Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 23.1

Aku menelpon rian untuk menyuruh dia bersiap siap, aku mau mengajaknya kerumah rizal karena hari ini rizal mengajak ngumpul dirumahnya.
Untung saja rian mau walau itupun setelah aku paksa. Sekarang sudah jam empat sore, aku harus bergegas mandi. Setelah itu baru jemput rian.

Selesai mandi aku membuka lemari untuk memilih baju yang akan aku pakai, aku ingin kelihatan cakep didepan rian.
Akhirnya aku pilih baju bahan wool tipis lengan panjang motif garis garis biru putih dan celana panjang biru tua berbahan denim.
Aku pakai minyak wangi yang paling disukai rian.
Setelah aku merasa penampilanku sudah cukup lumayan. Aku menjemput rian. Ia sudah menunggu di depan teras sambil merokok. Rian menatapku lama seolah baru melihatku setelah sekian lama berpisah.

"langsung berangkat yuk..!" aku menghampiri rian.

"eh.. Iya yo.. Tapi tunggu sebentar.. Ada sesuatu yang mau aku bilang sama kamu.." mendadak rian menarik tanganku dan menyeretku masuk ke rumahnya.

"ada apa yan?" tanyaku heran. Rian menutup pintu. Lalu menghampiriku dan memelukku dengan tiba tiba.

"rian.. Kita udah ditunggu..!" aku mencoba melepaskan diri. Namun rian makin mempeketat pelukannya malah ia langsung menciumku. Aku menghela nafas.

"rian sabar dong.. Kan bisa nan..!"

"aku mau sekarang.. Teman teman kamu bisa menunggu..!" rian memotong kata kataku dengan nafas memburu. Ia menciumi leherku dengan liar.

"rian aku baru mandi tadi..."

namun protesku tak ia indahkan, tangannya menelusup ke dalam celanaku tak urung membuat hasratku ikut membara.

"kamu selalu membuat aku gila rio, kamu membuat ku tak bisa menahan.." suara rian nyaris seperti meratap.

"ya udah.. Persetan dengan rizal dan yang lain..!" aku merengkuh rian dan mendorongnya ke tempat tidur.

Dengan buas aku mencumbu rian. Kami bercinta hingga puas. Entah berapa kali aku tak ingat namun setelah selesai dan merapikan kembali pakaian kami aku lihat langit diluar sudah gelap.


*******************



Sepanjang perjalanan menuju rumah rizal, rian begitu ceria, ada ada saja yang ia ceritakan padaku. Aku senang beberapa hari ini rian ceria.
Mungkin karena perhatian yang aku berikan padanya membuat ia bahagia. Ia juga tak marah marah lagi.
Tiba dirumah rizal aku mengajak rian turun dan langsung berjalan lewat samping rumah rizal menuju ke taman belakang rumahnya.
Sudah banyak teman teman berkumpul. Berisik sekali suasananya. Mungkin ada sekitar limabelas orang, ada beberapa cewek juga. Aku tak mengenali satupun cewek cewek itu.

"hai rio.. Kok lama banget datangnya..!" protes rizal begitu melihatku. Ia memegang kipas sate yang terbuat dari bambu.

"maaf zal tadi ada urusan..jadi agak terlambat.." aku mencari alasan dan terpaksa berbohong, kan nggak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya pada rizal bisa bisa ia pingsan mendengarnya.

"ya udah kalau gitu langsung bergabung aja.. Tuh banyak cewek cewek loh.. Temennya intan.." rizal berpromosi. Aku melihat ke arah yang ditunjuk rizal nampak ada sekitar 5 orang cewek seumuran intan yang sedang tertawa tawa cekikikan tak wajar.

"ini dia jagoan kita udah datang..!" seru firdaus dengan heboh seolah sedang memperkenalkan seorang bintang tamu pada talkshow. Semua melihat ke arah aku dan rian. Aku jadi serba salah, demikian juga rian aku lihat mukanya jadi bersemu merah.

"udah ah firdaus gak usah norak gitu..!" aku menepis tangan firdaus yang mau menuntun aku bak seorang perancang mode yang sedang berdiri bersama model modelnya.

"hahaha... Biasa aja rio..!" sambut agus tak kalah noraknya. Aku jadi malu karena semua cewek cewek itu jadi fokus melihat pada aku dan rian. Sialan!..

"rio.. Sama siapa?"

terdengar suara intan dari sampingku. Aku menoleh dan melihat intan sedang menghampiriku.

"sama rian.. Temanku, kenalan dulu!"

aku menyenggol rian agar mengulurkan tangannya pada intan yang sudah lebih dulu mengulurkan tangan untuk menyalami rian.

"intan..!" ujar intan sambil tersenyum ramah.

"rian.." jawab rian tanpa minat.

"ayo gabung.. Kalian curang, datangnya gitu udah mau kelar.. Tuh liat, ikan sama sate nya udah hampir matang semua..!" intan pura pura protes.

"iya deh.. Kami minta maaf.. Sekarang apa yang bisa kami bantu?" aku mengikuti intan berjalan menuju ke panggangan.

"ya udah nggak usah ngapa ngapain.. Kalian kan baru sekali ini ikut bakar bakar sama kami.. Lagian kamu itu datang ke Acara ginian style nya kayak mau pemotretan kalender aja!" ujar agus bercanda.

Aku nyengir karena malu. Agus benar juga sih, sepertinya aku salah kostum datang kemari. Aku membantu agus mengipasi ayam bakar diatas tungku pemanggang.

"ngipas nya biasa aja yo..!" gerutu agus yang terkena serpihan abu dari tungku.

"sori gus.. Maaf, kipasnya terlalu bersemangat..!" aku memelankan gerakanku mengipas.

"tuh kan apinya jadi nyala.." agus buru buru memercikan sedikit air ke atas bara biar apinya padam.

"nih kecap manisnya.."

entah sejak kapan intan sudah berdiri di sampingku.

"eh intan.. Jangan terlalu dekat ntar kena bara..!" ujarku sambil bergeser.

"nggak apa apa kak.. Tadi juga sebelum kakak datang, aku kok yang manggangin ikan.." ujar intan tertawa.

"hmmm mentang mentang sama cewek, takut ya kena cewek apinya.. Kalo sama aku tadi ngipasnya gak kira kira..!" agus bersungut sungut.

"nggak segitunya lagi gus, kan nggak sengaja!" aku menahan senyum geli.

"apaan sih..!" intan tersipu sipu. Aku jadi heran melihat reaksi intan, padahal tadi kan agus cuma ngomong gitu. Dasar cewek.

"aku tinggalin dulu ya, kalian lanjut lah sampe selesai, mau boker nih, udah gak tahan!" agus mengerenyit sambil memegangi perutnya.

"ya udah boker aja sana, ntar keburu kentut disini.. Bisa busuk ayam panggangnya ntar!" aku mengusir agus sambil bercanda. Lagi lagi intan jadi tersipu sipu.

"kalian berdua jorok amat sih.." protesnya.

Aku tak menanggapi tetap pura pura sibuk mengipasi dan membolak balik ayam panggang.

"hei rio.. Kalian pacaran ya?" teriak danu dari belakangku. Aku menoleh sambil mengepalkan genggaman dan mengacungkan ke arah danu.

"sembarangan kalo ngomong!" teriakku membalas olokan danu.

"ternyata gosip yang aku dengar itu betul ya, ada pagar makan tanaman..!" firdaus ikut menimpali.

"gosip apaan, dasar emang kalian para cowok rumpi pada doyan menebar issue!" kataku sambil bercanda.

"akui saja rio kalo kamu naksir sama adik teman sendiri.." nopan tak ketinggalan ikut andil.
Apa apaan sih mereka semua, kok jadi aku yang mereka kira mengejar ngejar intan, padahal kan intan sendiri yang menyamperin aku kesini. Tapi tak mungkin lah aku ngomong gitu, soalnya kan intan lagi ada di sampingku sambil menunduk malu,
aku tak mau membuat intan tersinggung.

"udah udah... Kasian intan tu!" aku mendelik pada mereka semua, namun olokan mereka makin menjadi jadi. Aku melihat rian berdiri dekat firdaus mukanya masam melihatku. Aduh! Jangan sampai rian cemburu, aku kan tak ada apa apanya dengan intan.

"maafkan mereka ya kak.." intan melirikku malu malu.

"justru kakak yang tak enak sama kamu, soalnya mereka mengira kakak mengincar kamu.." kataku terus terang.

"gitu ya kak.." intan mendesah, suaranya agak berubah.

"iya tan, mana mungkin lah kakak mengembat adik temen sendiri." kataku agak tak enak hati. Intan diam tak menjawab.

"tuh ayamnya udah mateng nampaknya.. Ntar hangus kak!" intan mendadak sibuk menusuk nusuk bara dengan tongkat untuk mengurangi tumpukannya.

"eh iya..!" aku bergegas mengambil penjepit dan mengangkat ayam panggang.

"sini aku olesi mentega dulu.." suara intan sedikit ketus. Aku menyodorkan piring berisi ayam panggang yang baru kuangkat tadi sama intan yang langsung ia ambil dengan cepat,
entah karena terlalu terburu buru, malah intan jadi memegang tanganku.

"mesra banget nampaknya.. Kalian memang cocok tuh!" suara rian terdengar dari sampingku.
Aku meletakkan piring di samping tungku dengan panik.

"ups sori.. Gak sengaja kak!" intan jadi kaget dengan reaksiku.

"nggak apa apa tan, maaf kakak cuma kaget!" ujarku dengan menyesal.
Muka rian makin masam. Intan mengangkat piring tadi lalu membawanya pergi.

"kok kamu gak bilang kalo lagi deket sama adiknya rizal!" tanya rian tajam.

"siapa bilang, nggak kok yan..?" jawabku cepat, aku tak ingin rian salah faham mengenai hal ini. Bisa gawat kalau sampai itu terjadi, akan dipastikan selama berminggu minggu rian ngambek.

"tuh si agus tadi cerita, katanya kamu sama intan kayak ada kemistri!" cecar rian belum puas.

"rian, kalau percaya sama agus itu sama juga dengan menduakan tuhan, anak itu suka ngarang tau, mana mungkin lah aku sama intan, lagian mana mau ia sama aku, yang naksir dia kan banyak!" aku menjelaskan pada rian agar ia tak marah.

"tapi yang aku liat nggak tuh, sepertinya intan beneran suka sama kamu yo, terlihat banget dari gerak geriknya, ngapain juga ia mau nempel terus sama kamu kayak lintah gitu, bikin bete!" rian masih protes nampaknya ia benar benar cemburu.

"rian apa kamu melarang kalau aku pacaran sama cewek?" aku bertanya dengan hati hati takut terdengar yang lain.

"tentu saja rio, siapa sih yang mau orang yang ia cintai dimiliki orang lain.." jawab rian tegas. Aku terperangah mendengarnya. Jadi rian tak bisa menerima andaikan nantinya aku dituntut keluarga untuk menikah, aku harus bagaimana.

"kita bicarakan nanti saja yan!" aku menarik nafas dengan perasaan kuatir.

"ya sudah... Pokoknya aku tak akan membagi kamu dengan siapapun.. Andai pun nanti itu terjadi aku tak akan tinggal diam!" rian mengancamku.

"sudahlah rian kenapa kamu jadi sewot gitu, lagian kan sudah aku jelaskan tadi kalau aku tu nggak ada minat sama intan!" jawabku kesal, rian memang susah di mengerti. Ia selalu membuat aku berada di posisi yang sulit.

"kita lihat saja nanti, tapi aku tak yakin!" rian tetap cemberut.

"lebih baik kita bergabung sama mereka ketimbang membahas masalah nggak penting kayak gini..." aku mengajak rian berkumpul dengan teman teman yang lain.

"menurut kamu aku tak penting kan, perasaanku tak penting menurut kamu?" rian mulai lagi.

"sudahlah rian, kamu kan tak perlu aku ingatkan berkali kali bagaimana aku memperhatikan serta perduli padamu, aku bingung kalau terus terusan kamu curigai!" aku meninggalkan rian dengan cepat karena kesal.

"rio tunggu! Rio..!" rian berlari menyusulku. Tanpa perduli tatapan keherangan dari semua teman teman rizal aku pergi meninggalkan rumah rizal serta teman teman yang lain tanpa sempat berpamitan lagi.
Rian yang mengejarku tanpa sengaja menabrak teman intan yang sedang membawa minuman diatas baki tembaga.

Tanpa terduga baki itu terlepas dan menimpa kaki teman intan hingga ia menjerit kesakitan. Rian terjerembab jatuh setelah sempat berpegangan pada tiang besi penyangga pot pot kaktus hias hingga tiang itu ikut rebah.
Suasana jadi heboh dengan jeritan jeritan cewek cewek teman intan.
Aku berhenti dan memandang semua kejadian itu seakan tak percaya. Kenapa semua jadi kacau begini. Tanpa berpikir lagi aku berlari menghampiri mereka.

Rizal yang nampak kebingungan karena baru saja dari dalam rumah berdiri bengong melihat rian yang masih tersungkur dengan pot pot kaktus yang berserakan di sekelilingnya.
Sementara cewek teman intan yang entah siapa namanya itu menangis karena kakinya tertimpa baki serta luka terkena pecahan gelas. Aku mendesah prihatin. Ini semua gara gara aku. Entah bagaimana aku menjelaskan pada rizal mengenai semua insiden ini. Aku berjongkok meraih lengan rian dan memapahnya agar bangun. Agus dan teman teman yang lain dengan sigap mengangkat kembali tiang yang rebah itu serta membersihkan pot pot yang pecah berserakan.

"cepat ambil kotak medis di dapur.. Riska berdarah!" rizal memburu intan dengan panik.

"iya kak..." intan langsung masuk ke dalam rumahnya. Sementara rian yang telah berdiri langsung menepis tanganku dengan kasar dan pergi tanpa mengatakan apa apa lagi. Aku tak bisa menghentikan rian. Ia sedang emosi sekarang. Semua pasti akan bertanya kenapa sampai aku bertengkar dengan rian tadi hingga sampai terjadi seperti ini.

Aku menyesal telah membuat acara ini jadi berantakan. Aku harus bertanggung jawab. Aku membantu yang lain membereskan kekacauan yang telah terjadi karena insiden tadi.
Dibantu oleh semua teman teman akhirnya taman ini kembali rapi, riska telah di obati namun semua sudah kehilangan selera makan. Rian entah pergi kemana aku juga bingung. Kepalaku rasanya pusing sekali. Baru sekali aku diajak rizal ikut bakar bakar namun aku sudah membuat semuanya jadi berantakan.

"aku akan ganti semua pot dan bunga yang rusak zal..." kataku sambil menunduk, aku malu pada rizal. Semoga saja dia tak bertanya macam macam.

"tak apa apa rio, memangnya kenapa sih kamu sampai bertengkar dengan rian tadi?" rizal menatapku ingin tau. Butuh beberapa saat untukku berpikir agar bisa mengarang alasan tepat pada rizal.

"maaf zal, cuma kesalahpahaman kecil saja, rian orangnya sensitif, kalau ia merasa tersinggung maka ia langsung marah!"

"tapi tadi kami lihat kamu yang berlari sedangkan rian mengejarmu.. Apa tak terbalik?" rizal menyelidiki.

Aku menahan nafas, aku bukan pembohong yang baik.

"itulah masalahnya.. Aku tak tahan mendengar kata katanya makanya aku ingin menghindar.."

"ya sudah.. Soal pot dan bunga tak usah terlalu kamu pikirkan. Yang aku kasihan itu si riska, kasihan luka di kakinya cukup banyak dan harus dibawa ke dokter.." rizal tersenyum padaku.

"kalau begitu aku bawa dia kerumah sakit sekarang.." aku beranjak dari duduk lalu berdiri menghampiri intan dan teman teman lain yang masih mengurusi riska.

"aku minta maaf ris, sekarang kita ke dokter dulu ya!" riska mengangguk sambil meringis kesakitan.

Dibantu oleh intan ia berjalan menuju ke mobilku. Aku menyetir dengan cepat menuju kerumah sakit.
Untung saja jarak rumah sakit dengan rumah rizal tak begitu jauh. Aku memarkir mobil sementara intan dan rizal membantu riska turun. Sewaktu aku berbalik aku melihat mobil mama. Jantungku berdebar. Ada apa mama kerumah sakit ini. Setelah membawa riska keruangan dokter aku pamit sebentar sama rizal. Untung saja rizal tak banyak bertanya. Aku menelusuri lorong sambil melihat lihat siapa tau ketemu mama. Menjenguk siapa sih mama. Ataukah.... Semoga saja apa yang aku pikirkan tak jadi kenyataan. Dengan perasaan tak menentu aku berjalan menuju ke ruangan tempat om alvin di rawat.
Aku melihat mama koko sedang berdiri tak jauh dari kamar om alvin.

"malam tante.." aku menyapanya. Mama koko langsung senang melihatku.

"rio.. Wah tante tak Menyangka kamu datang!" entah kenapa rasanya aku melihat raut wajah mama koko agak seperti kuatir.

"om alvin udah baikan ya tan?" aku bertanya. Mama koko mengangguk.

"boleh aku ke dalam?" ujarku meminta ijin. Mama koko seperti agak ragu namun ia mengangguk juga. Aku meninggalkan mama koko dan membuka pintu kamar tempat om alvin dirawat.

Mataku langsung terbelalak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar