Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 18

#23 KEDATANGAN KAK FAIRUZ

“rio, lebih baik kamu pulang dulu, lagian tak ada yang bisa kamu lakukan disini..” ajak koko. Sebetulnya itu benar juga, tapi aku tak ingin meninggalkan kak faisal, aku ingin kak faisal merasakan bahwa ada aku bersamanya.
“tidak ko.. Aku mau disini saja..” aku menggeleng, kerongkonganku terasa sakit, airmata telah membuat mata dan hidungku bengkak.
“aku turut berduka cita yo, memang berat kehilangan seorang kakak.. Aku pernah mengalami dan merasakan sendiri…” desis koko penuh keharuan. Ia menuntunku duduk ditempat yang agak sepi. Beberapa orang teman kak faisal berkumpul didepan pintu UGD. Mereka penasaran ingin melihat langsung keadaan kak faisal.
“yo… Aku bisa temani kalau kamu butuh teman untuk berbagi…” koko merangkulku. Aku menunduk dan menangkupkan kedua tangan menutupi wajah. Airmata mengalir di sela sela jariku. Setiap aku teringat kak faisal, aku tak dapat menahan kesedihan.
Detik detik berlalu bagaikan semakin cepat dari biasanya. Tak ku sadari mama dan papa telah keluar dari unit gawat darurat. Mama masih menangis sambil menutup hidungnya dengan saputangan putih bersih di pelukan papa. Tubuh mama berguncang guncang pertanda betapa sesaknya perasaan mama. Aku berdiri mendekati mama dan papa, aku merangkul mereka berdua.
Papa mengajak aku pulang, katanya dokter akan membersihkan dan memperbaiki jenazah kak faisal agar bisa dimandikan dirumah. Nanti jam setengah tujuh, jenazah kak faisal diantar kerumah. Sepanjang perjalanan mama masih terus meratapi kepergian kak faisal, mama betul betul merasa bersalah. Berkali kali mama mengungkit masalah kak faisal dan mama menyalahkan dirinya yang tak adil terhadap kak faisal. Aku hanya diam mendengarkan segala penyesalan yang terlontar dari mama.
“mama memang bukan ibu yang baik… Maafkan mama nak, maafkan mama..” isak mama tersengal sengal.
“andai mama tau akan begini jadinya, tak akan mama menghukum kamu.. Mama sangat menyayangi kamu faisal anakku.. Mama menyayangi kamu nak…”
papa menatap lurus ke depan, menyetir penuh konsentrasi, namun air mata papa mengalir, entah apa yang papa pikirkan.
“andai mama merestui pernikahanmu.. Andai mama tak menghukum kamu…ini semua tak akan terjadi…maafkan kesalahan mama..mama telah menyebabkan kamu meninggal..ini semua salah mama…” ratap mama tak henti henti, aku begitu kasihan melihat mama. Beliau sangat tertekan. Namun aku tak tau bagaimana cara menghibur mama, segala kata kata bagai hilang dari pikiranku. Hanya bayangan wajah kak faisal yang mengisi benakku.
Sampai dirumah aku langsung duduk di kursi makan. Melamun. Sedangkan mama dan papa langsung masuk kamar. Aku baru tersadar saat bik tin memegang bahuku.
“bang, mandi dulu, nanti keburu banyak yang datang..” bik tin mengingatkanku dengan hati hati agar tak membuat aku terkejut. Mata bik tin juga bengkak, sepertinya bik tin menangis. Aku mengangguk pelan dan berdiri dengan lesu. Begini rupanya rasa ditinggalkan untuk selama lamanya oleh orang yang dekat dan begitu disayangi. Bagaikan kehilangan separuh jiwa. Tak enak mau apapun, dada sesak, hati sakit, hilang semangat dan air mata turun tanpa bisa ditahan. Aku mengguyur tubuh dengan air, rasanya dingin bagai diguyur air es, menggigil sekujur tubuh serasa mau demam. Tulangku bergemeretak ngilu. Berkali kali aku mencuci muka agar tak terlalu sembab.
Aku mengeringkan tubuh dengan handuk. Setelah berpakaian aku keluar kamar. Sudah banyak saudara saudara yang datang. Odie sedang membentangkan karpet diatas lantai, beberapa yang lain mengangkut kursi dan meja hingga ruang tengah menjadi lapang. Kasur di gelar diatas lantai. Sebentar lagi jenazah kak faisal akan sampai disini. Aku berjalan menuju ruang tamu. Beberapa orang tetangga sekitar sini sedang duduk, yang perempuan memakai kerudung dan lelaki memakai kopiah. mereka tersenyum prihatin kepadaku. Aku membalasnya dengan berat hati. Aku berjalan ke teras, didepan ada mobil yang membawa tenda dan kursi. Dengan cekatan para pekerja memasang tenda dan menyusun kursi, sementara para pelayat berdatangan tak putus putus. Aku duduk di tangga lantai teras menunggu mobil jenazah yang akan mengantarkan kak faisal kesini. Pandanganku hampa melihat tamu tamu yang berdatangan dan duduk di kursi yang disediakan dibawah tenda. Seharusnya kedatangan para tamu besok dipernikahan kak faisal, untuk memberikan doa restu, bukan seperti sekarang, kedatangan mereka hanya untuk mendoakan agar kak faisal diterima ditempat yang layak disisi Allah. Entah kenapa semakin banyak yang datang rasanya makin hampa.
Sebuah mobil berwarna putih memasuki halaman rumah. Orang orang yang duduk menunggu langsung berdiri semuanya. Sebuah peti diturunkan dari pintu belakang mobil. Aku berdiri menyongsong jenazah kak faisal. Saudara saudara membantu mengangkat peti yang berat itu membawanya masuk ke dalam rumah. Beberapa orang paramedis mengikuti masuk ke dalam rumah. Aku mengikuti dari belakang berjalan bagai zombie hingga peti kak faisal diturunkan ke lantai.
Paramedis membuka peti itu dan memindahkan jenazah kak faisal ke atas kasur di lantai lalu menutupi tubuh kak faisal dengan kain batik. Mama keluar dari kamar mengenakan kerudung dan membawa alquran. Lalu duduk di sisi kak faisal. Aku duduk disamping mama dan ikut mengambil yasin yang tersusun di dekat kak faisal. Tante laras, odie, papa, om beno, dan seluruh keluarga yang datang duduk mengelilingi jenazah kak faisal. Dengungan suara ayat yasin langsung mengalun di seisi rumah. Aku membuka lembaran yasin dan membacanya dengan khusuk. Walaupun air mataku tak berhenti mengalir namun aku bertahan, suaraku tersendat karena hidungku buntu. Mama membaca yasin sambil sesekali menyusut hidung. Demikian juga yang lain. Hanya para tamu yang bisa membaca dengan tenang.
Aku sesekali menatap tubuh kak faisal yang terbujur tak bergerak dibawah kain yang menyelubunginya. Ingin rasanya aku memeluknya dan tak melepaskan lagi. Mama meletakkan yasin di samping jenazah kak faisal.
Mama berjalan menuju dapur. Aku menyusul mama, ternyata mama sedang menangis sambil menyender di pintu kulkas. Aku mengigit bibir keras keras. Aku tak tega melihat keadaan mama yang seperti ini. Aku hampiri mama dan aku peluk. Mama menangis tanpa dapat di tahan lagi.
“yo.. Kamu tau apa yang paling membuat mama sakit…” sela mama diantara isakannya.
“apa ma…?” tanyaku sambil menyeka air mata.
“faisal pergi disaat mama sedang marah, ia pergi diiringi kebencian mama… Mama menyesal yo.. Mama menyesal..” mama meratap pilu. Aku menggosok punggung mama.
“sudahlah ma, jangan mama sesali itu, rio yakin kak faisal pasti mengerti, kemarahan mama karena mama menyayanginya..” aku coba menghibur mama.
“tidak yo.. Tidak..mama lah yang menyebabkan ia pergi..” bantah mama.
“jangan di pikirkan ma.. Kalau mama berpikiran begitu, mama tak akan bisa tenang, kak faisal juga pasti tak akan tenang kalau ia tau mama seperti ini..”
“ia pasti membenci mama yo.. Ia pasti marah sama mama…” isakan mama semakin menjadi jadi.
“sshhh… Ma, tenang ma… Kak faisal tak marah sama mama, ia justeru sedih karena telah membuat mama kecewa.. Ia mengatakan sendiri sama rio ma..” mendengar kata kataku mama bukannya diam malah tangisannya makin deras
“sekarang ia telah pergi untuk selama lamanya.. Padahal kemarin mama telah mengusirnya..tetapi setelah ia pergi, mama baru sadar, mama menyesali semua kata kata mama. Mama kehilangan dia yo.. Mama tak tau harus bagaimana…sakitnya hati mama yo.. Mama tak adil padanya..” aku terdiam, mencerna kata kata mama. Aku mempererat pelukanku, agar mama bisa lebih terhibur, agar mama ingat masih ada aku yang menyayanginya. Tante laras menyusul kami di dapur.
“kak.. Banyak tamu di luar, tak enak kalau di tinggalkan, aku tau kakak sedang kehilangan dan ingin menyendiri, tapi tolonglah di tahan dulu sebentar.. Temui para pelayat kak..” tante laras menuntun mama perlahan agar mengikutinya ke ruang keluarga. Aku mengangguk pada mama dan mengikuti mama kembali duduk di sisi jasad kak faisal. Aku sibak kain bagian atas kak faisal, wajahnya telah lebih bersih walaupun sisa luka masih memenuhi wajahnya. Menurut keterangan dokter, pecahan pecahan kaca memenuhi wajahnya dan mereka harus ekstra hati hati mengangkatnya. Aku usap wajah kak faisal, terasa dingin dan kaku. Wajah yang biasanya selalu tersenyum dan penuh semangat, sekarang wajah itu membeku, tak ada ekspresi, terpejam, pucat. Aku cium keningnya sambil berdoa dalam hati.
“kak, aku ikhlas dengan kepergian kak faisal, tidurlah dengan tenang kak… Kami semua menyayangi kakak..” aku berbisik pelan di telinganya seakan ia bisa mendengarnya.
*************


Aku terbangun dengan kepala yang terasa sakit. Suara dari masjid yang membuat aku terbangun.
“ASSALAMUALAIKUM.WARAHMATULLAH HI WABARAKATUH..BERITA DUKA CITA… TELAH MENINGGAL DUNIA, NAMA FAISAL HANUTAMA MAHENDRA BIN SUHARLAN MAHENDRA, UMUR 24 TAHUN, MENINGGAL DUNIA PADA PUKUL 15:45 WAKTU INDONESIA BARAT, AKAN DI SHOLATKAN DI MASJID AGUNG SELEPAS SHOLAT ASHAR DAN AKAN DIKEBUMIKAN LANGSUNG DI TEMPAT PEMAKAMAN UMUM PUNCAK SEKUNING SETELAH SELESAI DI SHOLATKAN…
Berulang ulang suara itu bergema dari menara masjid ke menara masjid yang terletak tak jauh dari rumahku secara sambung menyambung. Aku tersadar ternyata semua ini nyata bukan sekedar mimpi buruk. Aku bangun dan keruang tengah. Mendekati jenazah kak faisal. Aku bersimpuh disisinya. Kembali kesedihan yang mendalam aku rasakan. Inilah hari terakhir aku masih bisa bersama kak faisal, masih bisa melihat wajahnya walaupun dia telah meninggal. Aku sibak kainnya dan aku pandangi kak faisal sepuasnya. Mama tertidur di lantai tak jauh dari jenazah kak faisal. Hanya ada beberapa yang masih terjaga termasuk odie yang masih saja membaca yasin. Odie membacanya dengan suara serak, odie pasti begitu sedih karena odie menyayangi kak faisal, meskipun sayangnya itu hanyalah bertepuk sebelah tangan. Entah kenapa aku masih saja berharap tiba tiba kak faisal membuka matanya dan terbangun lalu memelukku dan mengatakan ini semua hanyalah sebuah lelucon. Namun itu tak mungkin. Kak faisal benar telah meninggal dan tak akan pernah bangun.
Menjelang subuh, banyak yang mulai terbangun termasuk mama. Di halaman belakang, beberapa orang menyiapkan tempat untuk memandikan jenazah kak faisal, karena kak faisal meninggal dalam kecelakaan dan pastinya kalau terkena air, tubuhnya yang luka akan kembali berdarah. Tempat itu dibuat sedemikian rupa agar darahnya tak meluber kemana mana.
Menjelang jam tujuh pagi, kembali para pelayat datang malah lebih banyak dari malam tadi. Mereka membawa beras sebagai tanda ikut bersimpati, walaupun aku yakin mama tak membutuhkan semua itu, namun beginilah tradisi disini. Beberapa tetangga yang membantu mengurus disini, menaruh beras itu ke dalam karung yang telah mereka persiapkan. Dalam sekejab telah penuh hingga berkarung karung.
Sebuah bak dari fiber ditaruh di dekat tempat untuk memandikan kak faisal. Bunga bunga bermacam rupa dan juga gayung di taruh dalam bak itu. Mama walaupun masih bersedih namun harus menahan semua itu karena harus melayani para pelayat. Beberapa ibu ibu sekitar sini sibuk memasak di dapur. Di samping Kasur tempat jenazah kak faisal telah di taruh beberapa kain kafan putih bersih yang terlipat rapi juga kapas serta damar, sebentar lagi jenazah kak faisal akan di mandikan.
Aku cuma bisa diam melihat semua kesibukan ini. Detik detik yang berjalan akan segera menghantarkan kak faisal ke tempat istirahat untuk terakhir kalinya. Aku mandi bersih, karena papa bilang, yang akan memandikan kak faisal adalah dari fihak keluarga. Setelah mandi aku kembali ke ruang tengah. Beberapa orang mengangkat tubuh kak faisal dari kasur dengan hati hati. Aku dipanggil oleh mama agar ke belakang ke tempat kak faisal akan di mandikan.
Disana telah menunggu papa, odie dan om beno. Mereka duduk diatas papan dengan kaki diluruskan. Aku disuruh duduk di samping papa. Dengan posisi yang sama. Tubuhku gemetaran saat jenazah kak faisal di baringkan diatas pahaku. Melintang dengan posisi papa di bagian muka, aku dada, om beno di bagian perut dan daerah intim, sedangkan odie di bagian betis hingga telapak kaki. Pak haji malik menutupi tubuh kak faisal dengan kain tebal lalu mencopoti pakaian kak faisal hati hati agar bagian yang tak layak dilihat orang lain tak terbuka. Sambil membaca doa ia mulai menyiram tubuh kak faisal dari atas hingga ke bawah tanpa putus putus dibantu oleh beberapa orang. Aku membersihkan tubuh kak faisal dengan sepenuh hati.. Sementara air mataku mengalir kembali dengan deras. Papa pun demikian. Terasa sekali kesyahduan suasana yang aku rasakan. Celanaku yang basah bercampur dengan darah. Aku berdoa tiada henti untuk kak faisal. Aku ingin kak faisal merasakan betapa aku menyayangi dan merasakan kehilangan yang teramat mendalam.
Setelah selesai dimandikan, jenazah kak faisal di kafani oleh ketua masjid daerah sini dibantu oleh papa dan beberapa orang tetangga. Aku mandi lagi dan memakai baju koko. Sebentar lagi kak faisal dibawa ke masjid untuk di sholatkan. Sebelum dimasukkan ke dalam keranda, kami di izinkan untuk mencium kak faisal untuk terakhir kali. Mama mengulurkan tissue padaku untuk menahan airmata agar jangan sampai menetes jatuh ke wajah kak faisal. Aku memejamkan mata lalu mencium kak faisal lama sekali, gatal damar yang dibubuhkan di seluruh wajah kak faisal yang terkena hidungku tak aku perdulikan. Selamat jalan kak faisal, kenangan bersama kakak tak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun..
Setelah itu satu persatu bergiliran memberikan salam terakhir untuk kak faisal.
Jenazah kak faisal dimasukkan ke dalam keranda lalu ditutup dengan kain beludru hijau tua bertuliskan ayat ayat. Empat orang mengangkat keranda, papa, om beno, om sebastian, dan paman herman. Semua mengiringi dari belakang. Aku berjalan disisi mama, tante laras, odie, tante sukma, koko, rian, rizal, agus dan beberapa teman lain yang aku tak tau mereka sudah ada disini. Kami berjalan hingga ke masjid. Kak faisal di sholatkan. Setelah itu keranda diangkut ke atas mobil, aku bersama keluarga naik ke mobil yang dibawa oleh isteri paman herman.
Beberapa rombongan yang lain juga ikut ke pemakaman ada yang mengendarai motor dan ada juga yang naik mobil. Liang lahat kak faisal telah disiapkan. Beserta sepasang nisan dari papan dan bilah bilah papan untuk menutupi liang lahat.
Om sebastian turun ke dalam bersama papa. Paman herman dan om beno menggendong jenazah kak faisal yang telah di kafani lalu mengulurkan kepada papa dan om sebastian. Papa membaringkan jenazah kak faisal ke dalam celah liang lahat. Aku berdiri di pinggir liang bersama mama yang terus menerus menyusut hidung dengan saputangan. Hampa sekali perasaanku saat ini. Bagaikan tak nyata berada disini. Seolah olah ini semua bagai mimpi yang tak selesai selesai. Koko menggenggam tanganku begitu kuat. Aku bagai tak percaya kak faisal yang kemarin masih bersamaku bercanda, yang selama ini selalu bersamaku, yang selalu menemaniku mengisi hari hari selama delapan tahun lebih, yang biasanya penuh semangat, yang hampir tak pernah diam, yang tampan dan banyak di gilai wanita. Yang begitu baik hati walaupun sedikit bandel. Sekarang harus dikubur dalam tanah. Kesepian ditengah tengah pemakaman.
Tubuh yang gagah itu akan diselimuti tanah kuning untuk selamanya. Tak akan pernah lagi aku mendengar suara kak faisal, melihat tawa dan candanya, tak bisa melihat kak faisal tumbuh menjadi dewasa hingga tua nanti, begitu singkat usia kak faisal, seharusnya disaat ini ia masih bergembira menikmati masa mudanya, bersenang senang seperti biasanya. Menikah dengan amalia dan mempunyai anak. Amalia.. Aku baru teringat, dimana amalia.. Tak kulihat dia disini. Bahkan dari kemarin aku cuma melihatnya selintas saja dirumah sakit. Kemana amalia? Kenapa ia tak menghadiri pemakaman kak faisal, apakah terjadi sesuatu pada amalia hingga ia tak bisa datang. Aku harap amalia tak apa apa, semoga saja ia tak datang karena ia tak siap bukan karena sakit atau ada masalah. Setelah papan disusun hingga jenazah kak faisal tertutup sempurna, gundukan tanah langsung dijatuhkan ke dalam kuburan secara cepat.
Mama memeluk tante laras karena tak sanggup. Tubuhku lemas.. Selesai sudah. Dengan tangan gemetar hebat mama menaburkan bunga diatas gundukan tanah kuning yang masih basah. Tangisan kembali mengiringi kak faisal di istirahat terakhirnya. Aku mengambil segenggam bunga dari keranjang bambu yang mama pegang. Lalu aku taburkan penuh khidmat dimakan kakak kesayanganku ini. Teriring doa dalam air mata untuk kak faisal, semoga kak faisal mendapat ketenangan di alam sana, semoga nanti kami akan dipertemukan lagi di surga yang indah.
Para pelayat satu persatu berpamitan pulang, mama menyalami mereka dan tak lupa berterimakasih untuk kedatangannya di pemakaman. Suasana menjadi lebih sepi, hanya tinggal keluarga dan kerabat. Semua bersimpuh disisi makam untuk mendoakan kak faisal. Mama berlutut tak perduli roknya kotor terkena tanah. Mengusap nisan kak faisal dan menciumnya. Demikian juga papa. Ceret tembaga kosong beserta keranjang kosong ia letakkan disampingnya. Papa berdiri sambil memapah mama. Mengajak kami semua pulang. Aku berat sekali meninggalkan makam ini, ingin rasanya menemani kak faisal, aku tak tega meninggalkan kak faisal disini sendirian dalam kuburan yang sempit ini. Namun om sebastian segera menarikku agar ikut pulang. Untuk pertama kali dalam beberapa tahun ini aku memeluk om sebastian. Ia merangkulku dan mengusap punggungku selayaknya dulu ketika aku masih menjadi miliknya. Aku merasa begitu rapuh saat ini, pelukan om sebastian sedikit menghiburku. Aku menangis didadanya.
“sabar yo.. Kak faisal telah mendapatkan tempat yang lebih baik.. Kita ikhlaskan saja ya..”
om sebastian menggiringku ke mobil. Tante sukma tersenyum padaku sambil merangkulku bersama om sebastian. Sampai mobil berjalan aku terus menatap kuburan kak faisal, kuburan beku tanpa jiwa, menebarkan aura kesuraman begitu kental. Air mataku tergenang tiada henti hingga kami meninggalkan tanah pekuburan dan makam kak faisal lenyap dari pandangan. Selamat tinggal kak faisal.
*************


Sampai dirumah aku langsung masuk dalam kamar. Aku berbaring dengan lesu, memandangi foto kenangan waktu masih ada kak faisal, foto waktu aku dan kak faisal di depan benteng kuto besak. Di lahat dan foto foto waktu kami lagi narsis di depan sekolah. Baru saja ditinggalkan sudah begini rasanya. Hampa dan kesepian. Tadi rian pulang tanpa memberitahuku. Mungkin ia langsung pulang ke kost nya. Aku ingin mencurahkan perasaan dan segala kesedihan pada rian, hanya ia yang bisa membuat aku tersenyum seperti biasanya.
Aku turun dari tempat tidur, aku tak bisa istirahat karena kepalaku pusing, aku keluar kamar, kemudian aku berjalan menuju kamar kak faisal, aku membuka pintunya. Kamar itu sudah rapi tak seperti biasanya. Mungkin bik tin yang sudah membereskannya. Seprei dipasang tanpa kerutan sedikitpun, bantal disusun bertumpuk. Karpet tak ada debu sedikitpun, meja belajar tak berantakan lagi. Aku merasa asing dengan kamar ini, tak seperti kamar kak faisal biasanya. Terasa sekali bedanya. Biasanya walau telah dibersihkan oleh bik tin, kak faisal akan mengacak acaknya lagi. Biasalah kak faisal, tak terlalu suka kamarnya rapi, katanya kayak kamar cewek. Gitar listrik dan drum yang terletak di sudut berkilau tertimpa cahaya matahari yang menerobos lewat jendela. Aku duduk di sisi tempat tidur tiba tiba pintu terbuka dan mama masuk.
“eh ada kamu…” mama agak terkejut ragu untuk masuk.
“ma…” aku memanggil mama karena kulihat mama berbalik hendak keluar.
“iya sayang ada apa?” mama menoleh lagi, suara mama masih serak karena terlalu banyak menangis.
“mama yang tabah ya ma..” padahal aku hampir tak bisa tabah, namun aku tak tega melihat mama, ia belum bisa menerima semua ini.
“rio… Sebelum meninggal, faisal ada cerita apa aja nak?” mama berjalan menghampiriku lalu duduk disampingku. Aku menatap mama sebentar, lalu menunduk.
“kak faisal tak banyak cerita ma, dia cuma menyesal telah membuat mama kecewa, sebetulnya kak faisal begitu menyayangi mama, ia sangat takut bila mama marah..” jelasku apa adanya. Mama menggeser duduknya lebih dekat denganku.
“mama begitu kecewa ketika amalia hamil, kamu tau sendiri bagaimana sulitnya mama untuk menerima amalia dulu, dan setelah mama mengijinkan, mereka malah menyalahgunakan semua… Mama begitu banyak rencana untuk faisal dan kamu.. Dan semua itu sudah buyar..” isakan mama mulai lagi.
“kak faisal tau ma… Makanya ia betul betul menyesal, aku bahkan banyak bercerita dengan kak faisal dari kemarin..”
“apa saja yang ia katakan..”
“aku merasa hampir tak mengenal kak faisal ma.. Ia mendadak jadi dewasa, lebih berpikir.. Bahkan ia pun tak protes sedikitpun ketika tau mama mau membelikan aku mobil..” mataku kembali berkaca kaca.
“betulkah itu nak…” mama terkejut.
“iya ma.. Sebetulnya sudah ada tanda tanda kak faisal mau pergi ma.. Waktu malam setelah lamaran itu kak faisal begitu beda ma.. Ia menangis karena harus meninggalkan mama.. Meninggalkan rumah ini, ia menyesal telah menghancurkan hati mama.. Bahkan ia juga berharap suatu saat mama bisa memaafkannya lagi..” aku terisak. Mama ikut terisak bersamaku.
“malam itu kak faisal mengajak aku menemaninya tidur.. Ia bilang untuk yang terakhir kali… Aku tak menyangka kalau itu merupakan pertanda ma..” mama meremas tanganku kuat sekali, tangannya bergetar.
“besoknya kak faisal meminjam mobilku, karena mobilnya mama ambil kuncinya.. Kak faisal memakai baju putih dan celana putih, padahal mama tahu sendiri bagaimana almarhum dulunya..” jelasku sambil mengusap lengan baju ke hidung. Mama mengangguk angguk pelan. Air mata mama jatuh diatas blouse yang ia pakai.
“kamu tau ia pergi kemana sebelum kecelakaan itu terjadi..?” tanya mama.
“tepatnya kemana aku tak tau ma.. Tapi ia bilang ia akan memberikan kejutan pada aku dan mama..” aku menangis tersedu sedu karena dengan bercerita membuat aku menjadi kembali sedih. Mama memelukku dan menangis juga. Pintu terbuka. Om sebastian masuk ke dalam kamar. Mama menyeka airmatanya.
“ada apa bas?” tanya mama.
“ini kak.. Ditemukan dalam mobil yang dipakai faisal kemarin.” om sebastian mengulurkan sebuah kotak beludru seukuran kotak pasta gigi. Dan sebuah kotak berukuran sebesar kotak sepatu, disampul kado pembungkus yang berkilau. Dengan tangan bergetar mama menerima kotak yang diberikan om sebastian.
“ini ada amplop juga kak..” mama mengambilnya dan membuka. Ada kartu ucapan berwarna merah hati. Setelah membacanya mama langsung pingsan.
“mamaaaa…” aku berteriak kaget. Om sebastian membaringkan mama diatas tempat tidur kak faisal. Aku memunguti kartu yang tadi mama baca. Aku terdiam saat membaca kata kata yang ditulis kak faisal dalam kartu itu. Tubuhku menjadi lemas hingga kartu itu terlepas dari tanganku tanpa aku sadari. Aku raih kotak berukuran sebesar kotak sepatu. Aku menangis terisak isak.
“om lagi ngurus mobil kamu biar bisa langsung diambil, sopir truk yang menabrak almarhum faisal sekarang masih di opname dirumah sakit charitas, keadaanya sungguh mengenaskan..”
om sebastian menjelaskan. Aku menunduk memandangi kotak yang aku pegang. Mama belum siuman juga, om sebastian mengipasi mama dengan sebuah majalah.
“coba kamu lihat apa isi kotak itu yo…” om sebastian berdiri lalu keluar dari kamar. Aku jadi makin sedih, sebelum meninggal kak faisal masih sempat membelikan aku dan mama hadiah. Sebuah kejutan yang tak aku duga. Aku menduga duga apa isi dalam kotak ini, lumayan berat juga.
Om sebastian masuk kembali dengan membawa segelas besar air putih. Lalu ia mengangkat punggung mama sedikit, menempelkan gelas itu ke bibir mama. Perlahan mama mendapatkan kembali kesadarannya.
“kak…sukurlah kakak sudah siuman..” suara om sebastian terdengar lega. Mama bergerak hendak menyender, ia mengurut keningnya seolah masih merasa pusing.
“ma.. Jangan terlalu memikirkannya ma, ini semua bukan salah mama, ini kecelakaan ma..” aku mendekati mama dan menghiburnya. Mama menggeleng, airmata mama mengalir dari sudut matanya.
“bahkan ia masih sempat memikirkan mama..” isak mama sedih.
“aku tau ma, kak faisal memang mengatakan ingin memberi kejutan, tapi aku tak menduga kalau ia membelikan hadiah untuk aku dan mama.” aku mengusap kotak yang aku pangku dengan dada sesak. Ku ambil lagi surat yang terselip dalam kartu itu. Kubaca tulisan tangan kak faisal.
Assalamualaikum..
mama, faisal tahu mama begitu kecewa dengan apa yang faisal lakukan. Faisal tak tahu bagaimana memperbaiki kesalahan faisal, maafkan faisal ma, faisal tak bisa membuat mama bangga, cuma bisa membuat mama malu, mencoreng aib di keluarga ini, faisal bisa menerima kemarahan mama, faisal ikhlas menerima hukuman dari mama. Karena kesalahan faisal sudah terlalu besar. Faisal minta doa restu mama, cuma itu yang faisal harapkan dari mama. Izinkan faisal menikahi amalia, faisal harus bertanggung jawab. Andai dengan itu faisal harus kehilangan semuanya faisal ikhlas. Faisal akan berusaha menjalani kehidupan yang sesungguhnya, yang perlu perjuangan serta kerja keras. Faisal tak akan membawa apa apa dari rumah ini ma, mama tak perlu kuatir. Faisal akan berusaha mencari pekerjaan walaupun harus menjadi kuli sekalipun faisal jalani. Faisal pamit sama mama, semoga suatu hari nanti mama bisa memaafkan faisal. Hanya kata maaf dari mama yang ingin faisal dengar. Agar faisal bisa tenang. Setelah menikah nanti, faisal akan pindah ke sekayu ma, faisal akan memanfaatkan tabungan faisal untuk mencoba bertani. Dua minggu waktu faisal kabur dari rumah, faisal sudah belajar berkebun ditempat teman faisal, doakan faisal dan amalia bahagia, dan cucu mama juga bisa lahir dengan selamat dan sehat.
Faisal sayang mama.
NB. Ma faisal belikan mama gelang, memang tak mahal, tapi faisal beli dengan tabungan faisal sendiri, semoga mama suka, itu sebagai kenang kenangan dari faisal untuk mama.

Ttd.
Faisal

Aku lipat surat itu dan kumasukkan dalam amplop. Itu surat dari kak faisal untuk mama. Diatas kotak untukku juga ada surat, namun belum sempat aku buka. Kak faisat menulis dua surat, yang satu untuk mama, dan yang satu lagi untuk aku. Aku yakin kak faisal sudah menulis surat itu dari sebelum ia membelikan hadiah ini. Kak faisal sudah merencanakan segalanya.
Mama mengambil amplop yang aku letakkan disampingnya. Mama membuka kotak beludru pemberian kak faisal. Seuntai gelang dari emas 18 karat bertahta permata tiruan namun begitu indah bagaikan permata asli, berbentuk hati yang di jalin melingkar membingkai batu warna hijau zamrud berkilauan. Terlihat mahal. Mama mendekap gelang itu didadanya. Mulut mama bergetar membisikkan nama kak faisal. Aku melepaskan selotip yang menempelkan surat dari kak faisal di kotak yang aku pegang, kemudian aku buka dan ku baca.

Assalamualaikum.
Rio, kakak tak banyak yang bisa dikatakan, cuma ingin adek tau kalau kakak sangat sayang sama rio, maaf ya kalau kakak bikin rio kecewa, tapi kakak janji, kakak nggak akan pernah lupa sama rio, rencana kakak, setelah menikah nanti, kakak akan tinggal di sekayu, kalau rio ada waktu sering sering lah main ke tempat kakak. Terimakasih sudah mendukung kakak selama ini, rio tau apa hadiah terbesar yang pernah kakak dapatkan, ialah ketika kakak mendapatkan adek seperti rio. Kakak merasa begitu beruntung, terimakasih selama ini sudah menjadi teman sekaligus adek yang baik untuk kakak.. biarlah hubungan kita selamanya hanya sebagai adik dan kakak.. Kakak sadar rio berhak mendapatkan kebahagiaan yang tak dapat kakak berikan. Tapi jujur, kehadiran rio dirumah ini telah membawa begitu banyak perubahan bagi kakak, dan kakak sangat bersyukur untuk itu. Satu permintaan kakak, jagalah semua ini jangan sampai ada keluarga kita yang tau. Kakak tak ingin rio dapat masalah.
Saat kakak tau rio berhubungan dengan rian, terus terang kakak sangat kaget. Sebetulnya kakak tak ikhlas, Pernah terpikir untuk melarangnya. Kakak tak berani terus terang mengatakan itu. Setelah kakak berpikir lagi kakak bersyukur tak menghalangi kebahagiaan kamu. Ini kakak ada sesuatu untuk kamu. Karena mungkin setelah ini kakak mungkin tak bisa memberikan sesuatu yang berharga untuk rio..
Jangan lupa besok adek harus hadir untuk memberikan semangat bagi kakak. Terimakasih banyak untuk semua yang telah adek lakukan. Pesan kakak, bukalah kado dari kakak tanpa sepengetahuan mama, di situ adek akan mengerti tentang sesuatu rahasia yang selama ini adek tak tahu.
Salam sayang.
Faisal.


Aku melipat surat dari kak faisal, tanganku bergetar.. Perlahan ku lepaskan selotip pada pembungkus kado. Sebuah kotak dari karton tebal berwarna biru. Kubuka penutupnya, perlahan ku angkat sebuah album kecil seukuran buku agenda, disampingnya ada sebuah saputangan bertuliskan nama ricardo malvin silalahi. Aku menoleh ke arah mama, ia sedang termenung memandangi gelang pemberian almarhum. Aku berdiri dan memberitahu mama kalau aku mau kembali ke kamarku. Mama mengangguk. Om sebastian memandangku seolah ingin bertanya. Namun aku tak hiraukan.
Aku kunci pintu kamarku. Apa maksud kak faisal memberikan kejutan ini padaku, kenapa mama tak boleh tau, ada apa sebenarnya ini. Bermacam pertanyaan berkecamuk dalam otakku. Aku duduk diatas tempat tidur dan membuka lagi kotak ditanganku. Aku keluarkan album mini itu, ku buka perlahan. Ternyata foto pernikahan.
Astaga… Jantungku berdebar kencang, kepalaku langsung pusing. Ternyata sepasang mempelai yang bersanding di pelaminan itu adalah mama, dan disampingnya itu, betul betul mirip aku, sangat mirip hingga nyaris bisa dibilang seperti lembaranku. Tanganku yang gemetaran secara refleks membalik halaman selanjutnya. Masih foto pernikahan mama. Tak terasa air mataku mengalir, sederetan foto yang mulai usang, menampilkan mama dan om alvin, wajah om alvin sumringah tersenyum disamping mama, lalu ada lagi foto seorang bayi lelaki yang begitu montok sedang di gendong mama yang sedang tersenyum menciumnya.. Tanpa diberi tahu aku langsung sadar kalau bayi itu adalah aku. Yang membuat aku shock ternyata suami mama dulu ialah om alvin. Aku jadi mengerti dengan segalanya. Semuanya menjadi jelas kini.
Jadi selama ini seseorang yang begitu ingin aku tau, yang membuat aku rindu dan bertanya tanya, yang membuat aku merasa tak berarti, ternyata begitu dekat, bahkan aku sering bersamanya. Aku mengerti kenapa om alvin selalu menhindar untuk datang kerumah walaupun sudah aku ajak berkali kali, ia selalu punya alasan untuk menolak secara halus, rupanya selama ini om alvin sudah tau kalau aku adalah anaknya, itulah sebabnya kenapa ia begitu baik padaku. Selama ini aku tak menyangka sama sekali, pantas saja aku cepat akrab dengannya, bahkan wajahku pun mirip dengannya. Tapi kenapa om alvin tak mau berterus terang padaku, tak mengatakan hal yang sebenarnya kalau aku adalah anaknya. Aku tak ragu lagi kalau aku adalah anak kandung om alvin, wajahku dengannya begitu mirip, dan dia adalah suami mama yang pertama. Lalu bagaimana kak faisal bisa mengetahui semua ini, bagaimana cara ia mendapatkan semua bukti ini, aku butuh penjelasan. Tapi bagaimana mungkin aku bisa mendapatkannya sedangkan kak faisal sekarang telah meninggal, kenapa masalah demi masalah terus berdatangan tak berhenti seolah menguras seluruh kekuatan yang aku miliki.
Aku nyaris tak bisa berdiri saking lelah tekanan yang aku rasakan. Aku tak mengerti harus bagaimana, apakah aku harus senang atau marah. Mama tak pernah bercerita, om alvin berusaha menutupi. Seolah mereka berdua tak ingin aku tau. Apakah mama tau kalau om alvin sekarang berada di palembang, ataukah sebetulnya mereka sudah bertemu namun mama melarangnya untuk kerumah atau menemuiku? Tapi aku yakin mama tak mengetahui masalah ini, mama tak tau kalau om alvin ada disini.
Masih ada sesuatu dalam kotak ini, aku ambil selembar saputangan biru muda, nama siapakah ini, ricardo malvin silalahi, apakah ini nama om alvin, mama harus menjelaskan semuanya padaku. Aku akan meminta mama jujur, aku sudah dewasa, aku berhak tau tentang siapa aku dan keluargaku yang sesungguhnya.
Dalam kotak pemberian kak faisal juga ada selembar amplop lagi, yang tersembunyi dibawah saputangan dan jam tangan casio digital berwarna hitam yang juga ikut dimasukkan kak faisal sebagai kado kejutan untukku. Tanpa membuang waktu lagi aku membuka amplop itu dan membaca surat yang ada didalamnya.

Dek, kakak tau setelah melihat foto pernikahan mama pasti adek langsung kaget, begitu juga kakak waktu pertama melihatnya. Adek pasti bertanya tanya darimana kakak bisa tau mengenai semua ini, kakak akan menjelaskannya.
Waktu mengetahui adek begitu mirip dengan koko dan keluarganya, terus terang kakak jadi curiga, ditambah lagi dengan kehadiran om alvin, sikap om alvin yang mungkin tak adek sadari namun terus kakak perhatikan begitu aneh, seolah ia sangat menyayangi adek. Akhirnya kakak mencoba mencari informasi mengenai ini. Kakak bertanya pada mamanya koko mengenai masa lalu om alvin, mamanya koko tak tau siapa isteri om alvin dulunya karena mama koko tak tau tentang masalah itu karena waktu om alvin menikah dulu, mama koko sudah dibuang dari keluarga. Ia kehilangan kontak dengan keluarganya. Jadi kakak dan koko sepakat untuk mengorek keterangan dari om alvin, tentu saja om alvin tak memberikan keterangan apa apa. Akhirnya koko berinisiatif mencari tau sendiri, ia pergi ke jambi, menginap dirumah om alvin dan menemukan foto pernikahan om alvin dengan isterinya yang terdahulu. Koko begitu terkejut waktu tau isteri om alvin dulunya adalah mama. Ia mengambil album itu diam diam dan bermaksud memberi tahu adek. Tapi kakak melarang, adek tau sendiri bagaimana mama, adek pasti menyadari hubungan papa dan mama sekarang begitu hambar, kakak takut kalau kehadiran om alvin akan membuat mama berubah. Aku takut mama meninggalkan papa, meninggalkan kakak, aku tak ingin mama kembali kepada om alvin, karena aku tau om alvin masih sangat mencintai mama. Kemudian kakak mencari informasi dari mama, hanya foto adek waktu masih bayi yang kakak temukan, tak ada foto yang lain, mama tak menyimpan foto om alvin, mungkin mama menyembunyikannya, atau mungkin mama memang tak pernah menyimpannya.Akhirnya kakak memutuskan untuk menyimpan sendiri rahasia ini bersama koko. Tapi kakak berubah fikiran, kakak tau tak mungkin selamanya menyimpan rahasia ini dari adek karena adek berhak tau semua. Cuma satu yang kakak pinta, jangan adek memberi tau mama, cukuplah adek sekedar tau, kasihan papa ia sudah tua, terlalu banyak masalah yang kakak buat, kakak tak ingin menambah masalah papa. Kakak percaya adek bisa bersikap bijaksana.
Nanti selesai pernikahan kakak, kita akan membahas tentang ini, kakak akan menjelaskan semuanya.
Saputangan itu adalah saputangan adek, ricardo malvin silalahi adalah nama adek sebelum diganti menjadi rio krisna julian.
Kakak sempat mengira itu nama om alvin, tapi kata koko, nama lengkap om alvin adalah alvin hosea silalahi.

Aku melipat surat kedua dari kak faisal, aku menghapus airmata yang jatuh disudut mataku dengan saputangan ini. Rupanya koko dan keluarganya telah tau masalah ini. Jadi koko tau aku adalah sepupunya. Mama koko tau aku adalah keponakannya. Tapi mereka selalu menjaga rahasia ini. Aku akan meminta koko menjelaskan lagi, karena banyak yang ingin aku ketahui.
Kumasukkan kembali semua album dan saputangan ke dalam kotak, juga kedua surat dari kak faisal, kecuali jam tangan. Langsung aku pakai. Terimakasih kak faisal, walaupun sekarang kakak telah tiada namun kakak telah memberikan hadiah terbesar dalam hidupku. Hadiah paling berharga yang tak pernah aku bayangkan. Yaitu seorang ayah. Walaupun aku tak bisa menerima sikap om alvin. Yang penting aku tak bertanya tanya lagi siapa ayahku sebenarnya.
*****

suasana dalam rumah masih diselimuti kesedihan, mama tak banyak bicara waktu makan malam. Tante laras dan odie sudah pulang kemarin. Jadi kembali sepi lagi sekarang. Papa sudah dua hari ini menenangkan diri ke tempat orangtuanya di dusun. Dia belum bisa sepenuhnya menerima kepergian kak faisal, karena cuma kak faisal putera satu satunya darah dagingnya. Papa begitu terpukul, setiap kali melihat sesuatu yang bisa mengingatkannya dengan kak faisal, papa pasti langsung sedih. Jalan satu satunya ialah papa menenangkan diri jauh dari rumah. Wenny adikku yang masih kecil belum tau apa apa. Ia hanya diam agak bingung saat melihat keramaian dirumah, hingga saat kak faisal dikubur, ia tak rewel.
Sepi sekali cuma aku, mama dan wenny, mama berusaha untuk menghilangkan rasa sedih kehilangan kak faisal dengan cara menyibukkan diri bekerja dan mengurusi wenny. Terasa kebekuan dalam rumah, bik tin pun tak banyak bicara, ia tahu mama masih sensitif. Baru saja aku berdiri dari meja makan, bell rumah berbunyi. Entah siapa yang datang. Bik tin masuk ke dapur.
“bu ada tamu yang mau bertemu.” ujar bik tin sambil menghampiri mama dan mengambil wenny dari gendongan mama.
“siapa bik..?” mama berdiri dan mendorong kursi sedikit menjauh.
“orangtuanya amalia bu..” ekspresi bik tin agak aneh. Mama menarik nafas dalam seolah kedatangan mereka adalah hal terakhir yang mama inginkan disaat ini.
“baiklah bik, tolong temui dulu mereka.. Bilang sebentar lagi saya keluar..” jawab mama dengan lesu lalu beranjak ke kamar. Bik tin balik lagi menemui orangtua amalia. Aku membereskan meja makan. Setelah semua beres aku duduk diruang tengah. Mama keluar dari kamar menemui orangtua amalia. Aku merapat ke pintu mendengarkan pembicaraan mereka.
“maaf bu harlan bukan bermaksud untuk mengganggu ibu, tapi kami ingin menanyakan kejelasan nasib anak kami amalia, bagaimana dengannya bu.. Kami tak tega dengan keadaannya sekarang ia seperti orang hilang ingatan…” ibu amalia terisak menangis. Mama tertunduk kebingungan.
“ibu tau sendiri sekarang faisal telah meninggal, tak ada niat kami untuk lari dari masalah, tapi saya juga kebingungan sekarang..” jawab mama serba salah.
“saya tau bu, saya tak memaksa… Cuma keadaan amalia membuat saya bingung.. Ia suka menangis sendiri lalu tiba tiba tertawa, kadang ia menjerit berteriak seolah olah faisal datang.. Kami tak tega melihatnya bu, kami takut kalau anak kami menjadi gila..” ibu amalia menangis sesungukan. Bapak amalia tak berkata apa apa, ia kelihatan sibuk memandangi seisi ruangan tamu. Seolah tak perduli dengan yang dibicarakan oleh isterinya dan mamaku.
“saya sangat menyesal bu, betul betul tak tahu harus bagaimana, keadaan ini sungguh membingungkan..” desah mama kelu, mama berkali kali menggeser duduknya dengan gelisah. Sementara itu ibu amalia menatap mama tajam seolah mengharapkan mama dapat memberikan jalan keluar.
“kami tau bu, kami menyadari itu, namun ibu enak, anak ibu lelaki dan tak ada akibat yang ibu tanggung, tapi kami bu, bayangkan aib yang kami dapatkan, belum lagi trauma yang anak kami alami..” keluh ibu amalia panik. Mama mendesah, wajah mama tampak kacau, ia berpikir keras.
“tolong beri kami waktu berpikir, bagaimana harus menyelesaikan masalah ini, karena untuk mengharapkan pernikahan tak mungkin lagi kalau mempelai lelakinya tak ada. Kalau menurut ibu rusmi apa yang seharusnya kita lakukan?” mama balik bertanya. Ibu amalia terdiam mendapat pertanyaan seperti itu.
“mengapa harus repot repot seperti itu, sudah aku bilang gugurkan saja, memang amalia itu kelakuannya seperti lonte.. Tak tau malu, sekarang kita juga yang dapat masalah..” timpal ayahnya yang sedari tadi cuma diam.
“bang..!” ibu amalia terkejut mendengar kata kata suaminya.
“kenapa… Mau bilang kalau aku salah? Abang sudah pusing memikirkan masalah ini rus, abang mumet.. Tak sudah sudahnya kamu membahas hal tak penting ini..” ayah amalia tak berhenti.
“ini penting bang.. Sangat penting, menyangkut nasib anak kita.. Ini menyangkut amalia, abang pikir bang, amalia menderita..” ibu amalia histeris.
“menderita karena dia sendiri!.. Siapa suruh dia bunting.. Siapa suruh dia murahan?” berondong ayah amalia tak mau kalah. Mama menggeleng geleng sambil memegang keningnya. Pusing melihat ayah dan ibu amalia bertengkar.
“bagaimanapun juga amalia anak kita bang.. Masa abang tak kasihan?”
“kasihan rus, tapi kita jangan dimanfaatkan oleh anak anak, tak bisa mereka seenaknya membuat masalah dan harus selalu kita yang pusing, harus kita yang selalu disalahkan sebagai orangtua tak becus mendidik anaknya, coba kamu pikir apa pernah kita menyuruh dia mengobral dirinya. Menyuruh dia tidur dengan pacarnya. Pernah nggak? Lalu sekarang kenapa harus repot repot untuk menutupinya rus, biarlah mereka yang menanggung.. Kita sudah cukup berusaha membesarkan serta mencukupi kebutuhan mereka..!” ayah amalia berang.
“bagaimanapun juga dia anak kita, mau suka ataupun tidak mereka adalah tanggung jawab kita, abang jarang dirumah, cuma sibuk mabuk mabukan tak jelas sama teman teman abang yang masih remaja remaja itu, aku bang yang harus menghadapi cemoohan dari tetangga, aku yang menanggung malu digunjing setiap hari… Apa kata tetangga kalau mereka melihat perut amalia semakin membesar sedangkan tak ada lelaki yang menikahinya… Abang memang tak perduli karena amalia bukan anak abang!” maki ibu amalia kesal. Suaminya berdiri spontan dengan muka memerah.
“kalau bukan dirumah orang sudah aku tampar mulutmu yang nyinyir itu..!” geram ayah amalia sambil menggerakan tangannya dengan posisi seolah hendak menampar ibu amalia. Melihat reaksi suaminya, ibu amalia langsung terdiam, namun dari raut wajahnya nampak ia belum puas.
“maaf pak, bu.. Saya mohon jangan ribut ribut dirumah saya, kita bicarakan masalah ini agar cepat selesai, masalah ini tak hanya bikin kalian pusing tapi saya juga..” mama langsung memotong pertengkaran mereka, sepertinya mama tak mau ayah amalia sampai kelepasan memukul isterinya disini.
“makanya bu harlan tolonglah pakai hati nurani ibu, bagaimanapun juga janin yang ada di perut amalia adalah cucu ibu juga. Jadi ibu berkewajiban memikirkannya juga.” tuntut ibu amalia jadi tak sabar.
“jangan takut bu, saya tak akan lari dari tanggung jawab, meskipun sekarang faisal sudah tak ada lagi, saya tak akan cuci tangan dari masalah ini, tapi tolong jangan buat keributan dirumah saya, keluarga kami sedang berkabung, hormati mendiang anak saya!” tegas mama tajam.
“anak anda pantas mampus! Dia tak berguna, pemuda sialan goblok, tak punya otak.. Tak bisa jaga kontol,.. Liar kayak setan.. Semoga arwahnya gentayangan nggak diterima bumi!!!” ayah amalia lepas kontrol, mama ternganga dengan ekspresi kaget tak menyangka bakal mendengar kata kata tak patut dari ayah amalia.
“abang..! Cukup… Teganya abang ngomong begitu.. Tak pantas abang menyumpahi orang yang sudah meninggal..” ibu amalia menjerit, sementara mama aku lihat mulai menangis, aku jadi kasihan sama mama, cepat cepat aku keluar menemui mereka semua, aku tak mau mereka menyerang mama seperti itu.
“maaf pak, bu.. Bukan maksud saya ikut campur urusan orangtua, tapi tolong hargai mama saya..” aku mencoba menengahi. Ayah amalia menoleh padaku. Aku tahu tabiat ayah amalia, ia pemarah dan mau menang sendiri, sudah lama amalia tak tahan dengan kelakuan ayah tirinya itu, aku heran kenapa ibunya amalia bisa sanggup bertahan dengan suami seperti itu. Sudah pengangguran, ditambah lagi suka mabuk dan memukul. Amalia bahkan kerap kena tangannya itu. Dan sekarang ia telah betul betul membuat aku marah dengan perkataannya yang tak pantas mengenai kak faisal, aku tak terima dia menjelek jelekan kak faisal seperti tadi.
“kalau bapak tak bisa menjaga sikap bapak, saya akan menelpon polisi.. Saya tak main main pak.. Maaf sekali lagi, jangan sampai saya terpaksa melakukannya pak..” aku mengancam bapak amalia. Mama menatapku penuh terima kasih.
“tolong rio, jangan melibatkan polisi, sudah cukup kami menanggung masalah..” ibu amalia memohon.
“iya bu, asalkan ibu dan bapak bisa membicarakan ini dengan kepala dingin tanpa emosi seperti tadi..” aku menahan emosiku agar tak tersulut lagi. Bapak amalia sudah hampir menjawab namun mengurungkan niatnya karena melihat aku tak main main dengan kata kataku tadi.
“mama silahkan berbicara, kemukakan apa yang mama ingin katakan pada mereka..” aku menoleh ke mama. Ia mengangguk dan berbicara.
“sekarang saya akan mencoba memberikan satu cara agar diantara kita tak ada yang dirugikan. Memang masalah anak kita cukup menguras pikiran kita. Tapi bagaimanapun juga semua sudah terlanjur terjadi. Kami sendiri tak menyangka kalau anak kami akan meninggal disaat seperti ini, jujur saya sendiri shock waktu tau amalia hamil, dan saya tak bisa menerima..” ucapan mama terpotong oleh ayah amalia yang tak sabar.
“cukup.. Cukup.. Kami tak mau mendengar ibu bertele tele.. Tolong langsung saja ke masalahnya jangan berputar putar lagi.. Capek bu!” bapak amalia tak sopan. Mama bergidik seolah jijik melihat bapak amalia. Aku juga tersinggung dengan caranya itu. Diam diam aku sms om sebastian agar datang kesini, aku juga menyuruh om sebastian untuk mengajak temannya yang polisi untuk makan siang disini. Tak lupa aku menyuruh secepatnya. Aku katakan kalau aku dan mama kebingungan menghadapi orangtua amalia.
“baik.. Saya tak akan berpanjang lebar lagi.. Terserah kalian mau diapain si amalia.. Saya tak ada urusan lagi.. Betul seperti kata bapak tadi, orangtua tak harus selalu disibukkan oleh ulah yang dibuat anaknya.. Jadi saya angkat tangan.. Anak saya telah meninggal dan tak mungkin lagi bertanggung jawab.. Saya akan kasih uang sebagai ganti perawatan anak amalia andai lahir nanti. Atau kalaupun dia mau menggugurkannya, aku bisa kasih uang sebagai biaya ke bidan…!” ujar mama emosi, aku yakin keputusan mama itu karena ia tersinggung dengan sikap dari bapak amalia yang tak sopan itu. Ibu amalia terhenyak kaget mendengar jawaban mama. Begitupun dengan bapak amalia. Ia menatap mama seolah sedang melihat hantu. Matanya terbelalak dan selama beberapa detik ia ternganga. Aku memandang mama ingin melihat kebenaran dari apa yang mama katakan tadi, namun ekspresi mama sulit ditebak. Mulut mama mengerucut terkatup dan tatapannya dingin.
“tak bisa seenaknya begitu dong bu harlan.. Disini yang jadi korbannya itu adalah kami..” ibu amalia tak terima.
“apa ibu pikir kami tak jadi korban, saya yang paling menderita bu, mengetahui anak saya menghamili puteri ibu, apa tak membuat saya menderita.. Mengetahui masa depan anak saya hancur gara gara puteri ibu apa saya tak kesal, mengetahui akan memiliki besan seperti suami ibu apa tak membuat saya stress..” mama tak mau kalah.
“tapi anak ibu sekarang sudah meninggal, dan kami sekarang yang jadi korban..” balas ibu amalia sengit.
Aduh.. Mulai lagi, aku menggeleng gelengkan kepala sedih melihat kedua orangtua yang sedang mempertahankan ego masing masing. Dalam hati aku berdoa semoga saja om sebastian segera datang. Tiba tiba hp ku berbunyi. Aku lihat nama om alvin terpampang di layar. Aku menatap mama, aku bingung apa harus diangkat atau diabaikan. Semua terdiam mendengar hp ku berbunyi. Serempak menoleh kepadaku.
“dari siapa rio!” tanya mama.
Aku bingung harus menjawab apa, beda sekali rasanya sebelum aku tahu kenyataan tentang om alvin, akhirnya aku menjawab sembarangan.
“dari teman kampus ma..” jawabku sambil mematikan hp, aku tak mau bicara dengan om alvin, aku kecewa. Seenaknya ia mempermainkan aku, ia menutupi rahasia yang aku berhak tau, ia tak pernah mengatakan dengan jujur tentang siapa dirinya, selama ini kedekatan kami karena dia tau aku anaknya. Aku tak akan mau lagi bertemu dengannya. Bagiku sekarang yang paling penting adalah aku sudah tau dimana dan siapa ayah kandungku.
“kenapa tak dijawab nak?” tanya mama heran.
“nggak penting ma, paling juga cuma mau nanya aku lagi dimana..” aku memaksakan diri untuk senyum. Mama mengangguk penuh pengertian.
“oke bu harlan, jadi bagaimana.. Masa sih anak saya harus terkatung katung tanpa ada kejelasan bagaimana nasibnya..” tuntut ibu amalia tak sabar.
“memangnya apa yang bisa kalian harapkan dari saya? Apa kalian ingin saya menggali kuburan anak saya, lalu tetap melangsungkan pernikahan amalia dengan jenazah anak saya?” mama menggelengkan kepala seolah menghadapi dua anak kecil yang memaksa minta dibelikan es krim.
“tentu saja bukan begitu maksud saya bu harlan, sedikitpun tak ada niat memaksa..” ibu amalia berhenti, lalu menatap aku sebentar…
“misalkan ada pengganti sementara hingga bayi amalia lahir, agar tak jadi anak haram..”ia melanjutkan.
Aku langsung merasa perutku tak enak, sepertinya aku sedikit bisa menangkap yang ia maksudkan, pengganti kak faisal? Tidak… Tidak… Tak akan pernah aku mau, ini usul gila, sampai kapanpun aku tak akan setuju.
Mama menatap ibu amalia tajam, alis mama berkerut heran, mama seolah kurang memahami apa yang ibunya amalia maksudkan.
“dalam keadaan darurat seperti ini, semuanya bisa dijadikan alternatif asalkan tak merugikan kedua belah pihak.” dengan tenang ibu amalia mengatakannya seolah sedang mengomentari film yang membosankan. Sontak Aku langsung berdiri, tanpa mengatakan apa apa lagi aku meninggalkan mereka. Mama bengong melihatku. Bertepatan aku mau keluar, om sebastian datang.
“mau kemana rio, kok buru buru amat?”
om sebastian menarik tanganku hingga langkahku terhenti. Om sebastian tak sendiri, ada dua orang temannya yang juga polisi sedang berdiri disampingnya. Yang satu bertubuh tegap dengan kulit cokelat terbakar, hidung mancung besar seperti peranakan flores, memakai baret biru tua. Ia tersenyum ramah padaku menunjukkan giginya yang berbaris putih kontras dengan bibirnya yang sedikit gelap dikelilingi bekas cukuran berwarna agak kehijauan. Ada gingsul di sudut lengkung bibirnya sebelah kanan tepat di gigi atas. Yang satunya lagi berkulit seperti buah kesemek, alisnya tebal mengingatkan aku dengan wajah tony sandstorm aktor thailand. Garis dagu dan rahangnya runcing, bibirnya sedikit tebal dibagian bawah, begitu seksi. Dari usia keduanya aku perkirakan paling tidak lebih muda sekitar 2 hingga 3 tahun dari om sebastian.
“mau kemana dik..?” tanya yang berkulit gelap dengan senyum simpatik. Aku menjadi gagu bingung harus menjawab apa, tak mungkin aku mengatakan kalau lagi menghindari mama dan tamunya.
“nggak kemana mana, silahkan masuk,.. Tadinya aku mau ke depan cari angin..” jawabku sekedarnya.
“wah dirumah sebesar ini masih cari angin di luar, apa nggak ada ac?” goda yang berkulit kuning kesemek. Aku cuma nyengir,
“ada sih, cuma kalau di dalam nggak bisa cuci mata.. Oh ya silahkan masuk..” aku mempersilahkan mereka masuk, lalu aku membawa mereka duduk diruang tamu dimana mama dan orangtua amalia sedang berunding, atau lebih tepatnya bertengkar mulut. Saat melihat aku kembali masuk ke ruang tamu bersama tiga orang polisi, ayah amalia terkesiap kaget. Ia mengerling pada isterinya takut takut. Mama tersenyum kepada om sebastian dan kedua temannya.
“silahkan duduk bas, ajak kedua temannya juga..” Om sebastian langsung duduk di sofa panjang, sementara kedua teman om sebastian menyalami mama dan kedua orangtua amalia.
“kenapa kak, katanya kakak lagi kebingungan ya,..?” tanya om sebastian pada mama.
“iya bas, kakak betul betul bingung, ini keluarga amalia menuntut pertanggung jawaban dari kita… Mana bang harlan tak disini, kakak betul betul bingung bagaimana menghadapinya..” tukas mama tanpa membuang waktu, om sebastian menyimak segala yang dikatakan mama penuh konsentrasi, ia mengangguk angguk, seolah berfikir keras matanya menyipit.
“kalau masalah seperti ini betul betul rumit, tak ada penyelesaian yang bisa adil bagi kedua belah pihak..” om sebastian bergumam. Kedua temannya mengangguk. Aku berdiri ke dapur untuk menyuruh bik tin membuatkan minuman kepada tamu. Setelah itu aku kembali bergabung.
“makanya seorang perempuan itu dituntut untuk bisa menjaga kehormatannya, karena kalau terjadi apa apa mereka tak bisa berkeras..” om sebastian menambahkan. Ibu amalia mendengarkan namun matanya agak terbelalak.
“sekarang coba pikir sendiri, bagaimana keluarga kami bisa menyelesaikannya?” om sebastian bertanya kepada kedua orangtua amalia. Ditanya demikian keduanya terdiam. Sehingga beberapa saat tak ada juga jawaban dari keduanya om sebastian melanjutkan lagi.
“jalan satu satunya untuk menghindari malu yaitu kalian harus mencari seorang pria yang mau menggantikan almarhum faisal untuk menikahi amalia..” tandas om sebastian. Mendengar hal itu wajah ibu amalia sedikit berbinar.
“betul, itulah yang tadi aku usulkan, namun mereka menolak..” ujar ibu amalia bersemangat. Om sebastian memandang ibu amalia ingin tau.
“maksud ibu..?” tanya om sebastian bingung.
“rio kan saudaranya faisal, masih ada hubungan keluarga dan saya rasa dia adalah lelaki yang tepat untuk menggantikannya.. Untuk menikahi amalia, agar masalah ini bisa terselesaikan dengan cepat..” cerocos ibu amalia seenaknya. Om sebastian hampir terlonjak dari kursi mendengarnya.
“apaaaaa… Tak bisa begitu dong.. Rio masih muda, dia juga masih kuliah..” hardik om sebastian kasar. Ibu dan bapak amalia mengkerut melihat om sebastian.
“itu juga yang sudah saya bilang tadi, sampai mati pun saya tak akan mengizinkan rio dan amalia menikah, cukup faisal yang sudah dirusak oleh anak perempuan ibu.. Jangan lagi kalian meminta anakku yang satu lagi..” mama berapi api. Diam diam aku berterimakasih pada mama. Ingin rasanya aku melompat dan mencium pipi mama sepuas puasnya.
“kakakku benar, kami tak akan pernah mengijinkan rio kalian suruh menggantikan posisi faisal, dalam hal ini rio tak punya kewajiban untuk menikahi amalia..”om sebastian berang, rahangnya bergemeretak kesal melihat kepada orangtua amalia.
Bik tin menghampiri kami takut takut sambil membawa beberapa cangkir kopi. Kami semua diam memandangi bik tin yang menyusun cangkir di atas meja dihadapan masing masing kami. Setelah selesai bik tin mengangguk sopan memberikan isyarat kepada tamu untuk meminumnya. Lalu ia mundur hendak kembali ke belakang.
Kedua teman om sebastian membalas anggukan sopan pada bik tin.
“makasih bu..” ujar keduanya nyaris tersipu. Bik tin tersenyum lalu meninggalkan kami.
“sudah aku bilang gugurkan saja…” bapaknya amalia memecah kebisuan. Om sebastian mendelik, demikian juga kedua temannya itu.
“apa maksud bapak, membunuh janin yang ada dalam rahim amalia secara ilegal, itu termasuk kejahatan.. Kalian bisa dipenjara..” om sebastian dengan tegas menolak. Mendengar penjelasan om sebastian tadi, wajah ibu amalia jadi pucat.
“saya juga tak mengusulkan itu, saya tak tega.. Makanya saya mengajak berunding agar kita bisa mendapatkan cara terbaik untuk menyelesaikan ini..” terbata bata ibu amalia membantah. Om sebastian mengangguk angguk bagai burung beo padahal aku tau dalam otaknya sekarang sedang berpikir keras. Kembali hening semua berpikir, termasuk kedua teman om sebastian.
“silahkan di minum..” aku menawari semuanya.
“assalamualaikum semuaaaaaa….” terdengar suara dari pintu, aku melirik ke pintu ingin tau siapa yang datang. Wajah mama langsung pucat, mama berdiri.
“kamuu…..” gumam mama nyaris tak percaya. demikian juga kedua orangtua amalia. Reaksinya walaupun tak seperti mama namun aku tau kalau mereka juga kaget. Aku juga ternganga hampir tak dapat bicara karena nyaris tak percaya melihatnya.
“kok pada diam… Emangnya kalian pikir aku hantu?” ujarnya sambil masuk dalam rumah tanpa disuruh.


“fairuz….” suara mama terdengar seperti tercekik.
“iya… Kenapa tante, kaget melihat saya, atau tante tidak suka dengan kedatangan saya?” ia menerobos masuk tanpa memperdulikan siapapun yang ada diruangan ini.
Om sebastian berdiri mencegatnya.
“kenapa baru datang sekarang, memangnya tak bisa lebih cepat.... sekarang adikmu sudah dikebumikan, sehrusnya kamu datang lebih cepat.. ibumu mana..?” Om sebastian menegurnya.
Aku terdiam memperhatikan kejadian itu, terus terang aku sangat kaget sekali. Tadi sempat aku mengira itu kak faisal, mengapa mereka begitu mirip sekali, walaupun setelah aku melihatnya beberapa lama terlihat kalau dia lebih tua dari kak faisal, aku perkirakan umurnya sekitar 25 tahun. Dia juga punya kumis tipis dan jambang yang tebal yang tak dimiliki kak faisal. Sorot matanya pun terlihat agak sangar. Siapakah dia, kenapa mama begitu kaget.
“maaf om , saya sudah berusaha datang secepatnya, tapi pesawatnya delay terlalu lama..?” Jawabnya dengan nada yang tenang seolah itu hal yang biasa. Aku jadi bertanya tanya kalau memang benar dia kakak kandung kak faisal, apakah dia merasa kehilangan dengan meninggalnya kak faisal.
“kenapa tak pernah ada kabar selama ini iruz, kalau saja adikmu tak meninggal mungkin kamu gak kan pernah kesini....” tanya om bastian lagi.
mama terlihat semakin gelisah. Sementara itu kedua orangtua amalia masih tercengang menatap pemuda yang baru datang itu.
“papa kemana?”
“papamu lagi dirumah kakek mu di dusun..”
“aku tadi dari makam faisal, seandainya aku bisa lebih cepat datang,..” katanya sambil duduk di kursi. Namun tak ada tanda kalau dia menyesal tak datang lebih awal.
Jadi dia bernama fairuz, ia juga anak papa, kalau begitu selama ini rupanya kak faisal punya seorang kakak yang bernama fairuz, sudah hampir delapan tahun aku tinggal disini baru hari ini aku mengetahui tentang semua ini. Masih ada hal yang disembunyikan dariku. Ternyata kak faisal bukan satu satunya putera kandung papa, masih ada fairuz. lalu kemana dia selama ini. Kenapa baru muncul hari ini. Aku sedikit takut dengannya. Terus terang saja ada sesuatu yang tak aku sukai dari sikapnya, Sorot matanya dan juga cara ia bicara yang terkesan angkuh.
“kamu datang kesini sama siapa?” tanya om sebastian tajam.
“sendirian om, memangnya kenapa? Jangan takut… Mama tak akan pernah datang kemari, ia tak sudi menginjak rumah ini selama perempuan masih disini..” ia menunjuk mama tak sopan. Mama tak bereaksi apa apa cuma diam. Wajah mama betul betul kalut, belum pernah aku melihat mama sepucat itu.
“kamu sudah melihat makam adik kamu, jadi kamu sudah boleh pergi..” ujar om sebastian datar.
“wah om.. Lupa ya kalau aku berhak berada disini, aku adalah anak suharlan…” ia tersenyum melecehkan om sebastian.
Melihat gelagat yang kurang nyaman, ibu dan ayah amalia pamit pulang. Mama mengantar mereka hingga ke beranda, setelah itu mama kembali masuk. Belum ada keputusan apapun yang diambil mengenai nasib amalia. Kedatangan kak fairuz yang tak terduga duga seolah membawa hawa yang tak menyenangkan dalam rumah ini.
“sudah siang, lebih baik kita semua makan dulu..” ajak mama sambil berjalan menuju dapur. Om sebastian dengan kedua temannya berdiri. Aku pun ikut berdiri lalu beranjak ke dapur.
“bas, tolong kamu jangan kemana mana dulu, tinggallah sedikit lama disini, paling tidak setelah fairuz pergi..” mama memohon pada om sebastian agak berbisik seolah tak ingin terdengar oleh kak fairuz.
“iya kak tenang aja.. Yang penting sekarang aku makan dulu, sudah lapar banget nih..” om sebastian menepuk perutnya yang datar.
“oh ya maaf.. Silahkan duduk, sebentar saya sama bibik persiapkan makan siangnya dulu ya..”
mama tersipu melihat kedua teman om sebastian yang masih berdiri menunggu. Lalu mama pergi ke dapur masak. Bik tin keluar dengan membawa mangkuk porselen berisi lauk pauk yang aromanya membangkitkan selera lalu menyusunnya diatas meja. Aku duduk disamping om sebastian, baru saja aku mau menanyakan tentang kak fairuz tiba tiba kak fairuz masuk ke ruang makan.
“wah aku tak ditawari makan siang ya.. Tak apa apa lagian tadi saya sudah makan, jadi tak perlu kelaparan disini..” katanya terdengar sinis, ia merogoh saku jaketnya dan mengambil sebungkus rokok lalu menyulutnya sebatang. Ia menghembuskan asap dari mulutnya dengan gaya seorang koboi.
“siapa yang tak menawari kamu fairuz, ayo makan sama sama..” ajak mama dengan senyum terpaksa.
“tidak, terimakasih banyak tante.. nanti makanannya tak cukup kalau aku ikut makan..!” ujar kak fairuz bernada malas.
Aku mencuri curi melihatnya diam diam namun tak urung juga ia memergoki aku. Ia langsung melotot. Buru buru aku membalik piring di depanku dengan kikuk.
“siapa kamu?” tanya kak fairuz yang entah kapan sudah berdiri di belakangku. Sesaat aku terdiam, bingung harus menjawab apa.
“anak mama..” mama yang baru keluar dari dapur sambil membawa sepiring ikan bakar yang menjawab.
“anak tante…?” kak fairuz nyaris berteriak seolah betul betul kaget mendengar jawaban mama.
“iya… Memangnya kenapa,.. Kamu kaget…?” mama balik bertanya.
“bukannya waktu tante dulu menikah dengan papaku, tante tak punya anak?” kak fairuz menyipit menatap mama.
“mama sudah punya anak waktu menikah sama papa kamu.. Tolong fai, nanti saja kita bahas masalah ini, mama akan jelaskan semuanya nanti..” mama mengerling pada kedua teman om sebastian yang masih diam duduk dikursi makan.
“silahkan makan, maaf siapa namanya?” tawar mama dengan ramah.
“saya bernhard tante..” jawab yang mirip orang flores.
“saya wahyudi tante..” yang agak putih dan ganteng menjawab.
“oh ya silahkan dimakan nak wahyudi, nak bernhard.. Jangan sungkan sungkan..” Mama kembali menawari mereka dengan ramah.
Kak fairuz menarik kursi kosong yang ada disampingku.
“bik ambil piring satu lagi..” mama memerintah bik tin.
“tak perlu, saya tak makan..” larang kak fairuz.
Bik tin yang baru saja mau beranjak mengambil piring untuk kak fairuz jadi serba salah. Bergantian ia memandang mama dan kak fairuz untuk menyakinkan siapa yang harus ia ikuti perintahnya. Aku yakin bik tin juga pasti bingung dengan keberadaan kak fairuz saat ini, kemunculannya yang begitu mendadak dan seolah mama tak mengharapkannya.
“nama kamu siapa?” ia bertanya padaku lagi.
“rio..” aku menjawab singkat, nyaris saja aku tersedak oleh ayam yang aku kunyah dan hampir aku telan namun tak jadi. Buru buru kuambil segelas air dan meminumnya.
“senang tinggal disini?” tanyanya lagi. Aku menoleh menatapnya, pertanyaannya begitu aneh seolah hendak menghinaku dari nada suaranya.
“fairuz jaga sikap kamu, rio lagi makan… Nanti saja kalau mau tanya tentang dia tunggu dia selesai..” peringat om sebastian tak suka. Kak fairuz cuma tersenyum sinis lalu berdiri mendorong kursi dan meninggalkan kami.
Aku lihat mama seperti tak begitu berselera makan. Mama seolah sedang berpikir, bagaikan ada masalah berat yang menghimpit di pikirannya.
Setelah kami semua selesai makan, bik tin membereskan meja. Teman om sebastian langsung pamit karena mau kembali ke kantor, sedangkan om sebastian tetap tinggal atas permintaan mama. Aku pergi ke kamarku, lalu masuk kamar mandi dan menggosok gigi. Aku memandang bayangku di cermin. Masih sedikit sembab mataku akibat terlalu sering menangisi kak faisal. Sampai detik ini entah kenapa rasanya aku belum juga bisa merelakan kepergian kak faisal.
Terkenang masa masa bersamanya begitu membuatku sedih. Terlalu banyak kenangan yang indah untuk dikenang. Walaupun kak faisal pergi dengan meninggalkan masalah yang belum terselesaikan, namun itu tak mengurangi perasaan sayang dan hormatku terhadapnya. Andai saat ini kak faisal masih hidup dan menyaksikan sendiri kedatangan kak fairuz, aku tak tahu bagaimana reaksi kak faisal. Tak sedikitpun aku menduga ternyata kak faisal punya kakak. Aku tak bisa tak percaya karena mama dan om sebastian telah menyakinkan aku kalau kak fairuz memang kakak nya kak faisal yang berarti anak papa atau anak tiri mama, namun kenapa ia memanggil mama dengan tante bukannya mama yang seperti faisal memanggil mama. Sikapnya juga sangat tak ramah terhadap mama seolah ia membenci mama. Aku akan menanyakan semua ini pada mama nantinya. Aku tak suka mendapat kejutan seperti ini. Aku betul betul tak siap.
Setelah selesai menggosok gigi aku keluar dari kamar mandi. Aku naik keatas tempat tidur. Baru saja aku mau memejamkan mata, terdengar suara ribut dari ruang tamu. Bergegas aku turun dari tempat tidur dan berlari keluar kamar.
Betapa kagetnya aku saat melihat kak fairuz sedang menarik mama dengan kasar menyeret mama keluar dari rumah. Sementara itu om sebastian berusaha sekuat tenaga menahan kak fairuz hingga kak fairuz jatuh terjerembab diatas lantai. Kak fairuz berdiri dengan cepat hendak menarik mama lagi namun tiba tiba om sebastian melayangkan tinjunya tepat mengenai muka kak fairuz. Mama menangis terisak. Aku berlari menghampiri mama.
“jangan halangi saya om.. Jangan halangi saya.. Perempuan ini yang telah menyebabkan adikku meninggal..” teriak kak fairuz sangar mukanya memerah hingga nampak bengis. Urat urat lehernya bertonjolan. Om sebastian menahannya dengan kuat membekap kak fairuz agar jangan sampai kelepasan menyakiti mama lagi.
“kak masuk kamar kakak sekarang.. Rio cepat bawa mama kamu masuk kamar, kunci pintunya cepat…” perintah om sebastian sambil terengah karena kak fairuz beronta untuk melepaskan diri dari om sebastian. Aku tercengang kebingungan. Hingga aku seperti orang kikuk.
“rio cepaaaat.. Bawa mama kamu masuk ke dalam kamar..” om sebastian mengulangi lagi perintahnya kali ini dengan suara yang lebih tegas dan keras. Seolah baru tersadar aku langsung menuntun mama dengan cepat masuk ke dalam kamarnya. Aku mengunci pintu kamar mama. Mama duduk diatas tempat tidur, bahu mama tergoncang goncang karena menangis. Aku mendekati mama dan memegang bahunya. Mama mendongak memandangku. Air mata mama berlinang membasahi pipinya.
“ma ada apa ini? Kenapa ma.. Rio butuh penjelasan sekarang.. Kenapa kak fairuz bisa tiba tiba ada.. Kenapa ia begitu membenci mama, kenapa juga mama tak pernah bercerita tentang keberadaannya selama ini?”
aku mencecar mama dengan pertanyaan pertanyaan.
Mama menyusut airmatanya dengan ujung lengan baju. Mama menarik nafas berat. Sambil menunduk mama bercerita dengan suara bercampur isakan.
“sudah saatnya kamu tahu semua cerita tentang masa lalu kamu dan mama, sebelum kamu tahu dari orang lain, hingga kamu membenci mama, lebih baik mama mengambil resiko itu, mama tak mau lagi menutupinya…” ujar mama terisak isak. Aku menatap mama kebingungan, air mata mama masih deras mengalir. Aku jadi kasihan sama mama.
“sudahlah ma, kalau mama memang tak sanggup untuk menceritakannya, rio tak memaksa ma… Rio tak mau mama sampai sakit..” aku memegang tangan mama dan kuusap lembut. Mama merangkulku dan bersandar didadaku.
“tidak sayang, sudah waktunya kamu tau, kamu sekarang telah dewasa dan bisa berfikir… Mama tak mau lagi menyimpan ini…” mama membantah tetap tegas pada pendiriannya. Aku menghela nafas panjang, mama memang keras kepala, kalau sudah memutuskan sesuatu tak bisa terbantah.
“terserah mama kalau begitu, asalkan mama tak tertekan hingga membuat mama sakit, memangnya apa sih yang mama mau ceritakan?” tanyaku hati hati. Mama tersenyum lemah.
“waktu itu mama masih terlalu muda, baru berusia delapanbelas tahun, mama berkenalan dengan seorang pria yang membuat mama terhanyut, begitu tampan.. Baik dan simpatik.. Yang telah membuat dunia mama jungkir balik…” mama berhenti, menarik selembar saputangan dari dalam saku blousenya lalu menyusut hidungnya.
Aku menunggu dengan sabar mama melanjutkan ceritanya, aku begitu ingin mengetahui bagaimana awalnya hingga aku ada didunia ini. Apakah itu disebabkan karena cinta atau keterpaksaan saja. Sudah begitu lama aku mengharapkan mengetahui semua ini. Hari ini semua akan segera terungkap.
“pemuda itu bernama alvin, dia sangat baik, begitu banyak yang menyukainya.. Mama masih mengingat dengan jelas bagaimana pertemua kami pertama kali, waktu itu mama baru lulus sma, bersama teman teman di belinyu bangka mama membantu bibi kamu, kakak mama, menjaga warungnya. Disitulah awal mama berkenalan dengan alvin, hampir setiap hari dia belanja di toko itu. Hingga pada suatu hari mama memberikan uang kembalian lebih karena salah menghitung. Ia kembali lagi untuk memulangkan sisanya.
Mama terpesona dengan kejujuran alvin. Kami berkenalan, setelah itu kami berdua sering bertemu, dalam beberapa kali bersama, entah kenapa mama jadi semakin menyukainya.. Alvin berasal dari medan tapanuli, anak dari orang yang cukup berpengaruh… Mama sebetulnya tau kalau tak mungkin bisa berhubungan dengan alvin.. Tapi perasaan cinta mama sudah begitu dalam.. Begitu juga alvin, dia sangat menyadari posisinya dalam keluarga yang menjunjung tinggi patrinealisme, masih memegang adat dengan erat. Ibaratnya hubungan kami itu bagai mahligai diatas pasir. Begitu banyak perbedaan yang memberi jarak pada kami… Namun pikiran yang belum matang dimasa menuju kedewasaan membuat kami tak mengindahkan semua itu, hingga akhirnya keluarga alvin tau mengenai hubungan kami..”
mama berhenti sejenak untuk menarik nafas. Keletihan tampak memayungi matanya.
“apakah keluarga alvin menentang hubungan mama dengan alvin ma?” tanyaku ingin tahu. Mama mengangguk.
“iya sayang… Sejak mereka tahu, alvin dicari oleh kakaknya, ia disuruh pulang ke medan, tapi alvin menolak, ia tak mau menuruti keinginan keluarganya untuk meninggalkan mama, namun keluarganya tak mau menyerah, mereka tak ingin kesalahan terulang untuk kedua kalinya, kakak perempuan alvin yang paling tua dibuang oleh keluarganya karena menikah dengan muslim dan menjadi mualaf, padahal alvin begitu dekat dengan kakaknya itu, ia sangat bersedih kehilangan jejak kakaknya.. Sampai pada suatu hari alvin mengajak mama menikah. Mama yang terlanjur sangat mencintainya menerima pinangan alvin, kami menikah tanpa persetujuan keluarganya, menikah secara islam dirumah nenekmu.. Saat itu mama merasa paling bahagia didunia ini..”
mama kembali berhenti karena menangis lagi. Aku ikut menangis bersama mama. Aku bisa membayangkan betapa menderitanya mama.
“dua bulan mama tinggal dirumah nenek bersama suami mama, alvin.. Sedikit sedikit ia mulai belajar mengaji dan sholat, walaupun dia belum menjadi muslim.. Itu membuat mama semakin mencintainya.. Tak lama kemudian mama hamil.. Mengandung kamu nak… Buah cinta mama dengan alvin papa kamu..”
suara mama semakin tersendat sendat. Aku menggenggam tangan mama semakin kuat. Mama tak tahu kalau aku telah mengenal om alvin, aku dekat dengan papa kandungku. Aku sudah bisa membayangkan kenapa mama bisa mencintainya. Om alvin yang sangat tampan, kharismatik, cerdas.. Sederetan kelebihan kelebihan yang ia miliki wajar saja mama sampai sebegitunya.
“saat keluarga papamu tau mengenai pernikahan kami, mereka mencari papa kamu, setelah berhari hari mereka berhasil menemukan kami, anehnya mereka tak marah, malah mereka menyuruh papa dan mama ikut mereka ke medan. Pertama mama bersama mereka keadaan baik baik saja, mereka baik dan perhatian sama mama, ditambah lagi mama lagi hamil, kemudian seminggu setelah itu, papa kamu ikut amangtuanya Ke sibolga, saat itulah topeng mereka terbuka, mama mereka siksa, tak ubahnya seperti pembantu, dalam keadaan hamil mereka menyuruh mama berkerja berat, mulai dari membereskan rumah, mencuci baju hingga memasak, semua mama sendiri yang mengerjakan. Kalau ada kesalahan sedikit saja mereka mencaci mama.. Bahkan tak segan memukul mama..”
mama sesungukkan menangis.
“shhhh… Mama sudahlah.. Jangan diteruskan kalau itu membuat mama sakit…” aku menenangkan mama, namun ia menggeleng.
“tidak nak, kamu berhak mengetahui semuanya.. Agar dikemudian hari tak lagi terjadi kesalahpahaman.. Mama tak mau lagi memendam ini sendirian..” mama masih bersikeras. Aku menggeleng gelengkan kepala penuh keprihatinan.
“dua minggu lebih papamu belum juga pulang, entah apa yang dia lakukan di sibolga.. Opung borumu mengatakan kalau papamu dipertemukan dengan paribannya disana.. Dan mereka akan menikah nantinya.. Saat itulah kesabaran mama habis, mama menampar mulut opung borumu, entah setan apa yang membisikkan mama untuk melakukannya, hingga terjadi keributan besar. Sejujurnya mama sudah tak tahan lagi, setiap hari dihina.. Kesabaran mama ada batasnya. Nantulangmu memukul mama begitu juga saudara saudara papamu yang lain, malamnya mama kabur diam diam, dengan menumpang mobil truk yang lewat mama ke palembang kemudian naik kapal kembali ke bangka…”
aku termenung mendengarkan cerita mama tanpa bersuara, aku menyimak dan membayangkan cerita yang mama alami, ternyata cerita emak dulu nyaris sama.. Betapa berat penderitaan mama.
“mama bertemu dengan emak angkat kamu.. Dia yang telah banyak membantu mama, sebetulnya mama banyak berhutang budi padanya.. Mama sangat menyesal pernah bersikap kasar kepadanya..”
mama berhenti menarik nafas lagi.
“setelah usia kamu beberapa bulan mama meninggalkanmu diam diam.. Mama percaya kalau kamu telah berada di tangan orang yang tepat… Mama pergi ke palembang dengan hati yang hancur karena harus meninggalkan kamu… Betapa mama menyayangi kamu.. Namun mama punya impian.. Mama ingin menjadi orang yang kaya, yang tak akan ditindas lagi oleh orang orang, mama ingin punya kedudukan serta kekuasaan.. Akhirnya mama terpaksa bekerja di tempat hiburan malam di palembang ini…”
jantungku terasa berhenti berdetak mendengar pengakuan mama. Ternyata mama sampai bertindak sedemikian jauhnya demi mendapatkan uang. Aku betul betul sedih, aku menangis seakan tak terima.
“maafkan mama nak.. Mama tak tau lagi harus melakukan apa waktu itu.. Mama sedang galau, hanya itu pekerjaan yang bisa mama lakukan sebagai penyambung hidup.. Mama juga terpaksa melakukannya.. Setiap kali mama melayani tamu, wajahmu selalu terbayang, setiap malam mama menangis setiap ingat kamu, wajahmu yang masih polos, mama berdosa dan dikejar kejar perasaan berdosa.. Tapi mama tak bisa berbuat banyak..mama ingin kembali menjemputmu bila mama telah berhasil…… Tak lama kemudian mama kenal dengan suharlan papa tiri kamu.. Ia sangat sopan dan baik sama mama.. Ia tak seperti kebanyakan pria yang datang kepada mama, ia memperlakukan mama seperti seorang wanita terhormat. Padahal mama tahu saat itu suharlan telah beristri dan punya dua orang putera. Mama bermain api dengannya.. Walaupun ia tak pernah berlaku tak senonoh, justeru hal itulah yang menimbulkan rasa simpati mama terhadapnya. Secara diam diam mama berpacaran dengannya.. Dan mama jadi mencintainya.. Ia adalah lelaki impian mama yang bisa mewujudkan keinginan mama, masih muda, sukses dan murah hati.. Ia memberikan mama hadiah yang mahal mahal, dari gaun, perhiasan hingga mobil, semuanya ia berikan pada mama. Lambat laun hubungan kami diketahui oleh laras, tante kamu.. Adik papa tirimu. Ia mengancam akan memberitahukan hubungan kami pada isteri papamu. Tapi papamu tak bergeming, ia sangat mencintai mama, ditambah lagi hubungan dengan isterinya tak harmonis lagi, percekcokan sering terjadi. Mama menikah dengan papamu dan menjadi isteri keduanya. Papamu membelikan mama sebuah rumah yang cukup mewah, ditambah lagi modal untuk membuka usaha.. Mama merintis usaha mama dengan giat hingga menjadi sukses seperti yang kamu lihat sekarang ini… Salon mama berkembang pesat, hingga mama bisa membuka cabang dibeberapa kabupaten..bertolak belakang dengan usaha papa kamu, entah kenapa usahanya semakin hari semakin merugi hingga nyaris bangkrut, papamu betul betul terpuruk, namun ia tak mau menerima bantuan dari mama.pada suatu hari saat mama lagi dirumah, seorang wanita datang, ia mengamuk, ternyata itu isteri papa tirimu. Heboh sekali kejadian itu. Ia membawa puteranya yaitu kakak tirimu si fairuz yang waktu itu masih kecil, ia menuduh mama macam macam, mama dibilang mengeruk harta suaminya, membawa sial dan lain sebagainya. bertepatan papamu datang keributan besar tak dapat lagi dihindari hingga berakhir dengan perceraian mereka, akhirnya mama berhasil memiliki papa tirimu seutuhnya. Fairuz dibawa oleh isteri pertama papamu, sedangkan faisal ikut mama. Menganggap dia sebagai pengganti kamu, mama sangat menyayangi faisal, mama sangat memanjakannya karena pada dia mama seolah menemukan dirimu… Sejak saat itu mama tak pernah lagi mendengar kabar mantan isteri papamu. Terakhir yang mama tahu mereka telah pindah ke jakarta. Ia menikah lagi dan menetap dijakarta. Mama berhasil mewujudkan cita cita mama.
tapi ambisi mama tak berhenti hingga disitu, berhubung usia mama masih muda baru 21 tahun, mama mendapat tawaran bekerja disebuah bank swasta, disitu karir mama berkembang pesat hingga mama bisa menjadi direktur utama di bank itu. Mama berhasil melampaui papa kamu sekalipun…”
mama terdiam sejenak. Aku menunggu mama melanjutkan. Aku tak dapat menerka apa yang sedang mama pikirkan, wajah mama sulit untuk dibaca, tak ada lagi airmata karena mama telah mengeringkannya dengan saputangan yang ia pegang. Wajar saja kak fairuz begitu membenci mama karena ia tahu yang terjadi, ia sudah cukup mengerti kejadian yang membuat papanya bercerai dengan mamanya. Mungkin rasa trauma yang ia alami berkembang jadi kebencian, wajar saja ia membenci mama, andaikan aku yang berada pada posisi kak fairuz, aku juga akan berbuat yang sama. Aku sedih, aku tak tahu harus marah, kecewa atau membenci semua ini, namun bagaimanapun semuanya sudah terlanjur terjadi, mungkin mama terpaksa melakukan semua itu karena telah merasakan kerasnya hidup.
“izinkan mama meneruskan cerita mama ini nak..semoga setelah kamu tau semuanya, kamu tak akan membenci mama…”
suara mama pelan dan terdengar parau. Aku menggeleng kaku, sakit rasanya leherku.
“butuh waktu beberapa tahun setelah itu untuk mama mengakui kepada papamu kalau mama punya kamu, yang mama tinggalkan di bangka.. Untungnya papamu tak marah, ia bisa mengerti dan memahami mama, ia mengizinkan mama untuk menjemput kamu. Dan disinilah sekarang kamu berada nak.. Bersama mama..”
mama mengakhiri ceritanya. Aku menunduk membayangkan semua yang baru saja diceritakan mama, rupanya ini kisah hidupku.
“ma.. Ada satu yang ingin rio tanyakan.. Apakah papa kandung rio pernah melihat rio.. Apakah dia tahu tentang rio?” aku tak dapat menahan keingintahuanku. Mama menggeleng.
“pernah waktu kamu masih sangat kecil,. Mama pernah bertemu sekali dengannya waktu mama pergi ke jambi, mama meminta surat cerai darinya.. Itu sebelum mama menikah dengan papa tirimu. Ia sempat mengajak mama kembali padanya, namun mama tolak, mama bilang tak mencintainya lagi..”
jawab mama pasti. Ia menatap mataku dalam dalam, seperti ingin melihat ada kemarahan dalam sinar mataku, namun aku terlalu capek untuk marah, jiwaku terlalu lelah melakukan itu, marah terlalu mewah bagiku saat ini. Aku berdiri meninggalkan mama, ia sepertinya hendak berbicara lagi namun ia urungkan. Aku keluar dari kamar mama dan menutup pintu.
Om sebastian sedang duduk di sofa depan televisi. Ia menoleh waktu melihat aku keluar dari kamar mama.
“mama kamu sudah tak apa apa lagi yo?” tanya om sebastian sambil berdiri.
Aku menghampiri om sebastian lalu duduk disampingnya. Om sebastian kembali duduk.
“mama lagi istirahat dikamarnya om..” jawabku apa adanya.
“fairuz lagi istirahat di kamar almarhum… Sepertinya ia bakalan lama disini.. Aku kuatir sama kamu dan mama kamu yo..” om sebastian terdengar gelisah.
“aku juga om, tadi mama sudah bercerita, aku jadi takut om, kak fairuz betul betul membenci mama, bisa jadi ia akan membenci aku juga nantinya. Kalau sampai itu terjadi, aku tak tahu lagi harus bagaimana…” aku mengeluh pada om sebastian.
“kalau ada apa apa kamu telpon om saja yo..” om sebastian mencoba menawarkan jalan keluar.
“semoga tak ada apa apa om.. Aku akan berusaha mendekati kak fairuz, dulu kak faisal juga begitu, ia tak menerimaku, tapi lama lama ia bisa menganggap aku sebagai adiknya kan..” aku tak mau membuat om sebastian terlalu kuatir.
“semoga saja begitu ya yo, om berharap kamu bisa merubah fairuz, tapi sepertinya berat, pastilah mamanya telah menanamkan dalam otaknya untuk membenci mama kamu yang ia anggap sebagai perusak rumah tangganya dengan papamu. Kita berdoa saja semoga ia bisa berubah…” harap om sebastian.
Aku cuma bisa mengangguk dan berdoa dalam hati. Semoga apa yang diharapkan om sebastian bisa jadi kenyataan, semoga aku bisa mendekati kak fairuz, sebetulnya aku senang sekali dengan kehadiran kak fairuz, seolah olah mendapatkan kembali kak faisal, mereka berdua begitu mirip, aku betul betul berharap bisa dekat, aku ingin mempunyai seorang kakak. Agar aku tak lagi merasa kesepian dirumah ini.
********


Jam tujuh malam sekarang, bik tin sedang sibuk menyiapkan makan malam, om sebastian sempat pulang sebentar tadi sore, namun ia segera kembali lagi bersama tante sukma, aku meminta mereka berdua menginap disini. Tante sukma membantu bik tin memasak di dapur, tante sukma orangnya sangat ramah, dari tadi sore ia mengajak aku mengobrol agar aku bisa melupakan sejenak kesedihan karena kehilangan kak faisal, tante sukma juga ingin melihat sendiri fairuz yang selama ini ia tak tau. Tapi kak fairuz belum keluar dari kamarnya semenjak sore tadi. Aku tak tahu apakah ia masih tidur atau enggan untuk keluar kamar.
Saat makan malam telah siap, aku memanggil mama di kamarnya. Mama keluar dan bergabung di meja makan bersama om sebastian dan tante sukma.
“fairuz nggak makan malam ya?” tanya tante sukma. Mama memandang tante sukma lalu melihat om sebastian.
“tak apa apa kak, ada aku disini, rio tolong kamu panggil fairuz di kamar..” perintah om sebastian. Aku yang baru saja mau duduk jadi urung. Aku ragu. Om sebastian mengangguk untuk meyakinkan agar aku tak takut. Akhirnya walaupun dengan perasaan ragu aku beranjak menuju kamar kak faisal.
Aku mengetuk pintunya dengan pelan.
“kak fairuz.. Makan malam kak..” tak terdengar jawabn.
“kak.. Makan dulu, nanti kakak lapar..” aku mencoba membujuknya, aku yakin kak fairuz pasti mendengarkan. Tiba tiba pintu terbuka dengan disentak, kak fairuz berdiri dengan bertelanjang bulat sambil berkacak pinggang. Rambutnya acak acakan, matanya masih merah pertanda baru terbangun. Wajah kak fairuz seperti tak senang.
“berisik banget sih, ada apa?” tanya kak fairuz kesal sambil menggaruk kepalanya dengan kesal.
“maaf kak, udah waktunya makan malam, kakak dipanggil mama untuk makan malam..”
“aku nggak lapar, makan aja kalian sana!…” jawab kak fairuz kasar kemudian berbalik dan membanting pintu. Aku nyaris terlonjak kaget, hidungku cuma berjarak beberapa senti dari daun pintu yang mengeluarkan bunyi berdebam. Aku menyeret langkah kembali ke ruang makan. Mama, om sebastian dan tante sukma menoleh kearahku.
“mana fairuz?” tanya om sebastian, aku mengangkat bahu.
“kalau fairuz ada disini, kemungkinan besar mamanya juga ada di palembang, tak mungkin ia tak menziarahi kuburan faisal..” ujar mama masuk akal, om sebastian mengangguk setuju.
“iya kak, aku juga berpikiran demikian, belasan tahun sudah mereka menghilang tanpa kabar dan kembali sekarang, aku bingung mereka mendapat kabar kalau faisal meninggal entah dari siapa..” gumam om sebastian. Tante sukma mengulurkan piring berisi nasi kepada om sebastian.
“kak mega, kalau saran saya sih mendingan kakak telpon bang harlan, suruh dia pulang secepatnya, mungkin dengan ada papanya disini, fairuz bisa lebih segan..” saran tante sukma.
“aku sudah coba telpon bang harlan, tapi nggak aktif, telpon kerumah syahrul juga nggak ada yang angkat, mungkin mereka lagi pergi dek sukma..” jawab mama lesu.
“aku akan coba menghubungi bang harlan nanti kak..” timpal om sebastian.
“makasih dek, semoga bang harlan mau pulang karena tahu ada anaknya datang..” harap mama.
PRAAAAANG.!!!
kami semua kaget mendengar suara entah apa yang pecah dari ruang tamu. Mama menoleh ke om sebastian lalu serempak kami berdiri dan berlari ke ruang tamu.
Guci keramik antik dari cina setinggi puncak kepala orang dewasa yang biasanya mama taruh di meja sudut antara pintu menuju ruang tengah teronggok diatas lantai menjadi kepingan tak berbentuk lagi. Sementara kak fairuz dengan cuek menyender di samping meja itu sambil merokok.
“fairuz apa apaan kamu!!” teriak om sebastian marah.
“nggak sengaja, salah sendiri kenapa ditaruh disitu..!” jawab kak fairuz tanpa berdosa.
“keterlaluan ka…”
“sudah dek, sudah.. Tak usah emosi.. Biarkan saja, lagian sudah pecah, tak akan bisa utuh lagi walaupun kamu marah marah..” mama menenangkan om sebastian, aku tahu mama pasti sedih karena itu keramik antik yang ia favoritkan. Harganya jangan ditanya lagi, sudah ada kolektor yang berani menawar dengan harga sangat tinggi tapi mama tak mau melepaskannya.
“bik tin..!” mama berteriak memanggil bik tin. Rupanya bik tin juga ada disini menyaksikan semua ini.
“iya bu..”
“tolong bersihkan pecahan keramik ini, jangan sampai bekasnya melukai kaki..” ujar mama dengan getir. Tanpa diperintah dua kali dengan cekatan bik tin membersihkan pecahan keramik itu. Om sebastian menggeleng gelengkan kepala melihat kelakuan kak fairuz. Tante sukma memegang lengan om sebastian, sepertinya ia takut om sebastian kehilangan kontrol hingga memukul kak fairuz.
“ayo dek kita lanjutkan makan malam..” mama mengajak kami kembali ke ruang makan.
“fairuz, ayo makan malam, bukannya kamu dari sore belum makan?” mama berbaik hati menawari kak fairuz. Namun kak fairuz tak bergeming sedikitpun, ia memandang mama dengan bosan lalu beranjak meninggalkan kami tanpa berkata sepatah katapun.
“bukannya itu keramik dari dinasti ming yang harganya ratusan juta kak?” tanya tante sukma merasa sayang. Mama mengangguk dan tersenyum pahit.
“sudahlah dek sukma, mungkin fairuz benar benar tak sengaja.. Lagian keramik itu sudah ada sebelum aku pindah kesini… Dulu harganya nggak segitu kok” ujar mama seperti mau menghibur diri sendiri.
Kami kembali duduk di ruang makan, melanjutkan makan malam yang sempat terganggu karena insiden tadi. Mama sepertinya sudah kehilangan selera makannya. Masih banyak nasi yang tersisa di piringnya namun mama sudah berhenti.
“loh kakak sudah selesai?” tanya tante sukma heran.
“sudah kenyang dek, maaf ya kakak duluan.. Mau sholat..” mama beralasan.
Tante sukma hanya bisa mengangguk. Mama beranjak dari meja makan lalu berjalan ke kamarnya. Aku kasihan sekali kepada mama, belum hilang kesedihannya karena ditinggalkan kak faisal, sekarang timbul masalah lain yang membuat pikiran mama kembali tersita. Kenapa kak fairuz tak bisa seperti kak faisal, padahal mereka saudara kandung, kak faisal sangat menyayangi mama seolah mama adalah ibu kandung baginya. Namun kak fairuz begitu membenci mama seolah musuh yang harus ia musnahkan. Andai ini terus berlarut aku kuatir mama bisa stress, om sebastian tak mungkin terus terusan menginap disini karena ia harus bekerja, lagian dia juga sudah punya rumah sendiri.
Aku menghabiskan makan malamku tanpa semangat, padahal masakan tante sukma sangat lezat tapi aku tak bisa menikmatinya karena terlalu banyak beban pikiran. Aku kembali ke kamar setelah makan, aku ambil hp diatas bantal, ada beberapa sms yang masuk. Beberapa dari rian. Celaka.. Rian minta jemput di kampusnya. Sms ini sudah hampir satu jam yang lalu. Dengan panik aku berlari mengambil kunci mobil kak faisal. Baru saja aku mau mengeluarkan mobil dari dalam garasi, di depanku berdiri kak fairuz. Buru buru aku injak rem. Aku membuka pintu mobil dan turun menghampiri kak fairuz.
“kenapa kak?” tanyaku heran. Kak fairuz tak menjawab cuma memandangku sinis sambil menadahkan tangan kanannya. Aku bingung apa maksud kak fairuz.
“sini kunci mobil itu…” pinta kak fairuz padaku.
“kenapa kak?” aku jadi bingung.
“kemarikan kuncinya.. Cepat..” perintah kak fairuz dengan gaya seorang raja. Dengan ragu dan masih bingung aku membuka pintu mobil, mencabut kuncinya lalu menyerahkan pada kak fairuz.
Ia langsung mengambilnya dari tanganku kemudian mengantongi kunci itu lalu masuk ke dalam rumah dengan santai. Aku tercengang memandang kepergian kak fairuz. Aku betul betul bingung. Sambil menggaruk kepala aku masuk ke dalam rumah. Aku berpapasan dengan mama di pintu dapur.
“ada apa rio?” tanya mama heran melihat tampangku yang keruh.
“itu ma, kunci mobil kak faisal yang mau aku pakai diambil kak fairuz..” jawabku apa adanya tanpa ada niat untuk mengadu.
“apa..? Kenapa ia melakukan itu?” pekik mama heran.
“entahlah ma, mungkin kak fairuz tak mengizinkan aku memakai mobil itu karena ia menganggap semua milik papanya tak boleh aku pakai..” aku berasumsi. Mama diam sejenak, menghela nafas.
“memangnya tadi rencana kamu mau kemana sayang?” tanya mama sabar.
“mau jemput rian ma, dia sms minta tolong di jemput, aku sudah terlambat satu jam.. Bisa bisa ia marah..”
“ya sudahlah.. Kamu telpon dia, bilang saja tak sempat, mama yakin rian bisa mengerti..” saran mama serba salah. Aku tahu mama bisa saja berkeras untuk menyuruh kak fairuz menyerahkan lagi kunci mobil itu kepadaku, namun mama tak mau melakukan itu karena tak mau menyulut pertengkaran dengan kak fairuz, cukup sudah tadi sore mama diseret kak fairuz, aku tak habis pikir bagaimana kak fairuz bisa tega mengusir mama. Apa kak fairuz tak tahu kalau mama adalah pemilik rumah ini sekarang dan mama yang berkuasa penuh.
“rio ke kamar dulu ma, mau telpon rian..” “iya nak, yang sabar ya..” mama tersenyum lembut sambil mengusap rambutku penuh kasih.
“iya ma..” aku meninggalkan mama lalu ke kamar. Aku menelpon rian, sudah ku duga rian pasti marah. Ia tak terima karena aku telah membuat ia menunggu lama. Ia memutuskan percakapan. Aku mencoba menelponnya lagi namun tak ia angkat. Bertambah pusing kepalaku. Akhirnya aku menelpon koko. Aku minta jemput sama koko. Untunglah koko bilang ia akan datang setengah jam lagi, jadi aku duduk menonton tipi di kamar sambil menunggu koko. Aku jadi gemas teringat waktu kak fairuz meminta kunci mobil tadi dengan gaya sok berkuasanya itu. Seenaknya saja ia melarang aku memakai mobil itu, padahal selama ini, kak faisal tak pernah keberatan kalau aku meminjam mobilnya.
Pintu kamarku terbuka tanpa ada tanda sebelumnya. Kak fairuz masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu ia langsung nyelonong begitu saja dalam kamarku. Aku langsung berdiri dengan heran.
“ada apa kak?” aku bertanya dengan sopan, walaupun kak fairuz telah bertindak tak sopan kepadaku, namun aku berusaha menjaga sikap terhadapnya.
“mulai hari ini aku yang pakai kamar ini!” tandas kak fairuz ketus.
Aku tercengang, apakah aku tak salah dengar.
“maksud kakak?” aku tak yakin.
“kamu sudah tuli, atau memang kuping kamu yang jelek itu tak pernah dibersihkan? Aku bilang mulai hari ini kamar ini milik aku, kamu pindahkan barang barang kamu, aku tak mau tau kamu mau pindah ke mana, pokoknya jam sembilan nanti, semua peralatan kamu tak ada lagi di kamar ini!” perintah kak fairuz tegas. Aku mematung tak percaya. Aku tak tau harus mengatakan apa.
“ayo buruan.. Jangan kayak orang bego.. Jijik aku lihatnya!” maki kak fairuz sambil menempeleng kepalaku tak kira kira.
“aduh..!.. Apa apaan kak, sakit tau!” aku mengusap keningku yang terasa panas akibat di tempeleng tadi.
“kenapa? Kamu nggak suka?” kak fairuz menarik kerah bajuku.
“nggak..! Aku nggak suka!… Jangan kakak kira aku takut… Lepaskan kak jangan pancing emosiku!”
aku memperingatkannya, namun kak fairuz bukannya melepaskan malah ia semakin kuat mencekal kerah bajuku. Karena kesal aku tinju sekeras kerasnya perut kak fairuz.
“aduh!.. Sialan.!” kak fairuz mengerang, terhuyung huyung sambil memegangi perutnya.
“keparat!!”
BUUK.. Satu tinjuan telak mengenai mataku, seolah bagai kilatan cahaya lampu kamera selama sedetik yang berubah jadi gelap dan samar pengelihatanku, sakit sekali rasanya. Tenaga kak fairuz betul betul kuat. Setelah mengatasi terkejut, aku balik menyerang lagi. Aku terjang kak fairuz hingga tubuhnya terhempas ke dinding, tangannya menyenggol lampu tidur hingga terjatuh dan pecah menimbulkan suara ribut. Aku yang kalap tak mau menunggu hingga kak fairuz menyerang lagi, mumpung ia sedang lengah aku langsung menerjang lagi, ia kembali terjatuh. Bertubi tubi aku hantamkan pukulan ke wajahnya. Tiba tiba tanganku dicekal dari belakang. Aku menoleh ternyata om sebastian yang memegang aku. Sementara mama dan tante sukma berdiri tepat ditengah pintu kamarku terlihat ketakutan.
“sudah rio…sudah..!” om sebastian membentakku.
“lepaskan om, dia yang mulai duluan..!” aku tak menghiraukan om sebastian, aku berusaha melepaskan tanganku yang ia cekal.
“sudah om bilang!!” dengan suara menggelegar om sebastian melarangku memukul kak fairuz.
Akhirnya aku mengalah, aku lemaskan tanganku dan mengangguk. Aku memandangi kak fairuz nyalang, jangan ia pikir aku takut padanya. Ia tak bisa selalu semena mena padaku. Kami sama sama pria, sama sama punya tangan dan emosi, jangan ia mengira diamku tadi karena aku takut padanya, aku tak mau kak fairuz mengira aku seorang pengecut yang hanya berani berlindung diketiak mama. Kak fairuz harus tau kalau aku juga bisa emosi dan melawan.
Om sebastian melepaskan tanganku setelah dia rasa cukup aman untuk melakukan itu. Aku beranjak meninggalkan kamarku. Mama yang hendak membantuku tak aku hiraukan. Saat melihat bik tin di dapur aku segera menghampirinya.
“bik, tolong baju dan peralatan yang ada dikamarku, pindahkan semua ke kamar almarhum kak faisal, kamarku mau di pakai kak fairuz..”
bik tin menatapku heran, ia membuka mulutnya hendak bertanya, namun aku menggeleng. Aku terlalu capek untuk menjelaskannya. Aku tinggalkan bik tin lalu aku masuk ke kamar kak faisal. Sebetulnya dirumah ini masih ada tiga kamar kosong termasuk kamar tamu, namun dua kamar yang lain ukurannya terlalu kecil, posisinya pun aku kurang suka, jadi aku lebih memilih kamar kak faisal. Selain kamar itu lebih luas, posisi jendelanya pun langsung menghadap ke kolam ikan dengan air terjun buatan yang ada di taman samping rumah. Posisinya lebih strategis daripada kamarku. Biarlah aku mengalah saja, kak fairuz mau kamarku, silahkan ambil, tapi jangan harap ia bisa mengambil lagi apa yang menjadi milikku seenaknya saja. Pintu kamar kak faisal terbuka, mama masuk dan menghampiriku.
“mama tau kalau kamu sampai berbuat seperti tadi, pasti karena kamu betul betul emosi..” tak ada kemarahan pada suara mama. Aku mengangguk tak bersuara. Mama duduk disampingku dan memegang bahuku.
“mama tau kamu pasti terganggu dengan kedatangan fairuz, mama bisa mengerti kalau kamu marah, fairuz memang keterlaluan…tapi mama pinta kamu lebih bersabar lagi, bagaimanapun juga kalian berdua itu saudara..” nasehat mama, suara mama terdengar sedih. Aku mendongak memandang mama.
“tapi ma, ia tak bisa seenaknya pada rio, kalau ia terus terusan memancing emosi, rio tak akan bisa selalu diam.. Lagian dia juga cuma sekedar saudara tiri..” aku masih keras kepala, aku belum bisa meredakan kemarahanku sepenuhnya.
“iya sayang… Mama tak tau kenapa bisa seperti ini jadinya.. Mama tak menyangka setelah begitu lama ia tak juga berubah, ia tak bisa menerima mama..” mama berdiri kemudian berjalan menuju jendela, memperhatikan kolam yang mengeluarkan suara gemericik air mengalir.
“kenapa mama tak mengusirnya saja ma, kita kan sudah cukup mendapat banyak masalah, ia tak bisa begitu saja datang seolah olah berkuasa disini..” ujarku geram. Mama berpaling melihatku dan tersenyum.
“mama tak bisa begitu sayang, bagaimanapun juga dia anak tiri mama, kalau mama mengusirnya, apa yang harus mama katakan pada papa kamu?… Sudahlah, lama lama ia nanti pasti akan bisa menyesuaikan diri.. Pelan pelan kamu coba dekati dia, tawarkan persahabatan, mama yakin semua orang punya segumpal hati, dan hati itu berwarna merah, itu artinya manusia itu pada dasarnya sama. Tak ada yang beda, yang membuat beda hanyalah suasana serta pengalaman. Terkadang kerasnya hidup ikut mengeraskan hati, itulah yang terjadi pada kakakmu itu, andai kamu mau bersabar, kamu pahami dia, ajak dia memahami kamu, lama kelamaan kalian akan sehati… Anggap dia pengganti faisal, mama yakin… Hatinya tak sekeras yang ingin ia tunjukkan pada kita..”
nasehat mama panjang lebar. Aku diam mencerna semua kata kata mama dalam pikiranku. Aku tak yakin apakah aku bisa melunakkan hati kak fairuz. Ia terlanjur membenci mama, dan aku juga terkena imbas dari kebenciannya itu. Sampai berapa lama aku bisa bertahan, dan sampai berapa lama kak fairuz mampu bertahan dengan kemarahannya… Aku tak habis pikir apa yang membuat kak fairuz mau tinggal disini, kalau ia merasa benci dengan mama, seharusnya ia menjauh bukannya malah memilih tinggal disini. Aku saja belum bisa menghilangkan rasa kaget karena kemunculannya yang tiba tiba. Kalau saja kak faisal tidak meninggal mungkin aku tak akan tau mengenai kak fairuz, aku jadi penasaran apa kak faisal tau mengenai kak fairuz, ia tak pernah membicarakan mengenai itu.
“kamu pikirkan lagi ya sayang!, sekarang mama percaya kalau kamu sudah bisa berpikir dewasa, rio yang mama kenal adalah rio yang hebat, yang membuat mama bangga memiliki putera seperti rio.. Mama berterimakasih karena emak kamu dulu telah mendidik kamu menjadi begini, dulu mama begitu iri pada emak kamu, mempunyai kamu.. Tapi kini mama lebih tenang karena kamu masih anak mama.. Putera kesayangan mama..” mama mencium pipiku lalu beranjak meninggalkanku sendirian di kamar.
Aku merenungi kata kata mama, tak terasa air mataku mengalir jatuh. Aku buru buru menghapus airmata karena bik tin masuk sambil membawa tumpukan bajuku yang telah terlipat rapi. Mulai hari ini aku pindah di kamar kak faisal, entah kenapa rasanya begitu sunyi di kamar ini, dulunya kamar ini selalu ramai dengan teman teman kak faisal yang berkumpul, kadang menonton, kadang ngeband, kadang minum diam diam, begitu banyak kenangan indah di kamar ini dan aku salah satu saksi hidup yang masih bisa merasakan kenangan yang tak pernah mati tentang kamar ini, tentang kakak yang sangat aku cintai, kak faisal yang meninggal di usianya yang begitu muda. Meninggalkan aku dan keluarga ini. Aku selalu berdoa dalam setiap sholat agar almarhum diampuni semua dosa dan kesalahan, agar dilapangkan jalannya nanti menuju surga yang indah, agar di tenangkan tidurnya di alam sana hingga hari akhir nanti. Aku selalu berdoa agar jasadnya selalu dipelihara.
Aku menangis memandangi foto kak faisal yang tergantung di dinding kamarnya. Foto ia memakai baju kaus oblong, kak faisal memang tampan, di foto pada sudut manapun ia selalu terlihat tampan. Senyumnya tak kalah dengan senyum model, sayang kak faisal tak ada minat untuk jadi model. Di foto pun dia kurang suka. Aku sentuh foto itu dengan ujung jariku kemudian aku usap. Air mataku kembali jatuh. Aku kangen kak faisal, aku kangen sekali. Aku sedih tak bisa bersamanya lagi. Tubuhku bergetar mengingatnya. Aku betul betul rindukan saat bersamanya. Andai waktu bisa di ulang lagi sungguh senang rasanya. Namun itu tak mungkin.
Aku membantu bik tin memasukkan baju bajuku ke dalam lemari kak faisal yang telah kosong. Setelah selesai memindahkan buku buku dan miniatur koleksiku. Bik tin pamit keluar.. Tak lupa aku berterima kasih padanya. Aku selipkan beberapa lembar uang pada bik tin. Ia berterima kasih dengan gayanya yang khas, ia selalu begitu setiap aku berikan uang. Sudah hampir setengah sembilan baru koko datang.
“eh yo maaf ya, soalnya tadi mendadak mama minta antar ke rumah temannya, jadi aku agak telat..” koko meminta maaf.
“nggak apa apa ko, yang penting kamu datang..”
“oh ya, kok kamu sekarang pindah ke kamar ini, aku sempat kaget tadi waktu aku mau masuk ke kamarmu yang dulu, di dalamnya ada seseorang…” suara koko agak aneh.
“iya ko, dia kakak tiriku.. Baru datang dari jakarta..” aku menjelaskan.
“loh emangnya ada berapa sih saudara kamu, kok selama ini nggak pernah kelihatan?” koko jadi heran.
“aku juga baru tau, panjang ceritanya.. Yang jelas ada hal lain yang aku ingin tau dari kamu dan aku minta kamu tak perlu bohong atau menutup nutupi lagi, aku butuh kebenaran karena aku sudah tau semua..” koko bengong, ia ternganga mendengar aku bicara seperti itu.
“maksud kamu apa yo?” tanya koko heran.
“mengenai om alvin.. Dia kan papa kandungku?” tembakku langsung ke intinya.
Wajah koko berubah pucat pasi, mungkin ia tak menduga kalau aku bakalan bertanya tentang ini.
“ka.. Kamu tau da.. Dari mana?” koko terbata bata.
“aku sudah tau semua.. Jadi kamu tinggal ceritakan saja..” aku tak mau bertele tele. Koko sepertinya mengerti dari nada suara ku yang sengaja aku buat tegas.
“yah.. Lagian kamu juga udah tau..” desah koko.
“ya udah cepetan!” buruku tak sabar.
“sebetulnya om alvin menyuruh aku merahasiakan hal ini darimu yo, kamu tau waktu aku menyadari kalau sebetulnya kamu itu sepupuku, aku betul betul gembira, begitu juga mama..” ujar koko berapi api, senyumnya tak lepas lepas dari tadi.
“awalnya aku curiga waktu almarhum faisal meminta aku menyelidiki om alvin..”
“itu aku udah tau, aku cuma mau tanya aja, gimana sih sebetulnya om alvin?” aku memotong penjelasan koko.
“om alvin sangat menyayangi kamu yo, ia berharap sekali suatu hari ia bisa berkumpul dengan kamu, ia mendambakan anak lelaki, yang tak bisa diberikan tante sophie, oh ya yo.. Kamu tau.. Ada kabar baik loh..” mata koko berbinar binar cerah. Seolah tak sabar lagi menyampaikan berita gembira.
“kabar gembira apa sih?” aku jadi penasaran.
“akhirnya om alvin menjadi mualaf yo..”
“apaaa..!!?”
“iya yo sumpah… Sudah dua hari yang lalu yo, ia sudah memutuskannya dengan bulat, ia kan sudah cerai dari tante sophie, jadi sekarang ia sementara menenangkan diri di rumah mama.. Beberapa kali ia melihat kami beribadah ia jadi tertarik..” koko menambahkan.
“lalu..?” aku ikut gembira mendengar kabar ini, jadi papa kandungku sekarang telah seiman denganku.
“om alvin bilang sebetulnya ia sudah ingin melakukan itu dari dulu, sejak ia mengenal mama kamu yo… Tapi mama kamu keburu meninggalkan om alvin, ia betul betul kecewa waktu itu..” jelas koko.
“om alvin yang cerita?” aku ingin tau.
“iya yo, banyak yang ia ceritakan.. Kalau gitu kita kerumah ku saja sekarang, lagipula kamu kan sudah tau kalau om alvin itu papa kamu..” ajak koko bersemangat. Aku menggeleng. Koko terdiam melihatku, senyumnya langsung lenyap.
“kenapa yo?”
“aku belum mau bertemu dia ko, terus terang aku belum siap..”
“kenapa memangnya.. Ketemu papa sendiri kok belum siap.. Aneh!..” cetus koko.
“bukan begitu ko, terus terang sebetulnya aku kecewa, om alvin pengecut.. Aku belum bisa menerimanya lagi..” jelasku keras hati.
“kok begitu..?” koko makin heran.
“ya begitu.. Emangnya mau ngapain ayo? Pokoknya aku belum siap.. Satu lagi, kamu jangan bilang sama om alvin kalau aku tau ia papaku..”
“aneh!” koko semakin keki.
“pokoknya aku minta kamu jangan pernah bilang.. Ayo sumpah.!” aku memaksa koko.
“ngapain harus sumpah.. Udah ah.. Nggak perlu pake sumpah segala, emangnya aku ini nggak bisa di percaya..” koko mengelak.
“bukan begitu, cuma dalam masalah ini aku cuma ingin betul betul yakin.. Kalau sampai kamu bilang, terus terang aku bersumpah tak akan menerima om alvin sampai aku mati, dan juga aku tak akan menganggap kamu sebagai siapapun lagi..!” aku mengancam. Koko mendelik padaku. Mulutnya manyun.
“oke oke oke… Demi Allah aku janji tak cerita! Puassss?” koko sebal.
“bangeeet!.” aku tertawa dan merangkul koko erat, ia ikut tertawa dan memelukku.
“kita jalan yuk sepupu..” ujar koko bercanda.
“oke boleh..” aku berdiri dan mengajak koko keluar. Koko menyalakan mesin mobilnya, bertepatan sebuah motor bebek memasuki pekarangan rumahku. Ternyata rian yang datang. Mukanya masam, ia cemberut hingga bibirnya yang tipis hampir membentuk satu garis.
“mau kemana yo!?” pertanyaan rian lebih mirip seperti ancaman.
“eh rian, ini aku sama koko baru aja mau jalan..”
“tadi kamu bilang nggak sempat jemput aku, ternyata kamu lagi sibuk sama koko ya?” tuduh rian.
“bukan gitu, aku lagi ada masalah..”
“emangnya masalah apa?”
“ceritanya panjang… Kalau gitu kita jalan sama sama aja, ada hal yang mau aku ceritakan padamu..”
“oke.. Aku pake motor atau ikut kalian?” tanya rian ragu.
“motor kamu taruh aja di garasi, kita sama sama naik mobilnya koko”
“oke.. Tunggu sebentar..” rian menggiring motornya ke dalam garasi, lalu ia masuk ke dalam mobil.
“mau kemana kita?” tanya rian.
“kamu udah makan belum? Lebih baik kita cari makan, ke kafe aja lebih santai untuk mengobrol..”
“boleh, kebetulan aku memang belum makan..” ujar rian.
“yo, ke kafe mana?” tanya koko.
“terserah kamu aja lah, apa kita ke kafe tempat kita biasanya?” aku mengusulkan.
“baiklah..” jawab koko menekan gas, dan mobil meluncur keluar dari pagar menuju ke jalan raya.
“emangnya kamu ada masalah apa sih kok sampai nggak sempat lagi jemput aku?” tanya rian sedikit kesal.
“maaf yan, aku tadi berantem..”
“hah? Berantem..! Emangnya sama siapa?” tanya rian terkejut.
“sama kak fairuz..”
“kak fairuz, siapa dia?” rian heran.
“itulah masalahnya yan, kak fairuz itu baru datang, ia anak kandung papa, kakaknya kak faisal.. Aku juga baru tau tentang dia..” aku menjelaskan.
“lalu kenapa kalian berantem?” rian ingin tau.
“dia marah, sebetulnya aku tak enak menceritakan hal ini, tapi aku juga nggak mau kamu salah paham, ia tak bisa menerima mama sebagai mama tirinya, maka dari itu ia ikut ibu kandungnya.. Dan itu juga berimbas ia jadi tak menyukaiku..”
“lalu ia mengajak kamu berantem?”
“sebetulnya nggak, tapi dia selalu mencari gara gara, ia selalu memancing emosiku..”
“memancing gimana?” rian makin heran.
“pokoknya ia selalu membuat aku ingin marah, pertama ia mengambil kunci mobil almarhum kak faisal yang mau aku pakai, aku diam saja karena tak mau ribut, setelah itu ia mengusirku dari kamarku sendiri, aku coba sabar, namun ia makin ngelunjak.. Ia memukulku, aku tak terima dan balas menyerangnya..” aku membeberkan kejadian tadi.
“keterlaluan banget sih kakakmu itu, lagian aneh juga sih setelah kematian faisal ia baru menampakkan lagi batang hidungnya.. Emangnya orangnya seperti apa sih?” rian ikut kesal.
“mirip banget dengan kak faisal, lebih dewasa lagi, tapi sifatnya itu bikin muak..” ujarku berapi api.
“ya sudahlah… Yang penting kamu jangan mau disemena menakan dia..” saran rian.
“nggak boleh gitu dong yan, justru rio harus mencoba mendekati kakaknya itu, kalau ia memusuhinya, nggak bakalan selesai selesai masalah..” timpal koko yang sedari tadi cuma diam.
“aku sih liat liat dulu ko, kalau emang kak fairuz bisa merubah sikapnya itu, mungkin aku bisa lebih manis, tapi andai ia masih seenaknya saja, aku tak akan tinggal diam!” aku ngotot.
“betul itu yo, emangnya kamu itu babunya dia, seenaknya saja dia perlakukan kamu..” rian mengompori.
“dasar kalian berdua..” koko menggeleng gelengkan kepalanya.
“ko.. Stop.. Itu cafe nya udah lewat.. Huh gara gara keasyikan ngobrol sampai kelewatan deh..” aku berteriak saat menyadari kami telah melewati kafe yang kami tuju.
“iya sih gara gara keasyikan ngobrol gini deh jadinya, tunggu sebentar aku mutar mobil dulu..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar