Sabtu, 20 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 34

#37 MENGURAI BENANG KUSUT
Hatiku lega emak akhirnya mau memaafkanku, meskipun rasanya malu sekali karena ulahku ini harus diketahui oleh seluruh keluargaku, bagaimanapun dekatnya aku sama keluargaku, namun aku sangat merasa malu juga ketika perbuatanku diketahui. siapapun akan susah hatinya jika anaknya berbuat hal yang memalukan.

Aku sebagai anak angkat emak belum memberikan kebanggan pada emak malah memberikan rasa kecewa yang teramat sangat. Aku sedih sekali dengan kenyataan ini, hanya karena ceroboh semuanya harus jadi seperti ini.

Andaikan waktu bisa di putar kembali ingin sekali aku memperbaiki kesalahan yang sudah aku buat, namun itu mustahil sekali, tak ada yang bisa mengembalikan waktu, segala yang telah terjadi dan dilakukan tak bisa dibatalkan.

Sekarang aku hanya bisa menunggu keluarga dari palembang datang, yang aku takutkan adalah tante laras, aku takut dengan reaksinya nanti jika melihatku. Selama ini dia sangat keras padaku. Rasanya mau menghindar tapi tak mungkin, aku harus menghadapi masalahku bukan melarikan diri dari itu. Dodi sudah menasehatiku, kalau aku melarikan diri terus maka tak akan pernah tuntas.

Apapun yang terjadi besok aku harus pasang badan. Ini adalah salahku jadi aku pantas menerima hukumannya. Aku juga kuatir dengan papa harlan, aku tau papa sudah keluar dari rumah sakit dan ia yang paling marah padaku karena ia yang memergokiku saat bersama om sebastian. sekarang aku tinggal menunggu masalah yang datang dari hasil perbuatanku, satu persatu sudah timbul dan semakin parah. Sekarang om sebastian entah dimana rimbanya.

Aku mengantarkan emak pulang sementara yuk yanti masih menunggui tante sukma, kasihan yuk tina mana besok dia harus kerja sampai sekarang ia belum tidur. Setelah mengantarkan emak aku membawa yuk yanti karena emak menyuruh yuk yanti yang menggantikan yuk tina menunggui tante sukma. Jadilah hari ini aku bolak balik dari rumah ke tempat bidan. Rasanya tubuhku capek sekali, segala persemdianku ngilu, itu belum seberapa di bandingkan dengan lelah batinku. Rasanya aku bisa tidur seperti beruang hibernasi setelah ini.

Pagi datang dengan membawa udara segar, namun pikiranku tak sesegar udara pagi, aku tak mengira kalau aku tak bisa tidur nyenyak dalam kondisi tubuh yang capek seperti ini. Berkali kali aku terbangun karena mimpi buruk. Akhirnya aku tak bisa tidur lagi setelah matahari memancarkan sinarnya yang lembut.

Aku turun dari tempat tidur dengan pikiran kacau. Emak dan yuk tina sedang duduk di kursi makan menghadapi lauk diatas meja namun mereka berdua melamun dengan wajah yang sangat murung, yuk tina sudah memakai baju kerjanya, wajah yuk tina sedikit sembab karena kurang tidur. Aku tak berani mengganggu mereka karena aku tau apa yang membuat mereka seperti itu, karena masalah yang aku buat. Biasanya yuk tina jarang murung dan melamun, yuk tina selalu penuh semangat.

Aku urung cuci muka di kamar mandi, aku langsung pergi ke sumur yang ada di halaman belakang untuk cuci muka disana. Setelah cuci muka aku tak langsung masuk lagi dalam rumah, namun aku duduk di pokok kayu rebah yang ada di belakang rumah memandangi semak semak yang berbunga serta perdu yang berduri dengan sendu, suasana yang seperti ini sangatlah tak nyaman. Aku hanya bisa berdiam merenungi lagi semua kesalahan yang seolah tak akan ada akhirnya, entah sampai kapan aku akan terus begini. Tak ada gairah tak ada semangat.

Andaikan aku bisa menjadi rumput yang tumbuh dengan bebas dimanapun ia mau, aku ingin rasanya jadi rumput. Tak ada beban tak ada masalah dan tak ada perasaan. Ayam ayam yang berkeliaran membawa anaknya mengais tanah untuk mencari makanan tak aku indahkan. Mereka mematuk matuk tanah yang ada di depanku tanpa ada rasa takut sedikitpun. Mungkin mereka tau kalau aku tak ada selera untuk mengusir mereka dari hadapanku. Ayam itu mungkin jauh lebih beruntung dari kau, hidup mereka tak ada beban, hanya makan dan tidur saja. mereka tak harus dipusingkan oleh rasa bersalah, mereka tak membuat masalah.

Ingin rasanya aku berhenti mengasihani diri sendiri namun aku tak tau bagaimana caranya. Ku ambil ranting yang tergeletak di hadapanku lalu aku menggores tanah dengan serampangan, melukis abstrak yang aku sendiri tak tau apa maknanya, bagaikan perasaanku saat ini yang juga tak tau lagi bagaimana aku ungkapkan. Aku tak menghitung waktu berapa lama aku duduk disini, hanya suara yuk tina yang memanggilku yang membuat aku sadar dari lamunanku yang tak jelas.

Aku berdiri dan menghampiri yuk tina. Rupanya ia minta antar ke kantornya, yuk tina memang tak mau rugi, ia masih saja ingat kalau ia mau diantar pakai mobil baruku. Dengan agak malas aku mengantarkan yuk tina ke kantornya, berkali kali ia mengingatkanku agar tak berlaku bodoh dengan mengembalikan mobil ini sama mama.

Selesai dari mengantar yuk tina, aku langsung mandi, tadi emak bilang kalau ia mau kerumah sakit sekalian menggantikan yuk yanti yang menjaga tante sukma, sebenarnya aku sangat terharu dengan perhatian emak meskipun tante sukma bukan keluarganya namun emak masih mau perduli untuk merawat tante sukma.

Aku mengantarkan emak dan kembali kerumah dengan yuk yanti. Pagi ini bang hendri kerja tanpa disiapkan sarapan oleh yuk yanti seperti biasanya. Untung saja reza masih tidur jadi dia tak rewel meskipun ibunya tadi tak dirumah, begitu sampai dirumah yuk yanti langsung saja beres beres dan memasak. Bahkan ia masih sempatkan membuatkan aku nasi goreng kesukaanku yang ada udangnya. Walaupun kurang berselera aku habiskan juga nasi goreng itu karena menghargai yuk yanti yang sudah capek membuatnya. Ia tak membahas masalahku, mungkin yuk yanti tau kalau aku merasa tak nyaman membicarakan kebodohanku ini.

Selesai makan aku menemui papa di hotel tempat ia menginap, tadi waktu aku telpon papa bilang dia agak siang baru ketemu sama rekan bisnisnya, jadi pagi ini aku ada waktu untuk menemuinya. Aku masuk ke dalam lobi hotel lalu langsung menuju ke kamar papa. Ia baru selesai mandi dan masih memakai handuk.

“ada apa, kamu mau bicara sama papa pasti ada masalah yang sangat penting, tunggu papa mau pakai baju dulu..”

Kata papa sambil membuka lemari baju dan mengeluarkan sebuah polo shirt putih berkerah hitam dan memakainya.

“pa...tante sukma ada disini dan sekarang ia sedang di bidan..dini hari tadi ia melahirkan anaknya..”

Kataku tanpa menunggu. Papa yang sedang memasang resleting celananya langsung berhenti dan memandangku seakan tak percaya.

“yang benar rio, kok bisa.. bukannya tantemu itu tinggal di palembang, kenapa ia melahirkan disini, apa tujuannya..?”

Papa sendiri heran mendengarnya.

“makanya aku juga bingung pa, katanya om sebastian sudah lama tak pulang, ia kira om ada bersamaku, ia tak percaya waktu aku bilang aku tak tau om ada dimana..!”

“loh memangnya ada apa sampai sebastian tak pulang, bukannya kamu bilang mereka tak jadi cerai..?”

“makanya pa, itu yang buat aku bingung, aku pasti akan dapat masalah lagi, kalau sampai keluarga dari pihak tante sukma tau aku tak tau harus bagaimana lagi, mana hari ini sepertinya keluarga dari palembang mau datang untuk melihat tante sukma sekalian menjemputnya..aku tak menyangka kalau masalahku ini akan berlanjut disini pa...aku benar benar kebingungan sekarang, rasanya aku tak bisa aman lagi..”

Aku mengungkapkan perasaanku pada papa.

“kamu jangan kuatir, papa pasti akan membantumu, kalau memang kamu merasa tak enak bertemu keluargamu, lebih baik kamu tinggal disini dulu, kan mereka tak tau kalau papa menginap disini..”

Papa coba berikan solusi. Namun aku tak setuju karena kalau aku sembunyi sama saja dengan mengatakan sama mereka kalau aku ini pengecut. Aku sudah mencoba sembunyi namun aku gagal malah aku membawa emak terseret dalam masalah ini, kalau aku sembunyi yang pasti akan di rong rong sama keluarga yang di palembang pastilah emak.
“pa, bisa nggak tolong aku untuk cari informasi dimana om sebastian, papa kan banyak relasi.. siapa tau aja ada yang tau diantara teman papa kalau om sebastian sembunyi dimana..”

“sepertinya sulit rio..tapi papa akan usahakan sewa orang untuk menyelidiki keberadaan om kamu itu, memang benar benar tak bertanggung jawab, yang papa sesalkan kenapa kamu harus sampai terlibat dengannya...”

“tolong jangan ungkit lagi pa, aku juga tak berhenti menyesali, tapi semua sudah terlambat, yang aku inginkan sekarang om sebastian pulang dan melihat isterinya, dia pasti tak tau kalau sekarang dia sudah jadi seorang ayah...”

“kasihan anaknya punya ayah seperti itu, harusnya orang seperti itu tak layak diberikan anak, hanya akan membuat anaknya malu saja...!”

Ujar papa sinis, sedikit banyak aku juga merasa agak tersindir, aku tak tau pasti apa maksud papa, apakah dia mau bilang gay tak layak ada anak atau om sebastian yang kabur tak bertanggung jawab tak layak memiliki anak.

“banyak gay yang menikah, tapi kelakuan mereka tak seperti itu... mereka masih bisa bertanggung jawab tak menyia nyiakan isterinya meskipun mereka menikah hanya demi status, tapi sebastian memang sudah sangat kelewatan..!”

Lanjut papa lagi masih dengan nada yang sinis.

“sudahlah pa...mau marah juga on sebastian tak ada di sini, yang paling kesal itu harusnya tante sukma dan aku, kami berdua sudah terkena masalah karena om sebastian..aku heran padahal dulu ia sangat baik..tapi manusia memang bisa berubah...”

“papa harap kamu bisa mengambil pelajaran dari semua kejadian ini nak...bikannya papa m elarangmu, tapi nasehat papa yang mungkin klise bagi kamu, tak ada salahnya kamu coba pacaran sama perempuan, kamu kan belum pernah, jadi kamu tak tau apakah kamu ada ketertarikan sama perempuan, kalau memang kamu sudah mencobanya dan tak berhasil karen akmu memang tak bisa dengan perempuan, papa tak kan memaksa...”

Ada kesedihan dari suara papa, aku tau kalau ia sedang menahan rasa kecewanya. Ia berusaha memahami aku karena dia merasa bersalah padaku karena aku tumbuh tanpanya. Aku tak mau papa merasa begitu karena sepenuhnya bukan kesalahan papa. Ambisi mama lah yang membuat kami tercerai berai.

“pa aku mau ke tempat bidan lagi, aku takut emak butuh bantuan dan aku tak ada... nanti aku kesini lagi kalau segala urusan papa sudah beres...”

“hati hati dijalan nak, pokoknya kamu jangan kuatir, apapun yang terjadi papa ada untuk membantumu..”

Kata papa sambil mengantarkan aku hingga ke lobi. Aku meninggalkan hotel lalu pergi menyusul emak ke tempat bidan yang membantu persalinan tante sukma. Saat aku datang tante sukma sedang menyusui anaknya dan emak sedang menemaninya sambil ngobrol. Tante sukma tersenyum tipis saat melihatku datang, senyum yang seakan terpaksa.

“dari mana nak, kamu sudah makan..?”

Tanya emak tak kurang perhatiannya bagai kemarin kemarin.

“sudah mak, kalau emak sendiri bagaimana...pasti emak belum makan ya..?”

Aku menebak, dalam kondisi banyak pikiran seperti ini rasanya setiap orang akan kehilangan selera makan.

“tadi sudah makan kue, kamu bicaralah sama tantemu biar semuanya jadi jelas... emak mau cari angin dulu diluar..!”

Kata emak sambil menatapku dengan isyarat agar aku mendengarkan kata katanya. Emak keluar dari ruangan dan menutup pintu. Aku menghampiri tante sukma seakan ada timah berpuluh kilo yang mengganjal di kakiku.

“tante...”

Aku menyebut nama tante sukma dengan ragu. Ia tak menjawab namun langsung menoleh padaku dengan pandangan agak kosong.

“aku tau tante pasti sangat marah karenaku, aku minta maaf tante, aku akui memang aku salah, aku sudah membuat tante mengalami ini semua...”

Meskipun berat aku berusaha terdengar tenang.

“tante tak butuh kata maaf, yang tante inginkan hanyalah suami tante, apa kamu bisa merasakan bagaimana rasanya melahirkan tanpa ada suami..apa kamu tau bagaimana beratnya saat dalam keadaan begini menyadari orang yang kamu jadikan tumpuan hidup meninggalkanmu hanya untuk mengejar cinta orang lain..?”

Tante suma membetulkan posisi bayinya yang agak miring, tangannya bergetar.

“coba kamu lihat anak tante, dia masih polos...saat kelahirannya yang seharusnya membahagiakan, tapi keadaan jadi terbalik... apa kamu tega bayi mungil ini kehilangan bapaknya.. kenapa ini semua harus terjadi sama tante, apakah kesalahan tante hingga harus memikul beban yang begini beratnya, apa kamu sadar apa yang telah kamu perbuat dalam hidup tante.. kamu tau selama ini tante menyayangimu dan tak akan berubah walaupun kamu sudah mengecewakan tante, kalau kamu tanya apa tante marah jujur tante sangat marah...tapi tante sadar semua sudah terjadi..tante tak tau kenapa tante tak bisa membencimu, tante sadar mungkin tante yang jadi pengganggu hubungan kalian...tapi masih adakah sedikit rasa kasihanmu pada tante...?”

Tante sukma terisak dan menyeka airmatanya dengan ujung jilbab yang ia pakai. Bayi yang ada disampingnya sedang tertidur dengan lelap tanpa menyadari apa yang sedang dirasakan oleh ibunya. Derita yang disebabkan olehku.

“aku sadar tante, aku memang salah..tak seharusnya aku lakukan lagi hal itu karena aku tau kalau om sebastian sudah menikah, aku menyesalinya...mungkin trdengar memuakan selalu saja meminta maaf... tapi aku akan perbaiki segalanya...aku akan membawa om sebastian kembali pada tante...”

Aku menunduk saat tante sukma menegakkan badannya dan menatapku saat aku mengatakan itu.

“apa yang bisa kamu lakukan rio... memangnya masih bisa diperbaiki, kamu tau kan kalau om kamu sudah tak mencintai tante, bagaimana caranya kamu bisa membuatnya mencintai tante dan mau kembali... tante tau kamu anak yang baik dan tante tak pernah berharap apa yang tante rasakan tentangmu salah..... apa kamu bisa melakukan itu... tante maafkan apapun yang telah kamu lakukan dan kita lupakan..tapi katakan pada tante apakah harapan itu masih ada...kamu tau rio...tante sangat menyayangi om kamu..dialah segalanya bagi tante..”

Tante sukma sedikit bersemangat. Melihat ada sedikit sinar diwajah tante yang tadi redup semakin besar rasa bersalahku. Ingin rasanya aku memeluk tante, tapi aku tak ada hak melakukannya, untuk apa aku memeluknya dan membuat ia merasa terlindungi, aku mau melindunginya dari siapa, jelas jelas aku yang sudah membuat dia menderita.. apakah aku memeluknya untuk melindunginya dari diriku sendiri.

“aku akan berusaha, tadi kau sudah minta bantuan sama papa..katanya ia akan mencari om sebastian, bahkan ia akan menyewa orang yang akan mencarinya nanti, aku yakin kita bisa menemukan om sebastian.. setelah itu kita bicara baik baik apa yang harus kita lakukan nantinya agar kejadian seperti ini tak terulang lagi.. aku akan memberikan pengertian pada om sebastian kalau kami tak mungkin bisa bersama walaupun apa yang terjadi, aku akan katakan padanya kalau aku tak mau bersamanya, setelah itu aku akan menghilang darinya agar tante bisa tenang bersama suami tante, aku akan menghindari om sebastian sampai aku yakin aku perasaan itu sudah tak ada lagi pada dirinya...”

“tante percaya padamu...tante sangat berharap kamu bisa membantu tante, tak ada hal lain yang tante inginkan selain rumah tangga tante kembali utuh seperti dulu, yang tante sesali kenapa semua harus terbongkar, kalau dengan ia selingkuh pada keponakannya sendiri dan kami tetap bahagia, biarlah tante ikhlas... tante menyesalinya kenapa harus tau semua ini...”

Tante sukma menangis lagi... tekanan batin yang ia rasakan tergambar jelas pada wajahnya yang pucat.

“tidak tante..jangan bicara seperti itu, hanya membuat kau merasa makin buruk... tante berhak marah, aku yang tak punya hak mengacaukan kehidupan tante, sekarang aku juga yang harus memperbaikinya...aku sayang sama tante... aku tau hal ini tak akan pernah tante lupakan dalam hidup tante, kalau nantinya semua telah kembali seperti awalnya, aku berjanji ini yang terakhir kalinya aku mengacaukan kehidupan tante..”

“terima kasih rio,...”

Tante sukma memandangi anaknya yang tidur di sampingnya, bibir mungil itu bergerak pelan pertanda dia sangat lelap, wajahnya mulai jelas sangat mirip sekali dengan ayahnya. Tante sukma membelai pipi anaknya dengan lembut penuh kasih.

“siapa namanya tante..?”

Tanyaku memberanikan diri.

“tante belum memberinya nama... tolong kamu adzankan ke telinganya, biarlah kamu yang mewakili mengadzankannya karena bapaknya saat ini tak ada disini..”

Aku nyaris terlonjak kaget mendengarnya, entah terbuat dari apa hati tante sukma, mengapa ia bisa setegar itu, padahal aku jelas telah membuat ia susah, namun aku masih ia percayai untuk melakukan sesuatu yang sangat penting bagi buah hatinya itu.

“apa tante yakin..?”

Tante sukma mengangguk. Aku hampiri bayi itu, aku menunduk perlahan mendekatkan bibirku ke telinga bayi merah itu dan melafadzkan adzan. Air mataku kembali bergulir.

Pintu kamar terbuka, beberapa orang masuk, jantungku terasa mau amblas karena ternyata yang datang adalah tante laras dan om beno, mama, dua orang yang aku kenali sebagai saudara kandung tante sukma. Dan terakhir paling tak aku duga adalah koko, bagaimana bisa sampai dia bersamaan perginya dengan rombongan mama.

Apa kak fairuz juga menelpon koko ataukah memang ini adalah inisiatif koko sendiri, tapi bagaimana dia bisa tau kalau tanteku melahirkan disini. Aku menunduk menghindari pandangan mata mereka yang baru datang. Jantungku rasanya bagaikan bom yang nyaris meledak, aku benar benar berada pada posisi yang sangat tak enak, tak tau harus berbuat apa. Aku mau keluar tapi kesannya tak sopan, aku mau menegur mereka tapi aku tak tau apa yang ada di pikiran mereka. Aku tak tau apakah tante laras sudah tau mengenai masalah ini dab keluarga tante sukma yang dua orang itu apakah tau apa penyebab hingga tante sukma kesini..? semuanya menjadi pertanyaan yang berputar putar dalam otakku.

Aku menyandar didinding membiarkan mereka mendekati tante sukma, namun koko langsung menghampiriku dan menarik tangan ku agar mengikutinya keluar dari ruangan ini.

“apa kabar rio...lama kita tak bertemu, kamu sehat kan..?”

Tanya koko sambil tersenyum senang, aku tak melihat ada yang lain pada sikapnya terhadapku, masih seperti kemarin kemarin.

“tunggu dulu...kamu kemari, apa tujuan kamu datang dan kenapa bisa bertepatan dengan kedatangan keluargaku dari juga..?”, aku langsung mencecar koko dengan pertanyaan.

“sejujurnya fairuz yang menyuruhku datang untuk mengantisipasi ada hal yang tak diinginkan, katanya ada tante laras aku tak mau kalau sampai kamu dimarahi didepan keluargamu, oh ya mana emak kamu..?”

Jawab koko agak membuatku kaget, ternyata kak fairuz yang menyuruhnya kesini, kak fairuz masih saja perhatian padaku, padahal sekarang dia sedang sibuk di jakarta, aku kangen sekali sama kakakku itu, semoga nanti aku bisa bertemu lagi dengannya. Aku ingin melihat anaknya almarhum kak faisal yang mungkin beberapa bulan lagi akan lahir. Aku hanya bisa berdoa semoga kak fairz dan amalia bahagia dan tak banyak dapat masalah dalam rumah tangganya.

Emak berjalan mendekatiku dan koko, entah darimana dia tadi namun di tangannya ada plastik yang berisi minuman kaleng. Emak memberikan padaku.

“kamu kakaknya rio ya..?” ,tanya emak sambil memperhatikan wajah koko dengan cermat.

“ko ini emak yang sering aku ceritakan padamu...”

“oh ini emak kamu yo... salam bu, saya koko sepupunya rio... senang bertemu dengn ibu..”

Koko menyalami tangan emak dan menciumnya dengn hormat.

“pantas saja kalian berdua sangat mirip, tadi bibik agak heran juga melihat kamu nak, oh ya kamu baru datang dari palembang kan...kamu pasti lapar..rio ajak sepupumu ini kerumah,.. kamu menginap dirumah saja ya nak koko, daripada di penginapan atau hotel..”

Tawar emak dengan ramah, sepertinya emak terkesan dengan koko yang sopan.

“wah terimakasih bu, apa tak merepotkan nati..?”

“tentu saja tidak, panggil saja bibik, kalau kamu mau menginap di pondok bibik yang sederhana tentunya bibik senang sekali..”

“iya bik.. kalau begitu kita kerumah bibik sekarang, aku mau lihat tempat rio di besarkan,.. lagipula sudah banyak kan yang menunggui tante sukma disini..”

“iya rio tadi emak sempat menemui kerabatmu dari palembang, tadi katanya ada tantemu yang saatu lagi yang cantik itu siapa namanya...?”

“tante laras mak..dia ada bilang apa sama emak..?”

Aku bertanya dengan kuatir.

“dia tak bilang apa apa Cuma bertanya apakah sekarang kamu sudah tinggal sama emak lagi, ya emak jawab apa adanya..”

Jawab emak.

“kita pulang sekarang saja mak, kasihan koko dia capek mau istirahat..”

Aku cari alasan, padahal aku hanya tak enak kalau harus bertemu lagi dengan kerabat dari palembang. Aku tak mau ditanyai macam macam. Apalagi tante laras yang sangat cerewet itu bisa bisa aku mati kutu dihadapannya nanti.
“ayo kalau begitu..”

Aku, emak dan koko berjalan ke halaman rumah bidan tempat aku memarkir mobilku. Aku mengantarkan emak dan koko kerumah, sepanjang jalan koko tak henti henti bertanya tentang bangunan yang ia lihat dan juga jalan jala nyang baru seumur hidupnya ia lewati ini. Dengan sabar aku dan emak menjawabnya.

Sampai dirumah aku mengajak koko masuk sementara emak langsung kedapur menyiapkan makanan untuk aku dan koko. Sudah beberapa hari ini emak tak buat kue karen a masalah yang datang dirumah ini.

“rumah kamu enak juga rio, suasananya tenang.. aku suka suasana disini, kayaknya aku mau liburan kesini lagi nanti, oh ya ajak aku ke pantai dong, di palembang kan nggak ada pantai, aku mau lihat sendiri ombak dan pasir pantai yang sering aku dengar dari teman teman yang sering main kesini...”

“nanti ko aku pasti ajak kamu ke pantai, yang penting sekarang kamu istirahat dan makan dulu biar kamu segar kembali, masakan emak tak kalah enaknya sama masakan mama kam kok..”

“aku mau nyoba masakan bangka apa sama dengan masakan palembang, soalnya walaupun sama sama sumatera tapi banyak masakan yang beda dari tiap daerah..”

“nggak jauh beda sih tapi ya nanti kamu coba lah pasti cocok..aku ke dapur dulu ya mau lihat apa emak sudah selesai siapin makan siang..”

Aku meninggalkan koko, hari ini perasaanku agak tenang, itu karena kehadiran koko yang sangat tak aku duga, aku sangat berterimakasih atas inisiatif kak fairuz ini, aku akan berusaha membuat koko senang. Selama di palembang dia sangat baik padaku, jadi aku juga mau ia merasa nyaman dirumahku. Aku akan memberikan uang sama yuk yanti agar ia berbelanja ke supermarket membeli bahan makanan yang enak enak biar koko senang. Seperti mamanya yang selalu masak yang enak setiap kali aku datang kerumahnya.

Emak sedang meletaka piring diatas meja saat aku masuk ke dapur.

“mana koko..ajak dia kesini, emak sudah selesai, kalian bisa makan sekarang..”

“aku panggil dia dulu ya mak, aku juga mau lihat emak apa sudah beres menyiapkan makan siang..”

Aku berbalik keruang tamu dan mengajak koko makan siang. Hari ini yuk yanti masak kerang gulai dengan kentang dan udang, sayur asem, ikan asin, dan kembung betelok goreng, sejenis makanan khas bangka yang terbuat dari ikan kembung yang dagingnya dipisahkan dari kulitnya dengan cara dikerok pake sendok lalu dilumatkan dengan bumbu rempah lalu dimasukan lagi dalam selongsong kulit ikan tadi, masaknya bisa dengan cara di panggang dengan di bungkus dulu dengan daun pisang atau bisa juga langsung di goreng sesuai selera.

“makan yang banyak ya ko, maaf kalau Cuma ala kadarnya saja soalnya nggak tau kamu bakalan datang kesini, kalau kamu kasih kabar dulu pasti aku sudah suruh ayukku masak yang bayak dan agak spesial..”

“kamu ini ada ada saja rio, begini banyak lauk kamu bilang ala kadar, aku justru senang lauk yang seperti ini ketimbang masakan luar yang rasanya tak jelas. Aku makan dulu ya..”

Kata koko sambil menaruh nasi kedalam piringnya. Aku menggeser piring berisi ikan kembung betelok ke depan koko. Kami berdua makan dengan lahap, aku bisa makan dengan semangat karena ada koko. Selesai makan aku dan koko duduk di belakang rumah sambil berteduh dibawah pohon. Aku membuat sirup jeruk untuk kami minum.

“aku suka sekali berada disini rio, pantas saja kamu selalu kangen untuk pulang ke bangka, emak kamu sangat baik, aku menyukainya, walaupun keadan disini berbeda jauh dengan di rumahmu yang di palembang namun aku merasa kamu lebih bahagia kalau tinggal disini ya..”

Koko duduk sambil selonjor menikmati hembusa angin sepoi yang semilir di sore yang teduh ini. Aku ikut menyandar dengan santai sejenak melupakan masalah yang sedang aku hadapi selama ini, baru hari ini aku merasa benar benar tenang.

“emak memang begitu ko, dia selalu baik pada temanku, makanya banyak temanku yang suka main kesini...kadang kami makan sama sama, emak tak perduli berpa banyak temanku yang datang dan makan, bagi emak dengan menjamu tamu siapapun itu , rejeki tak akan pernah putus meski tak banyak namun berkah..”

“aku jadi semakin menyukai emak kamu rio..”

“kenapa kamu tak mengajak mama kamu sekalian..?”

“sebenarnya mama mau ikut, tapi mama malas karena ada mama kamu rio, mama masih kesal padanya karen atelah mengusir kamu..”

“kamu tau apa sebabnya aku diusir..?”

“tau...tapi lebih baik tak dibahas ya..itu kan hak kamu, jadi kami tak mau ikut campur, mama bilang kamu lebih tau apa yang terbaik bagi kamu, kita ini keluarga, jadi sewajarnya harus saling mendukung bukan menyalahkan... sekarang dunia sudah modern, tak bisa lagi berpikiran picik, yang penting jangan merugikan orang lain saja..”

Kata koko sambil tertawa. Kata katanya itu sungguh membuat aku jadi tentram. Jadi mama koko sudah tau masalahku dan tak mau ambil pusing, aku tau mereka memang orang yang menyenangkan, beruntung aku punya saudara seperti mereka.

“kamu sudah tau aku bagaimana, apa kamu tak takut denganku..?”

Tanyaku memancing.

“kenapa harus takut selama bertahun tahun kita kenal dan sering bersama, tak pernah kamu berlaku kurang ajar, jadi santai saja yo, aku kenal siapa kamu... oh ya rio kamu tau kalau rian sekarang sedang kebingungan, beberapa kali ia menanyakan tentang kamu tapi aku tak jawab..aku tau pasti ada apa apa diantara kalian, rian sepertinya sangat kalut..kamu tak lihat dia kurus sekali sekarang, dia juga agak pucat kayak orang sakit.. sebenarnya aku merasa kasihan juga padanya, namun aku merasa kalau kamu pergi tanpa memberitahunya, kamu ada alasan sendiri, jadi aku tak mau ambil resiko dengan mengatakan kalau kamu lagi di bangka...”

Aku nyaris memeluk koko saking senangnya, koko memang pintar, aku senang teman yang punya inisiatif tanpa harus di bilang, otak koko benar benar ia pakai. Aku ceritakan apa yang terjadi antara kami dan kenapa aku sampai menghindarinya.

“aku benar benar tak menyangka kalaurian sampai nekat mau bunuh kamu yo, untung saja tak terjadi..aku tak bisa membayangkan kalau ia berhasil melakukannya, untung kamu masih di lindungi yang maha kuasa...”

Koko mengusap dadanya denga lega. Siapa yang tak bakal bergidik mendengar tentang pembunuhan, apalagi yang mau di bunuh adalah orang yang di kenal dekat.

“rencana kamu ke depan apa yo, kamu mau tinggal disini selamanya atau kamu mau balik lagi ke palembang, aku rasa kemarahan mama kamu tak akan sampai lama kok, kamu itu anaknya walaupun bagaimana juga, jadi aku rasa wajar saja kalau saat ini dia masih belum bisa menerima kamu, tapi kamu harus sabar ya, kamu kan banyak yang perduli, jadi kamu tetap aman kok walaupun tak tinggal sama mama kamu..”

“kamu benar ko, aku rasa juga begitu, kamu tau kemarin mamaku malah memberikan aku mobil baru, aku sendiri heran, tapi itulah kenyataannya, mama memang tak bisa di tebak jalan pikirannya. Apa yang mama rencanakan aku tak tau tapi aku hanya berharap mama tak berencana yang jelek..”

Aku mendesah, kakiku menggores tanah berumput yang ada di bawahku.

“jangan berpikiran buruk, kamu tenangkan diri disini, tak ada masalah yang tak selesai, jadi anggap saja ini proses menuju kematangan diri, nantinya kamu akan merasa lebih kuat kalau kamu sudah bisa melaluinya.. aku percaya kamu akan mendapatkan orang yang menyayangimu nanti, yang juga kamu sayangi ,,, kamu harus yakin..”

Koko menggenggam tanganku. Rasanya aku mendapatkan kekuatan dari genggamannya itu.

“terimakasih ko, hanya kalian lah sahabatku yang paling mengerti aku, karen akalian aku mampu menjalani ini semua...”

“kalau begitu ajak aku ke pantai sekarang..”

“jiaaahh...”

***

Baru saja aku dan koko mau ke beranda, kami berpapasan dengan erwan yang baru datang. Nampaknya ia agak keheranan juga melihat aku dan koko yang baru mau pergi.

“mau kemana kamu yo..?”, tanya erwan ingin tahu. Aku tersenyum dan langsung memperkenalkan koko pada erwan.

“kebetulan kamu datang wan jadi kita bisa sama sama ke pantai, ini koko sepupuku dari Palembang tadi siang dia datang dan dia mau melihat pantai katanya, soalnya dari dulu kalau di Palembang aku sering bercerita tentang Bangka padanya…kamu mau kan ikut..?”

“ya mau lah rio.. sudah lama juga aku tak ke pantai…”

Jawab erwan sambil menghampiri koko dan memperkenalkan diri. Koko menyambut uluran tangan erwan dengan ramah dan menyebutkan namanya.

“koko.. jadi kamu erwan ya.. akhirnya aku bias berkenalan langsung dengan kamu..”

Koko sangat antusias sekali.

“ya sudah kalau gitu kita pergi sekarang aja, kalau sudah terlalu sore nggak asik soalnya sudah keburu gelap..”

Tanpa banyak bicara lagi kami langsung menuju ke mobil. Saat aku mau membuka pintu erwan langsung mencegahku. Ia mengajak aku dan koko memakai mobilnya saja. Kebetulan sekali karena aku memang belum sempat mengisi bensin jadi aku tak perlu harus antri di SPBU yang hanya akan memakan waktu saja.

Erwan yang menyetir sedangkan aku duduk disampingnya dan koko sendirian diu belakang, ia tak henti hentinya bicara sepanjang perjalanan menuju pantai, memang koko orangnya tak bisa diam ada saja yang jadi bahan obrolan baginya. Ia rajin bertanya tempat tempat yang kami lewati dan dengan sabar aku menjelaskan. Erwan juga sesekali menimpali, mereka berdua terlihat cepat akrab dan cocok. Aku senang melihat mereka seperti itu jadi koko tak perlu merasa terlalu bosan kalau hanya denganku saja.

“sebenarnya pantai yang bagus itu bukan pantai yang mau kita datangi sekarang ini ko, tapi letaknya agak jauh di luar kota dan kalau kita kesana sekarang pasti keburu malam nyampe nya.. nanti lah kalau tak ada halangan dan kamu belum pulang aku mau mengajak kamu ke pantai yanhg aku maksudkan.. aku yakin kamu akan menyukainya nanti..”

Erwan berpromosi, koko tegak dari duduknya karena tertarik mendengar penjelasan erwan tadi. Aku menoleh ke belakang melihat koko.

“iya ko, jangan pulang dulu, agak lama lah disini, aku janji akan mengajak kamu jalan jalan ke tempat yang bagus bagus, kamu pasti mau kan aku ajak ke pantai yang banyak batu karang yang besar besar, dimana ombaknya tak terlalu berisik dan airnya tenang serta biru jernih, mumpung kamu sudah ada disini sekarang, entah kapan nantinya kamu main kesini lagi…”, aku meyakinkan koko.

“iya rio asalkan aja aku nggak bikin repot, aku mau banget yo… tapi kam u janji akan mengajak aku jalan jalan terus kan..?”

“kalaupun nantinya rio tak sempat, aku janji akan mengajak kamu ko..”

Timpal erwan sedikit membuat aku agak heran juga, aku tak menyangka erwan akan menawari koko begitu, entah kenapa rasanya aku sedikit cemburu juga, aku mengerti rasa ini tak wajar namun aku tak bisa menghalau perasaan galau yang menyelinap. Aku jadi terdiam tanpa konsentrasi melihat pemandangan dari balik jendela mobil dan membiarkan erwan dan koko berbicara dengan asiknya hingga kami sampai di pantai.

“wah….. bagus sekali pantainya…!”

Seru koko dengan takjub, dengan tak sabar ia turun dari mobil lalu tanpa menunggu aku dan erwan ia sudah berjalan mendekati bibir pantai. Koko melepas sandal yang ia pakai serta menggulung celananya lalu bermain main dengan air laut yang beriak riak karena ombak. Sesekali ia tertawa dengan senang saat ombak menerpa kakinya.
Aku dan erwan menyusul koko berjalan menyusuri bibir pantai yang berpasir empuk. Karena sudah sore jadi matahari tak lagi bersinar dengan terik, hembusan angin pantai yang menderu menimbulkan rasa dingin. Namun aku senang melihat koko yang Nampak gembira menikmati suasana pantai.

“hati hati ko nanti jam tangan kamu kemasukan air bisa karat loh..”

Peringat erwan saat ia melihat koko yang sedang membungkuk memunguti kulit kerang laut diatas pasir yang tergenangi air asin.

“aku mau mengumpulkan kulit kerang ini untuk mamaku, dia pastinya senang sekali nanti, sepertinya aku harus mengajak mama juga nanti main kesini yo… sudah lama mama tak berlibur..”

Seru koko agak keras mengimbangi suara deru angin dan ombak.

“lebih asik lagi kalau kita bakar ikan disini…!”

Erwan mendekati koko dan memberikan kulit siput laut yang berbentuk kerucut yang baru saja ia pungut diatas pasir yang tak jauh tergeletrak dibawah kakinya tadi.

“makasih ya wan… kalau aku jadi kalian aku pasti akan kesini setiap hari… kamu tau rio..suasana pantai seperti ini sangat baik sekali untuk membuat pikiran santai… lihat birunya air pantai dan langit ini bisa menjadi sumber inspirasi dan ketenangan..!”

Kata koko bersemangat. Erwan tertawa lepas karena koko benar benar seperti seorang anak kecil yang mendapatkan mainan baru yang sudah lama ia idam idamkan.

“akan lain ceritanya kalau kamu sudah tinggal lama disini ko, kamu tak akan mau tiap hari datang kesini karena kamu akan terbiasa…”

Kata erwan sambil menepuk bahu koko.

“tapi aku serius loh… ini semua sangat luar biasa.. mungkin bagi kalian berdua ini tak ada istimewanya..tapi bagiku yang tak pernah ketempat seperti ini rasanya aku jadi pengen terus disini…”

“Lebih enak lagi kalau kita bakar ikan disini, sore hari begini menikmati suasana pantai sambil makan ikan bakar pasti nikmat sekali…!”, usul erwan.

“Wah aku mau…tapi dimana kita cari ikannya, bukannya kita tak bawa pancing…?”, koko makin antusias.

“Itu masalah gampang, untuk bakar ikan kita tak perlu harus mancing dulu, ada beberapa restaurant laut disini yang pastinya menyiapkan ikan segar, kita tinggal pesan saja bagaimana..?”, Erwan meminta persetujuanku.

“Terserah kamu aja Wan kalau aku sih setuju saja, lagian aku memang agak lapar juga… mau bakar sendiri atau kita pesen aja..?”

“Kalau bakar sendiri kayaknya kita kurang persiapan, lebih baik kita terima beres aja, kamu temani koko dulu aku mau ke restoran pesen ikan bakar…!”

Erwan meninggalkan aku dan koko. Ia berjalan kaki menuju ke restoran makanan laut yang terletak tak jauh dari tepi pantai. Aku mengajak koko duduk dekat pohon cemara laut yang ada bangku di bawahnya. Sweorang ibu ibu yang berjualan minuman serta camilan dengan sepedanya menghampiri kami menawarkan dagangannya. Aku membeli kacang dan beberapa botol air mineral. Aku juga memesan kelapa muda di warung yang ada di dekat situ.

“Memang benar kata orang kalau minum air kelapa muda yang paling nikmat memang sambil memandang pantai… “, kata koko sambil minum air kelapa lewat sedotan.

Aku mengangguk setuju, aku senang karena koko bisa menikmati hari ini dengan gembira. Sejenak aku lupa dengan masalah yang sedang aku hadapi selama ini. Aku memang butuh rekreasi agar otakku yang selama ini dipenuhi oleh beban yang berat bisa agak rileks. Aku dan koko mengobrol sambil melihat ombak. Tak lama setelah itu Erwan datang dan mengajak kami ke restaurant karena ikan panggang pesanan kami sudah siap.

***

Sudah tiga hari semenjak tante sukma melahirkan anaknya, kata emak mereka sudah balik lagi ke Palembang, aku bersukur karena tak bertemu sama tante laras yang pastinya akan sangat senang sekali kalau dapat menyalahkan aku. Saat mendengar ia sudah pulang lagi aku benar benar lega. Tapi aku agak heran juga kenapa ia tak mencariku, padahal tante laras kan paling senang mengurusi hal yang bukan urusannya. Atau karena ia merasa aku sudah ada di Bangka dan tak lagi tinggal sama mama jadi ia merasa tak ada hak lagi untiuk memarahi aku.

Hari ini aku berjanji pada koko kalau aku akan mengajaknya ke pantai yang ada diluar kota. Pantai yan g erwan janjikan. Dari tadi ia sudah bersiap siap seolah sudah tak sabar. Sekarang kami berdua sedang menunggu erwan datang menjemput. Memang masih agak pagi baru jam Sembilan tapi dari tadi koko sudah tak sabar bahkan ia bangun lebih awal dari aku.

Jam bergerak ke angka sepuluh namun erwan belum juga datang, tak biasanya ia tak tepat waktiu seperti ini, aku sudah mencoba menghubungi ponselnya namun tak aktif, apa sekarang erwan sedang sibuk, padahal sekarang sabtu dan erwan tak kerja. Koko menjadi gelisah, berkali kali ia melirik arloji yang melilit di pergelangan tangan kirinya. Bahkan ia menarik nafas dalam sambil mendengus.

“kemana sih erwan yo, katanya nyuruh siap siap jam Sembilan tapi sekarang sudah lewat sepuluh menit dari jam sepuluh…!”, Koko terdengar agak kesal.

“sabar ko, tadi aku sudah coba hubungi dia, tapi hapenya tak aktif…”

“dia lagi ngapain ya, apa mungkin lupa sama janjinya mau jemput kita..?”

“nggak mungkin lah ia lupa, barangkali ia lagi ada kepentingan lain yang mendesak jadi tak sempat mengabari kita…”

“kan dia bisa sms dulu jadi kita tak menunggu nunggu seperti ini…”

“bagaimana kalau kita pergi saja, aku takut erwan gak bisa… kamu kan lusa sudah mau pulang lagi..”

“ya sudah kalau gitu kita tunggu setengah jam lagi, kalau memang dia tak datang juga kita langsung pergi saja..”, gerutu Koko sebal.

Sebenarnya aku jadi nggak enak hati juga sama koko karena dia yang paling antusias saat erwan mengajaknya, namun ternyata erwan yang malah tak datang tentu saja dia kecewa. Kalau Cuma kami berdua saja pastinya akan terasa sepi.

Sudah setengah jam lagi berlalu akhirnya aku dan koko sepakat untuk langsung saja berangkat tanpa menunggu erwan lagi.

“loh katanya kalian mau pergi bertiga, mana erwan nya nak..?”, tanya emak heran saat aku dan koko pamit hendak berangkat.

“ya mak.. erwan kayaknya gak bisa datang, gak ada kabarnya mak….”

“kalau begitu hati hati di jalan, ingat jangan ngebut ya..”

“iya mak… kami jalan dulu ya, assalamualaikum..”

“waalaikumsalam..”

Hari ini cuaca lumayan cerah karena matahari bersinar sangat terik seolah mau menghanguskan bumi, memang masih musim kemarau saat ini, tapi perkiraanlku satu bulan lagi sudah memasuki musim penghujan.

Perjalanan menuju ke sungai liat tak lama hanya memakan waktu setengah jam lebih kami sudah tiba di pantai. Lumayan ramai yang datang ke pantai karena akhir pecan. Jadi kami mencari tempat yang agak sepi dan teduh yang ada bebatuan besar. Aku mengajak koko mendaki batu karang lalu duduk diatasnya.

Pemandangan air laut terasa lebih luas kalau di lihat dari atas batu ini. Tak seperti pantai yang ada di pangkalpinang yang banyak warungnya. Tapi aku sudah persiapkan makanan dari rumah dan juga tadi aku sudah mampir ke toko untuk beli minuman.

“kamu tak ada niat untuk balik lagi ke Palembang yo, bukannya di Palembang kamu lebih punya masa depan ketimbang disini, orangtuamu ka nada di Palembang, aku yakin kamu bisa mengandalkan papa kamu..”, tanya koko ingin tahu.

“justru papa yang sangat antusias saat aku bilang mau pindah ke Bangka ko, papa malah setuju, karena katanya kalau aku di Bangka ia malah bisa bertemu aku kapanpun ia mau..”

“tapi kenapa kamu tak tinggal sama papa kamu saja, kan rumah papamu besar, mustahil papamu tak mengijinkan..”

“pastilah papa mengijinkan,. Banyak masalah yang aku hadapi dan aku ingin menenangkan diri disini, aku tak bisa cerita semua sama kamu ko, ada beberapa orang yang harus aku hindari, kalau aku masih tetap di Palembang aku yakin masalahku akan makin berlarut. Lagipula aku kecewa sama mama yang bersikap seolah aku adalah sesuatu yang menjijikan yang harus di hindari … kalau kamu yang mengalami apa yang aku alami sekarang aku yakin kamu pasti akan mengerti kenapa aku mengambil keputusan seperti ini…”

Aku mencabut sehelai rumput yang tumbuh diantara bebatuan lalu aku lemparkan ke atas air laut yang beriak di bawah. Sebenarnya aku lagi tak ada mood untuk membahas masalah ini, tapi koko seperti ingin tahu, jadi walaupun berat hati aku jawab juga.

“semoga semua masalah yang kamu hadapi bisa selesai ya Rio.. aku tau memang tak mudah menjalani sesuatu yang di tentang oleh banyak orang, Cuma kalau kamu yakin bisa menjalaninya maka kamu jalani saja, jangan terlalu pikirkan apa yang orang lain pikirkan tentangmu karena tak ada manusia yang bisa sempurna… “

“terimakasih atas pengertian kamu ko… semua sangat berarti bagiku, memang orang lain selalu menganggap apa yang bertentangan dengan merewka tak layak di biarkan, andai saja yang mengalami mereka apakah nantinya mereka bisa menjalaninya seperti yang aku rasakan sekarang…tak enak rasanya hidup dengan rasa benci dari orang yang kamu sayangi..”

“tapi selama ini yang terang terangan menentang pilihan hidupmu kan cuma mamamu saja yo, aku yakin kok asalkan kamu mau bersabar nanti mamamu akan mengerti juga bahwa apa yang kamu jalani sekarang bukan hal yang mudah, kalau itu sudah jadi jalan hidupmu…”

“kamu tak perlu menghiburku…yang paling mengerti masalah oinmi hanya orang yang mengalaminya saja… andaikan aku bisa memilih, aku juga mau seperti orang lain yang punya perasaan yang wajar dan mencintai lawan jenis dengan perasaan bahagia yang murni tanpa di buat buat apalagi hanya melakukan demi status dan menyenangkan orang lain..”

“kamu tak perlu menjadi orang lain yo, jadilah diri kamu sendiri asalkan kamu tak merugiikan orang lain…”

“aku tak pernah mau merigikanm orang lain ko, tapi entah kenapa orang lain yang justru merasa punya hak untuk mengatur kehidupanlku, apa yang aku pilih dan jalani..”

“itu karena kamu tak bersikap[ tegas, kalau kamu meyakini sesuatu maka kamu harus bertahan dengan apa yang kamu yakini itu ketimbang kamu berusaha berubah tapi hanya akan membuat kamu tersiksa…”

Koko menatapku dengan simpati, aku menoleh ke lain untuk menghindari tatapannya itu.. aku tak mau di kasihani karena aku bukan orang yang malang.

“justru karena aku sudah coba bersikap tegas maka aku putuskan kembali disini diamana keluargaku yang memang benar benar menjadi keluarga bagiku bisa menerimaku dengan apa adanya, bukan karena aku harus begini, jadi apa dan bagaimana..”

“aku sangat berharap suatu hari nanti kamu kembali lagi ke Palembang, kamu adalah saudaraku juga yo… aku tak m au melihat kamu terus mendapat masalah.. kalau ada yang kamu butuhkan aku akan berusaha menolongmu..”

Koko meraih tanganku dan mengenggamnya. Aku tersenyum pada koko, terasa ada ketulusan dari ucapannya. Aku percaya koko memang bisa di andalkan. Setelah kak faisal meninggal, kak fairuz kembali ke Jakarta, sekarang aku hanya bisa berharap pada koko saja.

Hp yang aku taruh di kantong jaket berbunyi, segera aku ambil dan periksa di layarnya siapa yang menelpon. Ternyata erwan… cepat cepat aku angkat.

“iya wan ada apa..kamu kemana saja dari tadi nggak bisa di hubungi..?”

Tanyaku agak kesal.

“maaf yo, tadi ada masalah sedikit dirumah, kakakku sama suaminya berantem dan kakakku minta cerai.. jadi tadi aku dan mama sedang mengurusi mereka berdua, hp nggak aku bawa karena mama panic mau cepet cepet kerumah kakak.. aku sudah dijalan sekarang, mau nyusul kalian…mungkin limabelas menit lagi aku sampai..nanti aku telpon lagi, posisi kalian dimana…?”

“kami di sebelah kiri di pantai matras tempat kita biasa duduk.. aku tunggu ya..”

“oke, tetap disitu jangan kemana mana..”

Erwan menutup telponnya. Aku lega sekarang ternyata erwan akan menyusul, koko juga terlihat senang waktu aku bilang kalau erwan mau datang.

Setelah menunggu hampir duapuluh menit akhirnya erwan datang juga, ia turun dari mobilnya dan berjalan menghampiri kami sambil menebar senyumnya.

“aku minta maaf ya tak sempat mengabari kalian kalau aku akan terlambat, sudah lama kalian menunggu..?”
Erwan agak tak enak hati, namun aku yang sudah tau apa alasan erwan hanya mengangguk dan tersenyum.

“tak apa apa wan, namanya juga kamu lagi ada urusan, Cuma tadi kami kira kamu lupa atau nggak jadi ikut..yang penting sekarang kamu sudah ada di sini..”

Ujar koko penuh pengertian.

“kalau begitu mendingan kita mandi aja sekarang, kalian bawa baju ganti kan..?”

Tanya erwan.

“bawa dong, aku memang mau mandi..”

Jawabku sambil menunjukkan tas ransel yang berisi baju serta handuk punyaku dan koko.


“kalau begitu kita cari tempat yang nyaman untuk mandi..aku rasa dekat ujung sebelah sana airnya lumayan dalam dan ombaknya tak terlalu besar..”

Usul erwan lalu kemudian ia berdiri. Aku dan koko ikut berdiri lalu kami berjalan menuju ke tempat yang tadi erwan tunjuk. Pantai matras memang asik buat mandi karena airnya yang lebih jernih dan ombaknya yang tak terlalu besar. Kami bertiga mandi dan bercaanda di air bagaikan tiga orang anak kecil. Rasanya aku sangat bahagia hari ini karena jujur saja meskupun aku lahir di Bangka namun baru sekali ini aku merasakan bagaimana menyenangkannya mandi air laut, apalagi bersama dua orang sahabat terbaikku, aku jadi merindukan rian, andaikan saja waktu bisa aku ulang ingin rasanya aku mengulang saat saat indah masa remaja kami dulu, masa yang seharusnya kami lewati bertiga. Aku, rian, dan erwan.

Pulang dari pantai rasanya tubuhku sangat letih sekali, sampai dikamar tanpa menunggu lagi aku langsung rebah diatas kasur, koko yang sudah mulai terbiasa dirumah ini langsung berkumpul dengan emak dan ayuk ayukku yang sedang didapur. Suara mereka sampai terdengar di kamarku begitu heboh, kedengarannya koko sedang menceritakan tentang pengalamannya tadi mandi di pantai. Mungkin karena sudah terlalu mengantuk aku tertidur tanpa dapat ku tahan.

Koko membangunkanku tepat adzan maghrib, bergegas aku turun dari tempat tidur lalu menarik handuk dan kekamar mandi, selesai mandi aku langsung wudhu. Saat aku ke kamar ternyata koko sudah selesai sholat dan sedang duduk disisi tempat tidur sambil melipat kain sarung.

“aku sholat dulu ya ko, kalau kamu sudah lapar kamu duluan saja ke dapur, nanti aku nyusul..”

Kataku sambil memakai kopiah.

“nanti aja yo, aku makan bareng kamu aja, lagipula aku belum terlalu lapar kok..”

“baiklah.. aku sholat dulu ya..”

koko mengangguk dan selama aku sholat ia hanya membalik balik majalah hingga aku selesai.

“tadi mama telpon aku yo katanya ia bertemu mama kamu tadi siang di mall..”

Ujar koko saat ia melihat aku telah selesai sholat.

“oh ya.. lalu mamaku ngobrol nggak sama mamamu..?”

Tanyaku tertarik, soalnya jarang sekali mamaku dan mama koko bisa bertemu.

“ya hanya basa basi saja, mamaku pura pura nanya tentang kamu, tapi mama kamu bilang kamu lagi berlibur ke Bangka.. sepertinya mama kamu menutupi masalah yang sebenarnya, Cuma kata mama kayaknya mama kamu agak pucat kayak orang yang sakit..”

“oh ya…? Apakah mama kamu yakin ko..?”

Aku menatap koko dengan penasaran ingin tahu apa jawaban koko.

“iya menurut mama kayaknya mama kamu lagi banyak pikiran, tadi juga ia terburu buru seperti menghindari bicara lama lama sama mamaku…”

“aku tak mengerti bagaimana mama, apa mungkin mama banyak pikiran karena masih kesal padaku..apalagi sekarang papa sedang sakit dan om Sebastian juga entah kemana rimbanya..”, aku coba menebak.

“kira kira kemana ya om Sebastian, masa sih dia kabur disaat isterinya sedang melahirkan seperti itu, apa dia tak mau melihat anaknya..?”

“aku juga tak tau ko, mungkin juga om Sebastian tak tau kalau anaknya sudah lahir.. yang aku sesalkan kenapa ia berbuat seperti itu, padahal aku sendiri sudah meyakinkan dia kalau aku tak mau lagi berhubungan dengannya..”

“orang cenderung berbuat nekad kalau sudah menyangkut masalah hati yo.. seperti rian, dia cemburu padamu dan nekat mau membunuhmu.. siapa yang bisa mengukur kedalaman hati manusia, makanya segala kejadian ini setidaknya dapat kau jadikan pelajaran untuk berbuat dimasa datang, kamu sudah tau apa konsekuensi yang kamu hadapi gara gara kamu gegabah”, Koko kembali menasehatiku.

“aku tau ko, tapi semua sudah terlanjur, tak ada lagi yang dapat aku lakukan sekarang, semua takkan kembali seperti dulu lagi, memang sih kita mengharapkan yang terbaik tapi kenyataan kadang sering jauh dari yang diangan..”

“ya sudah sekarang mendingan kita makan aku sudah lapar…”

Koko cengengesan. Aku langsung mengajak koko ke dapur. Yuk yanti sudah menyiapkan makan malam diatas meja. Selama koko menginap disini, yuk yanti dan emak masak agak banyak dan lauknya rada istimewa.

Selesai makan aku dan koko duduk diruang tamu. Ketika kami sedang asik mengobrol bersama emak dan yuk tina tiba tiba hpku berbunyi, aku angkat. Tak ku sangka ternyata yang menelponku tiara.
Dia minta temani ke toko buku, aku sebenarnya malas sekali tapi untuk menolak juga rasanya tak enak karena selama ini baru sekali ini tiara minta bantuan padaku. Aku mengajak koko namun katanya ia masih capek dan mau istirahat, jadi dengan terpaksa aku menjemput tiara sendirian kerumahnya.

Tiara sudah menunggu di depan teras saat aku datang. Ia tersenyum lebar melihatku sedang berjalan menghampirinya.

“maaf agak lama ya, soalnya ganti baju dulu tadi..”

“nggak apa apa yo.. nggak apa apa kan sekali sekali bikin kamu repot, soalnya tadi aku telpon erwan katanya dia sedang kerumah kakaknya…”

“begitu ya, nggak apa apa kok tiara.. jadi kita berangkat sekarang aja nanti keburu tokonya tutup..”

Tanpa menunggu lagi tiara langsung mengikutiku masuk ke mobil. Selama beberapa menit kami hanya diam. Aku pura pura konsen menyetir, sebenarnya dandanan tiara agak terlalu berlebihan kalau hanya sekedar mau ke toko buku.

Sampai ditoko buku pun tiara hanya berjalan dari rak ke rak seolah bingung mau mencari buku apa. Aku perhatikan dia menarik beberapa buku novel secara serampangan tanpa membaca synopsis yang ada di cover belakangnya. Aku jadi bingung, padahal tadi tiara bersikap seolah dia mau cari buku yang penting saat ia menelponku. Tapi aku diam saja tak mau protes, mungkin saja tiara memang mau cari buku novel saja dan ia sengaja agak memaksa karena takut aku tak mau menemaninya.

Setelah hamper satu jam bosan berjalan dari rak ke rak, akhirnya tiara mengajak pulang. Ia membayar bukunya di kasir sementara aku menunggu di depan pintu masuk.

“temani aku makan ya rio, aku laper nih..”

Kata tiara saat kami berdua sudah duduk didalam mobil.

“kamu mau makan dimana…?”

Tanyaku sambil menoleh padanya.

“biasanya kamu makan dimana..?”

Tiara balik bertanya.

“biasanya aku makan dirumah.. apa kamu mau makan dirumahku sekarang…?”

Tanyaku agak bosan.

“ya nggak lah.. maksudku kalau kamu makan diluar biasanya tempat yang kamu sukai dimana..?”

“ya nggak tentu juga sih, kadang di restoran pinggir pantai, tapi sekarang aku lagi malas kepantai, soalnya tadi sore barusan pulang dari pantai juga, aku masih capek..”

“oh ya kalian tadi ke pantai.. pantai mana, kok nggak ngajak ngajak sih…!”

Entah kenapa aku merasakan kalau suara tiara seperti agak di buat buat jadi manja.

“nanti aja kapan kapan kalau kami ke pantai lagi insya Allah ngajak kamu..tapi sekarang kita cari restoran yang dekat aja ya..”

“iya nggak masalah kok, lagian aku juga kan nggak ngajak makan di pantai, bagaimana kalau sekarang kita ke café tempat aku biasa sama teman temanku..”

“terserah kamu saja lah, lagian aku juga nggak lapar, tadi aku sudah makan dirumah..”

“tapi sekarang sudah setengah Sembilan, kamu pasti sudah lapar lagi kan..”

Entah kenapa aku merasa tiara begitu cerewet, rasanya aku tak sabar lagi ingin pulang kerumah. Tapi mana mungkin aku menolak lagi permintaan tiara.

Akhirnya aku menemaninya makan di cafe yang ia maksud. Kafe yang dulu pernah aku datangi bersama erwan juga. Memang café ini suasananya lumayan asik untuk makan sambil bersantai, ada live music dengan lagu santai yang menemani pengunjung menikmati makannya.

Tiara banyak bercerita hal apa saja tapi aku tak begitu konsentrasi, berkali kali ia menyadarkan aku yang melamun. Aku jadi tak enak hati juga karena itu aku berusaha lebih konsentrasi.

Aku bersukur saat tiara mengajak pulang. Jujur saja aku memang capek sekali.

“kamu kok banyak melamun sih daritadi yo, pasti kamu lagi banyak pikiran ya, kalau memang kamu butuh teman untuk curhat aku siap kok untuk mendengarkan.. kamu jangan takut aku bisa kok jaga rahasia..”

Tiara menatap mataku dengan dalam, tatapan yang membuat dadaku berdesir.

"rio, aku tau kamu sedang menanggung masalah yang tak kecil, aku mau membantumu andaikan memang kamu mau berubah..."

aku sangat terkejut sekali dengan pernyataan tiara itu.

"maksud kamu apa tiara..?"

aku berpura pura tak mengerti.

"aku tau kamu seorang gay rio... saat mendengar pengakuan itu dari mulutmu sendiri jujur aku akui aku sangat kecewa karena sebenarnya aku sangat menyukaimu.. tapi aku berpikir lagi dan terus berpikir, mungkin ini memang sudah garisnya kamu bertemu denganku.. aku menyadari kenapa makna kita dipertemukan,.. mungkin aku bisa menjadi seseorang yang khusus bagimu... aku terima apapun keadaanmu rio... aku akan membantumu untuk berubah.."

pengakuan tiara yang blak blakan membuat aku sangat terkejut hingga nyaris saja aku kehilangan kendali dengan setir yang aku pegang. rasa dingin merambat di sekujur tubuhku seolah ada air es yang menyiramku.

"tiara apa kamu sadar dengan yang kamu katakan itu...?"

suaraku jadi gemetaran.

"tentu saja rio, aku sudah memikirkannya dari beberapa hari ini, aku sangat sadar sekali.. aku menyayangimu rio..dan itu akan menjadi pekerjaan yang sangat sulit bagiku.. aku bersyukur kamu belum pernah pacaran dengan seorang perempuan pun dan aku yakin aku bisa membuatmu sedikit demi sedikit menyukaiku... saat ini hanya erwan saja yang tau masalahmu.. jadi aku rasa tak ada salahnya kamu mencoba.. aku janji kalaupun nantinya kamu tak bisa juga mencintaiku maka aku akan mundur dengan besar hati.."

tiara mengatakannya dengan penuh keyakinan. aku mendesah kalut karena sedikitpun aku tak menyangka kalau tiara akan mengatakan hal ini.

"kamu tak usah jawab sekarang rio.. aku tau ini bukan hal yang mudah untuk kamu terima.. tapi aku harap kamu mau pertimbangkan permintaanku ini, aku yakin kamulah orang yang aku pilih dan aku hanya bisa berharap kalau aku adalah orang yang kamu pilih.."

"tiara, kamu tak harus terlibat dalam masalahku.. kamu masih bisa mendapatkan cowok lain yang jauh lebih baik dariku dan lebih terjamin.."

"aku yang tau mana yang terbaik bagiku rio.. kalaupun kamu tak sependapat itu mungkin karena kamu belum mengenalku.."

Aku menggelengkan kepala dengan bingung, terbuat dari apakah sebenarnya hati gadis yang ada di sampingku ini.. dia sudah tau siapa aku dan masih mau saja mencintaiku, rasanya aku jadi bingung harus melakukan apa.

"Entahlah Tiara, sekarang aku pulang dulu kamu aku antarkan dulu ke rumah yah.."

"Tunggu dulu Rio kita singgah dulu buat beli martabak, tadi mama aku nelpon dia suruh aku beli martabak."

"Tapi kita beli yang didepan kantor Timah saja yah", kataku.

Aku berbelok menuju ke jalan kantor Timah lalu berhenti tepat di depan gerobak martabak. Tiara turun dan menghampiri gerobak lalu memesan martabak, sementara menunggu aku memikirkan kembali kata - kata Tiara tadi. Sebenarnya banyak hal bisa aku ubah seandainya aku menerima dia. Mungkin keluargaku akan senang sekali bisa mengetahui aku berpacaran dengan seorang gadis, apalagi yang secantik Tiara. Kalau aku terlalu banyak berpikir mungkin tak ada lagi kesempatan yang seperti ini datang dua kali.

Tak lama kemudian Tiara balik lagi dengan membawa dua bungkusan martabak di dalam kotak yang besar.

"Banyak sekali kamu belinya Tiara !"

"Ia Rio, yang satu lagi untuk keluargamu."

"Kamu tak harus melakukan itu Tiara."

"Kamu tau Rio, aku sangat menyayangimu, dan itu juga artinya aku harus menyayangi keluargamu."

"Terima kasih Tiara, aku sudah memikirkan tadi dan aku setuju untuk mencoba menjalani hubungan denganmu. Tapi aku minta kamu jangan terlalu banyak menuntut dan kamu juga harus bersabar."

"Aku juga berjanji akan berusaha semampuku agar aku dapat menerimamu dari dalam hati."

"Tiara menatapku dengan pandangan seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja aku ucapkan."

"Kamu yakin Rio ? Kamu melakukan ini tanpa ada rasa terpaksa."

"Kalau yakin aku juga tidak tahu Tiara, tapi kalau terpaksa tentu saja tidak. Justru aku berterima kasih karena kamu memberikan aku kesempatan dan kamu menerimaku meski kamu tahu aku itu siapa."

Aku mengantar Tiara pulang hingga di depan rumahnya, sebenarnya aku mau langsung pulang tapi Tiara memaksa aku untuk mampir dulu. Akhirnya aku turun dari mobil dan mengikuti Tiara masuk ke rumahnya. Mama Tiara sedang duduk di kursi tamu sambil merajut, setelah melihat kami ia langsung berdiri.

"Ini mah, martabak pesanan mama sambil meletakkan martabak diatas meja."

"Tante tinggal dulu ke dalam yah, silahkan kalian ngobrol dulu", kata mamanya sambil membawa martabak tadi.

"Kamu mau minum apa Rio ?"

"Udahlah Tiara gak usah repot. Soalnya aku juga gak bisa lama - lama disini."

"Kasian Koko menunggu di rumahku, tadi aku meninggalkannya sendirian."

"Ya santai sajalah Rio, Koko juga pasti ngerti."

"Tinggallah dulu sekitar setengah jam disini. Aku masih mau bicara banyak sama kamu."

Aku tak dapat menolak permintaan Tiara. Aku duduk dengan tak tenang, sedangkan Tiara sedang membuatkan minuman aku di dapur. Tak lama kemudian ia kembali sambil membawa sepiring martabak, dan secangkir kopi dengan krimer. Tiara banyak bertanya padaku tentang kehidupanku di Palembang. Bagaimana akhirnya hingga aku bisa lagi pulang ke Bangka. Tentu saja aku hanya bisa menceritakan garis besarnya saja tentang apa yang aku alami selama ini. Tiara mendengarkan dengan serius, tampaknya ia ikut bersimpati.

"Terima kasih Rio, kamu sudah mau mempercayai aku. Aku akan berusaha untuk tidak mengecewakanmu. "

"Sekarang sudah jam sepuluh Tiara, aku mau pamit dulu."

Tiara mengantar aku hingga ke depan pintu. Aku pulang dengan bermacam pikiran yang berkecamuk didalam pikiranku. Aku hanya berharap ini adalah awal yang lebih baik untuk esok dan hari - hariku kedepan nanti.

Sampai di rumah ternyata ada Erwan, dia sedang ngobrol bersama Koko di depan teras.

"Sudah selesai menemani tiara yo ?", tanya Erwan.

"Tentu saja sudah Wan, kalau belum selesai kenapa juga aku pulang sekarang."

"Kok kalian berdua duduk di luar saja ?, masuk yuk."

"Biarlah yo, disini ajah lebih enak di dalam gerah", kata Koko.

"Kalau begitu tunggu sebentar, aku mau masuk ke dalam dulu."

Aku masuk ke dalam dan bertemu emak dan ayukku sedang menonton TV di ruang tengah. Aku memberikan bungkusan berisi martabak kepada Emak.

"Apa ini yo ?", tanya Emak heran.

"Martabak mak, tadi Tiara yang belikan."

"Siapa Tiara yo, kok dia bisa begitu baik sama kamu ?", tanya Yuk Tina Ingin tahu.

"Temanku Yuk", jawabku ringkas.

"Cewek yah ?", tanya yuk Tina kurang yakin.

"Ya iyalah yuk, mana ada cowok namanya Tiara !", jawabku agak sebal.

"Ya iyalah dek, jaman sekarang ini siapa yang tahu. Banyak kok cowok yang namanya Ratna, Lince, Wati", timpal yuk Yanti sambil tertawa.

"Itu mah cewek yang biasa mangkal di Taman Sari yuk."

"Ahahaha. Adik bisa saja", Yuk Tina tertawa terbahak - bahak.

"Ya udah aku mau ke depan dulu. Ada Koko dan Erwan sedang nunggu."

Aku meninggalkan mereka lalu kembali ke teras dan bergabung bersama Koko dan Erwan.

"Bagaimana jalannya sama Tiara tadi Io ?", tanya Erwan.

"Ya biasa ajah lah Wan, namanya saja menemani dia beli buku."

"Yakin cuman beli buku ?", selidik Erwan kurang yakin.

"Ia lah Wan, kamu kira kami mau ngapain !."

"Ya.. nggak makan malam gitu atau ada sesuatu hal penting yang kalian bicarakan".

Entah kenapa aku merasa Erwan seperti mengetahui sesuatu. Dan aku juga merasa intonasi suara Erwan agak - agak aneh. Ataukah itu cuma perasaanku saja.

"Memangnya menurut kamu ? Kami lagi ngapain."

"Ya nggak tau, kalian kan yang berdua yang jalan bersama", kejar Erwan datar.

"Ya sudahlah kita bahas hal yang lain saja", sela Koko melihat sesuatu yang tak enak.

"Ohh iya yo, aku lupa dua hari lagi aku balik ke Palembang", kata Koko.

"Apa nggak bisa di tunda lagi Ko, barang sehari dua hari. Kamu kan belum sampai seminggu disini."

"Aku kan kuliah yo, jadi gak bisa lama - lama. Nanti kalau liburan aku janji akan main kesini lagi."

"Yah berarti besok kita keliling cari oleh - oleh untuk kamu bawa pulang."

"Aku ikut yah", sela Erwan.

"Kamu tidak usah repot - repot gitu yo. Kamu menerimaku dengan baik disini, aku sudah merasa berterima kasih."

"Siapa bilang aku repot Ko ?. Lagipula aku mau kasih oleh - oleh buat mama kamu, bukan kamu !", kataku setengah bercanda.

"Ya ampun Rio ! Kalau sudah beli buat mama, beliin juga buat aku sekalian."

"Dasar nggak mau rugi kamu !", kataku sambil tertawa.

Kami bertiga mengobrol sehingga hampir jam dua belas. Saat menyadari sudah larut, Erwan berdiri dan pamit pulang.

"Nggak nginap disini ajah Wan ?", tanyaku.

"Malam besok ajah yo aku nginep disini sekalian aku mengantar Koko ke bandara."

"Oke deh kalau begitu."

Setelah Erwan berlalu, aku berdua masuk ke dalam rumah. Lalu pergi ke kamar. Sampai di kamar aku mengganti baju dan memakai celana hawaii. Kemudian aku langsung berbaring dan tidur.

***

Setelah seharian bersama Koko dan Erwan berputar - putar di kota Pangkalpinang mencari oleh - oleh yang akan dibawa Koko pulang nanti, kami langsung pulang ke rumahku.

Lumayan banyak aku membelinya. Ada terasi super, kerupuk udang, gemplang panggang ikan tenggiri, getas ikan tenggiri kwalitas super, ikan kembung betelok panggang, dan juga kepiting isi. Koko agak kaget juga melihat begitu banyak aku membeli oleh - oleh buat dia. Dan dia sempat mencegahku, namun aku tetap tak peduli. Kapan lagi aku bisa memberi oleh - oleh pada mama Koko.

Selama ini mereka sudah begitu baik padaku. Tentu saja aku membelikan untuk Emak juga. Punya Koko tadi aku langsung menyuruh pegawai toko untuk mengemasnya dengan rapi dalam kotak. Total semuanya ada dua kotak besar. Koko menaruhnya diatas meja di dalam kamarku.

Malamnya kami bertiga berjalan - jalan dan mampir ke pantai. Aku mengajak Koko dan Erwan makan malam di restoran makanan laut. Aku memesan banyak sekali makanan biar Koko puas. Ada kepiting saus tiram, udang goreng tepung, lokan lempah kuning, cumi saus padang, cah kangkung seafood, ikan kerapu asam pedas, sambal terasi dan juga lalapannya.

"Gila Rio ! Kamu mau pesan buat satu kampung yah !", seru Koko takjub.

"Gimana kita habisin semuanya yo ?", tanya Erwan.

"Dimakan dulu lah, kalian gak usah sibuk ! Kalau gak habiskan bisa di bawa pulang."

Tak disangka-sangka setelah kami makan, semua yang diatas meja nyaris tandas. Selesai makan, kami berjalan di tepi pantai. Hembusan angin pantai agak kencang dan suara debur ombak yang berkejar - kejaran mengisi keheningan di pantai. Cahaya bulan separuh memantul di riak - riak air pantai bagaikan mutiara yang berkilauan.

"Aku akan sangat merindukan bangka yo ", kata Koko.

"Kamu bisa datang kapan saja kamu mau Ko. Pintu rumahku selalu terbuka buat kamu.", kataku sambil menyepak buah cemara pantai yang tergeletak di atas pasir di depanku.

"Terima kasih banyak Rio, beberapa hari aku disini sangat berkesan. Aku pasti akan kesini lagi kok."

"Nanti kamu main juga ke rumahku kalau kamu kesini lagi", kata Erwan.

"Ia Wan, aku kesini lagi kalau liburan panjang. Jadi aku bisa muas-muasin menikmati liburan disini. Keliling ke tempat - tempat yang aku belum sempat datangi."

Setelah agak malam, dan angin di pantai bertambah kencang serta dingin. Kami pulang ke rumah.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar