Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 10

#12 SEKOLAH LAGI

“dek.. Kenapa menangis dek.. Ayo bangun.. Kita pulang..!” kak faisal mengguncang guncang tubuhku agar bangun. Tersentak aku bangun, pusing belum banyak berkurang, cuma rasa mual sudah hilang, kak faisal mengelap wajahku dengan saputangan.
“adek mimpi apa.. Kenapa sampai mengigau dan nangis dek?” tanya kak faisal dengan cemas.
“kak.. Aku mimpi ketemu emak.. Aku kangen sama emak, aku kepingin pulang kak…” entah kenapa perasaanku menjadi begini sensitif, padahal kemarin kemarin aku sudah bisa mengatasi semua rasa kangen itu. Kak faisal terdiam sejenak seperti berpikir, sementara agus yang berdiri disamping kak faisal mengerutkan kening melihatku.
“dek nih pake baju ini dulu, kita pulang sekarang.. Udah jam sebelas malam..” kaget sekali aku mendengar kata kata kak faisal, cepat cepat aku beranjak dari atas kasur, kulihat ferry, firdaus dan rizal sudah terkapar diatas lantai, tertidur. Semuanya pasti mabuk sekarang. Aku memakai baju yang diberikan kak faisal tadi dengan terburu buru.
“gus, kubawa dulu baju ini.. Nanti aku kembalikan, sekarang kami pulang dulu ya..!” kak faisal pamit sama agus.
“sal, masih bisa nggak.. Kalo pusing mendingan menginap disini aja…” saran agus dengan nada kuatir. Kak faisal menggeleng.
“makasih gus, nggak masalah kok, aku masih bisa kontrol, nggak enak sama nyokap, soalnya aku ngajak rio..”
“terserah gimana baiknya lah..” agus penuh pengertian.
“oke gus, aku pulang dulu, sampe ketemu besok dikelas..”
“sip bro…hati hati di jalan.” kak faisal menuntun aku keluar kamar, kemudian kami berjalan ke garasi. Agus mengantar kami hingga ke halaman depan rumahnya. Kak faisal mengambil motornya kemudian menyalakannya. Aku naik di boncengan dengan hati hati.
“dek, pegangan yang kuat ya.. Jangan sampai adek lepas.. Nanti jatuh..” kak faisal memperingatkanku.
“iya kak..” Aku memeluk kak faisal erat erat, wajahku menempel di punggungnya.
“yuk gus.. Sampe besok ya..” agus mengangguk sambil melambaikan tangan. Kak faisal membawa motor dengan kecepatan sedang, tangan satu memegang setang sedang tangan kiri terkadang memegang aku.
“dek.. Jangan tidur dulu ya dek..!” aku mengangguk.
“dingin dek?” aku mengangguk.
“masih kepengen muntah…?” aku menggeleng, sementara pipiku masih menempel di punggung kak faisal dengan mata terpejam. Tanpa aku sadari kak faisal tiba tiba menghentikan motornya. Aku membuka mata.
“kenapa kak?”
“kita sudah sampai dirumah dek.. Adek tunggu di motor ya dek.. Pegangan di setang jangan sampe jatuh.. Kakak mau periksa dulu siapa tau mama belum tidur, gawat kalo mama tau…!” kak faisal turun lalu memasang standar motor sementara aku masih duduk diatas motor. Aku cuma mengangguk. Kak faisal membuka pagar, kemudian masuk. Memeriksa keadaan rumah. Tak lama kemudian ia kembali menghampiriku.
“aman dek.. Masuk yuk.. Turun pelan pelan dek, jangan sampai jatuh..” kak faisal memegang tanganku membantuku turun dari motor. Bersama kami memasuki pekarangan rumah. Kak faisal menuntun motor sampai ke garasi, membuka pintu garasi memasukkan motor lalu menutup kembali pintu garasi. Lewat pintu samping kak faisal mengajak aku masuk, kak faisal selalu membawa kunci duplikat. Setelah mengunci pintu ia memapahku menuju ke kamar tidur.
“kak mama udah tidur?” aku bertanya.
“sssstt…. Dek jangan keras keras nanti mama bangun..” kak faisal menempelkan jari telunjuk ke bibirnya yang ia mancungkan sambil berbisik. Sampai dalam kamarku, aku bermaksud langsung rebah keatas kasur, tapi kak faisal menyuruhku ganti baju dulu. Karena kepalaku yang masih teramat pusing, aku tak mengindahkan kata kata kak faisal, aku tetap saja berbaring, soalnya mataku betul betul terasa berat. Sebelum betul betul tertidur masih sempat aku melihat kak faisal mematikan lampu kamarku.
Aku terbangun karena merasa kedinginan, aku sedikit terkejut saat melihat kak faisal sedang tertidur disampingku, sakit kepalaku telah hilang, namun aku tak bisa bergerak. Kak faisal memelukku, aku takut bergerak karena tak mau membangunkan kak faisal, ia tidur begitu lelap, wajahnya yang mulus membentuk garis seolah sedang tersenyum, Sesaat aku perhatikan wajah kak faisal tidak mirip papa, tapi lebih mirip om sebastian. Cuma hidung kak faisal mancung lancip, tak seperti om sebastian yang mancung bangir. Terdengar dengkur halus dari mulutnya. Pasti kak faisal juga pusing terlihat dari caranya tidur. sedangkan semalam aku terkapar begitu menyentuh tempat tidur. Aku tak menyangka kak faisal tidur dikamarku. Ku pikir setelah ia mematikan lampu, ia langsung ke kamarnya. Tapi kak faisal masih sempat melepaskan baju dan celana panjang yang aku pakai semalam. Pantas saja aku terbangun kedinginan. Soalnya ac kencang ditambah lagi aku tak pakai baju tentulah membuat aku menggigil hingga terbangun. Tangan kak faisal yang berada diatas perutku aku coba angkat pelan pelan, namun kak faisal langsung berbalik menghadapku malah sebelah kakinya naik keatas pahaku Sementara matanya masih tetap terpejam menandakan kalau kak faisal masih pulas. sepanjang subuh aku tak bisa lagi tidur. Aku terbaring menatap langit langit kamar dengan fikiran kalut.

Aku menanti pagi dengan gelisah, begitu banyak yang terjadi hari ini dan semuanya serba baru aku alami. Aku tak tahu apakah aku mampu melalui semua ini, sedangkan aku baru saja tinggal disini. Kak faisal adalah kakakku, walaupun tak ada darah sama yang mengalir di jantung kami masing masing tapi ia tetap adalah kakak bagiku. Seseorang yang harus aku hormati, aku sayangi dengan tulus tanpa pamrih. Walaupun kak faisal nakal dan suka melakukan hal hal buruk, aku tahu kak faisal sebetulnya baik, cuma pengaruh teman temannya itu yang membuat kak faisal jadi begini. Saat mengenang kejadian kemarin, aku jadi menyadari kalau kak faisal menyayangi aku, walaupun sebelumnya ia sempat membuat aku sebal, tapi aku tau kak faisal punya sifat baik. Aku ingin sekali kak faisal merubah kelakuannya. Aku tak mau kak faisal sampai terjerumus semakin dalam. Aku tak ingin satu satunya kakakku disini mendapat masalah dan hancur masa depannya hanya karena salah pergaulan. Aku melirik kak faisal yang masih terlelap, mulutnya sedikit menggumam, tak jelas apa yang ia katakan, mungkin ia mengigau karena masih ada pengaruh dari minuman yang kemarin kami minum. Aku sayang pada kak faisal.
sekitar jam setengah enam, begitu kak faisal merubah posisinya, aku buru buru berangkat, kak faisal tak terbangun, aku keluar kamar setelah memakai baju kaus, aku haus dan ingin minum. Kepalaku masih terasa agak berdenyut denyut tapi tak begitu mengganggu. Setelah menutup pintu kamar aku langsung ke dapur. Ada Bik tin sedang menggoreng kue.
“udah bangun abang?” tanya bik tin sambil membalik balik goreng pisang dalam wajan.
“iya bik.. Mama belum bangun bik..?”
“nyonya biasanya bangun jam lima, sholat dan mandi di kamarnya. Jarang keluar bang, paling kalau sudah mau berangkat kerja, ia keluar untuk sarapan.” bik tin menjelaskan.
“oh gitu bik…” aku mengangguk angguk, sambil mengambil gelas bersih dalam lemari kitchen set di dinding.
“abang mau minum teh, atau mau bibik bikinin kopi susu?”
“nanti aja bik, lagi pengen minum air putih dulu, kalau bibik sudah selesai gorengin pisang, baru bikin kopi susu…” jawabku sambil menekan kran dispenser. Air mineral dari dalam galon turun mengucur masuk dalam gelas bening ditanganku. Aku meneguknya hingga habis. Kebiasaan dari semenjak kecil, tiap bangun tidur minimal aku langsung minum air putih dua gelas sebelum cuci muka dan kumur kumur.

“bik aku kedepan dulu…” bik tin tersenyum simpul dan mengangguk.
“iya bang.. Kalo lapar tinggal bilang aja mau makan apa pasti bibik bikinin untuk abang..”
“oke bik, makasih ya…” aku senang sekali sama bik tin, aku belum banyak bertanya pada bik tin, ia berasal dari mana, punya anak atau tidak.. Soalnya selama hampir dua minggu aku tinggal disini, belum pernah aku melihat bik tin pulang kerumahnya.
Kamar bik tin dirumah ini terletak di bagian dapur, kamarnya pernah aku lihat, tak seperti kamar pembantu, ada tempat tidur per dengan seprei yang bersih, televisi berwarna 14 inci, ada mini compo, walaupun bik tin cuma pembantu, tapi mama memberikan fasilitas yang cukup memadai untuk bik tin. Aku bangga pada mama untuk hal ini, tak pernah aku lihat mama memarahi bik tin, selama ini sikap mama terhadap bik tin cukup sopan. Baru saja aku berbalik mau keruang tengah, tante laras keluar dari kamarnya. Ia mengenakan kimono warna merah terang, rambutnya yang kemarin ia gulung sekarang tergerai hingga ke punggung. Begitu melihatku ia seperti heran.
“pagi amat kamu bangun…” sapa tante laras sambil menggulung rambutnya.
“iya tante udah biasa waktu dirumah dulu aku selalu bangun pagi…”
“kemana saja kemarin..?” suaranya bernada interogasi. Aku tak mungkin cerita kalau kemarin diajak kak faisal mabuk.
“aku kerumah temannya kak faisal tante..”
“kok maghrib nggak pulang… Apa kamu biasa begitu..?” aku jadi gelagapan ditanya seperti itu.
“nggak.. Nggak kok tante.. Baru sekali ini.. Itupun karena diajak sama kak faisal…” aku membela diri, aku tak ingin tante laras menganggapku anak nakal yang tak tahu aturan.
“lain kali kalau main itu ingat waktu.. Jangan seenaknya saja.. Bikin mama kamu resah aja..” ujar tante laras dengan sedikit ketus. Aku tak menjawab cuma bisa mengangguk.
“faisal masih tidur?”
“iya tante… Kak faisal masih tidur..”
“jam berapa kalian pulang semalam…?” kembali pertanyaan yang membuat aku menjadi bingung harus menjawab apa.
“hei… Kenapa diam.. Jam berapa semalam kamu dan faisal pulang?”
“j..jam… Jam sebelas tante…” aku menjawab dengan terbata bata saking takutnya.
“bagus.. Bagus sekali.. Mau jadi apa kamu? Belum dewasa sudah bertingkah seperti itu… Apa mau jadi preman? Hah..? Mau jadi bandit..? Main dari sore sampai tengah malam…!!” tuduh tante laras.

“maaf tante… Aku…” aku tak sempat menyelesaikan kata kataku karena keduluan dipotong tante laras.
“kenapa…! Mau mencoba membela diri, sudah tau salah masih juga mau mangkir..?” suara tante laras meninggi. Aku terdiam, aku tak mungkin menjawab karena aku memang bersalah, takutnya aku jadi terpancing untuk melawan tante laras, aku tak mau membuat masalah, bagaimanapun juga ia adik papa, aku terpaksa harus menghormatinya walaupun hatiku kesal.
“iya tante.. Rio minta maaf..”
“minta maaf.. Tapi besok besok diulang terus.. Gitu? Tante nggak perlu kata kata maaf kamu, percuma kalau cuma supaya tante diam… Tante akan bicara sama mama kamu.. Supaya lebih ketat lagi untuk tak membiarkan kalian seenaknya saja..!” tikam tante laras sambil meninggalkan aku dengan bersungut sungut. Hilang sudah semangatku, pagi pagi buta sudah kena semprot. mimpi apa aku semalam, betul betul apes. Baru satu hari tante laras menginap disini tapi sudah bikin aku jadi tak nyaman. Semoga saja tak lama ia menginap disini. Mendingan aku masuk kekamarku lagi, mumpung tante laras lagi didapur, takutnya kalau ia melihatku masih disini, bakalan kena ceramah lagi. Dalam kamar aku langsung menutup pintu, kak faisal masih tidur lelap, aku harus membangunkan kak faisal, sekarang sudah jam enam. hari ini kak faisal sekolah, kalau tak aku bangunkan bisa bisa kak faisal tidur sampai siang.
“kak.. Bangun.. Sudah siang..!” aku mengoyang goyang tubuh kak faisal. Ia membuka matanya sebentar lalu berbalik dan tidur lagi.
“kak… Bangun dong.. Nanti kesiangan.. Udah jam enam kak…” kak faisal menarik bantal dengan mata terpejam lalu menutup kupingnya dengan bantal. Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Kelewatan banget kak faisal tidur udah kayak orang mati. Aku naik keatas tempat tidur lalu menindih tubuhnya sambil menggelitik kak faisal, ia meronta kaget, dengan kesal berbalik menindihku dan balas menggelitikku. Aku tertawa keras karena geli tapi kak faisal tak perduli, ia terus menggelitikku hingga aku hampir terkencing kencing.
“ampun kak.. Ampun.. Geli.. Haha..ha.. Ampun..” aku meronta ronta berusaha melepaskan diri namun kak faisal bukannya berhenti malah makin menjadi jadi menggelitikku.
“nggak ada ampun ampun.. Rasakan.. Dasar tukang ganggu.. Nih rasakan..!” kak faisal menduduki pantatku, sementara tangannya terus menggelitik pinggangku kuat kuat.
“kak… Aaaaaaaampun…hahaha… Geli… Henti..kanhh.. Ha..ha.. Ampuuun…”
“nggak bisa..!! Hahaha… Rasakan.. Biar jera..”
“sumpah.. Aku gak bakalan ganggu laagihh.. Haha.. Sudah kaaak.. Hahaha hentikaanhhh…” Nafasku tersengal sengal, aku tak tahan lagi, kalau diteruskan aku bisa kencing beneran..
“kak.. Sudah.. Aku mau kencing…” kak faisal tak perduli, makin menjadi jadi menggelitikku. Aku pura pura pingsan supaya kak faisal berhenti, aku sengaja tak bersuara lagi dan memejamkan mata, namun kak faisal tak percaya begitu saja, ia menyolok ketiakku dengan jarinya. Aku kembali menjerit karena kaget. Kukerahkan seluruh tenagaku untuk melepaskan diri, akhirnya berhasil, kak faisal terbaring saat aku berbalik, tanpa mengatakan apa apa lagi kak faisal keluar dari kamar meninggalkan aku yang masih bengong. Aku turun dari tempat tidur, merapikan seprei dan bantal serta melipat selimut. Kemudian aku menarik handuk dari gantungan. Lalu masuk ke kamar mandi. Sekitar sepuluh menit aku mandi. Selesai berpakaian dan menyisir rambut, aku bermaksud keluar kamar, sudah jam tujuh kurang duapuluh menit. Baru saja aku mau menuju pintu, terdengar bunyi pintu kamarku diketok dari luar. Aku membuka pintu, mama berdiri didepan pintu kamarku sambil senyum.
“udah mandi sayang..? Sarapan dulu yuk.. Hari ini kita ke sekolah kak faisal, mama mau mendaftarkan kamu..” aku keluar kamar mengikuti mama kedapur.
“hari ini daftarnya ma? Jadi rio satu sekolah sama kak faisal?” aku bertanya penasaran.
“iya sayang.. Semula mama mau memasukkan kamu ke sekolah swasta, tapi fai menyuruh mama daftarin kamu ke sekolahnya..” jelas mama sambil terus berjalan. Aku mengangguk. Diruang makan, papa, kak faisal, tante laras dan om sebastian telah duduk sambil sarapan dimeja makan.
“wah udah mandi rio…?” ujar om sebastian begitu ia melihatku.
“udah om..” jawabku sambil menarik kursi yang ada disampingnya.
“jadi ma daftarin rio hari ini.?” tanya papa sambil mengambil sepotong udang goreng.
“jadi pa.. Mama hari ini kekantor agak siangan dikit, selesai urusan sekolah rio, baru kekantor..”. jawab mama yang sedang mengolesi roti dengan mentega. Aku melirik kak faisal, namun ia tak melihatku sedikitpun, sibuk dengan makanan di piringnya. Sambil menunduk.aku membalikan piring didepanku, mengambil nasi goreng sedikit.
“makan yang banyak..! Gimana mau sehat kalau cuma segitu…badan udah kerempeng kayak gitu” tegur tante laras tajam. Aku melirik tante laras dan mengangguk. Kemudian menambahkan nasi goreng satu senduk lagi. Aku tak banyak bicara hanya diam mendengarkan mereka ngobrol. Kak faisal menyudahi sarapannya, buru buru pamit mencium tangan mama dan papa serta tante laras. Kulihat tante laras memberikan selembar uang sepuluh ribu pada kak faisal. Setelah berterimakasih, kak faisal langsung meninggalkan ruang makan.
“dek laras hari ini rencananya mau jalan kemana?” tanya mama yang juga telah selesai sarapannya. Kemudian mencomot pisang goreng dari atas piring.
“paling mau ke IP aja kak, sekalian mau cari cari baju pesanan ratna, dia mau ultah seminggu lagi..” jawab tante laras sambil mengambil pisang goreng juga, ia menyebutkan ratna, siapa ratna, apakah itu anaknya, kenapa tak ikut kemari?
“nanti kalau mama udah selesai mendaftarkan rio, temani aja laras ma..” papa menyambung sambil mengunyah pisang goreng.
“iya pa, mama juga mau sekalian cari perlengkapan untuk rio, soalnya kemarin kemarin belum sempat beli, papa jadi ke pontianak lusa?” aku menggeser piring kosong bekas aku makan pelan pelan agak kedepan. Kemudian minum segelas air putih, setelah itu mengambil sepotong pisang goreng. aku permisi meninggalkan meja makan karena mau ke depan, mereka mengangguk, ku bawa kopi susu dan sepotong pisang goreng ke teras, aku duduk sambil melihat lihat kendaraan yang lalu lalang dijalan.
“kemana semalam om cari kok nggak ada?” suara om sebastian dibelakangku. Aku menoleh dan menjawab.
“diajak kak faisal kerumah temannya om.” om sebastian duduk dikursi yang ada disampingku.
“sebenarnya om mau mengajak jalan jalan juga, tapi kalau udah sama kak faisal ya lebih bagus, ramah teman teman faisal?”
“mereka ramah dan pada asik asik semua om.. Rio langsung akrab sama mereka.. Oh ya om, nggak kerja ya?” tanyaku ingin tahu karena om sebastian tak memakai seragamnya.
“kerja, sebentar lagi lah..soalnya hari ini mau persiapan mau ke muara enim..”
“jauh ya om?”
“nggak begitu…”
“berapa lama..?”
“paling seminggu..” jawab om sebastian sambil mengangkat gelas kopi susuku dan meminumnya sedikit.
“om mau ganti baju dulu..” kata om sebastian sambil berdiri, kemudian masuk kedalam rumah. Aku menghabiskan kopi susu kemudian masuk kedalam juga. Mama lagi berdiri sama papa diruang tamu, kelihatannya papa sudah mau berangkat ke kantor.
“rio ganti baju, kita pergi sebentar lagi..” kata mama saat melihatku.
“iya ma..”
“papa berangkat dulu ya ma..” ujar papa sambil mengambil tas kerjanya dari tangan mama.
“hati hati dijalan pa, nanti mama telpon kalau semua sudah selesai..” papa mengangguk dan berjalan kedepan diantar mama. Aku ke dapur menaruh gelas ditempat pencucian piring kemudian langsung ke kamar berganti pakaian. Aku memilih celana jeans hitam dan baju kemeja garis garis hitam, baju yang masih bau toko, ku lepaskan label harganya. Aku berdecak melihat harga yang tertulis di label itu, setara dengan untung jualan kue emak selama satu minggu lebih. Setelah selesai aku keluar kamar. Ya ampun ada tante laras, baru saja aku mau menghindar tiba tiba ia memanggilku.
“rio, sini…!” aku mendekati tante laras dengan gelisah.
“iya tante…ada apa..?” tante laras langsung berjongkok didepanku, tangannya langsung bergerak merapikan bajuku.
“seharusnya kemeja ini dimasukkan dalam celana biar kelihatan rapi..!” dengan cekatan tangannya membuka ikat pinggangku, menurunkan celanaku sedikit lalu memasukan bagian bawah baju kemejaku dalam celana. Setelah mengancingkan lagi celana dan memasang ikat pinggangku. Tante laras berdiri.
“sudah rapi.. Rambut itu disisir kesamping, terus pake bedak biar kelihatan segar.. Sini tante urus..! Udah gede tapi nggak tau berpakaian yang baik!” ujar tante laras tak sabar menarikku kembali ke kamarku, kemudian ia meminyaki rambutku dan menyisirnya belah pinggir. Setelah itu ia membedaki mukaku hingga rata.
“nah.. Gitu kan lebih ganteng.. Siapa yang menyangka kamu dari kampung.!” suaranya terdengar penuh kepuasan. Aku memandangi bayanganku didalam cermin, aku melihat seolah bukan aku yang berdiri didepannya, seorang anak yang beda, bukan rio yang selama ini aku lihat dalam cermin. Anak dalam cermin itu begitu rapi, memakai pakaian bagus dan mahal, mengenakan arloji yang bermerek, memakai sepatu kets baru, tubuhnya pun lebih berisi, rambut tak acak acakan lagi, aku serasa asing dengan bayanganku sendiri. Begitu cepatkah aku berubah, aku pandangi lebih lekat bayanganku. Memang tak ada kemiripan sedikitpun aku dengan emak, yuk tina maupun yuk yanti. Mataku sedikit tajam dengan alis tebal, wajahku berbentuk persegi dan tegas, sekilas aku lebih mirip mama, terutama hidungku. Apakah begini wajah papa kandungku, apakah aku lebih mirip ayah kandungku. Dimana dia sekarang? Apakah saat ini dia sudah menikah lagi, apakah dia sudah punya anak, ingatkah dia padaku. Ingin rasanya aku menangis membayangkan itu, aku bahkan belum pernah sekalipun melihat wajah ayah kandungku yang menyebabkan aku terlahir didunia ini, memberikan nyawa padaku namun langsung meninggalkan aku hingga aku banyak menelan kepahitan gara gara itu.
“hei ..kok malah bengong..!” suara tante laras menyadarkan aku dari lamunan tentang ayah.
“wah anak mama betul betul ganteng… Mama jadi pangling nih…” entah sejak kapan mama telah masuk dalam kamarku. Tante laras tersenyum simpul puas. tante laras keluar dari kamarku tanpa mengatakan apa apa lagi. Mama menghampiriku.
“rio anak mama nggak nyangka bakalan ganteng begini…” aku tersenyum mendengar pujian mama, aku merasa jadi percaya diri, tadi aku agak kurang nyaman karena terlalu rapi, tapi kata kata mama tadi cukup menghiburku.
“ma jam berapa kita ke sekolah bang fai, rio jadi deg degan bakal sekolah lagi..” aku mengutarakan kekuatiranku pada mama.
“jam sembilan, tadi mama udah telpon kepala sekolahnya, kebetulan masih teman mama juga, sebentar ya tunggu mama ganti pakaian dulu..” aku menganggukan kepala. Mama keluar dari kamarku. Sepeninggal mama, aku membuka lemari, mengambil kunci laci dari bawah lemari, kemudian mengeluarkan foto emak. Aku pandangi dalam dalam foto emak, ku usap dengan jariku, betapa aku rindu sekali sama emak.
“sabar ya mak.. Rio pasti akan kembali, rio berjanji akan membahagiakan emak…” aku berbisik pada foto emak, lalu aku cium, mataku jadi berkaca kaca, agak sedih juga rasanya. Tak terasa dua minggu sudah aku melalui hari hari tanpa emak. Aku akan berusaha agar aku berhasil, aku akan kembali menemui emak, walaupun saat ini aku sudah terpisah jauh, namun aku tak akan bisa melupakan emak begitu saja. Kutaruh kembali foto itu dalam laci dengan hati hati, aku kunci, lalu kuncinya aku sembunyikan lagi dibawah lemari.
**********


“jadi kapan rio bisa mulai bersekolah disini…?” tanya mama pada kepala sekolah.
Aku duduk bersama mama dikantor kepala sekolah sma 3, ruangan yang rapi, ada beberapa piala dalam lemari kaca, bu amperawati Sang kepala sekolah, usia paruh baya, mengenakan atasan blouse ditutupi blazer hitam, dengan rok sempit bawah lutut warna senada blazer, dengan sedikit belahan dibagian belakang. Rambutnya digelung rapi, wajahnya memancarkan kharisma. Sorot matanya tajam dan tegas dari balik kacamata berbingkai gading warna cokelat tua, Tersenyum pada mama.
“senin depan sudah bisa masuk ke kelas, kenapa nggak daftar dari sebelum ajaran dimulai?” tanya bu amperawati dengan suaranya yang terdengar merdu, tak sesuai dengan penampilannya yang terkesan kaku.
“anakku baru pindah dari bangka, ia butuh untuk menyesuaikan diri dulu dengan lingkungan barunya, saya takut kalau langsung masuk sekolah malah ia jadi stress..” jawab mama.
“baiklah saya mengerti, nanti saya atur akan ditempatkan dikelas yang mana, soalnya saya juga masih harus memeriksa dulu ketersediaan bangku untuk rio..”
“tapi rio bisa kan bersekolah disini..?” tanya mama agak cemas.
“nanti bisa saya atur, tentu saja bisa bu harlan…cuma masih mau menentukan dulu apakah ditempatkan eh kelas satu yang mana..!” tegas bu amperawati.
“kalau begitu terimakasih banyak untuk pertolongannya bu, saya pamit dulu..” kata mama sambil berdiri dan menyalami bu amperawati.
“sama sama.. Nanti saya telpon secepatnya bu harlan..” aku berdiri menyalami bu amperawati, kemudian mengikuti mama berjalan menuju pintu keluar. Bu amperawati mengantar sampai depan pintu kantornya. Suasana sekolah ini cukup menyenangkan. Lumayan teduh dan bagus, banyak sekali ruangan kelas disini, namun agak sunyi karena murid murid sedang belajar dikelas masing masing. Terdengar suara beberapa orang guru dari dalam kelas sedang mengajar. Aku melirik lewat pintu pintu eh sepanjang koridor sekolah, siapa tahu aku melihat kak faisal. Seorang guru yang masih muda memakai jilbab warna ungu muda berjalan didepan kami, ia tersenyum sama mama. Mama membalas senyumnya. Aku dan mama berjalan hingga ke mobil, suasana yang gerah langsung tergantikan dengan kesejukan saat aku masuk dalam mobil. Mang tono langsung menjalankan mobil membawa kami keluar dari gerbang sekolah ini. Sekolah yang terletak dijalan sudirman kota palembang, jalan utama yang lumayan banyak dilalui kendaraan roda dua hingga roda empat. Aku memperhatikan ruko ruko yang berjejer sepanjang jalan raya. Dulu aku pikir kota palembang itu seperti jakarta. Tapi setelah melihat sendiri suasananya, sangat semrawut, panas, dan berdebu. Mobil mobil angkot beda dengan yang ada di bangka. Mobil angkot disini sedikit lebih besar. Agak mirip dengan mobil kijang tapi warnanya lebih kusam.
“kemana dulu bu?” tanya mang tono sambil menoleh sebentar ke belakang melihat mama.
“pulang dulu sebentar menjemput laras, habis itu kita ke IP..!” jawab mama singkat. Mang tono mengangguk sambil terus menyetir Hingga sampai dirumah. Aku turun dari mobil bersama mama. Tante laras sudah menunggu depan teras. Ia membawa tas tangan warna hijau pupus berukuran sebesar buku akutansi. Senada dengan warna gaun yang ia pakai. Wajah tante laras oval, hidungnya tak begitu mancung, namun ia pandai merias wajah hingga terlihat begitu cantik. Walaupun dua tahun lebih muda dari mama, tapi tante laras kelihatan jauh lebih muda dari usia sebenarnya.
“sudah beres kak urusannya?” tanya tante laras menghampiri aku dan mama.
“sudah dik laras, ayo kita langsung ke IP sekarang, mumpung belum terlalu siang..” ajak mama.
“ma aku dirumah aja ya…” kataku pelan pelan pada mama, soalnya tante laras ikut, aku bisa membayangkan betapa tak enaknya suasana nanti, bisa bisa sepanjang toko aku cuma membisu sambil menjaga sikap.
“loh, kenapa nggak mau ikut.. Kan mama mau beli perlengkapan sekolah kamu, nanti kalau sepatu sama tasnya nggak cocok dengan selera kamu gimana?” tanya mama bingung.
“sudahlah kak, aku bisa bantu pilih yang bagus, mungkin rio capek mau istirahat..” ujar tante laras dari dalam mobil.
“terserahlah kalau gitu.. Mama pergi dulu ya..”.
aku masuk ke dalam rumah setengah berlari menghindari sengatan panas matahari. Cuma ada bik tin dirumah sedang mengelap keramik dan guci guci cina koleksi mama. Aku langsung ke dapur mencari minuman dingin dalam kulkas, untung saja ada jus buah siap minum dalam kemasan kotak. Langsung aku minum hingga tetes terakhir. Segar sekali rasanya, sepi sekali disini, aku sudah tak sabar lagi bersekolah, jadi tak perlu selalu dirumah terus tanpa ada kegiatan. Aku nyalakan televisi diruang tengah, ada koleksi film film laser disc terbaru, beberapa diantaranya film yang dulu aku betul betul ingin sekali menontonnya. Return to the blue lagoon. Aku bingung bagaimana cara mengoperasikan laser disc ini. Terpaksa aku urungkan niat menontonnya walaupun sangat penasaran. Akhirnya aku cuma duduk duduk didepan kolam sambil memandangi ikan ikan yang berenang.
Aku jadi kepikiran sama emak, apa kabar emak dibangka, apakah emak sehat sehat saja, yuk tina dan yuk yanti saat ini pasti sedang sekolah, biasanya jam segini, emak sedang masak untuk makan siang. Semoga saja kue kue jualan emak selalu habis terjual. Soalnya hanya dari situ emak mengandalkan untuk membuat dapur tetap mengepulkan asap. Entah berapa lama aku merenung. hingga terdengar suara Mobil memasuki pekarangan rumah, kok cepat sekali mama pulang. Mama dan tante laras turun dari mobil. Aku segera berdiri menghampiri mereka.
“loh.. Kenapa duduk sendirian disitu nak?” tanya mama agak heran.
“nggak tau mau ngapain ma, bingung jadi aku duduk disini.. Sini rio bawain” jawabku sambil mengambil bungkusan dari tangan mama, kasihan mama begitu kerepotan membawanya.
“terima kasih sayang..” mama tersenyum senang. Sementara tante laras yang juga menjinjing bungkusan tak kalah banyak dari mama sudah masuk duluan kedalam rumah.
“beli apa aja sih ma..?” tanyaku sambil melangkah di anak tangga satu persatu.
“banyak…, baju sekolah kamu, sepatu, tas, buku buku tulis, ikat pinggang, dasi, sama topi.. Kita buka didalam rumah aja..” jawab mama sambil menghapus keringat yang mengalir lewat pipinya. Diruang tamu mama langsung menghenyakkan tubuhnya diatas kursi. Bik tin langsung datang mengantarkan minuman dingin.
“makasih bik..” mama mengambil segelas sirup jeruk lalu meminumnya.
“tuh buka aja, bungkusan putih itu semua punya kamu… Coba kamu pakai dulu, siapa tau nggak muat..” mama menunjuk pada kantong plastik yang berjejer diatas meja. Aku langsung membukanya tanpa diperintah dua kali. Satu setel seragam putih abu abu dan dua pasang sepatu hitam yang masih bau toko, beberapa ikat pinggang dan juga tas model ransel yang terbuat dari kulit berwarna hitam. Sungguh bagus sekali. Dengan tak sabar aku bawa semua kekamar. Aku langsung memakainya. Begitu pas. Sepatunya pun sangat bagus sekali, yang satu sepatu model sport dan yang satunya lagi sepatu pantofel. Ternyata selera tante laras betul betul bagus. Aku sangat menyukai tas dan sepatu yang ia pilih. Ada juga jam tangan baru. Aku jadi semakin tak sabar untuk bersekolah.
“gimana.. Kamu suka...?” suara tante laras dari pintu kamarku. Aku tersipu malu.
“suka banget tante.. Betul betul bagus.. Makasih tante..” ucapku dengan tulus.
“syukurlah kalau kamu suka, berterima kasih itu bukan sama tante.. Tapi sama mama kamu.. Ia yang membayar semua itu, tante cuma memilih yang bagus saja..” kata tante laras sambil berbalik keluar kamar. Aku melepaskan semua seragam dan sepatu kemudian memakai kembali bajuku tadi. Aku menemui mama, tapi sudah tak ada diruang tamu.
“cari mama ya? Ia sudah pergi, katanya ke kantor…” kata tante laras tanpa aku tanya.
“mama udah ke kantor.. Apa mama nggak capek tante..?” aku hampir tak percaya, soalnya dari tadi mama tak ada istirahat. Habis mendaftarkan aku ke smu, mama langsung menemani tante laras, sekarang malah langsung ke kantor.
“nggak tau.. Begitulah kalau orangtua terhadap anak.. Capek tak pernah dirasa rasakan yang penting anaknya senang..!” jawab tante laras sambil duduk didepan televisi. Aku menyadari apa yang dikatakan tante laras tadi memang benar.
“faisal belum pulang?” tanya tante laras.
“belum tante, mungkin sebentar lagi..”
“ya sudah.. Tante mau menonton kassandra dulu, kamu jangan berisik.” tante laras memencet remote kontrol mencari cari saluran yang menayangkan film telenovela amerika latin. Aku meninggalkan tante laras sendirian dengan keasyikannya menonton opera sabun amerika latin itu. Pas aku keruang tamu Kak faisal sedang berjalan menaiki tangga teras hampir sampai depan pintu ruang tamu, aku kok nggak mendengar suara motornya. Baru saja aku mau menyapa kak faisal tiba tiba ia berbalik kembali seperti terlupa sesuatu. Kak faisal melemparkan tas nya begitu saja diatas kursi teras, kembali kemotornya lalu menghidupkan motornya dan keluar dari pagar dengan sedikit ngebut.
Aku menggelengkan kepala melihat tingkah kak faisal yang sudah mirip kayak berandalan itu. Entah mau kemana lagi dia, nggak ganti baju, nggak makan dulu malah langsung ngacir lagi. Bahkan ia tak menyapa aku walaupun cuma sebentar. Bete sekali rasanya padahal aku baru saja mau mengajak kak faisal makan siang sama sama. Aku sengaja tak makan dulu karena ingin makan bersamanya. Aku ambil tas sekolah kak faisal dari atas kursi teras kemudian aku masuk kedalam mau menaruh tas ini dalam kamarnya. Aku belum pernah sekalipun melihat kamar kak faisal, apalagi masuk ke dalamnya. Dengan pelan aku buka pintu kamarnya. Yang aku lihat pertama kali adalah poster poster yang menempel didinding kamarnya. Bermacam macam gambar. aku langsung masuk ke kamar kak faisal dan meletakkan tasnya diatas meja belajar, kamar kak faisal tidak jauh berbeda dengan kamar ku, cuma didalam kamarnya ada beberapa buah gitar tergantung didinding, poster poster dari penyanyi rock luar negeri dan juga miniatur pesawat. diatas tempat tidurnya ada sebuah boneka beruang berwarna coklat berukuran sebesar bantal lantai, aku tak menyangka dibalik kebandelannya itu kak faisal juga punya boneka. aku tergelitik untuk memeriksa meja belajarnya, mencari tahu siapa tahu kak faisal ada menyimpan foto cewek. tapi setelah beberapa lama aku mencari tak juga aku menemukan foto yang aku cari itu. aku tak percaya kalau kak faisal tak punya pacar, masa sih seganteng itu tak punya cewek? aku jadi penasaran. tiba tiba terdengar suara motor kak faisal dari halaman, buru buru aku keluar sebelum ia tahu aku telah membongkar barang barangnya. aku keluar seperti tak terjadi apa-apa.

aku lihat tante laras masih asik menonton, aku berpapasan dengan kak faisal tepat di pintu antara ruang tamu dan ruang keluarga.
“dari mana kak?” tanyaku dengan wajar. Kak faisal sedikit kaget, namun ia langsung tersenyum tipis.
“ngambil walkman ketinggalan dirumah teman..”
“oh gitu, kak makan siang dulu yuk..” ajakku karena memang perutku sudah terasa lapar.
“makan aja dulu, tadi kakak udah makan dikantin, masih kenyang…”
“kakak mau kemana?”
“nggak kemana mana, ngantuk… Mau tidur!”
“yaaa… Padahal aku mau ngajak kakak main sega..”
“nantilah.. Kapan kapan aja, sori ya kakak mau kekamar dulu, mau istirahat.” kak faisal langsung berlalu pergi ke kamarnya meninggalkan aku yang bengong melihatnya. Sebetulnya aku agak kecewa sih, menunggu kak faisal pulang sudah dari tadi, giliran udah ada, eh.. Malah dia nggak mau malah capek. Akhirnya aku makan siang sendirian. Habis makan, aku ke kamar main sega sendirian. Hingga jam setengah empat karena udah pegal pegal duduk dilantai, aku berhenti, kemudian keluar kamar, siapa tau kak faisal udah bangun. Tapi keadaan rumah begitu sepi. Kak faisal masih dikamarnya, mungkin masih tidur. Tante laras juga nggak ada, entah tidur atau jalan jalan aku tak tau. Mama sama papa belum pulang, cuma bik tin yang sedang menggosok baju dibelakang.
Aku keruang tamu, duduk sambil membaca komik donal bebek. Aku jadi ingat dengan koleksi komikku dirumah emak, tak aku bawa.. Dulu emak membelinya di toko, bukan toko buku tapi toko kelontong, majalah majalah bekas yang sebetulnya mau dipakai untuk pembungkus bumbu, tapi saat melihatnya emak langsung borong dengan harga super murah, karena emak ingat kalau aku paling suka membaca. Dulu majalah majalah dan komik itu aku jaga dan simpan dengan hati hati. Aku sangat menghargai hadiah dari emak yang bagiku begitu berarti, tak ada anggaran untuk majalah, tapi emak bisa menemukan cara lain agar aku tetap bisa membaca serta memiliki majalah itu. Kini dirumah ini aku bisa membeli majalah apapun yang aku mau. Berbagai macam majalah berlangganan selalu diantar oleh tukang koran. Ada majalah kartini dan femina untuk mama, majalah hai dan aneka untuk kak faisal serta majalah donal bebek dan ananda untuk aku, ditambah koran papa semua rutin datang diantar kerumah ini. Kalau aku mau beli komik yang lain tinggal bilang aja sama mama ia langsung menyuruh mang tono untuk belikan ke gramedia. Meskipun demikian entah kenapa aku merasa lebih nyaman dengan kehidupanku yang dulu, aku lebih merasakan kehangatan keluarga dirumahku dulu, dimana emak selalu berada dirumah, aku tak pernah sendirian, kami selalu bersama sama. Aku kangen sekali berkeliling menjual kue, aku kangen membungkus kue ketan, aku kangen mengantar kue ke warung warung. Aku kangen dengan erwan yang lucu, rian yang pendiam tapi baik, dengan angga yang lebay, dengan si merah kucingku. Aku kangen dengan jalan yang biasa aku lalui dikampung. Aku kangen dengan kasurku yang sudah kempes, dengan bantal bantalku yang apak.
Andaikan waktu bisa diulang kembali yang aku inginkan hanyalah aku terlahir dari rahim emak. Kenapa hidup ini penuh dengan rahasia, kejutan serta masalah. Andaikan aku bisa meminta pada tuhan, yang aku mau adalah kembali menikmati kebersamaan dengan emak. Aku sedih membayangkan puasa yang tak lama lagi akan datang, yang biasanya selalu bersama emak dan ayuk ayukku. Nuansa kental bulan ramadhan dirumahku dulu yang betul betul tak bisa aku lupakan. Kulemparkan majalah donalbebek kebawah meja, kemudian aku ke teras, sudah sore sekarang. Langit sudah teduh. Aku memandangi jalanan dari teras, motor dan mobil yang hilir mudik begitu banyak dijalan raya. Sungguh tak enak melihatnya. Berisik dan bikin bosan. Akhirnya aku kembali ke dalam. Aku ke dapur mencari makanan dalam kulkas, ada kue lapis susu yang dingin dalam kemasan kotak. Aku potong pakai pisau lalu aku makan Ternyata enak sekali.
“makan apa rio?” suara tante laras mengagetkan aku hingga kue yang sedang aku kunyah langsung tertelan hingga aku tersedak. Melihatku batuk batuk Tante langsung mengambil minuman dalam kulkas lalu memberikan padaku. Cepat cepat aku minum, saluran hidungku agak pedih karena ada sesuatu yang mengganjal, mungkin remah kue yang menyangkut waktu aku batuk tadi.
“udah mendingan?” tanya tante laras, aku mengangguk.
“makanya kalau mau makan itu bawa ke meja, jangan kayak gini, pintu kulkas dibiarkan terbuka, malah makan depan kulkas sambil berdiri… Itu kebiasaan buruk!” suara tante laras tajam. Aku tertunduk malu.
“lanjutkan lagi makannya… Tante cuma mau mengambil minuman..!” tante laras mengambil satu kaleng minuman bersoda, lalu meninggalkan aku yang masih berdiri depan kulkas. Hilang sudah nafsuku makan kue itu. Kututup pintu kulkas kemudian aku duduk dikursi makan. Aku cuma terdiam memandangi seisi ruang makan. Alangkah tak enaknya tinggal dikeluarga baru, segala sesuatu masih serba canggung. Tak seperti dirumah sendiri, aku bebas tanpa ada rasa sungkan. Disini aku merasa seolah olah melakukan ini salah itu salah. Makan pun aku kadang malu meski mama selalu menyuruh aku mengambil apapun yang mau aku makan yang aku mau minum tanpa sungkan atau meminta izin terlebih dahulu. Apalagi dengan kehadiran tante laras membuat aku merasa bagaikan sedang mencuri dalam rumah sendiri. Meskipun tante tak mengatakan itu, entah kenapa aku merasa seolah ia selalu mengawasi segala tindak tandukku. Itu membuat aku tak nyaman.
“hei.. Lagi mikirin apa? Melamun kayak kakek kakek gitu!.”
aku menoleh ke pintu, rupanya om sebastian yang baru masuk ke dapur, masih mengenakan seragam polisi lengkap dengan topinya. Bajunya yang ketat pas menutupi tubuhnya yang tegap. Begitu gagahnya dia. Aku jadi kepingin jadi polisi nanti, aku ingin seperti om sebastian yang kelihatan sangat berwibawa. Om sebastian menghampiriku, menarik kursi lalu duduk disampingku.
“lagi mikirin apa sih kok asik bener ngelamunnya?” om sebastian mengulangi lagi pertanyaanya. Aku nyengir sedikit malu.
“nggak om, siapa juga yang melamun..”
“pasti lagi mikirin pacarnya ya?”
“enggak… Enggak kok.. Mana punya om..” aku mengelak, wajahku memerah. Om sebastian tertawa terbahak bahak melihat reaksiku.
“kok segitunya… Kalo bukan mikirin pacarnya terus mikirin apa?” aku terdiam memikirkan jawabannya. Soalnya tak mungkin aku jujur mengatakan apa yang aku pikirkan tadi.
“lagi nungguin mama pulang om..”
“kok nunggunya disini, emangnya kak faisal mana?”
“kak faisal dikamar, mungkin masih tidur.”
“om kira kamu lagi jalan sama dia..”
“tadinya sih maunya gitu, tapi kak faisal kecapekan om, jadi ia mau istirahat..”
“om mau jalan ntar malam, mau ikut nggak?”
“kemana om?”
“ada aja…”
“kok pake rahasia segala?”
“mau ikut nggak?”
“gimana ya?” aku pura pura berpikir, om sebastian mengerutkan keningnya menunggu jawabanku.
“oke deh.. Jam berapa?”
“jam setengah delapan, kalo gitu om mau makan dulu, kamu mandi gih! Bau..” om sebastian menutup hidungnya seolah olah mencium bau tak sedap. Aku cemberut pura pura merajuk. Om sebastian tertawa lagi.
“rio mandi dulu kalo gitu..!” kataku sambil mencubit om sebastian lalu berlari meninggalkannya cepat cepat sebelum ia sempat membalas.
‘BRUUUK..’
‘PRAAAAAANG……!’
Aku terduduk dilantai. Serpihan pecahan kaca kecil kecil berserakan dilantai, aku mendongak menatap tante laras yang limbung sambil memegangi perutnya. Wajah tante laras membeku. Tanpa aku duga duga ia menarik tanganku dengan paksa hingga aku berdiri lalu.
‘PLAAK.. PLAAK..’
Pipiku langsung terasa panas kena tamparannya dua kali.
“dasar anak tak tahu adat! Anak sialan..!” maki tante laras kurang puas dan menamparku lagi dengan lebih keras. Tubuhku gemetaran menahan takut, aku tak berani menatap tante laras. Sakit bekas tamparannya tak sesakit hatiku saat ini.
“memang anak kampung tak punya sopan santun, siapa suruh kamu lari lari dalam rumah hah? Apa kamu pikir bisa mengganti kristal itu..?” tante laras merenggut bajuku dengan kasar.
“kakak apa apaan?” om sebastian muncul diambang pintu dapur terlihat kaget. Kemudian langsung menarikku dan melindungiku. Seperti tersadar tante laras melepaskan aku. Aku sembunyi dan mematung dibelakang punggung om sebastian dengan tubuh gemetaran.
“kakak..! Rio ini anak kak mega, kenapa kakak perlakukan ia seperti itu?” teriak om sebastian dengan marah.
“ia menabrakku dan membuat piring kristal yang aku beli tadi pagi pecah..!” suara tante laras penuh emosi.
“bukan berarti kakak boleh menampar dan memarahinya dengan semena mena… Ingat kak! Kakak itu cuma menumpang disini..tau diri sedikit kak!” om sebastian membelaku. Aku terdiam tak bisa berpikir lagi, hanya air mataku serta rasa panas yang masih membekas dipipi yang aku rasakan saat ini, belum lagi rasa malu dan sedih, seumur hidupku baru sekali ini aku ditampar. Dan yang lebih menyakitkan lagi yang menamparku itu adalah orang asing.
“kenapa ribut ribut?” aku melihat ke belakang tante laras, mama memandangi kami dengan heran, lalu ia melihat ke lantai dimana pecahan piring kristal tante laras berserakan.
“loh ini kenapa?” tante laras tak menjawab, ia terdiam. Aku menunduk sementara air mataku terus mengalir tanpa dapat ditahan. Tubuhku masih gemetaran. Om sebastian juga diam seperti bingung harus mengatakan apa. Kak faisal berdiri di tengah pintu dengan wajah yang sembab habis bangun tidur, ia menggaruk garuk kepalanya.
“ribut ribut apaan sih?” tanya kak faisal seperti orang kebingungan.
“rio.. Kenapa kamu menangis?” tanya mama sambil menghampiriku. Aku mundur beberapa langkah menghindari mama.
“kenapa sih ini, kok jadi aneh semua?” mama mengulangi pertanyaanya kembali.
“dek laras apa yang pecah ini?” mama berjongkok memunguti pecahan kaca dan memandanginya.
“bukannya ini piring kristal yang kita beli tadi ya, kenapa jadi pecah begini.?” mama bertanya pada tante laras. Bik tin masuk lewat pintu dapur, saat melihat lantai, ia berbalik kemudian kembali dengan membawa sapu dan kantong plastik. Kak faisal mendekati kami kemudian melihatku sekilas setelah itu melihat tante laras, kak faisal mengangguk angguk seolah mengerti apa yang terjadi.
“tadi rio berlari, aku sedang membersihkan piring ini, aku mau mengambil lap bersih, ia menabrakku hingga piring ini pecah..” akhirnya melontar juga kata kata dari mulut tante laras. Mama terdiam mendengar penjelasan tante laras, kemudian mama menoleh padaku.
“betul itu nak?” mama bertanya dengan lembut. Aku tak menjawab tak bisa berpikir atau mengelak, aku takut sekali mama marah dan memukuliku seperti yang tadi tante laras lakukan. Aku berlari meninggalkan mereka. Mama berteriak memanggil namun tak aku perdulikan. Aku keluar dari rumah ini dan berlari ke jalan raya. Aku berlari secepat kakiku bisa berlari, menghindari mereka sejauh mungkin. Aku tak mau lagi tinggal dirumah itu. Airmataku masih deras mengalir. Hatiku masih sakit oleh perlakuan tante laras. Aku tak perduli kalaupun nanti aku tersesat. Yang aku inginkan hanyalah pergi sejauh mungkin. Kenapa hanya karena tak sengaja menabrak tante laras ia tega menyakitiku. aku berlari tanpa menoleh lagi ke belakang, tak perduli kendaraan yang melaju kencang saat aku menyebrangi jalan, sebuah mobil langsung berhenti mendadak, kepala sopir melongok dari jendela sambil meneriakkan kata makian padaku namun tak aku indahkan, aku tiba tiba ada yang menangkapku, memeluk aku erat erat dari belakang, aku meronta ronta untuk melepaskan diri.
“adek kamu ini ngapain sih?” bentak kak faisal.
“lepaskan kak..”
“nggak akan dek, ini palembang kota yang rawan.. Adek jangan bertingkah semaunya…nanti yang ada adek malah mendapat kesulitan…!” kak faisal bicara dengan keras. Aku terdiam, tak melawan lagi, kak faisal mengendurkan pelukannya. Ia memegang tanganku lalu menuntun aku berjalan. Aku hanya pasrah mengikuti kak faisal, aku mengangkat bajuku menghapus airmata dipipi. Tak kuperdulikan tatapan mata orang orang di yang memandangku dengan rasa ingin tahu.
“kak aku tak mau tinggal dirumah lagi..” aku berusaha untuk menahan rasa sedih.
“kenapa ngomong itu lagi dek..?” tanya kak faisal pelan.
Aku tak betah kak.. Aku tak pantas.. Aku orang kampung..”
“adek, sabar dek, kakak yakin nanti adek akan terbiasa..” hibur kak faisal. Aku menggeleng sambil menunduk.
“dek, kita pulang ya..!” aku menggeleng. Kak faisal mendesah menarik nafas panjang.
“kalau nggak pulang kerumah lalu adek mau kemana?” aku diam kemudian menggelengkan kepala.
“tuh kan adek sendiri bingung mau kemana..” kak faisal mengajakku duduk dibawah pohon yang tumbuh dipinggir jalan. Aku berjongkok diatas trotoar.
“dek, tadi tante memukul adek ya?” aku diam tak menjawab, hanya tertunduk memandangi rumput yang tumbuh di sela trotoar.
“adek ngomong aja dek… Benar kan kamu dipukul tante laras?” aku mengangguk kecil. Kak faisal menghela nafas.
“sudah kuduga…!” kak faisal memungut kerikil kemudian melemparkan ke selokan.
“untung kakak langsung mengejar kamu, kalau tidak kakak tak tahu lagi harus bagaimana, kalau sampai ada apa apa sama kamu, tante laras bisa kena masalah..!” ujar kak faisal terdengar kesal.
“tante laras memang keterlaluan, kakak benar benar tak menyangka kalau ia sampai tega memukul adek..” kata kata kak faisal malah membuat aku jadi makin sedih.
Tiba tiba kak faisal merangkulku, ia mendekapku seolah olah melindungiku dari kesedihan.
“adek jangan sedih ya dek..kakak minta adek tetap tinggal disini bersama mama dan kakak, adek jangan meminta pulang lagi ya dek..” bisik kak faisal sambil mengusap pipiku yang masih basah.
“kak.. Aku takut..” ucapku dengan suara bergetar.
“takut dengan apa dek?”
“aku takut pulang.. Aku tak punya uang mengganti piring tante..”
“adek tak usah takut pokoknya masalah piring jangan dipikirkan, tante aja yang terlalu berlebihan, mama bisa ganti dek, mau satu toko juga mama beli, kakak yakin, yang penting sekarang kita pulang dulu ya dek..” kak faisal terus berusaha membujukku.
“aku tak mau menyusahkan mama kak…itu salahku, biar aku pinjam dulu sama mama nanti aku ganti..” kak faisal menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“kakak ada uang tabungan, pake punya kakak aja.. Nggak apa apa dek, yang penting sekarang kita pulang dulu ya..!”
“aku belum mau pulang kak..”
“nanti mama cemas.. Kasihan mama..”
“aku tak mau ketemu tante laras…” kak faisal terdiam mendengar kata kataku. Ia merenung sejenak seperti memikirkan sesuatu. Tiba tiba ia berdiri.
“tunggu sebentar dek, kakak mau kesitu dulu, ada telpon umum dirumah sakit itu, kakak mau menelpon rizal..” sebelum sempat aku bertanya kak faisal sudah keburu berjalan cepat menuju ke rumah sakit dan menyeberangi jalan. Aku duduk menunggu kak faisal, kulihat ia menuju telpon umum dan berbicara selama beberapa saat. Setelah itu ia kembali menghampiriku.
“kita tunggu rizal disini, sebentar lagi dia jemput adek bawa kerumahnya..” aku memandang kak faisal dengan heran.
“kakak nanti pulang kerumah dulu mengambil motor.. Nanti kakak langsung nyusul kerumah rizal..” aku mengangguk mengerti. Sekitar sepuluh menit kemudian rizal datang dengan mengendarai motor crystal. rizal turun menghampiri kami.
“jadi gimana?” tanya rizal pada kak faisal.
“kamu duluan bawa rio, sebentar lagi gue nyusul..”
“oke.. Yuk rio..” rizal memberi isyarat agar aku naik ke atas motornya.
“kak jangan lama ya..” aku berpesan pada kak rizal.
“tenang aja dek, kakak nggak bakalan lama kok, adek tunggu aja dirumah rizal, sekarang kakak pulang dulu ngambil motor..” ujar kak faisal sambil berjalan. Rizal menarik gas motor, sesaat kemudian kami berdua sudah meluncur dijalan raya. Aku memegang pinggang rizal karena anak satu ini naik motor kayak orang mau ngambil gaji. Tak sampai sepuluh menit kami sampai dirumahnya. Rumah rizal ternyata besar juga, ada dua mobil yang terparkir di garasinya. Halamannya cukup luas dan nyaman. Ada beberapa pohon cemara yang tumbuh dihalaman rumahnya. Hari sudah agak gelap menjelang magrib. Rizal membuka pintu dan mengajak aku masuk.
“santai aja rio, nggak ada siapa siapa dirumah, cuma adikku sama pembantu aja.. Papa sama mama lagi pergi kejakarta. Lusa baru pulang.” jelas rizal sambil terus berjalan. Aku mengikutinya dari belakang sambil melihat lihat isi rumahnya. Cukup rapi dan artistik, pastilah mama rizal orang yang suka kerapian, terlihat sekali semua tertata baik, taplak meja terpasang tanpa kerutan. Sarung bantal kursi terlihat padat. Lantainya mengkilat dan mebel dalam ruangan ini bergaya modern.
“ini kamar aku, kamu mau santai dikamar atau duduk diruang keluarga sambil nonton?” tanya rizal.
“dikamar aja..”
“oke.. Silahkan masuk..” rizal membuka pintu.
“santai aja dulu ya… Aku mau ke dapur dulu bikin minuman..” aku mengangguk sambil duduk dilantai, kamar rizal tak terlalu besar, kasur dilantai, ada stereo set dan televisi 17 inchi. Selebihnya cuma lemari dan meja belajar. Rizal meninggalkan aku sendirian dikamar. Aku membalik balik majalah otomotif melihat mobil mobil keluaran terbaru. Salah satu dalam gambar malah ada dirumahku. Suara penyiar radio terdengar sayup sayup lewat loudspeaker disudut ruangan. Sekitar sepuluh menit rizal kembali masuk ke dalam kamar dengan membawa tiga cangkir kopi panas dan kerupuk ikan.
“ini rio, daripada bengong.. Diminum.!” tawar rizal lalu meletakkan baki diatas meja belajarnya.
“makasih zal, nggak perlu repot repot gitu..”
“nggak repot kok, cuma kopi ini…”
“kak faisal kok belum datang ya?” tanyaku tak sabar.
“sebentar lagi juga pasti datang, mungkin masih dijalan.” rizal mematikan radio kemudian menyalakan televisi.
“kamu berapa bersaudara?” aku ingin tahu.
“empat, yang paling tua udah menikah tinggal di bandung ikut suami, yang nomor dua masih kuliah di gunadarma. Aku yang masih dirumah dan satu lagi adik perempuanku masih kelas satu sma..” jelas rizal sambil mengecilkan volume televisi.
“oh gitu ya..” aku mengangguk angguk tanda mengerti.
“kamu sendiri selama ini katanya di bangka, gimana rasanya begitu tau kalau kamu punya orangtua kandung yang lain?” rizal penasaran.
“terus terang kaget.. Tapi mau gimana lagi..”
“tapi kamu senang kan?”
“nggak tau lah.. Aku masih menyesuaikan diri..”
“tapi kamu cocok kan sama faisal..?”
“awalnya sih kak faisal kurang bisa menerima aku, tapi lama lama ia dekat juga..”
“faisal emang agak susah orangnya.. Tak gampang untuk bergaul, disekolah ia terkenal cuek, malah banyak yang penasaran sama dia, wajar aja rizal populer, cewek cewek banyak yang naksir,..” aku mencondongkan tubuh agak ke depan karena tertarik mendengar penjelasan rizal.
“terus.. Siapa pacarnya sekarang?” rizal mengangkat cangkir kopi, meniupnya sebentar lalu meminumnya sedikit.
“namanya amalia, anak kelas dua juga tapi beda kelas..” aku jadi penasaran dengan yang namanya amalia itu, secantik apa sih anaknya hingga bikin kak faisal naksir, padahal dari tadi siang aku cari cari foto ceweknya tapi nggak ada. Aku betul betul penasaran tak sabar sekolah agar bisa melihat cewek itu. Selama ini kak faisal belum pernah cerita tentang ceweknya itu. Ia juga nggak pernah kelihatan membawa cewek sekalipun kerumah. Kak faisal memang agak tertutup.
“eh itu suara motor faisal, sebentar aku kedepan dulu buka pintu..!” ujar rizal sambil berdiri dan keluar kamar dengan setengah berlari. Aku mengintip lewat jendela. Kak faisal menaruh motornya di garasi. Kemudian berjalan ke arah teras. Setelah itu tak kelihatan lagi, pasti ia sudah masuk ke dalam. Cepat cepat aku duduk kembali.
“jadi ortumu belum pulang?” suara kak faisal makin dekat.
“kayaknya sih lusa.” rizal menyibak tirai kamar lalu masuk ke dalam. Kak faisal tersenyum begitu melihatku.
“ini kakak bawain roti bakar…!” ia memberikan bungkusan plastik hitam, aku berdiri mengambilnya dari tangan kak faisal.
“gimana keadaan dirumah kak?” tanyaku sambil membuka simpul kantong plastik, aroma roti bakar yang harum bercampur mentega sangat membangkitkan selera.
“aduh dek.. Gawat.. Om sebastian berantem sama tante laras, om sebastian marah sekali waktu tau tante laras menampar adek.. Mama sih sebetulnya nggak suka waktu tau.. Tapi mama juga nggak enak kalo marah marah sama tante laras..soalnya tante laras kan selama ini kurang menyukai mama, baru dua tahun belakangan ini mereka rada akrab..” kak faisal menjelaskan panjang lebar. Aku termenung mendengarnya. Aku tak mau membuat mama dibenci tante laras.
“jadi gimana kak..?” kak faisal menarik nafas sebelum menjelaskan.
“tante laras berkurung dalam kamar, waktu kakak kesini, ia belum keluar, mama sepertinya betul betul tak suka dek.. Om sebastian nanyain adek, kakak bilang lagi disini.. Terus mama bilang adek jangan pulang terlalu malam..”
“aku mau pulang kalo tante udah tidur!”
“ya terserah adek.. Kakak sebetulnya ada janji jam delapan ini..”
“janji sama siapa?”
tanyaku dengan curiga.
“sama teman dek..”
“amalia ya?” aku langsung menyebutkan nama itu. Kak faisal terlihat kaget tak menyangka kalau aku tau tentang amalia, kemudian ia melihat rizal yang cengengesan kak faisal cemberut terlihat sebal.
“iya dek..!” entah kenapa mendengar kak faisal mau pergi dengan amalia, rasanya aku kesal sekali. Kak faisal kan seharusnya menemani aku yang lagi tertimpa masalah, ini dia enak enak saja bersenang senang dengan cewek sedangkan aku adiknya ia abaikan begitu saja disini.
“emangnya gak bisa besok ya kak?” aku agak kesal.
“nggak bisa dek, soalnya kakak udah janji dari kemarin malam, tapi batal gara gara pesta itu, kalau malam ini kakak batalin lagi bisa bisa gunung krakatau meletus lagi dek..!” aku bersungut sungut mendengar penjelasan kak faisal, aku tak perduli mau gunung krakatau meletus lagi biar sekalian laharnya menghanyutkan amalia jelek itu.
Eh aku kok jadi sewot gini? Kak faisal kan punya privasi sendiri, ia berhak untuk bersenang senang dengan siapapun juga yang ia suka Tapi kalau di pikir pikir aku kan baru jadi adik tirinya. Mengapa aku harus mengambil semua waktu kak faisal untuk aku. pasti kak faisal akan lebih banyak menghabiskan waktu dengan ceweknya itu. Aku akan lebih sering ia cuekin. Hilang semangatku sekarang.
“kakak mau pergi sekarang?”
“setengah jam lagi dek… Baru jam tujuh kok..” kak faisal mengambil sepotong roti bakar. Mengunyahnya dengan nikmat. Aku diam memandangi kak faisal yang sedang menikmati roti bakar, ingin rasanya aku membuang roti yang sedang aku pegang ini, selera makanku sudah menguap entah kemana. Jadilah setengah jam yang menjemukan itu aku hanya diam pura pura serius menonton televisi. Acara sepekan sinetron nasional yang ceritanya aku nggak mengerti sama sekali. Karena sebetulnya aku memasang kuping menyimak pembicaraan antara kak faisal dan rizal.
“dek, kakak pergi dulu ya, setengah sepuluh kakak kesini lagi jemput adek..” kak faisal pamit padaku.
“pergi aja..!” jawabku ketus tak menoleh pura pura serius menyimak sinetron.
“jaga adik gue ya zal.. Jangan elo perkosa…!” ujar kak faisal sambil bercanda pada rizal.
“ih apaan.. Emangnya gue pemakan sesama… Sori lah ya..” rizal menirukan gaya bences dengan sangat sempurna. Aku tak tertawa sedikitpun karena sedang kesal.
“dek, baik baik ya disini.. Jangan ngompol..!” aku cemberut dengan bibir mengerucut lancip bak ujung tombak. Kak faisal tertawa sambil keluar dari kamar.
Sepeninggal kak rizal aku jadi bete, betul betul bosan. Mana rizal sibuk membaca komik, sinetron ceritanya nggak jelas, sutradaranya terlalu sibuk menunjukkan kemahirannya mengolah gambar bukannya fokus pada cerita yang bagus. Walhasil jam jam yang aku lalui selanjutnya bagaikan merangkak dengan sangat lambat. Berkali kali aku mendengus kuat. Sesekali rizal mengalihkan tatapannya dari komik ke arahku. Aku pura pura tak melihat. Sudah lima potong roti panggang aku makan. Baru jam sembilan, kata kak faisal setengah sepuluh ia menjemputku itu artinya masih setengah jam lagi. Setengah jam paling lama yang pernah aku rasakan. Seolah olah jarum jam mengejekku dengan merayap begitu lamban.
“zal aku mau kencing..” ujarku pada rizal, karena memang aku mau kencing tak bisa lagi menahan. Rizal melemparkan komiknya kemudian berguling turun dari kasur.
“sini gue antar..” aku berdiri mengikuti rizal, kamar mandi dirumah rizal terletak di bagian dapur paling ujung. Aku masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci pintunya, rizal meninggalkan aku kembali kekamar. Setelah mengeluarkan semua urine yang menyesakkan kantung kencingku, aku menyiram wc hingga bersih kemudian keluar. Adik cewek rizal yang sedang menonton televisi diruang tengah menoleh saat melihat aku, ia nampak seperti orang serba salah buru buru melihat ke layar televisi lagi tanpa menegurku. Lumayan cantik, rambutnya panjang bergelombang, mengenakan setelan baju tidur dengan bawahan celana panjang. Aku mengangkat bahu sambil masuk kembali ke dalam kamar. Dasar cewek!.
Rizal tak lagi membaca komik, ia sedang memetik gitar dengan pelan, sepertinya anak satu ini punya ambisi menjadi musisi. Tapi aku berdoa jangan sampai ia bermimpi jadi vokalis, soalnya aku kasihan sama telinga pendengarnya, bisa bisa aus sebelum waktunya. Rizal melantunkan lagu yang aku sepertinya pernah mendengar, tapi tak jelas lagu apa karena suara rizal tak sejalan dengan petikan melodi gitar, ibarat suara gitar beradu dengan suara bebek kelaparan. Aku mengerutkan kening hampir stress, setelah betul betul menyimak baru aku sadar rupanya ia sedang menyanyikan lagu suci dalam debu. Ya ampun. Untung saja lagu itu tak sampai satu album ia nyanyikan, bisa bisa aku pulang dengan keadaan linglung.
“gimana.. Bagus nggak?” tanya rizal dengan pedenya.
“hmmm…bagus sih.. Tapi lebih bagus lagi kalo kamu baca komik aja deh..!” jawabku asal. Rizal mencibir sambil meletakkan gitarnya diatas kasur.
“kamu bisa maen gitar?” ia bertanya.
“nggak.. Sulit nggak maennya?”
“ya.. Kalo awal awalnya sih rada sulit, tapi kalo udah bisa dijamin ketagihan..” rizal sok tau.
“ajarin dong..”
“faisal kan bisa maen gitar, gitar listrik nya juga ada kok…” jelas rizal tanpa ditanya.
“susah kalo minta ajarin sama dia.. Nggak pernah ada dirumah… Kalo pun dirumah ya paling tidur..” jelasku apa adanya kemudian mengambil gitar dari atas kasur lalu menekan senar senarnya dengan jari kiriku membuat formasi kunci asal. Aku menggenjreng genjreng sesukaku. Rizal mendelik kaget seolah olah tak percaya.
“hei hei.. Hei.. Apa apaan ini.. Jangan membuat kehancuran blantika musik indonesia dengan cara sadis seperti itu dong!” protes rizal sambil merebut gitar dari tanganku. Kemudian ia mengelus elus gitar itu dengan ekspresi seolah olah gitar itu benda hidup dan aku baru saja menyakitinya tanpa perasaan. Aku sebal sekali melihatnya, dasar tak sadar diri, padahal ia yang memulai lebih dulu memporak porandakan musik seenaknya saja.
“musisi itu harus punya rasa seni yang tinggi, tak boleh bermain dengan emosi, karena apabila emosi yang mendominasi, tak akan bisa menghasilkan maha karya yang spektakuler..!” jelas rizal dengan gaya seolah olah ia adalah seorang musisi senior sekelas ebiet g ade. Aku menahan diri agar tak kelepasan mengatakan kalau rasa seninya juga berantakan.
“makanya ajari aku main gitar, jadi aku bisa menyalurkan rasa seni yang bergelora ini…!” aku ikut ikutan menggunakan kata kata yang najis itu.
“kamu nyanyi aja, gue yang mainin gitarnya.!” usul rizal lebih masuk akal.
“boleh, tapi aku nggak banyak hafal lagu…”
“hafal nggak lagu shela dari salim iklim nggak?” tanya rizal sambil menyetem senar gitarnya.
“kok lagu malaysia terus sih..!” protesku bosan.
“maunya lagu apa?”
“tuhan tolonglah.. Dari tito sumarsono.. Bisa nggak main kuncinya?”
“bisa.. Oke” rizal mulai memetik gitarnya. baru saja aku selesai bernyanyi, kak faisal datang. Rizal menaruh gitar lalu berdiri.
“tumben tepat waktu sal, si amalia udah kamu antar pulang ya?” tanya rizal.
“udah riz, sebenarnya ia masih mengajak jalan jalan, tapi aku tak bisa fokus karena mikirin rio…”
“rio aman aman saja kok disini, emangnya kenapa?” rizal penasaran, dia memang tak tau masalah yang baru aku alami. Aku tak cerita, begitu juga kak faisal.
“udah mau pulang sekarang?” kak faisal menoleh padaku.
“tante laras udah tidur belum, kalau masih ada tante aku nggak mau..!”
“biasanya udah..”
“terserah kakak lah..” aku berdiri menghampiri kak faisal.
“zal, kami pulang dulu ya..!”
“tumben pulang cepat sal, biasanya kan paling cepat jam duabelas kamu baru pulang.” ujar rizal entah serius atau menyindir.
“lagi ada urusan, besok besok aja pulang agak larut..makasih ya zal.. Yo dek!” kak faisal menoleh padaku. Aku berpamitan pada rizal tak lupa berterimakasih. Dingin sekali udara malam ini, ditambah lagi kak faisal membawa motornya agak ngebut membuat tulang tulangku menggigil kedinginan. Untung saja rumah rizal tak terlalu jauh, cuma menempuh jarak 15 menit dari rumahku. Aku turun dari motor dengan ragu melangkah ke teras. Lampu ruang tamu masih nyala, sepertinya mama belum tidur. Betul dugaanku, begitu masuk ke dalam, ternyata mama sedang duduk diruang keluarga menonton televisi. Mama langsung berdiri melihatku, ia menghampiriku dan langsung memelukku.
“sayang, mama mengkhawatirkanmu… Anak mama tak apa apa kan?” mama mencium pipiku. Aku agak jengah juga dicium seperti ini, aku kan sudah besar. Masa masih di cium cium kayak anak kecil. Seolah tahu kalau aku risih, mama segera melepaskan aku.
“aku tak apa apa ma…”
“kenapa baru pulang sekarang nak.. Untung kak faisal udah kasih tau mama kalau kamu dirumah rizal..”
“aku takut ketemu tante ma..” jawabku apa adanya. Sedangkan mama hanya mendesah prihatin. Sepertinya mama juga tak bisa berbuat banyak.
“rio istirahat dulu ya sayang.. Kalau tak mau ketemu tante mama tak keberatan.. Mama juga susah harus bagaimana, mama berada pada posisi sulit…” aku mengangguk seolah memahami, padahal tak sedikitpun aku paham kenapa mama tak menegur tante laras yang bersikap kasar. Terus terang rasanya aku jadi benci sama dia, dari awal aku bertemu aku sudah tak begitu menyukainya. Ditambah lagi sekarang ia telah menyakiti aku makin membuat aku jadi antipati.
“ma, rio ngantuk.. Mau kekamar dulu ma..” mama mengangguk dan tersenyum.
Aku melirik kak faisal yang sedang duduk mendengarkan percakapanku dengan mama.
“belum ngantuk kak?” aku bertanya padanya. Kak faisal menggeleng.
“tidur aja dulu dek.. Kakak mau nonton film dulu, belum ngantuk sih..” aku meninggalkan mama dan kak faisal untuk pergi ke kamar. Setelah menutup pintu aku merebahkan tubuh diatas tempat tidur. Mengenang kembali kejadian tadi sore membuat aku bergidik. Masih jelas terbayang didepan mata bagaimana tadi tante laras menamparku, seolah olah aku ini tak berharga sama sekali dimatanya. Aku sungguh kecewa dengan perlakuannya. Aku baru mengenal tante laras, belum merasakan kedekatan dengannya. Baru dua hari ia menginap disini, sudah melayang tangannya di pipiku. Aku tak sanggup membayangkan seandainya aku tinggal serumah lama lama dengan dia. Aku terkenang dengan emak, andaikan emak tau kejadian yang terjadi hari ini, entah bagaimana reaksinya. Mungkin emak sedih andai tau aku ditampar seperti tadi, emak tak pernah sekalipun bicara kasar, apalagi sampai memukulku. Semakin aku memikirkan ini, semakin capek rasanya otakku.

bangun tidur aku tak keluar dari kamar, hari ini aku kesiangan, untung saja kamar mandiku didalam kamar, jadi aku tak perlu keluar kamar untuk mandi, aku tak mau ketemu tante laras. Aku hanya mau keluar kamar kalau aku yakin tante laras sedang tak ada dirumah. Setelah mandi dan berpakaian, sudah jam sembilan saat ini. Dari pada bingung aku menyalakan televisi. baru lima menit aku menonton, Pintu kamarku diketuk dari luar. Suara bik tin terdengar. Buru buru aku buka pintu.
“sarapan bang, abang kan belum makan..”
bik tin berdiri didepan pintu sambil memegang baki berisi nasi goreng dan segelas susu cokelat. Aku mengambil baki itu dari tangan bik tin sambil tak lupa berterimakasih. Bik tin pamit mau masak. Aku menutup pintu kemudian sarapan dalam kamar sambil menonton film kartun.
Aku tau mama dan papa pasti sudah dikantor. Sedangkan kak faisal disekolah. Sekarang hari sabtu. Dua hari lagi aku sudah sekolah. Aku benar benar tak sabar lagi ingin merasakan suasana baru, aku mau merasakan memakai baju putih abu abu, tanda aku sudah remaja. Sudah memasuki ambang dewasa. Aku berharap dapat teman teman yang baik seperti erwan dan rian. Mereka pasti sudah sekolah, aku tau mereka sekolah di sma satu pangkalpinang karena rian dan erwan berkali kali mengatakannya waktu kami masih bersama sama. Andaikan aku bisa bersekolah bersama mereka pasti aku gembira sekali. 


Paling tidak aku tak terlalu merasa asing dilingkungan sekolah yang baru karena sahabatku pun bersekolah disana. Tapi ini, aku harus betul betul menerima semua yang serba baru, keluarga baru, kakak baru, sekolah baru, seragam baru, dan teman teman yang semuanya pasti serba baru.
Aku menghabiskan nasi goreng hingga tandas. Setelah itu aku menaruh piring kotor diatas meja belajar. Aku menghabiskan seharian itu hanya dalam kamar. Hingga siangnya kak faisal masuk kamarku. Masih memakai seragam sekolah.
“baru bangun dek?” tanya kak faisal.
“udah pulang kak?” aku menghampiri kak faisal dan duduk didekatnya.
“udah, tadi pelajaran terakhir guru gak masuk… Jadi kami diperbolehkan pulang lebih cepat.”
“enak dong kak…” kak faisal tersenyum.
“dari tadi kamu dikamar terus ya?” aku mengangguk.
“dek mau ikut kakak ke rumah rizal nggak?” kak faisal turun dari tempat tidur lalu berdiri didepanku dengan senyum mencurigakan. Aku menggaruk kepala pura pura berpikir, aku tau pasti kak faisal mau mengajak aku mabuk lagi, rasanya malas kalau ingat betapa tersiksanya aku waktu kejadian dirumah agus. Padahal aku pengen banget jalan jalan. Tapi kalau ikut kak faisal ngumpul dengan teman temannya tempo hari, aku tak akan bisa menolak andai mereka menyuruh aku meminum minuman yang rasanya tak enak banget itu.
“gimana… Mau nggak?” ia membulatkan matanya.
“malas ah..” aku tak tertarik.
“beneran nih….?” kak faisal kurang yakin.
“iya kak.. Aku lagi pengen dirumah..”
“ya udah.. Kalau gitu kakak pergi sendiri..” ia berbalik keluar dari kamar. Aku termenung memikirkan kak faisal yang salah pergaulan, aku takut nanti ia jadi kecanduan. Entah bagaimana cara menasehatinya agar berhenti minum dan menghisap ganja. Aku tak mau kak faisal semakin rusak. Mengadukannya sama mama aku tak tega, pasti mama dan papa bakalan menghukumnya, dan aku tak mau menjadi pengadu. Rasanya serba salah.
Terdengar suara mobil tante laras di halaman, aku langsung mengintip dari jendela, rupanya tante laras pergi. Aman nih.. Lebih baik aku keluar kamar, biasanya kalau sudah keluar pasti pulangnya sore. Jadi aku tak perlu kuatir bertemu dia. Sepi selalu keadaan dirumah, cuma bik tin, selalu bik tin, akhirnya aku cuma nonton tipi hingga sore. Waktu mendengar suara mobil tante laras aku buru buru masuk kamar. Aku tak keluar hingga sore, menyibukkan diri bermain games. .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar