Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 9

#11 TANTE LARAS YANG BAWEL

Sudah seminggu aku dipalembang, perlahan lahan aku bisa mengatasi kerinduan akan kampung halaman, makanan yang aku bawa dari bangka sudah habis, tentu saja dibantu oleh kak faisal dan om sebastian. Aku sudah mulai merasakan kehangatan suatu keluarga yang utuh.

Mama telah membawaku ke salon langganannya, rambutku dipotong seperti kak faisal, cepak ala tentara. Udara dipalembang yang tak sepanas di bangka membuat kulitku tak lagi begitu dekil, apalagi dirumah ini ada ac, aku merasa kulitku jadi semakin putih.

Mama bikin rencana untuk mengadakan pesta untuk menyambut kembalinya aku. Perasaan dulu mama deh yang ninggalin aku. Kok jadi kesannya aku yang pergi dan sekarang kembali. Ah sudahlah.. Tak terlalu penting juga, yang penting sekarang adalah aku harus siap siap untuk masuk sekolah.

Sebetulnya tahun ajaran baru sudah dimulai, tapi aku tak langsung mendaftar, kata mama nanti kalau sudah selesai masa plonco baru aku masuk. Kalau aku sih terserah mama saja yang ngatur, lagian dia juga kok yang bayar. Seharian ini aku sedikit agak boring.

Nonton tv nggak ada program yang bagus, kebanyakan film anak anak kalau jam segini. Mau jalan, jalan kemana wong teman aja belum ada, tetangga agak jauh soalnya rumahku ini agak menjorok ke dalam, meskipun ada di pinggir jalan, tapi jarak antara pagar dan rumah udah kayak jarak rumahku di bangka ke rumah angga.

Belum lagi tinggi pagarnya yang udah kayak pagar penjara membuat tetangga tetangga disini terasa jauh. Memandangi ikan bosan, maen games bosan. Kak faisal sekolah, om sebastian kerja, papa kerja, mama kerja. Aku cuma berdua sama bik tin dirumah ini. Ngajak bik tin main basket mana mungkin….

Akhirnya aku cuma duduk didepan tangga lantai teras yang agak tinggi sambil melihat langit dan awan. Sebuah mobil sedan berwarna biru tua memasuki pekarangan rumah. Aku berdiri untuk melihat siapa yang datang. Mobil berhenti tepat didepan garasi, pintu mobil terbuka dan seorang perempuan lebih muda dari mama turun dan berjalan menuju ke teras. Saat melihat aku ia agak mengerutkan alisnya seolah heran. Aku buru buru tersenyum dan bertanya.

“maaf.. Tante cari siapa?” Tante tante itu tak membalas senyumku sedikitpun malah balik bertanya agak angkuh.

“loh emangnya kamu siapa?” Mendengar suaranya yang tak ramah membuat aku sedikit kesal juga.

“tante ini aneh..! Ditanya baik baik malah balik nanya… Aku rio anak pemilik rumah ini.. Orangtuaku tak ada dirumah.. Lagi kerja.. Nanti aja kesini lagi.. Kalau ada sesuatu yang penting tinggalkan pesan aja nanti aku sampaikan..!”. Aku membuang segala sopan santun dihadapan tante angkuh itu.

“eh… Berani beraninya kamu ya.. Minggir..!!” Ia mendorongku ke samping dan langsung masuk ke dalam rumah. Aku jadi curiga jangan jangan perempuan ini mau berbuat jahat, soalnya kan di kota kota besar sering terjadi penipuan, penjahat bukan hanya orang orang yang bertampang sangar, tapi bisa juga seorang tante tante cantik seperti ini.

“hei.. Siapa suruh tante masuk.?” Cepat cepat aku menyusulnya masuk ke dalam. Namun ia tak mengacuhkan aku sama sekali. Malah ia berteriak memanggil bik tin.

“bibik… Bik… Bik tin…!” Suaranya yang nyaring itu bisa untuk mengejutkan kucing yang sedang tidur. Bik tin keluar dari dapur dengan tergopoh gopoh. Seperti agak kaget bik tin langsung menaruh hormat.

“eh bu laras.. Kapan datang..? Kok bibik nggak dengar suara mobilnya?” Bik tin terlihat begitu segan padanya. Aku jadi bertanya tanya siapa tante itu, sepertinya ia sudah akrab dengan keadaan rumah ini.

“siapa anak ingusan kurang ajar itu bik?” Tante itu menunjukku dengan sikap melecehkan.

“itu anak nyonya, bu… Baru datang satu minggu yang lalu..!”

“anak mega? Anaknya yang mana?” Tante itu mendelikkan matanya dengan terkejut seolah olah barusan disambar halilintar saat mendengar penjelasan bik tin. Aku langsung kuatir, jangan jangan tante itu…….

“anak kandung nyonya.. Dari bangka bu..?” Bik tin kelihatan seperti cemas sekali.

“anak kandung.. Dari bangka.? Kok aku nggak tahu.. Jadi mega sudah punya anak kandung sebelum menikah dengan bang harlan…? Jerit tante itu sambil mendekap mulutnya.

Bik tin memberi isyarat padaku agar pergi masuk ke kamar. Aku mengangguk langsung beranjak ke kamar. Aku masih penasaran siapa sebenarnya tante itu, kenapa bik tin menaruh hormat padanya, ataukah mungkin tante itu saudara papa?. Kalau memang iya, wajar saja ia terlihat sudah biasa dirumah ini, tapi mama tak pernah cerita padaku tentang keluarga papa, kalau memang ia adik papa sepertinya aku tak menyukainya. Soalnya terlihat sekali kalau orangnya itu sombong, dari caranya memandang aku seperti memandang sebelah mata. Ah persetan amat dengannya, lagian kan ia tak tinggal disini, mau suka atau tidak padaku itu tak terlalu jadi persoalan, yang penting mama, papa, kak faisal dan om sebastian semuanya baik padaku. Sudah jam setengah dua sekarang, pasti kak faisal sebentar lagi pulang. Aku bisa mengajak kak faisal bermain games.
Suara mobil mama terdengar dari luar halaman, rupanya mama sudah pulang, aku harus bertanya sama mama tentang tante itu, buru buru aku keluar kamar menyambut mama di depan teras. Mama tersenyum saat melihatku. Memakai baju kantoran seperti itu membuat mama terlihat sangat muda, ia menghampiriku lalu mencium pipiku.
“udah maem sayang?”.
“udah ma..!”
“kak fai udah pulang?”
“belum… Ma, ada tante tante nyariin mama..!”
“siapa?”
“nggak tau.. Tapi orangnya agak judes.!” jawabku.
“tante laras ya?” wajah mama langsung berubah, seolah kaget.
“iya ma.. Tante laras, memangnya dia siapa ma?” aku jadi makin penasaran.
“tante laras adik papa kamu, dia tinggal di baturaja, tumben ia kesini nggak kasih kabar dulu, mama masuk dulu ya, mau menemui dia, ayo ikut mama sekalian mama mau mengenalkan kamu sama tante laras, mama jadi nggak enak soalnya belum memberitahunya soal kamu..!” mama membuka sepatunya lalu masuk ke dalam rumah, aku mengikuti mama, diruang tengah tante laras sedang duduk di kursi panjang menonton tipi. Saat melihat mama ia langsung berdiri.
“eh kak mega, udah pulang kerja kak?” tante laras menghampiri mama lalu menyalaminya.
“udah dik, ngomong ngomong kapan datang, kok nggak ngasih kabar duluan, jadi bisa nyuruh bik tin masak dendeng balado kesukaanmu…”
“udahlah kak, nggak usah repot repot, aku kangen sama ponakanku, mana si faisal, kok jam segini belum pulang?” tanya tante laras sambil melongok ke jendela, seolah mau melihat kak faisal sudah datang atau belum.
“faisal mungkin langsung ke rumah temannya, soalnya kemarin ia baru aku belikan motor, mungkin ia mau puas puasin dulu memakai motor barunya…” jelas mama. Tante laras mengangguk dan mengalihkan pandangan dari jendela, Saat melihatku ia seolah baru sadar akan keberadaanku disitu.
“kak, itu siapa?” tante laras menunjukku. Aku langsung menunduk menghindari tatapan matanya yang tajam. Mama menoleh kearahku.
“oh iya dik maaf belum sempat memberitahu, itu anakku..” jawab mama, kemudian ia memanggilku untuk mendekat. Aku berjalan pelan menghampiri mereka.
“rio, kenalkan ini tante laras adik papa…ayo salami tantemu nak.!” aku agak ragu menyalami tante laras, aku ulurkan tangan padanya, tante membalas salamku, cuma sebentar langsung ia lepaskan.
“kakak nggak pernah cerita sebelumnya kalau sudah punya anak…” tante laras menuntut penjelasan dari mama.
“maaf dik, kakak bukan tak mau cerita, tapi bang harlan, ia meminta agar tak cerita dulu pada keluarganya, sebenarnya kakak sudah mau berterus terang, kakak tak mau ada salah paham….” kata mama tak enak hati. Melihat reaksi tante laras, aku jadi mengerti mengapa papa meminta untuk tak menceritakan dulu tentang keberadaanku.
“seharusnya masalah seperti ini tak perlu kakak tutup tutupi, lambat laun toh kami juga pasti tahu, kok baru sekarang ia ikut kakak, memangnya selama ini dia dimana?” selidik tante laras ingin tahu. Mama menarik nafas dengan berat, seolah olah sulit bagi mama untuk menceritakannya. Aku jadi bingung, dari tadi aku berdiri disini seperti orang bodoh, mendengar percakapan mereka yang membuat aku jadi rikuh. Ku beranikan diri bicara sama mama untuk pergi ke kamar. Untung saja mama langsung mengangguk mengiyakan, biarlah mama yang menjelaskan tentang aku. Setelah pamit sama tante laras, aku langsung ke kamar. Aku lega sekali karena bisa menghindar dari situasi yang tak mengenakkan tadi, aku duduk dikarpet lalu mengambil remote televisi dan menyalakannya. Tayangan di layar menampilkan iklan dari stasiun televisi, aku pindah channel, namun tak ada acara yang bagus, ku matikan lagi televisi, kemudian aku memutar tape, alunan lagu dari nike ardila terdengar dari speaker midi yang berdentum mulus, karena suara nike yang mendayu membuat mataku jadi sayu, ditambah lagi dengan dingin hembusan ac, akhirnya aku tertidur. Aku terbangun karena kak faisal menutup mukaku dengan bantal, karena sesak akhirnya aku tersadar. Kak faisal tertawa ngakak seolah olah senang karena berhasil membuatku kesal. Aku menggerutu sambil duduk.
“hei gembel, kalo tidur itu jangan di lantai, tuh ada tempat tidur.. Kebiasaan kampung itu jangan dibawa terus..!” ujar kak faisal santai, seolah menyebut aku gembel merupakan hal yang biasa baginya.
Ku raih bantal yang tadi ia pakai untuk menutup mukaku, kemudian aku pukulkan ke kak faisal dengan kesal. Kak faisal tertawa sambil mengelak.
“ganggu aja sih… Nggak ada kerjaan lain ya?” kataku sebal.
“mandi sana.. Kakak mau ngajak kamu ke rumah teman, mau nggak?” tanya kak faisal.
“ngapain?” tanyaku penasaran.
“ya main.. Emangnya mau ngapain?” kak faisal balik tanya.
“ya tumben aja.. Kok ngajak, biasanya kan langsung pergi sendiri…”
“kan kakak baru beli motor… Kemarin kemarin kita belum dekat…” jelas kak faisal.
“oke deh kalau gitu aku mandi dulu ya..”
“udah buruan.. Kakak juga mau ganti baju dulu…!” kak faisal berdiri lalu keluar dari kamarku, aku langsung kekamar mandi. Sekitar sepuluh menit aku mandi lalu berpakaian. Setelah itu aku menemui kak faisal yang sudah menungguku di ayunan depan halaman rumah. Tak kulihat tadi tante laras dan mama, mobilnya juga tidak ada. Aku tanya pada kak faisal, katanya mama mengajak tante laras jalan jalan. Kak faisal juga bilang padaku kalau tante laras orangnya agak cerewet, tapi kak faisal ponakan kesayangan tante laras, kak faisal memamerkan jam tangan baru pemberian tante laras. Kak faisal mengeluarkan motor dari garasi kemudian ia menyuruh aku naik di boncengan, dengan ngebut kak faisal membawa motor, aku agak ketakutan soalnya aku agak jarang naik motor, walaupun dibangka, jarang sekali aku boncengan dengan motor, tak ada teman sebayaku yang akrab punya motor, tapi kak faisal sepertinya sudah mahir, jalan raya sudirman yang lumayan ramai dan besar bisa ia kuasai, saat menyalip motor lain pun kak faisal begitu lincah. Sekitar limabelas menit kami sampai disebuah rumah yang lumayan bagus walau tak bisa di bandingkan dengan rumah mama. Kak faisal menyuruhku turun kemudian ia memarkir motornya.


“ayo dek… Kita lewat samping aja.. Kamar teman kakak dibagian belakang rumah…” kak faisal memberi isyarat agar aku mengikutinya. Kami berjalan melewati jalan samping rumah teman kak faisal, rumah ini cukup nyaman, ada pohon belimbing di depannya, rumput tebal menutupi semua permukaan tanah, aku mengikuti kak faisal hingga ke belakang rumah ini. Suasana tampak agak sepi, mungkin penghuni rumah ini sedang keluar, soalnya tak ada suara apapun, waktu aku melirik pada jendela kaca, memang begitu sepi. Sampai di bagian belakang rumah, lebih teduh lagi karena ada pohon jeruk purut yang rindang. Terdengar suara tertawa tawa, kak faisal mengintip pada jendela yang terbuka di belakang rumah ini.
“hei faisal.. Darimana aja udah ditunggu dari tadi.. Ayo masuk..!” terdengar suara dari dalam kamar itu.
“ayo dek..” kak faisal menarik tanganku. Aku masuk mengikuti kak faisal ke dalam rumah. Rupanya kamar temannya ada dibagian paling belakang rumah ini.
“sama siapa sal?” tanya seorang cowok memakai kacamata, rambut acak acakan, kulit sawo matang seumuran kak faisal.
“ini sama adikku gus!” jawab kak faisal sambil mengambil posisi duduk dekat dinding, biar ia lebih leluasa untuk menyender. Ada empat orang dalam kamar ini, sepertinya mereka teman teman sekolah kak faisal. Cowok yang berbadan tegap rambut disisir belah tengah, wajahnya lumayan tampan agak oriental langsung berdiri menghampiriku lalu mengenalkan diri.
“rizal…!” aku menjabat tangannya.
“rio..” jawabku. cowok berkacamata dan dua teman yang lain ikut berdiri memperkenalkan diri.
“agus..!” kata yang berkacamata.
“ferry” ujar cowok kurus, rambut ikal, kulit putih, kuku kelingkingnya agak panjang, aku tahu pasti fungsinya untuk ngupil.
“firdaus..!” cowok agak pendek dariku, kulit hitam, rambut lurus agak tipis memperkenalkan diri.
“duduk aja rio, nggak usah sungkan sungkan disini, nyante aja.. Kita cuek semua kok..!” ujar ferry.
“iya.. Kita nggak gigit kok.!” timpal rizal. Aku mengangguk sedikit malu, kemudian duduk disamping kak faisal.
“eh sal, kamu kan anak tunggal, katanya nggak ada adek atau kakak, nih siapa emangnya?” tanya agus penasaran.
“iya gus, aku juga baru tau kalo punya adek, ini anak kandung mama tiriku, baru seminggu lebih di sini..” jelas kak faisal sambil mengambil kopi di depan ferry.
“oh jadi kalian bukan saudara kandung? Pantas aja muka kalian nggak ada mirip miripnya sama sekali..” tambah firdaus sambil menyulut rokok malboro merah.
“iya lah.. Gantengan aku kan kemana mana..!” canda kak faisal.
“ganteng dari hongkong.. Muke jelek kayak bekantan gitu dibilang ganteng..!” cibir agus sambil memonyongkan bibirnya yang agak tebal.
“eh gus, jaga tuh bibir ntar jatuh.. Kena pasir kan kotor!” kata rizal gemas. Agus langsung cemberut melihat rizal.
“ortu loh ke sekayu kan.. Jadi nginap disana?” tanya kak faisal. Agus cuma mengangguk. Rupanya ini rumahnya agus.
“Jadi kan pestanya?” tanya kak faisal lagi.
“nggak apa apa nih ada adek kamu?” yakin rizal.
“ya nggak apa apalah..” balas kak faisal. Aku diam saja mendengarkan percakapan mereka. Entah pesta apa yang mereka maksudkan aku juga kurang mengerti, soalnya tak ada tanda tanda mau pesta disini.
“ayo arisan.. Arisan.. Setor uang cepat..!” firdaus menadahkan tangannya seolah olah mau menagih hutang pada teman temannya. Aku makin bingung, kok jadi pada arisan, baru aku tahu kalau pergaulan remaja disini yang cowok suka arisan. Kak faisal mengeluarkan dompetnya lalu menaruh selembar uang sepuluh ribu diatas karpet. Diikuti oleh agus selembar uang limaribu, rizal limaribu, ferry dan firdaus masing masing juga limaribu. Aku jadi bingung soalnya aku nggak bawa uang. Tapi kak faisal langsung ngomong.
“itu aku sepuluh ribu, sekalian dengan rio..” semua temannya mengangguk. Aku menarik nafas lega.
“nah sekarang sudah terkumpul tigapuluh ribu, lumayan…” kata agus sambil mengumpulkan lembaran lembaran uang kertas diatas karpet. Aku menunggu dengan penasaran, bagaimana arisan yang mereka maksudkan.
“siapa yang temani aku?” tanya agus.
“suruh ferry aja..!” jawab rizal sambil mengambil gitar diatas kasur yang diletakkan di lantai. Kamar agus lumayan luas, enam meter kali 5 meter, cukup leluasa untuk menampung teman teman ngumpul. Ada tape compo dan lima wadah kaca berukuran sebesar gelas bir berisi ikan cupang warna warni dalam kamar ini. Selebihnya hanya kasur per dan lemari baju. Kamar ini agak pengap dan bau asap rokok. Baju baju dan celana bergantungan di dinding. Ciri khas kamar remaja cowok yang tak teratur. Agus dan ferry berdiri, ferry mengambil kunci motor diatas karpet.
“kalian tunggu ya..” pesan agus sambil keluar kamar.
“oke.. Jangan lama lama.. Udah nggak tahan lagi nih..” teriak rizal sambil memetik gitar akustik warna hitam piano. Aku makin bingung, memangnya mau ngapain sih..kok kata kata rizal itu mencurigakan banget.
“kak kita mau ngapain?” aku berbisik ditelinga kak faisal.
“pokoknya ikut aja dek.. Kita mau hepi.. Ntar adek juga tau sendiri..” kak faisal balas berbisik. Sementara itu rizal dengan suaranya yang pas pasan dan cempreng berteriak menyanyikan lagu umar bakrie nya iwan fals sambil memetik gitar. Oke.. Jujur, untuk permainan gitarnya aku akui memang bagus, tapi mendengar suaranya, bikin aku jadi kepengen berak. Namun rizal dengan percaya diri bak penyanyi kawakan terus memperdengarkan suaranya yang lebih pantas dipakai untuk jual minyak tanah. Aku yakin pasti sukses. Firdaus ikut ikutan bernyanyi sementara kak faisal mengetuk ngetuk gelas pake sendok seirama petikan gitar.
hampir setengah jam baru agus dan ferry kembali, sambil melemparkan kunci motor ke lantai, ferry masuk ke kamar. Sementara agus menyusul di belakangnya sambil memegang bungkusan lumayan besar, saat ditaruh diatas karpet, terdengar bunyi dentingan kaca. Kak faisal langsung beranjak membuka bungkusan plastik itu, rupanya ada tiga botol minuman yang aku tak tahu minuman rasa apa. Di depannya tertulis mcdonald whiskey. Warnanya mirip dengan air teh, dua botol lagi ukuran sedikit lebih kecil bertuliskan topi miring, vodka.. Warnanya bening seperti air mineral. Kak faisal menimang botol yang berisi air berwarna teh itu dengan semangat.
“ambilin gelas dong gus.. Masa minum langsung dari botol gini.!” celetuk rizal sambil meletakkan gitar ke gantungan di dinding.
“iya sabar, gue juga tau monyet!” jawab agus kesal, namun tak urung juga ia langsung berdiri dan keluar dari kamar.
“mana barangnya?” tanya kak faisal pada ferry.
“tunggu sebentar..” jawab ferry sambil merogoh kantong celana jeans panjang yang ia pakai, mengeluarkan tiga kertas koran terlipat seukuran kemasan pisau silet.
“wah keren… Dapat tiga amplop..!” seru firdaus kesenangan. Aku memperhatikan bungkusan kecil itu dengan ingin tahu, apa sih gerangan isi dalamnya.
“eh zal, pintu belakang udah di kunci belum?” tanya firdaus.
“udah tenang aja, tadi aku udah kunci….” ferry yang menjawab. Ia mengeluarkan lagi bungkusan kecil, yang aku kenal adalah kertas untuk pembungkus tembakau, soalnya ayah angga suka merokok pake kertas itu.
“untung loe nggak lupa beli papernya, soalnya stok aku udah habis..” ujar rizal sambil membuka satu bungkusan koran itu, aku menjorokkan kepalaku agak kedepan ingin tahu apa isinya. Oowh.. Ternyata cuma daun rumput kering sama rantingnya. Nggak sama dengan tembakau yang sering dibikin rokok gulung oleh ayah dodi. Kak faisal mengambil dua lembar kertas, menempelkan kertas itu dengan cara menjilatinya lalu menyatukannya agar lebih lebar. Aku diam memperhatikannya. Agus masuk ke dalam kamar dengan membawa enam buah gelas beling. Rizal menyobek kotak rokok lalu mengambil potongan kecil dan menggulungnya. Ia berikan pada kak faisal. Firdaus membuka tutup botol kemudian menuang isinya ke dalam gelas masing masing setengah gelas. Sementara itu ferry mengambil sebatang rokok lalu mengupasnya dan menaruh tembakau dari rokok itu ke atas selembar kertas folio, lalu ia mencampurnya dengan daun kering dari tiga bungkusan koran tadi, kemudian mencampurnya hingga rata. Aku terus memperhatikan mereka dengan penasaran, masa sih ini arisan yang mereka maksudkan itu, kak faisal mengambil sejumput tembakau campur daun kering kemudian menaruhnya hati hati di lembaran paper rokok yang ia tempel, dengan hati hati kak faisal menggulungnya. Setelah menjadi rokok, ia memelintir ujungnya hingga mirip sumbu. Pas enam puntung rokok berhasil ia buat dengan lihai. Aku kagum sekali sama kak faisal, ternyata ia bisa juga bikin rokok dengan rapi.
“kunci pintu kamar zal!” perintah agus pada rizal. Tanpa mengatakan apa apa rizal berdiri lalu mengunci pintu kamar.
“beres…” katanya sambil mengacungkan jempol. Kak faisal menyuruh kami duduk membentuk lingkaran. Aku menggeser agak ke depan lebih rapat duduk di samping kak faisal. Ferry membagi gelas masing masing kami dapat satu. Saat mengambil gelas dari ferry, aku mencium aroma minuman yang sangat aneh, agak memuakkan. Aku membatin, minuman macam apa baunya nggak enak kayak gini, tapi aku tak berani mengatakannya langsung, aku takut menyinggung kak faisal dan teman temannya.
“ayo kita toast…” ajak agus sambil mengangkat gelasnya. Semua mengambil gelas masing masing, kak faisal menyenggol bahuku sambil memberi isyarat agar aku mengangkat gelas juga. Buru buru aku mengangkat gelas dan kami langsung bersulang ala film film opera sabun yang sering emak tonton di tipi.
“untuk adikku rio.. Dan masuknya ia di geng kita..!” kata kak faisal bersemangat. Aku tersipu mendengarnya.
“minum dek…!” kak faisal mengingatkanku. Aku mengangguk. Semua teman kak faisal meminum isi gelasnya hingga tandas, termasuk kak faisal. Dengan percaya diri aku meneguk minuman di gelas yang ku pegang walaupun baunya agak sangar namun aku pura pura suka. Mataku langsung terbelalak kaget begitu minuman itu masuk ke mulutku, minuman apa ini….!!!!!
Aku langsung batuk batuk hebat, minuman dalam mulutku tersembur kemana mana. Mataku terasa juling dibuatnya, pahit bukan buatan, mana panas menyengat membuat hidungku jadi perih, sebagian yang sudah tertelan membuat tenggorokanku terasa seperti terbakar, aku taruh gelas dengan terburu buru, lalu aku lari membuka pintu dan cepat cepat keluar kamar, aku langsung muntah muntah dihalaman belakang rumah agus. Kak faisal menyusulku kemudian memijat pundakku agar aku lebih mudah mengeluarkan isi dalam perutku.
“udah dek?.. Kok gitu aja muntah.. Bikin malu aja..dasar cemen!” gerutu kak faisal sambil menuntunku kembali masuk ke dalam. Sementara itu, agus, rizal, firdaus dan ferry cekikikan tak karuan. Aku betul betul malu sekali.
“ayo duduk lagi..” firdaus bergeser memberi tempat untukku.
“minuman apa itu?” tanyaku sedikit trauma.
“itu bukan minuman biasa teman..rasanya memang nggak enak, tapi kalau kamu minum itu, nanti kamu bisa melayang layang terbang..” jelas ferry sambil menuang kembali minuman ke gelasku.
“udah.. Aku nggak mau.!” aku berusaha menolak.
“gak boleh gitu dek, hormati teman teman.. Mereka semua mau senang senang..ayo diminum, jangan kayak banci!” ujar kak faisal tak sabar.
“ayo rio minum.. Masa gitu aja nggak mau..!” rizal memanas manasiku.
“iya nih.. Nggak asik kalau gini caranya..” tambah ferry.
“yo.. Minum dong, teman teman udah pada habis semua, cuma adek aja yang belum minum..” desak kak faisal. Aku diam memandangi gelas berisi minuman sial itu dengan muak, namun karena desakan dari kak faisal dan teman teman, bikin aku jadi tak enak hati, kak faisal telah mengajak aku kesini, mengajak aku bergabung dan kenal dengan teman temannya. Masa aku harus membuat ia kecewa. Semua teman teman kak faisal biasa biasa aja setelah meminumnya tapi aku malah bersikap seolah olah kalau aku minum itu aku bisa mati. Akhirnya walau masih bimbang, aku angkat juga gelas berisi minuman setengahnya. Sambil menahan nafas aku meminumnya cepat cepat agar tak terlalu lama aku terasakan pahit dan getir dari minuman itu. Susah payah aku menelannya, aku paksakan menghabiskan isi seluruh gelas ini. Kak faisal dan teman teman lain bersorak memberikan aku semangat. Akhirnya habis juga isi dalam gelasku. Perutku kembali mual terasa diaduk aduk, uap minuman yang keluar dari hidungku membuat rasa ingin muntah kembali menyerang. Secepat kilat aku menutup mulut rapat rapat agar tak muntah lagi.
“wah hebat.. Itu baru namanya rio..nggak sia sia punya adek seperti kamu…benar benar hebat.!” puji kak faisal membesarkan hatiku.
“gile.. Betul banget kamu sal, salut gue sama adik kamu ini…” firdaus tak mau kalah. Aku diam saja, masih mengatur nafas agar bisa menetralisir pengaruh dari minuman ini. Dadaku terasa begitu panas, hingga keringat langsung mengalir di sekujur tubuhku.
“gerah ya teman? Buka aja bajunya..” rizal memberi usul padaku.
“iya dek buka aja bajunya, jadi nggak basah, tuh keringat adek ngalir terus..” timpal kak faisal. Sementara itu ferry membuka kembali tutup botol minuman yang lain yang warnanya bening. Kak faisal mengambil sebatang rokok yang tadi ia gulung sendiri. Kemudian ia membakar ujungnya, bau asapnya agak beda aku dapat menciumnya. Dengan gaya santai kak faisal menghisap pokoknya itu dan sangat meresapinya. Ia memain mainkan asapnya keluar dari mulutnya lalu ia tarik lewat hidungnya. Aku melihat ia menghisap rokok itu dengan tertarik.
“kenapa dek, mau coba?” tanya kak faisal.
“aku nggak merokok kak..” jawabku apa adanya.
“kalau disini cuma banci yang nggak merokok dek..”
“tapi aku tak biasa kak..” aku membela diri.
“mulai sekarang harus dibiasakan.. Itu sangat penting untuk pergaulan..” nasehat kak faisal dengan gaya yang sangat mirip sekali cara bu sukma menasehati kami di smp dulu waktu aku masih di bangka. Ferry masih sibuk menuang minuman ke gelas kami. Setelah itu ia mengambil sebatang rokok yang sama dengan kak faisal.
“sal, adik kamu kan belum pernah merokok, apa nggak bahaya dikasih itu?” tanya agus sambil menyalakan rokok ferry.
“nggak masalah kok, aku bisa ajari dia.. Ya nggak usah banyak banyak lah.. Coba coba dulu..” jawab kak faisal sambil menghembuskan asap rokoknya ke hidungku. Segar nafas kak faisal bercampur dengan aroma rokok aneh tercium olehku. Kak faisal menyalakan rokok malboro lalu memberikan padaku. Dengan ragu ragu aku terima.
“hisap rio..!” perintah rizal. Aku mengangguk dan dengan janggal memegang rokok itu. Sedikit gemetaran aku tempelkan bagian filter rokok di mulutku.
“pelan pelan saja dek..” ajar kak faisal. Aku hisap asap itu, kembali aku terbatuk batuk hebat, perih menyerang hidung dan kerongkonganku.
“pelan pelan saja dek.. Jangan di telan asapnya.. Tahan dimulut..” ujar kak faisal sambil berjongkok di depanku.
“iya kak..” jawabku setelah berhasil mengatasi batuk akibat asap.
“di coba lagi..” perintah kak faisal. Aku mengangguk. Lalu menghisap lagi rokok ini, aku tahan asapnya dalam mulut. Masih terasa agak panas tapi aku atur nafas agar tak sampai tertelan.
“buang asapnya dek..” perintah kak faisal. Aku menuruti kata katanya, aku buang asap dari dalam mulutku, asap keluar begitu banyak.
“nah bagus..dicoba terus, jangan takut nggak bakalan mati kok cuma ngerokok gitu…” hibur kak faisal. Aku tak menjawab. Cuma memain mainkan rokok di tanganku.
“buang abunya dek Udah panjang tuh..” aku tersentak, melihat rokokku, ternyata abunya memang sudah panjang, dengan hati hati aku buang ke asbak.
“wah.. Hebat juga ya adik kamu ini sal, cepat belajar nampaknya.. Kurasa ia bakalan cocok sama kita…” puji rizal, mendengar kata katanya itu aku jadi senang, membuat aku jadi percaya diri untuk kembali menghisap rokokku tanpa komando dari mereka.
“ayo minum lagi…” firdaus mengangkat gelas. Aku membuang puntung rokok yang telah nyaris membakar filter ke dalam asbak, lalu mengambil gelas minumanku. Sambil menahan nafas lagi aku minum.
“jangan di habiskan dek, ntar pusing..!” kata kak faisal. Aku menyisakan setengah gelas, walaupun rasa mual masih ada, tapi aku mulai terbiasa. Cuma aku merasa kepalaku sedikit pusing sekarang. Kak faisal membakar kembali rokok yang ia buat, lalu ia membalikan bagian bara rokok ke dalam mulutnya hingga bagian ujung rokok mengeluarkan asap.
“kamu suntik rio dulu sal..” kata ferry. Kak faisal mengangguk. Ferry menyuruhku duduk mendekat ke arah kak faisal.
“hisap pake hidung kamu rio.. Pelan pelan saja.. Lubang hidung satunya kamu tutup..” ferry mengajariku. Aku mengikuti apa yang ia ajarkan. Aku menghisap asap rokok itu melalui sebelah lubang hidungku. Tak terasa perih.
“tahan rio.. Kalau bisa telan aja asapnya..” kembali ferry mengajariku. Aku menelan asap rokok itu sesuai intruksi.
“wow keren…. Salut.” puji rizal terpesona. dengan kepala yang semakin bertambah pusing, rasanya aku tak bisa berpikir jernih, asap demi asap yang terhirup lewat saluran pernafasanku seolah sebagai pemicu semangatku untuk semakin tinggi terbuai. Entah kenapa perasaan sedih, hampa, bingung, gelisah dan kesal seolah olah menguap bersama asap yang aku hembuskan keluar dari paru paruku.
“bagus rio, habiskan satu linting, jangan tanggung.. Kamu memang hebat…” entah suara siapa aku tak bisa mengenalinya karena terdengar bagai datang dari kejauhan dan bergema seolah olah suara itu memenuhi ruang dalam otakku bersama suara tertawa tak putus putus. Tubuhku terasa ringan melayang layang hingga terasa terbang. Setiap kata kata yang kudengar seolah olah suplemen yang memicuku untuk tertawa terbahak bahak tanpa tahu apa sebabnya. Semakin lama kesadaranku seolah makin hilang, suara kak faisal dan teman temannya semakin terdengar jauh, bagaikan aku berada dalam satu lorong gelap yang panjang tanpa batas dan mereka berada pada sisi lorong paling ujung.
Benda dingin terasa menempel dibibirku, dengan spontan aku membuka mulut, melalui mataku yang mulai redup walaupun begitu kabur aku bisa mengenali kak faisal yang memegang gelas untuk menyuruhku minum, air yang tadinya pahit tak terasa lagi kini, seolah kebas di lidahku telah menghilangkan segala cita rasa yang mampu aku kecap selama ini. Aliran minuman yang mengalir ke tenggorokanku seolah tak menghilangkan rasa haus yang terasa. Aku menyender pada dinding sambil meringkuk lemas, segala tenagaku hilang hingga aku terbujur tanpa daya meresapi pusing yang makin menjadi jadi. Detak jantungku semakin keras memacu, sementara suara tertawa tak hilang hilang membuat aku menjadi risau, semakin risau dan gelisah. Denting gitar dan nyanyian dari mulut rizal terdengar berkali kali lipat lebih parah dari sebelum aku kehilangan kesadaran tadi, ingin rasanya aku membekap mulutnya itu agar tak lagi mengeluarkan bunyi yang begitu mengganggu pendengaranku, aku menjadi panik ketika nafasku mulai terasa sesak, sedangkan untuk berbicara aku sudah tak mampu lagi, otakku sudah tak punya daya untuk memerintah mulutku bersuara, walau sekedar untuk menyuruh semua teman teman kak faisal diam. Secepat kilat perasaan gembira meluap luap yang tadi memenuhi diriku tergantikan dengan gelisah tak tertahankan.
Keringat dingin mulai deras mengalir di pelipis. Jantungku pun berdebar debar seolah makin kencang dan bertambah kencang terus, tubuhku menggigil tak karuan seolah aku dicelup ke dalam kolam berisi air es yang maha dingin. Aku jadi panik, ingin memanggil kak faisal agar menolong aku membantu menetralkan kontrol diriku yang hilang, namun aku tak berdaya, sepertinya semua teman teman tak ada yang tahu kalau aku mulai panik. Pandanganku yang samar samar tergantikan oleh gelap, lambungku seolah memompa isi dalam perutku naik hingga ke dada bagaikan letusan kembang api, aku makin gemetaran, pusing menggila menutup kesadaran. Aku terbaring sambil menggelepar gelepar diatas lantai. Suasana yang tadi gembira tiba tiba menjadi panik. Hanya Suara teriakan kak faisal dan jeritan teman temannya terakhir yang bisa kuingat, setelah itu semua menjadi gelap gulita serta senyap.

“rio, bangun dong dek.. Rio.. Ayo bangun dek.. Jangan bikin kakak takut..!..” suara kak faisal terdengar samar disertai tepukan lembut di pipiku. Aku membuka mata perlahan, cahaya lampu yang menyilaukan membuat aku menyipit, beberapa tubuh merunduk ke arahku membuat aku agak kaget.
“dek.. Kamu nggak kenapa napa kan?” kak faisal kembali bertanya. Aku menggeleng lemah, kepalaku masih terasa pusing, hingga melihat ruangan saja bergoyang goyang. Kerongkonganku kering, aku ingin minum air putih, belum pernah aku merasakan tak enak seperti ini, benar benar tak nyaman, belum lagi perutku mual tak tertahankan. Dengan susah payah aku membuka mulut.
“kak.. Haus…” kak faisal langsung menoleh pada agus.
“adikku mau minum.. Cepat ambilkan air..!” agus mengangguk.
“buruan..!”
“iya.. Iya sebentar..!” agus dengan panik berlari meninggalkan kami. Rizal mengurut kakiku sementara firdaus mengurut tanganku.
“kak pusing….” suaraku terdengar seperti bukan suaraku.
“iya dek.. Kakak pijat ya.. Adek tenang aja.. Nggak apa apa kan dek..?” kak faisal kelihatan begitu gelisah, kemudian ia langsung memijat kepalaku dengan teratur. Aku memejamkan mata menahan pusing dan mual. Pijatan kak faisal membantu mengurangi sedikit rasa pusingku.
“mana sih agus, kok lama sekali ngambil air putih…” gerutu kak faisal sambil tetap memijatku.
“kak kenapa kepalaku sakit sekali?”
tanyaku menahan pusing.
“nggak apa apa kok dek, itu wajar… Memang gitu rasanya.. Kakak juga dulu gitu..” agus datang membawa segelas air putih. Lalu memberikan pada kak faisal.
“dek bangun sebentar…!” perintah kak faisal sambil memegang punggungku untuk membantu aku tegak. Aku bangun dengan susah payah, rasa pusing dan mual yang menjadi jadi, membuat tubuhku terasa kehilangan tenaga. Belum lagi keringat yang mengucur tak henti dari tadi menambah perasaan tak nyaman. Kak faisal menempelkan bibir gelas ke mulutku, ku buka mulut dan meminum air putih dingin itu seteguk demi seteguk, segar rasanya kerongkonganku. Setelah habis segelas air, aku mencoba untuk berbaring lagi, namun kembali rasa mual menghebat menyerang lambungku. Aku bangkit lagi dengan refleks sambil membekap mulutku. Isi dalam lambungku yang sudah naik keatas memaksa keluar dari mulut dan hidungku. Buru buru kak faisal berdiri dan memapahku keluar dari kamar, sementara teman teman lain ikut berlari mengikuti kami.
Sampai halaman belakang rumah agus aku langsung muntah berkali kali, mengeluarkan seluruh isi lambungku yang dipenuhi minuman keras. Hidungku juga ikut sakit karena sebagian muntahku keluar dari hidung, hingga berair mataku saking perihnya. Kak faisal memijat bahuku. Aku muntah terus hingga perutku menjadi kosong. Agus menggeleng gelengkan kepala dengan kuatir. Begitu juga rizal, ferry dan firdaus, mereka semua jadi pucat karena kuatir dengan keadaanku. Aku masih terus berjongkok dengan sengsara, sisa sisa muntah sebagian mengotori bajuku. Kak faisal menungguku dengan sabar, kakiku terasa kesemutan saking lamanya aku berjongkok seolah olah sedang berak. Air mataku sampai keluar saking aku menderita sekali pengaruh mabuk.
“dek masuk yuk… Disini gelap.” kak faisal memegang bahuku sambil berusaha mengangkatku agar berdiri. Aku membuka mata, memang sudah gelap, jadi berapa lama aku tak sadarkan diri tadi…?
“kak jam berapa sekarang… Pulang yuk.. Ntar mama nyariin kita.. Rio tadi belum bilang sama mama…” ujarku dengan tersendat sendat.
“iya dek, sebentar lagi, adek harus pulih dulu, jangan sampai papa sama mama tau masalah ini, bisa bisa kakak dibunuh sama papa..” kak faisal mencoba menenangkan aku. Aku cuma terdiam. Kata kata kak faisal betul juga.
“sekarang kita masuk ya dek..!” ajak kak faisal, aku mengangguk. Tapi aku tak mampu melangkah seimbang, dunia terasa bergoyang goyang. Kak faisal memapahku agar tak jatuh.
“rizal kampret…! Bantu gue dong jangan cuma bengong gitu!” maki kak faisal.
Cepat cepat rizal menggotong aku disebelah kiri, kemudian mereka membawaku kekamar dan membaringkan aku diatas kasur. Kak faisal melepaskan baju yang aku pakai. Makin terasa menggigil rasanya.
“kak itu rokok apa kak.. Apa kalo orang merokok rasanya seperti ini..? Kalo gitu rio nggak mau lagi merokok..”
“itu bukan rokok biasa dek.. Makanya kepala agak pusing.. Tapi nanti kalo adek udah biasa, nggak bakalan gini lagi…” kak faisal menerangkan padaku.
“sekarang adek tiduran dulu sampai pulih.. Baru jam tujuh malam dek.. Mama ntar bisa kakak telpon kalo adek ikut kakak jadi mama tak kuatir…” aku mengangguk sambil terpejam.
“gus.. Boleh pake telpon rumah lo sebentar kan? Aku mau telpon mamaku..” agus mengangguk.
“nah dek, adek tidur dulu, nanti jam sepuluh kakak antar adek pulang… Sekarang kakak mau telpon kerumah dulu..” aku tak menjawab. Terasa ada yang menutupi tubuhku dengan selimut. Kaki dan tanganku juga ada yang mengurut tapi aku tak tau itu siapa. Aku hanya ingin rasa pusing ini cepat hilang.
“untung ia tak apa apa..”
“iya zal, sumpah tadi gue betul betul ketakutan.”
“loe sih fir, kasih ia minum banyak banyak..!”
“gue jadi gak enak banget nih sama faisal.. Adiknya jadi od gini… Untung kamu tadi langsung sigap..”
“ya iyalah.. Gini gini gue tuh tau menangani orang od ginian..”
“si faisal juga sih.. Udah tau adiknya belum pernah nyentuh ginian eh malah diracuni.. Dasar kakak bejat..”
“jangan berisik beruk… Adikku mau istirahat.!” kemudian suasana langsung hening hingga aku tertidur lagi. Aku bermimpi bertemu emak, ia mengusap pipiku sambil menangis. Aku juga ikut menangis tersedu sedu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar