Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 4

#6 SATU RAHASIA

"kok bisa si rian yang bayarin, emangnya ada angin apa...?". tanya erwan heran kemudian menoleh ke rombongan rian dengan teman temannya yang sedang berjalan menuju ke kelas.

"entah lah.. Aku juga kaget, tadi waktu aku mau bayar, tiba tiba ia sudah bayarin.. Bahkan aku tak sempat berterimakasih.. Ia langsung ngeloyor gitu aja...". jawabku apa adanya.

"mungkin ia lagi ultah kali...". erwan bercanda.

"ke kelas yuk.. Bentar lagi udah bell..". ajakku saat melihat suasana di kantin yang sudah tak seramai tadi.

"eh habis ini pelajaran bahasa inggris ya.. PR halaman 42 udah kamu kerjakan?". erwan mengingatkanku.

"udah.. Dari kemarin dulu juga udah selesai..".

"kalo gitu aku pinjam ya, ada beberapa yang belum aku isi..".

"boleh... Tapi gak jamin juga betul semua..". aku berjalan menyusuri teras belakang laboratorium bersama erwan, menuju ke kelasku yang ada disamping kiri laboratorium. Sampai di kelas, aku langsung masuk dan duduk di bangku, mengeluarkan buku PR bahasa inggris lalu ku berikan pada erwan.

"tuh di salin aja dulu, buruan ntar bell sebentar lagi bunyi."
"thanks ya rio.. Kamu memang betul betul sahabat yang baik dan bisa diandalkan.". puji erwan dengan gembira lalu mengambil buku dari tanganku. Dalam sekejab saja ia langsung menyalin semua jawaban yang ada di buku ku. Tak sampai lima menit selesai ia menyalinnya.

"ini rio, makasih ya...." erwan mengembalikan bukuku, aku hanya mengangguk dan senyum. Kami berdua ngobrol hingga bell tanda pelajaran dimulai berbunyi.







pulang sekolah erwan mengajak aku ikut dengan mobilnya, namun aku menolak, bukan apa apa, aku cuma tak mau terlalu memanfaatkan kebaikan erwan, lagian jalan kaki bagiku lebih menyehatkan, sekalian olahraga. Sebenarnya erwan memaksa, namun aku tetap pada pendirianku kalau aku mau pulang jalan kaki saja. Erwan berlalu bersama sopirnya, tak lupa ia berjanji akan datang ke rumahku sore ini, sesuai dengan janjinya tadi.


Aku berjalan keluar dari gerbang sekolah, murid murid berhamburan pulang bagaikan air bah yang tumpah ruah. Ada yang mengendarai sepeda, semua buru buru pulang seolah olah tahanan yang dibebaskan dari penjara lebih awal. Aku berjalan diantara kerumunan teman teman yang hingar bingar, ku lewati jalan setapak yang memintas lebih dekat ke rumahku.

"rio tunggu....!!". suara rian berteriak setengah berlari mengejarku. Aku menghentikan langkah, berbalik ke belakang dan melihat rian dengan tertegun. Sepatu baru ini membuat kakiku lecet, jadi aku jalan sedikit pincang karena perih.

"rio.. Kamu masih marah ya sama aku..?". terengah engah rian mengimbangi jalanku, walaupun kaget dengan pertanyaannya barusan, tapi aku tak mau terlalu menampakannya di depan rian, gengsi.

"ngapain juga marah.. Biasa biasa aja kok.. Lagian aku gak maksa kamu mau berteman denganku apa nggak..".

aku jadi bingung sendiri mendengar jawaban yang terlontar dari mulutku, aku tak mau terlalu kasar, namun seperti keluar begitu saja.. Sering jadi bulan bulanan dan ejekan telah membuat aku menjadi sedikit peka. Apalagi dibentak oleh orang yang selama ini aku senangi, yang aku sangat berharap sekali bisa jadi teman akrabnya. Tentu saja membuat aku menjadi kecewa. Rian berjalan disampingku masih dengan nafas yang tersengal sengal.

"waktu itu aku lagi ada masalah... Makanya aku agak uring uringan.. Aku tak bermaksud untuk kasar sama kamu...".

rian menjelaskan sambil terus berjalan tertunduk di sampingku. Mendengar penjelasannya itu hatiku langsung dingin. Menguap sudah segala kemarahan di hatiku. Tersenyum aku pandangi rian, ia menatapku agak cemas.

"makasih ya udah traktir aku tadi..". aku melangkah pelan sambil mengimbangi langkah rian.

"nggak usah dipikirkan.. Kebetulan aja aku lagi bawa uang lebih.."
"tumben kamu nggak pulang sama vendi, biasanya kalian selalu sama sama.."

"vendi tadi di jemput sama papanya..eh ngomong ngomong rumah kamu di mana?". tanya rian ingin tahu, saat kami berdua sudah sampai di persimpangan belokan ke arah rumah rian.

"lurus ke depan agak masuk gang yang di sebelah rumah besar berpagar putih cokelat di ujung jalan ini... Memangnya kenapa?". aku sedikit heran dengan pertanyaan rian, untuk apa ia ingin tahu aku tinggal di mana.

"nggak kenapa napa sih, cuma mau tau aja.. Emang nggak boleh?"

"boleh sih.. Cuma...". aku agak ragu, rumahku kan jelek, sedangkan rian itu anak orang berada, aku takut nanti ia tak sudi masuk ke dalam rumahku, rian kan selalu rapi dan bersih, selalu menjaga penampilan.. Aku sangsi ia mau masuk ke dalam rumahku. Sementara aku lihat rumahnya yang besar itu selalu bersih dan teratur, sedangkan rumahku berantakan karena emak bikin jualan.

"boleh nggak sekali sekali aku mampir ke rumahmu?"

tegas rian sambil menghentikan langkahnya. Aku terdiam menimbang nimbang, aku bingung juga.. Tak seperti erwan yang sudah tahu keadaanku dan bisa menerima, aku kan banyak tugas di rumah, harus ke warung warung mengambil kue yang kami titipkan, terus aku harus mengambil daun pisang untuk pembungkus kue ketan dan nagasari. Pastilah rian bakal kaget, aku tahu, anak tipe seperti rian mana pernah kerja di rumah seperti aku. Kulitnya juga mulus kayak kulit cewek, walaupun nggak terlihat seperti cewek, namun itu menunjukkan kalau rian tak pernah mengerjakan yang berat berat, akhirnya setelah berpikir dan menimbang aku memperbolehkan ia main ke rumahku.

"boleh aja.. Tapi jangan heran ya nanti melihat keadaan di rumahku..". rian tersenyum lebar. Kami berpisah di persimpangan, aku berjalan sambil menoleh ke rian.

"udah pulang nak...?". tanya emak yang sedang menyerut daun pisang di depan halaman rumah saat melihat aku datang. Aku menghampiri emak dan mengangguk.

"sini aku bantu mak.. Biar rio yang motong daun pisangnya.". aku menawarkan diri, namun emak buru buru mencegah ku, karena ia takut mengotori seragam baruku.

"sudah lah.. Mendingan kamu itu ganti baju dulu, habis itu makan.. Kamu pasti lapar kan, udah seharian belajar.. Buruan gih....! emak udah masakin lempah kuning buat kamu”. Ujar emak sementara tangannya dengan gesit memotong motong daun pisang dan membuang tulang daun nya yang keras. Aku tak bisa memaksa, karena kata kata emak benar, bajuku ini baru, lagian ini pemberian dari satu satunya sahabatku di sekolah. Jadi aku harus bisa menjaganya.

"rio masuk dulu ya mak..". emak tersenyum sambil menggulung daun pisang dan membersihkan sisa sisa sampahnya. Aku masuk ke dalam rumah lalu langsung ke kamar, setelah ganti baju dengan baju rumah, aku ke dapur mau makan siang dulu. Yuk tina sedang makan juga rupanya.

"lauk apa yuk..?". tanyaku sambil duduk di kursi makan.

"lihat aja sendiri...".

jawab yuk tina tanpa melihatku, yuk tina menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Sementara tangan kirinya sibuk membalik lembaran majalah diatas meja. Matanya terfokus pada majalah itu.

Aku berdiri lagi, kemudian ke dapur mengambil piring dari rak. Aku pandangi yuk tina dari balik pintu dapur, sebenarnya aku ingin sekali bisa akrab dengan yuk tina, namun entah mengapa ia seolah olah sengaja menciptakan batas diantara kami, padahal aku sudah mencoba merobohkan batas itu.

Aku sendiri tak pernah bisa mengerti dengan keadaan ini, kenapa ayuk ku sendiri bersikap seperti ini padaku. Mengapa yuk tina seperti tak punya rasa sayang padaku. Apakah karena emak lebih memanjakanku hingga membuat yuk tina jadi membenciku. Aku menarik nafas dalam dalam, kemudian kembali menghampiri yuk tina untuk mengambil nasi karena perutku sudah lapar.

Ku buka tutup saji dan mengisi nasi ke dalam piring lalu mengambil lauk seadanya. Yuk tina masih sibuk makan sambil membalik balik majalah. Aku menarik kursi yang ada di depannya. Lalu aku makan. Emak masuk ke dapur sambil membawa gulungan daun pisang.

"sambal terasi nya ada di atas tungku dapur rio..". ujar emak sambil menaruh daun pisang ke dalam bakul. Lalu emak ke dapur, tak lama kemudian ia kembali dengan membawa sepiring kecil sambal terasi dan memberikannya kepadaku.

"makasih ya mak.. Pantas aja tadi aku lihat ada rebus pepaya mentah, dan pucuk singkong, tapi kok nggak ada sambalnya di atas meja.". kataku sambil mencolek potongan pepaya rebus ke sambal terasi.

"iya emak tadi lupa mindahin ke meja.. Makan yang banyak ya nak...". emak duduk di sampingku. Memandangi ku yang sedang makan lalapan dengan lahap. Emak senang sekali kalau aku makan banyak.

"giliran rio emak mau ngambil sambalnya... Aku udah hampir selesai makan, emak nggak ada bilang kalo ada sambal terasi..!". celetuk yuk tina dengan ketus sambil membanting sendok diatas piringnya yang nyaris kosong. Emak terdiam tak menjawab, aku melihat emak dengan kasihan, yuk tina selalu tak pernah bisa menjaga emosinya.

"tina, kamu itu perempuan.. Seharusnya kamu tidak perlu bertanya sama emak.. Segala yang ada di dapur sudah sepatutnya kamu tau...".

nasehat emak dengan lirih. Yuk tina mendengus.

"bilang aja mak.. Kalo emak itu pilih kasih...!".

kata kata yuk tina makin tajam menghujam. Ku lihat emak hanya bisa menggeleng gelengkan kepala. Yuk tina memang keterlaluan. Aku tak pernah meminta pada emak untuk di perhatikan melebihi anaknya yang lain. Dan emak juga tak terlalu memanjakan aku. Semua masih wajar wajar saja. Tapi kenapa yuk tina selalu membesar besarkan semua itu. yuk tina berdiri membawa piringnya yang sudah kosong ke belakang. Aku dan emak diam seribu bahasa, percuma saja meladeni yuk tina, bisa bisa tak akan selesai selesai ia marah. Kalau yuk tina sudah seperti ini, lebih baik diam aja dijamin lebih aman.

"tambah lagi makannya nak...". ujar emak saat melihat piringku sudah kosong.

"udah kenyang mak..". jawabku meletakan sendok, si mirah kucing ku menggosok gosok kakiku dengan tubuhnya. Sepertinya ia lapar, aku ambil sedikit nasi dan ikan goreng, lalu aku buang tulangnya, ku campur rata untuk memberi makan si mirah. Secepat kilat ia menyikat makanannya. Kucingku ini semakin gemuk saja, bulunya pun semakin lebat dan berkilat. Itu karena aku rajin memandikannya. aku sangat sayang dengan kucingku ini. Setiap hari ia tidur bersamaku di kamarku. Si mirah juga tak pernah buang kotoran sembarangan lagi.

Rutin minimal seminggu 3 kali pasti aku mandikan. Sekarang pipinya juga jadi tembem, kumisnya yang putih dan panjang membuat tampangnya semakin menggemaskan. Setiap aku pulang pasti kucing ku tahu, ia akan segera berlari pulang, dan setia menunggu dibawah meja setiap kali aku makan. Setelah memberi si mirah makan, aku berdiri membawa piring kotor ke sumur. Selesai cuci tangan, aku mengambil sepeda untuk melakukan tugas rutin mengambil kue basah di toko toko. Untung saja kue semua habis, aku pulang dengan perasaan senang, setiap kali kue emak habis terjual, aku sangat bersyukur. Buru buru ku kayuh sepeda pulang. Kemudian memberikan uang dari warung untuk emak.

"mak semua kue habis..". ujarku dengan nafas yang masih tersengal sengal.

"alhamdulillah nak... Coba kalau setiap hari gini..". emak tersenyum sumringah.

"iya ya mak.. Tapi beberapa hari ini memang jualan lagi bagus mak.. Jarang nggak habis.."

"kamu nggak main rio?". tanya emak sambil meletakkan tempat kue ke tempat pencucian piring.

"nggak mak, kata erwan dia mau kesini.."

"temanmu yang anak orang kaya itu?". tanya emak agak heran.

"iya mak... Emangnya kenapa?". aku jadi agak heran juga dengan reaksi emak.

"nggak rio, cuma emak takut kalo kamu itu main dengan orang yang terlalu tinggi diatas kita, nanti kamu jadi terbawa bawa gaya hidup mereka..". terdengar nada kecemasan dalam suara emak.

"jangan takut mak, erwan tak seperti itu, walaupun dari kalangan berada namun mereka tak seperti orang kebanyakan. Emak lihat sendiri, aku di kasih seragam dan perlengkapan sekolah..". jelasku untuk menutupi kecemasan emak.

"emak harap juga begitu..". entah kenapa aku merasa emak terlalu kuatir berlebihan.

"emak mau ngukus ketan dulu ya.."

"iya mak, rio mau nunggu erwan di depan...". kataku sambil meninggalkan emak di dapur. Yuk yanti sedang duduk di lantai memotong daun pisang sebagai pembungkus lemper. Yuk yanti mendongak melihatku sambil tangannya terus menggunting daun.

"mau kemana dek?". tanya yuk yanti.

"nggak kemana mana yuk.. Cuma ke depan aja nunggu temen.."

"oh gitu.. Eh dek, tadi ayuk ada beli keripik kentang, ambil diatas lemari kamar ayuk.."

"untuk rio ya yuk?". t

anyaku agak heran. Tumben yuk yanti membelikan aku makanan. Tidak biasanya.. Ayuk ku yang satu ini memang sangat baik, ia tak seperti yuk tina. Yuk yanti juga rajin, kalau tak sekolah biasanya yuk yanti yang masak menggantikan emak.

Yuk yanti tak lama lagi akan lulus sekolah, banyak sekali cowok cowok yang mau sama yuk yanti, karena memang wajah yuk yanti cukup cantik, punya rambut hitam dan tebal lurus sepinggang. Membuat yuk yanti terlihat pantas kalau membintangi iklan produk shampo. Kulit yuk yanti juga putih, tak seperti yuk tina yang kuning langsat.

Walaupun keliling jualan setiap pagi, tak membuat yuk yanti jadi lusuh. Ia pembersih. Aku ke kamar yuk yanti mengambil bungkusan berisi keripik kentang yang ia taruh di atas lemari kamarnya. Ada dua bungkus ku lihat, aku ambil sebungkus kemudian aku keluar dari kamarnya. Menghampiri yuk yanti.

"makasih ya yuk..".

ujarku penuh terimakasih. Yuk yanti tersenyum, tiba tiba ia memelukku dengan erat. Aku jadi bingung. Kenapa yuk yanti bersikap seperti ini. Yuk yanti aneh... Aku merasa begitu canggung. Ada apa sih ini.. yuk yanti terus memelukku. Tangannya membelai rambutku dengan sayang. Aku diam dengan pikiran yang berkecamuk.

"dek.. Sayang nggak sama ayuk?". tanya yuk yanti dengan suara ganjil. Aku makin heran saat mendengar pertanyaannya itu. Namun aku jawab juga.

"ya sayang lah yuk.. Yuk yanti kan ayukku.. Rio sayang banget sama yuk yanti.."

"andai nanti rio jauh.. Dan kita terpisah.. Apakah nanti akan tetap ingat dengan ayuk?". tanya yuk yanti terbata bata. Aku tersentak, kemudian ku lepaskan pelukan yuk yanti. Ku pandangi wajah yuk yanti. Matanya berkaca kaca. Seolah olah ada sesuatu yang sangat mengganggu pikirannya saat ini.

"kenapa ayuk bertanya aneh kayak gini yuk.. Nggak mungkin lah kita berpisah.. Emangnya ayuk mau kemana yuk?". beruntun pertanyaan keluar dari mulutku. Yuk yanti seolah baru tersadar akan sesuatu, cepat cepat ia tertawa, namun aku tahu itu tawa yang di paksa.

"ah nggak dek.. Itu cuma seumpamanya aja.. Ayuk cuma sekedar bertanya aja kok..". jawab yuk yanti agak mencurigakan. Ku pandangi mata yuk yanti dalam dalam, ia menunduk menghindari tatapanku.

"yuk, ada apa sih... Ayuk coba sembunyikan sesuatu dariku ya?". yuk yanti jadi semakin gelisah, namun ia berusaha untuk mengatasinya walaupun gagal total.

"nggak dek.. Nggak ada yang ayuk sembunyikan kok dek.. Kenapa adek jadi nanya gitu?". yuk yanti tersenyum dan mengacak acak rambutku.

"katanya mau ke depan nungguin temanmu dek.."

aku meninggalkan yuk yanti, namun pikiranku masih berkecamuk. Kenapa sih akhir akhir ini yuk yanti dan emak agak aneh.. Terlebih emak, perhatiannya padaku semakin membuat aku curiga. Seolah olah aku ini mengidap penyakit parah yang di vonis dokter kalau umurku tak bakalan lama. Aku duduk di kursi kayu depan rumah. Menunggu erwan datang. Katanya sekitar jam tiga ia mau kesini. Sekitar sepuluh menit aku duduk sambil melihat orang yang lewat depan rumah. Sesosok tubuh yang sudah sangat aku kenal sedang mengayuh sepeda BMX warna hitam memasuki pekarangan rumahku.


Cepat cepat aku berdiri menghampirinya. Ada rasa hangat yang menyelinap dalam hatiku saat melihat senyum lebarnya tersungging padaku. Barisan gigi rapi dan putih berbingkai bibir merah dan mungil bagaikan wajah model pasta gigi di majalah remaja.

"hai rio.. Ganggu nggak?". tanyanya sambil turun dari sepeda dan menyenderkan sepedanya di bawah pohon cermai.

"nggak kok.. Aku juga lagi nungguin erwan katanya mau kesini..". jawabku setengah mati menahan agar tak menjerit kesenangan.

"jadi erwan juga mau kesini ya?"

"iya rian... Tadi ia bilang waktu di kelas.. Ngomong ngomong kamu kok bisa menemukan rumahku.."
tanyaku sedikit heran.

"kan tadi siang aku udah nanya sama kamu.. Lagipula aku tadi tanya sama ibu penjaga toko di depan itu. Ia bilang rumah kamu disini...". rian menjelaskan padaku.

"kalau gitu duduk dulu ya, aku mau ambil minum dulu..tunggu sebentar ya.."

"udah nggak usah repot repot rio.. Aku cuma mau ngobrol aja kok..."

"nggak apa apa lagi.... Cuma bikin teh kok.. Aku masuk dulu ya..". aku tetap memaksa bikin minuman. Akhirnya rian cuma bisa mengangguk menyetujui.

"iya deh.. Tapi jangan lama lama ya...".

"oke bos...". jawabku sambil tertawa. Rian pun ikut tertawa. Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan senang, sambil bernyanyi nyanyi kecil aku ke dapur. Mengambil poci teh. Lalu aku membuat teh manis satu poci.

"udah datang erwan nya nak?". tanya emak yang baru masuk dari belakang. Aku menoleh dan tersenyum pada emak.

"belum mak, itu teman sekolah rio juga yang datang..". aku menjelaskan ke emak.

"yang mana? Udah pernah kesini sebelumnya...?". tanya emak ingin tahu.

"belum mak, dia murid baru. Rumahnya tak terlalu jauh dari rumah kita mak.."

"ya sudah.. Bawa minuman ke temanmu kasihan ia udah menunggu. Jangan lupa... Kue di atas meja itu juga kasih ke teman kamu.. ". kata emak sambil mengambil baskom kecil terbuat dari plastik di atas rak piring.

"makasih ya mak...". aku mengambil sepiring kue buatan emak kemudian ku bawa ke depan. Kemudian menemui rian di teras, saat aku ke depan, rian sedang ngobrol sama erwan. Entah sejak kapan anak itu datang, tampaknya erwan tak diantar oleh sopirnya, sebab kalau sopirnya yang antar, aku pasti mendengar suara mobilnya. Betul saja, di bawah pohon sudah ada dua sepeda BMX bertengger. Benar benar sama dari tipe serta warnanya.

"hai wan.. Udah lama datang?". aku bertanya lalu meletakkan kue dan teh diatas meja kayu. Serempak erwan dan rian menoleh, erwan tertawa.

"barusan aja sobat, aku pake sepeda, kebetulan sepedaku dan rian sama.. Kami tadi membahas itu..."

"iya.. Gak nyangka.. Padahal aku baru beli seminggu yang lalu, kata erwan ia juga belinya seminggu yang lalu..". timpal rian ikut tertawa. Aku hanya tersenyum, pasti senang sekali rasanya memiliki sepeda sebagus itu. Aku harus menabung dulu supaya bisa membeli sepeda semahal itu. Kalau satu hari lima puluh rupiah, harus berapa lama aku menabung agar bisa membelinya? Aku jadi nyengir sendiri.

"loh kok.. Kenapa senyum senyum gitu.?". tanya erwan agak heran.

"nggak.. Cuma lucu aja kok bisa kebetulan kayak gitu..". aku duduk di kursi kayu bersama rian.
Harum sekali parfum yang di pakai rian, aku suka dengan baunya.

"diminum dulu teh nya..". tawarku pada mereka berdua.

"makasih rio.. Wah kue nya kelihatan enak sekali.. Aku makan ya..," kata erwan sambil mencomot sepotong kue dari piring.

"makan aja.. Di habisin juga nggak masalah.. Masih banyak kok di dalam.". kataku dengan sungguh sungguh. Rian ikut mengambil kue itu dan memakannya.

"wah.. Emang betul betul emak rio.. Kue buatan emak kamu ya.?". tukas rian tanpa ada kesan basa basi.

"iya.. Emak yang buat, kan setiap hari emakku bikin kue untuk di jual.."

"apa nggak rugi tuh kalo kamu kasih ke kami?". ujar erwan terus sibuk mengunyah kuenya.

"ya nggak lah.. Masa sih rugi cuma sepiring itu aja.. Lagian kalian juga nggak setiap hari ke sini kok...". aku menuang teh ke dalam gelas kemudian memberikan pada erwan dan rian.

"buruan di minum, ntar dingin enggak enak.."

"enak ya berteman sama rio, bisa bisa aku gemuk di buatnya.". kata kata rian itu membuat kuping ku terasa mekar, senang sekali mendapat pujian dari dia. Entah mimpi apa aku tadi malam, bisa bisanya si rian main ke rumahku, seakan akan aku sedang bermimpi. Padahal kemarin kemarin aku sempat kesal dan hilang simpati pada anak satu ini, namun hari ini semua berubah seratus delapan puluh derajat.


Rian begitu manis, ternyata anaknya menyenangkan juga. Aku serasa mendapat berkah, dua orang teman sekelas ku, murid paling populer berkumpul di rumahku yang sederhana ini, Menjadi temanku. mengingat keadaan keluargaku dengan mereka yang bagai bumi dengan langit, aku tentu saja sangat bersyukur bisa berteman dengan mereka. Yuk tina datang entah habis dari mana, ia melihat rian kemudian erwan. Kedua temanku tersenyum pada yuk tina.

"sore yuk..". erwan menegur yuk tina.

"sore... Temannya rio ya.. Kok nggak masuk ke dalam?". kata yuk tina tersenyum.

“Biarlah yuk, disini aja sekalian cari angin..” jawab erwan.

"kalo gitu ayuk masuk ke dalam dulu ya...". ujar yuk tina kemudian masuk kedalam rumah. Erwan dan rian menjawab nyaris serempak. Setelah yuk tina sudah di dalam rumah, kami kembali asik mengobrol,

"rio.. Mendingan kita jalan jalan yuk..". ajak erwan sambil meminum habis teh hangatnya yang tadi aku bikin.

"jalan kemana?". aku menoleh pada erwan.

"ya terserah kemana aja yang penting jalan.."

"ya rio, sekalian aku ingin tahu tempat tempat yang biasa anak anak nongkrong...". tambah rian mendukung usul dari erwan. Aku mengangkat bahu, kalau mereka berdua udah kompak seperti itu, aku cuma bisa menyetujui saja.

"baiklah kalau gitu.. Aku mau beresin gelas ini dulu ya.. Tunggu sebentar..".

aku berdiri lalu membereskan piring bekas kue dan gelas teh yang sudah kosong. Erwan dan rian membantuku, kemudian aku menaruh gelas gelas kotor itu ke dapur. Aku pamit sama emak yang sedang memilih beras untuk dimasak.

"mak rio mau jalan dulu ya.. Bareng teman..". emak menoleh sambil tangannya memilih bulir bulir padi yang masih tersisa.

"kemana rio, kan udah sore..". tanya emak heran.

"iya mak, erwan sama rian yang ngajak.. Rio sih cuma ikut aja.. Belum tau juga sih mau kemana, paling juga cari angin sambil cuci mata mak..". aku menjawab.

"tapi pulangnya sebelum magrib ya nak.. Hati hati di jalan.. Banyak motor yang ugal ugalan.. Jangan sampai nanti kalian bertiga keserempet motor.". nasehat emak.

"iya mak.. Makasih ya mak..". aku kegirangan. Setelah mendapat izin dari emak, bergegas aku menemui rian dan erwan. Keduanya sudah siap dengan sepeda masing masing.

"rio aku aja yang boncengin ya..". tawar erwan sambil membebaskan standar sepedanya.

"sama aku aja rio..". rian ikut ikutan menawari aku. Aku jadi bingung.. Sebenarnya aku pengen dengan rian, tapi aku kan sahabat erwan, aku tak enak sama erwan kalau aku memilih boncengan dengan rian yang baru sehari ini berteman denganku.

Sepuluh menit kemudian aku sudah berada di jalan, di bonceng oleh erwan. Ia mengayuh sepeda dengan santai menyusuri jalan kecil yang sepi, sepanjang jalan kami tertawa dan bercanda. Kadang erwan mengayuh sepeda kencang kencang membuat jantungku terasa mau jatuh.

Rian tak mau kalah, ia mempercepat kayuhannya hingga erwan dan aku dapat ia susul. Tentu saja karena ia tak membonceng siapa siapa. Sampai di jembatan daerah pintu air, erwan berhenti. Kemudian turun. Aku ikut turun. Setelah mendapat tempat yang agak teduh, kami duduk sambil memandangi sungai. Ada beberapa orang yang sedang mandi. Diantaranya ada yang memancing. Rian mengambil botol air minum yang ada di sepedanya. Kemudian meminum isinya. Setelah itu ia berikan padaku. Aku ambil kemudian meminumnya juga beberapa teguk. Ternyata isinya bukan air putih tapi sirup jeruk.

"makasih ya...". aku mengembalikan botol itu ke rian.

"bagus juga ya sungainya.. Ada buayanya nggak?". tanya rian ingin tahu.

"katanya sih ada.. Setiap tahun ada satu korban yang dimakan oleh buaya..". aku menjawab pertanyaan rian.

"apa.. Setiap tahun sungai ini memakan korban,.. Tapi kenapa masih banyak yang mandi disini.. Apa mereka tak takut kalau sewaktu waktu buaya itu datang dan memakan mereka?". rian bergidik ngeri mendengar ceritaku itu.

"nggak tau juga sih... Soalnya kan udah kebiasaan orang orang disini suka mandi di sungai ini... Lagipula buayanya itu datang tak setiap hari kok.. Aku juga belum pernah melihat buaya itu seumur hidup..". tambahku sambil mengambil batu seukuran kepalan tangan lalu melemparkan ke sungai.

"kata mamaku sih bukan cuma buaya.. Tapi ada hantu yang suka menarik orang yang sedang mandi hingga tenggelam.. Katanya ada beberapa orang yang hilang dan ditemukan dalam keadaan yang sudah tak bernyawa disungai ini.. Setelah hilang biasanya baru beberapa hari kemudian ketemu di rawa rawa.. Itupun harus memanggil paranormal dulu baru bisa ditemukan..". tambah erwan makin membuat rian ternganga.

"gila.. Ngeri banget ya.. Kenapa paranormalnya nggak sekalian mengusir hantu itu dari sungai ini..?"
cecar rian makin penasaran.

"entah lah.. Aku juga cuma mendengar cerita ini dari orang orang. Tapi memang betul kok.. Walaupun sungai ini ramai, tapi tetap saja setiap tahun rutin meminta korban. Kalau yang aku dengar sih katanya buaya yang ada disungai ini adalah buaya siluman.. Atau siluman buaya putih..". jelasku makin seru, karena melihat ekspresi rian yang kelihatan tertarik dengan cerita kami.

"makanya meminta korban, siluman kan suka nyulik manusia.. Mamaku melarang aku mandi disungai ini.. Katanya ia tak mau kalau aku jadi korban buaya itu.."

"dulu waktu aku masih kecil, pernah akrab dengan temanku. Dan sering mandi di sungai ini, tapi temanku itu meninggal saat kami kelas 5, waktu sore hari ia mandi di sekitar sini, ibunya tak tau kalau ia mandi, saat di temukan.. Mayatnya terapung di sebelah sana...". aku menunjuk ke suatu arah.

Serempak erwan dan rian berpaling melihat tempat yang aku tunjuk tadi. Memang tempatnya agak agak seram. Banyak pohon rumbia yang tumbuh. Airnya juga tertutup tanaman air yang terapung. Sehingga seluas mata memandang yang terlihat hijau bagaikan hamparan karpet tebal. Erwan dan rian bergidik ngeri.

"aku rasa buaya buaya itu sembunyi di balik tanaman air itu..". ujar erwan.

"bisa jadi, soalnya kan tempat seperti itu, sangat bagus sebagai tempat sembunyi. Siapa sih yang bisa melihat apa yang berenang di balik tanaman itu..". timpal rian sambil berkacak pinggang, matanya menatap lurus ke sungai.

"kapan kapan kita mandi disini ya.. Mau nggak..?". aku mengajak erwan dan rian.

"takut ah.. Ada buayanya..". jawab rian.

"iya rio, bahaya... Emangnya kamu berani?". tanya erwan.

"ya nggak masalah.. Kan kita mandi hari minggu aja.. Rame kok yang mandi disini..". jawabku santai. Rian dan erwan diam seperti sedang menimbang nimbang.

"bagaimana?". aku kembali bertanya.

"hari minggu ini ya..?". rian balik bertanya.

"iya hari minggu ini... Biasanya kan rame yang mandi disini.."

"baiklah.. Nanti aku jemput kamu dirumahmu ya.. Kira kira jam berapa?". erwan menyetujui. Namun kulihat rian masih ragu ragu.

"gimana rian... Kamu mau ikut nggak?". aku meyakinkan rian.

"gimana ya.. Aku sih pengen.. Cuma.. Mendengar cerita kamu tadi bikin aku jadi takut.."

"nggak apa apa kok rian.. Kamu ikut aja.. Nggak mandi juga gak masalah kok.. Yang penting kita bertiga pergi sama sama.. Gimana?". desakku penuh harap. Aku benar benar ingin berjalan bersama lagi dengan rian, andai ia nggak mau ikut, rasanya aku jadi kurang semangat.

"baiklah.. Jam berapa nanti minggu?". akhirnya rian mau juga.

"sekitar jam sepuluh aja.. Sekalian nanti bawa bekal dari rumah.. Kita jalan jalan ke hutan, kebetulan sekarang lagi musim manggis, pulang mandi kita metik manggis..". aku memberi usul. Rian dan erwan terlihat begitu antusias.

"wah boleh tuh.. Pasti asik banget, soalnya aku nggak pernah masuk hutan.. Wah jadi nggak sabar lagi nih nunggu minggu..". seloroh rian senang.

"sudah mulai gelap nih.. Hampir magrib, pulang yuk..". ajakku saat melihat ke langit, aku teringat pesan emak.

"ayo.. Gak kerasa ya udah magrib..". rian berdiri.

"antar aku pulang dulu ya..". ujarku pada mereka.

"ya pasti lah diantar.. Masa sih ditinggalin disini..". erwan tertawa kemudian berdiri. Akupun ikut berdiri. Bertiga kami berjalan menuju ke sepeda yang tadi kami parkir.

"biar aku aja yang ngantar rio pulang, rumah kami kan searah..". usul rian. Hatiku melonjak gembira mendengarnya. Cepat cepat aku menyetujui kata katanya itu.

"iya wan.. Biar aku dengan rian aja.. Udah sore banget nih.. Kalau kamu ngantarin aku dulu, bisa bisa kamu magrib di jalan..". kataku pada erwan. Ia terdiam sebentar kemudian mengangguk.

"Nggak masalah kok rio.. Aku kan bisa ngebut..". erwan bersikeras tetap ingin ikut mengantarku pulang.

"bahaya loh wan kalo magrib magrib ngebut..biar aku aja lah yang antar rio.. Nggak apa apa kok..". rian memperingatkan erwan. akhirnya erwan cuma bisa mengangkat bahu menyetujui kata kata rian. Aku naik ke boncengan sepeda rian. Senang sekali rasanya dibonceng oleh rian. Aku tak tahu kenapa aku bisa senang begini. Sepanjang jalan kami bernyanyi keras keras. Di tikungan aku dan rian berpisah dengan erwan.

"sampai ketemu besok di sekolah ya sobat..". teriak erwan sambil membelokan setang sepedanya ke kiri.

"iya wan.. Sampai ketemu besok...". jawabku dan rian nyaris bersamaan. Rian mengayuh sepedanya lebih cepat, sebenarnya aku ingin sekali lebih lama dibonceng rian, tapi jarak sungai dan rumahku tak terlalu jauh. Sekitar sepuluh menit aku sudah sampai dirumah. Aku turun dari sepeda rian.

"rio aku langsung pulang ya...". rian pamit padaku.

"ya.... Nggak mampir dulu ya?"

"kapan kapan aja lah.. Besok kan masih bisa.. Aku takut mamaku ntar kuatir, soalnya sekarang udah mau magrib..". rian memberikan alasan.

"iya deh.. Sampai ketemu besok di sekolah ya..". rian mengangguk dan mengayuh sepedanya kembali ke jalan.

"makasih ya rian..". setengah berteriak aku melambai pada rian. Ia mengangguk dan tertawa.

"sama sama sobat.. Aku pulang dulu.."

"hati hati ya..". idih aku kok segitunya.. Udah kayak melepas pacar aja.

"Iya rio.. Tenang aja.. Bye.."

jawab rian.. Kok jadi lama gini sih acara pisahnya. Udah kayak rian mau kemana aja.!. Setelah rian pulang, aku masuk ke dalam rumah. Emak, yuk yanti dan yuk tina sedang duduk diruang tamu, tak biasanya mereka berkumpul diruang tamu jam jam segini. Saat melihatku wajah mereka tiba tiba jadi tegang. Serempak mereka diam sambil memandangku. Aku melangkah menghampiri mereka dengan bertanya tanya, wajah emak merah seperti orang yang habis menangis. Demikian juga dengan yuk yanti. Apa sih yang barusan terjadi disini. Kenapa mereka bertiga bersikap aneh begini.

"darimana aja dek?". yuk tina memecah keheningan diantara kami.

"dari sungai sama teman.. Ada apa yuk.. Kenapa kalian melihatku seperti ini?". tanyaku tanpa dapat menutupi keherananku.

"nggak apa apa dik..mandi gih buruan.. Ntar keburu malam..". ujar yuk yanti sambil berdiri.

"iya dek.. Mandi sana.. Habis itu kita makan sama sama..". timpal yuk tina sambil tersenyum padaku. Aku jadi bingung, tak biasanya yuk tina bersikap sebaik ini padaku.
Aku pandangi emak, namun emak terlihat seperti melamun. Pandangannya terarah ke atas meja.

"mak kenapa?". aku menghampiri emak.

"tidak kenapa napa nak...buruan mandi sana..!". emak tak melihat ke aku sedikitpun. Seolah olah menghindari tatapanku .Aku masuk kamar dan mengambil handuk lalu ke kamar mandi. Selama mandi aku memikirkan sikap emak dan ayuk ayukku tadi. Kenapa sih dengan mereka. Sepertinya ada sesuatu yang mereka sembunyikan dariku, entah apa itu. Kenapa emak dan yuk yanti menangis. Walaupun mereka tak menangis didepanku, tapi aku yakin kalau mereka habis menangis.

Aku betul betul bingung dengan semua ini. Semakin lama semakin aneh saja. Aku juga heran, biasanya emak selalu menyapaku kalau aku datang. Tapi tadi emak tak mengatakan apa apa.

Emak cuma terdiam murung, seperti berusaha untuk tak melihatku. Baru sekali ini aku merasa betul betul asing dengan emak. Buru buru aku menyelesaikan mandi kemudian wudhu dengan fikiran yang masih berkecamuk selesai sholat, aku makan malam bersama dengan emak dan yuk yanti dan yuk tina.

selama makan tak ada satupun yang bersuara, tak seperti biasanya yuk tina selalu heboh bercerita. hari ini yuk tina pun ikut ikutan diam. aku mengunyah dengan hambar. aku pandangi emak, namun emak seperti sibuk mengunyah. tak sekalipun menoleh kepadaku. demikian juga dengan yuk yanti.

sempat kupandangi yuk tina tersennyum sekilas padaku. aku balas tersenyum pada yuk tina. aku kehilangan selera makan tanpa tahu apa sebabnya. aku berdiri dari meja makan lalu kekamar. sambil berbaring, aku berpikir kembali akan sikap aneh keluargaku. apakah emak punya masalah yang sangat besar?.

TOK... TOK...TOK...



Pintu kamarku diketuk dari luar, buru buru aku beranjak dari tempat tidur. Yuk tina berdiri didepan pintu kamarku begitu aku membuka pintu.

"dek.. Lagi ngapain?". tanya yuk tina dengan suara yang tak seperti biasanya, terdengar agak lesu.

"nggak ngapa ngapain yuk, ada apa?". aku agak heran, tak biasanya yuk tina selembut ini padaku.

"boleh ayuk masuk dek...". yuk tina tersenyum sumbang.

"ada apa yuk.. Masuk aja?". aku jadi makin heran dengan sikap yuk tina. Aku membuka pintu lebar lebar, yuk tina masuk ke dalam kamarku kemudian duduk di kursi belajarku.

"dek... Ayuk tau selama ini ayuk sering kasar sama adek.. Mungkin adek juga nggak begitu suka dengan ayuk..". ujar yuk tina pelan.

"nggak kok yuk.. Aku nggak pernah membenci ayuk, aku sayang sama ayuk..!". entah kenapa jantungku jadi berdebar debar. Yuk tina menghampiriku, kemudian ia meraih tanganku.

"ayuk memang selalu jahat sama adek. Maafkan ayuk ya dek.."

"yuk kenapa sih, ayuk ini aneh banget.. Aku bingung yuk.."

"nanti adek akan tau sendiri... Dek, emak menunggu di ruang tamu, emak mau ngomong sama adek..". ujar yuk tina penuh misteri, aku berdiri dengan jantung berdebar keras.

"kenapa yuk.. Kok kayaknya ada sesuatu yang tak aku ketahui, ada masalah apa yuk?"

"kita menemui emak dulu ya dek.. Nanti adek akan tau sendiri..yuk dek..".

yuk tina menarik tanganku. Aku mengikuti yuk tina keluar kamar untuk menemui emak. Hatiku bertanya tanya gerangan apa yang ingin dibicarakan emak, belum pernah emak serius seperti ini. Kulihat emak sedang duduk dengan gelisah, tangan emak memegang tasbih dengan gemetaran.

Aku hampiri emak dan duduk dikursi depan emak. Yuk yanti juga sudah duduk dekat emak. Yuk tina duduk di kursi sampingku. suasana mendadak jadi hening, yuk yanti memainkan ujung taplak meja dengan jari jarinya.

Emak nampak gelisah berkali kali menggeser posisi duduknya seolah olah sedang duduk diatas batu kerikil, aku diam menunggu dengan tak sabar ikut ikutan merubah posisi duduk sementara yuk tina yang entah digerakan oleh apa sibuk sendiri mengurut bahuku seolah olah aku lagi pegal. Aku tak tahan lagi menunggu apa yang mau disampaikan emak padaku.


"mak, ada apa sih...?". aku menatap emak lurus tanpa mengedipkan mata. Emak masih saja tertunduk seolah olah apa yang ingin ia katakan itu terlalu berat.

"dek, sabar ya.. Mungkin apa yang akan adek dengar ini membuat adek kaget...". tutur yuk yanti dengan suara bergetar. Aku menoleh pada yuk yanti, namun yuk yanti malah semakin aneh, ia tiba tiba menangis sesungukan. Jantungku makin berdebar debar tak karuan. Demikian juga dengan yuk tina, entah ada angin apa ia juga ikut ikutan menangis. Apa yang mereka tangiskan, kenapa mereka membuat aku bingung seperti ini, apa sih sesuatu yang aku tak tahu yang membuat mereka menjadi bertingkah seganjil ini.

"mak tolong mak, bilang apa yang terjadi, kenapa mak.. Rio bingung kalo kalian begini.. Bilang saja mak.. Apapun itu rio siap mendengarnya..". ujarku tak sabar lagi. Emak mendongak dan memandangku, wajah emak kusut sekali, wajah teduh yang selama ini begitu mengasihku. Wajah yang mencintaiku sebagaiman seorang ibu yang sangat menyayangi anaknya. Wajah yang mulai keriput dan penuh guratan penderitaan akibat kerja keras. Namun wajah itu mampu memberi keteduhan dalam hatiku dan anak anaknya yang lain. Mata emak terlihat layu, bagaikan menanggung suatu penderitaan.


"rio.. Anakku.. Mungkin setelah mendengar cerita emak ini, rio akan sedikit terkejut..". emak berkata dengan tersendat sendat. aku diam menyimak kata kata emak.

"semua dimulai pada belasan tahun yang lalu dimana saat itu emak baru punya dua orang anak perempuan yang masih kecil kecil.. Pada saat itu almarhum ayahmu masih ada, kehidupan kita saat itu masih lumayan...". emak memulai ceritanya itu. Yuk yanti dan yuk tina ikut diam mendengar, hingga hanya suara emak yang terdengar diruang tamu kecil ini. Aku menarik nafas pelan, tak mau menyela cerita emak. Aku penasaran emak akan menyampaikan apa.

"emak sudah lama sekali mengimpikan untuk punya anak lelaki, hingga pada suatu hari teman emak datang dalam keadaan hamil, ia menjalani hubungan dengan seorang lelaki yang tak disetujui oleh keluarganya karena alasan perbedaan agama. Teman emak takut untuk pulang ke rumah, ia takut menghadapi keluarganya. Karena dari awal mereka sudah tak menyetujui hubungan itu. Saat teman emak ingin meminta pertanggung jawaban pada lelaki yang ia cintai, ibu lelaki itu menyiram teman emak dengan air panas dan mengusirnya.

Teman emak benar benar sudah putus asa, hingga ia memutuskan untuk bunuh diri. Namun saat ia mau meminum racun serangga, tiba tiba pacarnya datang dan mencegah agar teman emak tak sampai melakukan tindakan bodoh itu. Diam diam mereka menikah. Namun lambat laun keluarga suaminya itu tahu, mereka mencari anak lelakinya yang hilang itu, setelah bertemu, mereka pun menerima teman emak sebagai bagian keluarga mereka.

Tapi hal itu cuma berlangsung sementara, berbagai macam cara mereka lakukan agar bisa memisahkan anak mereka dengan teman emak. Di depan anaknya mereka sangat baik pada teman emak, tapi begitu di belakang anaknya, mereka selalu mengintimidasi teman emak. Lama kelamaan teman emak benar benar tak sanggup lagi dan akhirnya memutuskan untuk lari dari rumah itu.

Waktu itu malam hari emak menemukan dia sedang berjalan sendirian dalam keadaan hamil tua, ia tak menyangka kalau akan bertemu dengan emak. Ia menceritakan semua masalahnya. Emak sudah mencoba untuk menasihatinya agar kembali pada suaminya, namun ia bersikeras tak mau, akhirnya emak cuma bisa membiarkan saja ia dengan keputusannya itu, emak pun menyuruh ia tinggal di rumah kita.

Emak kasihan padanya. Sebulan setelah ia tinggal dirumah kita, anaknya lahir, ayahmu yang menanggung semua biaya melahirkannya. Saat melihat bayinya yang begitu tampan dan montok, emak langsung jatuh hati. Emak langsung merasa sayang dengan bayi itu.

Emak membantunya merawat bayi mungil yang tak berdosa itu. Rasanya bayi itu memang benar benar anak kandung emak, yang sudah lama emak inginkan..."
emak diam menyusut air matanya dengan baju daster yang emak pakai.
Aku menahan air mata yang terasa sudah mengambang di pelupuk mataku. Rasanya aku sudah bisa menebak akan kemana arah cerita emak itu. Kecurigaanku beberapa hari yang lalu bukan tanpa alasan. Ingin rasanya aku berteriak sekeras kerasnya.

Aku tak sanggup mendengarnya, aku benar benar tak mampu lagi untuk mendengar cerita emak selanjutnya. Sementara itu yuk tina dan yuk yanti cuma menunduk menatap lantai. Mereka tak berani menatapku. Aku betul betul merasa begitu asing sekarang. Apa saja boleh mereka ceritakan. Hal apapun, seburuk apapun aku masih sanggup untuk mendengarnya. Namun cerita ini betul betul telah membuat hatiku hancur.

Emak ku.. Yang selama ini begini aku kasihi, yang aku cintai melebihi apapun yang ada didunia ini.. Ternyata bukanlah emak kandungku. Hatiku benar benar telah remuk sekarang. Aku betul betul tak menyangka sama sekali. Lemas seluruh tubuhku, tulang tulangku seolah olah hilang, aku tertunduk dan airmataku mengalir tanpa dapat di bendung lagi. Aku rela cacat, aku rela buta, aku rela bila esok aku harus mati, asalkan aku mati sebagai anak kandung emak. Ini benar benar telak memukulku. Tak terkira tetesan airmataku jatuh ke lantai tepat dibawah kakiku hingga menimbulkan bercak bercak air di lantai semen kasar rumahku. Aku dengar yuk yanti mulai terisak begitupun yuk tina.

Tangisan mereka malah menambah aku merasa makin sakit. jiwaku menjadi lemah dan tak berdaya. Hilang sudah kekuatanku selama ini. Kebanggaanku menjadi anak emak ternyata harus terengut begitu saja. Ya allah kenapa engkau membuat lelucon yang menyakitkan seperti ini. Mengapa harus aku yang mengalami hal ini, mengapa kamu timpakan padaku cobaan yang tak mampu aku tanggung. Tubuhku bergetar keras, ku gigit bibirku agar tak terlepas teriakan dari mulutku.

"maafkan emak rio... Kamu bukan anak kandung emak.. Kamu lah bayi itu.. Teman emak itu adalah ibu kandungmu yang sesungguhnya. Namanya mega.. Ibu yang kamu lihat beberapa hari yang lalu, yang malam itu datang ke rumah kita..."

jelas emak melanjutkan ceritanya itu. Namun aku sudah tak konsentrasi lagi. Aku sudah tak perduli lagi. Mau siapapun ibu kandungku itu tak penting, aku tak mau tahu. Aku hanya ingin emak yang jadi ibuku. Aku benar benar kecewa pada tuhan.

Kenapa ia tak menciptakan aku terlahir dari rahim emak. Aku tak mau siapa siapa selain emak. Cuma emak yang aku mau sebagai ibuku. Mau semiskin dan sesusah apapun kehidupan yang aku jalani ini, aku tak perduli. Aku ikhlas tak mempunyai apa apa.

Aku rela tak punya apa apa, aku rela misalkan yuk tina tetap membenciku seperti biasanya. Tak sebaik ini ketika ia tahu kalau aku bukan adik kandungnya. asalkan emak ku tetap menjadi emak kandungku seumur hidupku. Namun kenyataan ini tak mungkin lagi dapat di ubah, tuhan telah menggariskan kalau aku bukan lah anak emak. Aku hanyalah anak perempuan lain, anak yang sebetulnya tak diinginkan kehadirannya dibumi ini.

Anak hasil dari hubungan terlarang. Yang membuat orang susah. Menambah beban dalam kehidupan keluarga ini.

"pada suatu hari, mega menghilang dari rumah kita, ia pergi pagi pagi sekali dengan hanya meninggalkan selembar surat yang isinya ia meminta emak merawat kamu, ia pergi mencari pekerjaan dan ingin menata kembali kehidupannya. Ia berjanji akan kembali lagi untuk menjemput kamu. Ia minta maaf karena telah membebani emak selama ini, berhari hari almarhum ayahmu dan emak mencari mega, namun nihil, tak membawa hasil, seorang teman ayahmu mengatakan kalau pernah melihatnya naik keatas kapal menuju palembang.".


tambah emak dengan murung. Aku mendongak menatap emak, wajah emak yang terlihat sedih penuh dengan linangan air mata. Kalau dalam situasi biasa kalau melihat emak menangis aku pasti langsung memeluk emak, namun entah kenapa kali ini terasa begitu berat, aku merasa seakan tak punya lagi hak untuk memeluk emak. Ku pandangi yuk yanti dan yuk tina, aku merasa iri sekali dengan mereka, kenapa bukan salah satu diantara mereka berdua saja yang bukan anak kandung emak, atau tak satupun yang bukan anak kandung emak diantara kami bertiga, aku ingin seperti kemarin kemarin, aku ingin selalu bernafas dan hidup dengan fikiran dan kesadaran sebagai anak kandung emak seperti biasanya. Aku benar benar kecewa dengan keadaan ini. Betul betul tak adil bagiku.


"sebetulnya dalam lubuk hati emak yang paling dalam emak senang mega pergi meninggalkan kamu untuk emak, doa emak setiap hari hanyalah agar mega tak pernah kembali lagi untuk mengambilmu..emak tak mau kamu tahu kalau sebenarnya kamu bukan anak kandung emak, perasaan sayang dan cinta emak padamu bukan sekedar main main rio, bagi emak kamu adalah anak kandung emak, sama seperti yanti dan tina, emak menganggap kamu anak yang lahir dari rahim emak juga.. Hingga setahun yang lalu tepatnya..emak bertemu kembali dengan mega, ia mencari emak kemana mana, karena kita sudah pindah rumah, semenjak ayahmu meninggal waktu kamu masih berumur dua tahun, keuangan kita semakin krisis hingga emak terpaksa pindah dan menjual rumah kita yang dulu.. Emak pindah ke pangkalpinang, dirumah kita sekarang ini.. Segala kesusahan tak pernah menyurutkan segala langkah emak, semua masih mampu emak lewati selama masih ada anak anak emak... Dan kamu adalah semangat emak, emak ingin melihat kamu tumbuh dewasa dan menjadi orang yang berhasil, emak minta maaf rio, tak bisa membuat kamu senang, tak bisa memanjakanmu dengan mainan serta kemewahan seperti teman teman kamu... Kadang emak sedih kalau melihat kamu harus berkeliling kampung menjual kue untuk membantu emak..".


isak emak sambil bercerita. Aku hanya diam dan menangis, tak mampu untuk berbicara apa apa lagi rasanya. Rasa kaget dan kecewa yang melanda dalam hatiku membuat jiwaku terasa kosong. Yuk tina meraih tanganku dan meremas jari jariku sambil ikut menangis bersamaku.


"mega meminta kembali kamu nak.. Namun emak meminta agar diberi waktu untuk merawatmu lagi.. Mega setuju, ia kasih emak waktu setahun. Hingga tak terasa waktu berlalu dan emak menyadari kalau mega akan kembali untuk menagih janjinya. Dua bulan yang lalu ia kembali, waktu itu kamu sedang bersekolah, mega mendesak emak untuk segera bercerita padamu, namun berat rasanya bagi emak untuk bercerita sebenarnya. Emak menunda nunda sambil berdoa agar mega merubah pikirannya. Namun doa emak tak dijawab oleh tuhan... Mega sering datang untuk menagih janji emak... Dan sempat mengancam akan membawa masalah ini ke pengadilan andaikan emak tak menyerahkan kamu padanya..., ditengah kebingungan ini emak meminta pendapat yanti ayukmu.. Karena cuma dialah yang tahu kalau kamu adalah anak angkat emak, waktu kamu lahir, yuk yanti sudah berumur empat tahun lebih, sedang tina baru berumur dua tahun jadi tak mengerti apa apa.... Yanti tahu kalau dibawa ke pengadilan, emak tak akan pernah menang, karena sekarang mega sudah menikah lagi dengan seorang pengusaha, mega juga punya bisnis sendiri dan cukup sukses hingga mereka hidup berkecukupan. Namun mega tak punya anak dari suaminya itu, saat suaminya tahu kalau mega punya anak kandung, ia menyuruh mega untuk mengambil kembali anak yang dulu pernah ia tinggalkan... Makanya mega datang kembali malam itu, emak tak mau kamu dan tina mendengar pembicaraan kami, emak menyuruh tina pergi dengan alasan emak punya hutang dan tak mau sampai kamu dan tina melihat emak dimarahi orang itu.. Makanya tina cepat cepat menyuruh kamu pergi menemaninya... Namun pada saat kamu sedang berjalan dengan teman kamu kemarin, tiba tiba mega datang lagi.. Bersama suaminya dan seorang pengacara. Mereka menghina emak.. Dan saat itulah tina tahu tentang persoalan ini... Mereka mengatakan kalau emak egois, menyeret kamu dalam kesusahan, seharusnya kamu bisa mendapat kehidupan yang lebih baik, pendidikan yang lebih baik.. Emak sadar.. Mereka memang benar... Akhirnya emak putuskan akan menyerahkan kamu kembali pada mereka, karena bagaimanapun mereka lebih berhak atas kamu... Karena kamu anak kandung mega... Dialah ibumu sesungguhnya..."



emak menutup ceritanya sambil menangkupkan kedua tangannya ke wajah, dan menangis terisak dengan tubuh berguncang. Yuk yanti langsung berdiri memeluk emak. Demikian juga dengan yuk tina.. Aku diam tak bergeming, aku merasa aku tak lagi punya hak untuk memeluk emak.

Aku adalah orang asing di tengah tengah mereka.. Aku tak pantas untuk memeluk emak, aku bukan anak emak... Aku hanya hidup dari belas kasihan emak selama ini padaku.. Dengan dada yang semakin sesak dan airmata yang membanjiri mukaku, aku menghambur berlari keluar dari rumah, terakhir ku dengar suara jeritan emak dan ayuk ayukku memanggilku namun tak kuindahkan sama sekali...


Aku terus berlari tanpa tahu harus kemana... Aku berlari sekencang kencangnya melewati jalan setapak dan pekuburan yang gelap. Takut tak lagi aku rasakan, yang terpikir olehku hanyalah ingin berlari sejauh mungkin
Aku berlari tanpa menghiraukan apapun lagi, perasaan sakit membuat tubuhku terasa kebas, gelapnya malam dan rasa dingin yang menusuk tak menyurutkan aku untuk berbalik ke rumah, hanya suara rumput dan ranting berderak terinjak oleh kakiku, serta suara nyanyian jangkrik dan kodok sebagai pertanda kalau malam ini akan turun hujan.


Aku tak bisa menerima ternyata aku bukanlah anak emak, tuhan begitu jahat, mempermainkan aku seperti ini. Segala perasaan bahagia dalam hatiku tinggalah puing puing, tak mampu aku mencerna semua ini, aku ikhlas apapun yang akan di timpakan padaku, segetir dan sesakit apapun itu.. Tapi ini lebih menyakitkan dari segala apapun yang pernah aku lewati.

Aku tahu pasti emak dan ayuk ayukku sangat cemas sekarang, aku tak perduli, aku marah sekarang, aku marah kenapa mereka tak dari dulu berterus terang agar aku tak merasa sesakit ini. Aku yakin pasti sekarang mereka sangat sibuk mencariku. Aku sengaja sembunyi di tengah hutan dan pekuburan. Karena aku tahu kalau mereka tak mungkin akan mencariku disini, aku meringkuk dibawah pohon besar menjulang dan rimbun tanpa rasa takut sedikitpun. Angin bertiup membawa uap air hingga membuat tubuhku menggigil kedinginan. Air mataku tak berhenti mengalir, mengutuk kemalangan nasib yang selalu menimpaku tanpa belas kasih sedikitpun. Mengasihani diri sendiri.



Tak ada lagi yang bisa aku banggakan lagi sekarang, satu satunya harta yang aku miliki selama ini hanya keluargaku. Sekarang semua pun harus direngut dariku. Sungguh hidup ini tak adil, tak memihak padaku. Segala hinaan dan cercaan yang aku dapatkan sejak aku masih kecil, karena kemiskinan yang melilit masih bisa aku abaikan dengan tersenyum getir, tak mendapatkan banyak teman serta mainan bisa aku terima dengan lapang dada, setiap hari berkeliling kampung membawa kue untuk dijual, walau harus menebalkan muka setiap bertemu dengan teman teman sekolah yang memandangku dengan tatapan iba, atau menghina, ataupun pandangan salut, semua itu tak penting bagiku asalkan aku bisa melihat emakku tersenyum, asalkan bisa membantu meringankan beban emak apapun akan aku jalani.


Kenapa perempuan yang mengaku ngaku sebagai ibu kandungku itu harus datang, setelah ia meninggalkan aku bertahun tahun, setelah ia membuangku, seenaknya sekarang ia ingin mengambilku kembali, apakah ia pikir aku ini patung yang tak punya hati, seenaknya ia bisa memindah mindahkan aku dimanapun ia suka, apakah ia pikir aku akan begitu saja menuruti keinginannya untuk tinggal bersamanya. Aku sangat membenci perempuan itu, dari awal aku melihatnya aku sudah tidak menyukainya.

Aku tak akan mau mengikutinya, aku tak akan mau. Bagiku
tak ada emak yang lain, sampai matipun aku hanya punya satu emak. Yang telah membesarkan aku selama ini, yang aku sayangi... Walaupun aku tak mempunyai satu titik pun darah emak yang mengalir dalam tubuhku, walau kenyataan ini tak dapat diubah meski aku menukarnya dengan nyawa sekalipun. Memikirkan hal ini membuat aku menangis terisak isak, sungguh serasi sekali aku saat ini dengan keadaan tempat aku bersembunyi. Pekuburan yang sunyi, menguarkan aroma suram, sesuram hatiku...


Pekuburan yang begitu sunyi dan tenang, tak membuat aku merasa takut lagi, ada yang lebih membuat aku takut saat ini ketimbang hantu. Aku takut menghadapi kehidupan yang menantiku ke depan nanti, aku takut aku tak mampu mempertahankan hidup, aku takut goncangan jiwa membuat aku melakukan hal hal yang buruk. Aku lebih takut jika aku akhirnya berbuat nekat karena aku sudah tak sanggup lagi menjalani hidup. Lelah pikiran serta perasaanku membuat sekujur tubuhku terasa lemas. Kekuatan seolah olah sudah menguap dan hilang dari diriku.

Yang terpikir saat ini hanyalah pergi sejauh jauhnya dari dunia, meninggalkan semua kesakitan yang selalu setia menemaniku. Meninggalkan nasib buruk yang seolah olah telah lekat dan menjadi bagian dalam hidupku. Tiba tiba aku jadi kangen dengan ayah. Sosok yang cuma sebentar aku kenal, yang telah pergi sebelum aku sempat mengenalnya lebih dalam. Ayah yang mungkin andai saat ini masih hidup pasti akan menyayangiku, sebagaimana seorang bapak yang menyayangi putranya.

Aku memang tak mengenal ayah. Wajah ayah hanya aku ingat sekilas, wajahnya hanya aku kenal dari foto foto kenangan yang disimpan emak dengan rapi, seolah olah itu adalah harta yang tak ternilai harganya. Andai beliau masih ada, tak mungkin keluarga kami akan hidup dalam belitan kemiskinan seperti sekarang. Mungkin ia akan mempertahankan aku, tak akan mengizinkan siapapun yang mencoba coba untuk mengambil aku dari keluarganya. Entah mengapa aku merasa begitu rindu akan sosok ayah. Walaupun sekarang aku tahu kalau ayah yang aku kenal selama ini. Meskipun cuma dalam hati serta memori indah di celah terdalam hatiku, bukanlah ayah kandung seperti yang selama ini aku pikirkan. Aku hapal posisi kuburan ayah. Setiap lebaran biasanya emak dan ayuk ayukku mengajak aku nyekar di kuburan ayah. Aku merangkak perlahan menggeser posisiku yang tadi meringkuk bertopang lutut kemudian aku berdiri, daun kering menempel pada celana pendek yang kupakai, aku tak perdulikan, rasa gatal terkena perdu dan semak tak ku indahkan lagi.


Pelan pelan aku berdiri dan berjalan menuju ke kubur ayahku. Kuburan yang tak disemen, hanya sebuah nisan usang dari kayu bertuliskan nama ayah. Rumput liar tumbuh menyemaki seluruh permukaan kuburnya. Batang kamboja setinggi puncak kepalaku sedang berbunga. Melati menguarkan aroma harum menusuk hidung. Serta kembang rose yang berbunga jarang yang dulu aku ingat waktu aku masih kelas tiga sekolah dasar, aku tanam bersama yuk yanti. Sekarang sudah tumbuh dengan liar, nyaris menyamarkan kubur ayah. Kuburan yang tak terawat serta terbengkalai.


Emak dan ayuk ayukku terlalu sibuk berusaha agar dapur tetap berasap, bukan sengaja mengabaikan kuburan ayah. Aku berlutut dan menangis lagi dikubur ayah, ku tumpahkan semua rasa sesak dalam hati, aku ceritakan segala gundah seolah olah ayah bisa mendengar segala keluhanku. Kubiarkan air mata tumpah menetes diatas tanah berumput yang basah karena embun. Entah berapa lama aku membiarkan posisiku duduk tengkurap dengan pipi menempel pada gundukan tanah kuburan ayah.

Entah berapa banyak airmata yang tumpah seiring curahan perasaanku pada ayah hingga aku akhirnya tak sadar lagi telah tertidur. Suara sayup sayup memanggilku dari kejauhan membuat aku terbangun, dengan kepala yang terasa sakit. aku menegakkan badan. Terdengar suara langkah kaki orang ramai yang semakin dekat sambil berteriak memanggilku, sorotan lampu senter simpang siur menimpa pepohonan, lalang dan rumput, aku cepat cepat beringsut sembunyi dibalik semak semak, agar mereka tak bisa menemukanku.

"RIO....!!!"

"RIO..."


"RIOOO.....!!!".


bersahut sahutan suara teriakan memanggilku, memecah keheningan di malam yang gelap, titik air hujan mulai jatuh rintik rintik, mengenai wajah dan tubuhku, bajuku sudah mulai basah, gemetaran antara takut dan dingin.

Sementara itu orang orang yang mencariku sudah semakin dekat dengan tanah pekuburan. Aku mendengar suara emak dan ayuk yanti, sempat hatiku luluh saat mendengar teriakan emak yang terdengar parau, namun ego serta kemarahan membuat aku mengurungkan niat untuk keluar dari tempat aku sembunyi.

"rio... Kemana kamu nak...?". betapa memilukan suara emakku.

"dek... Pulang lah dek... Kasian emak.. Dek.. Dimana adek.. Hujan sekarang dek...?".

teriak yuk yanti. Aku tahu pasti sekarang ia lagi menangis dari suaranya yang kudengar. Semakin mereka dekat, aku makin merapatkan tubuhku tak berani bergerak, seolah olah maling yang takut dikejar massa. Tak lama setelah langkah mereka menjauh dan suara mereka tak lagi terdengar, baru aku berani keluar dari persembunyianku.

Terus terang hari ini aku tak mau mendengar apa apa lagi, aku belum siap pulang ke rumah, penjelasan emak hanya akan membuat aku makin hancur, ini saja aku sudah kehilangan semangat hidup. Bukan aku tak kasihan dengan emak, walaupun aku tahu aku bukan anak kandung emak, bagiku emak lah ibuku tak akan tergantikan dengan siapapun. Itulah yang membuat aku begitu kecewa, aku benar benar sayang dengan emak, aku begitu menghormati beliau, tak dapat aku katakan betapa besar rasa sayangku, namun ternyata emak bukanlah emak kandungku sendiri, aku hanyalah seorang anak yang tak diinginkan oleh ibu kandungku sendiri, anak yang dibuang.

Aku merasa begitu kecil sekarang. Dari kecil aku tak memiliki banyak teman, anak anak seumuranku, jarang ada yang mau bergaul denganku. Karena aku orang susah yang setiap hari berjualan keliling kampung. Aku cuma punya keluargaku, yang selama ini sebagai harta yang aku miliki, namun sekarang aku tak memiliki apa apa lagi.. Bagaimana aku tidak shock seperti ini. Tetes air hujan semakin membesar, dan lebat, bajuku basah kuyup menambah lengkap penderitaanku. Bibirku menggeletar kedinginan.

Baru sekali ini aku mengalami penderitaan seperti ini, dengan tubuh gemetaran aku berjalan meninggalkan tanah pekuburan, mencari tempat berteduh. Tanah becek tergenang air yang berkecipak tersiram air hujan bak panah memedihkan mata. Untung saja aku bisa menemukan sebuah pondok tempat orang biasa ronda, walaupun minim tapi cukup untuk tempat sekedar berteduh menhindari air hujan.


Aku jadi kangen dengan kehangatan kamarku, tempat tidur walaupun kasur tipis namun nyaman, emak pasti kuatir sekali memikirkan aku, bisa kubayangkan emak gelisah sama seperti yang ku rasakan saat ini. Beliau pasti tak bisa tidur, memikirkan aku tak pulang ke rumah. Sudah cukup kesusahan emak tanpa perlu aku tambah tambah lagi, aku jadi menyesal telah pergi dari rumah. Aku membuat emak jadi sedih, aku tak boleh begini, kasihan emak..

Bukan salah emak semua ini, tentu saja emak tak menghendaki aku tahu, bahkan selama ini emak menyayangiku lebih dari kedua ayukku. Aku sering berantem dengan yuk tina karena masalah itu juga. Yuk tina sering marah justru karena ia merasa emak timpang. Yang bikin aku jadi heran sekarang, kenapa emak begitu menyayangiku sedangkan beliau tahu kalau aku bukan anak kandungnya. Tentu sulit bagi emak menjaga rahasia ini...


Memikirkan ini membuat aku menangis lagi. Aku telah menyusahkan emak yang menyayangiku. Emak sudah banyak berkorban untukku, apakah ini balasanku pada beliau yang telah membesarkan aku dengan tiap tetesan serta cucuran keringat hingga lelah tak pernah ia rasakan, aku tak boleh memikirkan diri sendiri. Aku harus pulang sekarang juga.. Emak pasti menungguku sekarang. Bergegas aku berdiri dan berlari menembus hujan deras pulang ke rumah.


Sampai didepan rumah, ruang tamu masih terang, lampu belum dimatikan, aku mendengar suara emak dan ayuk ayukku disela sela bunyi hujan yang bergemerisik. Kuketuk pintu perlahan lahan, seakan akan emak sedang menunggu di pintu, langsung saja terbuka.


"riooo....!!!." jerit emak saat melihatku berdiri mematung di depan pintu, dalam waktu sekian detik. Emak dan ayuk ayukku langsung menghambur memelukku. tangisan mereka langsung pecah, kami bertangis tangisan bersama.

"masuk rio.. Anakku... Mengapa kamu jadi basah kuyup seperti ini sayang...". isak emak sambil menarikku masuk ke dalam rumah.

"tina.. Cepat ambil handuk untuk adikmu..!". perintah emak pada yuk tina.

"iya mak...". buru buru yuk tina ke dapur mengambil handuk untukku.

"yanti, ambil baju bersih rio di lemari kamarnya..".

emak menoleh pada yuk yanti, segera yuk yanti mengangguk dan bergegas mengambil baju untukku. Emak menuntunku duduk dikursi ruang tamu. Sambil membelai pipi dan rambutku dengan lembut, emak memelukku, aku menangis dibahu emak, aku tak berkata apa apa, demikian juga emak. Segala perasaan sedih dan putus asa perlahan lahan menguap seiring kehangatan pelukan emak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar