Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 28

#32 TAK ADA YANG ABADI
Aku tersentak kaget tak menyangka kalau aku bakalan mengenai bagian itunya rian, mungkin karena rasa kesakitan yang terlalu, rian langsung tersungkur hingga jatuh sambil mengaduh aduh. Aku mendekati rian dengan panik, aku sekarang malah jadi kuatir sama rian, aku tak mau kalau ia sampai mati karena aku. Jangan sampai itu terjadi karena aku belum siap kalau sampai kena penjara karena membunuh.

“rian kamu tak apa apa..?”
Aku membungkuk sambil memegangi rian.

“tak apa apa kepalamu..!”
Rian masih saja ketus walaupun saat ini dia sedang kesakitan.

“maaf yan, bukan maksudku membuatmu jadi begini...”
Dengan gemetaran dan sisa keberanian yang aku miliki aku mencoba memeriksa luka pada bagian yang tadi aku hujam. Namun rian dengan kasar menepis tanganku.

“pergi atau aku bunuh kamu sekarang rio.. pergi..!!!”

Rian membentakku setelah itu meringis lagi. Aku bisa saja pergi sekarang, namun darah yang keluar dari rian sangat banyak, aku takut ia bakalan mati kehabisan darah.
Dengan hati hati aku menyentuh lagi luka rian, kali ini ia tak melawan, namun mukanya benar benar pucat sekarang, rian juga terlihat makin lemas karena darah yang tak berhenti juga mengalir dari tadi.


“aku minta maaf rian... aku tak bermaksud menyakitimu... aku tak sengaja..”


“kamu jahat rio... kamu menghianatiku...”

Suara rian berubah sengau. Ia menggigit bibir menahan kesakitan, aku berdoa dalam hati semoga tak terlalu parah lukanya, meskipun aku juga sedang terluka namun aku tak hiraukan lagi, aku hanya memikirkan nasib rian.
Aku mengangkat tubuh rian dan memapahnya ke mobil. Aku baru ingat tadi kuncinya terjatuh .


“rian kamu jangan mati dulu.. aku mau cari kunci sebentar, kita harus kerumah sakit
sebelum kamu kehabisan banyak darah.”


“kuncinya ada di saku bajuku rio... tadi aku pungut sewaktu jatuh,..”

Rian terduduk disisi mobil. Tanpa menunggu lagi aku merogoh saku kemeja rian dan menemukan kunci yang aku mau. Bergegas aku membuka pintunya lalu menolong rian masuk. Aku menyalakan mesin lalu meninggalkan tempat terkutuk ini. Kejadian ini tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.
Sambil menyetir sesekali aku melihat ke rian, darah masih merembes lewat celana katun yang ia pakai. Sekilas dari celana yang robek terkena pisau aku melihat luka yang cukup membuat aku nyaris bergidik, kemaluan rian nyaris terpotong setengah, aku tadi memang benar benar panik, waktu mengibaskan pisau, aku memejamkan mata. Jadi aku tak mengira kalau yang kena bagian yang paling vital darinya.


“kenapa kamu melihatku seperti itu, kamu sudah puas kan sekarang...”

Rian berdesis sambil melirikku setengah terpejam.


“kenapa kamu mau membunuhku, kenapa rian..?”
aku menangis karena sedih yang aku rasakan, orang yang selama ini begitu aku sayangi tega mau menghabisi nyawaku. Padahal aku telah banyak berkorban demi dirinya, apakah semua itu tak ada artinya bagi rian.


“aku sangat mencintaimu rio... kamu tak tau itu.. kamu tak tau..”


“aku juga sangat mencintaimu, kalau kamu mencintaiku kenapa kamu mau aku mati..?”


“aku lelah, aku tak mau melihat kamu dengan orang lain.. kamu tak menimbang perasaanku, kamu lupakan janji kita.. kamu dua kali menghianatiku..”

Setelah mengatakan itu rian langsung pingsan. Untung saja aku telah dekat dari rumah sakit, tanpa berpikir lagi aku melajukan mobil lebih cepat dan memasuki pagar rumah sakit. untung saja ada beberapa perawat yang sigap membantuku saat melihat aku kesulitan membopong rian turun dari mobil.

rian segera dibawa ke UGD dan aku juga ikut dirawat untuk mengobati luka pada bahuku.

aku menunggui rian dengan cemas, aku tak berhenti berdoa untuknya. aku benar benar kalut sekarang, tak ada yang dapat menggambarkan perasaan yang aku rasakan saat ini, betapa banyak beban masalah yang harus aku tanggung tak henti hentinya, mungkin memang aku sudah tak ada alasan untuk tinggal lebih lama lagi disini, aku tak dapat lagi bertahan kalau begini caranya.

mungkin sudah saatnya aku kembali ke asalku dimana tempat yang lebih damai yang memberikan perasaan damai dan tenang, aku harus membuat keputusan bagi diriku sendiri. ternyata hidup dengan ibu kandung tak selamanya lebih tenteram. aku merindukan saat saat yang bahagia dulu semasih bersama emak.

kalau semua ini sudah selesai aku tak akan menunggu lama lagi disini, aku akan kembali ke bangka. aku akan mencari emakku dan bersimpuh dikakinya.

sudah bermenit menit hingga berganti jam aku menunggu rian dengan cemas. aku tak punya cukup uang untuk membayar biaya rumah sakit ini, meminta sama mama tak mungkin untuk saat ini, aku tak tau harus cari uang kemana.

pinjam sama teman juga hampir tak ada gunanya, otakku benar benar buntu. bahuku terasa nyeri, sekarang baru terasa sakitnya. tiba tiba aku teringat dengan papaalvin. kenapa aku sampai lupa padanya, aku bisa minta tolong padanya, bukannya papa pernah berkata akan memberikan apa saja yang aku minta selama ia mampu.

aku harus telpon dia sekarang, aku yakin ia punya uang. tapi aku juga tak mau kalau ia sampai tau dengan kejadian ini. apa alasan yang harus aku berikan padanya agar ia tak curiga.

aku akan kerumah papa sekarang, semoga saja ia ada dirumah, karena hanya dialah yang dapat aku harapkan sekarang ini, semoga saja ia ada di rumah. tapi sekarang masih jam tiga pagi. aku juga tak enak kalau mengganggu papa sepagi ini, itu hanya akan membuat ia jadi curiga, terpaksa aku harus menunggu sampai besok.

kalau papa menanyakan tentang bahuku yang di perban aku juga harus mencari alasan untuk itu.

suster menghampiriku untuk konfirmasi operasi untuk rian, lukanya ternyata cukup parah, tanpa berpikir panjang lagi aku menyetujui agar dilakukan operasi secepatnya bagi rian. aku tak mau terjadi apa apa sama dia, semua adalah salahku juga hingga rian jadi begini. kalau bukan karena sakit hatinya padaku tak mungkin ia akann berbuat nekat seperti itu. aku yang bertanggung jawab atas semuanya yang terjadi. aku sudah dapat pelajaran berharga dari sikapku. aku tak membenci rian sedikitpun. saat ini aku hanya mau menyelesaikan masalahku satu persatu.

aku menandatangani segala berkas yang harus aku tandatangani agar operasi dapat segera di laksanakan. aku tak memikirkan lagi dompet yang sudah tiris, itu bisa di pikirkan nanti.

aku menunggu lagi dengan gelisah, aku mau bertemu rian dan memastikan kalau keadaannya baik baik saja. aku hanya berdoa dan berharap yang terburuk pergi jauh jauh, sudah cukup masalahku, aku tak sanggup lagi kalau harus bertambah lagi.

"rio lagi ngapain kamu..?"

suara kak fairuz mengagetkanku, aku baru sadar kalau aku telah membawa rian kerumah sakit yang sama dengan tempat papa dirawat, aku jadi kelabakan. bagaimana aku harus menjelaskan sama kak fairuz, kenapa aku jadi begini bodohnya karena panik.

"a... aku.. menunggui teman.. iya,.. aku menunggui teman..!"

jawabku asal karena bingung bagaimana harus bohong, aku takkan bisa terus berbohong karena kak fairuz akan segera tau karena ia tiap hari disini menunggui papa. ia akan sering bertemu denganku.

"kenapa kamu tak pulang kerumah dek.. siapa yang kamu tunggui..?"

kak fairuz ingin tau.ia menatapku tajam seolah curiga karena tadi aku menjawab dengan gugup.

"aku belum berani pulang kak, aku malu sama mama dan keluarga yang lain,.."

aku menunduk menghindari mata kak fairuz yang seolah ingin mengulitiku.

"terus kamu jaga siapa disini..?"

"rian kak.."

"kenapa dia, sakit apa..?"

desak kak faruz keheranan.

"dia lagi di operasi.. dia.."

"kenapa dia rio, apa yang terjadi.. apa kalian kecelakaan, tuh tangan kamu kenapa pula sampai kena perban seperti itu.. benar ya kalian kecelakaan?"

tanya kak fairuz jadi panik, aku tau walaupun dia bukan kakak kandungku sama juga seperti kak faisal, namun kak fairuz menyayangiku seperti juga kak faisal dulunya.

"bukan kak..."

aku menahan lagi airmataku agar jangan sampai turun, aku harus kuat, aku akan jujur pada kak fairuz sekarang, aku akan ceritakan semuanya pada dia.

"kenapa dek, katakan pada kakak ada apa, apa yang terjadi sama kamu dan rian, kakak tau pasti ada yang kamu sembunyikan, ceritakan saja sama kakak,.. kamu tau kakak bisa dipercaya, jangan menyimpan sendiri segala beban kamu.."

kak fairuz menentuh pundakku lalu duduk disampingku, akhirnya aku tak dapat lagi menahan sesak yang aku tahan dari tadi. seiring airmataku tumpah, tumpah pulalah pengakuanku, aku menceritakan segala detil kejadian yang barusan aku alami, bagaimana aku bertahan hingga saat ini aku masih hidup dan akhirnya rian yang jadi korbannya.

kak fairuz diam mendengar aku bercerita dengan serius, sesekali ia mengusap mukanya.

"kamu masih mau membantu dia sementara tadi dia mau membunuhmu, makanya dari awal kakak sudah peringatkan kamu, jangan berhubungan sama rian, dia itu tak baik.. kamu masih ungat kan kalau kakak bilang ada yang lain dari anak itu, sekarang kamu yang kena sendiri akibatnya..!"

kak fairuz nampaknya sangat kesal sekali.

"memang kak, tapi akulah yang menyebabkan dia melakukan ini kak, aku juga tak bisa cuci tangan, sekarang aku telah dapat pelajaran dari semuanya..."

aku memandang wajah kak fairuz sekilas lalu menunduk lagi.

"kalau sampai dia tadi membunuhmu, kakak bersumpah akan membunuhnya dengan tangan kakak sendiri...!"

ujar kak fairuz berapi api.

"sekarang apa yang akan kamu lakukan dek, mama kamu marah sekali sama kamu, kakak sudah cerita semua sama mama kakak, beliau menanyai kamu terus.. mama kuatir memikirkan kamu dek.."

"kakak cerita sama mama kakak, kenapa kak... aku malu sama tante lina.."

"tak apa apa dek, kakak kenal siapa mama.. orangnya cukup demokratis kok.. ia malahan marah sekali setelah tau reaksi mama kamu, mama suruh kakak kasih tau kamu kalau mama menyuruh kamu menemuinya di hotel, mama mau bicara sama kamu.."

kak faruz tersenyum padaku seolah dengan itu ia ingin mengatakan kalau aku tak perlu terlalu kuatir.

"nanti kak kalau rian udah bisa ditangani aku akan ke hotel."

aku berusaha tersenyum meski terasa begitu beratnya.

"oh ya, pasti adek butuh uang sekarang, kakak tau adek pasti tak pegang uang.. tunggu kakak mau ngambil uang dulu ke ATM.."

kak fairuz berdiri.

"nggak usah kak, aku sudah terlalu merepotkan kakak, lagipula kakak pasti lebih membutuhkan uang itu, kakak kan baru menikah pasti butuh banyak uang.

aku menolak karena merasa tak enak hati.

"tak apa apa dek, itulah gunanya seorang kakak....dari pernikahan kemarin kan kakak lumayan dapat banyak uang, lagipula kakak juga nggak bisa kasih terlalu banyak juga, kalau masalah uang untuk biaya operasi rian nanti kakak cari cara bagaimana mendapatkannya."

kak fairuz meninggalkanku tanpa menunggu aku menjawab. aku memandangi kak fairuz hingga ia keluar dari lorong rumah sakit menuju ke mesin ATM.


tak lama kemudian kak fairuz kembali dan memberikan sejumlah uang padaku, aku tak menghitungnya lagi karena aku bisa melihat jumlahnya lumayan lah untuk aku bertahan selama tak tinggal dirumah.

"makasih kak, aku janji akan ganti semuanya nanti.."

kataku sambil mengambil dompet di kantong lalu memasukan uang itu dalam dompet.

"jangan dipikirkan dulu, kamu juga jangan lupa jenguk papa.. tadi papa sudah agak mendingan..."

"aku malu sama papa kak, aku takut kalau ia melihatku malah sakit jantungnya kumat lagi, aku ingin menunggu semua lebih tenang, daripada akan terjadi hal yang fatal dan aku semakin dibenci mama.."

aku mendesah, aku kenal sekali dengan mama... ia bukan tipe pemaaf, aku sudah membuat dia kecewa, entah apa yang akan ia lakukan setelah papa sembuh.

"papa pasti memaafkan kamu dek, mungkin saat itu papa lagi shock aja, siapa gak kaget dek liat hal yang gituan, jangan kan adek sama om sebastian, sama cewek juga mungkin papa jantungan..."

kak fairuz berasumsi sendiri, namun aku sendiri tak yakin apa mungkin papa akan memaafkan aku, sedangkan kesalahan yang aku buat sudah sangat besarnya. apalah kekuatanku hanya sebagai anak tiri papa harlan tak mungkin ia akan melupakan begitu saja.

"semoga kak, kalau begitu aku mau melihat kondisi rian dulu kak, aku juga belum mengabarkan keluarganya karena ku bingung bagaimana cara menjelaskan semua kejadian ini.. kakak bantu aku berdoa semoga semuanya akan baik baik saja..."


"iya dek, kakak pasti berdoa... satu pesan kakak, jauhi dia setelah ini dek, jangan uat masalah lagi... demilian juga dengan om sebastian, sekarang adek harus tau rumah tangganya sedang kacau, kakak dengar ia dan tante sukma mau bercerai..."

ternyata kak fairuz juga sudah tau mengenai masalah itu, aku yakin tak lama lagi tante laras dan kerabat yang lain juga akan tau, mengapa harus begini jadinya. aku benar benar telah merusak segalanya. memang tak ada lagi alasan bagiku untuk tetap tinggal, aku akan pergi. meskipun kuliahku belum selesai, aku hanya bisa merencanakan sesuatu, pada akhirnya hanya tuhan yang berkuasa menentukan, aku hanya akan kembali sebagai rio yang dulu yang tak bisa di andalkan apa apa.

"katanya mau lihat rian, tapi kok malah melamun.."

kak fairuz menegurku.

"iya kak, aku tinggal dulu ya.."

aku pamit pada kak fairuz. ia tersenyum dan mengangguk.

ternyata rian sudah di pindahkan di kamar perawatan, operasinya sudah selesai. menurut dokter segalanya sudah bisa diatasi, hanya kemungkinan buruk yang dapat terjadi adalah rian mungkin saja bisa impoten setelah ia pulih nanti.

aku tak dapat membayangkan sampai itu terjadi, aku akan menyesal seumur hidupku, walaupun aku menyaayanginya, aku masih berpikir pada waktunya nanti ia akan menikah dan punya anak, kalau ia sampai impoten hal itu tak akan pernah terwujud, rian telah kehilangan masa depannya.

aku masuk ke kamar rian setelah dapat ijin dari dokter, rian masih terbaring dan terlihat pucat. aku menghampirinya perlahan.

"kenapa kamu selamatkan aku..seharusnya kamu biarkan aku mati.."

ujar rian dingin tanpa melihatku, matanya terpaku menatap langit langit.

"aku mminta maaf yan, aku tak mungkin membiarkanmu..."

"kamu puas kan sekarang, kamu bisa mentertawakanku..."

"jangan bicara seperti itu yan, aku tak sedikitpun terlintas untuk mentertawakanmu.."

aku mendesah, batinku terasa sakit melihat keadaan rian yang seperti ini, sekarang ia terbaring tanpa daya, itu semua karena kebodohanku. tak henti hentinya aku menyesali.

aku mendekat ke rian sambil menarik kursi dan duduk dekatnya, rian menoleh ke arah lain menghindariku.

"aku tau kamu marah sekali padaku, kesalahanku tak mungkin kamu maafkan, apa yang harus aku lakukan agar kamu bisa membayar semua ini..."

aku bertanya dengan menguatkan hati. airmataku jatuh bergulir tanpa kusadari.

"kamu boleh saja minta maaf, tapi hatiku telah kamu sakiti seperti ini rio, kamu yang aku sayangi, tapi kamu juga yang membuat aku menderita, kamu tak sedikitpun menghargai aku, kamu seenaknya mempermainkan aku.."

jawab rian masih terus melihat kearah dinding. ia tak mau melihatku. ingin rasanya aku menyentuhnya, namun aku merasa tak pantas lagi. aku memang mimpi buruk baginya.

"masih sakit yan,,?"

"rasa sakit ini tak seberapa dengan sakit hatiku rio... kapan kamu dapat menghargai aku, kamu hanya memikirkan diri sendiri.."

suara rian jadi makin serak. aku tau rian pasti sedang menangis. aku memberanikan diri menyentuh pundaknya. rian tak bergeming, tak juga menepisnya.

"aku hanya mau memastikan kalau kamu baik baik saja rian.."

mendadak rian menoleh dan menatapku dengan sangar.

"aku tak akan pernah baik baik saja setelah ini, aku yakin kamu pasti tau... atau kamu memang sengaja tak mau tau...apa yang telah kamu lakukan padaku tak akan aku lupakan rio... aku tak akan pernah lupakan sampai mati..."

"kamu mau membunuhku lagi, kamu mau melakukannya lagi, apakah kamu yakin akan puas kalau aku sudah mati.. kamu akan menikmati saat kamu membunuhku, apakah itu yang dinamakan cinta..kamu bukan cinta rian, tapi kamu hanya mau menguasaiku, kalau kamu sadar selama ini mungkin aku takkan pernah meninggalkanmu, kamu ingat kembali, kapan kamu membuat aku merasa benar benar nyaman bersamamu... tiada hari yang kita lalui tanpa bertengkar, kamu hanya ramah kalau lagi diatas ranjang saja, apakah yang kamu mau aku terus terusan diatas ranjang bersamamu agar aku bisa merasakan kasih sayangmu setiap saat, apa artinya itu semua... itukah cinta menurutmu..?"

kata kata itu meluncur begitu saja tanpa dapat aku kendalikan. aku tak perduli lagi andaikan rian mau marah sekalipun, aku sudah tak dapat lagi memendamnya lebih lama, rian tak sadar juga apa kesalahannya. ia hanya bisa menyalahkan aku, apa ia tak tau kalau saja ia dapat memberikan rasa nyaman padaku mana mungkin aku bisa meninggalkannya. rian tak juga berubah.


"kamu tak pernah mengatakannya selama ini, aku sudah berusaha memberikan yang terbaik, tapi kamu juga sering membuat aku cemburu.."

rian sudah agak melunak.

"apakah aku bersalah kalau ada yang menyukaiku, tapi aku tak lantas membalasnya kan, begitupun yang aku rasakan kalau ada yang mencoba mendekati kamu yan, tapi aku tahan... aku mempercayaimu, aku yakin kamu tak akan membuatku kecewa... tapi rasa cinta tak cukup yan, kamu juga harus memberikan pengertianmu, bukan hanya ingin aku memperhatikanmu tiap waktu, aku manusia yang butuh bergaul, aku tak bisa hanya bersamamu terus, kadang ada masalah keluarga yang tak dapat aku ceritakan padamu, aku tau kamu sedang banyak masalah dan aku tak mau menambah beban pikiranmu.."

rian diam seribu bahasa ta menjawab, sesekali ia meringis. sepertinya pengaruh obat bius sudah hampir hilang. aku mencoba memeriksa bagian tubuh rian yang tadi di operasi. rian tak menolak. aku menyingkap kain yang menutuoi tubuhnya sebatas pinggang. rian tak memakai apa apa dibalik baju rumah sakit itu. bagaikan seorang anak yang habis di khitan kemaluannya terbungkus perban dan pelontos. aku menyentuhnya dengan hati hati.

"rio.. jangan tinggalkan aku.."

rian mendesah.

"apakah kamu bisa merasakan aku memegangnya?"

tanyaku ingin tau.

"tentu saja, lebih lama lagi kamu pegang, aku jamin kalau lukanya akan kembali terbuka yo.."

rian masih saja bisa melucu disaat seperti ini. aku tersenyum dan menjauhkan tanganku dari area yang begitu akrab denganku selama ini.

"aku sudah berjanji itu hanya untukmu rio, tapi kamu merusaknya.. kamu tak perlu lagi itu kan.. kamu sudah ada yang baru.."

ujar rian dengan nada getir.

"jangan bicarakan itu dulu, yang penting sekarang kamu harus sembuh.."

aku mengusap rambut rian dengan sabar, aku tak perlu meladeninya untuk bertengkar, saat ini hanyalah kesehatan rian yang paling penting. aku berdiri bersiap untuk pergi.

"kamu mau kemana rio, jangan tinggalkan aku, tak ada yang menemaniku disini..."

rian beringsut. aku segera menahannya.

"kamu jangan terlalu banyak gerak yan, nanti luka bekas operasinya terbuka lagi, apa kamu mau dioperasi ulang, nanti punya kamu beneran putus loh kalau dokter kesal...!"

"biarin aja... kamu sudah tak perduli juga padaku, mana janjimu dulu tak akan meninggalkan aku...?"

tuntut rian gelisah.

"aku hanya mau menemui papa yan, aku mau pinjam uang sama papa untuk biaya pengobatan kita..."

"aku lagi lagi menyusahkan kamu rio, kenapa tak kau biarkan saja aku mati, jadi kamu tak perlu pusing, aku juga lebih tenang.."

ujar rian asal.

"siapa bilang kalau mati kamu akan tenang, apa kamu tak tau apa hukuman mati bunuh diri setelah berusaha membunuh orang lain.. kau pikir kau akan disambut malaikat dengan penuh sukacita di surga dan kamu bisa duduk tenang sambil ngopi meljhat aku disini... kalau kamu masih hidup artinya tuhan masih punya rencana lain untuk kamu, jadi sukurilah keadaan.. uang bisa diusahakan.. nyawa tak ada gantinya..."

aku menasehati rian, ia tak menjawab lagi.

"dan tolong jangan buat hal gila lagi, aku yakin kamu sudah dapat pelajaran berharga dari semua ini.. tunggu aku sebentar saja, aku pasti kesini lagi.. jangan bandel, turuti apa yang perawat sarankan.."

aku mengultimatum rian sebelum meninggalkannya.

"iya tapi jangan lama lama ya.."

rian merengek bagai anak kecil. aku hanya tersenyum melihatnya.



*******



"kenapa tanganmu bisa luka aeperti itu rio..?"

teriak papa agak panik saat melihat aku datang. sepertinya papa baru mau berangkat kerja, bajunya sudah rapi.

"aku harus cepat pa, tak ada waktu jelaskan sekarang.. aku butuh bantuan papa,,"

aku langsung ke intinya.

"iya sih papa juga sedang ditunngu klien di kantor.. ada pa memangnya nak, apa bantuan yang kamu inginkan dari papa..?"

sepertinya papa senang mendengar aku butuh bantuannya.

"Aku butuh bantuan papa, aku butuh uang, kalau ada papa bisa pinjamkan?"

sebetulnya aku agak malu juga, karena baru beberapa hari yang lalu aku menolak bantuan papa, hari ini aku malah menjilati ludahku sendiri.

"berapa banyak, kamu mau beli mobil baru?"

tanya papa tanpa bercanda.

"bukan pa, aku butuh uang, aku mau bayar biaya rumah sakit, aku dan temanku kecelakaan, jadi aku yang bertanggung jawab.. aku tak mau kalau sampai masalah ini jatuh ke tangan polisi.."

aku terpaksa membohongi papa demi kebaikan bersama.

"papa tak pegang uang cash banyak, paling ada beberapa juta saja.. kamu pakai aja kartu debit papa.."

sambil merogoh kantong celananya papa mengambil dompet, membukanya lalu mengambil selembar kartu debet dan mengulurkan padaku.

"tapi nanti papa memerlukannya.."

aku ragu mengambilnya.

"sebetulnya kartu ini memang sudah papa persiapkan untuk kamu, tapi papa mau kasih nanti minggu depan tepat usia kamu 22..kebetulan kamu sudah butuh, jadi tak ada salahnya kalau papa kasih sekarang.."

jawab papa ringan. aku hanya bengong karena kaget. ternyata papa selalu banyak dengan kejutan. akhirnya aku terima juga kartu itu karena memang aku sangat butuh sekali.

"pergunakan dengan bijaksana ya nak, papa percaya sama kamu.."

papa mengusap rambutku dengan sayang, aku balas memeluk papa.

"kamu kok aneh, nggak biasanya mau peluk papa.."

papa balas memelukku dengan terharu.

"makasih banyak pa, aku janji akan pergunakan dengan bijak, papa jangan kuatir..sekarang aku mau balik ke rumah sakit dulu ya pa, udah ditungguin ma temen.."

"oh ya rio mama kamu sehat kan?"

"sehat pa, cuma papa harlan sekarang lagi dirawat di rumah sakit karena jantung.."

jawabku jujur.

"begitu ya?"

papa mengangguk, entah kenapa aku seperti melihat papa menyeringai namun tak lama setelah itu papa memasang tampang prihatin. ah masa bodoh lah aku sudah tak perduli lagi sekarang, lagipula aku tak bakalan lama lagi akan meninggalkan mereka semua.

"ya sudah papa mau berangkat ke kantor dulu, jangan lupa sering sering kemari.. meskipun papa nggak ada dirumah tak ada masalah.."


aku dan papa keluar bersama lalu berpisah di pekarangan, aku pergi lebih dulu, aku sudah agak tenang sekarang dengan kartu yang ada di tanganku ini satu kesulitanku teratasi. papa memang sangat pengertian, aku akan menginap dirumah papa beberapa hari sebelum aku pulang ke bangka.

*****





"cepat amat kamu balik, udah kelar ya..?"

tanya rian agak heran ketika melihat aku masuk.

"iya rian, tadi papa kasih aku kartu debet, jadi aku bisa bayar biaya kita.. kamu udah sarapan belum..?"

"kan aku baru di operasi, jadi belum bisa makan banyak, padahal aku laper banget.."

rian terlihat sebal.


"sudah lah, kamu yang sabar aja... nanti juga kamu bisa makan banyak kalau udah membaik.. fokus sembuh aja dulu.."

nasehatku sambil menaruh buah yang tadi aku beli di pasar waktu aku mau kesini.

"rio aku minta maaf... aku menyesal telah melakukan tindakan yang bodoh semalam.. aku tak bisa bayangkan seandainya semalam kamu tak melawan pasti kamu sudah tiada..."

rian baru menyesali tindakannya yang bodoh.

"jangan dikatakan lagi megingatnya saja membuat aku jadi merinding, aku masih berdebar debar kalau kejadian kemarin malam terlintas.."

"kamu benar, tapi aku takut rio, aku takut nanti aku jadi impoten, kata dokter aku tak boleh terlalu banyak gerak.."

"kamu harus banyak istirahat rian, jangan terlalu banyak pikiran karena itu juga tak baik.. sekarang aku harus pulang dulu karena ada beberapa pekerjaanku yang belum beres, nanti aku kesini lagi..."

"baiklah kalau memang kamu ada kerjaan, tapi kamu jangan bohong lagi ya, aku bosan berada di sini terus... rasanya aku mau pulang saja.."

rian mengerutu, aku tau sekali apa yang rian rasakan. memang tak enak rasanya mendekam dirumah sakit dalam keadaan tak bisa melakukan apa apa selain berbaring, waktupun terasa berjalan semakin lama.

"kamu sabar aja, kalau mengikuti anjuran dokter mungkinkamu bisa lebih cepat keluar, tapi kalau kamu bandel bisa saja kamu akan semakin lama disini."

"ya sudah kalau mau pergi, aku juga mau tiduran dulu... mataku ngantuk sekali, kayaknya pengaruh obat tidur.."

"oke, nanti sore aku kesini lagi.."

kataku sambil meninggalkan rian. aku mau ke rumah rizal sekarang. dia pasti kebingungan karena aku tak pulang dari semalam, mana aku tak memberitahu dia aku ada dimana. rizal pasti akan banyak bertanya kenapa aku sampai di perban seperti ini. aku harus menyiapkan jawaban yang tepat agar ia tak curiga.


benar saja, begitu aku menginjakan kaki dirumah rizal, ia langsung memberondongiku dengan berbagai pertanyaan. aku bilang saja kalau aku kecelakaan. untung saja rizal langsung percaya dan tak banyak anya lagi namun kulihat dia melirik ke mobilku yang masih mulus berkilau.

"pake mobil teman.."

kataku tanpa rizal tanya. kemudian secepat kilat aku meninggalkannya ke kamar sebelum dia akan banyak bertanya lagi.

aku mengambil handuk dan mandi setelah itu aku berganti pakaian, sekarang sudah jam sepuluh, aku akan ke hotel tempat mama kak fairuz menginap. katanya ia mau bicara padaku, entah apa yang mau ia bicarakan aku belum tau. tapi yang jelas aku harus datang.

sampai di hotel aku langsung naik ke lift menuju ke kamar tante lina, aku menyusuri koridor hingga sampai di depan kamarnya. aku mengetuk pintu dengan pelan. tak menunggu lama tante lina membuka pintunya.

"rio..."

tante lina sedikit terkejut melihatku.

"masuk nak, tadi mama kira fairuz yang datang.."

tante lina melebarkan pintu agar aku bisa masuk.

"apa aku menganggu ma?"

tanyaku tak enak hati.

"sama sekali nggak sayang, mama malah senang kamu mau datang, ya ampun nak tangan kamu kenapa...?"

sudah ku duga pasti tante lina akan bertanya tentang tanganku yang luka, aku terpaksa harus bohong lagi.

"makanya nak kalau naik kendaraan itu harus hati hati, jaman sekarang jalanan ramai sekali, kalau lengah sdikit saja maka begini ini jadinya.."

ujar tante lina prihatin. aku tersenyum pada tante lina, ia benar benar perhatian padaku tak seperti mama, tak ada yang berubah dengan caranya memperlakukan aku. aku tau ia telah tahu semua masalahku karena kak fairuz sudah menceritakan padanya namun tante lina tetap biasa saja.

selama kami berbicara tak sekalipun tante lina menyinggung kejadian itu, aku sangat bersukur dan menghargai pengertian mama kak fairuz. ternyata memang tak seperti yang aku duga selama ini kalau tante lina akan begitu baik.

"mama bisa mengerti apa yang kamu rasakan rio, kalau memang saat ini kamu sudah tak diterima dirumah kamu dengan senang hati mama mau, kamu bisa ikut mama dan kak fairuz ke jakarta..."

tante lina menggenggam tanganku untuk menenangkan hatiku seta memberi kekuatan agar aku bisa lebih bersabar dalam menghadapi masalahku.

"terimakasih mama, segala kebaikan mama tak akan pernah aku lupakan, aku tau mungkin mama kecewa padaku setelah tau bagaimana kau sebenarnya...."

aku hampir tak dapat menahan keharuan.

"sssst........ jangan berpikiran macam macam, mama tak mau mengurusi masalah pribadimu, mama tau kamu sudah dewasa dan bisa menentukan mana yang terbaik bagi kamu, cuma nasehat mama, untuk ke depan lebih berhati hatilah dalam bertindak agar tak jadi sesuatu yang akan kamu sesali.."

tante lina memotong ucapanku dengan penuh pengertian.

"mama udah makan belum, aku udah agak lapar nih.. kita cari makan aja ya.."

tanyaku sambil mengelus perut, entah kenapa dengan mamanya kak fairuz aku malah merasa bisa lebih nyaman ketimbang dengan mama ku sendiri.

"ayo kalau memang kamu sudah lapar, kebetulan mama juga udah agak lapar nih.."

"mama mau makan dimana, pokoknya hari ini rio akan bawa kemana saja mama mau.."

aku tersenyum sama tante lina.

"wah yang bener nih.. mama senang sekali, kalau mama terserah rio aja...mama ikut aja, makasih ya sayang mama benar benar bahagia hari ini.."

tante lina tiba tiba memelukku lagi.


"begitu juga rio ma, rasanya rio jadi lebih tenang, makasih ya ma.."

aku balas memeluk tante lina. aku justru merasakan kehangatan seorang ibu bukan dari mama kandung sendiri, pertama emak lalu sekarang tante lina.

kami berdua makan direstoran sari sanjaya yang terkenal enak walaupun sedikit mahal dan porsinya sedang namun memuaskan.

setelah makan siang aku masih sempat mengajak tante lina jalan jalan berkeliling kota palembang, aku merasa makin akrab dengan tante lina, dalam hati aku beterimakasih sama kak fairuz yang mengenalkan mamanya padaku.

*********




hari ini aku pulang ke rumah sebentar dengan maksud untuk mengambil beberapa barang barang yang aku butuhkan, tak aku sangka ternyata mama ada di rumah. melihat aku mama langsung ngomel ngomel.

"masih ingat ya dengan rumah, kirain udah lupa, kalau lebih betah dirumah orang lain sekalian aja nggak usah pulang pulang lagi, lagipula kamu tak ada gunanya disini, hanya bikin orangtua malu..."

kata kata mama itu terasa sekali menusuk hatiku yang paling dalam, aku tak menjawab apa apa, percuma saja.. aku lagi tak minat untuk bertengkar, lagipula salahku memang. jadi lebih baik diam.

"kamu sudah makan rio, kalau belum tadi aku udah masak loh.. kebetulan aku masak udang kesukaan kamu.."

amelia menghampiriku seolah tak pernah terjadi apa apa.

"sudah lah mel, kamu tak usah terlalu mengurusi dia, mau makan atau tidak itu urusan dia, yang penting kamu itu harus jaga pola makan, untuk kandunganmu itu."

mendengar kata kata mama amalia hanya diam dan menatapku dengan tak enak hati, aku tersenyum sama amalia biar dia tak merasa seperti itu.aku justru berterimakasih ia tak berubah.

mama telah kecewa padaku, ia marah... aku ingat dengan kak faisal dulu yang dimusuhi sama mama, namun akhirnya kak faisal telah tiada, namun kesalahan kak faisal saja sudah membuat mama seperti itu apalagi aku yang kesalahnku terlalu besar untuk dimaafkan, aku benar benar bulat akan pergi dari sini.

untuk apalagi aku bertahan kalau memang tak diinginkan, bukannya dulu aku juga tak pernah memaksa mama untuk mengambilku dari emak, sekarang kalau ia mau membuangku, aku tak akan menentangnya. mama punya hak untuk menitipkan aku sama emak, mengambilnya lagi dan mengusir lagi. aku sudah dewasa dan mampu bertahan hidup meskipun jauh dari orangtua. namun aku harap nanti mama tak akan mencariku lagi.

"mau kemana kamu, jangan kamu pikir kamu bisa seenaknya datang pergi kerumah ini..."

teriak mama ketika aku mau ke kamarku.

"aku hanya mau mengambil beberapa baju saja.."

jawabku singkat.

"hebat ya kamu sekarang, mentang mentang sudah dewasa bisa berlaku seenaknya.."

"aku minta maaf ma, memang aku bukan anak yang mama harapkan, aku hanya sumber masalah bagi mama, kalau itu yang mama pikirkan tentang aku, jangan kuatir aku akan pergi biar mama tak malu karena aku.."

aku menahan airmata yang nyaris keluar, tak ku sangka kalau mama akan seperti ini marahnya padaku, seolah aku ini bukan anaknya lagi. melihatku saja sudah membuat mama marah.

"baguslah kalau kamu sadar, kamu memang bikin malu..mengingatnya saja bikin mama muak..."

tikam mama tanpa rasa kasihan. amalia tersentak seolah tak mengira mama akan mengucapkan kata kata itu.

hilang sudah hasratku untuk mengambil bajuku, tanpa mengindahkan mama aku masuk ke kamar hanya untuk mengambil miniatur mobil yang dulu diberikan erwan untukku.

aku pandangi kamarku yang selama hampir tujuh tahun aku tempati, mungkin ini terakhir kali aku masuk kamar ini, kamar yang menyimpan banyak kenangan indah. segala kenangan yang tak aku lupakan. sekarang aku harus mengucapkan selamat berpisah pada kamarku.

aku mengambil kotak lalu menyusun miniatur mobil ke dalamnya, ada dua puluh miniatur dan semuanya yang dulu diberikan erwan.

aku mungkin tak akan sempat pamit sama odie, tante laras, om sebastian dan isterinya, aku juga tak akan pamit sama siapaun. aku akan pergi diam diam, aku tak mau meninggalkan kenangan apapun sama mereka agar aku merasakan kalau aku tak sedang meninggalkan mereka.

setelah selesai aku keluar lagi dari kamar. mama dab amalia maisih duduk di depan televisi, amalia berdiri menghampiriku.

"kamu mau kemana rio..?"

tanya amalia agak kuatir.

"kamu tenang saja mel, aku kan bisa jaga diri... salam sama si kecil nantinya ya, oh ya mel kalau anak kamu lahir andaikan lelaki, boleh kan aku minta dikasih nama faisal..."

"memangnya kamu mau kemana rio.. kamu kok ngomongnya aneh kayak gitu sih.."

amalia terlihat panik.

"nanti aku kasih tau, sekarang aku belum tau mau kemana, tapi aku tak kan kenapa kenapa, jangan kuatir ya mel.. jaga diri baik baik.."

"kamu serius mau pergi dari sini rio, pertimbangkan lagi, bagaimana dengan kuliahmu, sayang kan setahun lagi kamu udah selesai.."

"jangan pikirkan masalah itu aku yakin bisa mengatasinya kok mel.."

kataku biar amel tak kuatir lagi.

mama menghampiri kami.

"sudahlan mel, paling kalau dia kelaparan akan balik lagi.. memang anak yang susah diurusi.."

timpal mama ketus.

aku diam saja walaupun dalam hati sakit sekali mendengar kata kata mama, biarlah waktu yang akan membuktikan apakah aku akan kembali lagi kesini.

"mel tolong kasih sama mama.."

aku memberikan kunci mobil sama amalia, sesaat amalia bengong seolah tak percaya, namun aku segera menjejalkan kunci itu ditangannya.

tanpa menoleh lagi aku meninggalkan mama dan amel, aku masih sempat mendengar amel memohon pada mama untuk memaafkanku.


*********



aku kembali kerumah sakit untuk melihat keadaan rian, ia sudah bangun. perawat sedang membersihkan tubuhnya. melihat kedatanganku rian nampak senang.

"sudah suster biar temanku saja yang melanjutkan... suster bisa pergi sekarang.."

ujar rian agak risih.

suster itu mengangguk dan meletakkan handuk putih basah ke dalam wadah stenlis yang berisi air hangat, suster itu permisi lalu keluar.

aku menghampiri rian dan melanjutkan tugas suster itu.

"kalau begini biarlah aku sakit terus, kan ada kamu yang merawatku.."

ujar rian senang.

"hus.... nggak boleh ngomong gitu yan, namanya sakit itu nggak enak.."

"tapi kapan lagi aku bisa diperhatikan seperti ini.. rasanya sakitku jadi tak ada rasanya kalau ada kamu.."

aku cuma bisa tersenyum walaupun dalam hati aku sebenarnya menangis. aku membayangkan bagaimana reaksi rian jika ia tahu kalau aku akan meninggalkan dia dan palembang, sebetulnya aku tak tega.. namun aku juga tak bisa memaksakan diri untuk tetap tinggal disini. aku akan menunggu rian tidur baru pergi. aku akan menyelesaikan urusan administrasi setelah itu baru aku bisa tenang.

andainya nanti kami masih ada umur panjang pasti kan bertemu lagi, aku tak mungkin pamit padanya karena ia akan melarangku pergi. satu satunya yang aku beritahukan nanti hanya kak fairuz.

"kamu tadi udah makan rian?"

tanyaku sambil mengusap lengannya dengan handuk basah.

"sudah rio, cuma rasanya selangkanganku masih sakit, kalau dibawa bergerak agak nyeri.."

rian mengeluh sambil memegang bagian selangkangannya hati hati, aku jadi terenyuh. kenapa aku harus menyebabkan rian mengalami hal seperti ini. kalau saja kami berdua bisa menyikapi hubungan kami dengan lebih dewasa selama ini mungkin tak akan sampai ada kejadian begini.

"kamu sabar ya ya, insya Allah pasti sembuh da kamu juga bisa melakukan apa saja yang kamu mau..."

"tapi kalau aku tak begini mungkin kamu yang sudah jadi korban.."

"namanya juga musibah, kita takkan bisa menghindarinya...makanya lain kali jangan hanya menuruti emosi saja, aku benar benar takut waktu itu yan.. aku serasa tak mengenali kamu..."

"aku kalap yo, entah setan apa yang merasukiku waktu itu, aku juga sangat menyesal.. kalau waktu dapat aku putar aku ingin sekali membahagiakanmu...tolong beri aku kesempatan, aku janji akan bersikap lebih baik untukmu.."

rian memegangi tanganku perlahan, aku menunduk tak menjawab, aku tak tega mengatakan apa yang ada dalam hatiku saat ini, karena akan menyakitkan bagi kami berdua.

"jangan pikirkan itu dulu yan, kamu harus banyak istirahat ya...aku ingin liat kamu ceria... kalau memang kita bisa bersama, aku juga akan terima.."

aku kebingungan mencari kata yang tepat, namun rupanya cukup manjur untuk membuat rian lebih tenang.

selesai membasuh tubuh rian aku menaruh wadah berisi air dan handuk dibawah ranjang, aku masih mengobrol dengan rian hingga beberapa jam sampai rian tertidur.

setelah aku rasa ia sudah cukup terlelap, aku beringsut perlahan meninggalkan rian dengan hati hati agar tak menimbulkan suara. aku mau kebagian administrasi. aku menanyakan berapa jumlah biaya yang harus aku bayarkan agar aku dapat memastikan berapa aku harus menarik uang. setela mendapatkan info aku langsung meninggalkan rumah sakit.

aku mengambil hp dan menelpon kak fairuz. tak berapa lama lansung dijawab. aku meminta kak fairuz menemuiku dihotel tempat mamanya menginap. setelah kak fairuz menyetujui, aku langsung menewa taksi menuju ke hotel.

**********




"jadi kamu sudah bulat mau pulang ke bangka nak, tapi kenapa...?"

tanya tante lina kecewa.

"aku tak punya alasan lagi untuk tetap bertahan disini.. walaupun aku memaks, keadaan akan jadi buruk, aku serasa berdiri diatas kerikil kalau tinggal di rumah.."

"tapi kan mama sudah bilang kalau kamu boleh ikut mama ke jakarta, kamu bisa tinggal bersama mama sebagai anak mama..."

tante lina berharap.

"aku janji ma, nanti aku akan menemui mama di jakarta.. tapi saat ini aku juga sangat kangen sama emak, sudah lama sekali aku tak bertemu emak, aku ingin memastikan keadaan emak.."

"kalau memang itu alasanmu mama tak dapat melarang lagi, tapi kamu harus selalu ingat kalau mama selalu ada buat kamu.. kapanpun kamu butuh mama, jangan segan segan untuk menghubungi mama, sebenarnya mama sangat sedih harus berpisah denganmu, entah kenapa dari awal mama bertemu kamu rasanya mama langsung menyayangimu seakan kamu adalah anak mama.."

air mata tante lina mengalir membasahi pipinya yang tanpa bedak. entah bagaimana aku tiba tiba langsung membaringkan kepala dipangkuan tante lina. dengan sedikit kaget tante lina mengusap rambutku dengan kasih sayangbagaikan seorang ibu.

"mama hanya bisa berdoa agar kamu selalu dijaga oleh yang maha kuasa, mama pasti akan sangat merindukan kamu nak.."

"aku juga ma, akan sangat merindukan mama... aku juga sudah menganggap mama bagaikan ibu kandungku sendiri.."

"terimakasih nak, mama sangat menghargainya... sering seringlah menghubungi mama, ajak mama main ke bangka karena jujur mama belum pernah kesana, katanya pantai dibangka bagus bagus ya?"

"pasti ma, aku akan mengajak mama ke kampung halamanku di bangka.. mama akan aku ajak berkeliling ke tempat yang indah indah disana.."


aku kembali menegakkan badan, baru saja aku mau berdiri terdengar pintu diketuk. aku yakin itu pasti kak fairuz, aku membuka pintunya dengan segera. ternyata benar kak fairuz. ia langsung masuk danmenghampiri mamanya lalu menciumi tangan mamanya.

aku menceritakan pada kak fairuz tentang rencana kepergianku ke bangka besok. wajah kak fairuz langsung berubah jadi bengong seakan tak percaya. namun aku memastikan padanya kalau aku tak main main, aku memang telah memutuskan dengan mantap kalau aku akan tetap meninggalkan palembang apapun yang terjadi.

setelah aku berikan pengertian baru kak fairuz dapat menerimanya.

"tapi adek kan sudah terbiasa hidup kecukupan, apa nantinya adek bisa membiasakan diri dengan kehidupan yang sederhana?"

tanya kak fairuz agak kuatir, mendengarnya kau hanya tersenyum dan berkata.

"kak aku kan lahir hingga tumbuh remaja dalam keadaan kekurangan namun aku bahagia, jujur kak aku malah kurang siap dengan kehidupan yang terlalu mudah seperti sekarang, memang dengan banyak uang banyak hal yang bisa aku atasi dengan lebih mudah, namun aku juga telah belajar kalau punya uang bukan jaminan hidup lebih bahagia... kakak jangan kuatir, aku sangat terbiasa sekali kehidupan sederhana... aku kangen masa lalu sewaktu di bangka.."

aku memastikan dengan semangat, kak fairuz tertawa dan menemplak kepalaku pelan tanda sayang seorang kakak.

"kalau begitu kakak dukung apapun itu, yang penting kamu bahagia menjalaninya, kapan kapan kakak janji pasti akan main kesana, kamu jaga diri baik baik.."

nasehat kak fairuz.

"iya kak , pasti itu, kakak juga jaga diri baik baik ya, jaga amalia dan bayinya, karena kakak adalah calon ayah bagi bayi yang ada di kandungannya.."

kak fairuz mengangguk dengan mantap.

aku mengajak kak fairuz cari tempat yang agak aman dari pendengaran mamanya karena ada hal yang ingin aku sampaikan pada kak fairuz.



"ada apa dek..?"

tanya kak fairuz setelah kami berada di luar.

"aku mau mengembalikan uang kakak yang aku pinjam, kebetulan aku sudah ada uang dari papa..."

aku memberikan amplop berisi uang pada kak fairuz, namun reaksinya sangat membuat aku kaget. ia menndorong tanganku pelan mengembalikan amplop itu.

"ambil buat kamu dek, kakak tak berniat pinjamkan itu, kakak memang sengaja kasih untuk adek, kakak yakin adek akan sangat membutuhkannya nanti.."

"tak apa apa kak aku..."

"sudahlah dek terima saja, kakak akan sangat kecewa kalau adek tak mau menerima pemberian kakak, demi Allah kakak ikhlas dek, tolong terima itu, karena kakak ingin adek menganggap kakak orang yang sangat berarti bagi adek, meskipun rasa cinta kakak tak terbalas biarkan kakak melakukan satu hal yang berarti bagi kakak..."

mata kak fairuz berkaca kaca saat mengatakannya.

"terima kasih banyak kak, aku sangat menyayangi kakak, aku berusaha tak mencintai kakak karena aku ingin menganggap kakak adalah kakak kandungku, biarlah kita jangan menodai hal itu, mungkin ini lebih baik, kakak sekarang telah ada amalia, bahagiakan dia kak, aku yakin kakak juga akan bahagia bersamanya..."

"awalnya kakak memang menikahi amalia demi menyelamatkan adek dari keharusan untuk menikahinya, namun seiring waktu kakak sadar kalau amalia adalah perempuan yang sangat mudah untuk siapa saja mencintainya... namun adek juga akan selalu ada di hati kakak.."

aku tersentak mendengar pengakuan kak fairuz, ternyata begitu besarnya rasa sayang kak fairuz padaku hingga ia rela berkorban demi aku, entah bagaimana aku dapat membalasnya, semua terasa begitu singkat, aku menyadari sekali dalam kehidupan selalu ada pertemuan dan perpisahan. namun kita harus ikhlas dan sabar karena segala sesuatu yang dijalani dengan ikhlas akan menjadi lebih indah pada saatnya nanti.

"kakak juga akan selalu ada di hatiku, kakak dan almarhum adalah dua orang kakak lelaki yang sangat aku dambakan selama ini, kalian telah membuat aku merasakan betapa indahnya memiliki kakak lelaki..."

aku memeluk kak fairuz. ia membalasnya dan menciumi keningku seakan tak mau melepaskannya lagi.

"kak ada satu lagi, aku mau menitipkan uang biaya rumah sakit untuk rian, tolong nanti kakak urus, dan jangan katakan padanya kemana aku pergi, bilang saja kau pergi ke jakarta, bandung, jogja atau kemanapun juga boleh... aku mau menenangkan diri di bangka, kalau ia tau pasti ia akan segera menyusulku..."

aku menatap mata kak fairuz meminta agar ia mau mengerti.

"baiklah dek kakak akan urus, tapi mengenai uang pembayaran rumah sakit akan kakak pastikan biar mama yang bayar nantinya, adek harus bisa pulang ke bangka dengan tenang, adek bahagiakan emak, belilah apa yang emak adek sukai, yang lain lain adek jangan pikirkan... kakak akan mengaturnya.."

ujar kak fairuz penuh pengertian.

"kalau begitu lebih baik menurut kakak ya aku tak masalah, cuma andaikan nanti kakak tak dapat uang dari mamam, jangan segan segan hubungi aku, aku akan kirim uangnya.."

"jangan kuatir, kamu persiapkan diri saja karena besok kamu mau pergi, kakak akan pastikan mama dan siapapun tak tau kemana adek pergi.."


"terimakasih kak, sekarang aku mau kerumah papa, aku mau bicara sama papa.."

"apa adek mau bilang kalau adek mau ke bangka...?"

tanya kak fairuz lagi.

"iya kak, aku yakin papa bisa jaga rahasia ini.."

"kakak percaya adek tau apa yang adek lakukan.."

kak fairuz memegang bahuku.

"kalau begitu aku pergi dulu, aku mau pamit dulu sama mama kakak..."

aku kembali masuk ke kamar, kak fairuz mengikutiku. aku pamit sama tante lina. kami berpelukan dan bertangisan bersama. hatiku rasanya begitu hampa. hal ini kembali mengingatkanku saat aku meninggalkan emak dulu. tuhan memang punya rencana.


*********

apa aku tak salah lihat, ada mobil mama terpakir dengan tenang dibawah kanopi depan rumah papa. aku meminta sopir taksi untuk menunggu. dengan agak penasaran aku menghampiri pintu ruang tamunya.

"memang kalau dari bibit yang tidak bagus maka buahnya juga akan busuk...begitulah kelakuan anak kamu itu vin..!"

suara mam terdengar jelas bahkan walaupun aku baru didepan pintu.

"tapi dia kan anak kamu juga mega, kenapa kamu eolah menimpakan semua kesalahan padaku...?"

suara papa bernada kebingungan.

"kalau tau akan begini jadinya menyesal aku membawanya kesini... aku sudah banyak berharap padanya.. namun dia begitu saja menghancurkan semuanya.."

aku mengintip dari pintu, aku mengurungkan niat masuk, aku mau mendengar apa yang mau mama katakan, biar emuanya jelas dan alasanku untuk meninggalkannya lebih pasti.

"kalau punya anak di hitung untung rugi ya memang begitu, dari awal kamu juga yang tak bisa mendidiknya, kamu tinggalkan dia begitu saja seolah dia barang yang bisa kamu perlakukan seenak hati kamu, ketika kamu butuh, kamu ambil lagi dan saat kamu pikir dia tak bisa menuruti keinginan kamu seenaknya kamu buang lagi..!"

papa kelihatannya sudah agak emosi.

"kalau kamu tau betapa aku menyayanginya selama ini kamu tak akan bicara sembarangan, cukup kasih sayang yang aku berikan namun apa balasannya hanya kecewa saja... aku pikir nantinya dia dapat membentuk keluarga dan memberiku cucu.. namun sekarang itu cuma mimpi... hukuman apa yang tuhan timpakan padaku hingga punya anak seperti itu, aku benar benar kecewa...!"

"kalau ia menjadi seperti itu tak ada yang dapat disalahkan, aku sendiri kecewa.. tapi mau bagaimana lagi, itu adalah takdir dia, kita belum pernah menanyakan apa yang merisaukan dia... mustahil segala terjadi tanpa sebab akibat.."

aku merasa agak lega ternyata papa membelaku.

"makanya aku bilang tadi kalau bibitnya tak bagus, kamu liat kan bagaimana keluarga kamu bisa tercerai berai, mama kamu, kakak kamu juga... aku tak heran rio seperti itu, aku sekarang yang kena imbasnya.."

"kamu jangan menjelek jelekan keluargaku, aku tak pernah menjelekkan keluargamu... meskipun selama ini aku juga tak sefaham dengan mereka namun aku tutup mulut...!"


papa jadi tersinggung. aku belum pernah bertemu keluarga papa selain mamanya koko, namun sejauh yang aku tau mereka sangat baik.

"memangnya ada apa dengan keluargaku, kamu jangan mengada ada.. siapa yang sok penting, sok kaya, sok mau dapat menantu dari kalangan berada, kalau saja aku masih bisa bertemu mereka sekarang, sudah aku lemparkan uang satu karung ke muka mama kamu itu...!"


mama makin berapi api.

"kalau saja kamu bisa mengambil hati mama, tak mungkin mama tak menerimamu, namun aku dengar sendiri dari andreas kalau kamu juga sering melawan kalau mama minta tolong, kalau saja aku mendengarnya dari mama mungkin aku masih tak percaya, namun andreas yang masih sekolah dasar waktu itu mengatakan ia lihat sendiri kamu memaki mamaku... apakah aku masih harus percaya kata katamu.."

"andreas pasti sudah dicuci otaknya sama keluargamu itu.."

jerit mama kesal.

"cukup mega, kalau kamu tak mau mengurus rio, kamu tak usah begitu.. masih ada aku yang akan mengurusnya... dimana mana seorang ibu bisa menerima kekurangan anaknya, kamu aneh..!"

balas papa tak kalah sengit.

"takkan ku ijinkan kamu, aku sedang mau memberi pelajaran padanya agar ia mau menyadari perbuatnnya itu salah.. kamu tak berhak mengasuhnya, kamu pria tak bertanggung jawab..!"


"jangan lupa aku adalah papanya..!"

teriak papa kesal.

"ya kamu hanya sekedar papanya saja, tapi yang mengandungnya kan aku, yang merasakan bagaimana sakitnya melahirkan itu aku, kamu jauga tak pernah memberikan nafkah padanya, kalau aku katakan kamu tak punya hak aku benar..!"

mama tak mau kalah.

"hahaha.. lucu, perempuan selalu mengatakan mereka yang paling berhak mengasuh anaknya meskipun sudah terbukti kalau mereka gagal, kamu yang mengandungnya, tapi ingat kalau bukan karena benih dariku kamu bisa mengandung ya, memangnya kamu wanita pilihan seperti siti maryam, tanpa lelaki bisa hamil... jangan egois, pakai otak kamu...!"

papa meninju meja hingga vas bunga yang ada diatasnya jatuh terguling dan hancur.

aku sudah tak tahan lagi, semakin mendengarnya, aku jadi semakin tak berarti. papa dan mama saling menyalahkan dan itu semua aku penyebabnya, karena aku terlahir sebagai seorang lelaki yang mencintai sesama lelaki.

"dimana rio sekarang, kalau terjadi apa apa padanya aku berjanji kamu tak akan dapat bertemu lagi dengannya selamanya.."

ancam papa.

"aku juga tak tau dia dimana, sejak kejadian itu dia pergi dari rumah tanpa aku usir juga, ya meskipun aku memang berniat menyuruhnya pergi, mungkin dia sadar tak ada tempat dirumahku untuk orang yang seperti itu."

mama tak tau kalau selama ini bukan hanya aku dan om sebastian saja yang seperti itu yang tinggal dirumah, namun odie dan juga kak fairuz, kalau saja mama tau aku bisa bayangkan bagaimana reaksi mama.

memang benar ternyata kalau kita begitu membenci sesuatu maka secara tak sadar justru kita dikelilingi oleh hal yang kita benci itu. semakin kita menolak maka akan semakin banyak, semakin dihindari malah akan smakin menghampiri, itu yang sekarang terjadi pada mama.

"sudah cukup pa, ma... kalian tak perlu berdebat lagi, aku memang salah..!"

aku memberanikan diri memutus pertengkaran mereka. papa dan mama menoleh dengan kaget kepadaku.

nah kebetulan itu ada rio datang, jadi kita bisa jernihkan masalah sekarang juga, aku juga sudah terlalu capek bertengkar terus tiap ketemu kamu mega.."

papa terlihat senang melihatku, tidak dengan mama.

"apalagi yang harus dijernihkan, aku malas tiap melihatnya, rasa kecewaku makin bertambah...!"

mama mendengus.

"pa.. aku hanya mau berterimakasih karena papa sudah mau mengerti aku, mungkin papa tak tau bagaimana yang aku rasakan... aku juga tak mau seperti ini.. aku juga lelah.."

papa dan mama diam mendengarkan aku.

"aku tau bagaimana rasa kecewa kalian padaku tak bisa seperti yang kalian harapkan.. tapi kalian juga harus tau tak ada niat sedikitpun membuat kalian kecewa.."

"sudahlah jangan terlalu bertele tele, kalau kamu cuma mau memberikan pengertian sama mama agar bisa memahami perbuatan kamu, itu akan percuma.."

mama memotong kata kataku dengan tak sabar.


"kalau mau kecewa, mungkin aku juga bisa kecewa... namun aku bisa bersabar selama ini, aku terima apapun yang mama atur untuk aku meskipun hatiku tak terima, tapi kali ini kau tak akan meminta siapapun untuk mengerti aku, terus terang saja aku sudah tak perduli lagi karena inilah hidupku.. mau suka atau tidak akulah yang menjalaninya..."

aku memberanikan diri menumpahkan apa yang selama ini aku rasakan, aku tak akan membuat mama berpikir kalau aku akan menuruti apapun yang mama mau lagi, aku sudah dewasa sekarang, aku punya hak menentukan apa yang aku anggap terbaik bagiku.

"rio, sudahlah.. papa mengerti apa yang kamu inginkan, papa sudah bilang kalau papa ingin jadi papa yang bisa kamu percayai.. kamu bisa ikut papa kalau kamu merasa tak nyaman tinggal sama mama kamu.."

ujar papa seolah tak mengindahkan ucapanku tadi.

"e..e...e... apa yang kamu bilang, seenaknya saja kamu mau membawa rio kesini, aku tak akan ijnkan, kemana saja kamu selama ini datang datang mau seenaknya saja.."

semprot mama ketus pada papa.

"cukup ma... aku tak mau kalian ribut, aku cuma mau bilang aku tak akan tinggal dengan salah satu dari kalian, aku mau mandiri sekarang.."

"apa kamu yakin bisa mandiri.. uang saja masih minta.."

sembur mama.

"jaga bicaranya mama, dia itu anakmu..jangan membuat ia hilang rasa hormat padamu..."

peringat papa tajam.

"jangan mengajariku soal mendidik anak, rio saja butuh 21 tahun untuk bisa menerimamu..."


mama sepertinya memang ingin membuat papa sakit hati dengan ucapanya.

"itu karena aku baru bertemu dengannya setelah sekian lama akibat ulahmu dulu..."

ujar papa geram.

"papa aku minta maaf, aku tak bermaksud mengabaikan papa, aku cuma ingin bilang kalau aku ingin sendiri dulu.."

aku menatap papa meminta agar ia bisa mengerti, aku sudah tak mungkin berada di sini, terlalu banyak hal yang memalukan bagiku yang tak akan mudah hilang begitu saja, aku tak berani bertemu dengan tante laras, tante sukma dan yang lain.

"sudahlah alvin kalau memang maunya anak kamu seperti itu kenapa lagi kamu mau memaksa..!"

balas mama tanpa perasaan. itu cukup membuat papa jadi terdiam.

aku menghampiri papa lalu memeluknya, dengan agak heran papa balas memelukku.

"ada apa nak..?"

bisik papa sedikit curiga.

"nggak pa, cuma mau bilang kalau aku sangat menyayangi papa.."

jawabku tanpa menghiraukan mama yang berjengit melihat kami seolah kami berdua adalah hantu.

"kamu bisa tinggal bersama papa kalau kamu merasa tak nyaman dengan mama kamu nak.."

papa berharap.

"nanti ada saatnya pa, tolong biarkan aku memilih yang aku mau, aku janji tak akan melupakan papa.."

"memeangnya kamu mau kemana nak, kamu kan masih kuliah dan belum kerja...?"

papa jadi kuatir.

"aku bisa jaga diri pa, kalau aku tinggal disini, pasti mama tak akan berhenti mengganggu ku, aku hanya ingin ketenangan sekarang.."

"baiklah, kalau kamu ada masalah atau apa, jangan segan segan menghubungi papa atau datang kesini... papa akan membantumu sebisa papa.."

"terimakasih pa, sekarang aku mau pergi dulu...teman sudah menunggu, tak enak udah malam.."

papa mengangguk. aku meninggalkan rumah papa tanpa menoleh pada mama lagi, aku tak mau melihat wajahnya yang hanya akan selalu sinis padaku.

*********




"dari mana sja seharian yo, bikin aku cemas saja..."

ujar rizal saat melihatku datang.

"dari tempat papaku zal, oh ya.. aku mau berterimakasih padamu yang sudah mau mengijinkan aku menginap beberapa hari disini, besok aku mau pergi, tapi kamu jangan kasih tau sama siapapun ya zal..."

aku rasa rizal bisa untuk aku percayai.

"loh rio, memangnya ada apa sih... pakah masalah kamu terlalu besar hingga kamu harus pergi, memangnya kamu mau pergi kemana.. lalu bagaimana dengan keluargamu...?"

rizal jadi bingung denganku.

"nanti aku akan ceritakan apa masalahnya... sekarang aku mau brkemas dulu, soalnya besok aku harus pergi... aku tak punya banyak waktu lagi.."

"kenapa harus buru buru gitu sih rio..."

"entahlah, rasanya aku sudah tak tahan lagi lama lama berada disini..."

"kamu tak betah ya dirumahku?"

tanya rizal agak kecewa.

"bukan tak betah, cuma kau tak mau terlalu lama merepotkan kamu... selain itu aku tak mau kalau keluargaku mencariku disini dan kamu jadi terseret masalah karenaku, jadi biarkan aku pergi dulu, nanti aku akan telpon kamu.!"

aku berjalan ke kamar rizal, ia mengikutiku. tanpa menunggu lagi aku ambil ranselku, membereskan semua baju dan peralatanku.

"kamu mau kemana memangnya yo..?"

tanya rizal lagi masih penasaran.

"pulang ke bangka zal, tolong jangan kasih tau siapapun...kamu jaga rahasia ini.."

"apa... pulang ke bangka, untuk berapa lama rio, dan kenapa harus mendadak.."


rizal nyaris berteriak karena kagetnya.

"sepertinya untuk selamanya, aku harus meninggalkan palembang.."

"tapi.... aku harus bilang apa sama adikku rio, aku terlanjur berjanji padanya kalau aku akan bikin kalian berdua jadi kekasih.."

gumam rizal lemas tak bersemangat.

"kamu itu lagi, suka janji yang nggak nggak, lagian kenapa sih kamu itu mau maunya adikmu jadi pacar orang kayak aku ini..!"

jawabku sambil terus memasukkan bajuku dalam ransel.

"ya, karena kamu orang yang baik... aku sudah lama mengenal kamu rio.. aku tau kamu pantas dijadikan iparku, hehehe... apa yang kurang sama adikku sampai kamu tak mau yo, apa ia kurang cantik..?"

tanya rizal penasaran.

"karena aku gay zal..!"

aku berbalik menghadap rizal.

"kamu...."

rizal tak meneruskan kata katanya saking terkejutnya mendengar pengakuanku.

"terimakasih untuk semuanya zal... aku pergi dulu."

aku meninggalkan rizal yang masih bengong.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar