga kak faisal. Waktu aku cerita tentang bagaimana aku terkejut dan tak bisa menerima mama pada awal awal pertemuan dulu, dan aku yang masih tetap lebih menyayangi emak hingga sekarang, om alvin langsung batuk batuk, hingga ia harus buru buru minum segelas air putih.

setelah selesai makan, om alvin mengajak ke internasional plaza, tak kusangka, ternyata om alvin membelikan aku jaket dan celana, aku sudah mencoba menolak tapi om alvin tetap memaksa.
“anggap saja itu pemberian dari seorang om kepada ponakannya..” begitu kata om alvin. Akhirnya aku menerima pemberian om alvin. Sepanjang perjalanan kami dalam mall ini, om alvin sering merangkul bahuku. Seolah olah ia sudah begitu dekat sejak lama denganku.
“rio, tau nggak, kamu sama om alvin mirip banget kayak ayah sama anak lelakinya.” bisik odie pelan saat om alvin sedang membayar belanjaan di kasir.
“masa sih die?” tanyaku senang.
“iya yo, sumpah… Kalian betul betul mirip ayah dengan anak… Lagipula aku lihat saat om alvin menatap kamu tadi seperti ada sesuatu yang aku sendiri sulit untuk mengungkapkannya.. Tapi percaya deh, aku bisa merasakan kalau om alvin menyayangi kamu yo…” tambah odie masih berbisik.
“kalian berdua lagi bicara apa sih kok bisik bisik gitu?” tanya koko penasaran.
“ah nggak ko, kata odie, om alvin sama aku kayak anak sama bapak..” jelasku pada koko.
“aku sependapat sama odie..” ujar koko setuju. Aku tak mengatakan apa apa lagi karena om alvin sudah selesai membayar belanjaan dan sekarang sedang berjalan menuju kearah kami.
“ini yo,..” om alvin memberikan bungkusan kepadaku.
“makasih om..” aku mengambil plastik bungkusan berisi baju, jaket, celana dan sepatu yang tadi dibeli om alvin. Selain membelikan untukku, koko dan odie masing masing dibelikan satu buah baju. Om alvin mengantarkan aku sampai di depan pagar. Disaat yang bersamaan mobil mama tiba, terdengar suara klakson, mobil om alvin menutup pintu masuk dekat pagar, terpaksa om alvin masuk ke pekarangan agar mobil mama bisa masuk ke dalam pekarangan.
“om mampir dulu,” aku menawari om alvin. Tapi om alvin tak menjawab. Ia nampak bengong melihat mama bersama kak faisal yang baru turun dari mobil. Kak faisal membuka bagasi mobil menurunkan barang barang belanjaan mama. Sementara mama dengan keingintahuan melihat ke arah kami. Aku membuka pintu mobil hendak turun, namun tanganku langsung di tahan oleh om alvin.
“ada apa om..?” tanyaku heran. Wajah om alvin begitu pucat seolah habis melihat makhluk halus.
“sebentar yo, jangan turun dulu, om mau memutar mobil dulu..” ujar om alvin kemudian dengan tergesa menginjak pedal gas, mobil langsung mundur, berbelok dekat depan beranda kemudian keluar dari pekarangan. Mama yang tadi berjalan menghampiri mobil om alvin, langsung berhenti dengan heran, mama mungkin tak tau kalau aku yang ada dalam mobil.
“kok keluar lagi om, ada apa?” tanya koko.
“nggak enak ko, om belum bisa mampir, mana ada mamanya rio, om harus buru buru..” jelas om alvin semakin aneh.
“ya udah kalau memang om lagi ada urusan, lain kali kalau om main ke palembang, mampir kesini om, rio kenalin sama keluarga rio..” aku berbasa basi. Om alvin tak menjawab cuma mengangguk.
“iya yo.. Kapan kapan…” suara om alvin bergetar. Aku turun dari mobil, odie ikut turun.
“makasih ya om…” aku tak lupa berterimakasih.
“sama sama yo…” tanpa menunggu lebih lama om alvin langsung berlalu dari hadapanku bersama koko.
“ayo die ke dalam..” aku membawa bungkusan yang lumayan banyak, odie membantuku membawakan beberapa bungkusan. Mama masih berdiri di tempat tadi, setelah melihat aku dan odie, mama langsung menggeleng.
“kalian berdua rupanya, mama kira siapa tadi..” ujar mama.
“iya ma, habis jalan jalan sama koko dan om nya..” jawabku.
“ya udah.. Itu apa yang kamu bawa?” selidik mama ingin tau.
“oh, ini baju dibelikan oleh omnya koko ma, odie juga dibelikan..” aku menjelaskan.
“baik sekali om nya itu, kok nggak diajak mampir aja tadi sekalian?” tanya mama
“om nya masih ada urusan ma, katanya kapan kapan ia mampir kemari.”
“ya sudah, tolong bantu kak faisal bawa belanjaan mama, kamu taruh dulu barang barang kamu didalam rumah, itu dalam bagasi masih banyak belanjaan mama..” tunjuk mama ke mobil.
“iya ma.. Eh die, tolong kamu bawa semua ini ke kamar, aku mau bawa belanjaan mama dulu..”
“siap bos” seloroh odie sambil memberi hormat selayaknya orang sedang menghormati bendera. Aku masuk ke dalam. Kak faisal sedang minum.
“darimana aja dek?”
“jalan jalan..”
“sama koko?”
“iya kak..”
“itu apa?”
“baju sama celana, dibeliin sama om alvin..”
“huuuu enak banget kamu dek, cuma gara gara mirip sama kakaknya koko, malah dapat fasilitas dari mereka..!” sungut kak faisal.
“ya namanya juga rejeki kak, nggak lari kemana..” candaku sambil masuk kamar. Kak faisal ikut masuk ke kamarku.
“dek, ada yang mau kakak omongin sama adek sebetulnya, tapi ketunda terus dari kemarin..” ujar kak faisal sambil menepuk bahuku. Aku berbalik mengadap kak faisal.
“kakak mau ngomong apa, kayaknya penting ya?” tanyaku.
“iya dek, odie mana?” tanya kak faisal sambil melongok keluar kamarku.
“lagi bantuin mama, emangnya kenapa kak?”
“dek, hati hati sama odie, kakak curiga sama dia, soalnya agak aneh…” bisik kak faisal penuh misteri.
“aneh bagaimana kak, perasaan biasa aja kok selama aku sama odie, nggak ada keanehan.?” tanyaku heran.
“huuu adek, kalau dibilangin pasti ngeyel, masa adek nggak ngerasa tingkah odie itu rada aneh..?” ulang kak faisal.
“biasa aja kok..”
“adek harus hati hati sama dia!” kak faisal memperingatkanku. Aku kaget mendengar penyatan kak faisal.
“sudah lah kak, odie nggak pernah macam macam..” jawabku tak sabar. Kak faisal agak kaget dengan reaksiku yang tak terlalu perduli.
“apa maksud adek, kakak cuma nggak mau adek terjebak.. Itu aja dek..!”
“kakak tak perlu kuatir, aku juga sama seperti kakak, bisa jaga diri.. Lagian selama ini odie tak pernah bersikap aneh!” bantahku tak perduli.
“kalian menyebut namaku, ada apa?” tanya odie. Aku dan kak faisal menoleh serempak, apakah odie mendengarkan pembicaraan kami tadi, kak faisal terlihat serba salah. Odie menghampiri kami.
“kenapa yo? Kok kamu jadi bersikap aneh, kalian lagi bicarain aku kan… Ada apa?” desak odie penasaran.
“nggak die, kak faisal cuma bilang, tadi aku sama kamu jalan kemana aja.. Cuma itu..” aku mencoba menutupi.
“oh.. Itu ya.. Iya kak fai, aku tadi sama rio ke mall, sama om alvin.. Kayaknya om alvin perduli banget sama rio, lagipula mereka itu mirip banget kayak anak sama bapak..” ujar odie bersemangat. Kak faisal terlihat lega.
“baguslah kalau begitu, ya sudah.. Kakak mau ke kamar kakak..” jawab kak faisal. Lalu kak faisal meninggalkan aku dan odie. Setelah kak faisal pergi, odie naik ke tempat tidur dan berbaring.
“gila, capek juga ya… Padahal kita tadi cuma jalan jalan..” ujar odie sambil menumpukan siku diatas bantal.
“iya die, kalo capek istirahat aja, aku juga mau tidur siang…” aku ikut naik ke atas tempat tidur dan berbaring disamping odie.
“yo… Aku senang banget disini, andai bisa tiap hari sama kamu, aku pasti makin senang..” ungkap odie tulus, aku tersenyum dan mengangguk.
“kenapa nggak minta mama kamu memindahkan kamu sekolah disini, kamu kan bisa tinggal disini, kita bisa ke sekolah bersama…” aku mengusulkan.
“kamu nggak kenal sama mama, tak mungkin ia mau kasih ijin aku untuk pindah sekolah disini, mama tak bisa melepaskan aku dari pengawasannya. Lagi pula mama kesepian kalau nggak ada aku, adikku yang perempuan masih kecil, aku sih kepingin banget bisa terus disini..” sesal odie.
Aku jadi terngiang dengan ucapan kak faisal tadi mengenai odie. Ku lirik odie yang matanya sudah terpejam. Ketulusan di wajahnya yang polos sangat terlihat. Aku senang tau kondisi odie yang sesungguhnya. Tapi kalaupun itu cumalah sebatas kekuatiran kak faisal saja, aku akan menjaga rahasia sebisa mungkin. Aku melirik odie lagi, rupanya ia sedang memandangiku. Aku kira tadi ia sudah tidur. Waktu melihat aku memergokinya sedang memandangiku, odie cepat cepat menutup matanya. Aku tersenyum karena lucu melihat tingkah odie. Aku pun memejamkan mata. Tapi sulit sekali tertidur. Aku pun menoleh ke odie. Rupanya lagi lagi ia sedang mengamatiku dan lagi lagi cepat cepat menutup mata waktu aku melihatnya. Sambil tertawa aku timpuk odie dengan bantal.
“hei.. Apa apaan..” odie terlonjak kaget.
“pura pura tidur ya!” tuduhku langsung. Odie nyengir malu karena ketahuan.
“kenapa die?” tanyaku akhirnya, sambil aku berbaring menyamping lebih dekat ke odie.
Odie kelihatan gelisah.
“n..ng..nggak.. Kok.. Nggak.. Kenapa napa…!” elak odie terbata bata.
“die… Kamu udah pernah pacaran?” tanyaku ingin tau. Odie langsung menoleh kaget.
“kok nanya gitu, kenapa emangnya?” odie balik bertanya. Aku jadi tak enak hati dengan reaksi odie, sepertinya ia merasa kurang nyaman dengan pertanyaanku itu.
“nggak kok die, cuma sekedar mau tau aja.. Boleh kan?”
“jujur aku belum pernah pacaran, aku belum pernah merasakan sesuatu yang lain dengan cewek, jadi aku santai aja..” jawab odie lugas.
“dari smp belum pernah pacaran?”
“iya…”
“sama!”
“hahaha…” odie tiba tiba tertawa.
“kenapa die?” tanyaku heran.
“kita banyak kesamaan yo…”
“contohnya…?”"
“ya sama sama belum pernah nyoba pacaran..!” jawab odie asal.
“dasar!” aku menowel kening odie kesal.
“teman teman sibuk pacaran tapi aku santai aja, untuk apa maksain pacaran kalau cuma untuk pamer..” jelas odie.
“kamu kan ganteng mustahil nggak ada cewek yang mau sama kamu…” ujarku pelan.
“yang naksir sih banyak..” jawab odie sombong.
“ya elah.. Sok banget!”
“nggak maksud aku, ada beberapa cewek yang ngasih sinyal, tapi aku nggak gubris soalnya aku nggak tertarik..!”
“kenapa nggak tertarik die?” pancingku.
“ya nggak tau, pokoknya aku nggak tertarik aja, mungkin belum ketemu cewek yang pas aja..!” jawab odie ragu.
“emangnya baju pake pas segala…” candaku.
“nggak tau lah yo, sampai sekarang aku belum kepikiran untuk berpacaran..” tandas odie.
“kalau sama cowok gimana?”
tembakku langsung ke intinya.
Wajah odie langsung berubah pucat pasi.
“kok nanya gitu..!” suara odie berubah ketus.
“nggak die, jangan tersinggung, aku cuma nanya.. Apa kamu ada perasaan lain kalau melihat cowok?” aku penasaran odie akan menjawab apa.
“nggak… Aku nggak mau jawab..!” odie langsung berbalik memunggungiku.
“die, kamu marah ya?” aku memegang bahu odie. Tak ada jawaban. Odie tetap memunggungiku.
“ya udah kalau memang kamu nggak mau jawab nggak apa apa, lagian aku cuma sekedar tanya aja.. Nggak maksud apa apa, mungkin kamu memang belum siap untuk pacaran aja..” aku mengalah tak mau lagi bertanya lebih jauh. Aku kira tadi odie mau bercerita dan lebih terbuka padaku mengenai dirinya yang lebih dalam. Tapi odie kelihatannya tak mau membaginya. Jadi buat apa aku memaksa.
Aku turun dari tempat tidur. Meninggalkan odie berbaring sendirian di kamar. Hari ini kamis, besok rencananya odie mau pulang ke baturaja dan aku tak mau memberikan kenangan jelek dihasi terakhir dia disini. Biarlah odie merasa nyaman. Baru saja aku mau menutup pintu tiba tiba terdengar odie memanggilku.
“yo..!” aku urung keluar kamar, aku masuk lagi ke dalam dan menutup pintu. Kemudian menghampiri odie. Ia sudah duduk di tepi tempat tidur dan menunduk.
“ada apa die?” tanyaku bingung.
“kamu mau kemana?” odie bertanya sambil tetap menunduk.
“nggak kemana mana die, cuma mau ke dapur, ada apa die?” desakku tak sabar.
“pertanyaan kamu yang terakhir tadi….” odie menggantung kalimatnya.
“kenapa die.. Ada apa dengan pertanyaanku terakhir tadi, bukannya kamu nggak mau membahas hal itu..” tanyaku untuk memastikan.
“yo.. Apakah kamu betul betul sahabatku..?” tanya odie agak aneh.
“iya die.. Aku sahabatmu.. Kok masih bertanya sih?”
“seberapa jauh kamu bisa aku percaya?” tanya odie lagi.
“tanyakan hatimu die, kamu yang bisa menentukan apa aku ini patut untuk di percaya atau tidak..” jawabku lugas.
“aku percaya kamu yo..” jawab odie mantap.
“makasih die, aku hargai.. Tapi kenapa kamu bertanya kayak gitu?” aku jadi makin penasaran.
“sebetulnya aku bukan tak pernah menyukai seseorang yo..”
“lalu?”
“kamu janji tak akan marah, dan kamu juga janji tak akan menganggapku tak waras?” odie mendongak menatap wajahku.
“tadi kamu mau bilang apa?” aku mengingatkan
“kamu mau tau siapa orang yang aku sukai?”
“siapa die?” tanyaku dengan jantung berdebar debar.
“ngomong aja die, nggak usah ragu, apapun yang kamu mau katakan aku nggak masalah, kita nggak perlu ragu…” aku meyakinkan odie.
akhirnya odie bicara juga..
“nanti aku pasti katakan yo, tapi jangan sekarang ya... aku janji…” pelan sekali kata katanya itu hingga aku nyaris tak mendengar.
“apa die aku kurang jelas!” odie mengulang lagi kata katanya sedikit lebih keras. Aku tertegun sejenak tak menyangka kalau itu yang akan odie katakan, Aku duduk disamping odie sambil menepuk bahunya pelan. aku berdiri meninggalkan odie. Ia masih memanggilku lagi tapi aku pura pura tak mendengar. setelah itu, dia sedikit lebih pendiam, tadi malam ia tidur cepat sekali, jam 8 malam udah lelap, aku masih sama kak faisal main catur di kamar kak faisal. Aku tak mengatakan apa apa sama kak faisal. Sekitar jam sebelas aku ngantuk, kak faisal masih mengajak main catur tapi mataku sudah benar benar tak mampu lagi bertahan.
Hari ini odie mau balik ke baturaja, rencananya sih om sebastian yang akan mengantarkan odie. Soalnya sejak jam sembilan om sebastian datang ke rumah, walaupun om sebastian tak lagi tinggal disini, namun kamarnya masih tetap di penuhi barang barangnya. Kata mama biarlah jangan di pindah siapa tau om sebastian mau tinggal dirumah ini lagi.
Kak faisal menjemput amalia, rencananya hari ini amalia mau menolong mama memasak untuk arisan nanti sore. Odie sedang berkemas kemas. Karena tak membawa baju, ia cuma membungkus makanan yang mama belikan untuk oleh oleh. Bajunya tempo hari dia datang ia pakai lagi. Aku membantu odie mengikat kotak kotak berisi oleh oleh. Odie masih saja terlihat agak pendiam tak seperti biasanya. Saat kak faisal datang bersama amalia aku amati odie, ia terlihat sedikit murung, aku baru menyadari hal itu sekarang.
Kak faisal mengajak amalia langsung ke dapur, amalia berjalan dengan ragu, sepertinya ia agak canggung. Mungkin ia belum pernah melihat dapur dirumah ini sebelumnya. Walaupun dapur tapi begitu lengkap. Aku ingat waktu pertama aku masuk ke rumah ini, reaksiku nyaris mirip dengan amalia sekarang. Tinggal dirumah yang begitu bersahaja selama belasan tahun, kemudian masuk ke rumah yang lebih mirip istana tentu saja membuat aku merasa bagaikan berada antara dua dunia. Tapi itu sudah berlalu. Aku meninggalkan odie, ia duduk di depan televisi sibuk menonton. Sebetulnya kasihan juga sih sama odie. ia baik terhadapku.
“lagi mikirin apa yo?” aku tersentak, om sebastian sudah berdiri di sampingku dekat lorong antara ruang keluarga dengan kamarku.
“nggak om.. Nggak apa apa.!” jawabku agak gagap karena sedikit kaget.
“jangan sering sering melamun loh.. nanti kemasukan arwah penasaran...!” goda om sebastian iseng. Aku langsung tertawa karena ekspresi wajah om sebastian yang lucu saat mengatakan itu.
“biasanya yang bilang gitu malah yang kemasukan arwah penasaran...!” aku balas menggoda om sebastian.
“dasar nggak mau kalah.!” Om sebastian memencet hidungku dengan gemas sampai aku teriak karena sesak nafas. Aku tersengal sengal sambil menarik nafas panjang saat tangan om sebastian ia lepaskan dari hidungku. Om sebastian malah tertawa seolah hal barusan sangat lucu. Aku cemberut dan mencubit om sebastian sekeras kerasnya.
“aaaawwww... sakit tauu...!” ringis om sebastian, aku berlari sambil mengejek om sebastian, ia mengacungkan tinju Dari jauh pura pura mau memukulku. Tepat diruang tengah aku berpapasan dengan odie.
“disini rupanya.. Dari tadi aku cari cari..!” seru odie saat melihatku.
“kenapa nyari aku die?”
“nggak… Tadi mama kamu nanyain kamu dimana, aku cari dikamar nggak ada, nggak taunya ada disini..” jelas odie.
“temani aku ke toko yuk, mama kamu nyuruh aku ke warung beli kelapa parut..”
“kamu aja ya die, aku mau mandi dulu, gerah..” aku menolak.
“ya udah kalau gitu, aku ke warung dulu ya…” ujar odie berlalu meninggalkan ku. Aku ke kamarku dan mandi, aku mandi dua kali lebih lama dari biasanya. Aku menggosok gigi dua kali lebih lama dari biasanya. Setelah berpakaian aku ke dapur melihat mama masak.
“kecapnya di tuang sedikit sedikit biar rasanya lebih meresap..!” terdengar suara mama. Rupanya ia bersama amalia sedang menumis sayuran.
“iya tante..”
“awas jangan sampai hangus, diaduk terus…”
“iya tante..” sikap amalia masih kentara sekali canggung. Ia mengaduk tumisan diatas kompor gas, sementara mama mengeluarkan kue dari dalam oven. Tercium aroma harum kue jahe dan kayumanis. Perutku tiba tiba menjadi lapar.
“darimana aja sayang?” tanya mama begitu melihat aku.
“gak kemana mana ma Cuma ngobrol sama om bastian, soalnya lama nggak ngobrol sama dia.”
“heran mama sama om mu itu, buat apa sih pindah dari sini, mau maunya tinggal di barak, sudah enak enak disini..” gerutu mama, sementara tangannya sibuk bekerja memindahkan kue dari dalam loyang ke wadah kaca.
“ngaduknya jangan terlalu kuat mel, nanti sayurnya hancur, itu jangan terlalu mateng, vitaminnya nggak ada lagi..” mama mengambil spatula dari tangan amalia, kemudian mengecilkan api. Amalia terdiam. Aku menggelengkan kepala melihat kelakuan mama. Sepertinya mama mengajak amalia kesini bukan untuk minta tolong, tapi hanyalah untuk mencela kerja amalia.
“kata faisal kamu jago masak, tapi ini kok disuruh tumis sayur aja sampe layu gini..!” ujar mama dengan tak sabar menuang tumisan itu dalam tong sampah.
“sayuran seperti ini disajikan untuk ibu ibu arisan, bisa bisa tante jadi bahan gunjingan selama berminggu minggu..” gerutu mama kesal. Amalia diam, wajahnya kusut, ia seperti menahan tangis. pasti ia tersinggung melihat mama membuang tumisan sayur tadi.
“maaf tante.. Saya tak.. Bermaksud..”
“sudahlah, nggak usah banyak ngomong, tolong kamu potong lagi sayuran seperti tadi, ambil wortel, labu air, lobak dan kol dalam kulkas. Potongnya jangan terlalu besar besar!” perintah mama tak terbantah.
“baik tante” jawab amalia kemudian buru buru membuka kulkas mengambil sayuran yang tadi mama suruh ambil.
“tante, ini kelapanya..!” odie masuk ke dapur menaruh kelapa parut diatas meja batu.
“makasih sayang.. Kamu mau pulang jam berapa?” tanya mama sambil membuka daging kaleng.
“kata om sebastian jam 3 tante, kalau sudah agak teduh..” jawab odie.
“kalau begitu tolongin tante kamu blender bumbu ini..” mama memberikan wadah beling berisi bermacam bumbu yang sudah di kupas.
“siap tante..” jawab odie dengan mimik lucu. Mengambil bumbu itu kemudian menuang ke dalam gelas blender.
“ya ampun..! Amalia.. Kamu itu perempuan bisa kerja nggak sih, motongnya itu searah jangan miring kayak gini.. Aduh.. Ini anak, lama lama tante yang bisa miring gara gara kamu!” keluh mama sambil mengambil pisau dari tangan amalia.
“perhatiin tante ya, gini cara motongnya…padahal tadi udah di ajari.. Emang faisal itu kalo promosi nggak sesuai dengan kualitas!” sindir mama tanpa perasaan. Amalia mengambil pisau satu lagi, kemudian mengikuti arahan mama. Tangannya terlihat sangat gemetaran. Aku betul betul kasihan sekali sama dia, kemana sih kak faisal, coba ada kak faisal disini, mama tak akan bersikap begitu.
“ma rio bisa bantu apa?” tanyaku menghampiri mama.
“sayang.. Nggak usah ngapa ngapain biar mama sama amalia aja yang ngerjain, tinggal beberapa masakan lagi juga beres..” jawab mama sambil meletakkan pisau.
“ngirisnya yang cepet ya, kalo gitu caranya bisa bisa jam tujuh malam baru selesai..!”
“iya tante..” jawab amalia. Aku jadi nggak enak sama amalia, pasti ia merasa tak nyaman dengan sikap mama. Tapi amalia tetap berusaha untuk membantu walaupun tak ada satupun pekerjaan yang benar dimata mama.
“sini mel, biar aku bantu..” ujarku sambil mengambil pisau yang tadi mama pakai. Kemudian membantu amalia mengiris sayur.
“nggak usah yo, biar aku aja yang ngerjain..” tolak amalia.
“nggak apa apa..” aku tak menghiraukan amalia. Aku juga bisa kalau cuma motong sayuran kayak gini.
Terdengar bunyi desingan mixer. Mama sedang mengadon kue.
“kak faisal mana mel?”
“disuruh mamamu mengambil pesanan kue bolu di toko kue..” jawab amalia sambil tangannya terus bekerja.
“udah lama perginya?”
“paling baru setengah jam, bisa yo?” amalia memperhatikan aku.
“bisa dong mel, dulu waktu di kampung, aku sering bantu emak ngiris sayuran juga..” jawabku sambil tertawa. Amalia ikut tersenyum. Akhirnya selesai juga aku dan amalia mengiris kuenya.
“udang kupasnya masih ada tante?” tanya amalia kepada mama yang sedang memasukkan mentega ke dalam adonan telur yang sudah berbusa.
“cari aja di kulkas.. Jangan bertanya terus, pake inisiatif, gimana sih kamu ini…” lagi lagi mama membuat amalia terdiam. Namun dengan sabar amalia pergi juga membuka kulkas untuk mencari udang kupas sebagai campuran tumisan.
“mel, bumbunya yang ini ya?” aku bertanya sambil memegang mangkuk beling berisi bumbu halus yang baru odie blender tadi.
“iya yo.. Tolong kamu nyalain apinya dan panasin kuali.. Aku mau mengiris bakso ikan ini..” amalia meminta tolong.
“sip lah..!” aku mengacungkan jempol sambil mengedipkan mata sama amalia.
“ma, kualinya yang gede ini ya?” tanyaku sama mama.
“loh kok bisa kamu yang ngerjainnya.. Amalia nggak bisa ya?” cibir mama.
“sudahlah ma, tak apa apa, kasihan amalia juga bisa capek ma, dari tadi mama marahi terus!” aku menggeleng gelengkan kepala.
“loh siapa bilang mama marah sama dia, mama itu cuma mengajari dia saja biar kerja itu lebih cekatan.. Udah kayak tuan puteri saja, kerja lamban kayak nggak pernah masuk dapur..” sindir mama.
Aku tau amalia mendengar, tapi ia tak mengatakan apa apa. Aku mengecilkan api kompor, kemudian menuang minyak sayur.
“ma ini udah belum?” tanyaku.
“tambah sedikit lagi sayang.. Iya begitu.. Pinter anak mama..” puji mama. Membuat hidungku jadi kembang kempis. Baru saja aku mau meletakkan botol minyak sayur, tiba tiba.
PRAAAAANG..!!!
Terdengar suara benda pecah. Aku berbalik dengan kaget. Begitu juga mama. Amalia berdiri dengan tangan memegang mulutnya. Sementara di lantai dekat kakinya mangkuk beling tahan api ukuran besar berisi pasta spaghetti. Berhamburan tak berbentuk lagi. Wajah amalia pucat pasi.
“apa apaan ini?” pekik mama melengking mendirikan bulu roma. Aku menepuk kening prihatin. Amalia terdiam tak mampu berkata kata, reaksi mama sudah bisa di tebak, kaya kebakaran kutang.
“ya ampun amalia.. Mata kamu di taruh di kaki ya? Minta ampun…. Mana wajan kesayangan tante lagi yang kamu pecahin.. Aduh amalia.. Amalia… Kamu pikir itu belinya pake daun apa?” jerit mama histeris seolah olah cincin berliannya yang di rusak oleh amalia.
“ma…maaf tante.. Saya tidak sengaja.. Saya minta.. Maaf..” suara amalia bergetar ketakutan.
“makanya kalo kerja itu konsentrasi jangan cuma mikirin faisal aja, aduh.. Bisa gila tante kalo gini..” hardik mama tanpa perasaan.
“sudahlah ma, amalia kan udah minta maaf, lagian dia juga nggak sengaja..!” aku menenangkan mama. Kemudian aku berjongkok membersihkan pecahan pecahan beling. Amalia ikut berjongkok membantuku. Ia betul betul ketakutan.
“itu tante arisan, nggak ada di jual per satuan. Harus satu set, sekarang udah nggak lengkap lagi gara gara kamu terlalu ceroboh!” tuding mama. Amalia terkejut hingga tangannya terkena pecahan kaca dan berdarah.
“ya ampun mel, hati hati..!” aku menjadi panik melihat banyaknya darah yang mengalir dari jari amalia.
“ada apa ma? Kenapa ribut ribut…?” tanya kak faisal yang baru datang. Ia meletakkan tumpukan kotak berisi kue pesanan mama diatas kulkas lalu buru buru menghampiri kami.
“tuh liat sendiri kelakuan pacar kamu itu, emang nggak bisa di andalkan..!” sungut mama sebal.
“astaga mel, tangan kamu kenapa?” kak faisal mengangkat amalia agar berdiri. Air mata amalia berderai deras menyertai tetesan darah dari jari jarinya.
“odie jangan bengong aja! Cepat ambil obat sama plester di kotak obat.. Ayo buruan!” bentak kak faisal karena panik.
“iya kak..” odie yang sedari tadi bengong melihat kejadian ini langsung bergegas meninggalkan dapur untuk mengambil obat.
“aduh mel, kenapa bisa begini sih.. Kamu nggak hati hati ya?” tanya kak faisal penuh perhatian, suaranya agak cemas.
“nggak apa apa sal, cuma luka sedikit kok..”
“sedikit kamu bilang… Udahlah nggak usah lagi bantu mama… Kamu pasti capek ya..” ujar kak faisal sambil memperhatikan jari amalia yang masih mengeluarkan darah.
“nggak kok fai, aku udah biasa.. Tadi itu wajannya licin, jadi tergelincir waktu aku pegang..” suara amalia tersendat seperti kena pilek.
“ya udah kamu nggak usah pikirin wajan yang pecah itu, yang penting sekarang kita mengobati luka kamu dulu,.. Aduh odie ini kemana sih, kok ngambil itu aja lama amat..!” gerutu kak faisal. Baru saja kak faisal ngomong gitu, odie datang.
“ini kak..” ia memberikan sebotol obat antiseptik beserta segulung perban dan plester.
“makasih die, guntingnya mana?” tanya kak faisal. Tiba tiba aku mencium aroma yang agak aneh, mirip seperti masakan yang gosong.
“astaga ma, kue mama hangus!” teriakku.
“ya ampun… Apa lagi ini.!” pekik mama heboh kemudian dengan cepat membuka oven.
“bukannya membantu malah bikin susah!” gerutu mama dengan suara keras.
***********


kak faisal mengajak amalia pergi dari dapur, akhirnya aku dan odie yang membantu mama, semua lauk telah dimasak, tinggal menghias kue. Mama mencampur adonan mentega putih dengan gula halus serta pasta warna warni. Mengolesi kue bolu dengan lapisan krem, namun hasilnya sungguh menyedihkan. berkali kali mama merapikan olesannya tapi sepertinya krem itu bagai menguji kesabaran mama.
“mama belum pernah ya menghias kue?” tanyaku ingin tau.
“belum, biasanya kalau ada acara bik tin yang membuat kue, kayaknya kalau liat dia, bikinnya gampang banget, coba kamu tolong mama ambil pasta pandan..” mama meminta tolong.
“yang ini ya ma?” aku meraih botol kecil berwarna hijau.
“iya sayang, makasih ya..” mama mencampur lagi adonan krem dengan pasta pandan.
“aduh kalau begini, nggak bakalan beres sampai jam empat nanti..” mama mengeluh. Tiba tiba aku ingat, waktu acara ulang tahun amalia tempo hari, aku pernah melihat kue ulang tahun yang ia hias, bagus sekali tak kalah dengan yang dijual di toko kue terkenal.
“tunggu sebentar ma…” aku berlari.
“mau kemana?” teriak mama. Aku mencari amalia dan kak faisal, mereka tak ada diruang tengah, di ruang keluarga maupun diruang tamu. Aku keluar mencari mereka di teras, untunglah ada, mereka sedang ngobrol di pinggir kolam. Jari amalia sudah di obati dan di plester.
“mel, masih sakit nggak tangannya?” tanyaku.
“nggak begitu.. Kenapa yo?” amalia menatapku heran.
“bisa bantu dekorasi kue nggak?”
“nanti mama kamu marah?” amalia terlihat ragu.
“nggak mel, mama lagi kesulitan sekarang. Dari tadi kami nggak bisa, udah hampir satu jam belum beres juga.” aku mengeluh.Amalia memandang kak faisal meminta persetujuan.
“oke kita ke dapur sekarang, agar aku temani.” kak faisal berdiri lalu memegang tangan amalia mengajaknya ke dapur. Aku melirik tangan kak faisal. Ada rasa tak menentu dalam dadaku. Tapi aku berusaha mengabaikan. Kami tiba di dapur, mama yang nampak stress, tangannya berlepotan krim dimana mana, di depannya teronggok kue bolu yang menyedihkan, seolah dihias oleh anak balita. Aku setengah mati menahan tawa. Amalia sampai menutup mulutnya. Kemudian kami menghampiri mama.
“itu apa ma, Kue basi ya?” tanya kak faisal heran. Mama mendelik mendengar ucapan kak faisal, dasar kak faisal asal bicara saja, nggak tau usaha dan kerja keras mama mendekorasi kue itu.
“kue basi gundulmu ini kue untuk teman teman mama,!” jawab mama sewot.
“astaga ma, siapa mau makan kue hancur kayak gitu..!” kak faisal bergidik tak percaya. Seolah mama baru saja melemparkan lelucon padanya.
“AWWWW…” jerit kak faisal kaget karena mama menggetok kepalanya dengan siku jari.
“dasar anak tak bisa menghargai jerih payah orangtua.” sungut mama kesal. Kak faisal mengusap usap kepalanya.
“idih mama..” ujar kak faisal sebal. Aku tertawa terbahak bahak.
“sini biar saya bantu tante..” amalia menawarkan diri karena kasihan melihat mama yang sudah hampir stress.
“sudahlah nanti malah tambah berantakan..!” larang mama.
“aku udah biasa tante, kalau boleh biar aku bantu..” amalia tak perduli dengan cibiran mama.
“betul kamu bisa?” mama sedikit ragu. Amalia mengangguk dan tersenyum, lalu berdiri disamping mama, ia menyingkirkan adonan pasta bikinan mama, kemudian mengolah adonan baru, tangannya gesit seolah sudah terbiasa melakukan itu. Mama diam saja memperhatikan amalia.
Kak faisal tersenyum lebar melihat amalia membentuk kelopak mawar merah muda, begitu rapi dan cepat. Adonan warna putih ia olesi ke seluruh permukaan kue, lalu ia ratakan dengan pisau bergerigi, hingga membentuk alur gelombang, kemudian ia menyemprot dengan pelan adonan itu di semua sisi kue hingga membentuk renda yang mirip sekali dengan renda pada gaun pengantin. Setelah itu ia membentuk daun dengan cetakan yang agak pipih. Semua itu ia kerjakan tanpa ragu. Tak sampai setengah jam satu loyang kue bolu sudah ia sulap menjadi kue yang betul betul indah, begitu rapi. Mama terbelalak tak percaya melihat hasilnya. Amalia mengangkat kue itu dan menunjukkan sama mama.
“ada yang kurang tante, apa lagi yang harus di tambah?” tanya amalia. Mama seperti sulit sekali menjawab. Ia memperhatikan kue itu dan kurasa mama tak ada celah sedikitpun untuk mengkritik kue itu.
“hmmm.. Sudah.. Lumayan bagus..” jawab mama angkuh susah payah menyembunyikan rasa terkesan melihat kue itu. Aku menahan tawa melihat mama. Sementara kak faisal menatap amalia dengan mata berbinar bangga. Seolah ingin menunjukkan pada mama. *ini ma cewek pilihan faisal, hebat kan*
amalia menghias semua kue bolu dengan bermacam bentuk hiasan dekorasi. Tak sampai jam tiga semua beres, setelah selesai, kak faisal mengajak amalia pergi dari dapur. wajah mama masih keruh, aku tau mama belum bisa menerima amalia sepenuhnya, cuma karena kak mama tak mau kak faisal kabur lagi mama mengijinkan kak faisal terus pacaran sama amalia. Jam tiga om sebastian mengantar odie pulang ke baturaja.
“kapan kapan main lah ke baturaja yo..” teriak odie dari balik kaca mobil.
“iya die.. Pasti.. Hati hati di jalan..!” aku membalas, om sebastian melemparkan tatapan penuh arti padaku. Aku balas tersenyum. Begitu banyak hal yang terjadi, rumah kembali sepi. mama sedang membereskan meja serta bersih bersih, bik tin minggu depan katanya baru kesini lagi. Aku masuk ke dalam rumah. Membantu mama menyusun kursi kursi. Bunga bunga segar ditata dalam jambangan dengan artistik, kak faisal sudah pergi mengantar amalia pulang. Jam empat teman teman arisan mama mulai berdatangan. Heboh sekali suasananya seperti dalam pasar.
***************


Tidak ada komentar:

Posting Komentar