Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 8

#10 KELUARGA BARU

Aku turun dari pesawat bersama mama, suasana keramaian dan asing langsung menyergap, membuat aku jadi gelisah. mama menuntun ku berjalan keluar dari pintu bandara, seumur hidup baru sekali itulah aku naik pesawat, walau tadi dari pangkalpinang transit ke jakarta dulu, namun tak lama, aku sempat melihat betapa megahnya bandara soekarno hatta, seandainya aku sendirian pasti aku tersesat, jauh beda dengan bandara pangkalpinang, padahal tadi aku sudah begitu takjub melihat bandara pangkalpinang. Tapi setelah melihat bandara jakarta, ternyata bandara pangkalpinang belum seberapa.

Gedung gedung menjulang tinggi bak mau menusuk langit bisa aku lihat dari jendela pesawat. Kepalaku langsung pusing waktu melihatnya. Belum lagi awan awan putih yang biasanya aku lihat dari bawah, hari ini bisa kulihat dari balik jendela. Pengalaman naik pesawat tadi betul betul membuat aku senang. Sekarang aku sudah di palembang. Bandaranya tak sebesar di jakarta, namun jauh lebih megah dari pangkalpinang. Aku berjalan keluar bandara bersama mama. Ramai sekali orang orang di bandara ini, berjalan hilir mudik, ada yang duduk, dan ada yang baru datang.
"bagaimana rio.. Suka nggak lihat kota palembang..?" tanya mama sambil tersenyum dan memegang tanganku.
"belum tau ma.. Tapi kepala rio pusing.. Capek banget ma.."
"mama ngerti, ini pertama kali kamu berjalan jauh, jadi tak heran kalau belum serasi... Kita udah di jemput, pasti pak yono sudah di depan.. Ayo cepetan jalannya, biar bisa istirahat cepat dirumah.." kata mama mempercepat langkahnya menuju pintu keluar bandara.
"nah.. Itu dia mobil jemputan kita..!" mama berseru sambil menunjuk ke satu arah, aku menoleh melihat kearah yang mama tunjuk tadi. Sebuah mobil yang aku tak tahu tipe apa, tapi bentuknya sedan, warna merah tua. Begitu bagus dan mengkilap, aku saja pasti bisa berkaca di mobil itu. Mama melambaikan tangan, seorang lelaki aku perkirakan berumur 35 tahun melihat kearah mama lalu menghampiri kami dengan terburu buru.
"iya nyonya.." kata pak yono saat dekat kami.
"bawa barang barang ini ke mobil.. Kami capek.."
"iya nyonya.." cuma itu kata kata yang keluar dari mulutnya.
"ayo rio ke mobil sekarang.. Gerah banget disini.." mama mengajak aku ke mobil, setelah di mobil ia membuka pintu menyuruh aku masuk. Langsung saja terasa sejuk, mama duduk disampingku, kemudian menutup pintu mobil. Mama mengambil sebotol minuman dingin lalu memberikan padaku, langsung aku minum. Sementara mobil berjalan, mataku melihat lihat ke luar jendela. Kota yang besar tapi semerawut, gedung empat lantai banyak berjejer di pinggir jalan. Suasana jalan raya pun begitu ramai tak seperti di pangkalpinang, jalan disini lebar lebar. Beberapa mall bisa kulihat sepanjang perjalanan.
"ma.. dirumah mama ada siapa aja ma?" akhirnya keluar juga pertanyaan yang sudah dari tadi begitu ingin aku tanyakan sama mama, aku kuatir karena sebagai orang baru, tentu butuh penyesuaian.
"cuma ada papa kamu.. Terus om sebastian adik bungsu papa.. Dan kakak tirimu faisal, tenang saja rio, mereka sudah tahu tentang kamu. Saat ini mereka pasti sudah menunggu dirumah untuk menyambutmu.." jelas mama sambil membuka tutup botol minuman yang ada di tangannya.
"aku punya kakak tiri ma?" tanyaku dengan terkejut.
"iya.. Waktu mama menikah dengan papamu, ia sudah punya anak dari isterinya yang dulu."
"jadi papa suami mama sekarang, bukan papa kandung rio ya ma?" aku bertanya sedikit bingung.
"bukan.. Dia bukan papa kandungmu, Bapak kandungmu itu mama tak tahu entah kemana.. Malas mama bicara tentang dia.. Lelaki pengecut itu tak punya tanggung jawab... Mama berharap ia sudah mati mengenaskan.." jelas mama berapi api, suara mama terdengar penuh kebencian. Aku hanya tertunduk mendengarnya.Harapanku untuk mengetahui bapak kandungku sirnalah sudah.. Aku pikir mama sudah kembali dengan bapak kandungku. Rupanya mama menikahi orang lain. Sekitar setengah jam, kami sampai, sopir membawa mobil memasuki sebuah rumah mewah berpagar tinggi keemasan. Rumah yang betul betul besar dalam artian sebenarnya. Rumah dua tingkat, bercat ruth, berhalaman luas, ada taman di depannya. Ada garasi juga, dua buah mobil yang bagus Bagus terparkir didalamnya. Aku serasa bermimpi tak menyangka Kalau ini rumah yang akan aku tempati. Tubuhku langsung gemetaran.
"ayo turun sayang.." mama membuka pintu mobil kemudian turun. Aku mengikutinya. Kami berjalan menuju teras yang tinggi, ada tangga bertingkat dari keramik yang mengkilap tanpa debu sedikitpun. Mama membuka pintu dan mengajakku masuk. Dengan canggung aku mengikuti mama. Mataku terpana melihat ruang tamu yang hanya pernah aku lihat dalam mimpi sebelumnya. Rumah erwan yang begitu mewah pun belum seberapa bila di bandingkan dengan rumah ini. Apalagi peralatan di dalamnya membuat kerongkonganku menjadi kering karena terlalu sering menganga.
"faisal...! papa...!." mama berteriak didalam rumah. Sesosok tubuh jangkung, berkulit putih dan berambut di potong tipis nyaris botak kayak tentara keluar dari sebuah ruangan dari sebelah kiri ruang tamu yang di pasangi gorden warna merah hati dan berrumbai rumbai.
"iya ma.. Wah.. Kapan datang?" ujar pemuda yang aku perkirakan sekitar usia kelas 2 sma. Seperti baru menyadari kehadiranku ia langsung menoleh dan melihat aku seolah olah belum pernah melihat manusia sebelumnya. Matanya agak disipitkan. Ekspresi wajahnya penuh pertanyaan. Kemudian ia menoleh lagi pada mama.
"itu ya ma rio anak mama..?" mama mengangguk dan tersenyum lebar, lalu mendorong aku pelan agar mendekati kakakku.
"iya sayang, ini adikmu.. Kenalan dulu sana..!" aku mendekat sedikit ragu, kak faisal tak bereaksi hingga aku mengulurkan tangan padanya.
"rio...." ujarku singkat memperkenalkan diri. Sepersekian detik barulah ia mengangkat tangannya menyambut uluran tanganku.
"faisal..." jawabnya tak kalah singkat, kemudian cepat cepat ia melepaskan tangannya dari jabatanku seolah olah ia baru saja memegang binatang melata. Mama sepertinya tak menyadari hal itu tapi aku langsung merasa kehadiranku dirumah ini sudah ada penolakan dari penghuninya.
"papamu mana fai, kok nggak kelihatan, memangnya ia tak tahu mama udah pulang?" mama memecah keheningan antara kami.
"tadi lagi dibelakang ma, ngasih makan ikan gurami di kolam, sebentar aku panggil dulu.." jawab faisal kemudian berbalik masuk ke ruang tengah.
"duduk rio, kamu pasti capek... Sebentar mama suruh bik tin bikin limun.." kata mama lalu meletakkan tas tangannya ke atas meja pajang. Kemudian mama memanggil sebuah nama yang kuyakini pastilah pengurus rumah tangga disini dari intonasi mama memanggilnya. Sebentar kemudian seorang perempuan seumuran emak datang tergopoh gopoh menghampiri kami.
"iyo nyonya.. Ado apo.." tanya bik tin dengan hormat.
"bik, bikinke limun samo batu es, cepet dikit...!" perintah mama bak seorang ratu yang sedang memerintah dayang. Masih sempat bik tin melirikku sebelum ia kembali kedapur.
"mama harap kamu betah disini, kamarmu sudah mama siapkan sejak lama, disamping kamar kak faisal.. Mama juga berharap kalian berdua bisa akur nantinya, soalnya mama agak kuatir kakakmu itu agak manja dan keras kepala." jelas mama sambil duduk disampingku. Mendengar kata kata mama bertambah rasa kuatirku, dipangkalpinang juga aku kesulitan untuk bergaul apalagi ditempat yang masih asing bagiku ini.
"iya ma" jawabku pendek karena aku ragu.
"eh mama udah datang, maaf papa nggak tau..."
terdengar suara dari belakang kami, aku langsung menoleh melihat ke arah datangnya suara tadi.
Mama menarik tanganku agar berdiri.
Kemudia ia menghampiri seorang lelaki yang bertubuh sedikit gemuk dan rambutnya mengingatkan aku dengan darto helm. Wajahnya nampak begitu berwibawa.
"papa ini rio.." mama langsung memperkenalkan aku.
"wah ini ya anak papa, ganteng banget..." ia langsung merengkuh dan memelukku seolah olah aku memang anak kandungnya. Dari balik punggungnya aku melihat mama tersenyum dengan puas.
"mulai sekarang panggil om ini papa ya nak.. Jangan sungkan sungkan disini, ini rumahmu juga..." kata suami mama dengan ramah.
"iya om... Eh.. Papa..." jawabku canggung, malu sekali rasanya karena aku belum pernah dipeluk oleh seorang lelaki dewasa, mulai sekarang aku sudah punya papa, sesuatu yang tak terbayangkan selama ini akan aku miliki lagi. Sepertinya papa juga begitu baik, terlihat dari sikapnya. Kurasa aku bisa dengan mudah menyukai papa baruku ini. Papa melepaskan aku kemudian menghampiri mama. Aku kembali duduk diatas kursi sofa jati berukir yang mirip sekali dengan kursi pelaminan untuk raja raja.
"kok rio nggak dibuatkan minum ma?" tanya papa.
"sudah kok pa, bik tin lagi bikinin di dapur.
"rio sudah lihat kamarnya ma?"
"belum pa, sebentar lagi mama tunjukin ke rio, sebastian mana pa?"
"lagi kerja, sebentar lagi juga pulang..." jawab papa. Mama hanya mengangguk.
Bik tin keluar dari dapur membawa sebaki limun dengan es batu. Kemudian menuangnya ke dalam gelas beling panjang.
"diminum rio... Kamu pasti haus.." mama mengulurkan sebuah gelas yang sudah penuh terisi limun. Aku mengangguk dan mengambil gelas yang mama berikan lalu ku minum hingga tinggal setengah. Papa memperhatikan aku sambil tersenyum, membuat aku jadi salah tingkah.
"nampaknya anak papa kehausan ya.. Keterlaluan memang mamamu ini, masa anaknya nggak di beliin minuman.." goda papa sambil tertawa. Aku jadi ikut tersenyum lebar, aku langsung menyukai papa tiriku ini.
"sudah kok pa, tapi hari ini memang panas, jadi bawaannya haus melulu.." timpal mama sambil tertawa.
"rio jangan diam aja... Sudah..! Disini nggak usah malu malu kucing.. Santai aja sayang, orang suka melamun bisa kena stress loh.." canda papa sambil tangannya mencolek pinggangku, membuat aku kegelian. Mau tak mau aku ikut tertawa juga.
"sana lihat kamarmu, ajak mamamu itu.." ujar papa sambil berdiri. Aku kembali mengangguk.
"mama piara burung betet ya?" tanya papa tiba tiba. Mama mengerenyit menatap papa dengan heran.
"nggak kok pa.. Emangnya kenapa.?" tanya mama heran.
"itu, burung betet kan suka mengangguk angguk..!" papa kembali menggodaku. Mama tertawa setelah tahu maksud papa. Mukaku memerah karena malu.
"iya pa..." akhirnya dengan susah payah aku berhasil juga mengeluarkan suara.
"nah.. Gitu dong, anak cowok itu nggak boleh malu malu kucing, harus tegas dan punya wibawa, tak boleh kayak cewek... Papa ingin kamu apa adanya, tak perlu memasang topeng, tunjukan sikapmu.. Itu baru anak papa.." tukas papa lugas. Kemudian ia merangkul bahuku.
"ayo ikut papa, kita lihat kamarmu.."
"iya pa.. Terimakasih.." jawabku mulai terbiasa, kemudian aku mengikuti papa berjalan menuju ke ruangan tengah, bermacam macam dekor guci keramik, patung porselen dan lukisan memenuhi dinding, tapi tetap ditata dengan arsitektur yang modern. Sampai didepan pintu kamar, papa menyibak gorden lalu mengajak aku masuk. Nyaris aku berteriak melihat kamar ini namun cepat cepat aku membekap mulutku. Besar sekali kamar ini, nyaris sebesar rumahku di bangka, ada tempat tidur dengan kasur per yang empuk di alasi bed cover, televisi, komputer, midi compo, karpet tebal gambar mobil berwarna biru, lemari besar dan. Meja belajar yang sudah disusun dengan buku buku tulis, lemari yang berisi bermacam macam komik dan majalah. Rasanya aku sedang bermimpi. Mendapatkan fasilitas yang begini mewah tak pernah aku bayangkan seumur hidup, dan ini benar benar jadi milikku. Dengan ragu aku masuk dan menyentuh kasurku yang aku tahu pasti tak murah. Tiba tiba aku jadi ingat emak dirumah, emak tidur diatas kasur kapuk yang sudah kempes, andai saat ini emak bersamaku, sama sama tidur dikasur ini, tentu aku lebih bahagia, tapi emak jauh, dan aku meninggalkan emak dalam kesusahan. Memikirkan ini Hilang sudah kegembiraan yang aku rasakan, menguap bagai air mendidih. Aku kangen sama emak, baru saja aku tiba dipalembang tapi aku sudah begitu rindu sama emak. Bagaimana hari hari besok yang akan aku lalui tanpa ada emak. Membayangkan aku tidur dan terbangun tak ada emak membuat aku ingin menangis. Mataku jadi berkaca kaca.
"kenapa sayang, kamu tak suka dengan dekorasi kamar ini...? Bilang aja nak.. Mama bisa ganti dengan yang lain..!" suara mama membuyarkan lamunanku tentang emak.
"bagus kok ma... Aku suka.. Nggak perlu diganti..." aku menjawab dengan terbata bata.
"kenapa kamu seperti melamun tadi, apa yang kamu pikirkan?" tanya mama dengan nada menyelidik.
"nggak ma.. Cuma ingat sama emak..." jawabku apa adanya. Sekilas wajah mama agak berubah, senyumnya langsung lenyap.
"rio... Mama tak suka kamu selalu memikirkan ibu angkatmu itu... Aku ini mama kandungmu.. Hargai mama rio...!" tekan mama padaku.
"tapi ma.. Bagaimanapun juga ia yang telah membesarkan rio.. Rio menyayangi emak.. Bagi rio ia ibu kandung rio...!" jawabku kesal tanpa menghiraukan keterkejutan mama saat mendengar hal yang baru saja aku katakan. Bagai kehilangan kata kata mama hanya bengong, sementara papa seperti mengerti dengan situasi yang mulai tak enak segera menengahi kami.
"sudahlah ma, rio tak akan bisa semudah itu melupakan ibu angkatnya itu, mama tak bisa memaksa dia, butuh proses untuk itu..."
"bukan begitu maksud mama pa, gimana rio bisa melupakannya kalau yang ada di pikirannya hanya emak.. Emak.. Emak.. Terus..!" ujar mama kesal dengan nada tinggi. Aku hampir saja membalas kata kata mama yang bagiku sangat tak enak didengar namun papa memberi isyarat padaku agar tak bicara, akhirnya aku hanya diam saja walau hatiku gondok.
"ma, rio pasti capek, biarkan dulu ia istirahat... Mama juga pasti capek kan, habis dari perjalanan jauh.. Kita keluar dulu biarkan rio istirahat.." papa membujuk mama dengan lembut. Mama tak menjawab namun tatapannya masih menghujam padaku, aku tahu mama pasti kesal. Tapi aku tak perduli, akhirnya mama mengangguk pada papa dan mengikuti papa keluar. Sepeninggal mereka, aku tutup pintu kamar kemudian aku menghempaskan tubuhku diatas tempat tidur. Kepalaku pusing, aku merasa seolah olah ditempat yang asing, segala kemewahan yang mengelilingiku rasanya seperti tak nyata. Andai yuk tina melihat ini semua ia pasti akan sangat senang sekali, aku memang ingin memiliki barang barang bagus, punya rumah mewah dan segalanya... Tapi aku ingin menikmati semua bersama keluargaku, bersama emak, yuk tina dan yuk yanti. Apalah artinya semua kemewahan ini yang harus aku tukar dengan kehilangan saat saat bersama emak. Aku pejamkan mata namun sulit sekali untuk tidur, rasanya gerah, seprei yang halus alas tempat tidur ini terasa panas, ada ac dikamar tapi aku tak tahu bagaimana cara menyalakannya. Akhirnya aku bangun kembali dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Namun aku tak bisa melihat pemandangan diluar karena tertutup oleh pagar tembok yang tinggi. Daripada nggak ada kerjaan lebih baik mengutak atik peralatan yang ada dalam kamar ini. Saat melihat sega aku jadi ingat erwan. Dia mengajari aku main sega. Ku nyalakan televisi, kemudian aku hubungkan kabel dari sega ke televisi. Tertampil menu standby sega. Kupilih kaset yang bagus kemudian aku atur setting permainannya. Jangan heran aku bisa karena ini juga erwan yang mengajari. Baru saja aku mau memulai permainan, terdengar suara ketukan di pintu kamarku. Setengah mengeluh aku berdiri. Pasti mama nih, mau apa lagi sih mama, apa tak bisa membiarkan aku untuk istirahat sebentar saja. Dengan malas ku buka pintu kamar. Namun bukan mama yang berdiri di depan pintu, tapi seorang lelaki yang usianya kutaksir diatas 30 tahun. Mengenakan seragam polisi lengkap, tubuhnya tegap dan tinggi. Rahangnya tegas dan persegi, rambutnya dipotong cepak, hidungnya mancung dan ada bekas cukuran di area atas bibir serta dagunya yang meninggalkan bekas berwarna seperti kehijauan. Jambangnya lebat dan agak ikal namun dipotong rapi. Orangnya tampan sekali namun alisnya yang tebal dan matanya yang tajam menimbulkan kesan yang membuat aku menjadi agak takut.
"rio ya..?" tanya lelaki itu dengan suaranya yang berat dan tegas.
"i...iya.. Eh.. Ada apa..?" aku terbata bata.
"perkenalkan namaku sebastian adik papamu... Selamat datang rio.." ia mengulurkan tangan kanannya padaku, agak ragu aku sambut tangannya, terasa agak kasar dan hangat.
"boleh om masuk?" tanya om sebastian dengan ramah. Saat tersenyum seperti ini, kesan angker yang kulihat tadi langsung lenyap begitu saja. Senyumnya sangat manis ada lesung pipinya.
"silahkan..." aku membuka pintu kamar lebih lebar, mempersilahkan om sebastian masuk.
"wah.. Kamu lagi main games ya...?"
"iya om, baru mau mulai nih.." jawabku yang sudah mulai merasa nyaman dengan om sebastian, ternyata orangnya ramah juga, aku tak menyangka ternyata adik bungsu papa yang tinggal dirumah ini ternyata seorang polisi.
"om juga mau ikutan.. Tolong ambil joystik satu lagi.."
"nggak ah om, rio kan belum mahir mainnya ya pasti kalah kalau diadu dengan om.." aku menolak dengan enggan, bukan karena aku tak mau main sama sama, tapi aku malu karena om pasti bakalan tahu kalau aku kurang bisa main games.
"tak apa apa rio.. Om bisa ajari kamu.." paksa om sebastian. Akhirnya aku mengalah, berdua bersama om sebastian aku bermain games, karena aku sering kalah om sebastian tertawa dan sering meledekku. Aku membalas ledekan om sebastian, terkadang ia merangkulku kalau ia senang karena berkali kali mengalahkanku. Aku merasa langsung akrab dan dekat dengan om sebastian. Kami berdua bermain games sampai jam lima, setelah aku mematikan televisi dan sega, om bastian pamit ke kamarnya untuk ganti seragamnya dengan pakaian rumah. Sepeninggal om bastian, aku langsung mandi, dikamar ini langsung lengkap ada kamar mandi. Aku senang sekali mendapat teman baru hari ini yaitu om bastian, membuat aku jadi sedikit betah disini. selesai mandi, aku membuka tas travel yang aku bawa, mengambil baju ganti, aku pakai baju kaus yang dulu emak beli waktu lebaran, aku memakai celana pendek yang biasa aku pakai sehari hari waktu dirumah bangka. Setelah selesai menyisir rambut aku keluar dari kamar dengan canggung. Aku masih belum terbiasa, jadi masih agak malu malu. Untung saja om sebastian sedang duduk diruang tengah, saat melihatku ia langsung berdiri.
"wah.. Udah mandi ya.. Ganteng banget rio.. Sayang udah mau maghrib, kalau masih sore pasti udah om ajak jalan jalan.." om sebastian nyerocos bagai peluru dari mitraliur.
"jalan jalan om.. Mau mau.. Kapan om.. Ajak rio jalan jalan dong..!" dengan manja aku mendesak om sebastian, eh kenapa pula aku ini kok bisa segitunya.. Padahal aku kan baru kenal sama om sebastian.
"eits..sabar dong.. Hahaha.. Nanti pasti diajak jalan.. Tapi jangan sekarang, ntar dimarahi sama mama kamu.."
"jadi kapan dong om.. Kalau dirumah terus kan bete juga.." kilahku masih tetap songong.
"iya deh om janji ngajakin kamu jalan kalau om lagi nggak tugas,... Eh ngomong ngomong rio udah ketemu belum sama kakakmu.. Faisal..." om sebastian menaikan alisnya.
"udah tadi om.."
"kok nggak ngajak dia jalan... Faisal kan banyak teman, biasanya tiap sore pasti jalan bareng teman temannya itu.."
"tadi habis manggil papa trus hilang..."
"gimana reaksinya saat berkenalan dengan kamu tadi..?" om sebastian ingin tahu.
"biasa aja om.. Cuma salaman trus dia langsung manggil papa, habis itu gak tau kemana.." tuturku apa adanya.
"faisal agak bandel dan manja, segala keinginannya selalu dituruti jadi gitu.. Suka kelayapan nggak jelas.. Baru kelas dua smu tapi sering pulang pagi..." aku terperangah mendengar cerita om sebastian, tak kusangka sampai sejauh itu kenakalan kak faisal.
"sudah adzan.. Om mau sholat dulu.." om sebastian menutup percakapan kami. Aku mengangguk dan kembali ke kamar. Aku wudhu dan sholat, selesai sholat aku berdoa. Lama sekali aku berdoa, mendoakan emak dan ayuk ayukku dibangka. Semoga mereka sehat sehat saja. Tak terasa aku menangis dalam doa, rasa kangen pada emak dan bangka membuat aku tak kuasa menahan tangis. Selesai doa aku menggulung sajadah dan menyimpannya dalam lemari. Baru aku mau keluar kamar, mama sudah di tengah pintu.
"eh mama..." aku sedikit kaget.
"makan malam sayang..." mama tersenyum padaku, tak ada lagi sisa kesal tergambar diwajahnya. Mungkin mama sudah berhasil meredakan emosinya tadi.
"iya ma.." aku mengangguk. Aku tak tahu dibagian mana rumah ini posisi dapur, soalnya aku belum mengitari seisi rumah. Mengikuti mama aku tiba di dapur. Ruangan yang cukup besar, ada kulkas setinggi lemari baju, meja makan panjang dengan delapan kursi jati yang empuk, diatasnya sudah tersedia berlimpah makanan, bahkan ada buah juga. Hampir menetes liurku melihatnya. Papa, om sebastian dan kak faisal sudah duduk dikursi masing masing. Mama menarik sebuah kursi dan menyuruhku duduk. Dengan canggung aku duduk. Papa dan om sebastian tersenyum padaku sementara kak faisal seolah olah tak melihatku. Mama menarik kursi dan duduk disampingku. Didepanku sudah ada piring, piring yang besar dari porselen. Dirumahku dulu tak ada piring seperti ini. Aku biasa makan dengan mangkuk plastik berbentuk kapal kesayanganku. Aku jadi ingat biasanya jam segini dirumah aku emak dan ayuk ayukku biasa makan bersama. Aku cuma berdoa semoga mereka makan lauk yang enak hari ini. Bik tin mondar mandir membawa lauk ke atas meja. Aroma masakan yang lezat membuat aku makin lapar. Mama menyendokkan nasi sedikit di piringku. Kemudian menaruh lauk yang sangat banyak. Ada sayuran, daging, sambal ati, dan macam macam yang aku tak tahu bagaimana mereka menghabiskan makanan sebanyak ini andai setiap hari mereka makan seperti ini. Aku mencicipi sedikit dan langsung suka karena rasanya betul betul lezat. Mama tersenyum puas melihatku makan dengan lahap. Sambil makan mama, papa, om sebastian dan faisal mengobrol begitu heboh. Padahal kalau dengan emak, kami jarang ngobrol sambil makan. Kata emak takut tersedak atau tertelan tulang ikan. Papa banyak menanyaiku tentang bangka dan keluargaku. Aku menceritakan apa adanya. Om sebastian mengangguk angguk. Sementara mama hanya diam mendengarkan tanpa memberi komentar. Aku ceritakan betapa aku sangat menyayangi emak, kebaikan kebaikannya dan kehidupanku yang walaupun bersahaja namun membahagiakan. Selesai makan aku mau menaruh piring kotor bekasku ke tempat cuci piring namun langsung emak larang, katanya untuk urusan kebersihan rumah sudah ada yang menangani. Sempat kulihat kak faisal nyaris tertawa. Om sebastian mengajak aku menonton televisi di kamarnya. Aku mengikuti om sebastian, kamar om sebastian sedikit lebih kecil dari kamarku, namun isinya lebih lengkap lagi, ia memutar video kaset film barat yang aku sama sekali tak begitu mengerti jalan ceritanya, soalnya nggak ada teksnya.
"betah disini rio...?" om sebastian tiba tiba bertanya. Aku terdiam sejenak sebelum menjawab.
"tak tahulah om.. Soalnya baru sehari.."
"kata mamamu minggu depan kamu mau ia daftarkan ke sma favorit disini.."
"aku terserah mama om.. Mana yang baik menurut dia... Aku juga tak begitu mengerti keadaan disini.."
"om yakin kamu pasti betah.. Soalnya disini kan lebih ramai ketimbang di pangkalpinang, dulu om pernah kesana. Sepinya minta ampun, baru jam delapan malam aja suasana udah kayak di kuburan... Mana penerangan jalan kurang.." om sebastian menerawang seolah mengingat.
"memang sih om, tapi aku lebih betah disana.."
"jadi kamu tidak betah disini?"
"bukan begitu om, aku hanya butuh penyesuaian saja.. Terus terang semua masih terlalu cepat bagiku, dalam waktu singkat semua berubah.." aku menunduk, tak konsen lagi menonton. Om sebastian menepuk pundakku dan tersenyum penuh pengertian.
"om yakin kamu nanti bakalan betah disini, om akan bikin kamu tak merasa terlalu kesepian atau terasing, lagipula sebelum kamu tiba, kami sering membahas tentang kamu, mamamu betul betul menyayangimu rio, ia benar benar menyesal telah menelantarkanmu dulu.." aku tak mengatakan apa apa, memang aku tahu mama yang telah melahirkanku, namun perasaan kedekatan itu belum ada dalam hatiku.
"besok om kerja hingga sore, tapi faisal lagi liburan, kamu ajak ia jalan jalan, jadi nggak terlalu bosan.."
"nggak apa apa om, lagipula dikamarku kan banyak hiburan, aku bisa nonton tipi, atau maen games.." om sebastian tersenyum kemudian mengambil remote dan mengganti chanel televisi, setelah itu om sebastian berdiri.
"malam ini om piket, sebentar lagi harus pergi, kamu boleh nonton disini kalau mau, atau tidur disini juga tak apa apa... Tapi om pulang mungkin agak subuh.." aku menoleh pada om sebastian. Ia sedang membuka bajunya, tak memakai kaus dalam, tubuh om sebastian yang kekar begitu atletis, kulitnya yang kuning langsat terlihat begitu padat melapisi tubuhnya. Aku kagum melihatnya, om sebastian begitu jantan, pasti banyak perempuan yang naksir padanya, om sebastian tersenyum padaku, kemudian berjalan menuju ke pintu tempat ia menggantung pakaian dinasnya dengan hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada.
"wah keren banget badan om..!" aku nyeletuk begitu saja. Om sebastian tertawa kecil malah dengan ekspresi lucu ia memperagakan gaya binaragawan di depanku, menonjolkan otot ototnya yang terbentuk padat.
"coba kamu pegang lengan om..." ia memberi isyarat agar aku mendekatinya. Dengan penasaran aku berdiri menghampiri om sebastian lalu memegang lengannya yang berotot, wah begitu keras.. Tak seperti lenganku yang kurus lembek tak berotot.
"keras banget om.."
"itu berkat latihan dan kerja keras.. Kalau rio mau punya bentuk tubuh yang bagus, harus disiplin.. Rajin olahraga dan angkat beban.."
"mau banget om.. Ajari aku dong.." tiba tiba om sebastian merengkuh pinggangku lalu tanpa terduga ia mengangkatku, seolah olah tubuhku hanya seberat bantal.
"om turunkan ntar aku jatuh...!" Aku sedikit meronta agar om sebastian menurunkan aku. Namun ia malah berjalan menuju tempat tidur dan melepaskan aku diatasnya. Om sebastian tertawa dan meledekku.
"hahaha ringan amat tubuhmu...gimana mau jadi jagoan kalau kerempeng kayak gitu, kamu musti banyak makan.. Supaya badan kamu jangkung dan berisi" tersipu malu aku cuma bisa nyengir.
"ya wajarlah om.. Aku nggak pernah olahraga yang berat..lagipula om kan udah dewasa.
"makanya mulai sekarang makan yang banyak, kamu mau jadi polisi seperti om nggak?” Om sebastian memakai baju seragamnya kemudian mengancingkannya satu persatu, pakaian dinas itu pas menempel di tubuhnya menambah kesan gagah om sebastian.
"mau om.. Aku mau jadi polisi kayak om.." ujarku cepat cepat dengan antusias. Entah kenapa aku tak malu malu dengan om sebastian walaupun baru mengenalnya, apakah karena ia begitu baik.
"sabar, yang penting kamu sekolah dulu dan belajar yang rajin, kalau pintar kamu bisa jadi apapun yang kamu mau..." aku mengangguk mendengar kata kata om sebastian. Setelah selesai memakai seragam lengkap om sebastian meraih kunci motor dinasnya.
"om pergi dulu ya.. Kamu mau disini..?
"nggak om aku mau ke kamarku saja..!"
"kalau gitu om matikan aja tipinya.." kata om sebastian sambil mematikan televisi dan berjalan keluar kamar. Cepat cepat aku mengikutinya keluar, aku mengantar om sebastian hingga ke teras. Ada kak faisal sedang duduk diteras, ia langsung menoleh begitu melihat aku. Aku senyum pada kak faisal, ia membalas tersenyum tipis.
"mau kemana rio?" tanya kak faisal.
"nggak kemana mana kak,.."
"kirain mau ikut om sebastian."
"nggak kok kak.." aku menghampiri kak faisal, mungkin ini kesempatan aku untuk lebih mengakrabkan diri padanya. Sementara om sebastian sudah naik keatas motornya dan menyalakan mesinnya. Ia tersenyum sambil melambai padaku, setelah itu ia langsung pergi. Sepeninggal om sebastian aku langsung mengajak kak faisal bicara.
"nggak jalan keluar kak?"
"emang kenapa?" kak faisal balik bertanya.
"kirain lagi nunggu teman.." kak faisal tak menjawab. Baru saja aku mau bertanya lagi, terdengar suara sepeda motor memasuki pekarangan rumah. Kak faisal langsung berdiri, rupanya ia sedang menunggu temannya. Tanpa bicara apapun lagi, kak faisal menghampiri temannya itu lalu pergi meninggalkan aku tanpa mengatakan apa apa lagi. aku kembali kedalam, baru jam setengah delapan malam sekarang, bingung mau ngapain, belum ada yang aku kenal disini kecuali penghuni rumah ini. Aku berpapasan dengan mama tepat di pintu ruang tengah, memegang tumpukan baju, yang aku kenali itu adalah bajuku yang ku bawa dari bangka.
"kenapa dengan bajuku ma?" mama tak menjawab cuma bibirnya dimancungkan menunjuk bajuku lalu terus berjalan menuju pintu ruang tamu. Aku mengikuti mama dengan hati bertanya tanya, mau dibawa kemana bajuku itu. Saat melihat mama menuju ke tong sampah depan pagar rumahku, aku jadi curiga jangan jangan mama.... Mau membuang baju baju itu. Aku langsung berlari mengejar mama.
"mama....!" teriakku keras keras, mama yang sedang membuka tutup tong sampah langsung menoleh dengan kaget.
"ada apa rio..? Teriak teriak kayak orang gila gitu?" sungut mama kesal.
"mau diapain baju bajuku itu ma?"
"dibuang... Ini tak layak dibilang baju, kayak gombal jelek gini..." dengan tenang mama memasukkan semua bajuku yang ada ditangannya ke dalam tong sampah tanpa perikemanusiaan sama sekali.
"tapi itu baju baju aku... Jangan dibuang..!" aku membentak mama tanpa dapat aku tahan lagi.
"hei aku ini mamamu...! Jangan kurang ajar.. Baju itu sudah layak dibuang.... Lap dapur saja lebih bagus dari baju baju itu..." mama tak kalah sewot.
"tapi itu semua dibeli emak dengan susah payah... Kami harus bekerja keras membelinya...!" aku jadi makin marah.
"besok mama ganti dengan yang lebih bagus..! Mau berapa kodi mama beli... Bikin malu mama saja pake baju gituan, kamu tau siapa yang mau pake baju seperti itu.. Hah...? Cuma gembel sama pemulung.... Mama tak mau anak mama kelihatan kayak gembel..!" mama makin meradang, kata katanya membuat hatiku sakit sekali, baju pemberian emak, yang ia beli dengan menyisihkan uang sehari hari yang tak banyak itu di hina oleh mama. Aku yang tahu bagaimana kerasnya perjuangan emak untuk menyenangkan aku dalam keadaan yang sulit, walaupun hanya dua kali setahun ia beli baju, tapi itulah yang selama ini aku pakai, ingin rasanya aku menangis melihat baju itu sekarang teronggok dalam tong sampah dirumah ini.
"mama tak boleh semena mena membuang barang barangku, mama tak punya hak....!"
"mama punya hak karena mama ibu kamu..!"
"kamu bukan ibu aku...! Emak lah ibu aku..!"
"jaga mulut kamu rio...!"
"ibu yang memulainya...!" balasku berang.
"panggil aku mama..! Aku ini ibu kandung kamu, yang susah payah melahirkan kamu.. Jangan kurang ajar...ini yang kamu dapatkan dari emak kamu itu..?" mama mulai histeris.
"iya... Ibu yang melahirkan aku... Tapi yang membesarkanku selama ini hanya emak..!" entah kenapa yang ada dalam hatiku sekarang hanya ingin melihat mama sakit hati. Persetan aku tak perduli, ia yang memulai. Ia telah menghina emak.
"kamu... Kamu... Kamu...!" mama tak menyelesaikan kata katanya, langsung berlari sambil menangis masuk ke dalam rumah. Ku aduk aduk tong sampah mengambil kembali baju baju dan celana yang dibuang mama. Dengan hati hati aku angkat, sebagian basah terkena sisa makanan basi dan sampah. Nyaris aku menangis melihatnya. Aku susun baju baju itu dan kubawa lagi masuk ke dalam. Dikamar aku masukkan baju itu ke dalam kantong plastik dan kusembunyikan dibawah ranjang. setelah menyembunyikan baju dibawah tempat tidur, buru buru aku memeriksa tasku mencari siapa tahu ada barang barang lain yang juga sudah dibuang mama, dengan jantung berdebar keras aku mencari foto emak, ayah dan kedua ayukku yang sengaja aku bawa untuk melepas kangen sama mereka. Untung saja foto foto itu masih ada. Aku pandangi foto emak, wajahnya yang tersenyum Bagiku sangat cantik sekali, walaupun rambut emak yang sepunggung terurai tak ditata, namun itulah yang menambah kecantikan emak, umur emak sekarang empatpuluh tahun, waktu foto ini diambil, mungkin umurnya baru 35 tahun, soalnya aku ingat itu waktu aku masih sekolah dasar, bersama ayah dan kedua ayukku kami ke studio foto, untuk berfoto bersama. Sayangnya ayah meninggal terlalu cepat, hingga emak harus menggantikan tugas ayah mencari uang. Segala kesulitan membuat emak terlihat lebih tua.
Aku sedih membayangkan emak saat ini, entah apa kabarnya, lagi apa emak.. Aku kangen sekali. Kuciumi foto emak berkali kali. Susah payah aku menahan tangis. Namun mengalir juga airmataku, aku rindu emak.. Rindu sekali.. Entah kapan aku bisa berjumpa lagi dengan emak. Aku begitu dekat dengan emak selama ini, betapa terasa ketika aku harus terpisahkan, saat ini aku hanya berdoa semoga emak baik baik dan sehat, demikian juga kedua ayukku. Kota palembang dihari pertama ini sudah membuat aku tak betah. Saat keluar dari bandara dan melihat suasana jalanan yang begitu ramai, rumah dan ruko yang padat membuat kepalaku pusing, belum lagi kesemrawutannya, membuat aku makin kangen dengan tanah kelahiranku yang lebih alami, masih banyak pepohonan serta tak berisik. Harus berapa lama aku disini. Harus berapa lama aku meninggalkan emak yang sudah tua hanya bersama kedua ayukku. Tak ada lelaki dirumah. Aku takut terjadi apa apa. Kedua ayukku itu cantik cantik dan sudah remaja. Pasti banyak yang tertarik pada mereka nantinya. Aku tak bisa menjaga mereka apabila ada laki laki yang mengganggu mereka. Rasanya aku ingin pulang saja besok. Mana suasana dirumah ini terasa kurang nyaman bagiku. Meskipun rumahku bersama emak hanya terbuat dari papan, namun emak bisa mengubahnya sehingga menjadi istana bagi kami. Rumah yang aku tempati sekarang ini terlalu mewah bahkan melebihi anganku sendiri, namun sedikitpun tak membuat aku merasa nyaman. Aku tak betah, aku ingin pulang, aku hanya ingin emak bersamaku, aku ingin tumbuh dewasa dan melihat emak menjadi tua bersama sama. Aku akan bilang sama mama kalau aku tak betah, aku mau pulang. Kutaruh foto keluargaku di dalam laci lemari bajuku kemudian aku kunci, kuncinya aku sembunyikan di bawah lemari baju. Mataku jadi mengantuk, aku ingin tidur dan bermimpi ketemu emak.
Ku tarik selimut tebal yang motifnya sama dengan seprei dan sarung bantal. Tadi om sebastian sudah mengajari aku bagaimana cara menyalakan ac dikamar ini, aku ambil remotenya lalu aku nyalakan ac, terdengar dengungan halus dari ac, seperti suara mobil nyala namun lebih pelan. Hembusan angin dingin langsung menerpa kulitku. Aku berbaring di kasur yang empuk, betul betul empuk seolah olah tubuhku melayang rasanya. Kutarik selimut hingga dadaku kemudian aku pejamkan mata. Mungkin karena terlalu capek, aku langsung tertidur dan tak ingat apa apa lagi.
Hingga pagi aku terbangun tepat pukul setengah lima seperti biasanya. Aku sempat terkejut dan heran, suasana asing yang tak aku kenal, biasanya kamarku sempit namun sekarang jadi luas, aku serasa masih bermimpi, namun segera aku ingat kalau saat ini aku tak lagi dirumahku tapi sudah dirumah yang baru bersama mama. Aku keluar dari kamar, sepi sekali, lampu semua masih padam hingga terasa gelap. Cuma penerangan lampu kristal diruang tamu yang memberi bias hingga menimbulkan cahaya pelangi di dinding bagaikan spektrum irisan permata. Aku terhenyak duduk di sofa, bingung harus melakukan apa, biasanya jam segini aku menemani emak menghitung kue kue kedalam wadah untuk dijual. Tapi suasana dirumah ini berbeda seratus delapanpuluh derajat dengan dirumahku. Tak ada kesibukan apa apa. Semua penghuninya masih tidur, seolah olah aku sedang berada di kuburan mewah. Aku beranjak ke dapur karena merasa haus. Baru saja aku berdiri, tiba tiba terdengar deru motor memasuki pekarangan rumah. Aku berjalan menuju jendela kemudian menyibak gorden, mengintip siapa yang pagi pagi buta ini datang. Rupanya om sebastian yang baru pulang dari kerja. Aku bingung sebagai polisi kenapa sih harus pulang kerja subuh subuh begini. Om sebastian berjalan menuju teras, terdengar langkah sepatunya menginjak lantai, tak lama kemudian aku mendengar suara anak kunci dimasukkan ke dalam lubangnya, grendel di putar dan pintu terbuka. Om sebastian masuk, ia langsung terlonjak begitu melihat aku.
"ya ampun rio... Bikin kaget saja.. Om kira tadi siapa...!" seru om sebastian setelah berhasil mengatasi kekagetannya.
"maaf om... Bukan maksud bikin om kaget.." Aku nyengir melihat ekspresi lucu om sebastian.
"eh.... Malah ketawa lagi.. Kok subuh subuh gini udah bangun.?"
"udah biasa dirumah aku bangun jam segini om.."
"jam berapa tidur semalam?"
"jam sembilan.."
"om capek nih.. Kita ngobrol dikamar om aja yuk..!" Ajak om sebastian sambil ia melepaskan sepatunya. Aku mengangguk, daripada bosan tak ada kegiatan lebih baik aku ikut om sebastian ke kamarnya, lumayan ada teman buat ngobrol. Om sebastian berjalan sambil menjinjing sepatunya menuju kamar, aku mengikuti dari belakang. didalam kamar om sebastian memencet sakelar hingga kamar langsung terang. om sebastian menutup pintu dan menekan kenop pengunci, aku langsung duduk di karpet depan televisi. Om sebastian menyalakan televisi dan receiver parabola, mengulurkan remote padaku agar aku mencari sendiri channel yang aku sukai. Sementara aku memencet mencet tombol remote, om sebastian membuka baju dinasnya, aku kira ia mau ganti dengan baju tidur piama atau kaos oblong, tapi dugaanku salah, setelah membuka celananya dan tinggal memakai celana tenis, ia malah langsung berbaring.
"gila capek banget hari ini.. Pegal pegal semua rasanya badanku..!" Om sebastian melemaskan otot ototnya sambil merenggangkan tubuhnya, menyentakkan pinggangnya hingga terdengar bunyi "krek".
Aku tersenyum melihat tingkah om sebastian, setelah melemaskan ototnya, om sebastian berbaring telentang dengan menopangkan lengan sebagai bantal. Bulu ketiaknya yang lebat menghitam terpampang menghampar di area pangkal lengannya yang berotot proporsional. Sungguh kalau sudah dewasa aku ingin memiliki tubuh seperti om sebastian, pasti banyak wanita yang tergila gila padanya.
"rio tolong kesini sebentar...!" Om sebastian menyuruh aku mendekatinya, meski agak heran, tapi aku hampiri juga dia.
"kenapa om...?"
"tolong pijat punggung om ya... Urat urat om rasanya kaku.."
"tapi aku nggak bisa mijat om.."
"nggak masalah.. Yang penting punggung om kamu tekan tekan pake tangan,.. Tolong ya rio.. Om betul betul capek.. Tubuh om rasanya lemas.." Mendengar om sebastian ngomong begitu aku jadi tak tega, akhirnya dengan ilmu memijat yang minus aku mulai melakukan eksperimen diatas punggung om sebastian yang saat ini sudah telungkup diatas tempat tidur hanya mengenakan celana pendek.
"gini ya om... Kerasa nggak.?" Tanyaku sambil meremas punggung om sebastian perlahan lahan.
"yak...!! Gitu rio bagus... Enak rio....." Om sebastian mengerang karena keenakan. Mendengar ia mengerang itu malah membuat aku jadi semangat memijatnya, mungkin karena merasa senang karena aku bisa juga bikin om sebastian suka dengan pijatanku, aku mulai sok tau menekan nekan bagian tulang punggungnya sedikit keras.
"yaaaa... Bagus rio.. Kayak gitulah.. Enak rio... Sssh..."
"enak ya om..?"
"enak banget...rio.. Rupanya kamu punya bakat mijat.. Om suka banget..."
"om bisa aja.. Hehehe.." Aku tersipu, om sebastian memang paling bisa bikin aku senang, sambil terus memijat punggung om searah dari bawah keatas aku gosok telapak tanganku dengan gerakan berirama diatas punggung yang kenyal dan mulus itu.
"pijat lagi rio.. Tolong kamu ambil handbody di samping cermin di dinding itu..!" Om sebastian menunjuk ke arah dinding, aku mengangguk kemudian bergegas mengambilnya. Setelah itu aku kembali ke ranjang, om sebastian sudah kembali telungkup diatas kasur.
"gosok Rio..." Suara om sebastian membuat aku sadar dan langsung menggosok punggungnya.
"pake handbody rio.. Tuang sedikit ke punggung om... Supaya lebih licin dan enak.."
"iya om.." Aku membuka tutup botol handbody kemudian menuang ke punggung om sebastian secukupnya. Setelah itu aku gosok hingga rata, memang betul kata kata om tadi, punggungnya menjadi licin dan lembut. Lebih enak aku mengurutnya.
"kalau udah capek udahan aja rio.." ujar om sebastian setengah bergumam.
"iya om.. Udah siang juga.. Om tidur aja dulu aku mau keluar.." om sebastian membalikan tubuhnya.
Setelah om sebastian memakai baju kaus dan celana panjangnya. aku pamit keluar kamar, om sebastian mengangguk kemudian berbaring kembali.
"jangan lupa pintunya ditutup rio.. Om mau istirahat dulu, nanti kalau kesepian nggak apa apa kesini.."
"iya om... Selamat istirahat ya.." kataku sambil menutup pintu. Di ruang tengah, bik tin sedang beres beres, aku hampiri bik tin.
"bik.. Bisa bantu aku nggak?.” Bik tin menoleh dan memandangku dengan tanda tanya.
"apa bang? Abang lapar ya?" tanya bik tin meletakkan kemoceng yang ia pegang keatas lemari.
"bukan bik.. Aku mau cuci baju, gimana cara pakai mesin cuci.. Aku belum tau.." bik tin tersenyum mendengar kata kataku.
"ah abang bibik kirain mau ngapain.. Kalau cuci baju itu udah tugas bibik bang.. Mana bajunya yang mau di cuci.."
"di kamar bik, tapi bibik jangan sampai mama tau.. Soalnya baju baju itu dibuang mama kemarin malam.."
"kok dibuang..?" bik tin keheranan.
"iya bik.. Kata mama baju itu jelek.. Aku pungut lagi dari dalam tong sampah bik.."
"begitu ya.. Nyonya memang orangnya pembersih, dimana abang taruh baju itu..?"
"dikamar bik, dibawah tempat tidur dalam kantong plastik hitam.. Nanti tolong bibik cuci ya bik, soalnya udah kotor terkena sampah.. Tapi ingat bik jangan sampai mama tahu.." aku memperingatkan bik tin.
"beres bang.. Tenang aja.. Bibik bisa jaga rahasia kok.." bik tin tersenyum padaku, melihat bik tin membuat aku jadi ingat sama emak. Pasti bik tin bersusah payah jadi pembantu demi mencari uang untuk mencukupi kebutuhan.
"makasih ya bik.."
"iya bang.. Sama sama.." aku langsung ke dapur, meninggalkan bik tin dengan pekerjaannya, aku mau bikin teh, sudah jam enam pagi sekarang. Perut pun terasa agak lapar, siapa tau ada yang bisa dimakan. Saat aku sedang menuang air minum dingin dari dispenser, mama masuk ke dapur. Aku pura pura tak melihat mama, aku masih kesal karena kejadian semalam.
"eh anak mama udah bangun rupanya.." ujar mama sambil menghampiriku. Aku tak menoleh, pura pura sibuk minum.
"sayang masih marah sama mama ya..?" mama memegang bahuku.
"rio mau pulang ke bangka....!" mama langsung terdiam, sepertinya ia terkejut sekali.
"kamu mau pulang..?"
"iya...!"
"kenapa sayang.. Nggak betah disini..?" tanya mama seperti tak percaya.
"iya..." jawabku datar. Mama menarik nafas panjang seolah olah kata kataku tadi telah membuat ia kecewa.
"kamu bersungguh sungguh sayang?" tanya mama kurang yakin.
"iya rio bersungguh sungguh pokoknya rio mau pulang ke bangka, rio tak betah disini.. Rio kangen sama emak...!" aku masih tetap pada pendirian. Seperti tak tau harus menjawab apa, mama menatapku melihat kesungguhan dari ucapanku tadi. Melihat kekerasan dari raut wajahku, mama mengerti kalau aku tak main main. Kemudian mama menarik kursi makan dan duduk sambil memainkan gelas diatas meja. Tatapannya terpaku pada gelas, entah apa yang mama pikirkan. Aku langsung meninggalkan mama sendirian didapur. Biarlah ia berpikir. Yang penting aku mau pulang ke bangka, apa yang akan terjadi aku sudah tak perduli. Aku pergi ke teras, memandangi rumput dan tanaman hias yang tumbuh didepan rumah ini. Aku tak tahu berapa lama aku melamun hingga aku dikejutkan oleh tangan yang menepuk bahuku, ternyata papa, ia sudah memakai baju ke kantor.
"rio kamu mau pulang ke bangka? Kenapa.. Tak betah disini....?" tanya papa sambil duduk disampingku. Aku jadi tak enak sama papa, ia baik padaku.
"iya pa.. Rio kangen sama emak..." jawabku jujur.
"papa ngerti kalau rio kangen sama emak... Tapi mamamu jadi sedih, ia berharap sekali kamu mau tinggal disini bersama kami, mungkin kamu masih belum bisa menyesuaikan diri... Papa yakin kalau kamu sudah mendapat teman disini kamu bakalan betah..." papa mencoba menasehatiku.
"rio tau pa.. Tapi rio betul betul tak betah.. Suasana disini bikin rio nggak nyaman.."
"mamamu memang begitu nak.. Tapi nantinya kamu akan terbiasa... Cobalah lebih mengenal mamamu.. Tak kenal makanya tak sayang bukan... Sebenarnya mamamu itu baik kok.. Cuma kalian kurang komunikasi yang baik saja..." papa mencoba memberi pengertian padaku,
"bagaimana mau komunikasi, mama selalu menganggap apa yang baik untuk dia juga baik untuk aku.. Rio nggak bisa pa.. Waktu sama emak, ia tak pernah memaksa rio harus begini atau harus begitu..." aku menumpahkan semua unek unek dalam hatiku.
"papa sih terserah kamu, cuma pikirkan lagi nak.. Bagaimanapun juga lebih baik ikut ibu kandung daripada dengan orang asing.. Ibu kandung tak akan menyakiti darah dagingnya sendiri..." aku terdiam mendengar kata kata papa.
"temui mama kamu, kasihan dia sedih, sekarang mama lagi dikamar, tadi ia menangis.. Coba kamu temui dia.. Walaupun kamu marah, tolong pertimbangkan lagi.. Mamamu punya penyakit darah tinggi dan jantung.. Papa takut terjadi apa apa dengan mamamu.. Kamu hibur dia.. Sekarang papa mau kerja dulu.., papa harap papa pulang, kamu dan mamamu sudah akur lagi.. Papa tau kamu anak yang baik.." papa mengucek rambutku. aku masuk ke dalam rumah, bik tin langsung menghampiriku dengan membawa satu gelas susu dan sepotong roti dengan selai nanas.
"bang.. Ini sarapan paginya, mau ditaruh dimana?" tanya bik tin padaku.
"didapur aja bik..." aku berjalan menuju dapur, bik tin berbalik kembali ke dapur dan meletakkan nampan berisi roti dan susu diatas meja. Aku menarik kursi dan duduk.
"makasih banyak ya bik... Kak faisal mana bik, belum bangun ya?"
"faisal biasanya bangun jam sebelas kalau liburan seperti ini, semalam aja bibik bukain pintu untuknya udah jam dua malam.." jawab bik tin.
"setiap malam gitu ya bik?"
"hampir setiap malam... Udah dibilangin sama bapak dan nyonya tapi nggak mempan.. Bibik juga bingung kenapa den faisal bersikap seperti itu.. Padahal apapun keinginannya selalu dituruti oleh bapak sama nyonya.. Mungkin itulah yang menyebabkan ia jadi manja..." ujar bik tin panjang lebar.
"kak faisal kelas berapa bik? Sekolah dimana?"
"faisal baru naik kelas dua sma, sekolah di sma negeri tiga.."
"oh gitu ya bik.."
"iya bang.. Maaf ya bang bibik masih banyak kerjaan... Bibik tinggal dulu ke belakang.." pamit bik tin.
"oh iya bik.. Nggak apa apa.. Makasih ya bik.." aku menggigit roti selai nanas, enak juga rasanya.. Mungkin karena aku jarang makan yang beginian, jadinya terasa agak unik di lidah, manis asam dan enak.. Bikin aku ketagihan. Untung aja masih banyak roti seperti ini diatas meja makan, aku ambil dua potong dan aku olesi dengan selai berwarna merah, soalnya ada macam macam botol berisi selai dengan bermacam gambar buah buahan.. Aku jadi penasaran pingin mencicipi semua rasanya. Ku ambil sesendok selai merah, kucicip rasanya asam manis, kemudian aku oleskan ke roti.. Satu roti aku olesi bermacam selai, ada nanas, stroberi, kacang tanah, cokelat, sirsak, dan entah apalagi. Baru saja aku mau menggigit roti ini, tiba tiba terdengar suara dari belakangku.
"susah ya kalo jadi orang udik..." Tanpa melihat pun aku sudah bisa menduga suara siapa itu. Aku urung memakan roti, kuletakkan lagi diatas piring.
"pasti kamu belum pernah makan yang enak dan bergizi, tuh banyak makanan enak dirumah ini, makan aja semua, hitung hitung balas dendam selama ini nggak pernah nyoba..." ujar kak faisal dengan nada melecehkan. Sakit hatiku mendengarnya. Tapi aku diam saja, aku malas meladeni takut nanti jadi berantem.
"disini itu ada aturan, jangan dibawa gaya kampung itu.. Malu maluin aja.. Kayak nggak pernah makan.. Emangnya emak kamu dulu nggak pernah kasih kamu makan enak ya..?" kak faisal menghampiriku.
"emak kamu miskin banget pasti.. Lihat tuh kamu dekil minta ampun.. Sana mandi.. Aku mau sarapan, jangan bikin selera makanku jadi hilang.. Hus.. Hus... Hus...!"kak faisal menirukan gaya mengusir ayam yang masuk ke dalam rumah. Rasanya kemarahanku sudah tak dapat di tahan tahan lagi, emosiku sampai ke ubun ubun.. Hingga tanpa aku sadari roti yang ada ditanganku sudah berpindah ke muka kak faisal. Dengan gemas aku ratakan ke sekujur wajahnya hingga berlepotan selai warna warni.
"riooooo,......! Sialan kamu ya..!" kak faisal mencoba untuk menangkap tanganku hendak membalas, namun aku yang sudah bisa menduga langsung mengelak dan berlari, nyaris aku menabrak mama yang sedang keluar dari ruang tengah.
"rio.. Apa apaan...!" seru mama kaget. Saat melihat kak faisal yang wajahnya berlumuran selai makin kaget mama.
"loh faisal... Kenapa dengan wajah kamu..?" pekik mama setengah histeris melihatnya. Kak faisal langsung mengadu pada mama perbuatanku tadi, aku sebenarnya agak takut juga kalau mama marah.
"betul rio kamu yang melakukannya..?" tanya mama dengan nada tegas.
"kak faisal ngatain rio udik.. Katanya rio anak orang miskin... Nggak pernah makan enak.. Rio nggak terima...!" kataku berapi api.
"benar itu faisal.. Mama nggak pernah mengajari kamu ngomong gitu sama adek kamu...!"
"aku cuma bercanda ma..!" kak faisal membela diri.
"bohong..! Kakak tadi nggak main main.. Kakak sengaja menghina aku kan..!" mama mengusap dada melihat kami perang mulut.
"astaga.. Kalian ini bikin pusing aja... Baru aja kenal udah berantem... Kalian berdua itu bersaudara tau...! Tak pantas berantem sesama saudara..."
"enak aja dia bukan adikku.." kak faisal keras kepala.
"aku juga nggak mau punya kakak jelek bandel kayak kamu..!" aku tak mau kalah.
"kamu itu yang jelek, dekil.. Kampungan... Tak terurus... Kayak gembel kesasar...!" balas kak faisal makin menjadi jadi.
"sudaaaaah... Sudaaaaah.... Hentikan... Mama pusing...!!" teriak mama membuat aku dan kak faisal terdiam, aku tak menyangka kalau suara emak bisa sekeras itu, bik tin terburu buru menghampiri kami, mungkin ia kira ada apa apa.
"kenapa nyonya.." tanya bik tin panik. Mama menggeleng sambil mengibaskan tangannya.
"tak apa apa bik... Cuma anak anakku ini lagi berantem..!"
"oh kirain tadi apaan..." Bik tin terlihat agak lega, namun ia menatapku dengan kuatir, aku mengangguk pada bik tin, untuk mengisyaratkan kalau aku tak apa apa.
"rio minta maaf sama kakak kamu.. Bagaimanapun juga kamu tak boleh melawan sama kakak..!" nasehat mama mencoba untuk melerai kami berdua.
"nggak..!.. Rio nggak mau..! Dia yang salah.!" Aku bersikeras.
"kamu yang salah.. Kamu mengotori mukaku dengan selai...!" Teriak kak faisal serak karena kesal.
"tak perduli siapa yang salah.. Kalian itu kakak adik.. Jangan berantem... Pokoknya kalian harus saling meminta maaf.. Kalau tidak mama tak akan kasih uang jajan selama satu tahun..!" Ancam mama membuat kak faisal langsung tercengang, tak percaya.
"yaa.... Nggak bisa gitu dong ma.. Itu nggak adil...!" teriak kal faisal kesal.
"mama tak perduli... Mama tak main main.. Teruslah berantem kayak gini, mama tak masalah, tapi kamu dijamin tak bisa lagi jajan.. Dan motor baru yang kamu mau itu batal mama beli..." ancam mama makin menjadi jadi.
"tak apa apa ma.. Rio udah biasa nggak jajan.. Lagian rio juga nggak betah disini, rio mau pulang ke bangka... Jadi nggak perlu ketemu sama dia itu..." Aku membalas kata kata kal faisal tadi. Mama langsung menoleh padaku, tak menyangka kalau aku akan berkata seperti itu lagi.
"rio... Jadi kamu sungguh sungguh mau pulang ke bangka nak? Kamu mau meninggalkan mama disini?.." suara mama terdengar sedih.
"iya ma.. Rio tak pantas tinggal di tempat ini... Terlalu mewah untuk anak kampung seperti aku...!"
"rio.. Sayang anak mama tak boleh ngomong begitu, rio darah daging mama.. Rio berhak tinggal dirumah ini... Semua yang ada dirumah ini milik rio juga.. Mama sayang sama kamu, kenapa sih kamu tak mau mengerti mama sedikitpun..?" mama memohon padaku, sebetulnya terbit perasaan iba dalam hatiku, namun kata kata kal faisal tadi betul betul telah menyinggungku.
"tidak ma.. Kalau mama memang sayang sama rio, izinkan rio pulang kembali ke bangka..." Mama tak menjawab, tapi matanya memerah, aku berpaling menghindari pandangan mama, karena aku paling tak sanggup kalau melihat orang menangis. Sementara kal faisal terdiam agak tercengang mendengar aku mau pulang. Ia tak bicara apa apa lagi, bahkan roti yang ada di tangannya jadi terabaikan begitu saja.
"baiklah kalau memang begitu keinginan kamu mama pun tak bisa melarang dan memaksa lagi, kamu sudah tahu sendiri kondisi disini, mama fikir kemarin, kamu akan senang setelah melihat apa yang sudah mama siapkan untuk menyambutmu, tapi percuma saja semuanya sia sia... Toh kamu juga tak tertarik, kamu juga tak memahami segala kerja keras mama agar kamu betah disini..semua tak pernah kamu anggap..!" Mama berbalik dan tak menoleh lagi pada aku dan faisal.
"dasar anak gembel.. Sekali gembel tetap gembel.. Nggak boleh di kasih hati..!" Kak faisal mengacungkan tinjunya padaku dari jauh. Aku diam saja tak ada lagi selera untuk meladeninya. Aku kembali ke kamar, namun aku kaget begitu dikamar aku lihat ada bik tin yang sedang merapikan baju bajuku serta alat alat yang aku bawa kemarin dari bangka.
"ada apa bik? Kok beres beres...?" Bik tin menoleh dengan murung memandangku, tapi tangannya tetap melipat serta mengemasi alat alatku dengan cekatan.
"nyonya yang nyuruh bang.. Katanya abang mau pulang ke bangka...." kata bik tin disela sela kesibukannya.
"oh gitu ya bik.."
"bang kenapa abang nggak betah disini, pasti gara gara faisal ya?" bik tin ingin tahu. Aku menggeleng dan tersenyum.
"bukan cuma itu bik, tapi aku juga kangen emak.. Aku kangen sekali,.."
"tapi nyonya sedih sekali bang.. Ia sangat bersemangat waktu menjemput abang kemarin, kamar abang semua serba baru, nyonya beli khusus untuk abang.. Katanya ia ingin membuat abang senang.. Ya semuanya jadi mubazir sekarang.. Abang mau pulang ke bangka..." Suara bik tin lebih terdengar bagai keluhan.
"bik, baju yang aku minta tolong untuk dicuci tadi udah dicuci belum bik?"
"udah bang.. Lagi dijemur, sebentar lagi juga kering, tadi udah bibik masukin ke pengering.."
"jangan lupa masukkan ke tas ya bik, jangan sampai ketinggalan nanti dibuang mama lagi..."
"iya abang.. Pasti bibik nggak bakalan lupa.." Aku tersenyum penuh terimakasih pada bik tin, walaupun cuma seorang pembantu dirumah ini, tapi aku merasa lebih dekat dengan bik tin ketimbang siapapun yang tinggal disini. Aku duduk didepan televisi, menunggu bik tin selesai membereskan barang barangku. Aku jadi ingat om sebastian, tadi ia tidur, mungkin sekarang sudah bangun, soalnya jam sepuluh sekarang, mendingan aku ke kamar om sebastian aja. Aku keluar kamar meninggalkan bik tin sendirian, suasana rumah nampak sepi, kal faisal tak kelihatan batang hidungnya, demikian juga mama. Perasaan dari kemarin rumah ini begitu sepi, tak sesuai dengan ukurannya yang besar. Aku jadi heran kenapa mama membuat rumah sebesar ini kalau penghuninya cuma beberapa orang.
Pintu kamar om sebastian masih tertutup, ku buka pintunya dan kuintip, om sebastian masih tertidur dengan pulas, aku tak tega mengganggunya, ku tutup kembali pintunya, aku berjalan ke beranda depan, kemudian duduk diatas bangku taman sambil memandangi air terjun buatan di kolam yang berbatu batu serta diukir dengan bentuk batang kayu kering buatan, ikan ikan gurami, nila dan emas berenang renang didalam airnya yang jernih. Aku suka sekali melihat kolam ini, pastilah dibuat oleh ahlinya. Suara kucuran air terdengar bagaikan alunan musik merdu, membuat hatiku yang sempat panas menjadi lebih tenang. Tiba tiba kulihat kak faisal keluar dari garasi sambil memegang bola basket, ia berlari lari kecil menuju ke depan rumah sambil mendriblle bola basket, lalu melemparkan bolanya ke dalam keranjang yang berdiri kokoh diatas tiang depan rumah. Aku diam memperhatikan kak faisal yang sibuk sendiri, sebetulnya aku ingin sekali ikut main, tapi karena sikap kak faisal yang menyebalkan membuat aku masih kesal padanya. Beberapa kali bola lolos dan gagal memasuki ring basket. Kak faisal tak capek capek mencoba memasukan bola ke ring basket, meskipun berkali kali gagal ia tak menyerah. Gatal rasanya tanganku ingin merampas bola basket itu dan memasukkannya ke keranjang.
Dulu waktu masih dibangka, aku harus menahan keinginanku untuk main basket dan ikut dalam tim karena keterbatasan dana. Namun saat ini aku pasti bisa, mau berapa mahal seragamnya pasti mama bisa beli dengan gampang, malahan dirumah ini juga ada tiang basket dan lantainya juga di semen untuk latihan. Sebetulnya fasiltas dirumah ini lumayan lengkap, tak buruk buruk amat nasibku disini, tapi kenapa aku jadi tak betah, lalu kalau aku pulang, apakah emak tak kaget nantinya, erwan, dan rian pasti sedang sibuk mengurus surat surat untuk mendaftar ke smu yang baru, sedang kalau aku pulang, apakah aku bisa sekolah, uang pembangunan mahal, belum lagi seragam dan buku buku baru, emak pasti akan kerepotan nanti, apakah aku siap andai aku tak bisa melanjut ke sma, memikirkan ini membuat aku bingung. Aku memain mainkan daun palem yang tumbuh di pinggir kolam sambil merenung. Sebenarnya mama baik padaku, cuma aku saja yang belum merasakan kedekatan hati sama mama, aku tak pernah memberi peluang padanya untuk memperhatikan aku, aku belum bisa sepenuhnya menerima ia sebagai pengganti emak, terlalu sulit bagiku, apakah ini juga dirasakan oleh remaja seusiaku yang baru mengetahui kalau ia anak angkat, apakah mereka sepertiku juga sulit untuk menerima ibu kandungnya, apa yang mereka rasakan saat harus ikut keluarga baru yang terasa asing, punya ibu yang baru walaupun ibu kandung, apakah bisa dengan gampang merasa sayang, padahal yang tertanam dalam hatiku sejak masih dalam gendongan hinga remaja ibu kandungku ialah emak. Atau aku harus memberi kesempatan pada mama untuk menunjukan padaku bahwa ia adalah ibu yang baik.
'BYUUUUR....!!!..'
Cipratan air kolam membasahi bajuku, membuat aku nyaris berteriak karena kaget, sebuah bola basket terapung bergerak gerak dalam riak air kolam, aku langsung menoleh pada kak faisal, ia terpaku berdiri melihatku, bisa kulihat pipinya menggembung menahan tawa. Sebetulnya aku kesal sekali, tapi aku tak mau marah, siapa tahu ia memang tak sengaja hingga bola itu jatuh kekolam dan membasahi sebagian bajuku. Sambil menggeleng kepala aku raih bola dalam kolam kemudian aku lemparkan ke kak faisal, langsung dengan sigap ia tangkap.
"makasih gembel...!" Teriak kak faisal dari jauh. Aku cuma menggelengkan kepala mendengar kata katanya. Dasar anak manja. Baru aku mau masuk ke dalam, tiba tiba kak faisal memanggil.
"hei mau kemana! Temani aku main basket..!" Aku urung beranjak, seolah tak percaya dengan yang ku dengar.
"hei tunggu apa lagi, ayo main basket gembel..!..." Kak faisal langsung melemparkan bola ke arahku, ku tangkap dengan kaget, sesaat aku terdiam sambil menimang bola di tanganku. Tiba tiba kak faisal menghampiriku lalu mencoba merebut bola dari tanganku, cepat cepat aku menghindar lalu berlari sambil mendriblle bola dengan lincah. Kak faisal mencoba memblokir gerakanku namun aku tak kalah sigap berlari menuju tiang basket kemudian melemparkan bola ke ring basket, bola langsung lolos masuk dengan mulus, kak faisal tercengang seperti tak percaya, aku tertawa.
"enak aja loh nggak boleh menang..!" kak faisal tak terima, langsung mengambil bola dan mendriblle. Aku mengambil ancang ancang. kak faisal berlari menuju ke tiang basket, aku mencoba menghalanginya melempar bola, namun ia sekuat tenaga berusaha menghindar hingga akhirnya ia melemparkan bola ke arah ring, bola melambung masuk ke dalam ring setelah sempat memantul dipapan, kak faisal berteriak kegirangan. Terlupa pertengkaran kami tadi ia langsung berjoget kesenangan. Aku cuma tertawa tawa, kami bermain terus hingga keringatan, bajuku sudah basah, karena sinar matahari semakin terik akhirnya kami berhenti bermain, saat aku berbalik mau masuk ke dalam rumah, ternyata mama sudah berdiri didepan teras melihat kami bermain, aku tak tahu sudah berapa lama ia berdiri disitu, cuma wajah mama tersungging senyum lebar.
"bik tin...!" Mama berteriak memanggil pembantu rumah, tak lama dipanggil bik tin keluar, menghampiri mama.
"tolong buatkan minuman dingin untuk kedua putraku ini..!" Perintah mama pada bik tin, setelah mengangguk, bik tin langsung masuk kembali ke dalam rumah, mama menghampiri aku dan kak faisal yang sedang duduk di lantai depan kolam bertelanjang dada berkipas dengan baju.
"wah nggak nyangka rupanya anak anak mama pada pintar pintar main basket...!" Ujar mama sambil ikut duduk dilantai. Kak faisal nyengir lebar, sedang aku cuma tertunduk malu.
"om sebastian udah bangun ma?" Tanya kak faisal sambil menyender di pokok kayu tiruan dari batu.
"sepertinya udah.. Tadi mama lihat ia lagi ngopi didapur..."
"tumben mama dirumah, biasanya jam segini mama pergi.."
"tadi mama habis beres beres... Mempersiapkan barang barang yang mau dibawa ke bangka..." Aku yang sedang memperhatikan ikan langsung menoleh melihat mama dengan heran, apa maksud mama membereskan barang barang untuk dibawa ke bangka. Aku mau bertanya, tapi keburu datang bik tin membawa minuman dingin pada kami. Setelah meletakan minuman kami, bik tin masuk kerumah lagi. Kak faisal agak bengong menatap mama.
"maksud mama....?".
"mama mau pindah ke bangka bersama rio.. Kalau ia tak betah disini, terpaksa mama yang ikut ke bangka..." Jawab mama tenang, seolah olah mama begitu mantap mengatakannya, terus terang aku terkejut bukan kepalang mendengarnya, apalagi kak faisal, sesaat mulutnya ternganga seolah baru saja mendengar berita buruk.
"mama mau ke bangka... Tinggal disana..? Lalu.. Bagaimana dengan aku dan papa?" Suara kak faisal terdengar panik, sepertinya ia betul betul ketakutan mendengar pernyataan mama tadi, aku tak bersuara sedikitpun, soalnya aku tak menyangka kalau mama membuat keputusan seperti itu.
"faisal sudah dewasa... Pasti bisa jaga diri, soal papamu nanti mama bicarakan baik baik pada beliau, mama tau papamu bijaksana.. Mama tak mau mengulangi kesalahan mama untuk kedua kalinya... Mama berharap kamu mengerti ya nak...!" Mama mengambil segelas sirup, kemudian meminumnya, setelah itu mama berdiri lalu berjalan masuk ke dalam rumah meninggalkan kak faisal yang bengong. Buru buru aku berdiri lalu berlari menyusul mama ke dalam rumah. Betul saja, di ruang tengah sudah tersusun tas travel besar punya mama dan juga punyaku. Mama tak main main dengan ucapannya tadi. Aku betul betul bingung sekarang, tadi pagi papa berpesan padaku agar baikan dengan mama, namun yang ada malah mama mau meninggalkan rumah ini untuk ikut denganku pulang ke bangka. Apa nanti yang papa pikirkan tentang aku. Pasti ia akan membenciku gara gara ini semua. Kasihan mama harus meninggalkan apa yang telah ia perjuangkan dengan susah payah hanya karena aku. Aku harus menemui mama dan bicara dengannya sekarang, sudah saatnya aku berdamai dengan mama. Aku berjalan ke kamar mama, pintunya ditutup, ku ketuk perlahan.
"siapa itu..?" Terdengar suara mama menjawab dari dalam kamar.
"rio ma...!"
Masuk saja nak.." Ku putar grendel pintu lalu ku dorong, kulihat mama sedang duduk didepan meja rias, wajahnya begitu kalut.
"ma....."
"iya sayang.. Ada apa.?"
"mama betul betul serius mau ke bangka...?" Tanyaku hati hati. Mama cuma mengangguk dan tersenyum tipis.
"kenapa ma?"
"mama tak mau berpisah lagi denganmu nak..."
"tapi mama tak bisa begitu.. Kasihan sama papa dan kak faisal ma..."
"mama tak punya pilihan lain sayang..." aku tertegun mendengar jawaban mama, aku jadi sadar kalau mama memang menyayangi aku.
"ma boleh rio duduk disini?" Mama mengangguk dan tersenyum, aku langsung duduk disamping mama.
"besok kita sama sama ke bangka.. Mama sudah pesan tiket untuk kesana." Semakin aku tak enak hati sama mama, pastilah berat baginya untuk membuat keputusan seperti ini.
"ma rio minta maaf... Rio sadar kalau kata kata rio tadi bikin mama sedih.. Ma andai mama berat, rio tak apa apa ma.. Tak usah ke bangka..." Mama memandangku agak heran, seperti tak menyangka aku akan bicara seperti itu.
"maksud kamu, biar mama disini, sedangkan kamu pulang ke bangka sendiri...?". Tanya mama agak bingung.
"bukan begitu ma.. Maksud rio, tak apa apa rio tinggal disini dulu bersama mama..."
"tapi mama tak mau kalau rio terpaksa tinggal bersama mama, mama tak ingin putera mama selalu sedih setiap hari..."
"rio janji ma, rio akan berusaha agar betah, rio kasihan sama papa dan kak faisal kalau mama sampai pergi dari sini."
"bukannya rio dan kak faisal tak akur... Itu yang membuat mama juga sedih, masa putera mama saling membenci satu sama lain... Mama ingin kedua putera mama akur seperti anak anak lain.." Kata kata mama membuat aku malu, aku memang salah, mudah terpancing emosi dengan kata kata kak faisal, mungkin saja ia bicara begitu karena belum mengenalku, ia masih belum bisa menerima, seharusnya aku lebih sabar dan menghormati dia sebagai kakak, tapi aku malah mengajaknya berantem.
"iya ma, rio minta maaf, rio janji tak akan berantem lagi dengan kak faisal, rio akan minta maaf sama kak faisal..."
"kakak yang seharusnya meminta maaf.. Maafkan kak faisal ya dek..." Terdengar suara dibelakangku, aku dan mama langsung menoleh, ternyata kak faisal sedang berdiri ditengah pintu, ia berjalan menghampiri kami.
"ma jangan pergi ma... Maafkan faisal juga ma.. Faisal minta maaf sudah bikin mama marah..." Ekspresi kak faisal sungguh lucu, seperti orang yang belum pernah meminta maaf sebelumnya, kata katanya pun terdengar agak janggal. Namun mama tersenyum langsung merengkuh kami berdua, mama memelukku dan kak faisal. Setelah mama melepaskan pelukannya, aku berdiri, kak faisal langsung menjabat tanganku lagi.
"maaf ya dek..." Senang sekali rasanya mendengar dia memanggilku adek.. Aku mendapatkan sosok kakak lelaki yang selama ini aku tak punya. Sekaligus teman dirumah ini. Dengan tersenyum lebar aku menyalami kak faisal.
"iya kak.. Aku juga minta maaf udah mengotori wajah kakak tadi..." Kak faisal tertawa terbahak bahak, aku jadi bingung. Tapi mama juga ikut ketawa.
"hahaha ... Mama jadi ingat wajah faisal berlumuran selai.. Hahaha lucu banget.. Mama mati matian menahan tawa tadi itu.." Kak faisal nyengir, sedikit  malu. Aku jadi nggak enak dengan kejadian tadi.

"kak.. Rio janji nggak lemparin kakak dengan selai lagi.."
"kakak juga janji nggak panggil kamu gembel lagi.!"
"nah gitu dong anak mama.. Sekarang mama udah tenang..."
"ma uang jajan faisal nggak di tahan kan?" Kak faisal menuntut jawaban dari mama, dasar memang nggak mau rugi. Mama tertawa.
"ya nggak lah.. Mama cuma main main kok.. Mana mungkin nggak ngasih anak mama yang manis manis ini jajan...!" Kak faisal cemberut.
"kok manis sih... Nggak mau aku.! Fai kan cowok ma, masa dibilang manis..!" Protes kak faisal cemberut.
"iya iya.. Anak mama yang gagah gagah...Kalau gitu kalian mandi sekarang, kita jalan jalan. Sekalian mama mau cari baju untuk adik kamu.. Habis itu kita ke dealer lihat motor yang kamu sukai itu." Kak faisal tercengang sebentar, langsung membuat aku terkejut, ia memelukku kuat kuat sambil jingkrak jingkrak.
"aseeek... Aseek...! Mama memang paling top... Tunggu ya ma fai mandi dulu...!" kak faisal melepaskan aku kemudian berlari dari kamar sambil tetap jingkrak jingkrakan aku tak dapat menahan senyum melihat kelakuan kak faisal, mama juga begitu.
"eh.. Tunggu apalagi.. Cepetan mandi..!" Mama mengusirku.
"oke ma... Rio mandi dulu..!" Aku keluar dari kamar mama sambil tersenyum senang, ternyata berdamai lebih menyenangkan daripada aku menutup diri. Aku mandi sebersih bersihnya, sabun dikamar mandi ini enak sekali dipakai, sabun cair mirip sekali dengan shampo, kalau dulu aku selalu beli shampo yang bungkus kecil kecil, tapi di kamar mandi ini, botolnya gede sekali. Semua serba lengkap, pasta giginya pun mirip gel, baunya wangi sekali. Setelah mandi aku merasa tubuhku benar benar harum, tak pernah seharum ini sebelumnya. Aku bingung mau pakai baju apa. Soalnya bajuku semua lagi di jemuran.
"dek nih pake baju kakak dulu..!" Kak faisal masuk kamarku, sambil melemparkan baju dan celana kearahku.
"makasih kak.."
"itu masih baru loh.. Belum pernah di pake..."
"iya kak.. Aku pinjam dulu ya.."
"pake aja.. Lagian bajuku juga banyak... Badan kita nggak terlalu beda, kayaknya bisa pas deh..". Aku tak menjawab, karena sedang memakai baju, benar juga baju ini tak terlalu besar untukku, hampir pas, baju kaus ini bahannya tebal sekali, lembut dan modelnya mirip seperti yang kulihat di majalah aneka yang di pinjam yuk tina sama temannya. Ada gambar kodok pake payung di bagian labelnya. Setelah memakai celana. Aku menyisir rambut. Sementara kak faisal sudah keluar dari kamarku. Katanya ia tunggu di beranda depan. Setelah buru buru berganti baju, aku keluar, mama belum selesai berdandan, jadi aku menunggu di depan beranda bersama kak faisal, mang tono sudah menyiapkan mobil untuk mengantar kami. setelah mama selesai berdandan, ia menghampiri kami, mama begitu cantik memakai baju berbahan halus motif abstrak, model blouse panjang hingga ke lutut, mama memegang tas tangan ukuran sedang.
"sudah siap anak mama..?" tanya mama sambil memasang tali tumit sepatu tingginya.
"sudah ma..ayo buruan, sudah nggak sabar lagi nih..!" jawab kak faisal tak sabar. Mang tono menyalakan mobil, kami duduk di bangku bagian belakang, mama duduk disamping mang tono. Sepanjang jalan, tatapanku tak lepas lepas keluar jendela, melihat bangunan bangunan bertingkat yang berjejer disepanjang jalan raya sudirman. Ruko ruko dan perkantoran. Kak faisal menerangkan padaku tentang bangunan bangunan itu. Sekitar duapuluh menit kami tiba di sebuah toko super besar yang seumur hidup baru sekali ini aku lihat. Nyaris terbelalak aku dengan kemegahannya. Semua lantai terbuat dari keramik yang mengkilap, namun tak ada satupun orang yang melepas sepatu saat menginjaknya. Mama menggenggam tanganku untuk mengikutinya masuk kedalam. Kak faisal berjalan disampingku. Saat masuk kami sudah disambut oleh baju baju yang bergantungan seolah olah sedang berada di pabrik baju, bermacam macam baju dengan model mutakhir dipajang, tak bisa aku menyembunyikan kekagumanku. Sudahlah malas aku cerita soal ini, yang penting aku betul betul bosan diajak berkeliling sama mama. Begitu juga kak faisal, berkali kali ia menggaruk kepalanya. Sepertinya ia sudah tak sabar untuk ke dealer motor. Sekitar 3 jam mama memilih baju untukku. Selesai beli baju, kami langsung ke dealer menemani kak faisal memilih motor yang ia inginkan. Setelah menentukan motor yang ia mau, mama membayarnya dan kami langsung pulang. Kak faisal pulang sendirian dengan motor barunya.
aku duduk dikarpet kamar, memandangi tumpukan bungkusan berisi baju baju dan celana baru yang tadi dibeli mama, kak faisal sedang kerumah temannya untuk menunjukkan motor barunya itu. Aku ngeri melihat cara mama berbelanja, seolah olah apapun yang ia lihat ingin ia beli, meskipun tadi aku sudah mengatakan cukup tapi mama tetap membeli baju yang aku sendiri tak tahu entah kapan aku sempat memakai semuanya ini. Seperti mimpi rasanya memiliki baju yang bagus sebanyak ini, mungkin ada belasan jumlahnya. Itupun mama janji minggu depan kalau ia ada waktu mau mengajak aku beli baju lagi. Ku buka satu persatu bungkusan baju ini, bermacam macam model baju dan celana, ada kemeja, baju kaus dengan print gambar, celana jeans panjang, celana katun, celana pendek, celana dalam, baju kaus dalam yang semuanya bermerek dan harganya lumayan membuat aku harus menelan ludah berkali kali. Tapi mama dengan santainya membayar seolah harga bukan persoalan. Ku lipat dengan rapi satu persatu, kemudian aku masukkan ke dalam lemari, baju kemeja aku letakkan di gantungan. Setelah selesai membereskan baju baju tadi, aku kumpulkan bungkus plastiknya lalu aku keluar kamar untuk membuang bungkusan tadi. Mama yang sedang duduk menelpon diruang tengah tersenyum melihatku. Kemudian ia melanjutkan ngobrol sambil tertawa cekikikan. Pastilah mama menelpon temannya untuk bergosip.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar