Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 3

#4 KE RUMAH ERWAN



Pas jam istirahat, aku baru saja mau keluar kelas di depan pintu ada rian masih berdiri entah menunggu siapa. Aku hampiri langsung.

“nunggu siapa kamu..?”. Rian menoleh melihatku, ia senyum tipis.

“ah nggak nunggu siapa siapa kok”.

“ke kantin yuk..!”. Aku coba mengajaknya, untung untung nasib kalau dia mau, Namun rian lagi lagi cuma senyum.

“duluan aja lah Aku nyusul bentar lagi”. Jawabnya sambil berjalan ke tepi teras. Aku berjalan mendekatinya lalu berdiri di sampingnya, pokoknya aku harus bisa berteman akrab dengan rian, tapi kenapa sih dia sepertinya agak menutup diri. Tadi pagi dia kan baik banget mau menolongku, tapi sekarang ia terlihat seperti menjauh.

“makasih ya kamu sudah beberapa kali membantuku”. Ucapku pelan, ia mengangguk tanpa melihatku Seperti nya ia agak menjaga jarak. aku tak mau menyerah, biarlah mungkin memang tipenya seperti ini, agak malu malu, wajar aja karena dia kan murid baru, jadi butuh waktu untuk beradaptasi dengan situasi dan teman teman disekolah ini.

“beneran nih nggak mau ke kantin?”.

“pergi aja dulu!”. Ujarnya dengan tegas, sepertinya ia agak kesal.

“kamu ada masalah ya?”. Aku bertanya dengan hati hati agar ia tak tersinggung dan tak merasa aku mau terlalu tahu tentang dia.

“cerewet amat sih Pergi aja sana!”. Jawab rian agak kasar Aku betul betul kaget, tak menyangka reaksinya bakalan seperti ini, muka ku langsung menjadi merah karena malu, menyesal sekali rasanya aku berusaha akrab dengannya. Rupanya rian memang tak mau berteman dengan aku. Apa mungkin karena ia malu berteman dengan aku karena aku berjualan kue, seperti teman temanku yang lain juga malu terlalu akrab denganku karena aku jualan kue keliling tiap pagi.

Aku berbalik dengan pelan lalu kembali ke dalam kelas dengan sedih. Ingin rasanya aku menangis, kenapa rian tega membentak ku seperti tadi. Padahal maksud aku kan baik, aku hanya ingin berteman dengannya. Kenapa susah sekali bagiku untuk mendapatkan teman. Bisa di hitung dengan jari yang mau berteman denganku di sekolah ini. Kenapa sih orang orang tidak suka berteman dengan orang yang kurang mampu.

Padahal belum tentu aku mau mengemis pada teman teman yang mampu. Aku cuma sekedar ingin berteman saja. Satu satunya yang mau berteman akrab denganku di kelas ini hanyalah erwan. Teman sebangku dari aku kelas satu dulu Teman teman yang lain cuma sekedarnya saja. Paling cuma sekedar menyapa bila kebetulan berpapasan atau mengajak ngomong seadanya.

Kadang kadang aku sering iri walaupun tanpa aku sadari, melihat teman teman berkumpul, berjalan jalan sama sama mejeng di tempat tongkrongan anak anak gaul, atau ada yang berulang tahun, aku ingin sekali di undang, tapi jarang sekali ada yang mengundang ku, apakah karena menurut mereka aku ini tak penting, jadi nggak perlu diundang. Selama aku bersekolah, belum ada satupun teman teman selain erwan yang pernah main ke rumahku. Walaupun erwan murid yang paling kaya di kelas, Tapi ia tak pernah sombong, apalagi pamer. Bahkan ia paling akrab denganku.

Aku tahu banyak yang ingin berteman dengan erwan. Namun erwan selalu bilang padaku, kalau ia merasa lebih senang berteman denganku. Ia tak suka pada orang yang ingin berteman dengannya hanya karena memandang kekayaan orang tuanya saja. Menurut erwan, cuma aku yang benar benar tulus berteman tanpa ada embel embel apapun.


Aku senang erwan suka berteman denganku, tapi erwan jarang sekali nongkrong kalau sore, hampir tak pernah ia keluar rumah, kecuali kalau mau renang seperti kemarin dulu. Aku ingin sekali punya banyak teman, apakah aku salah kalau ingin bergaul, aku tak pernah meminta hidup susah, aku juga tak ingin menyusahkan orang lain. Tapi kenapa untuk mencari teman banyak itu susah. Aku pikir, sebagai murid baru, rian bisa menerimaku sebagai teman, rupanya aku salah. Rian sama saja dengan yang lain, Ia malu berteman akrab denganku. entah kenapa semakin rian bersikap seperti itu aku jadi semakin berharap sekali ia mau jadi temanku. Belum pernah aku merasa begitu ingin akrab dengan seseorang seperti kali ini.

Apakah ini Aku sendiri bingung, Padahal aku kan baru aja kenal dengan rian, tapi setiap melihatnya aku merasa begitu ingin dekat. Hatiku seakan akan memanggil manggil untuk selalu mendekatinya. Aku menyender dengan lesu di bangku, rasanya bagai kehilangan semangat.
Membaca buku pun tak konsen, Akhirnya aku mengambil buku tipis yang biasa aku pakai untuk menggambar. Ku buka lembar demi lembar. Aku tutup langsung buku itu, lenyap sudah minatku untuk menggambar. Aku masukkan kembali ke dalam tas, Kemudian aku berdiri, lebih baik aku cari erwan, mungkin saat ini ia lagi di kantin.

Rian masih berdiri di tempat tadi. Ia sempat melirikku, namun aku langsung membuang muka. Cepat cepat aku berjalan sambil berusaha untuk tak melihatnya. Kantin ramai sekali, aku melihat ke sekeliling mencari dimana erwan duduk. Rupanya ia sedang di pojok dekat jendela, sedang makan semangkuk bakso. Aku hampiri dia.

“wan Asik bener makan nya..!”. Kataku sambil duduk di bangku depan erwan.

“oh rio Hehehe biasa lah kawan Tumben mau ke kantin, biasanya kamu susah kalo diajak”

“lagi malas nih, Di kelas bete!”

“pesan lah makannya Sebentarl agi bell bunyi Cepatlah, ku bisabayarin!”. Tawar erwan tanpa basa basi Sambil menyuap sesendok bakso. Aku berdiri lalu ke gerobak mang ali.

“mang, bakso semangkok Jangan telalu pedes!”. Aku berkata agak keras, karena beberapa orang murid sedang antri memesan, ribut sekali Saling berebutan mirip anak ayam kelaparan.

“oke Tunggu bentar, masih ramai nih..!”. Mang ali mengacungkan jempol padaku, nampaknya ia begitu kewalahan. Mang ali sudah berjualan bakso di kantin ini sejak lama, jauh sebelum aku menginjakkan kaki di smp ini. Rumah mang ali tak terlalu jauh dari rumahku, Mang ali adalah bapaknya Dodi. Setiap aku beli bakso sama dia pasti di kasih lebih banyak bola dagingnya. Aku kembali duduk di depan erwan Nafasnya mendesah karena kepedasan. Keringatnya bersemburan di wajahnya yang berkulit cokelat bersih Bibirnya agak memble karena bengkak kena cabe.

“gila pedas banget, tolong ku ambil air putih segelas..!”. Cepat cepat aku tuang segelas air lalu aku berikan pada erwan. Langsung diminum erwan sampai habis.

“tambah lagi nggak, kayaknya kamu kepedesan bener”. Tanyaku sambil mengangkat ceret plastik ke arah erwan, Erwan langsung mengulurkan gelas kosongnya ke arahku Langsung aku tuang ke gelas erwan sampai penuh. Seorang perempuan menghampiriku sambil mengantar semangkok bakso yang tadi aku pesan.

“makasih ya mbak”. Kataku sambil menggeser mangkuk lebih dekat ke depanku. Aku menuang saus tomat banyak banyak, kemudian kecap manis dan sambal. Asap masih mengepul dari dalam mangkuk, tercium aroma kaldu daging membuat perutku jadi lapar, tak sabar untuk melahap habis bakso.

“buruan makannya, Sebentar lagi masuk!”. Erwan memburuku agar cepat takutnya aku nggak sempat makan karena keburu bunyi bell.

“masih panas nih, gimana makannya ntar lidah ku terbakar...!”.

“siapa suruh ke kantin jam segini, udahtau istirahat hampir selesai baru ke kantin Padahal sudah dari tadi ku ajak”. Gerutu erwan menahan senyum geli melihat aku yang makan terburu buru. Kemudian ia berdiri dan berjalan ke kasir membayar makanan kami. Aku membuka mulut karena kepanasan bercampur pedas, bola daging yang biasanya aku makan dengan segenap penjiwaan sekarang ini aku gigit cepat cepat lalu aku telan dengan terburu buru. Hingga aku tak bisa meresapi kelezatannya, Bertepatan dengan habisnya bakso dalam mangkuk, bell berbunyi. Cepat cepat aku minum, lalu menarik tissue untuk mengelap keringat yang bercucuran di keningku.

“ayo ke kelas sekarang”. Ajak erwan sambil menarik tanganku, Kantin sudah sepi, aku bergegas mengikuti erwan kembali ke kelas. Kalau sampai terlambat dan guru yang keburu masuk bisa bisa kami kena tegur. Aku masuk ke kelas, kembali ke tempat duduk bersama erwan. Sekilas aku menoleh melihat ke bangku rian, ia sudah duduk di bangkunya.

Tak melihat ke arahku, asik ngobrol dengan vendi, Sekilas aku merasa iri, entah iri karena apa. Mungkinkah aku iri karena keakraban mereka. Diam diam aku jadi sebal pada vendi.
Pulang sekolah aku bersama erwan berjalan kaki, sebenarnya erwan punya sopir yang selalu mengantar dan menjemput dia ke sekolah, tapi beberapa bulan ini ia selalu pulang jalan kaki. Cuma perginya aja yang diantar. Aku sempat nanya kenapa ia tak pulang sama sopir, ia cuma bilang mau jalan aja sekalian olahraga. Kami berdua berjalan di tepi jalan.

“rio, kerumahku yuk Aku baru beli kaset sega baru..!”. Tawar erwan sambil mengimbangi langkahku yang panjang panjang.

“nggak ah Malu sama mamamu!”. Aku menolak halus, aku pernah melihat rumah erwan, aku merasa jengah kalau ke rumah erwan Belum tentu orangtua nya suka erwan bergaul dengan anak dekil seperti aku.

“nggak apa apa rio, mamaku nggak gigit kok, lagian aku sering kok cerita tentang kamu, sudah sering mama nyuruh ngajak kamu main kerumah..! kamu mau kan main ke rumah ku?”. Tanya erwan meminta kepastian, melihat wajahnya yang sepertinya sangat berharap aku mau menerima undangannya, aku jadi tak tega Akhirnya aku menganggukan kepala.

“oke lah, tapi aku mau pulang dulu,jangan sampai emakku kuatir”. Jawabku masih sedikit ragu Erwan tersenyum lebar seperti kegirangan.

“oke rio pokoknya jam setengah tiga aku jemput dirumahmu ya!”

“oke tapi jangan ngaret ya..!”. Aku menegaskan pada erwan Karena aku tidak suka menunggu nunggu seperti orang yang kebingungan.

“oke ku janji Pasti paling lambat setengah tiga datang”. Ujar erwan dengan yakin. Kami meneruskan berjalan pulang ke rumah Setelah sampai di pertigaan kami berpisah, karena rumah erwan belok ke kanan sedangkan aku lurus ke depan. Erwan melambaikan tangan padaku, aku balas sambil terus berjalan.

Sampai dirumah aku langsung berganti pakaian, sholat kemudian makan tak lupa aku memberi makan si merah, kucing kecil yang aku temukan dulu Sekarang anak kucing itu sudah agak gemuk dan terlihat sehat Karena aku selalu memberinya makan dengan teratur, dan juga aku selalu memandikannya. setelah itu aku mengayuh sepeda mengambil kue di toko toko.

Selesai memberikan uang kue kepada emak, aku minta izin sama emak untuk bermain kerumah erwan. Emak cuma berpesan agar aku tidak macam macam dirumah erwan Aku harus tetap sopan agar orangtua erwan senang.


Aku duduk diteras rumah, diatas bangku bambu menunggu erwan sambil membaca donal bebek. Komik berwarna yang sudah berkali kali aku baca tanpa bosan bosan karena ceritanya yang lucu sering membuat aku tertawa. Tepat jam setengah tiga sebuah mobil kijang berwarna hitam berhenti didepan pekarangan rumahku. Erwan turun dari mobil,
kemudian menghampiriku,

“ayo rio Kita pergi sekarang ok”.

“iya lah sekarang, udah dari tadi juga aku nunggu, sebentar ya aku pamit dulu sama emak..”. Jawabku sambil masuk kedalam rumah menemui emak yang lagi membuat kue didapur.

“mak erwan udah datang, rio kerumahnya dulu ya mak..”.

“iya rio hati hati di jalan ya, Jangan pulang terlalu malam..!”.

“oke mak Rio pergi dulu”. Emak cuma mengangguk sambil tersenyum Sambil berlari lari kecil aku hampiri erwan Kemudian ikut dia naik ke mobilnya Sopir membawa kami kerumahnya erwan.

Sampai dirumahnya, sopir memarkir mobil didalam garasi, aku dan erwan turun Kemudian berjalan ke depan teras ruang tamu rumahnya.
“ayo masuk aja nggak usah malu malu biasa biasa aja lah Mamaku juga lagi tidur siang!”. Ajak erwan sambil melepaskan sandal jepitnya di teras Aku mengikuti erwan masuk. Ruang tamu erwan lumayan besar, ada dua set kursi tamu berukuran besar seperti yang sering aku lihat di sinetron sinetron. Lantai rumahnya begitu mengkilat bagaikan piring makan yang ada didapur rumahku. Begitu bersih, aku pikir walaupun erwan menuang nasi dan makan langsung dilantai rumahnya, nggak bakalan sakit perut saking bersihnya.

“langsung ke kamarku yuk”

“emangnya kamar kamu yang sebelah mana?”. Tanyaku sambil melihat ke sekeliling rumahnya, Gila bagus sekali isi yang ada didalam rumahnya. Lemari lemari besar dari kaca yang penuh dengan porselen dan guci keramik. Vas bunga dari kaca warna warni ada di atas tiap tiap meja yang ada dirumahnya. Sebuah aquarium berukuran besar di sudut ruang tengahnya berisi ikan arwana berwarna merah terang sebesar ikan tenggiri berenang renang dengan angkuh didalamnya.

Pesawat televisi super besar dan speaker speaker berderet di bufet pada ruang tengahnya. Aku jadi ingat dengan televisi dirumahku yang masih hitam putih. Tak ku sangka erwan yang disekolah penuh dengan kesederhanaan itu ternyata bagaikan seorang pangeran dirumahnya sendiri. Berjalan pun rasanya aku ragu karena selalu memikirkan telapak kakiku apakah ada tanah atau tidak Aku tak mau kalau sampai aku meninggalkan cap kakiku diatas lantai keramik putih bersih ini. Erwan berhenti didepan sebuah kamar yang berpintu lebar dan tinggi Langit langit rumah erwan begitu tinggi, bahkan lebih tinggi dari langit langit kelas yang ada disekolahku.

“ayo masuk rio tak usah biasa biasa aja Anggap kamarmu sendiri..”. Kata erwan sambil menyibak gorden kamarnya yang berwarna putih Aku mengikuti erwan masuk ke dalam kamarnya. Mataku langsung terbelalak begitu melihat isi di dalam kamar erwan. Sebuah tempat tidur dengan seprei dan bedcover gambar mobil balap warna biru tua Busa per yang empuk dan tebal, miniatur mobil mobil dalam berbagai bentuk dan warna berjejer di rak tempel yang ada di dinding kamarnya Jumlahnya aku taksir mungkin lebih dari limapuluh buah.

Pesawat televisi dan video player serta sega melengkapi isi kamarnya, Bahkan ada ac nya. Belum pernah aku melihat dengan mata kepala sendiri sebelumnya kamar semewah ini. Aku menginjak karpet bulu tebal motif kulit macan loreng yang menutupi seluruh permukaan lantai rumahnya. Susah payah aku menahan agar mulutku tak menganga melihat semua ini. Aku hanya bisa menelan ludah Begitu kontras dengan keadaan rumahku. Selama ini aku cuma melihat bagian depan saja rumah erwan. Walaupun hampir setiap pagi ia membeli kue dariku, namun aku cuma duduk di terasnya saja.

“duduk rio, santai aja ya Kalau mau nonton nyalain aja tipinya, aku mau bikin minum dulu bentar!”

Kata erwan mempersilahkan aku, ia memberikan dua buah remote padaku, kemudian erwan keluar dari kamar. Sepeninggal erwan aku jadi bingung, remote tipi ini untuk nyalainnya yang mana, terus yang satu ini remote apaan. Karena takut salah, aku nggak berani menyalakan tipi Aku cuma duduk duduk saja sambil menunggu erwan kembali Sambil memandangi seluruh isi kamar erwan yang lengkap.

Pasti dari kecil erwan sudah mendapatkan fasilitas yang lengkap, tempat tidurnya berukuran sedang, cukup untuk satu orang Sepreinya rapi sekali, bedcover membuatnya terlihat makin apik Di sisi kepala tempat tidur ada lemari kecil yang ada lacinya sekaligus berfungsi sebagai meja untuk menaruh lampu tidur serta jam beker Meja belajarnya berbentuk seperti lemari kecil, lengkap dengan rak buku, laci dan lampu belajar.


Ada satu set komputer disamping meja belajar itu Aku bahkan belum pernah yang namanya menyentuh komputer. Andai punya kamar seperti ini, bisa betah aku seharian didalam kamar, ada saja kegiatan yang bisa aku lakukan, dari menonton, maen games, hingga maen komputer Alangkah beruntungnya erwan. Sekitar sepuluh menit aku menunggu, erwan kembali masuk kamar dengan membawa baki berisi ceret beling dan dua gelas panjang berisi sirup jeruk.

“kok nggak dinyalain tipinya?”. Tanya erwan sambil meletakkan baki ke atas laci disamping tempat tidur.

“hehe Aku nggak tau cara nyalainnya”. Sesaat erwan tertegun menatapku, seolah tak percaya apa yang barusan aku katakan, tapi ia cepat mengatasi rasa kagetnya Diambilnya remote yang tadi aku taruh diatas tempat tidur, lalu ia memencet tombol pada remote itu Televisi berwarna ukuran 29 inchi yang ada di depanku langsung menampilkan layar berwarna biru muda.

Erwan mengambil lagi satu remote diatas tempat tidur lalu mengarahkan ke televisi dan memencet tombol pada remote, layar biru langsung berganti dengan tayangan berita dari televisi swasta. Erwan memindahkan chanel hingga gambar pada televisi berganti ganti, banyak sekali siaran televisinya mungkin ada puluhan Erwan berhenti setelah ditipi menampilkan film kartun. Wah Film donal bebek Kebetulan sekali, dengan antusias aku mendekat ke tipi, lalu duduk diatas karpet.

“kamu kan suka baca donal bebek, nih filmnya Tiap sore jam tiga pasti ada di tipi kok”. Jelas erwan sambil duduk disampingku. Aku terpaku menatap layar, menonton adegan yang lucu membuat aku tak bisa menahan tertawa Erwan ikut tertawa terpingkal pingkal menyaksikan adegan adegan lucu di film itu. Saat film terpotong iklan, erwan berdiri lalu mengambil sirup jeruk yang ada diatas laci, memindahkan ke atas karpet.

“minum dulu rio Tertawa terus dari tadi, bikin mulut kering”. Aku mengambil mengangkat gelas panjang itu lalu meminum sirup jeruk Ahh Segarnya Rasa asam manis dan dingin membuat hausku langsung sirna.

“kita maen games yuk Aku baru beli kaset sega yang baru loh”. Ajak erwan sambil berdiri setelah kartun donal bebek selesai Erwan membuka kaca dibawah televisi, menancapkan kaset sega ke playernya.

“aku nggak bisa maen sega, Kamu ajari aku ya”

“gampang kok maennya Nih ambil stik ini”. Ujar erwan sambil memberikan sebuah joystik padaku Langsung aku ambil. Di layar sudah keluar gambar games saint seiya Walhasil selama hampir satu jam aku dan erwan main games itu Erwan mengajariku dengan sabar hingga aku benar benar bisa memainkan games itu dengan lancar. Satu jam lebih kami main games, aku tentu saja kalah karena erwan lebih gesit.

“ke dapur yuk Perutku lapar nih Kamu pasti lapar juga kan?”. Ajak Erwan sembari mematikan televisi dan sega Aku menggelengkan kepala menolak ajakan erwan Meskipun lapar, aku malu makan disini, karena aku baru sekali main kesini Lagian emak juga menganjurkan agar aku makan dirumah.

“makasih er Aku masih kenyang, makanlah dulu kalau kamu lapar, nggak apa apa kok aku bisa nunggu dikamar”. Jawabku pura pura membusungkan perut biar kelihatan kalau aku tak lapar. Erwan nampaknya sedikit kecewa aku menolak tawarannya.

“kalau gitu aku juga nanti aja makannya Aku juga belum terlalu lapar amat kok!”

“loh tadi kamu bilang udah lapar Makan aja lah Ngapain ditunda tunda”

“habis kamu nggak mau temani aku Jadi males!”. Erwan cemberut, wajahnya jadi lucu kalau seperti itu Aku tertawa sambil memukul pelan pahanya yang terbuka karena ia memakai celana pendek.

“iya deh, aku temani aja ya Aku nggak usah makan”

“oke Yuk kedapur sekarang”. Erwan melompat dari tempat tidur, lalu menarik tanganku setengah berlari keluar dari dalam kamarnya. Diruang tengah rumahnya, aku berpapasan dengan mama erwan, Ia sedang mengupas buah apel sambil duduk didepan televisi. Saat melihat aku mamanya erwan langsung tersenyum.

“ini ya temanmu yang kamu ceritakan itu?”. Mamanya bertanya pada erwan sementara tangannya masih terus mengupas buah apel, sambil memotong motongnya seukuran dadu kedalam piring.

“iya ma Namanya rio, dia sebangku denganku dikelas”
Aku menghampiri mama erwan lalu menyalaminya sambil mencium tangannya Emak selalu mengajarkan aku untuk mencium tangan orang yang lebih tua kalau bersalaman.

“eh rio, udah makan belum? Erwan ajak rio makan sana Mama tadi masak perkedel daging, sama goreng sosis loh”. Mama erwan menawariku makan, ternyata mama erwan memang ramah seperti yang erwan bilang.
“makasih tante Tapi rio udah makan tadi dirumah”. Lagi lagi aku menolak, aku benar benar merasa malu kalau makan disini, aku takut sekali kalau aku malah akan mengotori rumah mereka, pasti disini itu makannya teratur seperti yang ada di film film Aku takut tak bisa memegang garpu dengan benar Karena dirumah aku sudah terbiasa makan cuma dengan tangan tanpa sendok

“makan sedikit aja rio Nggak usah malu malu Ntar nyesel loh nggak nyicipin sosis goreng buatan tante Udah sana langsung aja kedapur bareng erwan”. Paksa mama erwan seakan akan beliau bisa membaca apa yang ada dalam pikiranku.

“yuk rio, kita ke dapur langsung Ntar keburu sore, nggak jadi lagi makannya disini!”. Erwan menyeret aku agar mengikutinya, sepertinya ia sudah tak sabar lagi menghadapi tingkahku yang sok malu malu kucing Dalam hati aku penasaran juga, bagaimana sih rasanya sosis itu, kalau aku lihat gambarnya didalam majalah, kayaknya enak banget deh Hehehe akhirnya kesampaian juga makan sosis.

Dapur rumah erwan tak kalah bagusnya dengan ruangan yang lain didalam rumah ini, Tertata begitu apik. Meja makan yang berbentuk oval, terbuat dari kaca tebal dikelilingi enam buah kursi makan berlapis busa dengan kain berwarna putih, sesuai dengan lampu kaca yang menjuntai dari langit langit rumahnya berbentuk anggur tepat diatas meja makan. Kulkas yang besar sekali berwarna putih disudut ruangan Semua serba putih, termasuk cat tembok dapur itu.


“hei! Jangan bengong aja dong, ayo duduk Ntar mulutnya kemasukan lalat tuh”. Erwan mengagetkanku Agak tersipu aku duduk dikursi makan empuk ini, Lauk dan nasi udah ada dimeja semua, dalam wadah porselen bertutup kaca, waaahhh........ Banyak sekali lauk nya Ada bermacam macam Sepertinya enak enak semua, susah payah aku menahan agar air liurku tak mengalir Aroma yang tercium olehku begitu enak.

“tunggu bentar ya, aku ngambil piring dulu”. Erwan pergi ke sebuah ruangan yang lebih kecil, ia membuka laci dibawah tungku kompor gas, rupanya ada rak piring dalam laci itu, gila Aku baru tahu kalau piring makan itu bisa disusun dalam laci seperti itu, keren juga Membuat dapur lebih rapi. Erwan kembali dengan membawa dua buah piring bersih Ia memberikan satu padaku.

“tuh nasinya ada dalam rice cooker itu”. Erwan menunjuk ke arah belakangku, aku menoleh, ternyata rice cooker nya ada dibelakangku tepat diatas meja samping kulkas Aku mengambil nasi sedikit, malu lah kalau keliatan kayak orang kelaparan. Erwan mengambil nasi setelah aku selesai, kemudian kami duduk dikursi makan. Erwan membuka tutup kaca satu persatu kemudian menyuruhku mengambil lauk yang aku suka.

“banyak banyak ya rio Pokoknya makan itu yang bener jangan takut takut Nanti kamu nggak kenyang Kalau di rumahku jangan takut kelaparan hehehe mamaku selalu menyediakan makanan yang banyak kok Teman teman kakakku juga sering kok makan dirumahku”. Jelas erwan sambil mengambil sepotong besar sosis yang gemuk Dilumuri bumbu yang membuat aku menelan ludah.

Aku mengambil daging rendang, lalu sayur dan terakhir aku mengambil sepotong sosis. Sedangkan erwan aku lihat piringnya sudah penuh dengan lauk, nasinya cuma sedikit saja, tetapi lauknya mengelilingi nasi itu. Kalau itu sih kelihatan seperti nasinya itu yang jadi lauknya. Kalau dirumahku, nasinya satu piring tapi lauknya bisa disembunyikan dalam nasi.

Aku senyum senyum sendiri membandingkan hal itu. Aku membayangkan andai emak punya banyak uang pasti juga seperti mama erwan. Buktinya walaupun uang kami tak banyak tapi emakku selalu berusaha untuk masak enak untuk kami. Saat makan sosis ini aku jadi ingat emak, ingin rasanya aku masukkan dalam kantong bajuku agar aku bisa membawa pulang, lalu aku makan bersama emak Memikirkan hal ini tiba tiba sosis yang aku makan terasa hambar. Aku tak bisa makan enak enak sementara emak dirumah makan seadanya. Padahal tiap emak ke kondangan pasti selalu ingat untuk membawakan aku kue kalau ia pulang.

Emak tak pernah lupa padaku, Aku menghentikan menggigit sosis yang ada di tanganku. Nafsu makanku telah hilang.

“kenapa rio, sosisnya nggak enak ya?”. Tanya erwan dengan heran melihatku berhenti makan.

“iya wan Aku jadi ingat emak ku dirumah Wan Boleh nggak sosis ini aku bawa pulang saja?”. Aku bertanya sambil menatap sosis yang ada di piringku. Erwan terdiam sejenak memandangku Kemudian ia tersenyum lebar.

“makan aja dulu yang itu sampai habis, nanti aku suruh mbok yati bungkus yang masih baru untuk kamu bawa pulang Masa sih kamu mau bawa sosis bekas kamu gigit untuk emakmu”. Kata erwan agak geli melihatku. Aku tahu erwan pasti heran denganku.

“nanti mamamu marah wan!”

“nggak mungkin lah mama marah Lagian sosis ini banyak kok Kadang kalau nggak habis pasti dibawa pulang sama mbok yati”

“makasih ya wan kamu baik banget”. Kataku dengan terharu, senang sekali punya teman seperti erwan.

“iya Sekarang kamu makan lah sampai habis, ambil lagi lauknya yang banyak, pokoknya nggak usah malu malu lah kalau disini, papaku nggak bakalan bangkrut cuma gara gara sosis kok Hehehe”. Aku kembali melanjutkan makan, hingga habis semua isi dalam piringku Perutku betul betul kenyang. Selesai makan erwan menaruh piring ke tempat cuci piring, aku membantu menutup kembali mangkok porselen berisi lauk lauk dengan tutup kaca itu. Erwan memanggil pembantunya kemudian menyuruh membungkus beberapa sosis untuk aku bawa pulang nanti.

“kekamar lagi yuk!”. ajak erwan setelah selesai membereskan peralatan makan kami tadi, aku mengangguk lalu mengikutinya berjalan kembali kekamar. Di ruang tengah, mama erwan sedang menyusun bunga dalam vas beling, ia tersenyum saat melihat aku.

“udah makannya rio, nah gitu dong, nggak perlu malu disini”. mama erwan menghentikan menyelesaikan menata bunga.

“udah tante, makasih banyak ya sosis gorengnya benar benar lezat”. jawabku agak malu, erwan mengangguk padaku.

“papa kapan pulang ma, katanya hari ini udah dirumah tapi kok sampai sekarang belum ada?”. erwan bertanya pada mamanya.

“cuaca di jakarta agak buruk, jadi pesawat nya delay, tadi papamu telpon, ia bilang mungkin agak malam baru nyampe”.

“oh gitu ya ma Pantas aja belum nyampe”.
Aku diam mendengarkan pembicaraan mereka, erwan menoleh padaku kemudian mengajak aku ke kamarnya.

“aku ke kamar erwan dulu ya tante”. kataku pada mama erwan, namun beliau menahanku.

“duduk dulu disini, tante mau ngobrol sebentar, nggak apa apa kan?”. Aku terdiam, loh kenapa mama erwan mengajak ngobrol, memangnya apa yang mau ia bicarakan, tapi aku menganggukan kepala demi kesopanan. Aku duduk dikursi dekat mama erwan Menunggu mama erwan memulai pembicaraan, karena aku bukan anak yang supel, aku betul betul malu.

“kata erwan kamu pintar ya?”. mama erwan membuka pembicaraan.

“biasa aja kok tante Nggak pintar pintar amat”. aku terkejut juga karena mama erwan mengatakan ini.

“semenjak berteman denganmu, prestasi erwan di sekolah menjadi lumayan, menurut erwan karena ada kamu yang selalu membantunya kalau ada pelajaran yang agak sulit untuk ia mengerti”. mama erwan tersenyum ramah padaku Aku jadi serba salah, sebenarnya aku senang juga karena erwan memujiku didepan mamanya.

“erwan bisa aja, ia terlalu memuji, wajar aja lah tan sesama teman itu kan wajib saling membantu, apalagi erwan teman sebangku”. aku mencoba merendah.

“masih berjualan sebelum sekolah ya?”.

“masih tante Membantu emak lah, kasihan kalau emak yang harus keliling”.

“bagus, tante salut padamu, walaupun kamu berjualan tapi tak mengganggu prestasimu di sekolah”.

“emak selalu mengingatkan aku untuk selalu belajar, kata beliau kalau aku ingin merubah nasib, perlu kerja keras dan harus pintar!”. aku menjawab dengan mantap, petuah dari emak selalu aku ingat dan tanamkan dalam hati, bagiku emak adalah kebanggaanku Walaupun emak bukan perempuan kantoran yang selalu berpenampilan rapi, namun bagiku emak tak kalah dengan mereka, perjuangan emak membesarkan kami dengan tiap tiap tetes keringat kesedihan dan kelelahan karena harus berjuang sendirian, lebih mulia dari perjuangan mencari uang sampai melalaikan rumah tangga Uang memang penting tapi bukanlah segala galanya.

“rio ini ma selalu mendapat peringkat tiga besar, beruntung loh erwan berteman dengan rio!”. puji erwan membuat aku malu

“eh mama hampir lupa, erwan tolong ambil bungkusan diatas meja rias mama”. perintah mama erwan.

“iya ma, sebentar”. erwan berdiri lalu berjalan menuju ke kamar mamanya, Aku duduk menunggu erwan sambil terus mengobrol dengan mamanya. “dirumah kamu berapa bersaudara rio?”.

“tiga tante, aku anak bungsu, kedua kakakku perempuan masih sekolah di smu, papa sudah meninggal sejak aku masih kecil”. aku menjelaskan, mama erwan mengangguk angguk. Erwan kembali dari kamar mamanya sambil membawa kotak yang terbungkus plastik besar sekali Lalu memberikan pada mamanya. “ini ma!”. mama erwan mengambil bungkusan yang diberikan erwan, lalu memberikan kepadaku.

“ini untuk kamu rio”. ujar mama erwan membuat aku terhenyak kaget Benar benar tak aku sangka, apa yang di berikan mama erwan Aku agak ragu memandang mama erwan, kemudian aku melihat erwan, ia cuma tersenyum lebar, sepertinya ia sudah tahu apa isi bungkusan itu.

“ambil aja rio, nggak usah ragu Sebenarnya sudah dari kemarin kemarin mama menyuruh aku mengajakmu kesini untuk memberikan itu Tapi kamu selalu ada alasan menolak”. jelas erwan membuatku tambah bingung, namun aku ambil juga bungkusan itu sambil tak lupa mengucapkan terima kasih. “terimakasih banyak tante”.

“sama sama rio, tante juga berterima kasih, kamu udah membantu erwan selama ini, semoga aja kamu suka, erwan sendiri loh yang milihin itu”.
“buka aja dulu rio”. desak erwan seperti tak sabar menyuruhku melihat apa isi dalam bungkusan itu. Sedikit gemetaran aku buka plastik hitam ini, sebuah kotak sepatu, jantungku langsung berdebar debar. Aku keluarkan sepasang sepatu berwarna hitam yang bagus sekali, serasa tak percaya aku menyentuh kulit sepatu itu, halus sekali Tak pernah aku membayangkan mendapatkan sepatu sebagus ini. Dalam kotak sepatu itu masih ada dua pasang kaus kaki yang masih baru berwarna putih.

“te..terima k..kasih Tante Erwan”. mulutku terbata bata mengucapkan terima kasih, aku betul betul terharu, betapa baiknya mereka Meskipun berkelebihan harta, namun mereka masih sempat berbagi. Erwan dan mamanya tersenyum melihat aku yang canggung.

“tuh masih ada lagi kok rio Coba buka lagi”. perintah erwan sambil tertawa senang. Aku letakkan sepatu didalam kotak, lalu aku keluarkan kotak dari dalam plastik bungkusan, dibawahnya ada baju seragam sekolah dan celana yang baru Serta sebuah tas dan ikat pinggang yang masih tergulung Rapi.

Semakin gemetaran tanganku memegangnya. Aku keluarkan seragam yang masih baru itu, lalu tas hitam dan ikat pinggang hitam dengan perasaan haru, betapa baik mereka, Meskipun berkelebihan harta, namun mereka masih sempat berbagi.

Erwan dan mamanya tersenyum melihat aku yang canggung. Aku letakkan sepatu didalam kotak, lalu aku keluarkan kotak dari dalam plastik bungkusan, dibawahnya ada baju seragam sekolah dan celana yang baru Serta sebuah tas dan ikat pinggang yang masih tergulung Rapi. Semakin gemetaran tanganku memegangnya.

Aku keluarkan seragam yang masih baru itu, lalu tas hitam dan ikat pinggang hitam dengan perasaan haru, betapa baik mereka.


#5 PEREMPUAN YANG MENCURIGAKAN


Aku betul betul tak tahu harus mengatakan apa lagi, semua ini benar benar tak aku sangka, mendapatkan seragam sekolah yang baru, tak sedikitpun terbayangkan akan secepat ini, aku memang sudah menabung agar bisa membeli sepatu dan baju, tapi jumlahnya masih terlalu jauh untuk cukup membelinya saat sekarang.

Erwan memang sahabat yang baik, tak kukira ternyata mamanya juga baik, tak seperti orang kaya yang ada di film film selalu jahat. Aku masukan kembali tas, baju, celana dan ikat pinggang ke dalam plastik, kemudian aku jadikan satu dengan bungkusan kotak sepatu. Berkali kali aku mengucapkan terimakasih pada erwan dan mamanya.

"tante cuma berharap, kamu lebih tekun lagi belajar, dan tak bosan bosan membantu erwan, karena tante percaya dengan kamu... Semenjak akrab denganmu, erwan jadi bagus nilai nya di pelajaran..". Ujar mama erwan lembut sambil memegang bahuku. Aku menganggukan kepala perlahan, aku tak tahu harus ngomong apalagi.

"silahkan kalau mau ke kamar lagi, tante juga mau mandi dulu... Sering sering lah main kesini temani erwan, dirumah ia kesepian, kalian berdua bisa belajar bersama sama disini..pokoknya tak usah sungkan sungkan... Tante senang kalau erwan mendapatkan teman yang bisa mengarahkannya menjadi lebih baik..".

Mama erwan menutup pembicaraan lalu berdiri dan berjalan menuju ke kamarnya.
Erwan mengajak aku kembali ke kamarnya, sekarang sudah jam setengah lima sore, aku tak bisa terlalu lama pulang, soalnya belum mandi. Didalam kamar erwan, aku bertanya kenapa sampai mama erwan memberikan padaku alat alat itu, erwan menjelaskan kalau mamanya memang sering ikut program orang tua asuh, jadi sudah terbiasa membagi bagikan pada orang orang kurang mampu perlengkapan sekolah.

Tapi biasanya yang ia bantu adalah anak anak yang masih di sekolah dasar. Erwan yang meminta pada mamanya untuk memberikan padaku baju sekolah ini.. Kembali aku mengucapkan terimakasih pada erwan. Sampai jam lima aku bersama erwan mengobrol dikamarnya, kemudian aku pamit pulang, erwan menyuruh aku menunggu sebentar, ia keluar kamar dan kembali lagi tak lama kemudian sambil membawa bungkusan berisi sosis yang tadi ia suruh pembantunya membungkusnya untuk aku bawa pulang. Lalu ia mengantarku keluar kamarnya, tak lupa aku pamitan juga pada mama erwan menyalaminya dan mencium tangannya.


Mama erwan menyuruh sopirnya mengantarku pulang, sebenarnya aku sudah menolak dan memilih untuk pulang berjalan kaki, tapi erwan dan mamanya tetap memaksa. Akhirnya aku pulang dengan diantarkan oleh sopirnya keluarga erwan. Sampai dirumah aku turun, kemudian mengucapkan terimakasih pada sopir erwan, sopirnya mengangguk sambil tersenyum kemudian pulang kembali kerumah erwan. Aku masuk kerumah sambil mengucap salam. Emak yang sedang duduk menjahit rok yuk yanti, menjawab salamku.

"apa itu nak..?". tanya emak saat melihat bungkusan yang aku bawa.

"ini mak, aku dikasih peralatan sekolah sama mama erwan...". jawabku sambil meletakkan bungkusan diatas meja. Emak menatapku agak heran kemudian ia membuka bungkusan itu. Mengeluarkan kotak sepatu dan baju baju yang aku bawa.

"wah banyak sekali nak.. Subhanallah, beruntungnya kamu... Kok mereka sampai bisa memberikan kamu semua ini gimana ceritanya..?". tanya emak sedikit penasaran. Kemudian aku menceritakan semua kepada emak. Emak mendengarkan dengan penuh perhatian.

"kamu bilang terimakasih nggak sama mereka nak?".

"tentu saja mak.. Nggak mungkinlah rio nggak berterimakasih.."

"baik sekali ya mereka, semoga kebaikannya diberi pahala yang setimpal oleh allah...". gumam emak sambil memegang sepatu baruku itu.

"oh ya mak, rio juga bawa sosis goreng untuk emak, emak loh mak, tadi erwan kasih untuk aku bawa pulang.". aku memberikan bungkusan yang lebih kecil kepada emak.

"kamu udah mandi belum, mandi dulu sana.. Bawa perlengkapan sekolah mu ini ke kamarmu, nanti setelah itu kita makan sama sama...!". ujar emak sambil mengambil bungkusan yang aku berikan.

"iya mak.. Rio memang belum mandi, rio mandi dulu ya mak..". kataku sambil memasukan peralatan sekolahku ke dalam kantong plastik lalu membawanya kekamar. Setelah itu aku mengambil handuk, kemudian aku mandi. Selesai mandi aku sholat magrib, setelah itu makan malam bersama emak, yuk yanti dan yuk tina. Kami makan dengan lauk telur dadar, sayur asem serta sosis goreng.

"sering sering aja kamu main kerumah temanmu itu dek.. Biar kita sering makan sosis...". kata yuk yanti sambil bercanda.

"hus.. Nggak boleh begitu.. Kita tak boleh memanfaatkan kebaikan orang lain...". emak menasehati kami.

"tapi rio kan nggak minta, mereka yang ngasihnya.. Lagipula aku tahu kalau mereka itu orang kaya.. Kakaknya erwan kan sekolah di smu yang sama denganku, cuma dia udah kelas tiga..". kata yuk tina sambil menggigit sosisnya dengan lahap.

"emak tahu, tapi kita juga tak baik kalau bertujuan mengemis, rio kan berteman akrab dengan erwan, ia tak pernah meminta, tapi sebagai teman yang baik, erwan mengerti akan keadaan rio, dia membantunya, itu lah yang dinamakan sahabat sejati.. Rio juga harus bisa membalas kebaikan erwan.. Kalau erwan ada kesulitan dalam pelajaran mesti rio bantu juga...". jelas emak panjang lebar.

"iya mak, itu pasti kok.. Walaupun nggak dikasih semua ini, rio tetap akan membantu erwan kok mak..". jawabku sambil menuang sayur asem ke dalam piringku.

"besok kamu pake seragam baru pasti lebih ganteng ya dek..". ujar yuk yanti. Aku tersenyum mendengar kata kata kakak sulungku ituselesai makan, yuk yanti membereskan meja dibantu oleh yuk tina. Aku kembali ke kamar, mengambil bungkusan berisi seragam sekolahku yang baru yang aku taruh diatas tempat tidur.


Aku buka plastik pembungkus baju, sebuah kemeja putih berbahan halus, dengan hati hati aku lepas kancingnya satu persatu, kemudian aku pakai. Begitu pas ditubuhku, kemudian aku buka plastik pembungkus celana biru tua dari bahan dril yang bagus dan tebal. Ku lepaskan celana hawaiku kemudian aku memakai celana sekolah baruku. Bagus sekali, seperti celana yang dipesan di tukang jahit. Pintar sekali erwan memilihnya.

Seragam sekolah ini membuat aku jadi terlihat tak lusuh lagi, rasanya tak sabar menunggu pagi datang. Ke sekolah dengan seragam yang baru. Kurang puas, aku pakai sepatu dan kaus kaki serta ikat pinggang pelengkapnya. Aku pandangi penampilanku didepan cermin. Terlihat bagai anak gedongan, ternyata baju bisa sangat membuat seseorang itu terlihat begitu beda. Aku benar benar pangling seolah tak percaya bayangan yang ada didepanku itu aku.
Aku berputar putar didepan cermin, mematut diri.

"ceileee....yang seragamnya baru.... Udah nggak sabar lagi make nya nih....!!". terdengar suara yuk yanti di belakangku, aku menoleh dengan malu, seolah maling tertangkap basah, mukaku jadi memerah, entah sejak kapan emak, yuk yanti dan yuk tina melihatku bergaya didepan cermin seperti ini. Kenapa aku bisa lupa menutup pintu. Mereka menghampiriku, emak mengusap rambutku dengan sayang.

"gagah sekali kamu nak... Baju itu pantas sekali kamu pakai..". kata emak dengan terharu.

"apa ayuk bilang, adek pasti ganteng pakai baju barunya... Beneran dek, kalau pakai seragam itu, adek kelihatan seperti anak orang berada..". puji yuk yanti sambil tersenyum lebar.

"coba aku juga bisa pake baju kayak kamu rio.. Beruntung sekali kamu... Bisa dikasih seragam selengkap itu..". tambah yuk tina sambil menatapku dari atas hingga ke bawah. Aku jadi makin tersipu.

"eh sudah isya.. Emak mau sholat dulu.. Kalian juga jangan lupa sholat, jangan menunda nunda waktu sholat, nggak baik..." ujar emak saat mendengar azan berkumandang di masjid. Yuk yanti dan yuk tina keluar dari kamarku bersama emak, aku mengganti kembali seragam ku dengan baju rumahan. Saat keluar kamar, aku menabrak yuk yanti yang baru saja dan wudhu sedang berjalan tepat di depan pintu kamarku. Ia terkejut..

"eh adek... Jalan itu hati hati dong dek...". nasehatnya sedikit kesal karena aku tabrak tadi. Aku buru buru minta maaf.

"maaf yuk nggak sengaja soalnya tadi aku nggak tau kalau ada ayuk.."

"ya sudah..lain kali hati hati...". Gerutu yuk yanti sambil kembali ke belakang. Aku mengikutinya, ternyata yuk yanti kembali ke kamar mandi dan mengambil wudhu lagi, aku jadi bingung, aku kan adiknya, kenapa yuk yanti ngambil wudhu lagi.. Dalam keluarga itu, saudara laki laki tak membatalkan wudhu, demikian juga saudara perempuan tak membatalkan wudhu saudara laki lakinya. Itu dinamakan muhrim. Aku cuma diam saja berdiri disamping pintu kamar mandi menunggu yuk yanti selesai.

Yuk yanti keluar dari kamar mandi, aku tak bertanya kenapa dia mengambil wudhu lagi. Apakah yuk yanti tidak tahu tentang hukum muhrim itu. Aku masuk ke kamar mandi mengambil wudhu dengan hati yang masih bertanya tanya. Selesai sholat, aku ke dapur bergabung dengan emak, dan kedua kakak perempuanku. Aku membantu mereka membungkus ketan dengan daun pisang. Emak menaruh abon ikan ke dalam ketan, sedang yuk tina dan yuk yanti membungkusnya. Aku membantu menusukan lidi ke ujung ujungnya agar daun pisangnya nggak terbuka.

"kamu nggak ada PR rio.. Kalau ada mendingan kamu kerjakan dulu...". emak bertanya sambil menyusun ketan yang sudah selesai di bungkus ke dalam kukusan.

"nggak mak.. Nggak ada.. Habis ini aja aku belajar.."

"dek, kaus kaki adek kan ada dua... Untuk ayuk ya satu..". kata yuk tina sambil tersenyum manis padaku. Dasar ayuk ku satu ini, kalau ada maunya aja pasti senyum senyum gitu.. Tapi nggak apa lah.. Aku kasih kaus kakiku satu untuk yuk tina, soalnya kalau nggak aku kasih, pasti emak yang akan kena imbasnya, yuk tina pasti akan meminta beli sama emak.

"boleh yuk.. Tapi yang agak panjang aja ya.."

"makasih ya.. Adek ku ini memang adek paling baik diseluruh dunia..". yuk tina memeluk aku erat erat karena kesenangan.

"eh ayuk... Udah dong yuk.. Norak ah..". aku gelagapan karena jengah, jarang jarang yuk tina memeluk aku seperti ini, kami berdua memang lebih sering berantem, yuk tina yang keras kepala sering marah marah kalau perhatian emak kepadaku agak lebih.. Aku senang bisa membuat yuk tina gembira.

"kamu ini tin,.. Selalu aja nggak mau ngalah sama adek..". tegur emak menggeleng gelengkan kepala melihat yuk tina.

"ih emak cerewet amat sih, rio aja nggak kenapa napa aku pinta kaus kakinya, lagian sesama saudara itu kan harus saling membantu... Tul nggak dek...?". canda yuk tina sambil mengedip mata padaku.

"iya.. Mak gak apa apa mak.. Lagian rio kan masih punya kaus kaki baru mak, kalau mau ganti kan masih ada yang lama...".

"kalau memang begitu ya terserah kamu nak, yang penting kalian akur itu yang bikin emak bahagia..". tambah emak sambil tersenyum pada kami. Aku berdiri karena telah selesai. Yuk yanti membawa wadah kue ke atas meja. Baru saja aku mau ke kamar, tiba tiba pintu depan ada yang mengetuk, terdengar suara seorang perempuan memberi salam. Emak membuka pintu, seorang perempuan sebaya emak berdiri didepan pintu tersenyum lebar, tiba tiba wajah emak langsung berubah pucat pasi.

"mega..!". desis emak seolah olah sedang melihat hantu.."

"apa kabar yuk leni... Maaf ganggu malam malam..!". sapa ibu itu dengan tenang, entah kenapa aku seperti kurang suka melihatnya. Dari dandanannya yang agak menor bagai baru pulang main lenong.

"ma...m..masuk ke dalam dik.. Sama s..siapa kesini...?"

"sendirian yuk.. Suami aku lagi sibuk..". jawab ibu itu sambil melangkah masuk kedalam rumah, emak minggir sedikit memberi ruang pada ibu itu untuk masuk.

"silahkan duduk dik.. Mega..maaf rumah ini berantakan... Belum sempat beres beres...". masih dengan suara yang terbata bata emak mempersilahkan ibu itu duduk.

"maaf ya datang tanpa memberi kabar.. Soalnya aku benar benar tidak bisa menahan lagi...". ujar ibu itu sambil duduk dikursi tamu. Matanya mengitari isi ruangan tamu rumah kami yang standard. Aku mengintip dari balik tirai kamarku dengan penasaran, kenapa emak sepertinya kurang suka melihat ibu itu.

"maaf aku tinggal ke dalam sebentar ya dik..". kata emak, ibu itu menganggukan kepalanya, tapi ekspresi wajahnya seperti orang yang sudah tak sabar untuk mengutarakan sesuatu. Emak berjalan ke dapur, sekilas emak memandangku yang sedang mengintip, lalu emak menemui yuk tina. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi setelah itu yuk tina masuk ke kamarku.

"dek.. Temani ayuk sebentar, kita kerumah teman ayuk, mau pinjam buku pelajaran untuk bikin PR.. Ayuk takut sendirian malam malam gini...".
ajak yuk tina, aku menatap yuk tina dengan heran, aneh sekali, kenapa tiba tiba yuk tina minta di temani kerumah temannya, padahal biasanya ia paling malas kalau harus berjalan bersama sama denganku.

"ayuk aja pergi sendiri... Aku lagi malas keluar nih.,". aku menolak, karena aku mau tau apa maksud ibu yang asing itu datang kemari hingga membuat emak jadi ketakutan begitu.

"nggak usah banyak alasan... Ayo temani ayuk..!". paksa yuk tina sambil menyeret tanganku keluar dari kamar. Terpaksa aku mengikutinya walaupun agak sebal. Aku keluar dari kamar sambil memandangi ibu itu, saat melihatku ia berdiri dan agak tercengang.. Yuk tina mempercepat langkahnya sambil terus menyeret tanganku membuat aku nyaris menabrak meja pendek disamping pintu menuju ke dapur.
.

"yuk.. Katanya mau ketempat teman.. Kok lewat dapur sih.."
protesku kesal, yuk tina bertingkah aneh seperti ini.
Di dapur aku melihat emak sedang berbisik dengan yuk yanti yang sedang mencelup teh kedalam cangkir. Mereka berdua langsung diam waktu melihatku. Ini membuat aku jadi semakin curiga. Pasti ada apa apanya. Yuk tina menarik tanganku lewat pintu dapur, kemudian keluar rumah.. Setelah di jalan baru ia melepaskan pegangannya.

"kenapa sih yuk.. Kayak orang gila.. Siapa ibu itu yuk..?". aku bertanya sambil mengikuti yuk tina yang berjalan seperti orang mau mengambil gaji.

"teman lama emak dek.. Ayuk juga nggak tau.. Tadi emak yang bilang.. Ayo buruan ntar teman ayuk keburu tidur..". jawab yuk tina. Kami berjalan melewati jalan gelap yang banyak ditumbuhi pepohonan, tak jauh dari situ ada pekuburan. Karena sudah sering lewat disini aku dan yuk tina sudah terbiasa. Walaupun gelap kami sudah hapal dengan jalan. Rumah teman yuk tina sudah terlihat, pintunya masih terbuka. Aku dan yuk tina berjalan mendekat kemudian yuk tina mengetuk pintu sambil mengucap salam. Rini teman yuk tina sedang duduk diatas lantai, sepertinya sedang membuat pekerjaan rumah, buku buku berserakan dilantai, rini menoleh melihat kami, kemudian ia berdiri menyuruh kami masuk. Aku dan yuk tina masuk ke dalam rumah rini.

"ada apa tin, tumben malam malam kesini..?". tanya rini kembali duduk di lantai. Yuk tina berjongkok disamping rini.

"pinjam buku akutansi dong, aku lupa soal soal yang harus dikumpulkan besok, catatanku tertinggal di mejaku..". kata yuk tina. Rini meletakkan penanya diatas buku tulis.

"loh.. Bukannya udah kamu masukkan ke dalam tas, aku lihat sendiri..". jawab rini dengan heran..

"kamu itu salah lihat.. Yang aku masukkan itu buku lain.. Ayo lah rin, pinjam dong bukunya.. Mampus aku kalo sampai lupa ngumpulnya besok..". kilah yuk tina ngotot.

"tunggu sebentar aku ambilin dulu bukunya di kamar.. Kamu itu ceroboh banget tin.. Buku sampe ketinggalan di sekolah..". gerutu rini sambil berdiri lalu berjalan masuk ke kamarnya. Yuk tina menoleh melihatku, aku cemberut. Yuk tina langsung melengos pura pura membalik balik buku pelajaran punya rini. Aku duduk di kursi tamu, tak lama rini keluar dari kamarnya sambil memegang sebuah buku yang berukuran agak besar dan tebal.

"ini tin, jangan sampai lupa ya dibawa ke sekolah besok..". rini memberikan buku itu pada yuk tina. Aku berdiri menunggu yuk tina, aku tak sabar ingin pulang, soalnya aku mau tau siapa sebenarnya ibu yang datang kerumah kami itu.

"tugas kita itu di halaman berapa rin, aku lupa..". yuk tina bertanya dengan santai sambil membalik balik buku akuntansi itu.
"halaman 37 bab 12, menghitung hari buku.. Ada soal yang diakhir bab itu, semuanya ada 15 soal..". jawab rini sambil terus menulis. Entah kenapa aku merasa yuk tina sengaja mengulur ulur waktu agar bisa lebih lama disini. Aku duduk lagi dengan sebal. Memandangi mereka yang asik membahas soal soal. Hingga jam setengah sepuluh baru yuk tina pamit untuk pulang.

"makasih ya rin, aku tadi sempat kebingungan dirumah.. Untung kamu ada buku ini.. Aku pinjam dulu ya.. Makasih ya rin, kami pulang dulu..". kata yuk tina sambil berdiri. Rini mengantar kami hingga ke pintu.

"adek tunggu dong...!". jerit yuk tina saat kami melewati pekuburan yang gelap dan banyak pohon besar. Cahaya bulan sabit yang redup membuat suasana terasa sunyi.

"buruan jalannnya... Jangan kayak pengantin..!". gerutuku sedikit kesal, aku ingin cepat cepat sampai dirumah, aku masih penasaran kenapa sepertinya emak bertingkah agak aneh tadi. Yuk tina mempercepat jalannya menyusulku. Dingin sekali udara malam ini, sepertinya akan turun hujan, karena aku lihat langit ditutupi awan, mana angin bertiup agak kencang. Keheningan malam ini cuma terisi suara nyanyian kodok serta gemerisik langkah kakiku dan yuk tina. Setelah beberapa menit akhirnya kami sampai dirumah, emak dan yuk yanti sedang duduk didepan teras. Sepertinya mereka sedang menunggu kami.

"emak kok diluar sih... Kan banyak angin mak.. Nanti masuk angin..". ujarku sambil menghampiri emak mengajaknya masuk ke dalam rumah.

"emak baru aja mau menyusul kamu dan tina, kok lama sekali sih.."

"itu yuk tina tuh... Sibuk ngobrol sama temannya.. Gak tau temannya lagi sibuk belajar..". aduku dengan sebal pada emak. Yuk tina melotot melihatku, aku pura pura tak melihatnya. Biarin aja ia mau melotot sampai keluar kedua biji matanya. Kami masuk ke dalam rumah, yuk yanti mengunci pintu setelah kami semua berada di dalam. aku duduk dikursi ruang tamu, kursi yang sudah ada sebelum yuk yanti lahir. Busanya sudah memadat dan kainnya pun sudah kusam.

"siapa ibu ibu tadi itu mak..?" aku bertanya cepat cepat karena kulihat emak mau masuk ke dalam kamarnya. Emak yang sedang berjalan langsung berhenti kemudian menoleh padaku.

"bukan siapa siapa rio, cuma teman lama emak waktu masih sekolah dulu... Kenapa memangnya nak..?. Jawab emak agak heran, namun aku bisa melihat kalau emak agak gugup dan suaranya terdengar sedikit bergetar.

"nggak apa apa mak.. Cuma nanya aja.. Soalnya rio lihat emak kayak nggak suka sama ibu itu...". aku mengatakan apa yang aku pikirkan. Emak tersenyum dengan sabar, lalu menghampiriku dan duduk disampingku.

"rio.. Emak tak pernah membenci atau tak menyukai orang lain tanpa sebab... Mungkin itu cuma perasaanmu saja nak.. Perempuan itu memang benar benar teman lama emak yang sudah lama tidak bertemu, datang dengan wajar sebagai teman yang kangen sudah lama tak bertemu...". emak menjelaskan dengan sabar, sebenarnya aku belum puas dengan jawaban emak, tapi aku tak mau membuat emak jadi sedih, aku tahu ada yang emak sembunyikan. Tapi aku tak boleh memaksa, biarlah nanti waktu yang akan menjelaskan apa yang jadi pertanyaan dalam hatiku.

"sudah larut nak.. Tidur sana.. Besok sekolah.. Kamu mau pakai baju baru kan...". aku melihat ke jam dinding, sudah hampir jam sebelas. Aku mengangguk angguk dan berdiri, kemudian ke kamar mandi, cuci muka dan gosok gigi.. Setelah itu aku kekamar dan tidur.
Sambil berbaring aku merenungkan kembali kejadian tadi, perempuan itu datang dengan memasang wajah angkuh, aku tak suka melihatnya, tapi aku seperti merasa telah mengenalnya.

Entah kenapa aku seakan akan tak bisa melupakan wajah perempuan itu. Apakah emak punya hutang yang belum bisa dibayar, hutang lama pada perempuan itu. Kalau memang benar begitu, kasihan emak, pasti begitu kebingungan sekarang, aku tahu emak tak punya uang banyak apalagi tabungan. Aku juga tak tau harus membantu bagaimana.

Pulang jualan, setelah memberi makan kucingku dengan nasi putih yang diaduk rata campur ikan goreng, aku cuci tangan, lalu mengganti baju sekolah.. Rasanya semangat sekali hari ini, baju baru, sepatu dan tas baru.. Dengan percaya diri aku keluar dari kamar, emak tersenyum melihatku.

"gagah sekali kamu nak...?". ujar emak dengan senang. Hatiku jadi berbunga bunga.

"ah emak bisa aja... Rio berangkat dulu ya mak.. Assalamualaikum.. " aku mencium tangan emak, kemudian keluar rumah, baru saja aku menginjakan kaki ditanah, mobil yang biasa membawa erwan berhenti tepat didepan pekarangan rumahku. Emak menoleh sedikit heran melihatku.

"itu mobil erwan teman sekelasku mak..!". aku menjelaskan pada emak. Emak mengangguk angguk. Pintu mobil terbuka, Erwan turun dan menghampiriku. Ia tersenyum padaku dan emak.

"assalamualaikum...pagi bu.. Pagi rio..". ia menyapa aku dan emak.

"waalaikumsalam...pagi juga nak..". emak menjawab salam erwan.

"tumben mampir kesini.. Ada apa wan?". tanyaku sedikit heran.
"nggak, aku tadi baru mau berangkat, tiba tiba ingat kamu, jadi aku minta pak amat lewat sini.. Sekalian sama aku aja ya ke sekolah..". tawar erwan padaku.

"wah... Kirain kamu udah disekolah....makasih ya udah mau jemput aku."
"santai aja, lagian rumah kita kan tak terlalu jauh, ayo masuk ke mobil..". kata erwan membuka pintu mobil, kemudian masuk kedalam, aku mengikutinya masuk lalu duduk disampingnya. Erwan membuka kaca mobil.

"bu kami berangkat dulu ya..assalamualaikum..". erwan pamit pada emak, dari dalam mobil sedikit berteriak. Emak memandangi kami dari tengah pintu rumah sambil tersenyum lebar. Aku melambaikan tangan pada emak.

"rio pergi mak..."

"waalaikum salam.. Hati hati dijalan.." nasehat emak sambil mengangguk kemudian masuk ke dalam rumah.

"wow keren sekali kamu rio.. Sumpah kamu ganteng banget...". puji erwan membuat muka ku mekar karena malu, aku jadi salah tingkah.

"ini semua kan berkat kamu, telah memberikan seragam baru yang bagus ini.. Makasih banyak ya sobat...". jawabku sambil tak lupa mengucapkan terimakasih lagi.

"aku senang banget melihat kamu memakai seragam itu.. Beneran rio kamu jadi makin cakep". kata erwan dengan antusias. muka ku jadi mekar mendengar pujian erwan yang terlalu berlebihan itu. sepanjang jalan menuju sekolah, kami berdua bercanda. erwan mengeluarkan beberapa bungkus wafer dan memberikan padaku, bersama sama kami makan wafer.

Hingga tak terasa mobil yang membawa kami telah berhenti di depan gerbang sekolah. aku dan erwan turun, tak lupa aku berterimakasih pada supir erwan. Setelah supir erwan pergi, aku dan erwan bersama sama memasuki gerbang dan berjalan menuju kelas. Aku bersyukur pagi ini Karena pakai mobil, aku bisa lebih banyak waktu sebelum bell bunyi. Saat melihat Didalam kelas, beberapa murid yang bertugas piket membersihkan kelas sedang menyapu.

Beberapa kursi masih berdiri diatas meja. Teman cowok yang piket membantu menurunkan kursi kursi itu sebelum bell bunyi. Aku dan erwan duduk didepan kelas. Menunggu hingga kelas selesai dibersihkan.
Saat aku menoleh ke koridor, rian sedang berjalan dengan gayanya yang santai, tubuhnya yang jangkung dan tegap membuat langkahnya yang tenang itu jadi mempesona.

Berpuluh puluh pasang mata dari teman teman perempuanku menatap rian dengan kekaguman yang tak disembunyikan.. Dengan cuek ia menghempaskan pantatnya duduk disamping erwan. Dadaku langsung berdetak kencang. Ingin rasanya aku menggeser duduk lebih dekat ke rian, namun aku tahan.

Mengingat kejadian kemarin ia membentakku membuat aku jadi agak antipati, walaupun aku kagum, namun aku tidak suka dengan perlakuannya padaku. Walaupun aku orang yang sederhana namun aku punya harga diri. Emak saja tak pernah membentak aku seperti itu.

"pagi rio.. Erwan..". sapa rian menoleh pada aku dan erwan.

"pagi rian... Tumben baru datang.. Biasanya kan jam setengah tujuh kamu udah disini..". jawab erwan.
Aku cuma diam dan mengangguk tanpa senyum ke rian. Sekilas aku tahu ia sedang memperhatikan ekspresi wajahku yang datar, tapi aku pura pura sibuk melihat ke depan dimana beberapa orang murid sedang membuang sampah didalam tempat sampah.

"iya, tadi aku bangun agak siang, gara gara ada sepupuku datang, semalam ia mengajak aku ngobrol hingga larut, jadinya aku tak bisa tidur cepat, ya gini deh... Untung saja aku nggak telat masuk.."
jelas rian panjang lebar. Aku cuma diam pura pura sibuk sendiri, padahal dalam hatiku menyimak apa yang ia katakan. Tapi aku tak mau menimpali, aku masih bete dengan rian.

"eh rio, kok dari tadi diam saja..?". tanya rian tiba tiba membuat aku kaget. Apakah dia tahu kalau dari tadi aku mengacuhkan dia. Cepat cepat aku menoleh sambil tersenyum ala kadarnya saja.

"ah nggak kok..". jawabku singkat, kemudian aku menepuk paha erwan.

"wan, masuk kelas yuk.. Bentar lagi bell bunyi..". ajakku sambil melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan erwan. Aku berdiri, erwan melihat jam tangannya lalu menoleh padaku.

"iya.. Sekarang udah jam tujuh, yuk ke kedalam,.. Ayo rian masuk ke kelas...". erwan berdiri sambil melirik rian lalu mengambil tas sekolahnya yang berbentuk ransel, berwarna hitam. Rian ikut berdiri lalu mengikuti kami masuk ke dalam.
Ruangan kelas sekarang sudah bersih, lantai sudah tak berdebu lagi dan kursi sudah tersusun rapi.

Aku berjalan ke arah bangku kami. Kemudian aku menarik bangku dan duduk. Bertepatan aku duduk bell berbunyi. Dalam sekejab saja kelas yang tadi sepi langsung dipenuhi oleh riuh rendah suara teman temanku yang berebutan masuk ke dalam. Aku duduk sambil memandangi punggung rian. Ia sedang membuka tas nya dan mengeluarkan buku serta alat tulis.

Entah apa yang menggerakannya tiba tiba ia menoleh ke belakang, tepat melihatku. Mata kami saling berpapasan. Aku terkejut karena tertangkap basah sedang melihatnya. Cepat cepat aku menoleh ke jendela, pura pura tak sengaja sedang melihatnya. Aku malu sekali, aku tahu pasti mukaku memerah saat ini. Walaupun aku sedang melihat lurus ke jendela, namun aku bisa menangkap bayangan rian, ia masih melihat aku. Aku pura pura tak menyadari itu. Setelah aku yakin ia tak melihat aku lagi, baru aku mengalihkan pandangan dari jendela dan membuka tas baruku.
"suka nggak dengan tas itu rio...". bisik erwan pelan di telingaku, aku tak menjawab cuma mengangguk dan tersenyum lebar. Aku yakin ia pasti tau kalau aku bukan cuma senang tapi aku betul betul senang dengan tas ini, terlihat sekali tas ini mahal, dari mereknya saja aku tahu. Kalau beli sendiri, mungkin aku harus lama sekali menabung untuk membeli tas sebagus ini.
Keluarga erwan memang benar benar baik, di tengah tengah kemewahan yang meliputi mereka, masih sempat untuk berbagi dengan orang yang kurang mampu. Seandainya semua orang kaya seperti itu, pastilah akan tercipta keharmonisan di dunia ini. Semua akan saling menghormati. Sayangnya cuma segelintir orang yang seperti itu. Lebih banyak orang yang menumpuk harta kekayaan untuk dirinya sendiri. Terkadang malah harta itu cuma untuk disimpan tanpa di pergunakan. Aku tak mengerti jalan pikiran orang yang seperti itu.
Mereka mencari uang bahkan dengan cara yang tak halal, korupsi dan mengambil sesuatu yang bukan haknya. Hanya untuk menambah rekening yang belum tentu bisa ia pergunakan secara maksimal. Apakah memang orang seperti itu adalah orang yang takut miskin, atau orang itu cuma senang kalau melihat saldo di rekeningnya selalu bertambah. Lalu apa fungsi uang bagi mereka.. Aku benar benar tak habis fikir. bell istirahat berbunyi, setelah bu sukma keluar dari kelas, teman teman sekelasku berebutan keluar kelas, seolah olah dalam kelas ada bom yang siap untuk meledak.
"wan ke kantin yuk...". aku mengajak erwan yang sedang memasukkan bukunya ke dalam tas. Erwan memasukan tas ke dalam laci kemudian berdiri.
"ayo.. Perutku sudah lapar, kepengen makan tekwan bu eni.". jawab erwan sambil berjalan keluar kelas. Aku dan erwan menuju ke kantin sambil ngobrol. Kantin bu eni terletak di belakang kelas satu. Setiap jam istirahat, kantin selalu ramai dikunjungi oleh murid murid dari seluruh kelas.. Selain kantin yang ada di luar pekarangan sekolah, dan kantin yang terletak di ujung ruang laboratorium milik ayah Dodi. Kantin bu eni lumayan ramai dikunjungi, tekwan yang dijual disitu terkenal enak, aku suka sekali. Aku duduk di bangku kayu depan meja yang berisi bermacam macam makanan. Erwan memesan dua mangkuk tekwan untuknya dan untukku. Baru saja aku mau makan, tiba tiba rombongan vendi bersama sekitar enam orang temannya termasuk rian datang. Mereka duduk didekat sudut bangku yang ada dibawah pohon akasia. Aku pura pura tak melihat dan sibuk makan. Kuah tekwan yang panas membuat bibirku terasa melepuh. Mungkin karena aku terburu buru hingga tak ingat lagi untuk meniup agar sedikit dingin. Erwan tertawa melihatku tersentak kaget karena kepanasan.
"makanya kalo makan tuh jangan kayak orang kelaparan sobat..". tukas erwan geli. Aku tersipu sambil menarik selembar tissue.
"iya nih... Soalnya tadi pagi aku lupa sarapan makanya lapar banget..". jawabku sambil menyeka ujung bibirku dengan tissue hingga kering.
"mbak minta es jeruk dua ya..!". teriak erwan pada seorang pembantu bu eni. Gadis itu mengangguk kemudian mengantarkan dua cangkir plastik es jeruk kunci manis ditambah batu es.
"bro.. Sore ini ke rumahku lagi ya.. Main sega lagi kayak kemarin...". ajak erwan sambil minum es nya.
"wah kalo sore ini mungkin aku nggak bisa wan.. Kamu aja deh yang ke rumahku..". aku menolak sambil balik menawar erwan.
"boleh sih... Asal kamu nggak keberatan..". jawab erwan sambil meletakan cangkir ke atas meja.
"ya nggak mungkin keberatan dong wan.. Malah aku seneng kamu sudi main ke gubuk kami yang sederhana..".
"hus nggak boleh ngomong gitu rio.. Aku tak suka kamu merendah seperti itu.. !". erwan mengingatkanku. Aku cuma tersenyum, menghirup kuah tekwan yang hangat dengan berselera.
"iya deh... Aku bukan merendah, tapi itulah keadaan yang sesungguhnya wan..tapi aku tetap merasa bersyukur kok". balasku santai tanpa beban. Erwan cuma tersenyum lalu melanjutkan makan tekwannya. Setelah tekwan dan minuman kami habis, aku berdiri hendak membayar.
"biar aku yang bayar bro..". erwan berdiri sambil merogoh kantong celananya mengeluarkan beberapa lembar uang seratusan rupiah.
"kali ini aku yang bayar..!". aku bersikeras.
"nggak apa apa rio, biar aku aja yang bayarin..". erwan tak mau kalah.
"biar aja.. Pokoknya aku mau bayar..!". aku tetap dengan pendirianku. Bukan apa, aku tak enak hati karena selama ini selalu erwan yang mentraktir aku makan di kantin, bagaimanapun juga aku mau sekali sekali ikut mentraktir erwan. Ingin membalas kebaikannya selama ini. Erwan menatapku sedikit ragu, aku memasang wajah batu. Akhirnya erwan hanya bisa mengangkat bahu. Ia tahu aku keras hati, kalau sudah membuat keputusan susah untuk dirubah.
"terserah kamu.. Makasih ya.. Sering sering aja traktir aku kayak gini..hehehe...". kata erwan sambil memasukkan kembali uangnya ke dalam kantong celananya. Aku cuma tersenyum mendengar kata katanya. Erwan memang lucu, aku tau kalau kata katanya tadi hanya sekedar canda.
"tunggu sebentar ya.. Aku bayarin dulu makanan kita..". kataku sambil menghampiri bu eni, lalu aku membayar sejumlah yang kami pesan tadi. Aku senang sekali bisa mentraktir erwan kali ini, aku tak enak hati kalau terus terusan ia bayarin, aku tak mau kalau nanti ada teman yang usil mengatakan aku penggerogot perekonomian erwan. Baru saja aku mengulurkan selembar uang limaratus rupiah pada bu eni, tiba tiba dari sampingku terulur tangan memegang selembar uang limaribuan, tanpa menoleh pun aku tahu siapa pemilik tangan semulus itu.
"bayar makanan kami tadi bu, sekalian dengan makanan rio dan erwan...!". ucapnya dengan tegas pada bu eni. Aku menoleh menatap rian dengan sedikit heran. Rian cuma tersenyum membalas tatapanku.
"tadi kalian pesan apa aja..?". tanya bu erni sambil menerima uang dari rian.
"tujuh mangkuk tekwan dan tujuh gelas es teh manis bu..". jawab rian santai, aku tak berkata apa apa.. Entah kenapa sejak kejadian itu, aku canggung setiap berada dekat rian, untuk berkata sekedar terima kasih saja susahnya minta ampun.
"jadi di tambah dengan erwan dan rio, semua ada sembilan mangkuk, dan dua gelas es jeruk di tambah tujuh gelas es teh .. Semuanya dua ribu dua ratus lima puluh rupiah.. Ini kembaliannya dua ribu tujuh ratus lima puluh rupiah.. Di hitung lagi ya siapa tau lebih..". ujar bu eni sambil bercanda. Rian mengambil kembalian uangnya dari bu erni lalu mengantongi uangnya.
"yuk rio.. Aku duluan ya...". kata rian sambil berlalu dari hadapanku. Aku membuka mulut hendak mengucapkan terima kasih. Namun langkah rian terlalu cepat, ia tak mendengar kata kataku. Aku menghampiri erwan dengan hati yang masih bertanya tanya. Kenapa sih rian begitu penuh dengan misteri, kadang ia baik, kadang menyebalkan..
"sudah dibayar rio?". tanya erwan berbasa basi.
"udah wan.. Dibayarin sama rian..". jawabku apa adanya, erwan cuma melongo menatapku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar