Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 17

#22 KEMATIAN KAK FAISAL

sudah seminggu lebih kak faisal tak pulang kerumah, entah dimana dia, di telpon hp nya tak aktif, kalau saja kak faisal sedang tak ada masalah mungkin aku tak akan sekuatir ini, yang aku takutkan kak faisal tak berpikir panjang malah lari. Aku tak sanggup membayangkan kalau kak faisal sampai lari lagi dari rumah. Dan kedua duanya karena masalah amalia. Dulu dia lari karena mama tak menyetujui hubungan mereka, sekarang ia lari karena amalia hamil. Apakah kak faisal lari bersama amalia, kalau memang begitu kok keluarganya tak ada ribut ribut, paling tidak ibunya mencari amalia kesini. Aku tak bisa menunggu aku harus cari tau.
“apa…! Faisal sudah seminggu lebih tak pulang?” jerit amalia panik. Saat aku berada dirumahnya menanyakan tentang kak faisal.
“iya mel, aku kira kamu tau kemana kak faisal pergi..”
“demi allah rio, aku benar benar tak tau.. Aduh gimana ini.. Jangan jangan…” amalia hampir menangis.
“jangan jangan.. Apa mel?” tanyaku bingung.
“jangan jangan ia mau lari dari tanggung jawab..” amalia langsung menutup mulutnya dengan refleks seolah menyesal telah keceplosan.
“sudah lah mel, aku udah tau semua.. Kak faisal udah cerita.” ujarku ketus.
“kamu.. Sudah.. Tau?” amalia terbelalak.
“iya.. Kak faisal sudah mengatakan semuanya.. Aku kecewa sama kamu mel..” kataku sinis.
“maaf yo, aku tak mampu menolak keinginan faisal, dia yang memaksa aku melakukannya.. Dia bilang kalau terjadi apa apa dia mau menikahiku dan bertanggung jawab..” desis amalia lirih.
“kak faisal bilang apa sama kamu waktu tau kamu hamil?” “ia katakan mau menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan sama mama kamu..” ujar amalia terisak.
“dia tak akan bilang sama mama mel, dia bilang sama aku dia mau gugurkan kandunganmu..” aku katakan apa adanya. Amalia ternganga memandangku.
“apaaa… Faisal bilang gitu…?” amalia seolah tak percaya.
“iya.. Kak faisal bilang dia sudah berunding sama kamu tentang masalah untuk menggugur kan kandunganmu itu..”
“tidak yo, aku bersumpah faisal tak sedikitpun pernah menyinggung tentang itu.. Kemarin waktu terakhir aku bertemu dia, ia mengajak aku bicara, kami membahas akan kawin lari andaikan keluargamu menentang pernikahan kami.. Itu yang faisal katakan..”
penjelasan amalia membuat kepalaku semakin sakit, keterangan amalia dan kak faisal berbeda jauh. Aku jadi bingung harus percaya yang mana. Masa kak faisal berbohong padaku. Kenapa dia lakukan itu? Kalau memang dia mau menikah dengan amalia, aku akan berusaha bicara baik baik sama mama. Andai mama tak setuju, aku akan memberikan pengertian pada mama kalau anak kandung mama adalah aku, dan itu yang paling penting. Kak faisal bisa menikah dengan siapa saja itu tak ada pengaruhnya karena faisal tak ada hubungan darah dengan mama. Jadi anaknya kak faisal bukan cucu kandung mama. Mungkin kalau aku menjelaskan begitu mama bisa terima walaupun tak sepenuhnya.
“yo tolong kamu cari faisal, aku tak sanggup kalau sampai dia lari dari tanggung jawab..!” desak amalia makin panik.
“aku usahakan mel, kalaupun kak faisal tak ditemukan, kamu terpaksa menggugurkan saja kandunganmu itu mumpung belum terlambat.. Dan satu pesanku. Jadilah perempuan yang punya harga diri!” aku berlalu meninggalkan amalia yang masih bengong karena kata kataku tadi.
Sampai dirumah pikiranku rasanya betul betul kalut. Hanya rian yang bisa aku andalkan untuk bercerita. Mungkin dia bisa mencarikan jalan keluar yang terbaik untuk membantu kak faisal. Tapi reaksi rian betul betul membuat aku kaget.
“salah mereka sendiri yo, buat apa kamu harus ikutan pusing, mereka kan sudah besar, sudah lebih dewasa dari kamu, ya harusnya mereka yang menanggungnya. Sudahlah yo untuk apa mengurusi orang lain..” ujar rian tak perduli.
“faisal itu kakakku yan, bagaimanapun juga aku tak bisa tak memikirkan masalah ini, semua menyangkut keluargaku. Aku tak bisa tenang tenang saja..”
“iya aku tau, tapi apa yang bisa kamu lakukan?” cecar rian ingin tau.
“entahlah aku bingung..”
“kakakmu itu reputasinya cukup buruk yo, kamu aja yang nggak tau..”
“maksudmu?” aku menatap rian tersinggung.
“siapa tak tau sama faisal, playboy yo. Banyak pacar…” timpal rian.
“kamu kok menuduh begitu?” aku tak terima.
“aku kenal beberapa lonte yang akan membuka matamu siapa kakakmu itu..” ucap rian membuat ku kaget. aku jadi bingung, darimana rian tau, rian kenal dengan lonte darimana? Selama ini ia tak pernah bilang.
“jangan curiga dulu sayang, aku memang mengenal beberapa teman kampus yang nyambi jualan diri, dan beberapa diantaranya pernah sama kak faisal. Beberapa teman tau kok, cuma aku nggak enak kasih tau kamu…” rian tak enak hati dengan tatapanku.
“ya udah aku nggak mau tau itu.. Yang penting sekarang kak faisal ada dimana, kamu mau bantu aku nyari nggak?” ujarku tak sabar.
“oke oke.. Kita cari faisal sekarang!” rian meraih jaket digantungan.
****************


Sudah berjam jam aku dan rian berkeliling kerumah teman temannya serta ke tempat yang memungkinkan untuk kak faisal sembunyi tapi nihil. Akhirnya kami pulang tanpa ada hasil.
“heran kemana ya faisal kok udah seminggu lebih nggak pulang?” gerutu mama sambil menyuapi wenny.
“iya ma, nggak tau kemana ya kak faisal, udah dicariin kemana mana tapi nggak ketemu, di telpon juga nggak aktif ma..”
“dirumah temannya udah kamu coba cari?” mama menurunkan wenny, lalu mengambil gelas dan memberikan wenny minum.
“udah ma, tapi nggak ada yang tau…” sesalku.
“aduh kemana lagi anak satu itu, sering sekali begini, apa nggak tau kalau orangtua kuatir..” mama mengeluh.
“sudahlah ma, kak faisal kan sudah dewasa.. Dia bisa jaga diri.” aku menghibur mama.
“ya.. Semoga dia tak kenapa napa, mama kuatir sekali, perasaan mama tak enak, semalam mama bermimpi buruk.”
“mimpi apa ma?”
“mama mimpi faisal masuk sebuah lubang dan dia minta tolong sama mama untuk membebaskannya. Mimpi itu terasa bagai nyata.. Mama jadi kepikiran sama faisal yo..” suara mama terdengar agak ketakutan.
“ma sudahlah kak faisal tak kenapa kenapa kok, mungkin dia lagi ingin menenangkan pikiran saja makanya ia tak pulang, bisa jadi kan dia menginap diluar kota” aku memberikan kemungkinan.
“semoga sayang..” mama mencoba tenang. Tak urung mendengar cerita mama tadi, aku menjadi kuatir, benarkah kak faisal tak apa apa, tapi kenapa tak ada kabar, semoga saja tak ada apa apa dengan kak faisal.
Setelah dua minggu kak faisal belum juga ada kabar, seisi rumah mulai panik, mama mencoba menghubungi siapa saja yang kenal dengan kak faisal, tante laras kembali datang, om sebastian dan isterinya tante sukma, dan juga beberapa kerabat kerabat papa dan mama. Ramai sekali suasana dirumah.
“emangnya sebelum kak faisal pergi, ia tak mengatakan mau kemana yo?” tanya odie penasaran.
“nggak die, kak faisal nggak mengatakan apa apa, bahkan ia pergi pun waktu itu sama amalia…”
“yo, ini sudah beberapa kali ia seperti ini, apa ia ada masalah dirumah?” selidik odie curiga. Aku terdiam, aku bingung harus menjawab apa, memang kak faisal lagi ada masalah, masalah yang sangat besar sekali. Tapi aku sudah berjanji sama kak faisal, aku tak akan mengatakan apa apa.
“nggak die, nggak ada masalah apa apa.. Mungkin kak faisal lagi kemana dan nggak mau diganggu.”
aku terpaksa berbohong. Odie sepertinya percaya dengan penjelasanku. Aku mengajak odie bergabung dengan para kerabat.
“bener kak mega nggak ada masalah dengan faisal?” tanya tante laras pada mama dengan sedikit curiga
“nggak dek laras, nggak ada masalah apa apa… Malah sebelum dia pergi, malamnya kami masih sempat kerumah amalia untuk selamatan karena sudah menjadi sarjana.” mama menjelaskan.
“kalau begitu kemana ya dia..?” tante laras jadi bingung.
“apa kita harus menunggu kabar darinya atau langsung mencari saja?” tanya tante sukma prihatin. Isteri om sebastian ini orangnya memang agak mudah ketakutan.
“gini aja, aku akan bikin laporan di kantorku, nanti teman temanku akan membantu untuk mencari faisal..” usul om sebastian. Semua melihat ke om sebastian.
“itu lebih baik dek, tolong kamu usahakan cari faisal, jangan sampai berlarut larut masalah ini, aneh juga kalau ia tak bisa dihubungi selama ini.” timpal papa.
“dan kita juga harus bantu mencari juga..” imbuh tante laras.
“rio dan odie akan berkeliling kerumah teman temannya untuk mencari informasi siapa teman kak faisal yang ada diluar kota yang mungkin ia datangi.” aku menambahkan.
“iya yo, ajak odie, kalian usahakan cari keterangan dari teman temannya..” dukung tante laras.
“assalamualaikum…” terdengar suara dari pintu ruang tamu.
Serempak semua melihat. Ternyata amalia dan ibunya. Amalia sedang menangis. Aku terkejut, jantungku tiba tiba berdebar keras. Apakah maksud kedatangan amalia dan ibunya, mengapa amalia menangis dan ibunya terlihat begitu marah dari raut wajahnya yang cemberut.
“ada apa amalia?” mama berdiri menghampiri amalia dan ibunya.
“mana faisal!” tanya ibunya amalia dengan marah.
“faisal belum pulang… Ada apa bu?” tanya mama kebingungan dengan sikap ibunya amalia.
“tak usah bohong, katakan dimana anak nyonya itu,.. Anak kurang ajar!” semprot ibu amalia dengan nada tinggi. Mama terpana keheranan. Dengan deg degan aku hampiri mereka.
“kak faisal memang tak ada bu, udah dua minggu ini dia tak pulang..” aku membantu mama menjelaskan.
“anak setan itu coba coba melarikan diri ya… Saya tak terima!” ibu amalia semakin marah.
“loh kenapa ini, ada apa bu, ayo masuk dulu…” papa yang juga terlihat bingung langsung menyuruh amalia dan ibunya masuk. Walaupun terlihat berat, tapi ibunya amalia menarik amalia dengan kasar masuk ke dalam rumah.
“duduk dulu bu tenang dulu, katakan ada apa masalahnya?” papa menyuruh amalia dan ibunya duduk.
“maaf pak harlan bukan bermaksud tak sopan, saya cuma ingin meminta faisal bertanggung jawab, jangan pengecut seperti ini….” tuntut ibu amalia tak sabar.
“ini kenapa sih, datang datang langsung marah marah?” timpal tante laras heran, ia langsung duduk disamping mama.
“ibu tenang dulu, ceritakan dulu duduk persoalan sebenarnya, kenapa ibu mengatakan anak saya macam macam, memangnya apa yang telah dia perbuat?” wajah mama pucat pasi seolah takut mendengar jawaban yang akan keluar dari ibu amalia. Tiba tiba ibunya dengan kasar menarik amalia dengan satu sentakkan hingga amalia berdiri dengan terpaksa.
“ngomong!.. Cepat katakan pada keluarga terhormat ini apa yang telah faisal lakukan!” ujar ibu amalia dengan berapi api. Amalia menangis terisak isak menangkup kedua tangannya menutupi wajah.
“ayo ngomong!.. Anak kurang ajar!” maki ibunya tak sabar dan menghenyakkan tubuh amalia kasar. Amalia semakin keras terisak, aku diam gemetar menunggu amalia mengakui perbuatan kak faisal yang bagaikan bom waktu yang akan mengejutkan seisi rumah ini. Diam diam aku berdoa.
“saya.. Saya hamil..” akhirnya keluar juga pengakuan dari amalia. Sesaat hening tak ada suara. Mama ternganga tak percaya. Begitupun dengan papa, tante laras, om beno, om sebastian, tante sukma, odie, dan yang lain lain. Lututku semakin lemas. Hanya isakan amalia yang terdengar sengau mengisi jeda yang sebentar lagi pasti segera berakhir.
“amalia kamu hamil?” desis mama seolah tak yakin.
“kamu hamil?” timpal papa heran.
“apa kamu bilang?” sela tante laras.
“kamu hamil?” ekspresi tante sukma sulit untuk aku gambarkan.
“amalia kamu hamil, kok bisa?” ujar om sebastian.
Hanya om beno yang tak berkomentar, ia hanya terdiam menatap amalia mencari kebenaran yang tergambar dimata amalia atas pengakuannya yang baru saja ia lontarkan.
“kalian dengar kan.. Amalia hamil! Anakku hamil.. Dan itu gara gara si faisal setan itu!” maki ibu amalia kesal.
“tunggu tunggu… Faisal menghamili amalia, itu tak mungkin!” teriak mama tak terima.
“tak mungkin dari mana,.. Nyonya mau memungkiri kenyataannya.. Kalau anak nyonya tak menghamili anak saya emangnya anak saya maryam yang bisa hamil tanpa suami.. Kalian pikir dong!” jerit ibu amalia berang. Mama memegang dadanya, wajah mama betul betul shock, sepertinya mama belum bisa mencerna semua ini.
“ibu kita bicarakan semua dengan tenang, apa ibu yakin amalia memang hamil?” tanya papa berusaha menetralisir suasana.
“memangnya saya goblok pak harlan, walaupun kami orang miskin, saya tau orang yang hamil atau tidak!” ibu amalia semakin marah, bukannya menjadi lunak. Papa terduduk lemas begitu juga dengan mama. Wajah tante laras memerah entah karena marah atau terkejut aku tak bisa menafsirkannya. Tumben tante laras tak mengatakan apa apa.
“pokoknya saya meminta pertanggung jawaban dari anak kalian faisal!.. Dia tak bisa seenaknya menghamili anak orang lalu main lari begitu saja!” tuntut ibu amalia, suaranya serak menahan tangisan. Amalia masih berdiri menutup wajahnya tak berani melihat siapapun. Mungkin dia malu sekali.
“amalia.. Benar kamu hamil dan faisal yang menghamili kamu?” om sebastian bertanya lagi untuk meyakinkan. Amalia tak menjawab cuma mengangguk.
“jangan cuma menangis terus mel..!” bentak ibunya tanpa disangka sangka langsung merenggut tangan amalia lalu menampar amalia dengan keras. Amalia sampai terhempas terduduk di kursi, rambutnya acak acakan menutupi wajahnya. Ia semakin sesungukan sambil memegang pipinya yang terasa panas.
“faisal. …. Anakku apa yang kamu lakukan nak… Teganya kamu sama mama…” raung mama histeris, lalu tubuh mama limbung dan mama rebah, untung saja om sebastian sigap menangkap mama hingga mama tak menghantam lantai.
“mamaaaaaa,….!” terdengar jeritan dari pintu. Serempak kami semua menoleh.
“kak faisal…?” desisku tak percaya. Sementara kak faisal menghambur berlari menghampiri mama yang merosot dilantai berbaring diatas paha om sebastian.
“mama… Maafin fai ma..” kak faisal bersimpuh di tubuh mama yang terbaring tak sadarkan diri. Aku tak tau harus ngomong apa, tiba tiba kak faisal ditarik oleh papa dengan kasar, belum sempat aku beranjak menghampiri kak faisal, satu tinju melayang ke muka kak faisal membuat kak faisal terbanting ke lantai dengan hidung bersimbah darah. Tante laras menjerit keras karena terkejut. Om sebastian berdiri dengan refleks menahan papa yang mau memukul kak faisal lagi.
“sabar bang.. Sabar..”
“lepaskan aku dek, anak ini harus dihajar!” maki papa geram sambil berontak melepaskan diri dari om sebastian, namun sebagai brimob yang terlatih, tenaga om sebastian tak mampu papa tandingi. Tante laras berlutut disamping kak faisal yang sedang berusaha bangun.
“ya Allah faisal… Kenapa kamu bisa begini…” tante laras membantu kak faisal bangun, sementara itu papa masih berusaha untuk melepaskan diri. Amalia dengan ibunya melihat kejadian itu dengan menutup mulutnya. Mata amalia terbelalak.
“anak tak tau malu..! Cuma bisa bikin susah saja…!” papa memaki kak faisal. Om sebastian mempererat pegangannya agar papa tak kelepasan memukul kak faisal.
“dari mana saja kamu faisal..?” tanya om beno yang sedari tadi diam.
“iya fai kamu darimana saja dua minggu kabur bikin kami semua kuatir?” tante laras memeluk kak faisal penuh kasih sayang.
“maaf tante, faisal butuh menenangkan diri…” jawab kak faisal tertunduk.
“jadi betul fai kamu sudah menghamili amalia?” suara tante laras penuh kekecewaan. Kak faisal terisak mendengar pertanyaan tante laras. Aku membaringkan mama diatas kursi jati panjang. Mama mengeliat sepertinya mulai mendapatkan kembali kesadarannya.
“ma… Mama.. Mama tak apa apa kan ma?” aku mengusap pipi mama lembut. Bik tin datang membawa segelas air putih, pasti bik tin melihat semua kejadian tadi namun tak berani untuk mendekati karena ini urusan majikan yang ia tak mungkin ada hak untuk ikut.
“ma, diminum dulu ma..” aku menempelkan mulut gelas ke bibir mama, lalu membantu mama mengangkat kepalanya sedikit agar mama bisa lebih mudah minum. Papa masih mengamuk, baru saja om sebastian melepaskan papa, langsung papa menerjang kak faisal hingga kak faisal terjerembab. Tante laras berteriak. Mama mendorong gelas ditanganku kuat kuat hingga terjatuh dan pecah, mama bangun dan berteriak melengking mengejutkan semua yang ada diruangan ini.

papa yang baru mau meninju lagi kak faisal, menahan pukulannya yang nyaris bersarang diwajah kak faisal, dengan tangan teracung papa menoleh ke mama. Tante laras mengusap dada sambil menggelengkan kepalanya dan menghela nafas panjang.
“ma kenapa ma…?” aku memeluk mama agar mama tak turun, aku takut mama menginjak pecahan gelas.
“bik tin….!” aku berteriak memanggil bik tin. Tanpa menunggu lama bik tin datang.
“bersihkan pecahan gelas itu bik.. Jangan sampai terinjak orang orang disini..” tanpa banyak kata bik tin membersihkan pecahan gelas itu.
“faisal anakku..” ucap mama dengan mulut gemetaran. “Faisal anakku jangan pergi…” isak mama pilu.
“ma, kak faisal sudah pulang ma.. Itu kak faisal, mama jangan kuatir lagi ma..” aku menghibur mama. Tante sukma mendekat dan memeluk mama untuk menenangkan mama.
“kak mega, jangan kuatir, benar kata rio kak, itu faisal sudah pulang..” tante sukma mengusap usap punggung mama.
“mama..” kak faisal bersimpuh disisi mama. Airmatanya menggantung dipipi. Darah masih membekas diantara hidung dan kumis tipisnya.
“anakku.. Darimana saja kamu..” mama bangun memeluk kak faisal.
“maafkan faisal ma.. Faisal mengaku bersalah, faisal memang anak yang tak berguna ma..”
isak kak faisal, bahunya terguncang guncang karena tangisan. Mama memeluk kak faisal erat. Kami semua diam melihat mama dan kak faisal. Tanpa terasa airmataku mengalir. Aku tau batin mama pasti begitu sakit, namun mama tak tau lagi harus bagaimana. Mama sangat menyayangi kak faisal. Kekecewaan mama dikalahkan oleh perasaan sayang. Amalia dan ibunya duduk. Wajah ibu amalia sudah melunak. Mungkin ia merasa ganjaran yang kak faisal dapatkan sudah sepadan.
“faisal, sekarang kita harus bicara tentang masalah kamu dengan amalia..” tante sukma menepuk pundak kak faisal.
“iya tante…” jawab kak faisal lemah. Mama menutup hidungnya dengan saputangan menyusut hidungnya yang mampet karena tangisan tadi.
“bu rusmi, kami atas nama keluarga besar suharlan, meminta maaf atas kejadian yang tak kita sangka sangka ini…” tante laras membuka pembicaraan. Aku diam menyimak moment ini.
“kami tau, sebagai orangtua, ibu kuatir…” tante laras melanjutkan. Kemudian menoleh ke papa. Papa memberi isyarat agar tante laras melanjutkan. Semua diam menunggu kata kata tante laras selanjutnya. Amalia terpekur menatap lantai, tak berani menatap siapapun termasuk kak faisal. Mama menyusut hidungnya sesekali masih terisak. Om sebastian menggenggam tangan tante sukma, sementara tante sukma tak berkedip menatap tante laras.
“ini begitu mendadak dan sangat mengejutkan tak hanya bagi bang harlan dan anak isterinya, tapi juga kami selaku saudara kandung bang harlan… Jadi kami minta bu rusmi untuk memberikan keluarga kami waktu berpikir, bagaimanapun juga ini menyangkut masa depan faisal selaku keluarga kami..”
kata kata tante laras begitu lancar dan tenang. Ibu amalia melotot mendengarnya.
“ini juga masalah masa depan amalia anak saya.. Itu menjadi urusan saya juga.. Tak perlu menunggu bunting amalia besar baru kalian mau beri keputusan, anak saya bukan binatang kalau bunting tak masalah mau kawin atau tidak.. Pokoknya saya tak terima.. Secepatnya faisal harus menikahi amalia. Titik!”
tikam ibu amalia berang sambil berdiri dan menunjuk kak faisal.
“faisal… Dia masih muda.. Bagaimana nasibnya kalau menikah cepat..” mama menangis tersedu.
“bagaimana kalau amalia di kuret saja, mumpung kehamilannya masih dini?” usul papa tak terduga.
“apa… Maksud pak harlan kandungan amalia digugurkan?” pekik ibu amalia terkejut.
“saya rasa itu adalah jalan tengah yang terbaik untuk kedua belah pihak…” tuntas papa tenang.
“tidak bisa… Saya tak akan pernah memberi ijin untuk itu.. Tidak pokoknya tak akan pernah..!” ibu amalia berdiri histeris, om sebastian tercengang memandang papa seolah tak menyangka papa akan berkata demikian.
“bu rusmi, bukannya kami tak mau bertanggung jawab, tapi mengingat anak saya masih kuliah dan umurnya juga masih muda, kami rasa ia belum siap untuk membina rumah tangga..” tegas papa.
“kalian seenaknya saja memutuskan begitu, kalian tak memikirkan perasaan kami, tak ada dalam sejarah kami membunuh, apalagi jiwa yang polos tak bersalah… Pokoknya saya tak akan mengijinkan..!” ibu amalia bersikeras. Aku merenung, aku tak setuju jika harus mengambil keputusan seperti itu, kak faisal yang telah berbuat seharusnya bertanggung jawab. Semua termenung, wajah tante laras berkerut seolah berpikir keras, om sebastian menggeleng gelengkan kepalanya. Mama terdiam seperti orang melamun.
“bang harlan, apa tak terlalu cepat mengambil keputusan itu bang?” tante laras meyakinkan papa.
“dek, sebetulnya abang juga berat mengambil keputusan ini, tapi kita sebagai orang tua harus mengambil keputusan terbaik menyangkut masa depan anak kita..” jawab papa lugas.
Tante laras mendengar penjelasan papa tanpa bicara, ia memandangi amalia yang sedang menunduk, amalia tak bersuara dari tadi, seolah siap menunggu vonis apapun yang nantinya akan dijatuhkan. Kak faisal menatap papa tajam, seolah papa orang asing yang belum ia kenal.
“yo, kayaknya masalah tak bisa diputuskan begini deh.. Kasihan kak faisal..” bisik odie pelan disampingku.
“iya die, aku juga bingung kenapa papa mengusulkan hal itu..” balasku ikut berbisik.
Tiba tiba mama berdiri, memandangi satu persatu yang berada disini.
“mama tak setuju kandungannya digugurkan, mereka berdua harus menikah!” ujar mama datar. Semuanya memandang mama heran, terlebih lagi aku. Tak kusangka mama justeru menyetujui kalau kak faisal harus menikah.
“nah.. Pak harlan sepertinya isteri bapak lebih waras!” cemooh ibu amalia.
“mama apa sudah memikirkan kata kata mama?” tanya papa heran.
“sudah pa.. Faisal harus bertanggung jawab, karena ia telah melakukannya, mama tak ada pilihan lain selain menyuruh mereka menikah.. Kasihan bayi itu, bagaimanapun juga itu darah daging faisal, mama tak tega kalau harus dibunuh…” ujar mama sesekali terisak. Kak faisal menatap mama tanpa berkedip.
“kak mega betul bang harlan..” timpal om sebastian.
“iya bang, jalan terbaik untuk mereka adalah menikah, bang harlan harus bijaksana..” imbuh tante laras.
“kalau menurut kalian begitu, papa harus bagaimana lagi, tapi jangan lupa… Yang akan menjalaninya itu faisal, kita harus tanyakan sama faisal bagaimana keinginannya..” suara papa terdengar begitu letih, mungkin papa betul betul lelah dengan hal ini.
“tak perlu tanyakan apa apa pada faisal, ia tak ada hak untuk memilih, segala konsekuensinya dia harus tanggung.” cetus mama tegas. Kak faisal menunduk.
“secepatnya kita harus menikahkan mereka.. Sebelum ini menjadi omongan orang orang..” tambah tante laras.
“amalia, kamu mau menikah dengan faisal?” tanya mama kepada amalia yang menunduk. Amalia mengangkat kepalanya perlahan memandang mama ragu, kemudian ia mengangguk.
“baiklah, itu artinya amalia setuju.. Kita akan memutuskan tanggal pernikahan mereka..” lanjut mama. Semua diam tak bersuara, diam diam aku sedih memikirkan kak faisal akan segera menikahi amalia, rasanya aku seperti kehilangan teman, kakak satu satunya akan segera mempunyai isteri.
“baik, saya setuju pernikahan mereka secepatnya dilangsungkan… Tak usah menunda nunda lagi..” tukas ibu amalia. Aku mengerti yang dirasakan ibunya amalia, anak gadisnya hamil diluar nikah itu merupakan pukulan yang teramat berat baginya. Kekuatiran yang ia rasakan membuat ia yang biasanya lembut menjadi tegas dan ketus.
“aku setuju mereka menikah dengan beberapa syarat!” mama meneruskan kembali perkataannya. Papa memandang mama dengan keingintahuan, demikian juga semua yang ada disini.
“syarat apa bu harlan… Kok menikahkan anak saja harus ada syarat?” ibu amalia terlihat bingung.
“iya.. Aku setuju dengan syarat, dan ini tak bisa ditawar..!” ujar mama seolah tak perduli. Kak faisal menatap mama tanpa berkedip, menunggu apa yang mau diajukan mama sebagai persyaratannya.
“apa syaratnya bu harlan.?” tanya ibu amalia.
“yang pertama, pernikahan itu tidak diadakan dirumah ini…” mama menyebutkan syarat yang pertama. Wajah papa dan semua yang ada disini menjadi kaget.
“maksud mama?” tanya papa seolah kurang mengerti.
“sudah jelas kan pa, mama tak ingin ada pesta dirumah ini, dan mama tak ada toleransi apapun untuk itu..” ujar mama tegas.
“syarat kedua, tak ada pesta besar besaran, cukup selamatan dan akad nikah saja..” mama menyebutkan syarat kedua. Tante laras mendelik melihat mama, namun tatapan tajam mama membuat tante laras terdiam.
“syarat ketiga, mereka berdua tak boleh tinggal dirumah ini setelah menikah, dan akupun tak akan membantu mereka dalam soal keuangan, biarlah mereka berusaha sendiri…” syarat ketiga yang mama berikan semakin membuat kami semua terkejut.
“syarat ke empat.. Tak perlu saya di libatkan dalam urusan apapun mengenai pernikahan itu.. Dan saya juga tak akan pernah hadir.. Cukup itu saja syaratnya.!” tuntas mama, tanpa bicara lagi ia meninggalkan kami semua yang masih bengong. Mama membanting pintu kamar.
semua terpana tak tau harus berkata apa lagi. Ibu amalia berdiri lalu mengajak amalia pulang. Tante laras dan om beno mengantar amalia dan ibunya hingga ke beranda, papa menyusul mama masuk kedalam kamar. Odie merangkul bahuku dan mengajak aku ke kamar, om sebastian dan tante sukma tetap duduk membicarakan masalah kak faisal.
Aku tau keputusan mama tak terbantah, kalau mama sudah memutuskan begitu, maka akan begitu, kak faisal tak bisa membantah karena tak ada celah membela diri untuk kesalahan besar yang ia lakukan. Arti dari kata kata mama tadi bahwasannya mama telah membuang kak faisal dan amalia.
Aku bingung harus bagaimana, tak ada yang bisa aku lakukan untuk membantu kak faisal, kesalahan kak faisal sudah terlalu besar bagi mama. Sekarang konsekuensinya harus ia tanggung sendiri. Kak faisal harus siap menjalani arti kehidupan yang sesungguhnya. Tak ada fasilitas, mobil, uang berlimpah. Ia harus mulai belajar mencari hidup dan menghidupi amalia serta anaknya nanti. Aku hanya bisa berharap nanti mama akan berubah. Seiring waktu berjalan, mama bisa menerima amalia.
Aku sedang membahas kejadian tadi bersama odie di kamar saat kak faisal mengetuk pintu dan masuk.
“dek, boleh kan kakak masuk…” kak faisal membuka pintu dengan ragu.
“masuk aja kak.. Ada apa?” aku berdiri menghampiri kak faisal, ia berjalan lesu lalu duduk di kursi belajar.
“kakak tak menyangka akan begini jadinya dek..” keluh kak faisal sedih.
“kakak tak pernah berpikir sebelum bertindak, semua kakak lakukan atas ego dan kesenangan sendiri..” aku betul betul kecewa dengan sikap kak faisal yang pengecut.
“kakak khilaf dek…”
“kalau sudah sering bukan khilaf namanya kak..” aku mendengus.
“bahkan adek pun menyalahkan kakak..” suara kak faisal begitu sedih, airmata kak faisal mengalir, tak kusangka kak faisal bisa menangis juga.
“kak, semua sudah terlambat untuk disesali, jangan lagi kakak berharap nasi yang sudah menjadi bubur akan kembali jadi beras..” aku jadi kasihan juga dengan kak faisal.
“kakak tau dek, yang bikin kakak sedih, kakak akan segera berpisah dengan adek, dengan mama dan papa..” isakan kak faisal membuat suaranya menjadi sengau.
“sudahlah kak, jalani saja… Aku yakin nanti mama akan terenyuh..” aku menasehati.
“sampai berapa lama dek, mama kalau sudah memberi keputusan jarang mengubahnya..” sesal kak faisal.
“aku yakin mama akan mengubah keputusannya kak, berdoa saja ya..” aku menguatkan kak faisal.
“kakak memang bodoh..sekarang semuanya telah kacau, terus terang kakak belum siap menikah sekarang dek.. Kakak belum siap..” kak faisal memelukku dan menangis lagi. Aku mengusap punggung kak faisal.
“jangan menangis kak, kuatlah! Masalah tak akan selesai dengan tangisan..”
“kakak tak sanggup membayangkan hari hari ke depan nanti dek..” kak faisal mencurahkan perasaanya.
“aku janji akan sering menemui kakak.” hiburku ikut sedih, rasanya ingin ikut menangis bersama kak faisal, hampir delapan tahun aku tinggal dirumah ini, dari masa remaja yang indah, hingga saat beranjak dewasa, begitu banyak kenangan manis yang mengisi hari hariku, bersama kak faisal dirumah ini, terasa cepat waktu berlalu bagaikan berlari, semua tinggal kenangan, kak faisal yang dulu aku banggakan, dan aku sayangi, kini harus segera meninggalkan rumah ini, dua minggu kak faisal tak pulang saja aku sudah merasa begitu kesepian, apalagi kak faisal harus pindah ke rumah amalia. Rasanya aku ingin mengulangi waktu agar kembali ke masa sma dulu, kak faisal masih merupakan teman bermain yang asik, sekarang kak faisal lebih sibuk dengan kekasihnya amalia, banyak perubahan pada kak faisal, dan aku tak mampu untuk menghalangi perubahan itu.
Setelah melepaskan semua beban yang menyesakkan baginya, kak faisal keluar dari kamarku. Seharian kak faisal tak keluar dari kamar, bahkan saat keluarga berunding menetapkan tanggal pernikahannya pun, kak faisal tak bergeming. Aku duduk mendengarkan keputusan papa. Kak faisal akan menikah pada hari jumat ini juga. Dan malamnya langsung selamatan dirumah amalia. Aku menghela nafas, dadaku terasa sesak, tak ada pernikahan yang meriah, tak ada pesta, kasihan kak faisal dan amalia. Tante laras mengetuk pintu kamar kak faisal, tak lama kemudian kak faisal membuka pintu, tante laras masuk. Mungkin tante laras ingin menghibur kak faisal serta ingin menyampaikan hasil keputusan tadi.
Keesokan harinya. Papa beserta kak faisal, tante laras dan om beno pergi ke rumah amalia tepat jam tujuh malam untuk acara lamaran, seluruhnya tante laras yang mengatur, dari soal hantaran hingga cincinnya. Mama bahkan tak keluar kamar. Seolah enggan untuk melihat semua ini. Sebetulnya aku diajak papa untuk menyertai kak faisal, namun tadi pagi mama sudah melarangku, jadi aku merasa serba salah. Akhirnya aku memutuskan tak ikut.
Jam sembilan kak faisal pulang bersama papa dan tante laras, kak faisal mengetuk pintu kamar mama.
“ma.. Boleh faisal masuk?” kak faisal memanggil mama, namun tak ada sahutan.
“ma, faisal ingin bicara sama mama..” suara kak faisal begitu memohon, namun tak juga ada suara jawaban.
“ma.. Faisal minta maaf ma, tapi tolong jangan diamkan faisal seperti ini ma, faisal mohon..” kak faisal makin keras menggedor pintu kamar mama. Aku menghampiri kak faisal.
“mama masih marah kak, percuma saja, tunggu besok siapa tau mama sudah bisa menerima kak..” aku mencoba memberikan pengertian.
“nggak dek, dua hari lagi kakak menikah, kakak tak bisa membayangkan pernikahan kakak tanpa mama dek, kalau hanya tak ada pesta, kakak ikhlas asalkan mama mau merestui Asalkan Mama mau mendampingi kakak..” kak faisal memelas, airmatanya mengambang di pelupuk mata.
“nanti besok aku coba bicara sama mama, semoga mama luluh.. Mama sangat menyayangi kak fai, mama pasti tak ingin melewatkan kesempatan ini kak,.. Pernikahan kakak..” ujarku tak yakin, namun aku tak ingin kak faisal tambah sedih. Dengan lesu kak faisal menjauh dari kamar mama. Aku mengikuti kak faisal, ia keluar rumah dan duduk disamping kolam.
“kakak sudah merusak semuanya ya dek.. Kakak bukan contoh yang baik untuk ditiru..” desah kak faisal tertunduk ke arah kolam, entah memandang ikan yang berenang atau tengah menerawang.
“sudahlah kak, tak baik terus terusan disesali..”
“sekarang kakak sudah menerima akibatnya..” kak faisal bicara pelan seolah berbisik.
“kak, mungkin kita bisa mengambil hikmah dari kejadian ini, sekarang kakak udah lebih berpikiran dewasa kan..kakak sudah mau menikah dan tak lama lagi menjadi ayah” aku memandangi kolam, sesak rasanya dadaku, pernikahan yang seharusnya menjadi kebahagiaan seisi rumah, yang sering mama ceritakan andai aku atau kak faisal menikah, akan membuat pesta meriah, namun itu hanya mimpi. Justeru pernikahan itu bagaikan duri yang menyakiti mama.
“kakak takut dek, pernikahan kakak tak direstui mama, apakah akan membawa berkah nantinya, kakak mencintai amalia, dan kakak telah menyakiti dia, kakak berpikiran untuk lari meninggalkannya, namun kakak sadar tak mungkin terus terusan lari dari kenyataan.” kak faisal terlihat betul betul menyesal. Aku menggenggam tangan kak faisal.
“sabar ya kak, aku yakin kakak bisa melewati semua ini, yang penting terus berdoa…” ujarku sedih, kak faisal meremas tanganku erat erat.
“makasih dek, kakak beruntung punya adek seperti kamu, kakak jadi ingat waktu adek dulu baru datang, sikap kakak begitu buruk, padahal jujur dek, kakak senang sekali waktu itu, cuma kakak tak mau menunjukkannya, kakak bangga punya adek… Kakak sayang sama adek..”
kak faisal memelukku. Airmataku mengalir mendengar pengakuan kak faisal, sungguh aku sudah melupakan masa itu, aku begitu menyayangi kak faisal, bagiku kak faisal adalah kakakku, yang sudah lama aku impikan, punya saudara lelaki, dan kak faisal adalah jawaban atas keinginanku. Aku sadar sebetulnya tuhan begitu baik padaku, memberikan begitu banyak kebahagiaan.
“dek…”
“iya kak…”
“maafkan kakak ya..” kak faisal mempererat pelukannya.
“kak faisal nggak bersalah padaku kak…” aku mengusap punggung kak faisal.
“makasih dek.. Masuk yok dek, sudah larut, kakak minta adek temani kakak tidur malam ini untuk yang terakhir kalinya dek.” kak faisal melepaskan pelukannya.
“kakak jangan ngomong gitu, kita kan masih bisa bertemu… Walaupun nanti kakak udah tinggal dirumah amalia, aku akan sering sering mengunjungi kakak..” jawabku sedih, seolah olah aku betul betul kehilangan kak faisal. Aku mengikuti kak faisal ke dalam rumah.
“kak, ada odie… Aku nggak enak ninggalin dia sendirian di kamar..” aku baru teringat kalau ada odie.
“nggak apa apa dek, odie nggak masalah tidur sendirian, lagipula ia pasti udah tidur..”
“ya udah kalau gitu aku temani kakak tidur dikamar kakak..” jawabku sambil masuk ke dalam kamar kak faisal, lama sekali kak faisal memandangi seisi kamarnya.
“tak lama lagi kakak akan meninggalkan semua ini..” desis kak faisal.
“kalau mama udah luluh nantinya, aku yakin ia akan memaksa kakak kembali kesini kak..”
“semoga dek..”
kak faisal naik ke tempat tidur dan berbaring. Aku menyusul kak faisal berbaring disampingnya. Kak faisal bercerita selama dua minggu ia tak pulang ternyata ia menginap dirumah sepupu rizal yang juga adalah teman kak faisal. Temannya itu tinggal di daerah sekayu. Ia banyak dinasehati oleh sepupu rizal agar bersikap dewasa dan bertanggung jawab. Dan nasehat yang membuat kak faisal mau pulang adalah temannya itu mengatakan kasihan mama kalau kak faisal meninggalkan rumah, ia takut mama sedih. Tapi ternyata kepulangannya malah membuat mama kecewa. Bertepatan hari ia pulang, semua rahasia terbongkar. Kak faisal merasa begitu menyesal.
“dek, bagaimana hubungan adek dengan rian?” tanya kak faisal tiba tiba. Aku terkejut dan refleks menoleh ke kak faisal.
“maksud kakak apa kak?” tanyaku bingung.
“kakak sudah tau semuanya dek, adek bukan sekedar berteman dengan rian.. Diantara kalian ada hubungan yang lebih, kalian pacaran kan dek?” deg! Jantungku terasa mau copot, bagaikan tersambar petir aku langsung bangun dan duduk. Bingung harus menjawab apa, darimana kak faisal mengetahui itu.
“kak.. Aku..”
“sudahlah dek, tak apa apa kok.. Santai aja dek, kakak udah lama tau mengenai itu, dan bagi kakak tak ada masalah dek…” kata kata kak faisal semakin membuat aku terkejut.
“kak maaf.. Aku tak bermaksud.. Tapi..” aku betul betul gugup.
“pasti adek heran kakak tau darimana, tenang aja dek, kakak sudah lama tau mengenai itu, dan kakak diam saja, selama adek bahagia.. Kakak ikut bahagia.” kak faisal tersenyum, senyum seorang kakak yang menyayangi adiknya. Tak ada nada marah atau kecewa, yang ada hanyalah perhatian seorang kakak.
Aku menangis, aku tak menyangka kak faisal tau. Dan ia tak sekalipun menyinggung tentang itu, ia bisa menerima keadaanku. Aku tau tak gampang bagi keluarga untuk menerima ada salah satu anggota keluarga yang melenceng seperti aku. Namun kak faisal memberikan pengertiannya. Aku menyesal kemarin kemarin sempat kasar dan tak perduli pada kak faisal, aku marah padanya ketika ia mengaku bahwa amalia hamil, aku bukan menenangkannya malah aku kecewa. Padahal kak faisal melakukan hubungan yang wajar.
“kak.. Apakah setelah kakak tau kakak jijik padaku?” tanyaku sedih. Kak faisal tersenyum dan menggeleng.
“kakak sangat menyayangi adek, asalkan itu membuat adek bahagia, kakak ikut bahagia, namun satu nasehat kakak, sejauh apapun adek melangkah, ingatlah adek punya masa depan, jangan hancurkan masa depan seperti yang telah kakak lakukan. Adek harus lebih baik dari kakak..” nasehat kak faisal. Aku terdiam, aku malu sekali pada kak faisal.
“bagi kakak, adek tetaplah adek, tak mungkin kakak jijik, itu adalah pilihan adek, ada beberapa teman kakak yang juga seperti adek, kakak bisa mengerti karena kakak tau dari mereka, menjadi seperti itu bukanlah hal yang mudah, adek pasti merasa tersiksa, kakak tak mau membuat adek semakin tersiksa.. Kalau adek tanyakan apakah kakak kecewa, jujur kakak kecewa.. Tapi sekali lagi itu adalah hak adek, adek yang menjalani semua. Dan adek tau apa yang terbaik untuk adek.. Kakak tak akan menyalahkan adek.. Yang penting rian bisa membahagiakan adek, kalau kakak dengar ia menyakiti adek, kakak orang pertama yang akan membuat perhitungan dengannya..”
ujar kak faisal panjang lebar.
“makasih kak.. Makasih banyak untuk pengertian kakak..” aku menyusut air mata dengan lengan baju.
“adek jangan menangis lagi..” kak faisal membelai rambutku.
“tapi kakak minta adek jangan mangkal di taman dan jualan diri ya..” nasehat kak faisal seperti serius namun kak faisal tertawa saat mengatakannya.
“enak aja! Uang dari mama lebih dari cukup kak, tak mungkin aku jual diri, gila..!” aku mencubit kak faisal. Ia mengaduh dan tertawa. Lalu menimpuk aku dengan bantal. Aku berlari turun dari tempat tidur menghindari timpukannya. Kami berkejar kejaran dalam kamar sambil tertawa.
Setelah capek bercanda, kak faisal membuka bajunya yang basah oleh keringat lalu merebahkan diri di tempat tidur. Aku berbaring disamping kak faisal.
“adek ada nafsu nggak sama kakak?” tanya kak faisal tiba tiba. Aku memejamkan mata, bingung harus menjawab apa.
“jujur aja dek..” kak faisal penasaran.
“dulu iya kak, diam diam aku pernah sempat menyukai kakak, namun itu tak lama, kalau sekarang Hoeeek..!” aku pura pura muntah.
“huh dasar..!” kak faisal menowel keningku.
“wajar aja adek naksir, kakak kan ganteng, banyak yang tergila gila..!”
“huh narsis… Dasar kepedean.. Sok ganteng..” sungutku sebal.
“lah emang betul kan, buktinya adek sendiri mengakui kegantengan kakak, sampe pake naksir lagi sama kakak!” ejek kak faisal menjadi jadi.
“iiiih kakak..” aku mencubit kak faisal manja.
“ya udahlah dek, nggak apa apa kok.. Lupakan saja, yang penting sekarang kakak harus fokus untuk pernikahan nanti.” kak faisal memejamkan matanya.
“kak… Tolong jaga rahasia ini ya..” aku memelas.
“tenang aja dek, udah setahun kakak bisa jaga rahasia dan akan tetap begitu dek.” kak faisal menepuk dadaku pelan. Aku mengangguk sambil menerawang menatap langit langit kamar. Aku semakin menyayangi kak faisal, ia betul betul kakak yang baik, ia tak menghujat aku meskipun tau kekuranganku.
Kak faisal berbalik dan memelukku.
“kak…” bisikku.
“iya dek…” jawab kak faisal tetap memejamkan mata.
“kakak kok meluk aku, kakak nggak takut?” tanyaku heran.
“nggak.. Emangnya adek makan orang, kenapa kakak harus takut..” jawab kak faisal mantap.
“tapi kakak kan tau kalau aku..”
“ssstt… Kakak tau adek mencintai rian, adek memang begitu adanya bukan berarti kakak harus menjauhi adek kan…” kak faisal memotong ucapanku.
“udah larut dek, tidurlah.. Besok adek kan kuliah.”
aku mengangguk tak bersuara. Aku memejamkan mata namun sulit untuk tidur. Kak faisal mendengkur pelan. Memeluk punggungku dengan kaki tertumpu pada pinggangku seolah aku ini guling. Air mataku mengalir lagi, aku ingin sekali bisa membantu kak faisal, aku harus membantunya. Kak faisal tak boleh menderita, aku menyayangi kak faisal dan harus berusaha sekuat mungkin membelanya. Seperti ia membelaku. Besok aku akan bicara sama mama, aku akan merayu mama semampuku.
Aku akan mengerahkan seluruh kemampuanku agar mama bisa mengubah keputusannya. Andai mama tak bisa menerima aku akan terus berusaha. Kasihan kak faisal kalau sampai pernikahannya tak ada pesta, pasti kak faisal begitu sedih, ia berhak untuk bahagia walaupun ia telah bersalah. Itu adalah khilafnya dan tak harus di hukum terus terusan.
Bangun tidur pagi sekali, aku turun dari tempat tidur, kak faisal masih nyenyak. Aku mencuci muka dan menyikat gigi. Sudah jam enam. Biasanya jam segini bik tin sudah bersiap siap di dapur. Aku mencomot roti selai diatas meja dan menuang kopi ke dalam cangkir. Aku duduk di kursi makan. Merenungi perkataan kak faisal semalam.
Aku tak menyangka kak faisal sudah mengetahui hubunganku dengan rian, aku sadar kak faisal pergaulannya luas dan banyak teman, barangkali ada yang mengetahui hubunganku dengan rian dan menyampaikan pada kak faisal. Atau apakah kak faisal melihat sendiri, bukankah rian terkadang tak bisa menahan diri untuk mencium pipiku atau memelukku di depan umum. Tapi aku melakukannya selalu jauh dari rumah maupun kampus, aku juga berusaha menjaga agar jangan sampai banyak yang tau.
Terkadang rian keterlaluan juga. Namun aku tak kuasa melarangnya. Soalnya rian suka cemburuan tak beralasan, kalau aku menolak untuk ia cium, maka ia akan curiga kalau aku selingkuh. Tapi aku bersyukur kak faisal tak melakukan tindakan ekstrim. Misalnya mengadukan pada mama atau memukul aku. Sekarang aku harus bisa membalas kebaikan kak faisal, meskipun ia tak menyuruh, namun aku akan membantunya agar mama bisa menerima pernikahan mereka. Aku ingin kak faisal bahagia.
Tepat jam tujuh mama keluar kamar. Masih mengenakan daster panjang untuk tidur. Mama menghampiriku.
“tumben sayang udah bangun..” sapa mama sambil menarik kursi dan duduk disampingku.
“iya ma.. Semalam nggak nyenyak jadi bangunnya cepat.” jawabku sambil menuang kopi untuk mama.
“terimakasih sayang..” mama mengangkat cangkir yang sudah penuh dan meminum sedikit.
“ma, rio mau bicara..” aku tak mau menunda nunda lagi.
“kenapa, mau ganti mobil, atau mau beli lagi gitar elektrik yang baru..?” tanya mama sambil tersenyum.
“mama… Aku serius ma..” aku cemberut.
“ya mama juga serius, kan katanya kamu mau mobil audi buildup itu, mama tak keberatan kok, nanti kapan mama ada waktu kita cari sama sama..” jawab mama sambil membelai rambutku penuh sayang.
“itu bisa nanti ma..”
“lalu mau ngomong apa?” tanya mama heran.
“mengenai kak faisal ma..” aku langsung pada intinya. Mama terdiam, meletakkan cangkir dengan keras lalu berdiri meninggalkanku.
“mama… Mau kemana ma.. Rio mau bicara, penting ma..” aku menyusul mama.
“mama malas membahas hal itu, jangan coba coba merayu mama.. Apapun yang kamu minta akan mama turuti asalkan kamu tak menyuruh mama mengubah keputusan terhadap faisal!” ujar mama dengan tegas.
“kasihan ma kak faisal, masa mama tega sih?” aku memelas.
“anak mama bukan cuma dia.. Tak tau terimakasih.. Mama masih punya kamu dan itu sudah cukup… Jangan kecewakan mama seperti yang dia lakukan..” tandas mama.
“kak faisal tak bermaksud mengecewakan mama..”
“bukan baru sekali yo dia begitu, dan kali ini kesabaran mama telah habis, sudahlah kamu jangan bikin mama pusing..” ujar mama tajam.
“kak faisal sedih ma, dia sedih bikin mama kecewa..” aku mencoba membujuk. Mama berbalik menghadapku dan menatapku dingin.
“apa kamu kira mama tak kecewa, mama tak sedih, mama tak sakit, tapi apa dia pernah berpikir kesitu, tak ada gunanya lagi menyesali perbuatan yang telah ia lakukan itu, sekarang ia sudah dewasa, sudah mampu menikah jadi untuk apa mama repot repot..” jawab mama keras kepala. Aku bingung sekali, mama begitu keras.
“siang ini kita beli mobil kamu, mama mau mandi dulu, dan jangan coba coba menyuruh mama memaafkan faisal..!” mama meninggalkanku. Aku mematung memandang mama yang masuk ke kamar.
*************

Saat sarapan pagi kami semua makan dalam diam, tak seperti biasa ada obrolan di meja makan. Mama tak selera dengan sarapannya, terlihat dari sikapnya yang tanpa semangat, hanya memain mainkan sendok dan garpu mengaduk aduk nasi. Papa sesekali melihat mama namun tak berkomentar mungkin papa tak mau membuat mama marah, tante laras, om beno dan odie menyadari situasi ini, mereka pura pura sibuk dengan sarapannya padahal aku tau mereka juga sedang gelisah. Kak faisal tak ikut sarapan bersama, padahal tadi aku sudah mengajaknya. Kak faisal menolak dengan alasan tak ingin membuat mama kehilangan selera makan kalau ada dia, padahal tanpa ada kak faisal pun mama tak selera makan. Karena keadaan ini aku jadi ikut ikutan kehilangan selera, tanpa menambah lagi aku menyelesaikan sarapan. Aku ke kamar kak faisal sambil membawa segelas besar teh hangat.
Aku mengetuk pintu sekali dan membukanya. Kak faisal langsung menoleh ketika aku masuk.
“kak minum teh dulu..” aku menaruh gelas diatas meja belajar kak faisal.
“makasih ya dek, mama mana dek?” tanya kak faisal.
“mama mungkin lagi siap siap ke kantor kak, papa juga gitu.. Kenapa sih kakak seperti orang asing dirumah sendiri, santai aja kak, kalau kakak terus menghindar bagaimana mau damai dengan mama?” aku membujuk kak faisal.
“nanti aja dek, kalau amarah mama sudah reda, saat ini bukan waktu yang tepat.” bantah kak faisal, sudah dua hari ini wajah kak faisal murung, bagaikan terhukum yang divonis berat. Aku tak tega.
“sebentar lagi mama ke kantor, kakak bisa sarapan..”
“iya dek.. Oh ya dek, kakak boleh pinjam mobil adek nggak?”
“untuk apa kak, mobil kakak kan ada?” tanyaku bingung.
“iya dek, tapi kunci mobil kakak sudah disita mama, adek tau sendiri mama tak pernah main main..” desah kak faisal sedih.
“ya udah, pake aja kak, lagian mobil itu udah mau dijual kok,”
“dijual, kenapa dek?” kak faisal heran.
“mama mau ganti mobil aku kak..” aku berterus terang.
“mama mau ganti mobil adek? Tumben…” hela kak faisal. Aku jadi tak enak hati, kak faisal sedang berkasus dan di boikot mama, sedangkan aku akan mendapatkan mobil mewah.
“iya kak, tempo hari aku bilang sama mama pengen ganti mobil, padahal aku cuma bercanda, mama tanya aku mau mobil apa, aku iseng aja jawab audi, rupanya mama menanggapi serius.”
aku menjelaskan apa adanya. Kak faisal tersenyum dan merangkul bahuku.
“kakak ikut senang dek, wah pasti bakalan banyak yang kagum kalo adek pake mobil itu…” aku terdiam, kalau dulu reaksi kak faisal tak akan begini, ia akan menutut mobil yang sama, kak faisal yang ugal ugalan dan selalu bisa menghabiskan uang mama dengan bermacam cara bisa berubah drastis dalam waktu yang begitu singkat. Kak faisal bahkan tak sedikitpun protes, padahal dia juga berhak untuk mendapatkan mobil yang sama.
“emangnya kakak mau kemana?” tanyaku ingin tau.
“ada sedikit urusan dek, kakak usahakan tak lama kok, sebelum mama pulang dari kantor, kakak udah dirumah…” tegas kak faisal.
“iya kak tak masalah kok, pake aja, nanti kuncinya kakak ambil didalam laci meja belajar. Aku mau mandi dulu ya kak..” aku berdiri kemudian keluar dari kamar kak faisal.
Didalam kamar mandi aku berpikir, kak faisal begitu berubah, menjadi lebih dewasa dalam waktu singkat, andaikan dengan perubahannya kak faisal masih tinggal dirumah ini alangkah senangnya. Tapi hikmah dari segala masalah yang terjadi tak seperti yang aku harapkan. Alangkah sepinya rumah ini nantinya. Kenapa kak faisal bisa ceroboh seperti itu, dan amalia juga kenapa jadi perempuan tak bisa menjaga kesucian hingga pernikahan nanti. Usia kak faisal yang baru 23 tahun masih terlalu dini untuk menikah. Andaikan waktu bisa diulangi. Agar segalanya bisa diatur lebih baik.
Aku menyiramkan air ke seluruh tubuhku. Terasa dingin hingga tubuhku menggigil. Cepat cepat aku menyabuni tubuhku. Aku menyelesaikan mandi dan mengeringkan badan. Keluar dari kamar mandi ternyata kak faisal sedang duduk di karpet depan televisi di kamarku.
“kuncinya ada dalam laci meja belajar kak..” kak faisal menoleh.
“iya dek..” kak faisal sudah mandi, dia sudah rapi. Memakai baju kemeja warna putih serta celana jeans warna putih.
“wah kakak pake serba putih, mau kemana sih, tumben.. Biasanya kakak kan paling nggak suka pake warna putih..?” aku menggoda kak faisal. Ia nyengir sedikit malu.
“iya nih dek, tadi kakak mau pake baju kemeja kotak kotak, tapi entah kenapa waktu lihat kemeja putih ini, kakak jadi pengen pake yang putih. Tapi cocok kan dek..?” tanya kak faisal sambil berdiri dan membentangkan tangannya.
“kakak pake baju apa aja tetap ganteng kak, apalagi putih seperti itu..” jawabku sejujurnya.
“adek bisa aja hehehe.. Tapi kakak percaya, soalnya kalau adek bilang cocok pasti cocok, adek kan tau sama cowok ganteng..” ledek kak faisal kembali usil.
“dasar.. Udah dipuji malah ngejek..!” aku bersungut pura pura marah.
“adek juga ganteng kok.. Buktinya banyak teman teman cewek kakak yang ngirim salam..” kak faisal tertawa.
“nggak ah.. Nggak doyan hahaha…”
“huuu.. Pasti selama ini adek suka melirik teman teman kakak yang cowok kan!”
“nggak, teman kakak semuanya jelek, nggak ada yang berkualitas, mirip preman, malas ah..” aku ngeles.
Kak faisal cemberut.
“meskipun preman tapi baik dek, mereka semua setia kawan, ketimbang berteman dengan yang lain, kebanyakan sombong, dan munafik, kakak malas..” kak faisal membela teman temannya.
“tapi gara gara mereka kan kak faisal jadi ikut ikutan bandel..” aku membantah.
“enak saja, jangan nyalahin orang lain dek, emang dasarnya kakak udah bandel dari dulu kok..nggak usah mereka pengaruhi juga kakak udah gitu..” aku menggeleng gelengkan kepala mendengar jawaban kak faisal yang tak mau mengalah. Aku membuka lemari lalu mengambil baju dan celana serta celana dalam. Aku ganti baju didepan kak faisal.
“sebetulnya adek itu banyak yang naksir, adek ganteng, nggak sulit untuk mendapatkan cewek yang adek mau, kalau mereka tau adek nggak suka cewek, pasti banyak yang patah hati…” goda kak faisal. Aku tertawa terbahak bahak, kak faisal memang paling bisa memuji tapi ujung ujungnya menjatuhkan, dasar kebiasaan…!
“dek kakak mau pergi dulu ya, pinjam mobilnya..”
“iya kak, hati hati di jalan, ingat jangan sampe pulang keburu sore, ntar kalo mama tau bakalan marah..” aku mengingatkan.
“tenang aja adekku yang manis..” kak faisal mencubit daguku gemas.
“sana pergi..!”
“oke adek sayang..” tiba tiba kak faisal memelukku. Erat sekali ia memeluk.
“kakak kok aneh… Idih risih ah pake peluk peluk gini.. Entar dikira orang kita incest lagi!” aku pura pura tak suka.
“loh.. Kita kan saudara tiri dek.. Mana bisa incest, kalo sampe kejadian ya paling namanya khilaf..” kak faisal ngeyel.
“sudah sudah.. Pergi sana..” aku mengusir kak faisal. Ia melepaskan pelukannya sambil cengengesan tak jelas.
“oke dek, abang pergi.. Abang ada kejutan buat adek dan mama..” kak faisal tersenyum penuh misteri.
“kejutan apa kak? Bilang dong jangan bikin aku penasaran..” aku mendesak kak faisal.
“adaaaa aja.. Kalau di bilang sekarang namanya bukan kejutan dek..yang jelas adek pasti bakalan suka banget, mama juga dek” kak faisal sengaja membuat aku semakin penasaran.
“idih.. Kakak bikin penasaran aja..ya udah cepetan pergi, jadi kejutannya juga cepet aku tau.” aku mendelik kepada kak faisal.
“oke dek..” kak faisal memeluk aku lagi, malah sambil cengengesan ia mencium pipiku dengan bibirnya.
Aku terdiam tak memberikan reaksi. Kak faisal betul betul tak seperti biasanya.
“kak faisal sayang sama adek..” ujar kak faisal melepaskan pelukan dan berjalan ke meja belajarku, membuka laci untuk mengambil kunci mobil.
“hati hati di jalan kak..” aku berteriak pada kak faisal yang sudah di depan pintu kamar.
“iya adek cerewet… Kakak pergi dulu ya dek..” kak faisal melambaikan kunci lalu berlalu dari kamarku.
Setelah kak faisal pergi aku meraba pipiku di tempat kak faisal tadi mencium. Kak faisal betul betul telah berubah. Aku tersenyum lebar. Kak faisal manis juga kalau bersikap seperti tadi. Semoga saja akan selalu begitu. Aku akan selalu berdoa untuk kak faisal.
**************



Sudah jam tiga sekarang, sudah enam jam kak faisal pergi, tadi katanya tak lama, sebetulnya kak faisal kemana sih, jangan sampai kak faisal telat, aku takut mama semakin marah, semoga kak faisal ingat waktu. Aku jadi teringat dengan sikap kak faisal yang aneh tadi. Aku tersenyum sendiri. Tiba tiba aku jadi kangen sama kak faisal. Aku tak sabar menunggunya pulang. Kejutan apakah yang mau ia berikan padaku. Dadaku berdebar debar tak sabar dengan kejutan kak faisal itu.
Jam merangkak ke angka empat, dan kak faisal belum juga pulang, aku ambil handphone lalu menelpon kak faisal. Belum sempat aku menekan tombol call, tiba tiba telpon rumah berdering.
Aku hampiri meja telpon lalu mengangkat telpon.
“halo.. Kediaman pak suharlan atmaja ini dengan anaknya..”
“ya halo.. Ini rio ya, yo aku rizal.. Buruan ke simpang charitas,. Yo gawat..!” suara rizal panik.
“ada apa zal kenapa disana?”
“faisal yo.. Faisal.. Dia kecelakaan.. Mobilnya di tabrak truk yang bersebarangan.. Cepet yo..” kakiku langsung lemas.
Tanpa berpikir panjang aku bergegas mengambil kunci mobil, jantungku berdebar kencang selama perjalanan menuju simpang charitas, ku kebut mobil secepat mungkin tanpa memperdulikan apa apa lagi. Jantungku rasanya mau copot saat melihat kerumunan orang yang ramai, ada mobil polisi juga, sebuah truk terbalik di sisi jalan dalam keadaan kaca pecah, barang barang yang berhamburan dipunguti orang orang yang memanfaatkan situasi. Aku meminggirkan mobil dengan terburu buru, kakiku rasanya lemas sekali melangkah ke mobilku yang bentuknya tak bisa aku gambarkan lagi. Bagian depannya penyok hampir seperempat badan mobil, pecahan kaca kecil kecil berserakan menimbulkan bunyi gemeretak waktu terinjak.
“rio.. Syukurlah kamu sudah datang..!” pekik agus, ia berlari mendekatiku, wajahnya pucat pasi.
“gus, mana kak faisal! Dimana gus?” aku menggoncang tubuh agus keras.
“tenang yo, faisal sudah dibawa rizal dan teman teman lain ke rumah sakit..!” jelas agus terbata bata.
“bagaimana keadaannya gus, kak faisal tak parah kan?” tanyaku tak yakin, melihat kondisi mobilku rasanya sulit untuk percaya kalau kak faisal tak apa apa.
“sebaiknya kamu segera menyusul kerumah sakit, kami bisa mengurusi mobil ini, buruan yo, aku takut kamu terlambat.” desak agus membuat aku semakin kuatir.
“oke gus, aku kesana sekarang..” aku berlari tanpa banyak bertanya. Aku tak perduli dengan mobil yang rusak parah, keadaan kak faisal yang membuat aku sesak nafas. Semoga Allah melindunginya. Tak putus putus aku berdoa sepanjang perjalanan menuju kerumah sakit.
Mama dan papa belum tau tentang semua ini, aku harus mengabari mereka secepatnya. Pertama tama aku menelpon mama. Reaksi mama sudah bisa ditebak, mama langsung panik, mama bilang langsung kerumah sakit. Aku menyuruh mama yang mengabari papa. Setelah selesai menelpon mama, aku bergegas ke unit gawat darurat.
Aku bertemu dengan rizal, anto dan beberapa teman kak faisal yang lain. Tanpa membuang waktu aku mendekati rizal.
“zal, bagaimana keadaan kak faisal?” tanyaku langsung.
“rio.. Sukurlah kamu sudah datang, yo gawat yo.. Faisal betul betul parah.. Tubuhnya hancur yo.. Faisal.. Dia..” rizal tak sanggup menyelesaikan kata katanya.
“zal.. Kak faisal selamat kan...?” jantungku seolah berhenti berdetak. Aku tak berani mendengar jawaban rizal. Saat ia menggelengkan kepalanya, duniaku seolah olah langsung runtuh. Sesaat aku merasa agak limbung seolah seluruh kekuatanku lenyap.
“yo kamu kenapa?” tanya rizal kuatir.
Aku menggeleng hampa. Waktu seolah berhenti bagiku saat ini, tanpa terasa airmataku mengalir jatuh, tuhan tak menjawab doa dan harapanku. Dengan langkah terseret aku mendekati pintu unit gawat darurat. Tanganku gemetaran hebat waktu membuka handle pintu bercat putih ini. Aku tak yakin apa aku mampu melihat tubuh kak faisal, melihatnya dalam keadaan seperti itu. Rizal mendorong tubuhku pelan agar aku segera masuk.
bau obat menyeruak menyentuh indra penciumanku hingga membuat kepalaku agak pusing. Bau alkohol yang menyengat semakin melemahkan semangatku. Dokter dan perawat memberi isyarat agar aku mendekat. Tubuh kak faisal terbujur diatas tempat tidur tertutupi selimut putih yang berlumuran darah. Perlahan aku sibak selimut yang menutupi kepala kak faisal. Aku menarik nafas dan langsung membuang muka. Ingin pingsan rasanya. Aku tak sanggup melihatnya. Andai itu bukan kak faisal mungkin aku sudah muntah. Rizal merangkulku, ia menahan tubuhku yang hampir rebah.
“sabar yo.. Sabar ya.. Itu semua sudah kehendak yang diatas.. Kamu yang tabah ya..” rizal menghiburku. Aku menggeleng, dadaku sakit seolah terhimpit batu besar. Bahuku terguncang guncang tanpa dapat ku tahan bersama tangisan yang pecah. Kata kata rizal tak lagi jelas terdengar. Aku menepis tangan rizal yang hendak memelukku, lalu aku bersimpuh disisi jasad kak faisal. Aku menangis tanpa suara, walaupun rasanya ingin menjerit sekeras kerasnya.
“kak kenapa bisa begini, kenapa kakak pergi secepat ini kak..” aku terisak sambil memegang tangan kak faisal yang dililit perban, dingin sekali tangan itu. Kaku bagaikan batu.
“kak faisal janji akan memberikan kejutan untukku, tapi mana kak.. Ayo kak bangun kak, jangan meninggalkan masalah.. Kakak tak boleh pergi dulu…” aku meratapi jenazah kak faisal. Rizal meremas bahuku, tangannya gemetaran.
“sudahlah yo.. Tenangkan dirimu.. Ikhlaskan kepergian kakakmu.” bujuk rizal dengan suara parau. Aku tak memperdulikan rizal, aku menunduk diatas tubuh kak faisal, kemudian menempelkan pipiku di perutnya. Bau amis darah bercampur alkohol tak aku perdulikan. Airmataku membasahi kain putih yang menyelubungi tubuh kak faisal.
“kak.. Ini tak lucu, bangun kak…bangun.. Jangan tinggalkan aku, kak aku sayang kak faisal.. Aku sayang kak faisal..aku sayang..” suaraku semakin melemah karena tenagaku habis, sesak dan sakit membuat aku lemas. Aku memukul dan menggoyang goyang tangan kak faisal berharap kak faisal mau bergerak walaupun cuma sebentar.
“rio.. Sudahlah rio..” rizal mencoba menarikku agar berdiri, aku berontak menepis tangan rizal kasar. Rizal memandangku kasihan, ia tertunduk, airmatanya juga tergenang di pipinya.
“kak bangun dong.. Ayo kak.. Demi amalia, demi calon anak kak faisal.. Demi rio kak.. Ayo kak bangun.. Bangun… Bangun..!” aku menggoncang tubuh kak faisal semakin keras, namun tubuh itu tetap terbujur kaku. Matanya tetap terpejam. Luka memenuhi wajahnya. Bagian kening hingga keatas rambut tertutup oleh perban yang berwarna merah karena darah. Wajah kak faisal nyaris tak bisa aku kenali lagi. Hatiku betul betul hancur melihat kondisi kak faisal. Bibirnya sobek hingga ke pertengahan pipi, bekas jahitan yang masih baru membuat bagian itu berkerut. Sobekan sobekan pada wajah dan tulang pipinya sangat parah hingga dokter mungkin tak bisa melakukan apa apa lagi untuk memperbaikinya. Aku sangat berharap semua ini cuma mimpi. Mimpi buruk yang akan hilang bila aku terbangun. Berkali kali aku menampar pipiku dengan keras namun aku tak terbangun. Ini bukan mimpi, ini nyata. Ini betul betul terjadi. Batinku terguncang aku meremas seprei dengan gemetaran.
Tiba tiba pintu terbuka. Mama berlari masuk bersama papa menghampiri aku.
“faisal…..”
desis mama tak percaya. Aku menoleh ke mama, ia menatapku seolah ingin aku meyakinkan semua ini. Aku mengangguk dengan berat hati, mama kembali melihat kak faisal yang terbaring tegak diatas tempat tidur. Ekspresi mama tak dapat ditebak, bibirnya bergetar mendesiskan nama kak faisal. Dokter menghampiri kami dan menutup kembali wajah kak faisal dengan selimut. Aku merosot dan terduduk saat melihat mama terhempas jatuh di lantai.
“mamaaaaaaaa” aku bergerak seolah baru tersadar. Papa yang tak siap hanya terdiam tanpa melihat mama, pandangan papa hanya ke kak faisal. Wajah papa tanpa ekspresi bagai patung.

Dalam sekejab seisi ruangan ini jadi panik, anto dan rizal membantuku mengangkat mama, papa masih saja mematung seolah kehilangan kesadaran hanya menatap tubuh kak faisal yang terbujur kaku. Anto memberikan minuman yang diberikan seorang perawat untuk mama.
Aku tahu betapa hancurnya hati mama hingga ia tak sanggup menanggungnya. Aku bingung dengan keadaan ini, disaat ini semua betul betul kacau, aku tak tahu siapa yang harus lebih dulu aku utamakan, mama yang pingsan, papa yang shock atau jenazah kak faisal. Aku bagaikan orang linglung yang tak tau harus melakukan apa menyikapi situasi seperti ini. Rizal dan anto masih sibuk mengipasi mama, menyeka keringat yang mengalir dari keningnya.
Dadaku betul betul sesak, aku tak siap dengan semuanya, betul betul tak siap. Masalah yang datang terus menerus tanpa henti membuat aku tertekan. Perlahan aku menghampiri papa, ku rangkul papa menjauhi kak faisal, namun papa tak bergeming sedikitpun. Ia menggelengkan kepalanya lalu mendekati kak faisal, mengusap kening kak faisal seolah olah kak faisal sedang tertidur, papa bergumam tak jelas. Bersimpuh disisi kak faisal dan mencium kening kak faisal. Aku menyentuh bahu papa. Ia menoleh dan menatap mataku. Belum pernah aku melihat pandangan papa sekosong ini, seolah tak ada gairah dan semangat hidup. Aku mengangkat tubuh papa namun ia kembali menggeleng lemah. Papa menyelimuti kak faisal lagi.
“dia telah pergi yo, dia telah pergi…” gumam papa parau. Aku mengangguk memaksakan senyum.
“iya pa.. Kak faisal telah kembali pada yang kuasa.. Kak faisal telah tiada..” kesedihanku kembali membuncah seolah ingin menyeruak keluar dari dada ini. Ku gigit bibir keras keras agar aku tak menangis lagi, melihat keadaan kak faisal yang seperti ini sangat menyakitkan.
“faisal anakku..faisal…kenapa kamu harus meninggalkan papa secepat ini.. Kenapa harus begini caranya…kenapa…” ratap papa pilu sambil mendekap kak faisal seolah tak ikhlas kak faisal meninggal.
Tiba tiba mama terbangun dan langsung duduk cepat seolah terbangun dari mimpi buruk, mama langsung turun dari kursi, berlari menghampiri kami tanpa memperdulikan rizal dan anto.
“anakku… Anakku… Ya Allah.. Anakku..!!” mama memeluk jenazah kak faisal dengan histeris, suara raungan mama membuat bulu kudukku merinding.
“tidaaaaaaaak…!! Tidak mungkiiiiiin… Ini tidak mungkiiiiin….!” lengking mama beradu dengan tangisnya. Mama mengguncang guncang tubuh kak faisal seolah dengan begitu kak faisal akan bangun. Aku tak kuasa menghentikan mama, mataku nanar memandang semua ini.
“maafkan mama nak… Maafkan mamaaaa…… Oh… Tuhan.. Anakkuuu… Maafkan mamaaaa”
ratap mama bergetar. Mama berteriak sambil bersimpuh memeluk perut kak faisal. Mata kak faisal terpejam, wajahnya pucat bagai kertas, bibirnya yang biru mengecil karena dijahit, kemeja putih yang ia pakai dipenuhi noda darah yang mengering, kemeja putih itu, celana putih yang kak faisal pakai, apakah ia memberikan isyarat itu padaku. Ataukah ini hanya sekedar kebetulan, aku teringat dengan sikap kak faisal sebelum berangkat, ia sempat memelukku sebelum berangkat, dan semalam kak faisal mengatakan ingin tidur bersamaku untuk yang terakhir kali, aku mengira itu hanyalah sekedar perkataan yang ia ucapkan karena menimbang ia akan meninggalkan rumah setelah menikah, ternyata itu memang menjadi kebersamaan kami untuk yang terakhir kalinya.
Mama masih meraung raung bagaikan orang gila, mama terus memeluk kak faisal seolah enggan untuk melepaskannya walaupun teman teman kak faisal berusaha untuk menenangkannya. Papa walaupun tak seperti mama, namun aku tahu betapa hancurnya hati papa, entah seberapa hancur batinnya. Mata papa merah dan penuh air mata. Sulit bagiku untuk tetap tegar dengan keadaan ini. Aku ikut bersimpuh dengan mereka, meratapi kak faisal.
“kamu menghukum mama.. Kamu membenci mama nak… Mama minta maaf.. Mama minta maaf… Ya Allah.. Ya Allah…astaghfirullah ya allah…”
raung mama sambil memukul mukul kasur tempat kak faisal terbaring. Mama sebentar sebentar membungkuk ditubuh kak faisal, kemudian tegak lalu membungkuk lagi, air matanya deras menganak sungai. Tubuh papa terguncang guncang menahan isakan. Aku mengigit bibir hingga luka. tubuhku pun ikut terguncang hebat. Aku memegang dadaku kuat kuat meremas bajuku hingga kusut. Tak ada siapapun yang berani mendekati kami walaupun sekedar untuk menghibur karena mereka tau semua itu sia


Kenangan masa lalu melintas dalam otakku bagaikan proyektor yang memainkan kembali rekaman rekaman kebersamaanku dengan kak faisal, delapan tahun yang lalu aku datang ke palembang, menjadi bagian dari keluarga ini, kak faisal yang gagah tak menyambut kedatanganku dengan gembira, ia bahkan mengatai aku gembel, namun tak lama ia sudah bisa menerimaku.
Kenangan waktu aku dia ajak berkumpul dirumah agus, kami minum minuman keras dan menghisap ganja. Awal dimana hubunganku dengan kak faisal semakin dekat, kenangan waktu ada yang menggangguku di sekolah, kak faisal memukul teman sekelasku itu hingga kak faisal harus menghadapi guru yang berakhir dengan kak faisal di skors selama empat hari, kenangan waktu ia mengajari aku menonton film dewasa dan onani, kenangan waktu aku sakit malaria kak faisal dengan setia menungguiku hingga aku sembuh dan keluar dari rumah sakit walaupun karena itu ia harus membolos.
Dan juga waktu aku baru lulus sma, kak faisal mengajak aku ke sekayu bersama teman temannya untuk merayakannya. Kak faisal begitu baik dan perhatian padaku. Begitu banyak kenangan kenangan indah bersama kak faisal, aku tak sanggup membayangkan bagaimana hari hariku ke depan nanti tanpa ada kak faisal lagi. Kak faisal yang sangat perhatian. Walaupun ia nakal namun kak faisal begitu menyayangi dan selalu melindungiku. Meskipun aku cuma sekedar adik tirinya namun kak faisal bersikap melebihi seorang kakak kandung sekalipun. Ia selalu berusaha untuk membuat aku senang, hingga semua teman temannya segan padaku. Kak faisal bahkan memberikan pengertiannya saat tau aku begini.
Kak faisal tak marah atau menghakimiku, malah ia mengancam akan membuat perhitungan dengan siapa saja yang berani menyakiti aku. Bahkan disaat dia lagi dilanda masalah besar pun, kak faisal masih sempat untuk memberikan aku kejutan. Entah apa yang dipersiapkan kak faisal sebagai kejutan untuk aku dan mama. Allah keburu memanggil kak faisal. Kesedihan semakin menyeruak dalam dadaku. Aku menangis. Tangisan sedih kehilangan yang mendalam. Berkali kali aku melafaskan inalillahi wa ina illahi rojiun.. Berkali kali aku menggetarkan asma Allah.. Bukan aku tak mengikhlaskan kepergian kak faisal, namun aku belum siap menghadapinya secepat ini. Tiba tiba bahuku dipegang dari belakang. Aku menoleh. Koko tersenyum lemah menganggukan kepalanya. Aku memeluk koko dan menumpahkan semua kesedihanku.
Mama masih menangis tanpa henti disisi jenazah. Papa memeluk mama mencoba menenangkan mama walaupun air mata papa juga mengalir dengan deras. Dingin dalam ruangan ini sedimih perasaan hatiku yang ikut mati bersama kak faisal. Kakiku terasa lumpuh tak sanggup lagi berdiri. Rizal menahanku agar tak terjatuh. Aku tak tahu lagi saat dibawa keluar dari ruangan itu. Begitu aku sadar sudah banyak teman temanku mengelilingiku, menghibur aku. Bahkan aku melihat amalia juga. Ia sedang duduk di kursi paling pojok sambil menggigit kuku jarinya. Aku tak berani menatap amalia, aku tau saat ini amalia pasti kebingungan dan sedih. Masa depannya yang ia impikan bersama kak faisal telah sirna.
************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar