Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 11

#13 BERTEMU AMALIA

Perasaanku saat ini tak bisa diungkapkan melalui kata kata, ada sedikit kuatir namun tak kurang rasa senang karena sebentar lagi aku mulai bersekolah. Setelah bangun pagi pagi sekali aku mandi dan mengenakan seragam baruku. Seragam putih abu abu, celana panjang membuat aku terlihat lebih dewasa, akhirnya aku bisa merasakan bagaimana mengenakan celana panjang abu abu ini. Berkali kali aku memandangi penampilanku didepan cermin. Aku senyum senyum sendiri, dengan sepatu sport warna hitam aku kelihatan betul betul oke.
“udah deh dek.. Perasaan lebih enam kali adek berputar putar gak karuan gitu..!” kak faisal tak sabar memperhatikanku sambil mengernyit seolah melihat sesuatu yang aneh. Aku tertawa dan mengambil tas diatas tempat tidur.
“yuk kak…!” kak faisal berbalik sambil menggeleng gelengkan kepala keluar dari kamarku.
“udah siap sayang… Wah.. Anak mama ganteng banget..” mama yang sedang duduk di kursi makan tersenyum lebar begitu melihat aku.
“sarapan dulu dek..” kak faisal mengingatkanku. Aku menarik kursi disamping om sebastian lalu duduk.
“beda banget kamu pake seragam itu, kelihatan makin dewasa..” celetuk om sebastian yang sudah memakai seragam lengkap.
“hehehe.. Rio kan emang udah dewasa om, masa harus pake celana pendek lagi, malu om bulu kaki udah lebat..” aku menyeringai pada om sebastian.
“dek topi sama dasi udah dimasukkan dalam tas kan? Jangan sampe ketinggalan..”
“udah kak, dari semalam udah diberesin semua kok.”
“buruan sarapan, jangan ngobrol terus.. Nanti malah telat..” mama menegur kami. Buru buru aku menyendok mie goreng dalam piring. aku menghabiskan sarapan dengan terburu buru, semangat karena akan bersekolah dan kenal dengan teman teman yang baru bercampur gelisah, takut nanti aku tak bisa menyesuaikan diri. Setelah mie goreng dalam piringku telah tandas, aku minum segelas air putih kemudian langsung berdiri.
“nggak nambah rio?” tanya mama yang juga kelihatannya telah selesai sarapan.
“udah kenyang ma… Rio ke depan dulu..” mama mengangguk. Aku berjalan menuju ke beranda, kemudian duduk menunggu mama yang katanya akan mengantarkan aku kesekolah. Suasana di jalanan sudah terlihat agak ramai, kendaraan yang melintas dan beberapa orang berjalan menyusuri trotoar untuk memulai aktifitas di pagi hari. Tampak serombongan anak smp berkelakar di pinggir jalan, membuat aku terkenang kembali waktu aku masih di bangka. Entah apa kabar rian dan erwan. Saat ini mereka juga pasti sudah mengenakan seragam putih abu abu. Aku kangen dengan mereka berdua. Apalagi senyuman rian tak pernah bisa aku lupakan. Wajahnya yang agak oriental dengan mata yang tajam dan dalam masih terbayang di benakku. Apakah mereka masih sering teringat denganku?. Ku raba pipiku tempat dimana dulu rian menciumku. Rasanya baru kemarin itu terjadi, sampai sekarang aku masih heran dengan kejadian itu, rian mengatakan kalau aku adalah pacarnya, apakah itu serius atau cuma main main aku tak tahu, yang aku tahu hatiku begitu senang mendengarnya. Entah kapan aku bisa bertemu dia lagi. Coba seandainya mama tinggal di bangka, tentu kami tak perlu berpisah seperti sekarang. Emak…. Pasti sekarang lagi berjualan kue, seandainya ia melihatku dengan seragam ini, pastilah emak akan bangga sekali. Bisa ku bayangkan emak pasti sibuk menyiapkan sarapan untuk aku dan ayuk ayukku. Aku kangen sekali sama emak, sama rumah, sama kamarku dulu.
“dek.. Kakak duluan ya… Ntar kita ketemu di sekolah..” aku menoleh, kak faisal sedang duduk didepan pintu ruang tamu memakai sepatu.
“ruang kelas kakak dengan ruangan kelas satu jauh nggak kak?” tanyaku sambil berdiri. Kak faisal meraih tas ranselnya dilantai kemudian menyandang di punggungnya.
“nggak begitu dek, ntar jam istirahat kakak bisa ke kelas adek..” kak faisal berdiri kemudian menuruni tangga teras rumah.
“hati hati kak..” teriakku pada kak faisal yang sedang menstarter motornya. Kak faisal tersenyum sambil mengacungkan jempol. Kemudian menarik gas lalu meluncur keluar dari pekarangan. Aku duduk kembali di kursi teras. Sekitar sepuluh menit kemudian mama menghampiriku.
“ayo rio, kita berangkat sekarang..” aku berdiri mengikuti mama ke mobil. Setiap melihat mama memakai pakaian kantor, aku sering membayangkan andaikan emak yang memakai pakaian seperti itu pasti emak juga akan terlihat cantik dan lebih muda. Emak tak pernah memakai riasan wajah, rambut emak pun paling cuma digulung dengan karet gelang. Sedangkan mama riasannya sudah hampir mirip dengan penyanyi di televisi. Aku masuk mobil duduk di kursi depan disamping mama. Menunggu mama menyalakan mesin.
tak sampai sepuluh menit kami tiba di sekolah, mama mematikan mesin mobil kemudian mengajakku turun. Suasana agak sunyi, jam segini memang murid murid sedang belajar. Mama mengajakku ke kantor kepala sekolah. Bu amperawati sedang duduk di depan meja kerjanya langsung mengalihkan matanya dari tumpukan kertas diatas mejanya saat mendengar pintu diketuk.
“oh bu harlan, silahkan masuk bu…” bu amperawati berdiri mempersilahkan kami masuk, aku dan mama masuk ke dalam ruangan kantor yang tak terlalu besar itu.
“silahkan duduk..”
“terimakasih..” jawab mama sambil duduk di sofa tamu. Aku ikut duduk disamping mama.
“saya sudah atur rio ditempatkan di kelas 1.tiga. Wali kelasnya pak santoso, kebetulan saat ini ia sedang mengajar di kelasnya sendiri. Kalau begitu kita langsung saja kesana, tadi saya sudah bilang pada pak santoso untuk mengatur bangku rio..” jelas bu amperawati lugas. Ia berdiri sambil memberi isyarat pada aku dan mama agar mengikutinya. Aku keluar dari kantor dengan jantung berdebar. Bersama mama dan bu amperawati menyusuri koridor sekolah, hingga akhirnya berhenti disebuah ruangan kelas yang nampak hening. Di bangku guru depan kelas, pak santoso sedang duduk sambil membaca buku. Sementara murid murid tampak serius menulis sambil sesekali mengamati papan tulis. Bu amperawati mengetuk pintu perlahan. Pak santoso langsung menoleh. Demikian juga murid murid langsung menghentikan kegiatannya dan memandang ke arah kami dengan tatapan ingin tau.
“assalamualaikum.. Selamat pagi pak..” ujar bu amperawati. Pak santoso menghampiri kami.
“waalaikumsalam..masuk bu..”
“ayo, rio.. Silahkan masuk..” bu amperawati tersenyum padaku. Aku mengangguk, masuk ke dalam kelas dengan ragu. Pak santoso bicara dengan bu amperawati di pintu, mama menunggu sambil duduk di bangku teras kelas. Beberapa saat kemudian pak santoso kembali masuk kedalam kelas. Bu amperawati dan mama meninggalkan kami, mama masih sempat tersenyum padaku. Aku mengangguk sebagai tanda aku tak masalah ia tinggalkan. Aku tertunduk menatap lantai, aku agak malu membalas pandangan teman teman sekelasku. Ada yang terang terangan menatapku ingin tahu, ada juga yang tak begitu perduli. Pak santoso berdiri disampingku.
“anak anak, ini teman baru kalian, yang akan menjadi anggota kelas ini, ia pindahan dari bangka..bapak harap kalian bisa membantu ia agar bisa beradaptasi disini..”
pak santoso mulai memberikan pidato perkenalan. Aku diam mendengar kata kata pak santoso. Aku merasa wajahku mekar dan memerah karena malu. Terdengar suara suara riuh dalam kelas menanggapi kata kata wali kelas yang cukup berwibawa ini.
“wah belagak jugo..”
“duduk samo aku bae pak…”
“mukonyo merah nian cak ketam rebus…”
“anak wong beduit caknyo…!”
“ado kecengan baru aseeek…” aku makin malu mendengar celoteh celoteh teman teman sekelas, wajahku makin terasa panas.
“sudah.. Jangan berisik..!..” perintah pak santoso dengan suara keras.. Seisi kelas langsung senyap.
“silahkan perkenalkan diri nak..” aku memandangi pak santoso sebentar, kemudian menatap ke arah teman teman. Aku benar benar malu sekali hingga aku nyaris tak bisa mengeluarkan suaraku. Sementara teman teman menungguku bicara dengan ekspresi macam macam. Ada yang tertawa tertahan, ada yang terpaku menatapku dan ada yang tetap sibuk mencatat.
“namaku rio krisna julian… Dari bangka..” cuma itu yang keluar dari mulutku, namun tampaknya pak santoso sudah puas, ia mengangguk dan tersenyum.
“terimakasih rio, sekarang kamu boleh duduk dekat bangku barisan ketiga deretan nomor dua…” pak suroso menunjuk ke arah yang ia maksudkan. Aku serasa mengalami deja vu, dulu waktu rian menjadi murid baru di sekolahku. Aku begitu penasaran padanya, sekarang aku yang mengalaminya. Aku berjalan menuju meja yang cukup strategis berada di bagian lumayan dekat papan tulis. Seorang siswa kulit putih, wajah persegi tak terlalu cakep namun cukup menarik, wajahnya agak merah di tumbuhi jerawat. Namun senyumnya begitu manis, bibirnya agak tebal namun tak membuatnya kelihatan jelek, rambutnya ikal pendek. Aku tersenyum sebelum duduk di kursi sampingnya, ia membalas senyum, terlihat gingsul giginya.
“arya…” ia mengulurkan tangan dengan hangat. Dengan cepat aku sambut tangannya.
“kamu rio, tadi udah dengar kok..” ujarnya cepat cepat dengan berbisik. Aku tersenyum lebar.
“sekarang kita lanjutkan pelajaran minggu kemarin mengenai ekosistem…”
suara pak santoso berkumandang dari depan. Arya memberi kode agar aku mengeluarkan alat alat tulis, buru buru ku buka tas lalu mengeluarkan buku tulis kosong, untuk buku cetak aku sudah lengkap, kak faisal yang memberikan pada mama daftar buku yang harus di beli. Jadi aku sudah tahu kalau hari ini pelajaran biologi. Selama dua jam pelajaran aku menyimak apa yang diajarkan oleh pak santoso, aku mencatat setiap penjelasannya dengan cara aku ambil garis besarnya saja. Tak ada satupun yang bersuara, semua serius mengikuti. Hingga saat bell berbunyi, rasanya begitu cepat.. Arya membereskan alat tulis dan buku bukunya lalu memasukkan ke dalam tas. Pak santoso keluar kelas, masih ada satu pelajaran lagi sebelum istirahat, menurut jadwal pelajaran satu minggu yang aku dapat dari kak faisal, setelah ini pelajaran agama. Aku bertanya tanya, guru agamanya perempuan atau lelaki.
sebenarnya aku kepengen bicara dengan arya, tapi aku masih agak sungkan, aku belum mengenalnya kecuali namanya saja. Tapi dari pembawaannya aku rasa anaknya bakalan asik diajak berteman. Kulihat ia mengeluarkan buku cetak agama islam. Sesaat ia menoleh padaku.
“udah punya buku cetak ini?” ia menunjukan buku yang ia pegang. Aku mengangguk.
“guru agama namanya bu nurlela, kita ada pekerjaan rumah loh.. Tapi kamu kan baru masuk..” jelas arya tanpa aku tanya.
“oh ya… Kamu asli bangka? Aku punya bibik yang juga tinggal disana..” aku memandang arya dengan tertarik.
“kamu punya saudara di bangka?.. Tinggal di daerah mana?”
“pangkalpinang, namanya bibik endah, anaknya ada yang seumuran kita, namanya roni… Dulu dia sekolah di smp dua, sekarang ia sudah sma juga..”
“wah aku juga smp dua, kalau nggak salah anaknya hitam manis, rambut lurus dan suaranya agak parau ya?”
“betul… Kamu kenal?” arya terlihat senang.
“wah kalau roni itu sekelas denganku.. Anaknya bandel tapi baik.. Nggak nyangka aku bakal kenal sama sepupunya disini..” kataku antusias. Arya baru mau menjawab namun ia urungkan karena bu nurlela memasuki kelas.
“assalamualaikum…” sapa bu nurlela sambil duduk di kursi guru.
“waalaikum salam..” seisi kelas menjawab.
“nanti istirahat aku masih banyak mau diomongkan..” arya berbisik sambil membuka buku agama. Aku mengangguk. Bu nurlela bertubuh agak kecil, memakai jilbab, wajahnya terlihat seperti cemberut walaupun ia tak bermaksud begitu, suaranya cukup lantang dan jelas didengar. Ia mengajar dengan metode tanya jawab. Ia sempat heran waktu melihatku. Namun teman teman langsung menjelaskan kalau aku adalah murid baru. Bu nurlela memberikan nasehat agar aku tak main main belajar, aku mendengarkan dengan diam sambil mengangguk kecil. Aku senang sekali dengan caranya mengajar. Kelas jadi interaktif, setiap ia melontarkan pertanyaan, puluhan jari teracung keatas. Saat jam pelajarannya berakhir, aku masih merasa belum puas. Tapi sayang jadwal hari ini cuma satu jam mata pelajarannya. Ia sempat berpesan pada kami kalau pertemuan berikutnya akan ada ulangan harian. Lalu ia keluar.
“ayo rio kita istirahat ke kantin, ngobrol sambil makan..” arya memasukkan tasnya ke dalam laci kemudian berdiri. Aku ikut berdiri mengikuti arya. Pas di lapangan basket, aku berpapasan dengan kak faisal serta teman teman yang tempo hari mabuk dirumah agus.
“dek.. Udah dapat teman ya?” kak faisal menghampiriku. Aku menoleh kearah arya, ia tersenyum pada kak faisal.
“kami mau ke kantin kak, kalian mau kemana?” aku balik bertanya.
“baru aja mau ke kelas adek, ya udah kalau mau kesana, kirain adek masih di kelas sendirian..”
“sama sama aja kak..”
“ntar nyusul, pergi aja dulu, kakak mau ke kelas dua empat dulu.” kak faisal bersama geng nya meninggalkan aku dan arya. Pastilah ia mau menemui ceweknya itu. Aku jadi penasaran gimana sih rupa ceweknya kak faisal. Amalia… Namanya cukup bagus.
“kok bengong.. Ayo.. Ntar keburu bunyi bell lagi loh..” arya menarik tanganku.
kantin terletak di bagian belakang laboratorium, ramai sekali siswa siswi yang makan di kantin itu, sebagian nampak berebutan tempat, aku dan arya mengambil tempat duduk di sudut kantin, kami memesan mie rebus dengan telur, pada waktu aku sedang makan, kak faisal datang bersama rombongan tadi, ditambah dengan dua orang siswi yang kulihat berpembawaan kalem, mereka duduk di kursi tak jauh dariku.tanpa bertanya aku sudah bisa menebak yang mana namanya amalia, soalnya ia berdiri disamping kak faisal dan sekarang duduk disamping kak faisal pula. Amalia kelihatannya agak pemalu, atau sikapnya itu karena didepan kak faisal yang notabene adalah pacarnya. Orangnya lumayan cantik, kulitnya putih mulus dengan rambut lurus sebahu dibawah agak melengkung ke dalam. Memakai bando warna biru. Wajahnya oval mungil, proposional dengan hidungnya yang mancung agak mendongak diujung. Alisnya lumayan tebal untuk ukuran cewek, secara keseluruhan nyaris sempurna. Tak heran kalau kak faisal kepincut padanya. Aku pura pura tak tahu dengan keberadaan mereka disitu.
Hingga….
“hai.. Rio..! Kelaparan nampaknya ya?” seru rizal yang posisi duduknya tepat menghadap ke arahku. Mau tak mau aku membalas sapaanya itu.
“hai zal, sori nggak tau ada kalian..!” aku pura pura kaget.
“gabung sini dek..!” kak faisal melambai kearahku.
“makasih kak, ini udah hampir selesai juga kok..” aku memainkan sendok dan garpu seolah olah sibuk.
“ya udah… Huuu mentang mentang udah dapat teman baru..” gerutu kak faisal. Aku tak menjawab dan tak melihat ke arah mereka, namun aku tahu kalau amalia sedang memperhatikan aku. Walau kurang berselera aku menghabiskan mie rebus cepat cepat, ku suruh arya menghabiskan mie nya kemudian kami meninggalkan kantin. Kak faisal dan teman temannya tak melihat karena sibuk makan. Aku dan arya kembali ke kelas, duduk di bangku kami sambil menunggu bell.
“nggak nyangka kamu adiknya si faisal, wajah kalian nggak mirip sama sekali..” tukas arya mengamatiku.
“masa sih nggak mirip?” aku pura pura heran.
“iya… Jauh banget, tapi nggak selalu saudara itu harus mirip..”
“aku dan kak faisal bukan saudara kandung, ia kakak tiriku..”
“oh yaaaa…?”
“ibuku menikah dengan bapaknya kak faisal…” jelasku singkat. Arya mengangguk angguk kayak boneka dog yang ada dimobil mama.
“hai ar… Tumben udah di kelas..” aku dan arya serempak menoleh ke arah pintu, ternyata teman sekelas kami juga, aku belum kenal, tapi aku tahu ia duduk di bangku barisan belakang. Ia menghampiri kami.
“iya nih.. Soalnya rio udah ngajak ke kelas.. Eh kalian kenalan dong..” ujar arya santai.
“hai rio, aku arthur..” siswa yang baru datang tadi menghampiriku dan memasang senyum ramah. aku mengulurkan tangan langsung disambut olehnya dengan hangat.
“salam kenal, pindahan dari bangka ya?” tanya arthur sambil duduk diatas mejaku.
“iya…” aku menjawab singkat.
“udah berapa lama tinggal disini?”
“dua bulan..”
“dia adiknya faisal loh..” timpal arya cepat cepat, seolah olah penting kalau arthur tau aku adiknya faisal.
“faisal anak dua tiga yang ketua kelas itu?” arthur menoleh ke arya.
“iya.. Faisal mana lagi sih yang kamu tau.!” ujar arya tak sabar.
“oh begitu…. Tapi kamu kok pendiam gitu, nggak kayak si faisal..” arthur sedikit heran. Aku cuma menyeringai.
“emangnya kalau punya kakak itu harus sama ya sifatnya?” cibir arya sambil mendengus.
“nggak juga sih… Cuma..”
“cuma apa?”
“kayaknya rio nggak bandel kayak kakaknya.” lanjut arthur sambil tertawa. Aku terperangah mendengar kata kata arthur.
“maksudmu?” tanyaku agak tersinggung.
“nggak… Cuma bercanda kok..!” arthur sepertinya agak jengah mendengar nada suaraku.
“kak faisal bandel, kamu tau darimana.?” aku jadi penasaran, apa yang telah dilakukan kak faisal hingga dicap bandel, apakah kak faisal sering membuat masalah di sekolah. Selesai makan di kantin, aku bertiga dengan arya dan arthur kembali ke kelas. Aku merasa senang telah melalui hari ini dengan lancar, meskipun baru tapi telah mendapat teman. Pelajaran selanjutnya diajar oleh guru yang masih muda, cukup cantik, aku langsung suka. Bu marissa namanya. Suaranya lembut dan mendayu dayu, cukup untuk membuai telinga hingga mataku menjadi berat. Berkali kali arya menyenggolku yang nyaris tertidur. Hingga aku terkesiap berkali kali juga. Setelah mata pelajaran antropologi selesai, bu marissa keluar dan digantikan dengan pak wisnu yang mengajar kimia. Mataku yang sempat redup jadi lebar kembali karena suara pak wisnu yang berat berkumandang keseluruh ruangan kelas. Belum lagi unsur unsur zat serta kode kode membuat otakku tak ada kesempatan untuk santai. Untung saja cuma satu jam sesi pelajarannya yang juga pamungkas kegiatan belajar hari ini. Bell pulang telah berbunyi. Aku membereskan semua buku dan peralatan tulis lalu memasukkan kedalam tas. Setelah kami memberi hormat terakhir, pak wisnu meninggalkan kelas. Bagaikan semut keluar dari sarang, teman teman saling berebutan keluar seolah olah ada kebakaran dalam kelas. Baru saja aku keluar e, kak faisal sudah menungguku berdiri didepan pintu.
“ayo dek pulang..” Kak faisal mengajakku.Aku mengangguk dan mengikuti kak faisal hingga ke tempat parkiran.
“gimana tadi belajarnya dek?” Tanya kak faisal saat kami berdua sudah diatas motor dijalan raya.
“lumayan asik kak, guru gurunya pada enak ngajarnya..”
“baguslah kalau memang begitu… Gimana dengan teman teman barunya?”
“tak ada masalah kak, rio udah dapat teman dikelas..” Aku menjawab singkat. Setelah itu kami berdua cuma diam hingga tiba dirumah. Aku langsung turun dari motor dan masuk kedalam rumah, sementara kak faisal memasukkan motor kedalam garasi. Didalam kamar aku mengganti seragam sekolahku dengan baju kaus oblong dan celana jeans selutut. Rumah masih sepi, mama dan papa jam segini masih kerja. Jadi hanya ada bik tin saja sedang menonton tayangan televisi.
“makan dulu bang, bibik udah masakin sup telur puyuh sama tumis kangkung kesukaan abang…” Ujar bik tin begitu melihatku masuk ke dapur.
“makasih bik, rio makan dulu, oh ya… Bibik juga udah makan kan?”
“udah bang, kalau bibik nggak usah ditanya lagi, udah dari tadi makan..” Bik tin tersenyum geli kemudian ia berdiri dan mengikutiku ke dapur. Bik tin mengambil sebuah piring kemudian memberikan padaku.
“makasih bik..” Aku duduk dikursi makan dan mengambil nasi. Kak faisal muncul di pintu lalu menghampiriku dan ikut makan siang bersamaku. Habis makan, kami berdua main sega dikamar kak faisal. Hingga tak terasa telah sore.
“dek tolong kunci pintunya..” Kak faisal mematikan sega player. Aku berdiri kemudian mengunci pintu, walaupun sedikit heran, aku tak bertanya. Sementara kak faisal membuka lemarinya dan berjongkok mencari cari sesuatu di bagian dasar lemari.
“cari apa kak?” Aku jadi penasaran.
“ada aja..!” Jawab kak faisal penuh teka teki.
“aduh dimana ya…perasaan kemarin aku taruh disini deh” Kak faisal terus mencari cari. Aku menghampiri kak faisal ikut berjongkok disampingnya.
“apa sih… Buku ya?”
“bukan dek..”
“lalu apa…?”
“kaset video..”
“wah film baru ya?”
“iya dek, kakak baru pinjam sama rizal, aduh gawat dimana ya?” Kak faisal mulai panik.
“mungkin bik tin yang mindahin..” Ujarku sambil membantunya mencari.
“masya allah.. Jangan sampai deh..” Wajah kak faisal nampak panik.
“loh emangnya kenapa?” Aku jadi makin heran.
“bisa gawat dek” Kak faisal berdiri dan mengacak tumpukan bajunya yang terlipat rapi secara serampangan hinga berantakan. Aku cuma menggelengkan kepala melihat tingkah kak faisal.
“astaga… Untung saja ketemu..” Kak faisal menepuk keningnya dengan lega, tangan kirinya memegang sebuah karet video berwarna hitam. Tanpa sampul dan gambar.
“film apa sih kak?”
“sabar.. Hehehe adek pasti suka..” Seringai kak faisal. Kemudian ia menyalakan video player lalu memasukkan kaset itu ke dalamnya. Aku duduk didepan televisi menunggu dengan penasaran. Kak faisal menutup tirai jendela kamarnya. Aku menyipitkan mata melihat kelakuan kak faisal yang ganjil. Kamar menjadi agak gelap, kak faisal duduk disampingku memegang remote. Di layar terpampang gambar seorang perempuan berambut pirang yang sedang berada di dapur, memakai baju cukup sexy untuk ukuran memasak. Seorang pria tampan dengan badan tegap bagai binaragawan memakai baju montir masuk dan menghampiri perempuan itu, mereka berbincang bincang, namun aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Soalnya tak ada teks nya sama sekali.
“kak filmnya jelek, nggak tau maksud ceritanya..”
Aku memprotes.
Kak faisal tak menjawab, hanya mengibaskan tangan ke depan mukaku dengan tak sabar.
“aku mau keluar dulu ya…”
Belum sempat aku berdiri, mataku menjadi nanar melihat perempuan itu tiba tiba berlutut didepan lelaki bertubuh tegap itu. Membuka resleting celana ketat yang membalut paha kekar lelaki itu. Tenggorokanku langsung tercekat , Selanjutnya adegan demi adegan sukses membuat mataku melotot, suatu yang seumur hidup tak pernah aku lihat, membuat sekujur tubuhku menggigil gemetaran. Kepalaku menjadi betul betul pusing hingga rasanya mau muntah saja. Namun kak faisal bagai tak menyadari reaksiku. Ia begitu serius menyaksikan adegan mesum yang semakin lama semakin tak karuan. Aku memalingkan pandangan ke lain, muka ku rasanya mekar karena malu. Adegan tak pantas itu membuat aku canggung. Sesekali kak faisal menoleh padaku dan tersenyum puas.
“kenapa dek?” Seringai kak faisal padaku.
“kepalaku pusing kak.. Aku mau keluar saja..” Aku masih mencoba memalingkan wajah dari televisi.
“ahhh adek kayak perempuan aja.. Biasa kale cowok nonton beginian..” Kak faisal tak sabar. Aku tak menjawab, pipiku terasa panas.
“tuh dek coba lihat..” Tunjuknya ke televisi. Mau tak mau aku menoleh untuk melihat. Aku mendesah begitu melihat perempuan berambut pirang Perutku makin mual.
“jangan sok kayak perawan deh dek.. Nikmati saja, kalau nggak nonton ini ya nggak belajar, gimana kalau nanti adek kawin kalau tak tau caranya.!” Tegur kak faisal. Mendengar kata kata kak faisal, aku jadi tersipu, kak faisal bisa saja membuat aku bingung, lagipula aku gengsi juga, kak faisal biasa biasa saja menontonnya sedangkan aku bersikap seolah olah pak kyai yang kolot. Akhirnya aku menonton juga walaupun kepalaku pusing dan tubuhku gemetaran. Aku nyaris tak percaya sesuatu yang begitu tabu dan terlarang bisa dipertontonkan dengan begini vulgar. Seolah olah hal yang lazim dan biasa untuk ditunjukkan. Limabelas menit adegan bergulir demi adegan, aku merasakan sesuatu yang lain sekarang, entah kenapa tubuhku terasa agak panas, keringat mengalir dari pelipisku. Jantungku berdebar debar keras dan yang paling parah, tubuhku terasa tegang hingga rasanya ingin kencing. Kak faisal sangat menikmati menonton film tak senonoh itu. Aku memperbaiki posisi duduk, malu kalau kak faisal melihat.
Jam empat aku keluar dari kamar kak faisal, sebelumnya ia sudah memperingatkan aku untuk tak menceritakan apa yang kami lakukan tadi pada siapapun penghuni dalam rumah ini. Kak faisal menyimpan kembali kaset video itu di bagian paling bawah lemari bajunya.
************


Hari hari yang aku lalui di sekolah lumayan menyenangkan, aku telah mengenal beberapa teman yang menjadi teman akrabku di sekolah. Arya teman sebangkuku yang berwajah oriental, arthur yang suka melucu dan biang ketawa. Ronal anak kelas 1 lima berwajah keturunan arab, suka bercerita yang jorok jorok, banyak pacar dan narsis. Anto si kutu buku yang hobi main gitar, suara bagus sekali, tapi mudah tersinggung. Totok anak jawa dengan logat yang kental, sama seperti arthur juga ia suka melucu. Tapi totok mengidap asma, kalau kambuh ia harus menyemprotkan obat dalam tabung kecil ke dalam mulutnya. Satu lagi cewek tomboi namanya anggita, suaranya mirip cowok, kurus tinggi, lumayan cantik, tapi suka merokok juga. Kadang kami berkumpul di belakang kelas dan merokok. Arthur yang mengawasi kalau kami merokok. Ia memberitahukan kalau ada guru yang mendekat, lalu kami segera memadamkan rokok dan mengobrol seolah tak terjadi apa apa. Kak faisal terkadang mengajak aku berkumpul dengan teman temannya lagi. Aku sudah mulai terbiasa dengan gaya pergaulan disini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar