Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 25

#30 PERNIKAHAN DAN PERPISAHAN
"rio... Sudah lama nunggu disini?" tanya koko yang begitu kaget langsung menghampiriku.

Dengan serba salah aku mencoba bersikap biasa dan berusaha untuk tak melihat ke om alvin.

"kami dari rumah sakit jemput adik tante..!" ujar mama koko yang tak bisa menyembunyikan rasa senangnya saat melihatku.

"nggak kok tante, belum terlalu lama juga... Kalau begitu rio pulang dulu ya... Tante pasti sibuk." aku mencoba mencari alasan namun tentu saja itu tak mempan.

mama koko malah menyuruhku masuk. Dengan berat hati aku terpaksa mengikuti mereka semua masuk ke dalam rumah.
Koko membantu om alvin duduk, sementara mamanya langsung pergi ke dapur, aku duga ia sedang mengambilkan minuman.

"duduk yo, kok bengong gitu?" kata koko begitu ia melihatku masih berdiri saja.

"makasih ko, aku ke kamarmu saja ya ko.. Kalau boleh." tanyaku berharap koko tanggap.

"oh iya yo, silahkan kalau kamu mau ke kamar, nanti aku nyusul.. Pokoknya kalau mau nonton atau ngapain di kamar nggak masalah kok." jawab koko pengertian.

Ia pasti tau alasan ku mau menunggu di kamar saja. Tanpa menunggu lama aku pergi ke kamar koko tanpa menegur om alvin atau bahkan mengacuhkan nya sama sekali.
Aku tak mau ia merasa senang dan mengira kalau ia bisa mengobrol dengan akrab bersamaku.
Aku mengambil tumpukan majalah punya koko yang ada di meja belajarnya.
Sambil menunggu koko aku membaca baca majalah.
Tak lama kemudian koko masuk ke dalam kamar.

"kok nggak sms dulu kalau mau kesini?" tanya koko sambil meletakkan gelas berisi sirup jeruk keatas meja belajarnya.

"iya ko.. Tadi aku jalan jalan.. Jadi kepikiran mau kesini, nggak taunya rumah kamu kosong.."

"iya yo.. Hari ini om alvin udah di perboleh kan pulang, jadi kami menjemput om alvin, karena mama takut kondisinya yang masih lemah. Mama putuskan menyuruh om alvin pulang kesini dulu. Soalnya kalau disini kan ada yang merawatnya.."

koko duduk diatas lantai yang dialasi karpet.

"ya sukurlah kalau sudah sembuh." jawabku pura pura tak perduli, padahal sebenarnya dari awal aku tahu saat om alvin sakit jauh dari lubuk hatiku sebenarnya aku kuatir.
Meskipun aku kesal tapi bagaimana juga om alvin bapakku.

"kamu udah makan yo?" koko bertanya sambil menyalakan televisi.

"belum ko, makanya aku kesini tadi niatnya mau makan disini soalnya udah kangen sama masakan mama kamu."

"gitu ya, sabar yo pasti mama lagi masak sekarang..." jelas koko.

Aku tersenyum senang membayangkan akan segera makan. Soalnya kalau mama koko masak pasti hasilnya enak sekali.
Sembari menunggu aku dan koko menonton film.
Belum selesai satu film kami tonton, mama koko sudah memanggil untuk mengajak kami makan siang bersama.
Makan siangku pertama bersama om alvin semenjak meninggalnya kak faisali.
Kami tak banyak bicara. Om alvin seolah sibuk dengan makanannya demikian juga aku berusaha sedapat mungkin menhindar jangan sampai melihat om alvin.

Mama koko memancing dengan cerita yang lucu dimasa dia muda dulu namun ku lihat om alvin seakan tak konsentrasi sama sepertiku.

Setelah selesai makan aku dan koko balik lagi ke kamarnya untuk melanjutkan nonton film yang tadi terputus. Agak sore aku mengajak koko cari angin.



***********************



"undangan untuk teman teman kamu jangan lupa dikasih yo.." mama mengingatkanku sambil memberikan setumpuk undangan pernikahan kak fairuz dengan amalia untuk hari minggu ini.

"wah ma banyak banget... Bisa seharian nih aku nganternya.." aku mengerutu.

"nanti kalo nggak di undang malah kamu protes, udahlah antar saja undangan itu. Mama banyak mengundang tamu.." jelas mama bangga.

Aku tak mau berkomentar lagi. Tak ingin merusak kesenangan mama.

"nanti rio kasih undangan ini ke teman teman. Rio mau jalan dulu ma.."

aku baru saja mau meninggalkan mama tepat saat kak fairuz memanggilku.

"rio..! Tunggu..!"

aku berbalik lagi. Kak fairuz menghampiriku tergesa gesa.

"ada apa kak?" tanyaku heran.

"temani kakak ke bandara sebentar..!"

"ngapain ke bandara kak?" aku jadi bingung.

"jemput mama.." jawab kak fairuz.

"mama kakak mau datang hari ini.. Kok mendadak sekali.."

"nanti lah kita bahas, sebentar lagi pesawatnya mendarat, kita ke bandara sekarang." kak fairuz terdengar tak sabar.

Tanpa banyak bertanya lagi aku menemani kak fairuz menjemput mamanya di bandara. Untung saja aku tak harus menunggu berlama lama.
Seorang perempuan yang aku duga seumuran dengan emak namun tentu saja dengan penampilan yang jauh berbeda langsung menghampiri kak fairuz dengan tersenyum lebar.

"mama.." kak fairuz segera menyambut mamanya.

"sudah lama menunggu ruz?" tanya mama kak fairuz.

"belum kok ma paling baru limabelas menit saja.. Oh ya ma kenalkan ini adik tiri fairuz.."

kak fairuz menarik tanganku mendekat ke mama nya. Aku agak ragu untuk mengulurkan tangan pada mama kak fairuz namun ia dengan ramah memelukku seolah ia sudah lama mengenalku.

"oh ini rio yang selalu fairuz ceritakan sama mama.," ucapan terakhir mama kak fairuz betul betul membuat aku kaget.

"ma..mama.. Maksud tante apa..?" aku masih belum percaya.

"iya panggil saja aku mama.. Bukan kah kamu dan fairuz kakak adik, ya walaupun kalian berdua tak ada sama sekali hubungan darah, namun bagi mama kamu sama dengan anak mama juga.. Anggap saja kamu sebagai pengganti faisal.."

jawab mama kak fairuz dengan tenang.

"tapi.. Kenapa waktu kak faisal meninggal tante tak datang?" tanyaku hati hati takut membuatnya tersinggung.

"siapa bilang mama tak datang, tapi apa harus membuat heboh disaat semuanya sedang kacau.. Tentu saja mama datang, saat mendengar kabar meninggalnya anak mama, saat itu juga mama bersama fairuz ke sini.."

mama kak fairuz tersenyum padaku.
Aku jadi merasa serba salah. Jadi ternyata waktu pemakaman kak faisal mamanya ada disini. Tapi kenapa sampai tak ada yang tahu.

"ma kita ke hotel sekarang aja ya..mama kan pasti capek butuh istirahat." kak fairuz mengangkat tas mamanya.

"iya mama juga mau ganti pakaian dulu sebelum kita ke rumah calon mertua kamu, mama ingin kenalan dengan mereka." mama kak fairuz menyetujui.

"ayo rio.." kak fairuz memberi kode agar aku mengikuti mereka.

Aku masih belum habis pikir dengan perkenalan kami yang aneh ini. Sepertinya mama kak fairuz orangnya sangat baik.
Ia juga ramah padaku padahal ia kan tau aku anak dari wanita yang telah membuat rumah tangganya hancur.
Aku bingung harus bersikap bagaimana.

Kami mengantar mama kak fairuz ke hotel carissima. Kak fairuz ternyata sudah memesan kamar yang cukup nyaman untuk mamanya.
Sebetulnya aku mau menunggu di lobi saja tapi kak fairuz dan mamanya memaksa aku untuk ikut mereka naik ke lantai atas dimana tempat mamanya akan menginap.
Kami mengobrol sebentar.
Dari situ aku tahu kalau waktu kak faisal meninggal mamanya datang ke pemakaman. Meskipun hanya bisa melihat dari jauh.
Sebetulnya mama kak fairuz tak mau lagi bertemu dengan papa dan mama tapi kali ini ia berusaha untuk melupakan semua.
Ia harus ada di hari pernikahan putera satu satunya.
Mataku jadi berkaca kaca mendengar semua ceritanya.

"tante tak perduli walaupun kamu anak dari perempuan yang tante tak sukai, kamu tak bersalah.." begitu kata mama kak fairuz.

Setelah itu kami kerumah amalia karena mamanya sudah tak sabar untuk bertemu dengan calon menantunya.
Keluarga amalia ternyata sudah tahu kalau hari ini akan kedatangan mama fairuz. Mereka telah menyiapkan makanan.
Aku lihat rumah amalia juga sudah di cat ulang. Halamannya telah di bersihkan. Halaman rumah mereka cukup luas untuk menampung tamu pada pesta nanti.

Amalia memperkenalkan diri pada mama kak fairuz. Ia mencium tangannya. Mereka membicarakan tentang pernikahan antara amalia dan kak fairuz.
Aku hanya jadi pendengar yang baik saja. Lagipula aku bingung harus mengatakan apa.

Kami makan siang bersama. Ibu amalia memasak cukup banyak. Berbagai jenis lauk tersaji diatas tikar pandan.
Kami duduk lesehan diatas lantai. Entah kenapa aku merasa suasana jadi begini akrab Seolah olah antara keluarga amalia dan mamanya kak fairuz telah lama saling mengenal.
Tidak seperti mama kalau datang kemari. Suasana biasanya menjadi agak kaku. Seandainya mama bisa seperti mamanya kak fairuz yang bisa menerima keadaan keluarganya amalia tanpa memandang rendah sedikitpun.


Setelah kenyang aku mengajak kak fairuz ke teras. Kami merokok diluar sambil membahas keakraban keluarga amalia dengan mamanya.

Amalia bergabung dengan kami sambil membawa kopi serta kue kering.

"bagaimana perasaanmu mel menjelang pernikahan ini?" tanyaku sambil mengambil sepotong kue.

"entah lah yo, tapi yang pasti aku agak deg degan sih.. Semoga acaranya nanti berjalan lancar ya.." amalia berharap.

"ya semoga saja, tapi yang aku jadi terpikir nanti yang akan mendampingi kak fairuz tuh mamaku apa mamanya sih..?" aku mengutarakan kekuatiranku.

"mama sudah mengatakan sebelumnya kalau ia datang kesini cuma untuk memberikan doa restu pada kami, jadi ia tak keberatan kalau mama kamu yang duduk di kursi pendamping, bagi mama siapapun yang jadi pendampingnya tak masalah asalkan acaranya berjalan lancar."
jawab kak fairuz dengan lugas.

"meskipun baru kenal beberapa jam sama mama kak fairuz, entah kenapa kak rasanya aku sudah begitu akrab."
aku mengutarakan apa yang aku rasakan dengan jujur.

"mama memang begitu rio, kalau kamu mengenal mama kamu pasti akan menyukainya. Soalnya mama orang yang mudah akrab dengan siapa saja.."
kak fairuz menambahkan. Ia terdengar sangat bangga.

Aku jadi kepikiran kenapa dulu kak faisal lebih memilih ikut mama ketimbang mama kandungnya sendiri. Aku tak mau menanyakan hal itu sekarang. Masih banyak waktu untuk menanyakan itu lain kali.





Agak sore aku mengajak kak fairuz pulang karena aku masih ada beberapa urusan yang harus aku kerjakan.
Kami berpamitan sama keluarga amalia. Aku dan kak fairuz mengantar mamanya ke hotel. Setelah itu aku pulang kerumah.
Sekarang baru jam empat, masih ada waktu untuk mengantar undangan.
Aku mau ke tempat rizal dulu. Setelah itu baru kerumah koko.
Semoga saja om alvin lagi tidur, kalau bisa aku tak mau bertemu dia sore ini.

Otakku masih terlalu mumet untuk memikirkan om alvin. Untung saja rizal ada dirumahya, Jadi aku langsung saja memberikan undangan itu sama rizal.

Tak kuduga rizal mau menemaniku mengantarkan undangan ke teman teman yang lain yang ia kenal.
Aku sangat berterimakasih sekali atas hal itu. Aku minta temani sama rizal ke rumah koko.
Aku turun dari mobil di depan rumah koko. Rizal mengikutiku.
Aku menekan bell. Tak lama kemudian mama koko membuka pintu.

"eh nak rio.. Mau jenguk om alvin lagi ya?"
mama koko menebak.

Aku menggeleng dan tersenyum.

"bukan kok tante, cuma mau mengantarkan undangan pernikahan kak fairuz aja tante.. Nih untuk tante sekeluarga. Datang ya tan.."
kataku berharap.

"insya allah rio, tante pasti usahakan untuk datang, om alvin diundang juga kan?" mama koko bertanya.

Aku bingung harus menjawab apa, soalnya tadi aku lupa bertanya sama mama apa aku juga perlu mengundang om alvin, kalau aku mengatakan sama mama koko untuk tak mengajak om alvin pasti terdengar kurang sopan.

Akhirnya aku cuma mengatakan kalau seluruh keluarga mama koko termasuk om alvin juga.
Mama koko menyuruh aku untuk masuk dulu ke rumahnya tapi aku menolak dengan alasan aku masih harus mengantarkan beberapa undangan ke teman teman yang lain.
Koko yang baru keluar dari kamar agak kaget saat melihat aku sedang berdiri di teras rumahnya bersama rizal dan mamanya.
Koko langsung menghampiri kami.

"ada apa yo...?"
tanya koko padaku.

"itu ada undangan untukmu juga untuk mamamu. Pokoknya kalian semua lah.. Jangan sampai nggak datang."
aku menjelaskan.

"ya pasti datang, tapi kamu mau kemana lagi, kok nggak masuk?"

"kan rio mau mengantarkan undangan yang lain untuk teman temannya.."
mama koko yang menjawab.

Koko mengangguk tanda mengerti.

"aku boleh ikut?" tanya koko.

"boleh ko kalau mau ikut, jadi tambah rame."
jawabku.

"tunggu sebentar aku ke dalam mau ngambil hp di kamar.."

koko berlari masuk kerumah tanpa menunggu aku menjawab, Tak lama kemudian koko keluar lagi.

Kami bertiga berkeliling mengantarkan undangan ke tempat teman temanku.
Ternyata ada keluarga yang mau nikah itu repot juga, belum acara juga sibuknya udah begini bagaimana kalau acaranya nanti.

Aku tau bisa membayangkan hal itu. Yang pastinya aku harus menyiapkan tenaga dan waktu. Andaikan ini adalah persiapan pernikahan kak faisal, tentu perasaan bahagia ku akan lebih dari yang aku rasakan ini.

Mengingat cara kematian kak faisal yang begitu mengenaskan rasanya aku jadi makin sedih.
Tak disangka ternyata ada Kak fairuz sebagai penggantinya. Meskipun aku lebih menyukai kak faisal ketimbang kak fairuz.
Kak faisal sudah bertahun tahun bersamaku semenjak aku masih kelas satu SMU hingga aku kuliah. Rasanya aku ingin membalik waktu andaikan itu bisa dilakukan.

"kemana lagi kita yo.."
tanya koko dari belakangku.

"undangan masih tinggal dua lembar, sekarang sudah hampir maghrib, lebih baik kita kerumahku dulu ya sekalian sholat magrib dulu, setelah itu kita makan dan jalan lagi.."
kataku sambil melirik jam digital dibawah audio mobil.

"kamu atur saja lah.."
jawab rizal.

"aku emang udah lapar sih.."
koko memegang perutnya.

"ya udah kita kerumahku dulu."

aku memutar setir dan berbelok mengambil jalan pintas terdekat menuju rumahku. Aku mengajak koko dan rizal masuk ke dalam.

Mereka mengiringiku masuk ke kamar. Aku menyuruh mereka wudhu duluan. Sementara itu aku ke dapur menyuruh bik tin untuk menyiapkan makan malam untuk kami bertiga.

Mama yang sedang berjalan menuju dapur kaget karena nyaris aku tabrak saat bertemu di depan pintu.

"eh mama.."
ujarku kaget.

"rio.. Pelan pelan dong jalannya.. Hampir aja.."
mama mengusap dadanya sambil menarik nafas.

"maaf ma, soalnya buru buru mau wudhu dulu.."
jawabku.

"ada temen kamu ya, kalian mau ke mana emangnya?"
tanya mama ingin tau.

"mau nganter undangan ma, masih ada yang belum sempet diantar tadi.."
jelasku singkat.

"ya udah kalau gitu.. Sholat lah dulu.."

"kak fairuz mana ma?"
tanyaku.

"nggak tau sih, tadi ia pergi pake mobil papa kamu."

"oh mungkin menemui ibunya ke hotel."
aku menduga.

"maksudmu..?"
mama terlihat kaget.

"iya rio bilang mungkin ia menemui mamanya di hotel.. Tadi kan aku sama kak fairuz ke bandara, terus kami mengantarnya ke hotel.. Bahkan kami juga sempat kerumah amalia.."
aku menceritakan semua sama mama.

Itu membuat mama tambah terkejut.

"kok fairuz tak bilang bilang.."
suara mama pelan hingga nyaris seperti berbisik.

"memangnya sejak kapan kalau ada apa apa kak fairuz bilang dulu sama mama?"
aku bertanya.

"memang sih.."
mama mengangguk, sepertinya mama agak terlihat seperti orang yang sedang kalut.

"ma aku ke kamar dulu.."
aku meninggalkan mama.

tak menjawab pertanyaanku mama malah langsung berjalan ke dapur tanpa mengatakan apa apa lagi.

"kok lama banget sih.."
gerutu rizal begitu aku masuk kamar.

"sori bro.. Lagi nyuruh bibik nyiapin makanan buat kita.."
aku membuka baju.

"ya udah kamu mandi sana cepetan.. Kita sholat bareng aja.."
koko memain mainkan mobil miniatur koleksiku yang sudah ku simpan selama bertahun tahun.

Tanpa menunggu lama aku masuk ke kamar mandi. Tak sampai limabelas menit aku mandi setelah itu aku berwudhu. Setelah adzan maghrib berkumandang aku sholat berjamaah dengan koko dan rizal.

Selesai sholat aku mengajak mereka ke dapur. Di meja makan sudah disusun piring piring untuk kami bertiga.

Bik tin masak ikan patin pindang tempoyak, ayam goreng, ikan asin, dan sayur lempah darat.
Yang lempah darat ini aku yang mengajari bik tin, soalnya dulu waktu di bangka, emak sering masak lempah darat.

Bahannya tak sulit kok cukup sayur aja. Boleh ketimun, kacang panjang ataupun pepaya muda.
Bumbunya cuma terasi dan cabe kecil. Tak ada yang lain.
Karena kebiasaan orang bangka berkebun, untuk mengambil praktisnya. Mereka masak lempah darat yang tak ribet kalau makan di kebun.
Soalnya bahannya kan bisa memetik di kebun. Cuma terasi aja yang harus beli.

Tak kusangka ternyata rizal dan koko sangat menyukai lempah darat itu. Bahkan mereka sampai menambah lagi nasi ke dalam piring mereka.

"gila enak banget makanannya.."
ujar koko sambil mencolek lagi sambal terasi dengan daun singkong muda yang sudah di rebus.

"itu masakan kampung ko.."
jelasku sambil menghirup kuah lempah darat yang hangat.

"kalau seperti ini sih bisa bisa aku jadi gemuk.."
rizal mengeluh.

Mulutnya sebentar sebentar berdecak kepedasan. Keringat memenuhi wajahnya. Aku tersenyum puas melihatnya.
Itu baru masakan bik tin, kalau sampai mereka mencicipi masakan emak, aku yakin mereka tak akan pulang pulang lagi kerumah.

"sering sering yo ngajak kami makan kesini.. Nggak nyangka ternyata masakan kampung tuh lebih bikin selera makan bertambah ya!"
celetuk rizal.

"sering sering aja main kesini.. Aku bisa suruh bik tin masak yang beginian lagi.." kataku senang.

"sip lah kapan kapan pasti aku mau makan disini lagi.."
ujar rizal bersemangat.


Koko tertawa mendengarnya.

"ini bukan restoran loh zal.."
koko mengingatkan rizal.

"iya aku tau.. Apa salahnya sih makan dirumah teman.."
rizal mencibir pada koko.

"iya ko.. Nggak masalah kok, mama malah seneng kalo aku ngajak teman makan disini. Soalnya kan lebih rame rumah ini.."
aku menggeser piring yang sudah penuh dengan tulang ayam serta tulang ikan lebih ke tengah meja.

"aku kekenyangan nih yo.."
koko berdiri agak susah payah.

"udah zal nggak usah di beresin.. Biar nanti bik tin bisa.."
aku mencegah rizal yang mau menyusun piring kotor.

"nggak apa apa yo.. Udah biasa kok kalau dirumah malah kami diajari untuk mencuci sendiri piring kalo sudah selesai makan."
sahut rizal tak perduli.

"ya baguslah kalau begitu.. Jadi bik tin nggak perlu capek capek, sebetulnya aku juga tiap habis makan pasti beresin sendiri..."
aku berterus terang.

Koko ikut membantu aku dan rizal menyusun piring kotor dan membawanya ke tempat pencucian piring. Aku menyusun piring kotor satu persatu ke dalam mesin.

Rizal membuang sisa sisa makanan ke dalam tempat sampah. Setelah menyalakan mesin pencuci piring, aku merapikan lagi meja, menutup satu persatu mangkuk porselen yang berisi lauk pauk. Aku membuka kulkas mencari kue untuk pencuci mulut.

"gila ah rio aku nggak mau... Ini aja perutku udah kayak kemasukan karung pasir rasanya.."
rizal menolak waktu aku menyodorkan sepotong kue padanya.

"aku kalau habis makan nasi pasti mau makan yang manis manis zal, udah kebiasaan dari kecil sih.."
kataku sambil mengunyah kue dengan nikmat.

"ya udah buruan, kita kan masih mau jalan lagi.."
koko mengingatkan.

"masih dua lembar kok.. Buat amri dan rian.. Lagian rumah amri kan nggak terlalu jauh.. Nanti kita bersantai dirumah rian aja ya.."
aku menimpali.

"terserah kamu sih.. Mumpung kita lagi ngumpul nih, gimana kalau kita karaoke aja.. Sekali sekali.. Dulu kami sering kok karaoke sama faisal.."
usul rizal penuh harap.

Aku melirik koko untuk meminta persetujuannya. Ternyata koko juga nampak tertarik.

"terserah kalian lah kalo gitu.. Aku sih atur atur saja.."

"sip lah.. Ayo kita jalan sekarang."
rizal sudah tak sabar.

"tunggu dong zal, nyantai sebentar.. Nasi aja belum turun.."
protes koko.

"kalau gitu kita ke kamar dulu, jam tujuh aja kita keluar."
aku mengusulkan.

Rizal dan koko setuju. Kami ke kamarku istirahat sekalian menunggu jam tujuh. Setelah itu kami keluar jalan lagi mengantar sisa undangan kerumah amri.
Kami cuma mampir sebentar dirumah amri setelah itu langsung cabut menuju ke kontrakan rian.

Suasana di kontrakan rian agak sepi. Lampu terasnya tak nyala. Aku jadi ragu rian ada dirumah atau nggak.
Aku mengetuk pintunya beberapa kali dengan agak keras namun tak ada jawaban. Ternyata rian memang tak ada dirumahnya.

Entah kemana dia, apakah karena kemarahannya tempo hari itu rian sengaja untuk menghindariku. Tadi aku sudah sms ke dia memberitahukan kalau aku mau kerumahnya. Dia memang tak menjawab sms ku.
Tapi ku kira dia akan menungguku datang. Ternyata rian memang sedang marah. Aku tak bisa berbuat banyak. Sudah kebiasaannya kalau marah tak cukup sebentar. Kadang itu membuat aku jadi ragu juga.

Apakah kami berdua bisa mempertahankan hubungan kami ini sedangkan rian tak bisa juga merubah sifat pemarahany itu. Rian tipe pendendam. Berkali kali dijelaskan Ia takkan perduli.

Rian sangat keras kepala juga keras hati. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri. Jarang sekali ia mau mengerti padaku. Kalau ia marah maka ia tak mau mendengarkan penjelasan apapun.

Itu membuat hatiku kesal. Aku paling marah kalau orang tak mau mendengarkan penjelasan. Membiarkan semua berlarut larut adalah sesuatu yang sia sia. Aku paling tak suka orang egois. Hal inilah yang membuat perasaan sayang ku pada rian jadi berkurang semakin hari.

Aku mengajak koko dan rizal pergi dari rumah rian. Aku tak perduli lagi rian mau marah sampai kapan. Kalau ia sudah tak emosi lagi pasti ia juga yang lebih dahulu menghubungiku.

Aku mengajak rizal dan koko ke tempat karaoke. Kami memesan room lalu menyanyi sepuas puasnya. Dengan cara itulah aku bisa sejenak melupakan kekesalanku pada rian.

Tiga jam kami bernyanyi di karaoke. Suaraku jadi agak parau karena rizal banyak memilih lagu lagu keras. Tadi kami nyanyi sambil teriak teriak kayak orang gila. Seakan akan karaoke itu milik nenek moyang kami.




******************************
Aku mengantarkan rizal dan koko kembali kerumahnya. Om alvin sedang duduk di depan teras rumah koko, padahal sekarang sudah jam duabelas lewat.

Aku tak turun dari mobil karena itu, koko melirikku begitu ia tahu ada om alvin. Melihat kami datang om alvin bergegas menghampiri mobilku.
Mau apa sih om alvin, koko juga kenapa nggak langsung turun cepat cepat, jadi aku bisa segera meninggalkan rumahnya.

Om alvin melongok ke jendela mobil, koko membuka kaca mobil.

"ada apa om?"
tanya koko heran.

"om mau ngomong sama rio sebentar,kamu bisa tinggalkan kami berdua?"
om alvin meminta sama koko.

Merasa tak enak hati, koko menoleh padaku dan mengangkat alis ingin tau reaksiku.

"nggak apa apa ko, kamu turun lah.. Lagipula masalah kami ini harus di selesaikan juga.."
aku mengangguk pada koko agar ia tidak kuatir.

Koko bergegas turun sedangkan om alvin kamipun masuk ke dalam mobil duduk di sampingku.

"kita jalan rio.. Om mau bicara dari hati ke hati."
om alvin membuka pembicaraan.

Tanpa banyak tanya aku menekan gas lalu berbalik mundur. Aku melambaikan tangan pada koko kemudian membawa om alvin meninggalkan rumah koko.

"apa yang mau om katakan?"
aku memecah keheningan diantara kami.

"kita cari tempat yang santai untuk ngobrol yo.."

"ngomong disini saja om, sama saja... Lagian sekarang sudah dinihari.."
aku mengingatkan.

"kamu masih marah sama om?"
tanya om alvin ragu.

"untuk apa marah, selama ini aku juga tak marah, cuma tak perduli saja.."
jawabku tak acuh.

"apakah kesalahan om tak bisa kamu maafkan?"
suara om alvin terdengar sedih.

"apanya yang harus di maafkan kalau aku tak perduli..?"
aku balik bertanya.

"kamu begitu benci sama om.. Maafkan om.."
lagi lagi om alvin masih meminta maaf.

"kenapa om harus membuatku pusing terus, aku mau om tak mengangguku apa permintaanku itu terlalu sulit?"
aku menjawab dengan angkuh.

Om alvin menarik nafas seolah terasa ada beban berat yang ada di punggungnya.

"bagaimana papa bisa mengacuhkan kamu rio.. Kamu adalah anak papa.. Ijinkan papa untuk memperhatikan kamu, seperti yang lazim dilakukan papa papa yang lain terhadap anaknya.."

"aku kan sudah punya papa dan dia cukup perhatian tak kalah dengan papa papa yang lain.."
aku menjawab sekenanya.

Om alvin terdiam.

"jadi ada lagi yang penting lain mau dibicarakan lebih baik kita pulang.. Udah larut dan saya ngantuk banget.."
aku meminggirkan mobil menekan rem hingga mobil berhenti mendadak.

"tunggu dulu nak.. Papa belum selesai bicara.."
om alvin frustrasi.

"apa om tak puas puasnya mengganggu ketenanganku om.. Ku mohon om mengertilah.. Jangan ganggu aku lagi.. Bukannya dulu om sudah meninggalkan aku dan mama.. Jadi cukup sekarang, lupakan kami.!"
aku tak dapat lagi menahan emosi.

"rio kamu salah, mama kamu yang meninggalkan papa, ia kabur dari rumah tanpa papa sadari.. Mama kamu yang pergi saat dia lagi hamil!"
om alvin membela diri.

"aku sudah mendengar itu berkali kali om, bosan!"

"kamu pikir papa tak mencari mamamu kan, kamu salah... Tak ada waktu yang tak papa luangkan untuk melacak keberadaan kalian nak.. Papa benar benar kebingungan..." ratap om alvin.

"om berbohong, kemana saja om mencari kok sampai tak ketemu?"
tanyaku ketus.

"kenapa sih kamu tak memberi kesempatan papa untuk menjelaskan semuanya?"

"karena memang tak ada yang perlu di jelaskan om.."

"ada rio.. Banyak yang harus papa jelaskan biar tak kusut lagi seperti ini.."
om alvin bersikeras.

"sudahlah om aku ini pusing, terlalu banyak masalah yang aku hadapi.."

"ini akan membantumu menyelesaikan satu masalah.. Papa janji.!"
om alvin kelihatan begitu yakin.

"atau hanya akan menambah masalah baru?"
aku menunduk, rasanya aku hampir menangis, aku ingin sekali memeluk om alvin kalau aku menuruti kata hati. Tapi ego ku melarang aku melakukan hal itu.

"papa janji nak.. Papa tak akan membuatmu merasa tak nyaman.. Tolong kamu jangan emosi dulu, papa hanya ingin kamu tak salah paham lagi.."
kata om alvin dengan pelan sambil memegang bahuku.

"sekarang aku mau mendengarkan om mau mengatakan apa.."
aku memutar tombol ac biar lebih dingin, aku butuh mendinginkan otak ini.

"kamu mungkin tak percaya kalau papa begitu mencintai mama kamu, sampai papa mau mengorbankan apa saja demi kebahagiaannya.. Papa menentang keluarga demi mama kamu.. Kalau mama kamu menderita di belakang papa demi allah papa tak tau sedikitpun mengenai masalah itu!"
suara om alvin serak.

"lalu kenapa mama sampai kabur dari rumah papa.. Kalau om tak menjaga mama dengan baik."
aku bersikeras.

"bukan begitu, saat mama kamu kabur, papa lagi diluar kota..papa tak bisa mencegah karena papa tak tau..!"
om alvin membela diri.

"iya om.. Aku mengerti."
aku mulai agak melunak. Karena memang kalau saja aku berada pada posisi om alvin waktu itu, pasti aku juga tak akan bisa melakukan apa apa.

"lebih dari dua tahun papa mencari mama mu, papa gelisah sampai tak bisa tenang karena papa tahu mamamu lagi mengandung, papa akhirnya bertemu pada saat usiamu baru satu tahun, papa bertemu dia di bangka akhirnya..."
om alvin mendesah.

"lalu?"
aku semakin penasaran.

"papa sempat menggendong kamu.. Papa begitu bahagia dan papa menyuruh mama mu mengganti nama kamu rio krisna julian menjadi ricardo malvin silalahi. Tapi mama kamu tidak setuju. Padahal nama itu sudah papa persiapkan jauh sebelum kamu lahir.."
om alvin mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"papa mengajak mama kamu balik, ia berjanji mau balik lagi sama papa.. Dia berjanji akan menemui papa esok harinya di pelabuhan. Tapi papa tunggu tak pernah mama kamu datang.. Dan papa lagi lagi kehilangan jejak kalian!"
desah om alvin terdengar begitu letih.

"mama kabur meninggalkan aku pada waktu itu dengan meninggalkan surat sama emak agar merawatku."
aku menunduk.. Air mataku menetes jatuh ke pahaku.

"betul yang kamu katakan.. Papa menemui emak kamu dan emak kamu bilang kalau mamamu telah kabur dengan membawa kamu... Papa tak menyangka kalau papa sudah dibohongi sama emak kamu rio.."
akhirnya om alvin benar benar menangis sekarang.

"emak mengatakan kalau aku dibawa mama..?"
aku mengulangi kata kata om alvin.

"iya belakangan papa baru tahu semua kenyataannya kalau sebetulnya kamu ditinggal sama mama kamu di bangka.."
om alvin tak mampu menahan emosinya. Tangisannya beradu dengan kata katanya hingga agak sulit aku menangkap apa yang ia ucapkan.

"emak terlalu menyayangiku pa..."
aku memegang bahu om alvin.

"apa yang barusan kamu katakan..."
om alvin mendongak menatapku seolah tak percaya.

"mungkin emak tak mau mengatakan pada papa kalau mama telah meninggalkan aku karena emak takut papa membawaku.."
suaraku bergetar saat menyebut om alvin papa.

"kamu.. Kamu memanggil papa.. Kamu memanggil aku papa.."
om alvin masih ragu.

"iya pa.. Aku minta maaf.."
kata kataku tak selesai karena om alvin keburu memelukku erat erat.

"akhirnya papa bisa mendengar kamu memanggil papa.. Terimakasih anakku..terimakasih.."
om alvin tak mampu meredam keharuannya.

Aku membalas pelukan om alvin.

"papa jangan pernah lagi tinggalkan aku.. Papa jangan pernah pergi lagi.."
balasku lirih.

Entah kenapa saat ini aku merasa begitu terharu. Seakan beban yang berat terangkat dari pundakku.

"akhirnya kamu memaafkan papa..akhirnya papa mendengar juga kamu mengatakan ini.. Papa telah menunggu ini sekian lama."
om alvin terus merangkulku seolah kalau ia melepaskannya aku akan lenyap.

"sudahlah pa.. Sekarang aku sudah mengerti semuanya.."
aku melepaskan pelukanku.

Papa kembali menyandar dikursi.

"sekarang kita pulang dulu nak.. Kamu pasti capek, kamu perlu istirahat.."
om alvin tersenyum senang.

"iya pa... Sepertinya papa juga butuh istirahat.. Besok aku janji akan menemui papa.. Aku tak mau kalau sampai papa sakit lagi.."
aku balas tersenyum bahagia.

Ternyata memaafkan itu memang sangat menyenangkan. Hati terasa bahagia dan lebih tenang. Aku merasa lebih bahagia sekarang.

Aku menekan pedal gas kemudian meluncur kembali kerumah koko untuk mengantar papa pulang. Tak sabar rasanya menunggu esok. Ternyata ada hikmah dari semua yang terjadi. Aku bisa menerima om alvin kembali sebagai papaku. Pasti keluarga koko sangat senang dengan hal ini. Aku belum tau bagaimana reaksi mama karena aku belum akan menceritakan hal ini pada mama. Aku akan menunggu saat yang tepat untuk mengatakannya. Biarlah semuanya mengalir seperti sungai.

Setelah mengantar om alvin sampai depan pintu aku pamit pulang. Koko belum tidur, ia menunggu aku dan om alvin dengan cemas. Ketika ia melihatku merangkul om alvin, wajahnya mendadak berubah menjadi berseri seri.
Koko tak menanyakan apa apa karena sepertinya ia sudah dapat menduga apa yang terjadi. Koko dan om alvin berdiri di depan rumahnya. mengantarku hingga aku menghilang dari pandangan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar