Sabtu, 20 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 34.1

Setelah dua hari Koko pulang, aku merasa rumah ini begitu sepi. Biasanya ada yang menemaniku tidur, menemani sarapan, kadang - kadang jalan pagi. Sedikit banyak aku merasa kehilangan juga, andaikan Koko bisa tinggal lebih lama tentu akan sangat menyenangkan sekali. Erwan juga sejak pulang dari bandara, tak ada lagi kabarnya. Mungkin ia sedang sibuk dengan pekerjaannya.

Siang ini aku berencana mau ke rumah Tiara. Semenjak malam kami berjalan berdua, dia jadi sering menelepon dan mengirimkanku pesan singkat. Meski hanya sekedar mengingatkan makan dan sholat. Entah mengapa aku agak janggal juga, karena hal seperti ini baru aku alami. Jujur perasaanku hingga sekarang masih tawar, namun aku akan berusaha keras karena aku tahu Tiara juga sudah berusaha demi aku. Bagaimana juga aku harus menghargai pengorbanannya dan pengertiannya terhadapku.

Baru saja aku mau ke kamar mandi, tiba - tiba terdengar suara pintu ruang tamu di ketuk. Saat ini di rumah tidak ada siapapun hanya aku. Yuk Yanti pergi ke rumah mertuanya, dan Yuk Tina masih kerja. Sedangkan Emak ada pengajian bersama ibu - ibu RT. Aku segera berbelok ke ruang tamu. Untuk melihat siapa yang datang. Rasanya bagaikan tersambar petir melihat sosok menjulang berdiri di tengah pintu. Senyumku langsung surut dari wajah, sementara om Sebastian malah tersenyum padaku.

"Apa kabar Rio ?", ujarnya dengan lirih.

Aku menatap om Sebastian hampir tak percaya. Tubuhnya lebih kurus dan terlihat tak terurus. Ia juga berkumis dengan jambang yang tumbuh serampangan.

"Kamu tidak mempersilahkan om masuk ? ", ia bertanya dengan nada setengah bercanda.

"Darimana saja om selama ini ?", tanyaku dengan ketus.

"Kamu marah yah sama Om ?"

"Enggak, aku malah senang dan bahagian dengan apa yang om lakukan. Hebat !"

"Maksudmu ? ", tanya om Sebastian agak heran.

"Tidak usah bertanya lagi om. Aku rasa om tahu, apa yang aku maksud."

"Kemana saja om selama ini ? Om membuat aku berkali - kali mendapat masalah. Enak saja om bisa kabur, sementara aku yang menanggung semuanya."

"Maafkan om Rio, bukannya om bermaksud untuk membuatmu susah. Tapi kamu juga harus mengerti apa yang om rasakan. Om lakukan semua ini karena terpaksa. Om harap kamu bisa memahami semuanya, tapi tolong izinkan om masuk dulu. Om mau menjelaskan semuanya padamu."

"Masuk saja ! Siapa yang melarang."

"Kamu kok ketus begitu sama om ?"

"Apa kamu tidak lagi sayang sama om ? tanya om Sebastian dengan lesu sambil duduk di kursi."

"Harus berapa kali aku katakan sama om ! Kalau apa yang terjadi di antara kita sudah berakhir. Om sudah punya kehidupan sendiri, dan akupun begitu. Tolong om jangan kacaukan lagi semuanya. Aku hanya ingin hidup tenang, apakah itu salah om ?."

"Kamu tahu Rio ! Om tidak akan bisa tenang selama kamu tidak bersama Om ", suara om Sebastian terdengar agak mengiba.

"Jangan berpikiran terlalu dangkal om ! Apa kita bisa tenang sedangkan orang - orang di sekeliling kita susah karena kita, apa om tahu perasaan tante Sukma sehingga ia menyusul om sampai sini. Hanya untuk mencari om yang kabur entah kemana. Membuat orang seisi rumah ini panik, dan akhirnya aku juga yang terkena imbasnya." kataku dengan kesal.

Sementara aku tetap berdiri tak mau dekat - dekat dengan om Sebastian.

"Tantemu menyusul kesini ?", om Sebastian nyaris berteriak karena kaget.

"Iyah, apa om tidak percaya ? Dan om perlu tahu juga kalau anak om sudah lahir sekarang !."

"Kamu tahu darimana Rio ?"

"Tante Sukma melahirkan disini om ! Sudah lebih dari seminggu yang lalu. Suami macam apa om ini sehingga istrinya melahirkan saja tidak tahu."

"Kamu kan tahu kalau kami mau bercerai !"

"Aku tidak tahu ! Yang aku tahu tante Sukma tidak mau bercerai, om saja yang memaksa."

"Om sudah berfikir panjang tentang hal itu, kalaupun diteruskan tidak akan berhasil Rio !. Yang ada di hati om cuma kamu. Om sebastian menatap dengan memelas."

"Tapi yang ada di hatiku bukan om. Om sebastian terperangah menatapku dengan tak berdaya."

"Apa maksudmu Rio, apa yang kukatakan sudah jelas. Aku tidak pernah mencintai om sama sekali."

Sebenarnya aku menyayangi om sebastian, tapi aku tidak mungkin meneruskan hubungan ini karena aku sudah tahu apa yang akan terjadi kalau aku terus memaksakan diri.

"Om tidak percaya itu, kamu pasti berbohong kan ?", tuntut Om Sebastian masih tak percaya.

"Memangnya om bisa membaca pikiranku !", aku menantang om sebastian.

"Om bisa merasakan kalau kamu itu berbohong Rio ! kamu pasti tak enak dengan tante Sukma kan ?".

"Itu salah satunya om. Yang paling penting adalah aku tidak mau bersama om !".

"Tapi kenapa ?", om sebastian mendesah.

"Karena aku ingin menikah !"

"Maksud kamu ?"

"Aku sudah punya kekasih om !".

"Jangan bohong lagi Rio ! om itu tau kalau kamu tidak akan pernah menyukai perempuan.
Terserah om mau bilang apa, tapi yang jelas kalaupun aku mau berpacaran bukan dengan om orangnya".

"Kamu tega Rio !."

"Om yang tega, tante sukma om anggap apa ?. Om permainkan dia, om sia - siakan, om bohongi, dan sekarang om mau tinggalkan".

"Terbuat dari apa hati om itu !".

"Tapi om tidak mencintainya".

"Kalau tidak dicintai, kenapa dinikahi !".

"Om dijodohkan".

"Kenapa om terima ?".

"Kamu tidak tahu karakter keluarga om".

"Tapi om kan sudah tahu karakter keluargaku !".

"Dan om telah membuat aku berada di dalam kesulitan".

"Om tidak sengaja melakukannya Rio, kenapa kau selalu ungkit-ungkit masalah itu.
Om sebastian masih bersikeras".

"Jangan pernah egois om !".

"Terserah om mau mengatakan apa ! mau melakukan apa ! aku sudah tidak perduli lagi.
Hidupku bukan hanya seputaran om saja. Banyak orang lain yang harus diperhatikan. Dan aku jaga perasaannya. Jangan lagi seret aku dalam masalah. Kalau memang om sudah dewasa dan bisa berpikir, seharusnya om membantuku untuk mencari jalan keluar. Bukannya membuat aku semakin terseret, dalam masalah yang tak selesai - selesainya ini".

Rasanya aku sudah capek menjelaskan kepada om Sebastian yang tak mau mengerti juga. Ia lebih mementingkan kepentingannya sendiri, dan keinginan yang rasanya mustahil.

"Jadi siapa pacar kamu sekarang ?".

"Nanti om akan tahu sendiri".

"Saat ini aku meminta om, pulanglah ! Tante sukma dan anak om sudah menunggu di rumah".

"Kalau om memang menyayangiku, tolong penuhi keinginanku yang terakhir ini".

"Kembalilah pada keluarga om. Karena sampai kapanpun juga aku takkan mau kembali lagi pada om".

"Kamu tega menyakiti perasaan om seperti itu Rio !. Apa kamu tidak pernah berpikir, apa yang om rasakan saat ini".

Air mata mengalir dari kedua kelopak mata om sebastian, wajah yang tegas dan keras tak pantas menangis seperti itu. Aku memalingkan wajah tak mau melihat kelemahan yang terpancar pada om sebastian saat ini. Om sebastian berdiri dengan lunglai memandangku dengan tajam. Namun aku pura - pura tak menyadarinya.

"Rio .." Om sebastian memanggilku dengan suara serak.

"Pergilah Om !".

Aku tetap tak mau memandang om sebastian. Om Sebastian masih mematung untuk beberapa saat. Namun akhirnya ia luluh juga, lalu berlalu di hadapanku tanpa mengatakan sepatah kata pun. Setelah om sebastian pergi aku menutup pintu. Aku duduk di kursi dengan agak gemetaran. Jantungku berdebar kencang, kepalaku terasa pusing sekali.

*****

Aku sedang membereskan meja makan saat emak pulang.

"Sudah makan Rio ?", tanya Emak.

"Ini mak barusan selesai".

"Ada apa denganmu nak ?, kenapa wajahmu terlihat begitu keruh". Emak menatapku lekat - lekat.

"Tidak apa - apa kok mak".

"Memangnya kenapa ?", aku balik bertanya.

"Jangan berbohong nak, kamu pasti memikirkan sesuatu".

Emak memang selalu bisa menerka jalan pikiranku, aku jadi bingung apakah aku harus berbohong ataukah aku harus menceritakan kejadian tadi pada Emak.

"Apa yang membuat kamu risau nak ?", Emak mengulangi pertanyaannya.

"Tadi om sebastian datang Emak".

"Om kamu datang ?", Emak agak tersentak.

"Iya mak".

"Kenapa dia datang kemari nak ?".

"Entahlah mak, cuma tadi aku sudah menyuruhnya pulang".

"Apa dia mengajakmu kembali ?", suara Emak terdengar agak lain.

"Emak jangan kuatir, Rio tidak akan kembali lagi pada om Sebastian".

"Terus apa yang kamu katakan padanya nak".

"Aku hanya menyuruhnya kembali pada tante sukma, aku juga bilang kalau anaknya sudah lahir. Aku memintanya untuk tidak egois dan memikirkan orang lain", aku menceritakan apa adanya pada Emak.

"Apa kamu masih menyayanginya Rio ?", Emak menatap mataku tanpa ada pandangan menuduh.

Sebenarnya aku masih menyayangi om Sebastian. Tapi apakah aku pantas mengakuinya di depan Emak.

"Emak tau nak, kamu pasti masih menyayangi om kamu itu".

"Emak bisa merasakannya. Kamu sedih ya ?", Emak memegang bahuku dengan lembut.

Aku tak dapat menahan tangisku. Tangan Emak menyentuh bahuku. Aku tahu kalau Emak bisa aku percayai untuk aku menceritakan semua ini secara jujur.

"Iya emak", kataku diantara isakan dan air mata.

"Maafkan Emak yah Rio. Emak tau apa yang kamu rasakan. Emak tak sedikitpun mengharapkan sedih seperti saat ini. Saat kamu menangis, hati Emak lebih sakit. Segala waktu dan hidup Emak, hanya Emak lakukan untuk berusaha agar dapat melihat anak Emak tersenyum bahagia. Emak benar - benar tak berdaya dengan masalah yang kamu hadapi ini. Emak tidak tahu harus berbuat apa untuk membantumu. Karena Emak juga tidak mau menyakiti hati orang lain", Emak ikut menangis dan memelukku.

"Maafkan aku Emak. Aku telah mengecewakan Emak, selama ini Emak telah mengajarkan kebaikan padaku. Tapi aku membalasnya hanya dengan membuat Emak sedih dan kecewa".

"Emak memang sedih dan kecewa, tapi tidak seperti yang kamu pikirkan nak. Emak sedih, kenapa tidak bisa membuatmu bahagia ! Emak kecewa karena anak yang Emak sayangi hatinya sakit sekarang ini", Emak masih memelukku.

Selama beberapa saat kami hanya terdiam. Lalu Emak berkata, "Seandainya Om Sebastian kamu itu belum menikah emak tidak akan pernah menghalangimu meskipun Emak tahu itu salah. Biarlah Emak yang menanggung dosanya. Asalkan kamu bisa bahagia".

"Tidak Emak, jangan berkata seperti itu ! Akulah yang berasalah. Seharusnya aku bisa membuat Emak bahagia. Emak jangan pernah lagi berpikir kalau Emak telah gagal mendidikku. Akulah yang telah gagal menjadi anak yang baik. Aku akan berusaha untuk mengubah semuanya. Aku akan memperbaiki kesalahan yang aku buat selama ini". Aku melepaskan pelukanku pada Emak lalu duduk.

Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah. Aku dan Emak sempat menoleh untuk melihat siapa yang datang. Ternyata Erwan dan Tiara.

"Assalamu alaikum", Erwan memberi salam.

"Waalaikum salam", aku dan Emak menjawab sebentar.

"Silahkan masuk nak Erwan", kata Emak sambil menyeka air matanya.

Erwan dan Tiara menatap kami agak keheranan namun mereka tidak bertanya.

"Silahkan kalian ngobrol yah, bibik tinggal dulu ke belakang", kata Emak.

"Tunggu sebentar bu. Ini saya bawakan martabak telor", seru Tiara memanggil Emak.

Emak yang baru sekali melihat Tiara agak keheranan.

"Kamu temannya Rio yah ?", tanya Emak.

"Makasih yah sudah repot - repot membawakan bibik makanan".

"Nggak apa - apa kok bik, saya pacarnya Rio", ujar Tiara tanpa sungkan.

Emak langsung terbelalak, seraya menanyakan "Kamu pacarnya Rio ?".

"Iya bik saya baru saja jadian", kata Tiara tanpa persetujuanku.

Emak menoleh padaku dan bertanya. "Ia pacarmu nak ?".

Aku mengangguk pelan dan menjawab,"Iya mak".

Tiba - tiba wajah Emak langsung cerah.

"Oh siapa namanya nak ?", Emak menoleh pada Tiara.

"Tiara bik".

"Saya sepupunya Erwan".

"Astagaa.. Mimpi apa Emak hari ini. Cantik sekali pacarmu Rio".

"Ahh.. bibik bisa ajah..", wajah Tiara bersemu merah.

Erwan tersenyum lebar mendengar semuanya. Aku tahu satt ini Emak sangat kaget sekali. Karena baru saja kami memmbahas tentang om Sebastian. Dan Tiara datang mengaku sebagai pacarku.

"Kalian sudah makan nak ?"

"Udah bik", jawab Erwan.

"Ya, kalau begitu bibik ke belakang dulu bikinin kalian minum", kata Emak dengan sumringah sambil tergopoh-gopoh pergi ke dapur.

Aku memandang Tiara, dan ia tersenyum simpul.

"Selamat yah buat kalian", Erwan tersenyum senang.

"Makasih Wan", kataku pelan.

"Kok nggak cerita-cerita sih kalian jadian !. Kan tadi aku sudah ceritakan sama kamu", kata Tiara.

"Iya, tapi kok mendadak sekali".

"Aku cuman berharap kalian berdua serasi", entah mengapa aku mendengar suara Erwan agak lain. Apakah itu cuman perasaanku saja.

"Ayo.. Duduk dulu dong masa berdiri terus kayak gini", kataku dengan sedikit malu.

Erwan dan Tiara duduk. Tak lama kemudian Emak kembali lagi dengan membawa beberapa cangkir teh hangat serta kue.

"Silahkan jangan malu - malu".

"Bibik tinggal dulu yah soalnya bibik mau masak".

"Iya bik terima kasih", kata Erwan dan Tiara.

"Kok mendadak sekali datang ke tempat ini ?", aku bertanya.

Erwan hanya tersenyum simpul mendengar pertanyaanku.

Memangnya harus ada moment khusus untuk datang menemui sahabat sendiri Rio, bukannya selama ini pun aku selalu datang kemari kapanpun aku mau selama aku merasa kamu ada dirumah..!"

aku terdiam mendengar jawaban Erwan, memang benar sih apa yang ia katakan itu, cuma aku saja yang masih agak shock karena sikap tiara tadi yang seolah-olah aku dan dia sudah sah pacaran. aku tak habis fikir kenapa sampai tiara melakukan itu, sepertinya dia memang ingin emakku tau.

aku pandangi tiara sekilas namun ia tidak melihat kearahku, malah pura pura sibuk bermain dengan handphonenya. namun wajahnya agak menyeringai. aku menarik nafas dengan sebal, ternyata tiara banyak akalnya.

"aku mau bicara sama kamu sebentar, bisa kan?" tanya Erwan agak berharap.

"Mau bicara masalah apa Wan?" Tanyaku agak cemas.

namun Erwan segera tersenyum simpul mengisyaratkan kalau ia tau aku agak kuatir.

"ada sedikit masalah yang aku ingin tanyakan padamu, bisa kita ke kamarmu sekarang..?"

Erwan masih saja penuh misteri. aku menarik Erwan kekamar setelah aku berpamitan pada Tiara. nampaknya Tiara agak penasaran juga kenapa Erwan bersikap agak lain dari biasanya.

entah apa yang mau ia bicarakan semoga saja bukan hal yang buruk aku berharap dalam hati.,

"kamu beneran serius sama Tiara Yo?" Tanya Erwan dengan tak sabar saat kami berdua sudah berada dalam kamarku.

"Menurut kamu bagaimana memangnya, apa aku ada tampang tidak serius....?"


Aku membalik pertanyaan pada Erwan.

"Entahlah Yo... kamu kadang penuh dengan kejutan.."

"Kalau cuma mau menanyakan masalah ini kenapa harus diam diam... kamu kan punya pacar jadi aku bisa seperti kamu Wan.." Kataku dengan tak sabar.


Erwan menarik nafas dengan berat seolah ada beban yang mengganjal yang saat ini membebaninya. "Ada apa denganmu Wan..sikapmu sekarang kok ganjil begini..?"

Erwan mengusap rambutnya seolah ingin menyusut air disana padahal rambutnya asli kering.

"Aku takut kamu marah Yo kalau aku mengatakannya sekarang.. karena masalah ini sangat sensitif.."

"Kamu seperti baru kenal denganku kemarin Wan, apa selama ini aku pernah marah sama kamu..?"

"Memang sih.. tapi..." Erwan kembali ragu.

aku jadi benar benar tak sabar sekarang, sikap Erwan membuat aku beneran penasaran.

"Tapi apa..?" Aku menjaga suaraku serta menahan kesabaran agar tak jadi emosi.

Erwan malah bersikap serba salah, bagaikan anak kecil yang tak ada prestasi tapi minta hadiah.


"Aku menyukaimu Yo.. benar benar menyukaimu..."



Saat ini juga rasanya waktu berhenti bergerak. keheningan menyergap dan aku hanya bisa bengong dengan mulut ternganga menatap erwan yang balik menatapku dengan mata mengerjab bagai kemasukan pasir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar