Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 23

#28 KEKACAUAN
Aku menyibak gorden dan melihat keluar, namun tak ada siapa siapa yang berdiri di luar, tapi aku sangat yakin kalau tadi penglihatanku tak salah, aku melihat ada yang berdiri di luar jendela dan sosok itu sangat mirip dengan kak faisal, apakah tadi aku berhalusinasi? Tapi kenapa aku merasa seperti ada yang memanggil namaku. Dengan gontai aku kembali ke tempat tidur, butuh waktu lama untukku bisa tidur karena memikirkan kejadian barusan.


Pagi ini mendung tebal menaungi langit, meskipun sudah jam tujuh namun suasananya seperti masih jam setengah enam. Malas sekali rasanya aku bangun, odie sudah tak ada lagi disampingku. Mungkin dia sudah terbangun dari tadi. Aku turun dari tempat tidur dan kekamar mandi untuk mencuci muka dan gosok gigi setelah itu aku ke dapur. Ternyata odie lagi di dapur sedang ngobrol sama mama dan tante laras.
"pagi rio.." odie menyapaku.
"pagi die.. Pagi mama, tante.."
"pagi rio.." jawab mama dan tante laras nyaris serempak.
"ngopi dulu yo.." odie menawariku.
"makasih die.." aku menarik kursi dan duduk di samping odie.
"gimana tidurnya semalam... Nampaknya nyenyak banget, aku aja sampe nggak tega bangunin kamu.." ujar odie sambil menuang kopi ke dalam cangkir dan memberikan padaku.
"makasih... Iya die aku susah tidur semalam.." aku mengambil cangkir dari tangan odie.
"memangnya kenapa sampai susah tidur, mikirin apa..?" tanya mama.
Aku langsung teringat dengan kejadian semalam.
"ma..." aku melihat mama.
"ada apa sayang?" mama menjawab dan melihatku agak heran.
"semalam rio seperti melihat kak faisal ma..."
mendadak odie dan tante laras menatapku.
"kamu melihat almarhum?" tanya tante laras tak percaya.
"entah lah tante, tapi sepertinya itu nyata.. Soalnya rio juga merasa kak faisal memanggil manggil rio.." aku memutar mutar cangkir diatas meja.
"mungkin kamu cuma bermimpi aja nak.." mama terlihat seperti agak kalut.
"nggak tau juga sih ma... Cuma rasanya kayak bukan mimpi sih... "

"jam berapa kejadiannya?" selidik tante laras.
" kisaran jam satu tante.." aku mengingat ingat.
"apa kamu yakin?" odie mulai ragu.
"aku tak pernah ngawur die.. Kalau aku berani mengatakannya itu karena aku merasa yakin."
jawabku gelisah.
"ya allah.. Ada apa lagi ini.." wajah mama nampak susah.
"bukannya faisal meninggal dalam kecelakaan... Tapi apa mungkin ia belum tenang di alam sana?"
tante laras nampak seperti hendak menangis.
"itu juga yang aku takutkan, soalnya kak faisal meninggal dalam kecelakaan.." aku nyaris bergumam.
"saat kecelakaan itu ia lagi banyak masalah.. Aku takut dek laras.." ungkap mama terdengar kuatir.
"aku tak percaya hal hal seperti itu, mana mungkin orang yang sudah meninggal arwahnya bisa kemana mana.. Bukannya dalam agama kita yang namanya orang meninggal itu kan ruhnya kembali ke allah.." odie tersenyum padaku.
"iya odie aku juga tau.. Itulah yang jadi masalahnya sekarang, kalau sampai setan meniru almarhum dan mendatangiku, tujuannya itu apa?" aku bertanya pada odie.

"mungkin ada satu hal yang masih mengganjal sewaktu meninggalnya kak faisal dan hanya kamu yang bisa menjawabnya. Apa kamu punya janji sama almarhum?" odie bertanya dengan serius.
Aku berpikir keras mengingat ingat apa ada urusanku dengan kak faisal yang belum tuntas. Rasanya aku tak pernah punya hutang padanya. Apalagi berjanji yang macam macam.
"rasanya nggak die.. Aku nggak merasa ada urusan yang belum selesai dengan almarhum, aku bingung die..." aku terpekur menatap kue dalam piring tanpa ada selera untuk menyentuhnya.
"sudahlah rio jangan terlalu kamu pikirkan, bisa saja kan kamu cuma bermimpi dan seolah olah merasa itu nyata, aku juga sering kok mengalami hal seperti itu... Mungkin kamu kangen sama kak faisal lalu terbawa hingga ke mimpi.." odie terdengar yakin.
"semoga aja ya die.." aku berharap.
Mama tak menimpali apa apa, ia kelihatan agak melamun demikian juga tante laras.
"ma.. Mikirin apa?" aku menyadarkan mama dari lamunan.
"nggak rio... Mama cuma kepikiran aja.. Beberapa hari yang lalu mama juga sempat bermimpi ketemu almarhum kakakmu itu. Wajahnya nampak sangat sedih." mata mama berkaca kaca.
"benarkah itu ma?" aku jadi penasaran.
"iya nak, waktu mama tanya ia tak menjawab hanya menggelengkan kepala saja. Setelah itu ia menangis." ungkap mama setengah berbisik.
"apa mimpi itu ada artinya ya ma?" tanyaku penasaran.
"entah lah.. Mama harap itu hanya sekedar mimpi saja, mama sudah hampir melupakannya kalau saja kamu tak bercerita kamu melihat almarhum." jawab mama.
"bagaimana kalau kita ziarah ke makamnya faisal.." tante laras menganjurkan.
"kamu betul laras, lebih baik kita ke makam faisal..." mama menyetujui.
"kalau gitu aku mandi dulu ya ma.!" odie beranjak dari kursinya.
"iya buruan, habis itu mama juga mau mandi. "jawab tante laras.
"papa kemana ma?" aku bertanya ke mama.
"tuh lagi di depan sama om beno main bulutangkis." jawab mama sambil menunjuk ke arah pekarangan.
Aku menoleh, benar saja ternyata papa lagi sama om beno.
"aku mau ke depan metik bunga dulu ya kak.." tante laras berdiri.
Mama mengangguk dan ikut berdiri.
"iya dik.. Kalau begitu kakak bersiap siap dulu sekalian mau bilang ke papanya rio kalau hari ini kita ziarah.."
tante laras tersenyum dan mengangguk lalu meninggalkan aku dan mama.
"entah kenapa rio, mama yakin kalau yang kamu lihat itu memang almarhum kakakmu.." desah mama terdengar letih.
"aku juga gitu ma, rasanya yakin sekali.." jawabku pelan.
"nanti kita bahas lagi masalah ini, sekarang kamu bersiap siap dulu lah.." mama menepuk pundakku lembut.
"iya ma.." aku berbalik ke kamar lalu mandi.


**************


Tanah pekuburan yang sunyi semakin terasa sepi karena hampir tak ada yang ziarah selain kami. Aku berjongkok disisi makam kak faisal, mencabuti rumput rumput liar yang mulai tumbuh di tanah kuning lembab ini. Tanganku gemetaran saat menyentuh nisan dari pualam yang dingin bagai es yang bergrafir nama kak faisal.
Rasanya baru kemarin aku bercanda dan bermain main bersama kak faisal, namun kini semua itu hanya tinggal kenangan saja, kenangan yang tak mungkin bisa terulang lagi.
Tawa kak faisal, candanya yang selalu mengisi hari hariku. Semua itu tak akan bisa lagi aku rasakan.
Tanganku gemetar meremas nisan kak faisal. Susah payah menahan airmata yang kembali ingin bergulir. Rasa hampa kembali menggelayuti hatiku. Aku rindu kak faisal, rindu saat saat dulu bersamanya, mendengar ia tertawa, rindu ia memanggilku adik.
Mama menyentuh pundakku dengan lembut.
"kita berdoa biar almarhum tenang di alam sana rio.." ujar mama sambil berlutut disampingku.
Aku menggangguk dan bergeser ikut berlutut disamping mama.
Bertujuh kami berlutut di makam kak faisal. Berdoa untuk kak faisal, karena hanya doalah saat ini yang bisa kami berikan untuk almarhum.
Doa ikhlas sepenuh hati baginya. Semoga kak faisal diampuni segala dosa dosanya, diterima semua amal baiknya.

Tiba tiba angin berhembus sangat kencang tanpa sebab. Daun daun beterbangan dan pohon pohon bergerak seolah mau tumbang. Cepat cepat kami berdiri. Bunga bunga yang tadi ditaburi mama dan tante laras diatas makam nyaris tak bersisa terbawa oleh angin.
Selendang mama melambai lambai seolah akan terbawa angin. Mama memegang erat erat selendangnya. Aku dan odie berpandang pandangan dengan gelisah. Deru angin tak juga berkurang. Suasana pekuburan ini menjadi agak mencekam.

Papa menarik tanganku untuk menjauh dari tanah pekuburan ini. Titik air hujan tiba tiba jatuh semakin lama semakin banyak. Bergegas kami semua masuk ke dalam mobil. Hujan turun dengan derasnya padahal tadi cuaca cukup cerah. Kaca mobil jadi buram karena embun.
Papa menyetir sambil sesekali mengelap kaca agar pandangan tak tertutup embun. Jantungku berdebar tak menentu. Entah pertanda apa gerangan ini. Mama meremas remas selendangnya hingga kusut. Wajah mama pun menyiratkan kekuatiran.
Aku jadi terpikir kejadian semalam. Apakah mungkin sebetulnya kak faisal belum tenang di alam sana, gerangan apakah yang membawa ia kembali. Meskipun aku begitu menyayangi kak faisal namun aku tak mau bertemu dia lagi karena dia telah meninggal.
Aku ingin almarhum kak faisal tenang.
Hujan semakin deras seolah air bah diturunkan dari langit.

Kami telah sampai dirumah, papa langsung membawa mobil masuk dalam garasi. Kami turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Dingin sekali rasanya. Mana pakaian kami agak lembab karena tadi terkena air hujan.
Aku masuk ke kamar diikuti oleh odie. Aku menyalakan pemanas air lalu mandi dengan air panas. Aku mandi serempak bersama odie.
Aku hanya memakai celana dalam saja begitu juga dengan odie. Nyaman sekali rasa tubuhku tersirami air hangat yang mengucur dari shower.
Aku menyabuni tubuhku dan menggosoknya dengan spons mandi.

"kamu merasakan ada sesuatu yang aneh nggak?" tanya odie sambil memencet botol sabun.
"entahlah die, aku takut berpikir yang tidak tidak.." aku membilas sabun diseluruh tubuhku dengan air shower yang memancar.
"aku jadi terpikir kalau ceritamu semalam itu bisa jadi memang benar.."

odie melanjutkan sambil menggosok busa sabun ke seluruh tubuhnya.

"memangnya sejak kapan aku suka berbohong die, aku mau menceritakan semua itu karena aku sendiri merasa kuatir, aku sih masih berharap kalau itu semua hanya halusinasi saja.."
aku meraih handuk yang ada di gantungan.
"aku juga berharap seperti itu yo.." timpal odie sambil berjalan ke bawah shower dan membilas busa sabun diseluruh tubuhnya.
Aku mengeringkan tubuhku dengan cepat. Lalu keluar dari kamar mandi. Aduh aku lupa mematikan ac kamarku. Tubuhku langsung menggigil kedinginan.
Tanpa menunggu lagi aku membuka lemari lalu mengambil baju dan kupakai. Setelah aku selesai berpakaian, odie keluar dari kamar mandi hanya berlilitkan selembar handuk menutup tubuhnya dari pinggang ke bawah. Ia mengambil tas travel miliknya yang ia letakkan disamping lemari bajuku. Ia membukanya dan mengambil sehelai baju, celana pendek dan celana dalam. Lalu ia berganti pakaian.
"jadi lapar ya yo.." odie memegang perutnya.
"iya die, makan yuk.. Aku juga lapar nih." aku menyetujui. Kami pergi ke dapur bersama sama.

Ternyata ada kak fairuz juga di dapur, ia sedang duduk dekat meja makan sambil ngopi.
"laper ya?" tanya kak fairuz saat melihat aku dan odie.
"iya kak.."
"mau kopi?" ia menawarkan.
"nanti aja kak, kami mau makan dulu.." aku membuka tutup mangkuk porselen untuk melihat isinya.
Odie menarik kursi disamping kak fairuz. Kami makan sambil membahas kejadian di pemakaman tadi.
Kak fairuz termenung saat mendengar ceritaku mengenai kejadian semalam. Entah mengapa aku merasa kak fairuz seperti menyembunyikan sesuatu hal.


****************


"kamu nggak kuliah hari ini yo?"
tanya rian saat kami berdua sedang duduk di kamarnya.
"nggak yan, tadi yusri telpon katanya dosen nggak masuk hari ini.." aku menjelaskan.
"kalau begitu kamu bebas dong.." rian nampaknya sangat senang.
"kenapa memangnya?" aku agak heran.
"aku ingin bermesraan sama kamu, sudah lama kita nggak berdua duaan kayak gini, kamu terlalu sibuk sih.." rian agak mengeluh.
"iya yan, maaf ya... Bukan maksudku mengabaikan kamu.." aku tersenyum pada rian.
Ia bergeser lebih dekat padaku dan memelukku.
"rio.." rian berbisik di telingaku.
"iya sayang.." aku membelai pipi rian perlahan. Nafasnya terdengar semakin memburu.
"aku pengen.." suara rian bergetar. Tangannya membelai dadaku lalu menelusurinya dengan ujung jari jarinya. Nafasku pun ikut jadi tak teratur. Rian paling bisa membuat aku jadi bergairah.



Aku terbangun karena merasa berat dibagian dadaku. Ternyata tangan rian bertengger dengan bebasnya diatas dadaku. Ia masih tertidur dengan nyenyak. Dari suara nafasnya yang agak menderu sepertinya ia sangat kelelahan.
Aku bergeser pelan dan memindahkan tangannya dengan hati hati namun tak urung juga ia terbangun.
Rian membuka matanya dan tersenyum, tangannya menarik tubuhku agar lebih dekat padanya. Terpaksa aku berbaring lagi.
"mau kemana sayang?" tanya rian sambil mengecup keningku perlahan.
"nggak kemana mana.. Cuma mau pake baju aja yan.." aku menarik selimut dan menutupi tubuhku.
"nanti saja yo.. Aku masih ingin bersamamu..." pinta rian dengan manja.
Aku mengangguk menatap mata rian.
"kamu tau yo, aku takut sekali kehilangan kamu.." rian mempererat pelukannya.
"aku juga begitu yan, aku sayang kamu.." jawabku senang, aku betah sekali berada dalam pelukan rian, pemuda yang sangat aku sayangi. Kekasihku dan belahan jiwaku.
Tubuhnya begitu hangat hingga membuat aku ingin terus berada dalam pelukannya.
"kamu masih capek kan, tidur aja lagi yan.." aku menyentuh bibir rian dengan jariku. Bibir yang proporsional, tak tebal namun juga tak terlalu tipis, begitu keras dan jantan. Rian langsung mengapit telunjukku dengan bibirnya. Lidahnya yang hangat menyentuh syaraf diujung jariku.

"tadi aku ketiduran, sayang kalau tidur yo, aku ingin menikmati setiap detik bersamamu, entah kenapa setiap kita berdua rasanya waktu berjalan bagai berlari.."
rian menelusuri punggungku yang polos dengan telapak tangannya. Bulu kudukku kembali meremang, gairahku kembali bangkit.
Rian bergerak pindah keatas tubuhku dan menindihku. Kami kembali bercinta. Lebih liar dan bergairah dari yang pertama tadi.





Waktu merangkak berganti malam, aku beranjak dari atas kasur dan ke kamar mandi. Aku membersihkan badan dan mandi. Sabun dan odol gigi rian nyaris habis.
Kasihan rian dia pasti harus berhemat disaat saat sulit baginya ini. Aku akan mengajaknya ke supermarket untuk berbelanja.

Setelah mandi aku membangunkan rian dan menyuruhnya mandi, rian bangun dengan malas namun aku bilang kalau aku lapar.
Akhirnya ia turun juga dari tempat tidur. Aku menunggu rian selesai mandi sambil merokok di teras kontrakannya. Rian keluar dan menghampiriku. Ia sudah rapi.
Begitu tampannya rian. Rambutnya yang lurus tebal disisir agak acak. Ia memakai baju kaus hijau tua yang aku belikan untuknya.
"cari makan yuk.." kataku pada rian.
"sebentar aku mau merokok dulu.." rian duduk disampingku mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.
Aku memandangi rian menghisap rokok, aku suka sekali dengan gayanya.
"ada apa rio?" tanya rian heran.
Aku tersenyum padanya.
"nggak yan, aku cuma bahagia sekali hari ini.." jawabku.
Rian nampak senang mendengarnya.
"aku juga gitu yo, kamu harus lebih sering lagi kemari, aku kesepian disini.." rian agak mengeluh,
aku jadi tak tega padanya. Kasihan rian tentu saja dia kesepian, ia bukan orang yang mudah bergaul, setiap aku mengajaknya ketempat teman temanku kebanyakan ia menolak kecuali ia sudah benar benar kenal seperti terhadap koko.
"cari makan sekarang yuk, aku laper banget nih.." ujarku sambil berdiri.
"ayo.." rian ikut berdiri dan mengunci pintu kost nya.
Aku dan rian makan di cafe yang tak begitu jauh dari tempat rian tinggal, setelah itu aku mengajaknya ke supermarket untuk membeli barang barang kebutuhan rian, ia bersikeras menolak seperti biasanya namun aku juga bersikeras memaksa tetap membeli.

Setelah selesai belanja dan mengantar rian kembali ke kontrakannya, aku cuma mampir setengah jam lalu pulang ke rumah.


Saat tiba dirumah aku sedikit kaget melihat kak fairuz sedang duduk di taman depan rumah bersama amalia.
"baru pulang yo?" kak fairuz menyapaku.
"iya kak.. Apa kabar mel..?" jawabku sambil menyapa amalia.
"baik yo.." jawab amalia agak malu malu.
"kalian lanjutlah ngobrolnya, aku mau ke dalam dulu.."
"iya rio.." jawab kak fairuz dan amalia.
Aku meninggalkan mereka berdua dan kembali ke dalam. Mama dan papa sedang duduk di depan televisi. Tante laras, om beno dan odie sudah pulang semenjak kemarin jadi rumah kembali terasa agak sepi.
"dari mana rio?" tanya mama sambil menoleh melihatku.
"dari tempatnya rian ma.. Wenny mana?" jawabku sambil duduk dekat mama.
"sudah tidur dari tadi, tadi sore ada koko kemari nyari kamu.." mama memberitahuku.
"kok nggak nelpon aku sih?" tanyaku heran.
"nggak tau sih, mama tadi udah mau telpon kamu tapi kata koko nggak usah dia cuma mau main aja..." jelas mama.
"dia sendirian ya ma?" tanyaku lagi.
"berdua.." jawab mama singkat sambil senyum.
"sama siapa ma?" aku jadi penasaran.
"berdua sama bayangannya.. Udah makan dulu sana.." ujar mama tertawa kecil.
"mamaaa.. Usil deh.. Kirain beneran.. Rio udah makan tadi ma.." aku jadi agak sebal.
"katanya dia mau kesini lagi loh.." tambah mama.
"jam berapa dia bilang?" "dia cuma bilang kalo kamu udah pulang suruh bilang kalo malem dia mau kesini lagi..." ulas mama.
"udah mama lagi nonton sinetron nih, jangan ganggu lagi, jadi nggak konsen..!"
mama kembali menatap layar televisi.
Dasar mama.. Kalau udah nonton sinetron pasti seriusnya mengalahkan apapun.

Aku beranjak ke kamar untuk ganti baju, setelah itu aku duduk di depan teras menunggu koko. Tepat jam sembilan koko datang. Ia memarkir motornya tepat dekat depan teras.
"kemana tadi sore?" tanya koko.
"rumah rian..kok nggak telpon aku dulu kalau mau kesini, jadi aku bisa nunggu.."
"iya sih.. Cuma tadi itu aku lagi bingung aja gak ada tujuan, jadi aku mampir kesini, kirain kamu ada.." koko menjelaskan.
" iya sih udah lama juga aku nggak ketemu kamu, gimana kabar mamamu... Sehat kan?" aku memberi ruang untuk koko duduk di sampingku.
"alhamdulillah sehat, cuma om alvin yo..." kalimat koko terputus.
Aku menoleh melihat koko.
"ada apa dengan om alvin ko?" jantungku jadi berdebar.
"dia sakit dan sekarang sedang di opname dirumah sakit.." suara koko agak sedih.
Walaupun aku kesal sama om alvin tak urung mendengar dia sakit membuat aku jadi kuatir juga. Walau bagaimanapun om alvin adalah bapakku.
"sejak kapan ko, om alvin sakit apa?" tanyaku prihatin.
"entah lah yo, justru mama sekarang lagi dirumah sakit menemani om alvin.. Keluarga om alvin disini kan cuma kami.." koko menerangkan.
Aku tertunduk.
"kamu tak mau menjenguk om alvin yo?" koko menanyaiku ragu.
Aku terdiam. Apakah aku tega tak menjenguk om alvin sementara ia sedang sakit.
"parah ya ko?" aku bertanya lagi.

"jantung yo.." jawab koko singkat. "apaaa... Om alvin kena sakit jantung, kok bisa kan om alvin masih muda..." aku nyaris berteriak.
"mungkin terlalu banyak beban pikiran yang ia tanggung..." koko berasumsi.

"beberapa hari yang lalu ia datang kemari ko.." aku memberitahu koko. Nampaknya koko agak kaget mendengarnya.
"yang benar yo... Om alvin datang kerumahmu?" koko agak tak percaya.

"iya ko bahkan om alvin juga sempat bertengkar sama aku dan mama..."

"pantas saja beberapa hari ini dia agak murung yo, aku kira karena masalah pekerjaannya... Rupanya itu penyebabnya.. Kenapa kalian sampai bertengkar?"

tanya koko penasaran.
"lebih baik kita masuk ke dalam aja ko, kita ngobrol di kamarku." aku berdiri dan mengajak koko masuk.
Ia mengikutiku berjalan menuju kamarku.
"aku sempat kaget waktu dia datang, aku tak menyangka om alvin berani datang kemari, kamu kan tau kalau aku marah padanya, aku kesal karena om alvin menutup nutupi hal yang penting ini, ia merahasiakan kalau ia bapakku selama bertahun tahun, itu yang membuat aku marah padanya.."
ujarku berapi api saat aku dan koko sudah berada dalam kamarku dan kami duduk diatas karpet.
"aku mengerti yo, tapi om alvin bilang ia belum siap untuk mengatakan padamu karena ia takut kamu marah.." koko mencoba menjernihkan masalah.
"tapi masa sampai bertahun tahun gitu.. Aku tak terima ko, om alvin pengecut dan aku kecewa padanya.." aku memotong kata kata koko.
"terus reaksi mama kamu gimana?"
"mama juga sepertiku, ia marah sama om alvin.. Apa om alvin tak pernah cerita padamu.. Bukannya kalian berdua cukup dekat?" aku balik menanyai koko.
"om alvin bercerita sih, tapi kan nggak terlalu detil, masih banyak yang ia tutup tutupi.." koko menggaruk kepalanya.
"kamu tunggu disini sebentar ya, aku mau buat minuman dulu.."
"nggak usah yo, aku tak lama kok.. Cuma mau ngajak kamu ke rumah sakit..." koko mencegahku. Aku terpekur. Bagaimana sebaiknya jadi bingung. Apa aku memang harus pergi kerumah sakit untuk menjenguk om alvin. Semarah apapun sama om alvin dia tetap bapakku.
"bagaimana yo?" koko terlihat begitu berharap.
"baiklah ko, aku mau ikut kamu ke rumah sakit..." jawabku setelah berpikir keras.
"tapi hanya sekedar menjenguk saja sebentar untuk memastikan keadaannya.." lanjutku.


Bersama koko aku menyusuri lorong rumah sakit charitas, menuju ke ruangan tempat om alvin dirawat. Koko berhenti disebuah ruangan vip. Lalu membuka pintu dan mengajak aku masuk.
Saat melihat aku dan koko, mamanya langsung berdiri dan tersenyum senang.
"rio akhirnya kamu datang juga..!" mama koko menghampiriku lalu memeluk aku dengan erat.
"papamu sudah dua hari ini terus menyebut namamu nak.." mama koko meraih tanganku lalu menuntunku berjalan mendekati tempat tidur dimana om alvin sedang tertidur lelap.
"tante... Maaf aku baru tau.." kataku dengan pelan.
Mama koko tersenyum. "tak apa apa sayang.. Yang penting kamu mau datang, tante sangat bersyukur.." mama koko tetap merangkulku.
"kamu tau rio, tante hampir menjerit saking bahagianya karena tante tau kamu anak dari adik tante..ternyata selama ini kamu adalah keponakan tante.." ujar mama koko penuh haru.
Aku mengangguk, aku bingung, di satu sisi aku sangat senang melihat mama koko begitu bahagia, tapi di sisi lain aku masih kecewa sama om alvin.
"sudah lama om alvin tidur tan?" aku pandangi wajah om alvin, bodohnya aku sampai tak menyadari kalau beliau adalah bapak kandungku.
Begitu banyak indikasi yang mengarah kesitu selama ini, namun aku dengan naifnya menganggap semua itu cuma kebetulan belaka.
Mulut om alvin agak bergetar meskipun ia tertidur. Selang infus menempel di tangannya. Wajahnya agak pucat.
"baru satu jam lebih, mungkin pengaruh obat tidur nak.." mama koko membelai pipi om alvin dengan kasih sayang.
Tiba tiba mata om alvin bergerak dan terbuka. Ia melihat mama koko dengan sendu. Mama koko mengangguk lalu mengarahkan pandangan kepadaku.
Om alvin mengikuti pandangan mama koko dan ia melihatku.
"rio..." lemah sekali suara om alvin yang keluar dari bibirnya yang bergetar. Aku terpaku, suaraku seolah tertahan dalam kerongkongan. Aku membuang pandangan ke arah lain. Perasaanku jadi gamang.
Koko menghampiriku lalu menepuk bahuku dan berbisik. "tolonglah untuk sekali ini kamu lepaskan dulu amarahmu yo, papamu lagi sakit.. Kalau ia stress bisa bisa ia bertambah parah.."
kepalaku jadi sakit karena berpikir terlalu keras. Aku benar benar bingung. Kenapa harus dihadapi masalah ini. Aku menoleh pada mama koko, hampir tak jauh beda, mama koko juga terlihat sangat berharap aku mau menegur om alvin. Itu membuat aku jadi semakin tak enak hati.
Koko mendorongku perlahan agar lebih dekat ke om alvin. Aku melangkah walau terasa berat.
"sudah lama nak?" om alvin tersenyum walaupun kelihatannya untuk melakukan itu dia harus kerja keras.
"belum om.." jawabku singkat.
"terima kasih mau datang.." kata om alvin lagi. Aku diam tak menjawab.
"itu ada roti dan buah.. Dimakan rio.." om alvin mengerling ke arah meja disampingnya.
Karena tangannya di infus dan terlihat agak bengkak jadi om alvin mungkin agak kesulitan untuk menunjuk.
"iya om terimakasih, aku juga tak bisa lama.. Yang penting om cepat sembuh aja..!"
aku tak tersenyum bahkan tak memandang om alvin saat mengatakan itu.
"terimakasih rio..." jawab om alvin, mungkin ia juga menyadari kalau aku kurang begitu nyaman berada disini.
"kalau begitu aku pulang dulu, masih ada kerjaan.." aku pamit pada mama koko.
"loh kok buru buru amat rio, belum juga sepuluh menit.." mama koko agak keberatan.

"maaf tante.. Aku harus segera pulang, tadi juga aku sudah bilang sama koko kalau nggak bisa berlama lama.." ujarku tak enak hati.
Mama koko begitu baik padaku. Aku sebetulnya tak tega menolak permintaannya itu, namun situasinya sekarang yang sakit ini om alvin, orang yang paling tak ingin aku temui.
Karena melihat aku sepertinya tak bisa dilarang akhirnya mama koko mengalah.

"baiklah rio, kalau bisa kesini lagi.. Karena tante yakin dengan kedatanganmu pasti papamu akan cepat sembuh.." suara mama koko seperti mau menangis.

"insya allah tante.." aku mengangguk. "kalau begitu hati hati di jalan.."

" makasih tante... Permisi om" aku melirik ke om alvin sekilas lalu memberi kode pada koko untuk mengantarku.

"hati hati rio.." suara om alvin parau dan nyaris tidak kedengaran.
Aku tak menjawab. Tanpa menunggu lagi langsung keluar dari ruangan itu.

"begitu bencinya kamu sama bapak kamu sendiri yo.." koko seperti mengeluh.

"kalau bukan karena ia sakit malas aku ketemu ko.."

"kamu banyak berubah yo, dulu waktu awal kita kenal aku mengenal kamu sebagai sosok yang begitu menyenangkan.." koko mengimbangi langkahku yang agak cepat.

"itu cuma perasaan kamu aja.." jawabku tak acuh.

"nggak rio, aku tak mengada ada.. Kamu begitu berubah sekarang.." koko tetap bersikeras.

"waktu bisa mengubah seseorang ko.." aku tak perduli.

"maaf kalau kamu tersinggung.." koko jadi tak enak hati.

"tak apa apa, nggak juga..!" jawabku.

"ya sudah aku juga tak bisa memaksa kamu untuk menerima om alvin.." aku tak menjawab.
Kami meninggalkan rumah sakit dan kembali ke mobil. Koko mengantarku pulang ke rumah. Karena masih harus balik kerumah sakit jadi koko tidak mampir.
Aku masuk ke dalam rumah langsung disambut wenny yang berlari menghampiriku.

"kak io...!"

aku mengangkat wenny lalu menggendongnya.

"Dedek kok belum tidur?" tanyaku sambil berjalan membawa wenny ke ruang tengah. Mama sedang menata bunga dalam jambangan kristal kesayangannya.

"yum antuk.." suaranya masih agak cadel.

"tumben udah pulang jam segini yo?" mama sepertinya heran.

"iya ma.." jawabku pendek. "darimana?"

"rumah sakit ma..." "jenguk siapa?" mama ingin tau.

"om alvin.." raut mama jadi berubah, seperti kaget namun mama langsung mengendalikannya.

"sakit apa dia?" mama seolah tak perduli.

"jantung.." jawabku tanpa ekspresi. Mama diam tak menjawab.

"aku ke kamar dulu ma.." aku meninggalkan mama.

"rumah sakit mana?" terdengar suara mama.

"charitas..!" jawabku agak teriak karena mama jauh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar