Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 7

#9 SELAMAT TINGGAL EMAK



"rio bangun nak, sudah subuh... Kita sholat dulu..."

suara emak dengan lembut membangunkan aku. Dengan malas aku menggeliat dan menarik selimut.


"rio.. Bangun dulu nak... Ntar kesiangan.. Sholat dulu.. Habis sholat baru tidur lagi..."


emak menggoyangkan bahuku pelan, aku membuka mata dan berbalik melihat emak, berat rasanya mataku, mana suasana yang dingin membuat aku merasa malas untuk beranjak dari atas tempat tidur.


"jam berapa sekarang mak?" tanyaku sambil menyepak selimut dan duduk.


"sudah jam setengah lima nak, ayo bangun dulu.. Wudhu, emak ke dapur dulu.. Jangan tidur lagi ya..!"

emak meninggalkanku keluar kamar. Aku turun dari tempat tidur, melipat selimut dan merapikan seprei serta bantal lalu menyusul emak ke dapur. Yuk tina dan yuk yanti juga sudah bangun, mereka mengenakan mukena, aku tersenyum sama mereka.


"mana emak yuk?"

tanyaku pada mereka.


"lagi dikamar mandi dek, wudhu.. Kita sholat sama sama pagi ini, besok adek sudah berangkat.. Emak ingin kita berdoa bersama agar adek bahagia ditempat yang baru nanti.."


jelas yuk yanti sambil berdiri. Aku berjalan ke arah mereka dengan berhati hati agar jangan sampai menyenggol mereka, karena itu akan membatalkan wudhu mereka, yuk tina tersenyum penuh pengertian padaku. Aku menoleh melihat ke sudut lantai, tas berisi baju dan alat alatku sudah tersusun disana, sebuah kotak berukuran sedang berisikan sambal teri, terasi, kerupuk belum digoreng, serta abon ikan laut kesukaanku sudah dibungkus emak untuk mengobati rasa kangen dengan makanan bangka.


Dua hari yang lalu mama datang dan mengatakan mau menjemputku, karena harus mendaftarkan aku pada smu yang baru dipalembang. Rasanya tak ada semangat sama sekali, walaupun aku ingin sekali main ke palembang, tapi bukan untuk selamanya seperti sekarang. Dari kecil dulu aku selalu berangan angan untuk pergi ke palembang dan jakarta. Kini impianku itu jadi kenyataan dan harus aku tebus dengan kehilangan emak serta kedua ayukku. Emak keluar dari kamar mandi, aku berdiri dan masuk ke kamar mandi untuk wudhu.


Dingin sekali air di bak semen kamar mandi ini, rasanya seperti memegang air es yang membuat sekujur tubuhku menggigil. Cepat cepat aku basuh bagian bahan tubuhku sesuai dengan rukun wudhu. Setelah itu aku berdoa dan keluar dari kamar mandi. Emak telah menggelar tikar dan sajadah diruang tamu kami yang kecil. Emak, yuk yanti dan yuk tina berdiri berbaris menungguku. Setelah memakai sarung, aku raih kopiah yang tergantung di dinding dekat pintu kamarku dan kupakai. Aku mengambil posisi di depan. Lalu membaca iqomat. Aku mengimami sholat dengan khusuk.


Hingga salam aku berbalik ke belakang mencium tangan emak beserta kedua ayukku. Berempat kami berdoa untuk kebahagiaan keluargaku, emak dan ayuk. Dan juga doa untukku. Suara emak terdengar bergetar dan terisak pelan seolah orang yang sedang menahan tangis. Setelah selesai berdoa Aku berdiri dan membuka kopiah, emak dan ayukku membuka mukena. Aku membantu yuk tina menggulung tikar dan sajadah. Emak tak bikin kue kemarin jadi kami tidak jualan hari ini.


"kalau masih ngantuk tidur lagi lah rio.."

kata emak sambil menaruh mukenanya.


"nggak mak, rio nggak ngantuk lagi.."

aku mengikuti emak yang berjalan ke dapur. Yuk yanti memotong sayur kangkung, sedang yuk tina memotong tempe. Aku sedikit heran melihat kesibukan mereka. Tak biasanya mereka masak sepagi ini kecuali bulan puasa.


"kok masaknya pagi yuk..."

tanyaku ingin tahu.


"iya dek.. Kan adek mau berangkat, jadi harus makan dulu.."

jawab yuk yanti sementara tangannya tetap memotong kangkung dengan lincah.


"aku kan siang perginya.."


"iya dek.. Tapi emak yang nyuruh.."


"oh... Gitu ya...?"


aku mengangguk angguk seperti orang idiot. Sedangkan yuk yanti tersenyum melihat tingkahku.


"aku mau jalan pagi dulu yuk kalo gitu.. Cari udara segar.."

kataku sambil keluar dari pintu dapur.


"iya dek..." sementara aku keluar, emak masuk dari pintu dapur sambil memegang penggorengan.


"mau kemana rio?"

tanya emak.


"jalan pagi mak.."


"ya sudah... Hati hati ya, jangan terlalu jauh nanti tersesat..!"


"ah emak bisa aja.."

aku tertawa mendengar kata kata emak. Aku berjalan melewati jalan bertanah merah. Embun yang menempel pada rumput membuat kakiku basah. Langit masih berwarna kelabu gelap, sinar bulan masih terang. Aku sangat menyukai suasana subuh seperti ini. Rasanya begitu menenangkan. Suara burung berkicau sahut menyahut bagaikan buluh perindu terdengar merdu. Satu dua orang berjalan sambil membawa jualan, sayur dan kue.


Aku menyapanya dengan ramah. Aku berjalan hingga melewati depan rumah rian, lampu rumahnya sudah nyala, terlihat bayangan ibunya rian dari balik tirai transparan di jendela rumahnya. Aku memperlambat jalan sambil terus melihat rumah rian. Tiba tiba pintu samping rumahnya terbuka, rian keluar sambil memegang tempat sampah yang penuh. Rian berjalan menuju bak sampah besar yang berada di ujung jalan. Ia terkejut waktu melihatku.


"rio.... Eh mau kemana pagi pagi gini..?"


rian berseru padaku sambil mempercepat jalannya menghampiriku.


"jalan pagi.. Dingin banget pagi ini ya..."

aku menjawab dengan canggung karena merasa sedikit malu, aku tak mau rian tahu kalau aku sengaja lewat sini untuk mengintainya. Sekaligus melihat rumahnya untuk terakhir kali.


"aku mau ikut, tunggu aku sebentar, aku mau buang sampah dulu...!" seru rian dengan penuh semangat. Aku sedikit terkejut tapi senang karena akan berjalan bersama rian pagi ini secara tak terduga. setelah membuang sampah, rian masuk kerumah menaruh tempat sampah kosong, tak lama kemudian rian kembali keluar menghampiriku.


"enaknya jalan kemana rio..?"


"ke lapangan merdeka aja.. Pagi begini biasanya kan rame.."

aku memberi usul.


"boleh.." kata rian sambil berjalan. Kami berdua melewati jalan yang redup dengan penerangan lampu jalan. Entah kenapa aku merasa begitu senang pagi ini, bagaikan bermimpi rasanya bisa berjalan berdua dengan rian subuh subuh begini. Perasaan apa yang ada dihatiku ini, aku merasa bingung.


"dingin ya rio..."

ujar rian menyadarkan aku dari lamunan sesaat.


"iya... Dingin banget, tapi sebentar lagi juga bakalan panas, soalnya keringat kita jalan kaki pasti keluar.." kataku sambil mengimbangi langkah rian.


"aku jarang jarang jalan pagi begini, sebenarnya kepengen juga, tapi kalau cuma sendirian rasanya malas.."


tukas rian sambil menoleh melihatku. .... Astaga... Dalam keadaan baru bangun dan belum mandi begini wajah rian begitu tampan.. Rambutnya yang sedikit acak malah membuat wajahnya semakin segar dipandang, rasanya aku ingin berlama lama menatap wajahnya. Dalam hati aku berdoa semoga waktu menjadi dua kali lebih lama, dan siang datang terlambat hari ini.


"jadi berangkat hari ini?"

rian menghentikan langkah sambil menatapku.


"jadi... Jam sebelas aku berangkat.."

jawabku ikut menghentikan langkah. Saat ini aku dan rian berada di jalan setapak kecil yang dikiri kanan banyak ditumbuhi pohon, serta ilalang.


"apakah memang harus kamu pergi..?"


"iya.. Tak ada pilihan lain.."


"rio.. Aku belum tidur dari semalam.."

ujar rian lirih. Aku menatap wajah rian lekat lekat, sedikit terkejut.
"kamu belum tidur dari semalam..?.. Yang benar rian... Memangnya kenapa?"

tanyaku penasaran.


"aku... Aku.... Aku memikirkan kamu..."


rian menjawab dengan terbata bata. Ia menunduk menghindari tatapan mataku. Sejenak hatiku terasa senang, rian memikirkan aku.


"kamu mikirin aku rian.. Kenapa..?"


tanyaku dengan jantung berdebar debar, benarkah rian memang tak bisa tidur karena memikirkan aku.


"iya rio.. Aku sedih kamu mau pergi dari bangka.. Aku sedih kamu meninggalkan aku..." jawab rian dengan suara yang terdengar sendu. Mendengar kata katanya itu badanku langsung gemetar, dengan susah payah aku menjawab.


"aku.. Aku.. Juga sedih rian.. Aku baru kenal denganmu.. Aku senang berteman dengan kamu..."


tiba tiba rian memegang tanganku. Nyaris aku terkejut. Aku diam saja merasakan kehangatan telapak tangan rian pada punggung tanganku. Ada perasaan damai masuk ke hatiku. Aku ingin rian terus memegang tanganku seperti ini.


"rio.. Kalau sudah di palembang, jangan lupa kirim surat ya..."


desis rian sambil tetap memegang tanganku dan menariknya pelan mengajakku berjalan. Ku langkahkan kaki kembali berjalan, berpegangan tangan dengan rian. Sementara batinku terasa makin tak menentu. Semakin terasa berat rasanya untuk pergi dari sini.


"rian.. Kamu pegang tanganku.. Nanti dilihat orang.. Kita dikira pacaran..." aku berkata setengah berbisik, padahal hatiku mengatakan pegang terus tanganku.


"terserah orang mau bilang apa.. Aku mau memegang tanganmu.. Besok besok aku tak lagi melihat kamu.. Aku tak mau menyesal.."

rian berkata dengan santai seolah pegangan tangan antara dua remaja pria itu adalah lumrah. Mendengar jawabnnya itu entah mengapa rasanya aku ingin menangis.


"rian aku janji akan mengabari kamu.."

ucapku pelan sambil terus berjalan dengan perlahan. Langit mulai berwarna kemerahan, awan mulai terlihat, beberapa ekor ayam berlarian membawa anaknya yang masih kecil kecil. Angin semilir menggoyangkan helai helai daun dan ilalang, namun tak ada satu orang pun yang terlihat berjalan.
Rian tersenyum lebar mendengar jawabanku.


“Aku janji akan menunggumu kapanpun, aku yakin kita akan bersama lagi..."


desah rian.



Berdua kami berjalan lagi hingga matahari terbit diatas langit timur, menghangatkan kulit kami. Keringat sudah mengalir dari pori hingga membasahi bajuku. Rian mengajak berbalik untuk pulang, kami berdua berjalan menyusuri jalan yang tadi kami lewati. Dalam diam tanpa kata. Aku menunduk memandangi jalanan, otakku masih mencerna kejadian barusan. Lucu sekali rasanya. Sampai depan rumah rian, ia masuk melalui pintu pagar depan. Setelah pamit kemudian ia masuk kedalam. Aku pulang sambil bernyanyi nyanyi kecil.


"mandi sana... Habis itu makan dek.!"


ujar yuk tina yang sedang duduk didepan rumah.


"sebentar lagi yuk, masih keringatan nih..."

jawabku sambil duduk didekat yuk tina.


"jalan kemana aja tadi, rame nggak lapangan?"

tanya yuk tina.


"rame banget yuk, tadi aku jalan sama rian, ketemu dia didepan rumahnya.."


"rian yang rumahnya dekat ujung jalan menuju sekolah kamu itu, yang putih jangkung itu ya?"


"iya... Emangnya kenapa yuk..?" aku sedikit heran karena yuk tina kelihatan tertarik.


"abangnya itu dek.. Gila.. Ganteng banget, kakak kelas ayuk,....."


jelas yuk tina sambil tertawa tawa.


Aku sedikit resah mendengar kata kata yuk tina, aku memang tahu rian punya abang yang sekolah di sma yang sama dengan yuk tina, malah abangnya itu sekelas dengan yuk yanti, tapi aku tak menduga kalau yuk tina naksir dengan abangnya rian.


"ayuk suka ya dengan abang rian itu?"

selidikku mau tau.


"suka banget dek, tapi mana mau dia sama ayuk, cewek cewek lain disekolah jauh lebih cantik dan kaya kaya.. Ayuk sih sebatas mengagumi saja, terlalu banyak penggemarnya sih.."

jawab yuk tina jujur. Terus terang aku jadi sedih mendengarnya. Kasihan yuk tina, karena keadaan keluarga kami ia jadi minder, bahkan naksir dengan seseorang pun harus menahan.


"sabar yuk, kalau memang jodoh tak lari kemana, kalau memang ia pemuda baik, tak menilai orang dari harta..."

aku menasehati yuk tina.


"iya dek, tenang aja.. Ayukmu ini santai aja kok.. Pokoknya jangan kuatir.. Ayuk sekedar suka, itu aja tak lebih.. Tapi dek, rian juga ganteng banget dek, ayuk yakin kalau udah smu pasti makin ganteng, malah mengalahkan abangnya itu..."

tambah yuk tina dengan semangat. Aku jadi tersenyum sendiri mendengarnya


"masa sih yuk, kalau aku sih lihatnya biasa aja kok.." kataku dengan muna.


"ya wajar lah adek lihatnya biasa aja, adek kan cowok, mana tertarik dengan cowok tampan..!"

ujar yuk tina tanpa curiga.


"tentu saja yuk.. Eh yuk aku mandi dulu ya.. Udah siang nih, ntar keburu datang jemputan.." aku mengalihkan pembicaraan yang membuat aku merasa kurang nyaman ini. Yuk tina mengangguk. Aku berdiri lalu masuk kedalam rumah, meninggalkan yuk tina sendirian. Aku masuk kamar mengambil handuk, lalu membuka baju, dengan hanya berlilitkan handuk aku kekamar mandi.Melewati dapur tercium aroma yang sangat enak sekali, masakan emak dan ayukku yang tersaji diatas meja.

Perutku jadi lapar dibuatnya. Bergegas aku masuk kamar mandi kemudian mandi sepuasnya hingga bersih. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku keluar kamar, memakai kemeja yang tadi disetrika yuk yanti, celana jeans biru tua pemberian mama, rambutku telah kusisir dengan rapi belah pinggir. Emak tersenyum melihatku.


"ganteng banget anak emak..."

seloroh emak dengan senang.


"ah emak bisa aja..."

kataku dengan sedikit malu.


"makan dulu nak, sudah setengah sembilan.. Ntar nggak keburu lagi.." buru emak saat melihat jam dinding. Aku langsung ke dapur dan duduk di kursi makan, yuk yanti dan yuk tina menyusul ke dapur untuk makan bersama. Emak menyendokkan nasi ke dalam piringku. Segera meja makan menjadi sibuk dengan dentingan bunyi sendok beradu dengan piring dan mangkuk. Tak biasanya jam segini kami telah berada di meja makan. Emak masak lauk lumayan banyak, ada tempe bacem, tumis kangkung, ikan kurisi goreng, sambal terasi, lalapan ketimun, pucuk singkong rebus, dan juga kerupuk.

Aku makan dengan lahap seperti sudah berhari hari tak makan. Kunikmati semua yang tersaji diatas meja, karena ini untuk yang terakhir kalinya aku dapat mencicipi masakan keluargaku. Entah kenapa aku lihat emak dan ayukku justru seperti tak berselera, padahal hari biasanya, emak paling masak cuma dua jenis lauk tapi mereka makan dengan lahap sekali. Hari ini lauk melimpah tapi mereka cuma makan sedikit.


"emak kok makannya sedikit amat.. Tambah lagi mak.. Ini rio aja udah nambah lagi...."

kataku pada emak sambil mengambil sepotong tempe bacem. Emak tersenyum dan mengangguk.


"rio aja makan yang banyak, kan mau pergi jauh.. Jangan sampai nanti di pesawat rio mabuk.."

jawab emak sedikit murung. Aku jadi tak tega sama emak, beliau pasti sedih karena aku akan pergi dari rumah ini sebentar lagi. Seperti baru menyadarinya, tiba tiba nafsu makanku langsung sirna, kerongkonganku seolah tercekat. Emak pasti menghabiskan banyak uang untuk masak ini semua, untuk membeli makanan yang aku bawa ke palembang nanti, sedang aku tahu emak pasti kesulitan membagi uangnya yang tak seberapa.

"loh.. Kenapa malah berhenti makannya..?"

tanya emak dengan heran. Aku tak menjawab, cuma memandang emak dengan perasaan yang sulit untuk aku gambarkan.


"adek, kok diam aja.. Dimakan lagi dek.. Udah siang nih.. Tuh nasi dipiring adek masih banyak.."

tambah yuk yanti sambil meletakkan sendok yang ia pegang.


"iya dek.. Ntar keburu mama adek datang.. Malah nggak habis nantinya.."

timpal yuk tina.


"iya yuk.."

jawabku dengan lesu kembali menyendokkan nasi dan mengunyah tanpa minat lagi. Aku menghabiskan nasi dipiring hingga tandas. Setelah selesai makan, yuk tina membereskan meja. Yuk yanti dan emak membantuku mengeluarkan tas dan kotak berisi makanan yang mau aku bawa. Saat aku sedang memeriksa kembali bawaanku, rian dan erwan datang diantar sopir erwan. Mereka langsung ku suruh masuk.


"udah siap semua ya rio?"

tanya erwan.


"udah wan.. Ini tinggal nunggu jemputan.."


"berangkatnya jam berapa?"


"jam sepuluh lewat lah.. Mungkin sebentar lagi aku udah di jemput.."


"ini ada sedikit pemberian dari mama, untuk kamu.."

kata erwan sambil memberikan kotak seukuran dus mie instan padaku.


"terimakasih banyak. apa ini isinya wan?" tanyaku dengan terharu.


"makanan khas bangka.. Untuk kamu makan disana nanti..."


"ini aku juga ada bawa sesuatu untuk kamu.."

ujar rian sambil memberikan kantong plastik berwarna hitam.


"ya ampun apa lagi nih.. Makasih ya rian..!"


"itu ada buku komik untuk kamu baca, dan jam tangan sebagai kenang kenangan dariku.."

jawab rian. Hampir jatuh air mataku karena terharu, betapa perhatian kedua sahabatku ini, tak akan bisa aku melupakan kebaikan mereka. Terutama erwan yang telah tiga tahun menjadi sahabatku dalam suka maupun duka. Segera aku peluk mereka berdua dengan erat, seolah berat aku melepaskannya.


"terimakasih banyak.. Aku tak tahu bagaimana membalas kebaikan kalian..."

aku berbisik pada mereka berdua sambil terus memeluk mereka.


"eh... Tunggu sebentar..!" tiba tiba erwan seperti baru ingat sesuatu, ia berlari ke luar dan kembali ke mobil, tak lama kemudian ia masuk lagi sambil membawa bungkusan yang entah apa isinya.


"hehehe hampir saja aku lupa rio.. Ini untuk kamu.. Koleksi mobil mini favoritku.. Tolong kamu simpan sebagai kenang kenangan..."

ujar erwan sambil memberikan bungkusan berisi miniatur mobil kesayangannya.


"tapi wan...?"

aku mencoba menolak karena aku tahu ia begitu sayang dengan koleksinya itu. Namun erwan langsung memotong ucapanku.


"tolong kamu terima, aku kecewa kalau kamu menolaknya.. Itu untuk kamu, aku tahu kamu suka.. Maaf baru sekarang aku kasih.. Itu untuk kenang kenangan.. Nanti aku bisa beli lagi.."

kata erwan dengan mantap tanpa sedikitpun ragu. Mataku jadi berkaca kaca. Berat sekali rasanya kehilangan mereka berdua.


"eh.. Kalian udah makan?"

tanyaku pada mereka berdua sekalian mengalihkan pembicaraan yang membuat aku setengah mati menahan airmata yang sudah mau keluar.


"kami udah makan tadi, aku makan dirumah rian.. Santai aja rio, yang penting kamu itu jangan sampai pergi tapi belum makan.. Kamu udah makan?"

erwan balik bertanya.


"udah wan.. Barusan bareng emak dan ayuk ayukku.."


"baguslah kalau gitu.."


"eh.. Mending kita duduk diluar aja, sambil nunggu jemputan kamu.." ajak rian sambil berdiri.


"ini barang barang bawaan kamu semuanya kan? Biar kami bawa keluar.."

tawar erwan. Aku cuma mengangguk. Kemudian kami pergi ke teras, duduk diteras. Emak dan kedua ayukku mengikuti kami ke teras. Baru saja aku duduk, tiba tiba aku melihat dodi datang sendirian berjalan kaki. Aku bergegas berdiri menghampirinya.


"Dodi... Sendirian ya?"

tanyaku saat telah berada dekatnya.


"iya rio, hari ini jadi kan kamu berangkat?"


"insya allah dod.."


"aku bakalan kehilangan sahabat satu satunya yang aku punya.."


ujar dodi lirih, suaranya bergetar menahan sedih.


"maaf ya dod.. Aku juga terpaksa pergi.. Aku yakin kamu akan dapat sahabat baru juga nantinya.. Yang lebih baik lagi.."


"cuma kamu rio yang mau jadi sahabatku, yang mau berteman denganku.."

mendengar kata kata dodi, hatiku jadi tersentuh, memang selama ini hanya aku yang biasa berteman dengan dodi, dia temanku dari kecil, walaupun agak kemayu, tapi ia sangat baik hati, meskipun aku sering menggodanya namun ia tak pernah mengambil hati.


"jangan sedih dong dod.. Eh itu ada teman temanku, gabung yuk.." aku mengajak dodi, namun ia terlihat ragu, mungkin ia agak takut, selama ini cuma aku cowok yang agak akrab dengannya. Selebihnya ia lebih banyak berteman dengan cewek.


"nggak ah rio, biar aku disini saja, aku juga nggak lama, cuma mau lihat kamu pergi aja.." tolak dodi lemah.


"nggak apa apa.. Teman temanku baik baik kok.. Biar aku kenalin sama kamu.."

aku bersikeras, namun dodi terlihat masih ragu, seolah olah kalau ia dekat dengan rian dan erwan, kedua anak itu akan memukulnya.


"ayo dong dod.. Nggak apa apa kok..."

"aku takut kalau mereka tahu aku banci, mereka akan menghinaku.."

kata dodi masih ragu.


"aku jamin nggak akan.. Mereka nggak kayak gitu, mereka tak memilih dalam berteman, asalkan baik.."


aku masih berusaha membujuk dodi yang terlihat sudah sedikit percaya dengan kata kataku. Akhirnya ia ikut juga waktu aku tarik tangannya berjalan menghampiri rian dan erwan yang masih duduk di teras rumahku dengan pandangan bertanya tanya.


"rian, erwan... Kenalkan ini temanku dari kecil, namanya dodi.."

aku memperkenalkan dodi pada mereka. Erwan tersenyum ramah lalu berdiri dan menyalami dodi, demikian juga dengan rian. Aku hampir saja melupakan dodi.. Kasihan dia. sudah lama aku tak kerumah dodi, semenjak aku berteman dengan rian, aku jadi sibuk dengan erwan dan rian, bukan maksud aku untuk mengabaikannya, namun aku juga sedang sibuk dengan pikiranku sendiri, persiapan ujian dan hal hal lain yang membuat aku tak sempat menemui dodi, aku juga heran ia tahu kalau aku mau berangkat, untung saja ia datang.


Setelah erwan dan rian berkenalan dengan dodi, aku pamit sebentar ke dalam rumah, aku mau mengambil anak kucingku yang sekarang sudah mulai gemuk, aku mau memberikan pada dodi, karena aku tahu ia suka kucing. Si mirah sedang berbaring diatas kursi tamu, aku angkat dan kubawa keluar.


"dod.. Ini kucingku, aku titip untuk kamu jaga ya dod..."


kataku pada dodi. Seperti tak percaya dodi berdiri lalu memegang anak kucing dan mengambil dari tanganku.


"ini untukku rio?"

tanya dodi dengan mata terbelalak.


"iya dod.. Untuk kamu, tolong dirawat yang baik ya.."


"tentu saja aku rawat.. Ya ampun rio.. Makasih ya.. Kamu baik sekali.. Aku janji akan merawat kucing ini dengan sebaik baiknya.."


jawab dodi dengan gembira. Seolah olah tak percaya ia menggendong kucing lucu itu dengan penuh sayang. Aku lega karena telah memberikan kucing itu pada orang yang tepat. Sebetulnya aku sedih juga, karena aku sudah terlanjur sayang. Namun mau gimana lagi, daripada kucing itu terlantar lebih baik dodi yang merawatnya. Kedua ayukku tak begitu suka kucing. Takutnya nanti tak dikasih makan anak kucing ini mati. Kami ngobrol hingga tak terasa sudah hampir jam sepuluh. Suara mobil terdengar memasuki halaman rumahku.


Emak dan kedua ayukku langsung berdiri melihat mobil itu. Demikian juga dengan erwan, rian dan dodi Mobil berwarna hitam piano dan berkilau itu berhenti tepat didepan teras rumahku. Mamaku turun dari dalamnya. Dodi terbelalak melihat mamaku, ia memang belum pernah melihat ibu kandungku sebelumnya. Sambil tersenyum mamaku menghampiri kami. Kulihat emak seperti memaksakan membalas senyum mamaku.


"hai rio, bagaimana sayang, sudah siap semuanya?"

tanya mama saat sudah berada dekat kami.


"sudah ma.. Itu barang barang yang mau rio bawa.." jawabku pada mama tanpa semangat.



"danu...!.. Bawa barang barang ini ke mobil..!"


teriak mamaku pada sopir yang membawa mobil. Tergopoh gopoh seorang lelaki yang berumur sekitar empat puluh tahunan menghampiri kami lalu mengangkut tas dan kotak kotak milikku ke dalam mobil. Kemudian mama menghampiri emak dan berkata.


"ayuk, terimakasih selama ini telah merawat rio dengan baik, aku minta maaf telah bersalah selama ini sama ayuk.." emak hanya tersenyum tipis dan mengangguk.


"tak apa apa mega, ayuk tak pernah mengambil hati omongan kamu tempo hari, rio memang pantas mendapatkan yang lebih baik.." kata emak seolah tak pernah terjadi apa apa.



"aku tahu ayuk begitu menyayangi rio, dan aku juga tak bermaksud untuk merampas dari ayuk.. Ini demi kebaikan kita bersama.... Aku janji akan merawat dan menyayangi rio seperti yang selama ini telah ayuk lakukan.." mama melanjutkan kata katanya.


"sudahlah mega.. Kami sudah bisa menerima.. Aku ikhlas.. Yang penting jaga janji kamu.." jawab emak singkat. Mama mengangguk dengan pasti. Kemudian mama membuka tas tangannya dan mengeluarkan amplop cokelat kemudian memberikan pada emak. Emak berusaha menolak tapi mama dengan tak sabar meletakkan amplop itu ke tangan emak hingga emak tak bisa lagi menolak.


"maaf yuk.. jangan anggap itu uang ganti biaya rio, tapi itu uang terimakasih dan permintaan maaf dariku.. Tolong ayuk terima karena aku ikhlas memberikannya.. Uang itu mungkin akan berguna nantinya.."


paksa mama tanpa dapat ditawar tawar. Emak mengangguk dengan berat.


"terimakasih mega.."

suara emak terdengar tercekat.



"sekalian aku juga mau pamit.. Rio aku bawa ya yuk..."


pamit mama. Emak mengangguk pelan, cepat cepat aku hampiri emak. Aku ingin pamit pada emak, pada yuk tina dan yuk yanti.. Aku ingin memeluk emak sepuasnya lama lama.. Karena aku tak tahu entah kapan aku bisa memeluk emak lagi. saat berjalan tubuhku serasa melayang, hampir tak sanggup aku menatap wajah emak yang jelas sekali terpeta kesedihan dari rautnya.


Ku raih tangan emak dan kucium dengan takzim, tangan yang kasar dan mulai berkerut karena selalu bekerja keras, berjuang hidup demi anak anaknya agar tak kelaparan. Emak yang walaupun begitu bersahaja namun bijaksana. Penuh pengorbanan dan kasih sayang, benar benar sosok ibu yang patut dibanggakan. Dengan segala keterbatasan yang ia miliki namun mampu menjadi perempuan paling istimewa didunia ini. Aku peluk emak dengan erat, emak membelai rambutku dengan penuh kasih. Kemudian aku lepaskan pelukanku, ku cium lagi tangan emak.



"mak.. Rio pamit.. Doakan rio ya mak.. Rio janji akan kembali lagi kesini.. Emak jaga diri baik baik, jaga kesehatan emak.. Jangan terlalu capek bekerja.. Rio sayang emak.." ucapku terbata bata, air mataku mengalir tanpa terasa.



"iya nak, hati hati dijalan.. Emak doakan semuanya lancar, jangan lupa sholat... Belajar yang tekun agar semua cita citamu terwujud..semoga kamu betah ditempat baru..."


balas emak dengan suara bergetar terisak, aku menengadah menatap wajah emak, batinku terasa makin pilu, aku tak tega meninggalkan emak, matanya merah karena tangis, rasanya tak ingin aku melepas tangan emak, namun mama memberi isyarat kalau aku tak boleh berlama lama karena kami diburu waktu. Ku cium sekali lagi tangan emak, kemudian ku lepaskan, ku hampiri yuk yanti yang berdiri disamping emak, ku cium tangan yuk yanti, namun ia langsung memelukku dengan erat, seakan akan ia tak mau aku pergi. hampir semenit ia memelukku sebelum akhirnya ia lepaskan.


"yuk rio pamit.. Jaga emak ya.."


pintaku pada yuk yanti, ia mengangguk dan tersenyum dipaksa. Ku hampiri yuk tina dan kuraih tangannya lalu kucium. Tiba tiba tubuh yuk tina berguncang hebat, meledak tangisannya. Lututku langsung gemetaran. Yuk tina merengkuh tubuhku dan memelukku, ia menangis terisak isak.



"adek.. Maafkan ayuk dek.. Maaf ayuk yang jahat sama adek.. Jangan pergi dek.. Jangan tinggalkan kami disini dek.. Ayuk janji tak akan pernah marah lagi sama adek.. Ayuk akan menyayangi adek... Ayuk mohon dek..." isakan yuk tina makin menjadi jadi.. Aku pun tak sanggup lagi menahan tangisan, aku tak perduli ada rian, erwan dan angga disini. Yang aku tahu saat ini hanyalah hatiku hancur dan sedih. Aku meninggalkan orang orang yang aku sayangi. Hampir tak mampu rasanya aku menenangkan yuk tina, karena saat ini hatiku sepuluh kali lebih tak tenang.



"yuk.. Maafkan rio, sudah terlambat yuk.. Rio tak mungkin tinggal.. Rio janji tak akan pernah lupa sama ayuk.. Sekarang rio pamit yuk.. Doakan rio yuk.. Rio sayang yuk tina. Ucapku sambil menyusut air mata dan melepaskan diri dari pelukan yuk tina. Aku mundur, yuk tina langsung mencium keningku bertubi tubi, membuat aku jadi semakin berat untuk meninggalkan mereka. Yuk yanti menggeleng pada yuk tina. Namun tak digubris oleh yuk tina. Akhirnya yuk tina melepaskanku. Setelah itu aku pamit pada dodi, ia juga memelukku.



"jaga diri baik baik rio.. Jangan lupakan kami ya.." ujar dodi sambil tersenyum. Aku mengangguk, setelah itu ku salami erwan. Ia cuma mengangguk tanpa berkata apa apa. Ketika aku menyalami rian, ia langsung berbisik di telingaku.



"rio, Aku akan menunggumu.. Jangan macam macam disana.. Jangan lupakan aku.." aku tak menjawab, hanya mengangguk. Mama meraih tanganku lalu menuntunku berjalan menuju mobil, pak danu membuka pintu mobil dan menyuruhku masuk. Sebelum masuk mobil aku berbalik menoleh ke belakang, melihat emak, yuk yanti, yuk tina, rian, erwan, dan dodi yang berdiri berbaris melepas keberangkatanku. Aku melambaikan tangan pada mereka semua.


Mereka membalas melambaikan tangan padaku. Mama ikut menoleh dan tersenyum pada mereka sambil ikut melambaikan tangan. Ku lihat emak menutup hidungnya dengan saputangan putih, bahunya terguncang guncang. Demikian pula yuk yanti dan yuk tina. Aku berpaling dan masuk ke dalam mobil, tiba tiba yuk yanti menghambur menghampiriku sambil berlari.



"adeeeeek.... Tunggu...!"


aku berbalik lagi dengan kaget. Yuk yanti memelukku kuat kuat kemudian mencium pipiku berkali kali. airmata yuk yanti menempel di pipiku.


"ayuk.. Sudahlah.. Kasihan emak.. Nanti emak makin sedih.."


aku membujuk yuk yanti, padahal batinku menjerit sekeras kerasnya saat ini. Ku lepaskan pelukan yuk yanti lalu buru buru naik kedalam mobil, kututup pintunya.



"pak buruan jalan.. Kita dikejar waktu nih.. Jangan sampai ketinggalan pesawat.."


buru mama pada pak danu. Mobil mulai berjalan pelan, ku buka jendela mobil dan melambaikan tangan pada emak, ayuk dan teman temanku. Mereka setengah berlari mengikuti kepergianku hingga di pinggir jalan. Aku terus melambai pada mereka. Hingga pak danu memutar mobil berbelok ke kiri dan mereka hilang dari pandanganku.



Hanya air mata yang jadi saksi betapa sedih yang kurasakan saat ini. Lambaian tangan mereka tak pernah bisa hilang dari pikiranku hingga saat ini. Selamat tinggal emak. Batinku berkata dengan airmata berlinang deras mengucur di pipiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar