Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 13

#15 MAMA DAN AMALIA

“Liburan udah dekat, rencananya kamu kemana yo?” Tanya Arthur saat kami berkumpul dirumahku sepulang sekolah, hari ini kami pulang lebih cepat karena ulangan umum, jadi siapa yang lebih dulu selesai mengerjakan soal, ia sudah boleh langsung pulang.
“Belum tau, nggak ada rencana soalnya, emangnya kamu mau kemana?” Aku balik bertanya pada Arthur.
“Bisanya aku ke lubuk linggau main ke rumah Nenek..”
“Aku sih ketempat bibik saja, di Lahat..” Timpal Arya tanpa ditanya.
“Kalau aku nggak kemana mana, liburan tetap aja dirumah..” Anto nimbrung. Sejak jam sebelas kami berkumpul di taman belakang rumah, suasana disini memang enak dan teduh, mama sengaja mendekorasinya untuk bersantai, tumbuhan bunga dan pohon tabulampot tumbuh tertata seolah olah alami. Ditambah lagi kolam ikan yang dibentuk mirip air terjun mini dan tanaman hias yang merambat. Tadi bik tin sudah mengantarkan sirup jeruk dengan batu es, juga camilan serta kue kue yang enak, teman temanku jadi betah. Anggita duduk di ayunan bersama diah, satu satunya teman cewek yang akrab dengan anggita.
“Gimana kalo kita liburan sama sama aja, ke kebun pamanku di sekayu, enak loh suasananya, aku jamin..” anggita setengah berteriak memberikan usul.
“Wah boleh tuh, pasti asik kita liburan sama sama..” seru arthur penuh semangat.
“tapi kita nanti menginap dimana, soalnya sekayu kan jauh dari sini, mana nggak ada kenalan, ntar malah kita terlantar disana..” arya mengutarakan kekuatirannya.
“jangan takut bego, kalau aku udah nawarin tuh, nggak mungkin nggak dipikir dulu, kita bisa nginap dirumah paman barang dua hari tiga hari, nggak masalah, tambak ikan pamanku luas, kita bisa bakar bakar nantinya..”
“bakar diri kali…” celetuk eka dengan gaya kemayu ciri khas nya.
“iya ntar ramai ramai kami bakar elo..!” cibir bayu cemberut. Eka dan bayu sudah satu bulan ini sering ikut bergabung bersama kami. Kami memang satu kelas. Kedua anak itu sebangku. Eka mengingatkan aku dengan angga, agak kecewek cewekan, ia sedikit latah, tapi tak rugi kami mengajaknya ngumpul soalnya gerak gerik dan tingkahnya menjadi hiburan bagi kami, kalau ada eka, susah rasanya untuk mempertahankan mood sedih, soalnya ia selalu bisa membuat kami tertawa. Kadang tanpa bicara pun ia sukses memancing kami untuk tertawa. Cuma yang sering bikin risih kalau latahnya kumat, tak perduli dimana tempat, ia akan tanpa sengaja melontarkan kata kata jorok yang membuat kotoran kuping orang yang kolot bisa meloncat.
Kami sih oke oke aja dengan hal itu. Tapi bagaimana terkadang muka kami menjadi merah karena menghadapi pandangan marah orang orang. Selebih dari itu eka adalah mesin humor. Sedangkan bayu teman sebangkunya itu suka nyinyir sendiri kalau melihat tingkah eka. Mereka hampir tiap hari perang mulut. Tapi tak pernah sampai berantem apalagi tak teguran. jam empat teman teman bubar, aku masuk kedalam rumah, mama baru saja pulang sedang menutup pintu mobil.
“capek ma?” aku menghampiri mama membantunya membawakan tas kerjanya.
“makasih sayang, capek nggak terlalu, cuma sedikit lelah pikiran..” mama berjalan disampingku ke rumah.
“faisal mana?”
“sejak pulang sekolah, habis ganti baju langsung ngeloyor gitu aja..” jawabku sambil meletakkan tas kerja mama diatas buffet. Mama menghenyakkan tubuhnya dikursi sofa, tangannya memijat mijat pelipisnya.
“mama ada masalah?” tanyaku sambil memperhatikan raut keletihan diwajah mama. Beliau hanya tersenyum.
“mama nggak apa apa sayang, kamu udah makan?”
“udah ma, tunggu sebentar aku buatin teh hangat dulu..” mama tersenyum menganggukan kepalanya.
“makasih ya sayang..” aku langsung pergi meninggalkan mama dan pergi ke dapur, membuatkan secangkir teh.
“ini ma, diminum dulu biar capeknya hilang..” aku meletakkan teh diatas meja.
“assalamualaikum..” kak faisal masuk ke dalam rumah. Dia tak sendirian. Aku hampir tak percaya kak faisal bersama amalia. Mama tertegun melihat amalia yang terlihat sekali seperti segan dan malu.
“eh mama udah pulang ya?” sapa kak faisal agak kikuk, mama tak menjawab hanya mengangguk pelan.
“masuk mel, nggak usah malu..” aku berdiri menyuruh amalia masuk. Dengan ragu amalia masuk ke ruang tamu dan menyalami mama.
“teman sekolah faisal ya?” tanya mama memperhatikan amalia dari atas ke bawah bagai seorang juri yang menilai model yang berjalan dicatwalk, tapi pandangan itu tak menyiratkan kepuasan. Diperhatikan seperti itu sama mama tentu saja membuat amalia semakin salah tingkah hingga ia menjawab pertanyaan mama dengan agak terbata bata.
“i..i..iya tan.. Tante..ss..aya.. Teman sekolah f..faisal..” aku kasihan sekali melihat wajah amalia yang semakin pucat seolah terpidana yang menunggu vonis dari hakim.
“tinggal dimana?” lagi lagi nada pertanyaan mama seperti menghakimi. Amalia terdiam sejenak seolah memikirkan sesuatu yang rumit, tapi aku bisa mengerti dengan kegelisahannya itu, seandainya aku yang menjadi amalia, aku juga akan mengalami rasa gelisah yang sama.
“di sekip tante.. Tak jauh dari masjid nurul hidayah..” jawab amalia nyaris tak terdengar. Mama mengangguk masih mengamati amalia dengan pandangan menilai.
“mama kok kayak petugas investigasi kepolisian aja, disuruh duduk dulu ma, kok orang baru datang bukannya di jamu malah diinterogasi gitu..” protes kak faisal tak enak hati sama amalia. Seperti tersadar mama langsung menyuruh amalia duduk, walau dengan agak ragu, amalia duduk di sofa depan mama. Aku bisa melihat tubuhnya agak gemetaran. Aku jadi kasihan sama amalia.
“papa kamu kerja dimana?” kembali pertanyaan mama keluar, amalia seperti tercekat, bingung harus menjawab apa.
“papanya sudah tak ada lagi ma, ia sekarang dengan ayah tirinya..” kak faisal yang menjawab pertanyaan mama. Amalia semakin dalam tertunduk.
“ayah tiri..? Oh begitu.. Ayah tirimu kerja apa?” mama terlihat sekali ingin tahu pekerjaan ayah amalia.
“aku ke belakang sebentar mau suruh bik tin bikin minum..” ujarku sambil berdiri, mama mengangguk. Aku langsung ke dapur mencari bik tin. Setelah meminta tolong pada bik tin agar membuatkan minuman, aku kembali keruang tamu bergabung dengan mama.
“jadi ayah kamu pengangguran?” suara mama terdengar bagai menyiratkan ketakpercayaan. Amalia mengangguk tanpa suara.
“ibu kamu?” bagai kurang puas dengan jawaban amalia tadi mama kembali bertanya. Kulihat kak faisal ikut ikutan gelisah.
“ma udah dong, amalia kan temannya kak faisal, untuk apa sih mama tanyakan hal tak penting begini..” aku mengingatkan mama agar tak terlalu kebablasan bertanya, karena itu hanya akan membuat amalia semakin merasa tak nyaman.
“siapa bilang pertanyaan mama ini tak penting, selama ini faisal belum pernah membawa satupun temannya yang perempuan kerumah ini, kalau sampai faisal membawanya, pasti ada sesuatu yang khusus dengan mereka, dan mama berhak tau tentang calon menantu mama..” jawab mama tanpa aku sangka sangka. Wajah kak faisal langsung memerah saga, demikian juga dengan amalia. Ia menunduk semakin dalam, jarinya memain main rumbai kursi sofa dengan panik.
“mama apa apaan sih..” sungut kak faisal kesal, ia cemberut memandang mama.
“mama tak mau kalau sampai kamu memilih pacar yang salah sal, apa mama terlalu berlebihan?” mama balik bertanya dan memandang kak faisal tajam. Aku merasa suasana menjadi mulai panas. Bik tin menghampiri kami sambil meletakkan minuman dingin yang aku minta tadi diatas meja. Setelah itu bik tin kembali ke dapur.
“diminum mel..” aku menawari amalia. Ia tersenyum tipis sambil mengangguk, mukanya pucat sekali.
“kamu berapa bersaudara?” mama kembali bertanya.
“lima tante, dua kakak dan dua adik..” jelas amalia risih. Mama mengambil gelas diatas meja dan meminum isinya sedikit, kembali menatap amalia tajam.
“papa belum pulang ya ma?” tanya kak faisal yang aku duga hanyalah alasan untuk mengalihkan perhatian mama dari amalia.
“belum, biasanya juga jam segini belum pulang, kamu kan udah tau.. Kok pake bertanya lagi?” rupanya mama menyadari maksud kak faisal dan itu tak mempan. Aku jadi mengerti sekarang, kenapa kak faisal ragu untuk mengajak amalia kerumah, kalau melihat begini reaksi mama. Aku sebetulnya tak enak hati juga sama amalia, terlihat sekali ia begitu tertekan seolah olah ingin segera terbang jauh jauh dari sini.
“sudah lama kenal sama faisal?” mama mendorong gelas amalia pelan ke arah amalia dan memberi isyarat agar amalia meminumnya. Seperti ragu amalia mengambil gelas minuman itu dan meminumnya sedikit.
“sudah dari kelas satu ma..” kak faisal yang menjawab pertanyaan mama itu.
“kalian udah pacaran berapa lama?” tembak mama langsung pada intinya. Kak faisal langsung tercengang mendengar pertanyaan mama yang nyaris tak terduga duga itu, amalia langsung terbatuk batuk, buru buru melepaskan gelas dari bibirnya dan menaruh kembali ke meja. Sebagian minuman membasahi bagian depan bajunya. Mata mama mendelik melihat amalia yang panik mencari saputangan untuk membersihkan bajunya yang putih berceceran noda merah muda. Aku menarik nafas prihatin. Kak faisal cepat cepat menghampiri amalia dan membantunya mengelap baju amalia. Mama melihat adegan itu dengan mata melotot tak suka.
“Sal, dia belum jadi isteri kamu, jangan terlalu berlebihan…!” ujar mama dengan suara tinggi. Kak faisal seperti tak mendengarkan kata kata mama terus saja berusaha membantu amalia. Dengan risih amalia mencoba menolak bantuan kak faisal, hatiku tiba tiba menjadi kesal melihat kak faisal yang begitu perhatian sama amalia.
“mama betul kak.. Kalian itu cuma pacaran..!” kak faisal langsung berbalik begitu mendengar kata kataku tadi, ia terdiam sejenak, menggaruk kepalanya yang tak gatal, mama melemparkan lirikan penuh arti padaku. Senang karena aku mendukung kata katanya tadi. Kak faisal duduk kembali, kulihat ekspresi wajah amalia nyaris nyaris seperti mau menangis.
“rio kekamar dulu ya ma..” aku beranjak dengan sebal, mama mengangguk. Tanpa melihat kak faisal dan amalia lagi aku langsung meninggalkan mereka dan masuk ke kamarku.
Aku menghempaskan tubuh ke tempat tidur, terkenang kak faisal yang begitu perhatian sama amalia membuat perasaanku tak menentu. Sebetulnya wajar saja kak faisal demikian karena amalia pacarnya. Namun hati kecilku tak sanggup untuk menerimanya. Aku mulai mengerti perasaan ini, apakah aku menyukai kakakku sendiri… Kalau itu memang betul aku bingung harus bagaimana. Aku ternyata memang seorang gay dan parahnya lagi aku menyukai kakakku sendiri, dulu aku bingung mengartikan apa yang aku rasakan terhadap rian, rupanya itu adalah perasaan mendamba. Aku tak mungkin mengatakan terus terang tentang perasaanku ini, kak faisal bisa membenciku nantinya. Aku tak ingin itu terjadi. Andai keluargaku tau, entah apa reaksi mereka. Aku tak ingin membuat suasana rumah yang tenang menjadi panas. Aku sadar, aku harus menerima resiko atas perasaanku ini. Aku hanya bisa diam diam mencintai kak faisal. Aku tak bisa berbuat apa apa untuk menghalaunya. Biarlah rasa ini akan hilang sendiri nantinya. Aku yakin aku bisa mengatasinya. Namun entah kenapa semakin aku mencoba untuk menenangkan diri, semakin kalut perasaanku. Aku sudah menyadari jati diriku yang sesungguhnya, aku makin merasa tak menentu ketika menyadarinya.
Aku turun dari tempat tidur, kemudian keluar dari kamar. Aku mengintip mama, kak faisal dan amalia dari balik gorden. Entah apa yang sedang mama katakan. Namun wajah kak faisal terlihat tegang sementara amalia tak berani menatap mama. Pastilah mama sedang menasehati mereka berdua. Aku tau mama tak setuju kak faisal berpacaran dengan amalia. Aku tak lagi membenci amalia, karena aku tau, bukan amalia yang aku benci, tapi aku benci pada diriku sendiri yang menaruh perasaan yang tak pada tempatnya. Siapapun pacar kak faisal, akan membuat aku merasa cemburu. Tapi mama beda, ketaksetujuan mama lebih diakibatkan pada latar belakang keluarga amalia. Sebetulnya aku juga tak setuju dengan mama, aku juga berasal dari keluarga dengan latar belakang yang nyaris tak beda dengan amalia. Aku telah merasakan bagaimana pahitnya tak memiliki apa apa. Hidup hanya untuk bertahan asalkan bisa makan.
Tak bisa memiliki barang barang bagus yang diinginkan seberapa kuat menginginkannya. Cari makan sehari untuk makan sehari. Tapi aku mempunyai keluarga yang harmonis. Walaupun dulu aku dan yuk tina kurang akur tapi akhirnya kami berdua bisa mengatasi masalah itu. Aku jadi merasa begitu jahat pada kak faisal, dalam hati kecilku aku merasa senang mama tak menyetujui hubungan mereka. Aku belum siap melihat kak faisal berpacaran. Kak faisal yang selalu baik dan perhatian padaku. Setiap hari dirumah selalu bersama kak faisal. Membuat aku menyayanginya lebih daripada sekedar sayang terhadap kakak.
Aku melihat amalia berdiri dan menyalami mama. Kemudian amalia berjalan ke pintu. Mama tak bergeming sementara kak faisal mencoba untuk menahan amalia, namun amalia seolah tak perduli dengan langkah terburu buru segera meninggalkan kak faisal. Mama berbalik masuk ke ruang tengah. Saat melihatku, mama tersenyum simpul kemudian naik ke tangga menuju kamarnya.
Aku segera menemui kak faisal, yang berusaha menarik tangan amalia namun ditepis amalia, setelah terlepas amalia langsung berlari meninggalkan pekarangan rumah dan kak faisal yang termangu.
“kenapa kak?” tanyaku pura pura prihatin. Kak faisal memandangku dengan sedih, matanya berkaca kaca. Ia menggelengkan kepala tanpa semangat dan berjalan meninggalkanku dengan lesu. Betapa aku ingin memeluk kak faisal dan menghiburnya. Tapi aku tak ingin jadi munafik karena sebetulnya aku senang sekali melihat kejadian tadi. Kasihan kak faisal, aku nyaris kesulitan menyembunyikan perasaan senang dalam hatiku. Aku akan masuk neraka karena hal ini, Aku membatin.
************



tumben malam ini kak faisal tak kemana mana, ia hanya berkurung dalam kamar, saat aku masuk, wajah kak faisal sangat kusut. Aku menghampiri kak faisal dan mencoba menghiburnya, namun kak faisal hanya tersenyum dipaksakan, sekedar menghargai jerih payahku saja. Selama aku tinggal dirumah ini, belum pernah sekalipun aku melihat wajah kak faisal semurung ini, biasanya kak faisal selalu ceria dan penuh semangat. Aku menjadi makin iri dengan amalia, begitu berpengaruhnya amalia membuat kak faisal seperti ini.
Aku mengajaknya main game tapi kak faisal menggeleng, aku ajak makan ia juga menggeleng. Akhirnya ia menyuruh aku meninggalkan ia sendirian karena ia lagi tak mau bicara apa apa dan ingin sendirian saja tanpa ada yang mengganggu.
Aku menghela nafas kesal. Bahkan aku pun tak mampu membuat kak faisal mampu sejenak melupakan amalia.
“faisal didalam?” tanya mama yang berdiri didepan kamar kak faisal.
“iya ma, ia lagi tak mau di ganggu..” jawabku sambil menutup pintu kamarnya.
“nanti ia akan mengerti kalau maksud mama itu baik.. Ia masih terlalu muda, masih panjang jalan yang akan ia lalui nanti.. Kalau salah memilih pacar dan isteri, hanya akan membuatnya terjatuh.. Mama tak mau masa depannya jadi kacau hanya karena ini..” urai mama panjang lebar. Aku mengangguk, namun tak sepenuhnya menyimak. malam ini gerimis turun, suasana agak dingin, jalanan agak sepi dari kendaraan yang melintas, seharian aku dikamar memandangi rinai air hujan yang membasahi tanah. Daun daun bergoyang karena berat menampung tetesan air yang mengumpul diatasnya. Suasana hatiku saat ini tak menentu, kak faisal mengurung diri dalam kamar sejak tadi sore, aku sudah coba memanggilnya tapi tak ada respon, entah kak faisal sudah tidur atau ia memang sengaja tak menjawab. Aku tak tahu kak faisal pasti marah sama mama, tapi mama pasti punya alasan tak menyetujui hubungan kak faisal dengan amalia. Walaupun aku tak sepenuhnya setuju kalau materi yang dijadikan alasannya.
“rio.. Udah tidur ya?” terdengar suara om sebastian dari luar kamarku sambil mengetuk pintu.
“belum om.. Masuk aja..” jawabku agak keras. Handle pintu diputar pintu terbuka, om sebastian masuk kedalam kamarku.
“lagi ngapain yo?” aku menoleh ke om sebastian.
“nggak ngapa ngapain om, emangnya kenapa?”
“jalan sama om mau nggak?” om sebastian berdiri disampingku.
“kan gerimis, emangnya om mau mengajak aku kemana?” om sebastian melingkarkan lengannya di bahuku.
“Nanti kamu juga tau sendiri, mau nggak?” om sebastian mengulangi pertanyaannya. Aku mengangguk cepat, aku senang om sebastian mengajak aku jalan jalan, selama aku disini, baru kali ini om sebastian mau mengajak aku dan aku tak mau menyia nyiakan kesempatan ini. Setelah pamit sama mama dan papa, aku mengikuti om sebastian ke garasi, om sebastian menyuruh aku masuk ke dalam mobil, tadinya aku kira om sebastian bakalan mengajak aku jalan pake motornya. Sepanjang perjalanan kami mengobrol dengan asik, banyak hal yang aku ceritakan sama om sebastian, termasuk kejadian tadi sore. Om sebastian agak terkejut mendengar ceritaku itu. Ia cuma menggeleng gelengkan kepalanya.
“ini 19 ilir, masjid itu namanya masjid agung..” om sebastian menunjuk sebuah masjid berwarna putih yang megah, aku terpana menatap masjid itu, memang sebelumnya aku sudah pernah melihat masjid agung, soalnya teman teman sering mengajak aku berkeliling di jalan merdeka ini.
“wah om, masjid itu bagus banget ya..” aku berkomentar sekadar menyenangkan hati om sebastian.
“iya yo.. Kalo dibanding dengan masjid terbesar di bangka, masih besar masjid agung.. Dibangka itu surau..hehehe” om sebastian menyombongkan kemajuan kotanya. Aku mencibir mendengar om sebastian.
“kita ke jembatan ampera aja.. Kamu pasti belum pernah melihat jembatan itu malam hari.”
“wah boleh tuh om” jawabku antusias. meskipun gerimis banyak yang nongkrong di area dekat jembatan ampera, om sebastian memarkir mobil di tempat yang agak strategis dekat pinggiran sungai. Beberapa gerobak berbaris menjual nasi goreng, mie rebus dan macam macam makanan. Aku menyusuri pinggiran sungai musi yang beriak riak berkilau terkena pancaran cahaya lampu. Betul betul indah.
“kesitu aja ya..!” tunjuk om sebastian ke satu arah. Aku mengangguk mengikuti om sebastian. Dibeberapa sudut kulihat ada beberapa orang sedang berdua duaan, sepertinya mereka sedang pacaran.
“om kok nggak bawa pacarnya aja?” tanyaku ingin tau. Om sebastian tak menjawab, ia tersenyum kecil dan merangkul pundakku.
“duduk disini aja ya, kamu lapar nggak, mau om beliin bakso?”
“boleh om, agak lapar nih.. Hehehe..”
“tunggu disini sebentar, jangan kemana mana..” om sebastian meninggalkanku, ia mendekati gerobak bakso yang berada tak begitu jauh dari tempat aku duduk. Aku memandang ke depan melihat air sungai yang berombak kecil, rinai air hujan yang setipis benang masih jatuh sesekali membentuk bercak tak kasatmata diatas sungai.
“terkadang kalau lagi suntuk om bisa berjam jam duduk disini, rasanya begitu tenang..” ujar om sebastian yang tak aku sadari sudah berdiri di sampingku. Aku memandang om sebastian dengan tertarik.
“dulu om selalu disini bersama pacar om…” om sebastian menggantung kata katanya.
“lalu, dimana pacar om sekarang?” tanyaku dengan penasaran. Om sebastian tercenung menatap sungai dengan nanar, seolah sedang mengingat kejadian yang telah berlalu.
“itu sudah lama sekali, bertahun tahun lalu waktu om masih sma…”
“pacar om sekarang dimana?”
selidikku curiga melihat ekspresi sedih yang jelas terpeta di raut wajah om sebastian.
“dia sudah lama meninggal…” tandas om sebastian dengan suara bagai tercekik. Aku terpana menatap wajah om sebastian. Keheningan beberapa saat antara aku dan om sebastian, hingga penjual bakso mengantarkan dua porsi bakso pesanan om sebastian tadi.
“dimakan rio, ntar keburu dingin..!” perintah om sebastian karena melihat aku masih bengong dan mengabaikan bakso yang ditaruh bapak tadi di sampingku.
“iya om..” aku mengangguk, om sebastian juga mengangkat mangkok baksonya. Kami makan bakso tanpa bicara hingga habis seluruh isi dalam mangkok. Aku menaruh mangkok kosong disampingku.
“pacar om meninggal karena apa?”
aku masih penasaran dengan cerita om sebastian yang belum tuntas.
“kecelakaan…” jawab om sebastian refleks.
“ke...ce..la..ka..an....?” aku setengah tak percaya. Om sebastian mengangguk.
“kok bisa begitu om…?” suaraku bergetar menanyakan itu.
“sudahlah om mau melupakan tentang itu, ..” om sebastian menunduk seolah serius melihat air sungai. Aku tak bertanya lagi karena tak mau membua om sebastian jadi sedih, bukannya malam ini kami berdua keluar untuk bersenang senang.
**************


#16 KAK FAISAL NGAMBEK

om sebastian mengajak aku pulang, karena hari sudah agak larut, sepanjang perjalanan kami membisu, sibuk dengan pikiran masing masing, wajah om sebastian sedikit muram, Tanpa terasa kami telah sampai dirumah. Aku turun dari mobil langsung masuk ke rumah. sementara om bastian menaruh mobil dalam garasi.
“darimana rio, mama udah tunggu dari tadi…” terdengar suara mama dari pintu kamarnya. Aku langsung menoleh dengan heran, tak biasanya mama menungguku, ada apa ini. Lagi pula suara mama terdengar agak aneh seperti bicara agak ditahan tahan.
“kenapa ma?” Bmama menghampiriku, wajahnya putih tertutup masker tebal, sementara rambutnya masih digulung dengan roll.
“dari tadi siang faisal tak keluar, coba kamu bujuk dia suruh makan..!” ujar mama seperti berbisik, mulutnya nyaris tak bergerak, sebentar sebentar ia menyentuh pipinya dengan telunjuknya pelan pelan.
“kenapa sih ma.. Biasa aja ngomongnya, nggak usah bisik bisik gitu…?” aku agak sebal. Mama menggeleng sambil menunjuk wajahnya dan berkata hati hati.
“mama lagi maskeran, bisa retak kalo terlalu banyak ngomong..” huuuu.. Dasar mama, udah tau anaknya lagi ngambek, masih aja sempat maskeran, padahal papa lagi ke luar kota, mama memang tak bisa di tebak jalan pikirannya. Aku berlalu dari hadapan mama, bertepatan om sebastian masuk keruang tamu.
“mau kemana rio?” tanya om sebastian terus berjalan.
“kekamar kak faisal om..” kataku sambil berjalan menuju kamar kak faisal. Om sebastian masuk ke kamarnya. Mama duduk didepan televisi tapi pandangannya ke arahku. Pelan pelan aku ketuk pintu kamar kak faisal dan ku panggil dia, tak ada jawaban. Aku ulangi lagi, namun tetap tak dijawab, apakah kak faisal sudah tidur, padahal kan ia belum makan, kasihan kak faisal ia pasti sangat kelaparan, kak faisal pasti sengaja melakukan ini sebagai bentuk protesnya terhadap mama. Tanpa putus asa aku terus mencoba memanggil kak faisal, aku yakin kak faisal belum tidur, soalnya saat aku menempelkan telinga ke daun pintu. aku mendengar seperti ada suara berkresek yang langsung hilang dari dalam kamar.
“kak, bukain dong, rio mau ngomong sama kakak..” aku mengeluarkan suara memelas biar kak faisal luluh.
“kak, apa kakak marah sama rio.. Kok kakak nggak jawab.. Kak.. Buka dulu sebentar..” aku tak menyerah, akhirnya tak sia sia usahaku, terdengar sahutan dari dalam kamar.
“tunggu bentar dek..” aku menghela nafas lega, mama yang sedang memperhatikan aku langsung berdiri, namun aku cepat cepat memberi isyarat agar mama tak buru buru menghampiriku, soalnya kak faisal nggak bakalan mau keluar kalau dia tau ada mama. pintu kamar kak faisal terbuka, kak faisal berdiri didepan pintu menatapku dengan heran.
“kenapa kamu?” tanya kak faisal dengan nada seolah olah aku sudah gila.
“kak faisal nggak makan?” tanyaku cemas.
“nggak..!” jawab kak faisal ketus.
“nanti kak faisal sakit.. Makan ya kak..!”
“biarin aja, biar mama puas..”
“kakak nggak boleh begitu.. Mama pasti ingin yang terbaik untuk kak faisal..” aku hampir putus asa dengan kekeras kepalaannya.
“mama tau apa.. Yang terbaik untuk mama belum tentu terbaik untukku..” kak faisal ngotot.
“boleh aku masuk kak?” tanyaku hati hati.
“ngapain?”
“ya temani kakak aja..”
“nggak usah, aku mau sendirian..”
“sebentar aja kak..” pintaku memelas.
“nggak…” kak faisal mendelik.
“sebentaaaaar aja kak..”
“cerewet!.. Awas kalo lama..!” kak faisal cemberut sambil melebarkan pintu, aku masuk kedalam dan duduk diatas tempat tidur. Kak faisal menutup pintu secepat kilat. Aku terpana melihat tingkah kak faisal. Setelah mengunci pintu, kak faisal menghampiriku dan menghempaskan tubuhnya keatas tempat tidur.
“kakak sebel sama mama.!” gerutu kak faisal. Aku pandangi kak faisal, wajahnya memang murung tapi tak pucat, padahal dari tadi siang belum makan.
“nanti rio bantu bicara sama mama kak, tapi mendingan kakak makan dulu, nggak ada gunanya kalo udah sakit..” aku mencoba memberikan jalan keluar.
“nggak ah, nggak ada selera… Kamu aja gih makan sana kalo laper..!” kak faisal mendumel.
“loh kok malah rio yang kakak suruh makan, rio itu udah berapa kali makan dari tadi kak, masa sih gara gara amalia kakak jadi cengeng kayak gini..” aku mendesah melihat kelakuan kak faisal yang kayak anak kecil. Kak faisal mendadak bangun dan beringsut cepat duduk disampingku.
“apa maksud kamu bilang kakak cengeng?” tuntut kak faisal tak terima. Aku menahan senyum, lucu juga melihat kak faisal kalau sedang merajuk.
“ya apalagi kalo bukan cengeng kalo ada masalah mengurung diri dalam kamar kayak cewek aja..” tapi kata kataku terputus karena kak faisal langsung menowel keningku.
“enak aja kalo ngomong..!” kak faisal berdiri kemudian berjalan dengan cepat menuju ke televisi dan membuka laci dibawah televisi. Kak faisal mengeluarkan satu bungkusan plastik hitam kemudian ia lemparkan ke arahku. Untung saja aku sigap menangkapnya.
“apa ini kak?” tanyaku heran sambil membuka bungkusan plastik itu. Mataku terbelalak begitu tahu apa isi dalam kantong plastik ini.
“puas!!” ujar kak faisal kembali menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Aku mengangkat bahu dan menggelengkan kepala, dasar kak faisal emang tak mau rugi, rupanya ia makan juga dari tadi walaupun berkurung dalam kamar. Kak faisal menyiapkan roti di kamarnya. Bodoh sekali aku kenapa sampai tak terpikir kalo biasanya dikamar kak faisal ada makanan.
“awas kalo dibilangin sama mama ya!” kak faisal mengacungkan tinjunya ke arahku.
“dasar curang!” aku menimpuk kak faisal dengan bantal.
“hei apa apaan ini dek..!” kak faisal kelabakan menghindar. Aku terus memukuli kak faisal, ia Akhirnya karena capek aku berhenti dengan nafas tersengal sengal.
“adek ini ngerusak mood aja..!” gerutu kak faisal sambil tertawa.
“salah kak fai sendiri.. Ada masalah bukannya berbagi… Ini malah milih menyepi..” cibirku sambil baring disamping kak faisal.
“mama ada ngomong apa tadi?” tanya kak faisal penasaran.
“mama cuma kuatir kakak nggak makan aja.. Percuma kak, sepertinya mama tetap nggak akan setuju kakak pacaran sama amalia…” aku mencoba jujur, namun itu malah membuat kak faisal kembali murung.
“mama tak berhak melarang larang aku pacaran dengan siapapun.. Lagian dia bukan mama kandungku.” aku terkejut mendengar apa yang barusan kak faisal ucapkan. Tak kusangka sama sekali kalau ia akan mengatakan itu.
“kak… Kenapa ngomong kayak gitu, mama melakukan itu karena ia sayang sama kakak.. Mama sudah menganggap kak faisal anak kandungnya kak.. Tak pantas kakak bicara kayak gitu..” suaraku agak tinggi karena tersinggung, tak kusangka kak faisal bisa sepicik itu.
“kalau mama memang sayang kenapa ia tak suka melihat kakak senang..” bantah kak faisal masih tetap dengan pendiriannya. Aku menarik nafas dalam, susah juga rupanya kalo kak faisal sudah ngambek, baru keliatan kalau ia keras kepala.
“terserah kakak menilai mama, mungkin mama belum tau siapa amalia, nanti juga kalau kakak sabar, mama mungkin akan luluh.. Lagipula amalia kan cukup baik kak..” nasehatku sok bijak.
“iya kalo emang gitu, gimana kalo mama tetap nggak bisa terima?” kak faisal mulai ragu.
“ya kakak mengalah aja, lagipula kalian kan masih muda juga, itu kan cuma cinta monyet..”
“huuuu.. Lo itu monyet, tak ada cinta monyet dalam kamusku.. Kakak serius sama amalia.. Kakak mau nanti kalau kakak dewasa, menikah sama amalia…!” kak faisal berkeras. Ada yang menghimpit dadaku saat mendengar pernyataan kak faisal, entah kenapa aku jadi sedih, aku merasa begitu cemburu pada amalia, begitu sayangnya kak faisal padanya. Rasanya tak rela kak faisal dimiliki orang lain.
“dek.. Kakak ngantuk, adek mau tidur disini atau dimana?” nada kak faisal setengah mengusir.
“rio tidur dikamar rio aja kak..” jawabku sambil bangun dan turun dari tempat tidur.
“tolong matiin lampunya dek..” ujar kak faisal sambil menarik selimut. Aku menekan sakelar hingga kamar kak faisal gelap, kemudian aku keluar dan menutup pintu. Mama sudah tak ada lagi diruang menonton, jam sebelas sekarang, seisi rumah pasti sudah tidur. Aku masuk kamar dan tidur. Aku terbangun subuh subuh karena bermimpi buruk, dan tak bisa tidur lagi hingga terang. Jadi aku pergi ke sekolah dengan keadaan mata masih mengantuk.
Pulang sekolah keadaan rumah begitu sepi. Tadi kak faisal tak aku temukan di sekolah, padahal tadi pagi aku lihat ia berangkat walau lewat pintu belakang dan nggak pamit sama mama maupun papa. Kemana kak faisal bolos, agus, rizal dan teman temannya yang lain aku lihat ada di sekolah. Kalau mama tau kak faisal bolos, pasti mama bakalan marah. Aku duduk di depan teras, kemana sih seisi rumah ini, kok nggak ada. Kalau mama dan papa sih pasti masih di kantor, tapi bik tin kok nggak ada. Setengah jam aku menunggu karena tak bisa masuk. Untunglah tak berapa lama kemudian om sebastian pulang dengan motornya. Om sebastian agak heran juga melihat aku duduk diteras masih mengenakan seragam sekolah.
“kok nggak masuk rio?” tanya om sebastian naik ke tangga teras dan membuka sepatunya.
“nggak ada siapa siapa dirumah om..” jawabku sambil berdiri.
“ya ampun om lupa bilang, bik tin tadi pulang kampung, katanya ibunya sakit.. Jadi dia harus pulang..” om faisal menepuk keningnya dan tertawa.
“rumah dikunci..” sungutku sebal.
“tunggu sebentar, biasanya kunci di tinggal di situ.” ujar om faisal mendekati pintu dan berjongkok mengangkat vas bunga lalu menuang isinya ke telapak tangannya. Betul saja sebuah anak kunci langsung meluncur dari dalam vas ke telapak tangan om sebastian.
“kamu pasti belum makan.,” om sebastian memutar anak kunci di lobangnya dan pintu terbuka. Aku mengikuti om bastian masuk.
“gerah banget ya..” om sebastian membuka kancing baju bagian atas.
“rio mau ke kamar dulu om, ganti baju.” kataku sambil berjalan menuju kamarku.
“iya om juga mau ganti baju.” jawab om sebastian.
Waktu aku memakai baju, terdengar pintu kamar di ketuk..
“dek.. Buka pintu.. Kakak mau ngomong.!” suara kak faisal terdengar. Cepat cepat aku buka pintu. Kak faisal langsung masuk.
“udah mandi dek?”
tanya kak faisal sambil mengamatiku dari atas hingga kebawah.
“Sudah kak Kenapa...?” tanyaku agak heran. Kak faisal mengernyitkan keningnya.
“dek tolong jangan di bilang sama mama kalo tadi kakak bolos..” suara kak faisal memelas.
“iya kak..”
“mau ikut kakak jalan nggak?” tawar kak faisal.
“rio kurang enak badan.. Kakak pergi aja, rio mau istirahat..” kak faisal menatapku tajam.
“Kalau memang sakit mendingan kerumah sakit aja dek, bilang sama mama minta antar ke tempat praktek dokter langganan mama..” kak faisal menunjukkan perhatiannya. Aku jadi terharu, walaupun ia juga sedang banyak pikiran namun masih perduli padaku.
“makasih kak, kayaknya sih cuma demam biasa, dibawa tidur juga sembuh kok.. Nggak usah ke dokter..!”
“ya sudah.. Kamu istirahat saja, kakak mau jalan dulu, bete dirumah..”
“kakak mau kemana?”
“rumah amalia, mau minta maaf sama dia..” jawab kak faisal.
“hati hati kak.. Semoga berhasil.” kak faisal tersenyum lebar, kemudian ia menghampiriku dan memelukku.
“makasih dek…” aku membisu, ingin rasanya menangis. Pelukan kak faisal sedikit mengangkat beban dihatiku. Andai saja kak faisal tau apa yang aku rasakan terhadapnya, masih maukah ia memelukku seperti ini, andai juga ia tau apa yang baru saja terjadi, apakah kak faisal tak akan memandang rendah aku? Aku takut kak faisal jadi berubah bila mengetahui semua ini. Kak faisal melepaskan pelukannya kemudian keluar dari kamarku. Aku mencoba memejamkan mata namun sulit sekali untuk tidur. Terlebih ingat dengan emak, rasanya aku mau kembali saja ke bangka, tenang dalam lindungan emak. tak ada masalah berat walaupun hidup bersahaja.
sudah tiga hari ini om sebastian tak pulang kerumah, aku tak tau apa ia memang sibuk kerja. Kak faisal juga mulai jarang tidur dirumah, ia langsung pergi setelah pulang sekolah, tanpa memberitahuku kemana. Mama tak punya kesempatan untuk menegurnya karena kak faisal terlihat sekali menghindari mama, aku betul betul kesepian dirumah, bik tin belum pulang dari kampung. Jadi setiap hari mama beli makanan jadi.
Siang itu saat aku sedang sendirian dirumah, baru saja mau mengambil piring di rak, tiba tiba terdengar suara motor om sebastian.
“rio.. Kamu didalam?”
“om lagi ngapain ngintip kamar rio?” terdengar suara kak faisal. Dari balik jendela aku lihat kak faisal berjalan menghampiri om sebastian dan ikut ikutan menempelkan wajahnya ke kaca untuk mencari tau. Ia nyengir lebar saat melihat aku.
“dek lagi ngapain?” tanya kak faisal dari balik jendela. Aku tersenyum
“nggak apa apa kak, cuma ketiduran tadi..” jawabku sambil membuka pintu kamar lalu keluar menemui kak faisal yang ternyata sudah masuk ke dalam rumah.
“mama belum pulang dek?”
“belum kak.. Mungkin sebentar lagi..”
“ikut kakak kerumah koko ya dek..” ajak kak faisal.
“ngapain kerumah koko kak?” aku agak heran.
“tadi kakak kerumahnya, mama koko arisan ntar malam, dan katanya banyak makanan, jadi ia nyuruh kita datang, mamanya bilang gitu dek..” kak faisal menjelaskan. Aku mangut mangut.
Om sebastian yang sedang duduk di depan televisi sambil makan bertanya saat melihat aku dan kak faisal.
“mau kemana fai?”
“kerumah koko om..” jawab kak faisal singkat.
“bareng rio ya..?”
“iya om.. kami jalan dulu ya om..” aku yang menjawab
“hati hati di jalan, jangan ngebut...” om sebastian memperingatkan. Aku mengangguk sementara kak faisal tak menjawab. Baru saja aku dan kak faisal mau keluar rumah tiba tiba......
“assalamualaikum..”
mama rupanya sudah pulang.
“waalaikum salam.. Udah pulang ma..”
jawabku sambil membantu mama membawa barang barang belanjaannya ke dapur.
“iya sayang.. Bibik belum pulang jadi mama musti pulang lebih awal, hari ini mama mau masak..”
ujar mama sambil meletakkan sepatunya di rak.
“aku mau jalan bareng kak faisal ma, kami mau kerumah koko..”
“iya tapi jangan sampai larut malam ya..” mama mengangguk mengerti. Kak faisal belum teguran sama mama, ia masih kesal atas sikap mama terhadap amalia.
“mama ke kamar dulu, ganti baju..” mama naik ke tangga menuju kamarnya.
*******************


Seperti sudah menunggu, mama koko menyuruh aku dan kak faisal masuk. Koko sedang membantu pembantunya membereskan meja makanan.
“hai rio… Udah ditunggu dari tadi..” ujar koko menghampiriku dan kak faisal.
“duduk dulu, nih aku lagi beresin meja..” koko mempersilahkan. Aku dan kak faisal mengangguk kemudian duduk.
“nak rio, sebentar ya sayang.. Tante ngambilin kue.. Pasti nak rio suka..!” mama koko tersenyum lebar tergopoh gopoh ke dapur seolah menjamu tamu istimewa. Aku tertunduk malu, jadi nggak enak melihat keakraban keluarga koko padaku. Kak faisal sepertinya tak keberatan, ia tersenyum simpul melihat kesibukan mama koko.
“enak juga ya dek punya wajah yang mirip sama orang…” bisik kak faisal.
“apaan sih kak..” balasku jengah.
“ini kue nya.. Coba dicicip ya nak rio, nak faisal.. Nggak usah malu malu.. Masih banyak kok..!” mama koko meletakan piring besar berisi kue cokelat yang terlihat sangat lezat sekali. Ada buah cherry di tiap tiap puncak potongan kuenya mirip dengan yang aku sering lihat di buku buku.
“sebentar ya tante siapin empek empek dulu.. Sementara menunggu, dicicip dulu kuenya ya..!” mama koko meninggalkan kami. Aku dan kak faisal makan kue ditemani koko.
“tiap hari mama itu nanyain kamu terus..” beritahu koko. Aku menelan kue dalam mulutku.
“masa sih ko?” tanyaku heran.
“iya yo.. Kamu nggak tau betapa sayangnya mama sama almarhum dulunya..” jelas koko. Aku terdiam, kasihan juga keluarga koko harus kehilangan sosok yang mereka sayangi dalam keluarga mereka. Mama koko keluar dari dapur sambil membawa empek empek panas baru digoreng. Kemudian menaruh diatas meja. Mama koko menghampiri kami.
“udah siap empek empeknya. Ayo kita makan sama sama..” tawar mama koko. Aku menoleh ke kak faisal, ia mengangguk.
“ayo ntar keburu dingin.” tambah koko. Aku dan kak faisal berdiri dan berjalan menuju ke meja makan.
“makan yang banyak nggak usah malu malu…” ujar mama koko sambil menuang cuka dalam mangkuk kecil lalu mengulurkan padaku.
“iya tante.. Makasih banyak..” jawabku sedikit malu sambil mengambil mangkuk yang diberikan mama koko.
“wah ada pesta ya,.. Om ketinggalan nampaknya..” serempak kami menoleh ke arah datangnya suara. Ternyata om alvin bersama anak dan isterinya.
“wah kok ndak kasih tau mau balik hari ini..?” mama koko agak kaget.
“iya kak.. Soalnya kakaknya sophie tadi siang udah keluar dari rumah sakit..” jelas om alvin sambil menghampiri kami.
“enak banget nih aromanya.. Kebetulan kami memang belum makan malam..” om alvin menarik kursi dan bergabung bersama kami. Isteri om alvin, tante sophie duduk disamping om alvin.
“om.. Ini rio teman koko yang mirip sama kak johan..” ujar koko tak ku sangka sangka. Om alvin tersenyum padaku.
“iya betul betul mirip johan.. Kok bisa ya..”
“dia itu mirip om juga.. Soalnya kan wajah kak johan mirip banget sama om..” celetuk koko membuat aku mukaku jadi mengembang karena malu.
“iya pa.. Kalau dilihat ia mirip banget sama papa..” tambah tante sophie.
“rio tinggal dimana?” tanya om alvin.
“sekip om..” jawabku singkat menghindar dari tatapan om alvin.
“dek alvin dimakan dulu, katanya lapar..” mama koko mengingatkan.
“oh iya.. Malah jadi ngobrol..” balas om alvin sambil mengambil sepotong empek empek telor. Jadilah malam itu kami makan sambil membahas kemiripan wajahku dengan almarhum johan dan juga om alvin. Selesai makan koko mengajak aku dan kak faisal duduk di taman depan rumahnya.
“ko..om alvin sudah lama menikah dengan tante sophie?” aku bertanya karena merasa penasaran. Tadi waktu duduk dekat om alvin aku merasa seperti begitu ingin lebih dekat lagi. Entah kenapa bagaikan ada dorongan dari hati untuk mengetahui tentang om alvin lebih banyak.
“sudah sih, sekitar 6 tahunan lah.. Dulu sih sempat heboh juga.. Soalnya pernah dulu kejadian om alvin mau menikah tapi menurut cerita mama, orangtuanya tak merestui.. Soalnya mereka cukup trauma dengan kepergian mama yang menikah dengan papa..” koko bercerita. Aku diam mendengarkan cerita koko.
“jadi om alvin sama tante sophie itu di jodohkan ya..” tanya kak faisal ingin tau.
“iya.. Menurut mama, om alvin tak mau lagi menjalin hubungan dengan perempuan.. Ia sulit melupakan pacarnya yang dulu..” koko merenung.
“tapi sepertinya hubungannya dengan tante sophie begitu harmonis.” ujar kak faisal.
“dulunya om alvin menentang perjodohan itu, aku dengar mereka sudah beberapa kali bertengkar hingga hampir bercerai, namun om alvin masih memikirkan anaknya..” jelas koko. Aku merasa simpati sama om alvin, pastilah berat baginya menjalani pernikahan tanpa rasa cinta.
“sebetulnya mama juga kurang suka sama tante sophie, kebiasaanya yang suka berdandan, belanja. Dan tak mau masak, bagi mama tak pantas dilakukan oleh wanita yang sudah menikah.. Untung saja om alvin cukup sabar, dan hingga kini bisa mengimbangi tante sophie..” tambah koko panjang lebar. Mendengar penjelasannya itu aku merasa seakan telah mengenal om alvin.
“ko.. Udah setengah sepuluh, kami pulang dulu ya..” pamit kak faisal melirik arloji di tangannya.
“kok buru buru amat sih.. Nanti aja lah..” koko mencoba menahan kak faisal.
“adek udah mau pulang belum.. Kalo belum kakak pulang dulu..” tanya kak faisal padaku. Aku jadi bingung.
“udah lah rio ntar aja, biarlah kalo faisal mau pulang duluan, ntar aku bisa antarin kamu pulang.” tawar koko. Aku diam sejenak mempertimbangkan. “oke lah.. Kakak pulang aja duluan ntar aku biar diantar koko aja..” jawabku.
“oke kalau gitu aku pulang duluan..” kak faisal meninggalkan kami. Setelah kak faisal pergi koko mengajak aku masuk ke dalam. Mama koko sedang ngobrol sama om alvin, tante sophie dan anaknya tak kelihatan.
“tante mana om?” tanya koko.
“udah tidur ko..eh mana teman yang satunya lagi.” tanya om alvin.
“faisal udah pulang om, aku masih mau ngobrol sama rio...”
“menginap disini aja nak rio.. Tempat tidur koko luas kok..” ujar mama koko dengan nada berharap.
“kapan kapan aja tante, soalnya aku belum izin sama mama..” aku menolak secara halus.
“kan ada telpon, coba telpon aja ke rumah..” mama koko memberi usul.
“iya rio.. Nggak apa apa kok.. Sekalian temani koko..” tambah om alvin. Aku terdiam, nggak enak juga menolak kebaikan mereka, lagipula aku merasa sangat nyaman disini. Akhirnya aku mengangguk setuju. Aku pinjam telpon rumah koko memberitahu mama, untung saja mama mengizinkan. Mama koko senang sekali begitu tau aku diperbolehkan menginap disini. Kami mengobrol hingga jam sebelas sampai akhirnya mama koko mengantuk dan pamit tidur. Sementara itu om alvin dan koko belum mengantuk mengajak aku menonton bola. Aku nggak suka bola, jadi hanya dia depan televisi pura pura menikmati permainan konyol itu. Setelah setengah jam aku mulai bete. Baru saja aku mau bilang kalo aku ngantuk dan mau tidur, tiba tiba koko berdiri.
“Rio nonton aja dulu, aku ke kamar mau tidur dulu, nggak apa apa kok ada om alvin yang temani, ntar kalo udah ngantuk nyusul aja ke kamar.. Oke..” kata koko sambil menguap.
“iya.. Nggak apa apa..” jawabku senang, hilang sudah ngantukku. Akhirnya aku ada kesempatan berdua dengan om alvin.
“om pernah ke bangka.?” tanyaku begitu koko sudah pergi. Om alvin mengalihkan pandangannya dari televisi dan tersenyum padaku.
“sudah.. Dulu sekali mungkin sudah belasan tahun..!” Jawab om alvin.
“emangnya rio udah pernah ke bangka.?” ia menambahkan
“aku kan dari bangka om, baru beberapa bulan disini.. “
“oh kamu asli bangka ya..! Om kira kamu memang orang sini..” om alvin jadi antusias.
“iya om, dari lahir tinggal di bangka..” jawabku
“kok bisa pindah ke palembang?” tanya om alvin nampak tertarik.
“panjang ceritanya om, aku juga nggak nyangka bisa gitu..” aku menggantung kalimatku.
“maksudnya?” om alvin penasaran. Kemudian meluncurlah cerita bagaimana sampai aku bisa terdampar di palembang ini. Berkali kali om alvin mengerutkan kening saat mendengar ceritaku.
“jadi kamu baru tau kalau selama ini ibumu bukanlah ibu kandung, dan ternyata kamu cuma anak titipan?” komentar om alvin serius. Sementara televisi masih menanyangkan acara bola, jadi terabaikan begitu saja.
“iya om..!”
“kamu lahir tahun berapa?” tanya om alvin.
“1980 om…” jawabku santai.
“waktu om di bangka kisaran tahun 1978.. Dan pindah kembali ke palembang tahun 1980…” ucap om alvin pelan.
“ibu kandungmu siapa namanya yo?” om alvin menatapku tajam. Aku jadi gugup ia pandangi seperti itu.
“nama mama meganingrum suharlan.., emangnya kenapa om?” aku agak heran.
“nggak… Nggak kenapa napa..” suara om alvin terdengar sedikit aneh.
“maaf om ngantuk.. Om mau tidur dulu ya..” ujar om alvin tiba tiba. Tanpa berkata apa apa lagi langsung meninggalkanku sendirian depan televisi. Aku cuma bisa bengong. Dasar om alvin, aku kan belum puas ngobrol sama dia. Akhirnya aku matikan televisi dan menyusul koko ke kamar. Koko sudah tidur, di dadanya terbentang buku komik yang nyaris jatuh. Aku ambil buku itu kemudian kutaruh dimeja. Setelah itu aku tidur.

****************

Tidak ada komentar:

Posting Komentar