Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 20

04 Mei 2011
#26 LAMARAN MENDADAK
Sampai dirumah amalia aku dan kak fairuz turun dari mobil, terlihat sepi di beranda tapi pintu rumahnya terbuka. Aku mengajak kak fairuz mendekati beranda. Belum sempat tanganku yang hendak mengetuk pintu tiba tiba ibu amalia keluar.
"eh rio... Sama siapa?" seru ibu amalia yang kelihatan tak menyangka kalau aku datang.
"sama kak fairuz bu.. Amalia ada?" tanyaku langsung. Ibu amalia sepertinya senang melihatku dari wajahnya yang langsung tersenyum.
"silahkan masuk nak rio, nak fairuz.. Balik lagi kesini, ada apa ya?" ibu amalia mempersilahkan kami berdua masuk ke dalam rumahnya. Aku dan kak fairuz masuk ke dalam.
"silahkan duduk ya, ibu ke dalam sebentar.."
"iya bu.." aku juga bingung harus mengatakan apa, soalnya yang mengajak kesini kak fairuz dan dia tak mengatakan padaku apa tujuannya. Tak lama berselang setelah ibu amalia ke dapur, amalia muncul dan menghampiri kami.
"ada apa rio?" tanya amalia sambil duduk.
"nggak mel, cuma mau ngobrol aja kok.. Emangnya nggak boleh?" candaku garing.
"ya ampun rio, boleh dong.. Cuma agak heran aja tumben kamu kesini.." sanggah amalia cepat cepat.
"kak fairuz yang mengajakku kemari, katanya mau ngomong sama kamu. Aku menjelaskan yang sebenarnya. Kak fairuz berdehem.
"kenapa kak?" tanya amalia pada kak fairuz yang terlihat jadi serba salah.
"nggak.. Nggak apa apa kok.." kak fairuz jadi sedikit gagu. Aku tersenyum sendiri melihat kak fairuz yang seperti orang kebingungan seperti ini.
"kamu baik baik saja mel?" aku bertanya hanya sekedar agar kak fairuz tak terlalu kikuk lagi.
"sebenarnya tidak begitu rio, saat ini rasanya duniaku sudah hancur, aku tak mampu membayangkan hari hariku ke depan..." amalia nampak sedih saat mengatakan itu, aku mengerti apa yang dirasakan amalia. Saat seperti ini kehilangan seseorang yang jadi tumpuan harapannya bukan hal yang mudah. Kehamilannya semakin memperburuk penderitaan yang ia rasakan. Aku jadi tak tega padanya. Menyesal rasanya telah sempat membenci amalia, semuanya tak sepenuhnya kesalahan amalia, kalau saja dulu almarhum tak menodai amalia mungkin dia tak akan semenderita sekarang. Seperti mengharapkan keajaiban yang datang dari langit hidupnya sekarang.
"kamu udah makan?" pertanyaan amalia membuatku tersadar dari lamunan sesaatku.
"sudah mel, sebelum kesini tadi kami berdua sudah makan, kamu sendiri gimana, jangan sampai telat makan mel, kasihan bayi yang ada di kandunganmu itu.." jawabku cepat. Amalia tertunduk mendengar kata kataku tadi. Melihat gelagat amalia akan menangis, kak fairuz langsung bicara.
"mel kamu pasti bosan dirumah terus, jalan jalan yuk.." aku tercengang melihat kak fairuz. Amalia menatap kak fairuz seolah tak percaya. Ia menggelengkan kepala dengan bingung.
"kenapa mel, kamu gak mau?" kak fairuz mengulangi pertanyaannya. Aku lihat amalia seperti agak menghindar melihat wajah kak fairuz langsung. Aku mengerti pasti kak fairuz membuat amalia jadi makin terkenang dengan kak faisal. Bukannya wajah mereka berdua begitu mirip.
"ayo lah mel, daripada kamu stress dirumah mikirin masalah kamu... Tak mengapa lah sekali sekali kita jalan jalan.." aku berharap amalia mau, ia butuh teman bicara yang tak menghakimi dia. Amalia masih agak ragu namun kak fairuz tersenyum pada amalia. Baru sekali ini aku melihat kak fairuz tersenyum, membuatnya semakin mirip dengan kak faisal, betul betul mirip. Wajah amalia tiba tiba memerah, matanya berkaca kaca. Mendadak ia berdiri.
"aku mau ke dalam sebentar.." ujarnya dengan suara bergetar, tanpa menunggu jawaban dari kami berdua, amalia meninggalkan kami dengan terburu buru.
"kenapa dengan dia?" kak fairuz bertanya padaku dengan heran.
"entahlah kak.. Aku juga bingung, mungkin dia teringat kak faisal, wajah kakak begitu mirip dengan almarhum, wajarlah kalau amalia jadi begitu..." jawabku apa adanya. Kak fairuz mengangguk.
Ibu amalia keluar dari dapur dan menghampiri kami.
"maaf nak rio, amalia kurang enak badan..." jelas ibu amalia.
"oh begitu ya bu.. Padahal tadi kami mau mengajaknya jalan jalan.." aku menyayangkan.
"mungkin ia belum siap nak, pikirannya belum tenang. Ia masih agak labil.." urai ibu amalia sambil melihat kak fairuz secara sembunyi sembunyi.
"baiklah kalau begitu kami pamit dulu bu, tolong sampaikan sama amalia bu ya.." aku berdiri. Kak fairuz ikut berdiri.
"kok buru buru amat nak rio, ibu lagi merebus air untuk bikin minuman.." ibu amalia mencoba menahan kami berdua.
"terimakasih bu, nggak usah repot repot, lain kali aja.. Nanti kami akan kesini lagi bu.." aku menolak dengan halus.
"ya sudah kalau begitu, hati hati di jalan ya.. Maafkan amalia nak rio.."
"nggak apa apa bu..kami ngerti kok.. Salam aja sama dia, kami pamit dulu bu, assalamualaikum.."
"waalaikum salam.." jawab ibu amalia dan mengantarkan kami hingga depan pintu. Aku dan kak fairuz masuk ke mobil dan meninggalkan rumah amalia. Didalam mobil aku bertanya lagi sama kak fairuz.
"kak memangnya ngapain sih kakak ngajak aku kerumah amalia tadi?"
"kakak mau mengenalinya lebih jauh dek.." jawab kak fairuz simpel.
"buat apa kak?" aku jadi heran.
"untuk mengenali bagaimana karakternya rio, memangnya tak boleh?" kak fairuz balik bertanya padaku.
"nggak masalah sih kak.. Cuma kalau kakak tau karakternya amalia, terus kakak mau ngapain coba?" tantangku sambil mengambil kaleng minuman soda di dasbor mobil dan membuka tutupnya.
"menikahinya.." jawab kak fairuz singkat. Aku tersedak hingga terbatuk batuk mendengar jawaban kak fairuz. Hidung dan kupingku terasa pedih karena gas dari minuman bersoda keluar dari hidungku hingga mataku berair. Kak fairuz tertawa santai.
"kenapa dek?"
"kakak serius?" aku pandangi kak fairuz tajam.
"memangnya kenapa?" kak fairuz bukannya menjawab malah bertanya.
"jangan main main kak.. Kasihan amalia, dia sudah cukup menderita karena kematian kak faisal.." aku memperingatkan kak fairuz.
"apa kamu kira aku mau bermain main dengan mengorbankan hidupku?" suara kak fairuz tetap santai. Aku terdiam kehilangan kata untuk menjawab. Aku tak begitu mengenal kak fairuz jadi aku tak tau ia serius atau main main. Tapi yang jelas kalau ini cuma bercanda sungguh sangat tak lucu.
"kakak semalam bermimpi ketemu faisal, dia minta kakak membantu dia.." suara kak fairuz murung.
"kakak mimpi bertemu kak faisal?" aku tersentak.
"iya rio, terasa begitu nyata... Faisal mendatangi kakak dan mengatakan sama kakak kalau ia minta tolong menyelesaikan masalahnya. Ia tak bisa tenang kalau masalahnya itu belum selesai.." cerita kak fairuz panjang lebar. Aku terdiam menunggu kak fairuz melanjutkan ceritanya. Beruntung sekali kak fairuz bermimpi didatangi kak faisal, aku yang hampir disetiap tidur selalu berdoa agar bisa bertemu kak faisal cuma satu kali mimpi bertemu dia itupun cuma sekilas saja. Tapi yang jadi bahan pikiranku sekarang apa kak fairuz bisa seperti kak faisal, bukannya sifatnya terlalu kasar dan bertolak belakang dengan kak faisal. Aku takut ia malah akan menyakiti amalia nantinya.
"mikirin apa kamu?" selidik kak fairuz mengamati wajahku dengan seksama.
"tidak apa apa kak, kalau itu sudah jadi keputusan kakak mungkin itulah yang terbaik, aku yakin mama pasti senang mendengarnya.." aku mengungkapkan perasaanku. Muka kak fairuz langsung cemberut.
"perlu kamu ingat, aku melakukan itu bukan demi mama kamu, tapi demi faisal!" ia memberi penekanan pada setiap kata katanya hingga membuat aku terdiam. Semoga saja apa yang aku pikirkan tak terjadi. Kalau memang kak fairuz menyayangi almarhum kak faisal, aku hanya berharap ia nantinya bisa menyayangi amalia dan anak kak faisal sebagaimana dulu kak faisal mencintai amalia. Kami telah sampai dirumah, kak fairuz memarkir mobil dalam garasi lalu turun. Aku mengikutinya masuk ke dalam. Sebelum ia masuk ke kamarnya ia berbalik.
"tolong jangan beritahu mama kamu mengenai masalah ini, nanti ada waktunya..." aku menganggukan kepala, terserah keputusan kak fairuz saja, dia yang akan menjalani semua ini. Aku meninggalkan kak fairuz sendirian di kamarnya. Aku berjalan menuju ke dapur untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan, perutku tiba tiba saja menjadi lapar. Didapur ada bik tin sedang memotong motong sayuran diatas talenan plastik. Ia tersenyum begitu melihatku.
"abang mau apa?" tanya bik tin tanpa berhenti memotong sayur.
"kue bolu agar agar yang tadi pagi masih ada bik?"
"masih ada di dalam kulkas, sebentar bibik ambilin dulu.." bik tin meletakkan pisau yang ia pegang diatas talenan.
"sudahlah bik aku bisa ngambil sendiri..." buru buru aku mencegah bik tin.
"tak apa apa abang, biar sekalian bibik bikinin kopi susu buat abang, sepertinya abang capek..." bik tin tetap membantah langsung membuka kulkas lalu mengeluarkan wadah kotak plastik berisi kue yang aku maksud tadi. Dengan cekatan bik tin memotong motong kue itu dan meletakkannya ke dalam piring oval. Setelah selesai ia letakkan di atas meja tepat di depanku.
"makasih ya bik.." aku jadi terharu setiap kali bik tin melayaniku seolah aku anaknya. Aku jadi teringat emak yang dulu seperti bik tin sekarang ini, membuatkan aku makanan yang aku sukai, menyiapkan kebutuhanku dan selalu perhatian padaku. Aku pandangi punggung bik tin yang sedang membuatkan minuman untukku. Ia berbalik dan agak kaget melihatku sedang mengamatinya.
"ada apa abang?" tanya bik tin dengan rikuh. aku tertawa melihat bik tin bersikap seperti itu.
"nggak apa apa kok bik, cuma tiap lihat bibik membuat aku ingat dengan emakku bik.." kataku terus terang.
"abang kangen ya sama emak?" bik tin bertanya lembut.
"iya bik.. Kangen sekali.. Sudah beberapa tahun ini tak melihat emak rasanya kepingin bertemu emak.." aku mencurahkan perasaanku pada bik tin, sambil menarik nafas panjang bik tin menghampiriku lalu membelai rambutku perlahan.
"bibik mengerti apa yang abang rasakan, kangen sama emak itu hal yang wajar..." aku tertunduk merasakan damai menyelusup ke dalam darahku. Seolah olah aku sedang dibelai emak.
"bik apa bibik tak kangen sama anak bibik di kampung?"
"tentu saja kangen bang, tapi mau bagaimana lagi, disini bibik kerja, itupun untuk anak bibik juga.."
"kadang hidup memang aneh ya bik, aku terpaksa meninggalkan emak demi bisa bersekolah lagi, sedangkan bibik terpaksa meninggalkan anak bibik biar dia bisa bersekolah..." aku tertawa garing. Sementara bik tin hanya senyum senyum saja.
"begitulah kehidupan sesungguhnya rio, selalu ada pengorbanan.. Semuanya dilakukan semata untuk kebaikan.." bik tin tetap tersenyum seolah tanpa beban.
"dimakan kue nya bang, bibik mau masak dulu takutnya keburu malam." bik tin beranjak dan kembali menekuri pekerjaanya yang tadi terhenti. Bik tin memang seorang perempuan sederhana dengan pemikiran sederhana, sama seperti emak juga. Mengorbankan keinginan sendiri demi kebahagiaan keluarganya. Aku mengambil sepotong kue bolu agar dan memakannya. Rasanya sangat enak. Aku menghabiskan beberapa potong sebelum akhirnya aku beranjak dari dapur dan pergi mandi. Malamnya kami makan besama. Kak faisal juga ikut makan bersama. Mungkin ia segan karena ada papa. Sekilas rasanya seperti mendapatkan keluarga utuh seperti dulu. Mama dan aku banyak diam sementara kak fairuz dan papa asik mengobrol. Sepertinya mama tak tau harus bagaimana masuk ke dalam pembicaraan mereka. Selesai makan aku duduk di taman depan rumah. Memandangi air mancur kecil yang mengalir menimbulkan suara berkecipak seolah sedang berada di sungai.
"kakak pinjam mobil kamu ya.." entah sudah berapa lama kak fairuz berdiri di belakangku. Aku menoleh padanya dan mengangguk.
"pakai saja kak.."
"kamu nggak kemana mana kan yo, soalnya kakak lagi ada urusan dikit..." kak fairuz berjongkok di sampingku.
"tak apa apa kak, pakai saja.. Aku tak kemana mana, belum ada rencana." aku meyakinkan kak fairuz. Aku senang ia mulai berubah tak kasar lagi. Dulu dia takkan meminta ijin untuk meminjam barang barangku.
"kuncinya ada di atas meja di kamarku kak, ambil saja disana."
"oke, kalau gitu kakak pergi dulu.." kak fairuz berdiri lalu meninggalkanku masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian dia keluar lagi dan pergi dengan mobilku. Baru saja mobil kak fairuz keluar dari pagar, sebuah motor masuk, ternyata si rizal. Aku menghampirinya.
"hai rio..." rizal menyapaku sambil membuka helm yang ia pakai.
"hai zal, habis darimana tumben main kesini..?" aku agak heran. Soalnya rizal kan teman akrabnya kak faisal. Meskipun dia sering kesini dulunya pasti menemui kak rizal.
"memangnya aku tak boleh main kemari kalau tak ada almarhum lagi?" rizal tertawa dan turun dari motornya.
"boleh sih, cuma agak kaget aja.. Ayo masuk ke dalam saja kalau gitu.."
"disini aja lah rio, aku cuma mau ngajak kamu jalan.." lagi lagi rizal membuat aku terkejut.
"kok mendadak banget zal, emangnya mau ngajak aku kemana?"
"sudahlah jangan banyak tanya, mau ikut nggak nih...?" ujar rizal dengan tak sabar.
"tunggu sebentar aku bilang mama dulu."
"dasar anak mama.. Kemana mana bilang mama..hmmm" rizal mengejekku. Aku langsung mendelik padanya.
"sekalian kamu ganti baju yang agak keren dikit ya..!"
aku berbalik memandangi rizal. Anak satu ini memang membuat aku jadi bingung. Sudah datangnya mendadak, mengajak jalan tanpa kasih tau dulu biar aku bersiap eh sekarang malah menyuruh aku ganti baju. Benar benar membingungkan.
"memangnya mau kemana sih..?" desakku penasaran. Namun bukannya menjawab rizal malah menyuruhku tidak membuang waktu. Sepertinya penting banget, padahal kan sekarang baru jam tujuh lewat. Tanpa banyak bertanya lagi aku ikuti kemauan rizal. Aku ganti baju ku dengan kemeja dan memakai celana jeans. Setelah memberitahu mama aku kembali menemui rizal.
"nah gitu dong.. Kan lebih ganteng.. Ayo kita jalan sekarang." rizal terlihat senang dan mengulurkan sebuah helm padaku. Langsung aku ambil dan pakai lalu aku naik keatas boncengan motornya. Ternyata Rizal membawaku kerumahnya. Aku tercengang melihat keramaian dirumah rizal. Ada tenda berdiri di depan rumahnya. Kursi disusun berjajar dibawah tenda. Ramai sekali yang datang.
"turun yo..." rizal menyadarkanku.
"acara apaan nih zal?" tanyaku heran.
"intan adikku ulangtahun rio.." jawab rizal.
"terus kenapa kamu nggak bilang dari tadi?" tanyaku kesal. Bagaimana tidak aku datang tanpa membawa kado.
"kalau aku bilang kamu pasti gak mau.." jawab rizal enteng.
"memangnya tau darimana aku tak mau, kamu kan tau sendiri aku tak mungkin datang ke pesta seperti ini sekarang, kak faisal belum satu bulan meninggal?" tantangku.
"maaf rio, adikku berharap sekali kamu datang, sudah dari beberapa hari yang lalu ia berpesan padaku untuk mengajak kamu ke acaranya. Aku tak tega untuk menolaknya. Sedangkan aku tau kamu baru berduka karena meninggalnya faisal. Maaf rio bukan bermaksud tak peka, tapi ini ultah adikku... Jangan marah ya.." wajah rizal kelihatan memelas. Aku yang tadi kesal jadi hampir tertawa melihatnya.
"ya sudah tak apa apa kok.." aku tersenyum walau terpaksa untuk menenangkan rizal.
"kalau gitu ayo langsung kesitu.."
rizal menunjuk ke arah kerumunan teman temannya yang hampir semuanya aku kenal. Aku melewati tamu tamu yang sedang duduk. Saat melintas di depan adiknya rizal ia tertunduk malu begitu melihatku. Adiknya sudah dewasa sekarang. Rambutnya yang dulu ikal sebahu sekarang sudah lebih rapi dan tumbuh hingga punggung. Gaun merah muda ketat yang ia pakai membuat ia mirip seorang puteri. Aku bukannya tak tau kalau adik rizal sudah semenjak lama menyukaiku. Tapi aku pura pura tak menyadarinya. Soalnya aku tak memiliki perasaan lebih terhadapnya. Waktu masih di smu dulu saat aku kelas tiga dia baru kelas satu. Dan setiap kali berpapasan denganku ia pasti langsung menunduk. Teman teman kak faisal dari dulu paling suka mengolok olok aku dengan adiknya rizal. Padahal bicara dengannya sekalipun belum pernah. Karena jengah aku mempercepat langkahku menuju kerumunan teman teman rizal.
"hai rio.. " sapa agus.
"hai gus.. Udah lama?" tanyaku berbasa basi.
"belum sih paling limabelas menit. Ayo gabung sama sama.." jawab agus.
"zal pintar juga kamu bisa bawa rio kemari.." seloroh firdaus sambil nyengir lebar.
"aku gak bilang kalau adekku ulang tahun makanya dia mau ikut.." jawab rizal.
"langsung aja ambil makanan disana rio.." deni menunjuk ke arah meja panjang yang ada dibawah pohon mangga tak jauh dari tempat kami berdiri.
"nanti saja den, sekalian bareng kalian aja nanti."
"terserah kamu, sebentar lagi acaranya mulai.." timpal agus. Suara musik semakin kencang. Lampu tembak berwarna warni menyorot kesana kemari bagaikan menari nari membuat suasana terlihat kental nuansa anak muda. Pembawa acara sudah bercuap cuap dari atas teras disamping adiknya rizal. Kue ulang tahun dua tingkat dengan dua lilin bertuliskan angka 20 berdiri dengan mewah diatas meja berbentuk bundar disampingnya. Tak lama kemudian semua tamu disuruh berdiri karena lilin ulang tahun akan dinyalakan. Rizal mengajak kami berkumpul ke tengah. Aku terpaksa menurut saja soalnya teman teman yang lain pun tanpa di komando dua kali sudah ngacir duluan mendekat ke kerumunan tamu yang lain. Aku lihat adik rizal sedikit membungkuk meniupi lilin itu hingga padam. Serempak semua tamu tepuk tangan. Lagu selamat ulang tahun berkumandang baik dari sound system juga dari mulut para undangan yang semuanya temannya rizal dan adiknya. Pesta ulang tahun yang meriah. Membuat aku teringat lagi dengan ulangtahun amalia yang dulunya begitu sederhana hanya dengan undangan enam orang saja.
Tapi entah kenapa aku merasa lebih nyaman dengan acara ulangtahun amalia dulunya. Suasana yang begitu kontras. Disini makanan berlimpah limpah tak kalah dengan hajatan pernikahan. Memang orangtuanya rizal termasuk dari kalangan yang mampu hingga bisa mewujudkan sebuah pesta ulangtahun yang mewah untuk anaknya. Rizal nampak bangga sekali dengan adiknya. Memang ku akui intan cantik. Bahkan lebih cantik dari amalia. Atau mungkin setara entahlah yang jelas intan lebih up to date dandanannya. Ia lebih modis, wajar saja ia anak orang mampu. Bisa membeli baju yang bagus bagus dan perawatan kulit yang mahal. Setelah lagu ulang tahun selesai dinyanyikan. Aku ditarik rizal naik ke teras rumahnya. Aku mencoba bertahan namun rizal terus menarikku. Ditambah lagi teman temannya mendorong dorongku agar mau mengikuti rizal terpaksa aku mengikutinya.
Intan memotong kue ulang tahunnya. Lalu memberikan pada suapan pertama pada orangtuanya. Setelah itu rizal. Aku berdiri gemetar karena tau pasti intan akan memberikan suapan berikutnya untukku. Teman teman rizal bertepuk tangan dan bersorak sorak saat melihat intan menghampiriku dengan sendok teracung di tangannya. Tak bisa dikatakan betapa tebal rasanya muka ku saat ini. Intan berdiri di depanku dengan tersenyum seperti terpaksa. Kulihat mukanya bersemu merah. Aku bengong seolah bingung harus bagaimana. Rizal mencubitku diam diam. Ya ampun rizal mencubit tak kira kira, aku nyaris teriak karena rasanya seperti di sengat lebah. Aku melotot dengan kesal sementara rizal menahan tertawa hingga tubuhnya berguncang guncang.
Awas..! Akan ku balas nanti, dengan terpaksa aku membuka mulut lalu memakan kue yang disuap oleh intan. Tepuk tangan bergema diseluruh halaman rumah rizal. "terimakasih rio kamu mau datang..." bisik intan pelan sambil menarik sendok dari mulutku. Aku tak menjawab hanya mengangguk pelan. Tanpa menunggu lama aku menarik faisal turun dari teras rumahnya dan kembali bergabung dengan teman teman yang lain. Acara dilanjutkan dengan makan makan, karena bukan anak smu lagi maka tak ada acara permainan yang tak penting.
"makasih ya rio menjadikan pesta adikku jadi berkesan, aku tak tau bagaimana berterimakasih padamu. Belum pernah aku lihat adikku begitu bahagia seperti malam ini..." ucap rizal tulus membuat aku urung memarahinya karena telah mencubitku tadi.
"tak apa apa zal, menyenangkan orang kan baik.." aku duduk diatas pokok kayu tiruan dari batu yang sengaja dibikin sebagai penghias taman dirumah rizal.
"kalau gitu kita isi perut dulu gimana?" usul deni kelihatan sudah tak sabar.
"ayo.. Kita makan sekarang aja,.." timpal firdaus.
"makan yang banyak ya, soalnya habis pesta kalian bantu beres beres..." ujar rizal tenang.
"ya ampun rizal... Kamu bikin selera makan kami hilang saja!" maki deni kesal.
"bilang aja kamu pemalas, baru di mintain tolong sedikit aja udah segitunya.." sungut rizal kesal.
"hahaha... Sori bro cuma bercanda.!" deni terbahak bahak senang karena melihat rizal manyun.
"lagian tanpa kamu minta juga kita pasti bantu kok zal.." tambah firdaus.
"tapi kayaknya aku gak bisa deh zal.. Aku harus pulang jam sembilan, soalnya lagi ada urusan..." aku jadi tak enak hati.
"emangnya kamu mau kemana sih?" tanya rizal dengan nada agak kecewa.
"aku ada janji sama rian temanku.."
"apa tak bisa di tunda?" rizal berharap. Aku terdiam sejenak, agak bingung juga sih. Sebenarnya memang nggak penting penting banget, cuma aku agak risih kalau lama lama disini, aku tak mau memberikan harapan pada intan. Kalau sampai rian tau mengenai masalah ini pasti akan timbul kesalah pahaman yang tak perlu. Aku tak mau itu terjadi.
"maaf sekali lagi ya zal, kapan kapan lah aku kesini lagi..." aku makin tak enak hati.
"baiklah kalau begitu, main lah kesini rio, meskipun faisal sudah tak ada, tapi bagi kami teman tetaplah teman, dan kamu adalah teman kami..." rizal terdengar tulus mengatakannya. Membuat aku sedikit terharu.
"makasih zal..aku juga menganggap kalian teman kok, insya allah kalau ada waktu aku main kesini.." jawabku sambil menghabiskan nasi di piringku cepat cepat. Selesai makan aku taruh piring kotor dibawah kursi lalu berdiri.
"udah mau diantar sekarang?" tanya rizal ikut berdiri.
"kalau kamu tak keberatan zal.."
"ya sudah tunggu sebentar aku ngambil motor dulu.." rizal meninggalkanku dan teman teman yang lain. Aku pamit pada semua teman dan berjalan keluar pagar rumah rizal setelah sebelumnya aku menghampiri intan yang sedang bercanda dengan teman temannya.
Saat tau aku mau pulang kulihat intan agak kecewa. Namun ia tak berkata apa apa. Aku menunggu di pintu pagar. Rizal menghampiriku dengan motornya yang memancarkan lampu menyilaukan hingga aku menghalangi wajahku dengan tangan.
"ayo naik sobat.." perintah rizal. Tanpa menunggu lagi aku langsung naik keatas boncengan motornya.
Agak ngebut rizal mengantarku soalnya ia tak enak meninggalkan teman temannya menunggu dirumah. Setelah mengantarku hingga depan rumah, rizal langsung pulang. Aku memeriksa mobilku di garasi. Ternyata belum ada. Jadi kak fairuz juga belum pulang. Aku masuk ke dalam dan menemui mama untuk meminjam mobilnya.
Mama sepertinya tau kalau mobilku sedang di pakai kak fairuz jadi beliau langsung memberikan kunci mobilnya tanpa bertanya lagi. Segera aku meluncur kekost rian. Saat aku tiba ia sedang berbaring sambil mendengarkan musik lewat walkman. Ia tak menyadari aku yang berdiri melihatnya. Mulutnya komat kamit menirukan lagu yang ia dengar melalui earphone dengan mata terpejam. Pelan pelan aku raih bantal yang tergeletak disampingnya dan aku bekap mukanya dengan bantal.
Rian kaget dan meronta ronta. Aku lepaskan bantal, tertawa melihat rian yang cemberut.
"kok aku gak dengar kamu datang?" rian bersungut sungut.
"ya jelas lah gimana mau dengar, kamu aja asik dengerin walkman.." aku duduk diatas kasur rian dilantai.
"habis darimana kok rapi?" tanya rian curiga.
"dari ulangtahun adik rizal.." jawabku jujur. Rian mengerutkan keningnya.
"kok gak bilang bilang sama aku, siang tadi kan kamu kesini,..!" protes rian kurang senang.
"maaf... Bukan nggak ngasih tau dan ngajak kamu yan, soalnya aku juga perginya mendadak, tadi rizal menjemputku, aku juga baru tau acara ultah itu setelah sampai dirumah rizal.." aku menerangkan kejadian sebenarnya. Aku tak mau rian marah lagi. Soalnya kalau marah ia pasti akan uring uringan terus.
"adik rizal yang cewek namanya intan itu kan?" rian meyakinkan.
"iya yan, tapi habis makan aku langsung pulang.."
"kok pulangnya cepet gitu, emangnya acaranya gak asik ya?" rian penasaran. Aku tersenyum dan memegang bahu rian.
"gimana mau menikmati acaranya kalau yang aku pikirkan cuma kamu saja.." wajah rian yang keruh langsung berubah agak cerah.
"masa?" suaranya berubah riang. Aku menumpuk bantal lalu berbaring disampingnya.
"iya lah rian, entah kenapa aku tak bisa menikmati pesta kalau ingat kamu, memikirkan kamu sudah makan atau belum, sementara kamu sendirian disini tanpa kendaraan, kamu juga sih sudah aku bilang mendingan beli motor saja.." rian merangkulku lebih dekat kearahnya.
"aku tak mau merepotkanmu rio, kamu tau sendiri keadaan keluargaku saat ini di bangka, sepertinya tak bisa berharap terlalu banyak. Sakit ayahku belum juga sembuh.." rian menatap langit langit kamar. Aku berbaring menyamping memandangi rian.
"sampai kapanpun kamu tak pernah menyusahkanku rian, cuma kalau kamu tak mau menerima bantuanku itu yang membuat aku susah... Aku tak bisa tenang sementara kamu dililit kesusahan.. Kamu mengerti kan maksudku?" tanyaku lembut. Memang rian keras kepala dan sukar untuk dilunakan padahal aku sangat ingin membantunya. Aku menyayangi rian sejak dulu dan tetap bertahan hingga sekarang, apa salah kalau aku ingin berbagi dengannya.
Toh selama ini dia juga yang telah membuat aku merasa bahagia. Rian selalu perhatian padaku. Ia melindungiku dan menyayangiku. Aku ingin berbuat banyak untuknya. Bukan karena aku merasa sok mampu, entah kenapa rian selalu menolak setiap kali aku ingin menawarkan bantuan. Aku tak sedikitpun bermaksud untuk mengecilkan arti dia dimataku. Bagiku rian tetaplah yang terbaik.
"rio sebetulnya ada yang ingin aku katakan padamu.." rian memecah keheningan sesaat tadi. Aku tatap matanya dalam.
"mengatakan apa yan?" aku jadi penasaran.
"sebetulnya sudah dari kemarin kemarin aku mau bilang ini sama kamu..." rian menggantung kata katanya hingga membuat aku jadi gelisah.
"apakah ini ada hubungannya dengan aku yan?" tanyaku hati hati. Rian menggeleng pelan.
"tidak yo, ini kaitannya dengan keluargaku.. Sepertinya aku..." rian kembali menggantung kata katanya seolah hal yang ingin ia katakan begitu berat.
"kamu apa yan... Tolong katakan saja, jangan buat aku jadi cemas kayak gini..." jantungku jadi berdebar debar. Wajah rian yang murung membuat aku menebak kalau yang akan dikatakan rian adalah masalah yang besar, ia jarang murung seperti itu, rian adalah tipe yang ceria dan meledak ledak, kalau ia tertawa ia akan tertawa lepas, kalaupun ia marah ia juga tak akan menahannya. Sifatnya terbuka dan tak suka memendam perasaan, namun kali ini aku merasakan sesuatu yang lain pada sikapnya itu. Hal itulah yang membuat aku sedikit takut. Apakah aku siap mendengar apa yang mau ia katakan.
"maafkan aku ya rio.." rian mendesah.
"maaf untuk apa yan?" suara ku jadi bergetar.
"sepertinya kita akan berpisah sementara waktu ini..."
aku terdiam. Kupandangi wajah rian dan kutatap matanya mencari kejujuran disana. Namun rian tak mengalihkan pandangannya malah balas menatapku. Aku tau rian mengatakan yang sesungguhnya.
"tapi kenapa...." bisikku parau. Rian tiba tiba menangis. Ia berbalik menunggungiku. Aku bangun dan berdiri lalu menutup pintu.
"rian kenapa kamu mau berpisah denganku?" aku mengusap punggung rian lembut.
"aku bukan ingin meninggalkanmu rio, tapi aku sepertinya harus berhenti kuliah.." suara rian agak mengambang karena tertahan oleh isakannya. Rasanya bagai tersambar petir aku mendengar pengakuan rian tadi.
"kamu mau berhenti kuliah?" aku nyaris berteriak.
"iya...!" rian berbalik lagi dan menatap langit kamarnya.
"tapi kenapa..."
"orangtuaku tidak mampu lagi untuk membiayaiku rio.. Keperluan papa untuk berobat saja tidak cukup.."
"tapi kan tidak harus berhenti kuliah.." aku menyayangkan. Aku tak bisa membayangkan rian harus berhenti kuliah padahal dia baru semester empat. Sayang sekali kalau sampai itu benar terjadi. Bagaimana dengan cita citanya selama ini. Pasti ia bakalan kecewa.
"aku tak boleh egois rio, keluargaku jauh lebih penting.. Aku masih punya satu adik yang harus sekolah, sementara orangtuaku sendiri sudah cukup kelabakan saat ini.." jelas rian datar. Aku raih tangan rian dan ku genggam.
"kamu masih memiliki aku rian, dan aku tak akan tinggal diam, sekarang pikirkan masa depanmu, jangan kamu menuruti ego saja, aku bisa membantumu.."
"sudah ku bilang aku tak akan mau merepotkan kamu rio.." rian masih saja terus membantah. Rasanya gemas sekali melihat rian yang begitu keras kepala.
"rian aku tak mau melihatmu berhenti kuliah hanya karena masalah uang, aku sudah bilang aku bisa membantumu.." suara ku agak tinggi karena kesal.
"kuliah bisa kapan saja rio, aku akan balik lagi kemari kalau keadaan sudah lebih baik.." rian masih saja membantah.
"baiklah terserah kamu, tapi sampai kapan kamu akan berhenti kuliah, sampai kapan aku harus menunggu tak pasti disini..?" aku memberikan pertanyaan yang pastinya akan sulit bagi rian untuk menjawabnya. Betul saja, rian jadi terdiam dan berpikir keras. Aku merasa mendapat celah untuk memaksa rian menerima usulku kali ini.
"aku tak janji bisa menunggu kamu lagi yan, aku butuh kepastian.." rian terkejut langsung menoleh padaku.
"maksud kamu apa rio?" aku pura pura tak melihat rian. Aku mengambil kotak rokok dan korek yang ada di samping tempat tidur rian. Kemudian ku sulut sebatang rokok putih ku hembuskan asapnya lewat hidung dan mulutku. Rian langsung duduk dan menarik tanganku.
"apa maksud kata katamu tadi rio?" desak rian tak sabar. Aku meletakan rokok di sisi asbak dan menatap rian dalam dalam.
"kamu pulanglah ke bangka, tapi aku tak akan menunggumu lagi.." dengan tenang aku berdiri lalu meraih kunci mobil dan berjalan ke pintu.
"tunggu dulu, kamu mau kemana rio...?" rian menyusul ku dengan cepat dan menarik tanganku. aku terpaksa berhenti lalu menatap rian dengan sungguh sungguh.
"aku capek rian, aku mau pulang, kapan rencananya kamu mau pulang ke bangka?" tanyaku tegas.
"kamu ini aneh, kenapa sih rio, ada apa dengan kamu?" rian jadi panik. Aku nyaris tersenyum kalau saja tidak ingat aku sedang bersandiwara demi dia.
"silahkan kamu pulang, tapi kamu bukan hanya tidak kuliah lagi, tapi kamu juga tak akan pernah bertemu aku lagi.." ancamku melepaskan tangan rian dan menarik grendel pintu.
"tunggu dulu rio..!" rian mencekal tanganku.
"sudah lah rian.. Lebih baik kehilangan sekarang daripada nanti juga kita berpisah.." aku pura pura ngotot.
"apa sih mau kamu rio.." rian nampak bingung.
"sebeneranya kamu tak perlu pergi, tapi kamu terlalu pesimis yan.." aku mengeluh. Rian memalingkan muka menghindari pandanganku.
"rian, kalau kamu memang menyayangiku tolonglah kamu mau mendengarkan kata kataku sekali ini saja yan.." aku setengah memohon.
"aku cuma tak mau berhutang budi yo.." rian masih tetap pada pendiriannya.
"kalau hidup tak pernah berhutang bukan hidup namanya rian.. Siapapun pernah berhutang, semakin tinggi kedudukan seseorang biasanya semakin banyak hutang yang ia tanggung.." nasehatku menahan sabar.
"aku tau rio, tapi aku tak mau nanti teman teman tau masalah ini, dan mereka menuduh aku dekat denganmu hanya ingin memanfaatkan kebaikanmu saja.." suara rian seperti tercekik.
"memangnya apa urusannya orang lain harus tau, ini kan antara kita berdua.." jawabku hati hati. Menangani rian tidak mudah jadi aku jangan sampai salah menyampaikan maksud.
"tapi aku tak mau menyusahkanmu yo.."
"memangnya aku merasa susah, nggak lah rian.. Aku saat ini sedang mampu, belum tau bagaimana ke depannya, siapa tau malah aku yang butuh bantuanmu, bagaimana aku mau menerima bantuanmu nanti, kalau selama ini kamu tak pernah mau menerima bantuan dariku.." jelasku panjang hingga ke akar akarnya.
"hutangku dulu juga belum aku cicil yo.." rian masih saja ragu.
"tolong jangan kamu pikirkan dulu, bukan bermaksud membuat mu berkecil hati yan, tapi aku belum butuhkan uang itu.." aku tersenyum penuh sayang pada rian. Ingin rasanya aku memeluknya. Pada saat seperti ini rian terlihat lemah dan aku ingin melindunginya.
"tapi kamu janji tak akan meninggalkan aku kan rio.." rian agak kuatir.
"tentu saja tidak yan kalau kamu mau mendengarkan nasehatku.." jawabku senang.
"terserah kamu lah kalau begitu.." akhirnya rian menyerah juga.
"besok aku kasih uang yang kamu butuhkan itu, pokoknya kamu jangan pikirkan apa apa dulu, anggap saja itu pertolongan dari seorang sahabat terbaik yang pernah kau punya." aku memeluk rian erat. Ia membalas pelukanku dan menyendarkan pipinya di bahuku.
"kamu memang sahabat terbaik yang pernah aku punya.." desah rian pelan.
"kamu ingat dulu waktu kita baru kenal yan?" pikiranku menerawang di waktu aku masih smp dulu, aku jatuh saat berjualan dan rian lah yang menolong pada waktu itu.
"aku ingat semua kenangan kita yo, hari saat aku mengenalmu adalah hari paling beruntung yang aku alami.." rian mengusap punggungku dengan telapak tangannya. Aku tersenyum senang, ternyata rian tak pernah melupakan saat saat itu. Aku juga merasa hari saat aku mengenal rian adalah hari yang membahagiakan dalam hidupku. Aku dan rian kembali duduk dan membicarakan apa yang akan kami lakukan esok hari. Aku senang akhirnya rian mau mendengarkanku. Bagaimanapun juga masa depan rian tak boleh hancur, aku akan melakukan apa saja untuk menolong orang yang aku sayangi ini. Tak terasa karena keasyikan mengobrol jarum jam sudah hampir menyentuh angka duabelas.
"rian aku pulang dulu ya, besok lagi aku kemari, kamu istirahatlah jangan begadang.." pamitku ke rian.
"iya yo, hati hati dijalan ya, sudah larut sekarang, sampai dirumah langsung tidur juga ya.." rian berdiri dan mengantarku hingga ke depan beranda rumah kostnya.
"pokoknya kamu jangan terlalu banyak pikiran.. Aku janji akan membantumu yan.."
"iya yo, terimakasih.." rian mengangguk dan tersenyum. Aku masuk ke mobil membuka kacanya dan melambaikan tangan pada rian. Ia membalas lambaian tanganku hingga aku berbelok dan hilang dari pandangannya.
Aku langsung pulang kerumah. Jalanan masih lumayan ramai walaupun sudah larut. Lampu jalanan yang terang membuat jalanan terlihat jelas. Beberapa toko masih buka. Ada kerumunan anak muda bermain gitar sambil minum di sudut sudut jalan. Kalau jam segini di tempatku dulu sudah sepi, jalanan gelap dan kendaraan tak lagi melintas. Tapi tetap saja aku sangat merindukan tanah kelahiranku itu. Terasa lebih tenang dan aman. Meskipun hanya sebuah kota kecil. Tapi sekarang kotaku itu sudah jadi provinsi yang berdiri sendiri. Baru beberapa minggu. Perjuangan dari masyarakat bangka untuk menjadi provinsi yang mandiri tak lagi bergabung dengan sumatera selatan.
Semestinya pembangunan akan lebih cepat lagi setelah ini. Semoga. Aku juga berharap kehidupan keluargaku dulu sudah meningkat lebih baik.
Setelah sampai dirumah aku langsung ke kamar bersiap untuk tidur, rumah sudah sepi, mama dan papa sudah tidur, mungkin juga kak fairuz, dia telah pulang, tadi ku lihat mobilku sudah ada di garasi. Sebelum tidur aku ke kamar mandi untuk menggosok gigi. Aku mencuci muka dengan sabun dan menggosok gigi hingga rasa mulutku lebih segar.
Setelah selesai aku keluar dari kamar mandi. Aku langsung terlonjak kaget saat melihat kak fairuz sedang duduk diatas tempat tidurku, perasaan tadi aku tak mendengarkan apa apa.
"kak fairuz.. Kok nggak ngetuk pintu dulu.!" aku memprotes.
"sudah kok, cuma kamu aja yang gak dengar, jadi aku langsung masuk saja, aku sudah menunggumu dari tadi. Ujar kak fairuz tenang. Seolah tak merasa bersalah sedikitpun masuk ke kamar orang lain tanpa permisi.
"ada apa memangnya sampai kakak menungguku?" tanyaku agak heran.
"ada yang mau kakak bicarakan padamu." ujar kak fairuz terlihat agak canggung. Ada apa sih dengan orang orang hari ini, tadi rian yang begitu. Sekarang malah kak fairuz. Apa sebenarnya yang ingin ia katakan.
"hal yang penting ya kak sampai harus malam malam begini, nggak bisa nunggu besok?" tanyaku sambil menahan kuap yang hampir keluar. Kak fairuz menggeleng.
"kakak mau bicara sekarang juga.."
"mengenai apa kak?" aku duduk disamping kak fairuz.
"amalia." tembak kak fairuz langsung. Aku terperangah. Ada apa dengan amalia.
"memangnya kenapa amalia kak?" desakku tak sabar.
"mama kan bilang mau cari lelaki yang akan ia nikahkan dengan amalia.. Kakak bersedia yo.." kak fairuz menjelaskan.
Jantungku langsung berdebar tak karuan.
"maksud kakak mau menikah dengan amalia?" tanyaku kurang yakin.
"iya memangnya kenapa?" kak fairuz balik bertanya.
Aku menelan ludah yang terasa agak sekat.
"memangnya kakak mau sama amalia, bukannya sekarang ia lagi hamil kak.." aku masih ragu dengan keputusan kak fairuz.
"memangnya tak boleh ya menikah dengan perempuan hamil?" kak fairuz menatapku tajam.
"bukan begitu kak, cuma rasanya aku agak kaget, soalnya ini semua begitu mendadak.. Kakak kan baru mengenal amalia.." aku bingung harus senang atau tidak mendengar kata kata kak fairuz, soalnya aku belum terlalu mengenal kak fairuz jadi aku belum mengetahui bagaimana karakter kak fairuz yang sesungguhnya. Datang saja ia sudah mengejutkan ku, belum lagi kelakuannya selama ini yang selalu membuat aku dan mama merasa cemas. Apa mungkin kata katanya bisa dipercaya.
"kenapa diam?" tuntut kak fairuz.
"nggak kak, aku cuma tak mau kakak main main, ini masalah serius, jangan sampai kakak membuat masalah lagi, kasihan amalia.." aku mengemukakan perasaanku. Kak fairuz mendengus kesal.
"kamu pikir kakak main main, belum pernah kakak merasa serius seperti sekarang, pokoknya bagaimanapun juga kakak akan menikahi amalia..!" kak fairuz bersikeras. Sebenarnya aku senang kalau memang kak fairuz memutuskan seperti itu, tentu masalah yang selama ini telah menguras pikiran kami sekeluarga akan terselesaikan segera. Tapi sampai dimana kak fairuz bisa dijadikan pegangan itulah yang jadi masalahnya sekarang.
"kakak sudah bicarakan ini dengan mama?" tanyaku lagi. Kak fairuz menggeleng dengan cepat.
"belum yo, mama kamu belum tau, baru kamu lah yang kakak bilang mengenai keinginan kakak ini.."
"kalau begitu lebih baik besok kita bicarakan hal ini sama mama kak, beliau pasti setuju, kakak tau sendiri bagaimana pusingnya mama memikirkan masalah ini.." ujarku berapi api saking semangatnya.
"kakak melakukan ini bukan untuk membuat mama kamu senang yo, tapi karena kakak merasa bertanggung jawab sama almarhum, kakak tak mau calon anaknya nanti mendapat bapak yang hanya mau menerimanya karena iming iming uang dari mama kamu." urai kak fairuz cukup masuk akal, sebetulnya sejak mama mencetuskan ide tentang membayar lelaki yang mau menikah dengan amalia saja aku sudah tak suka.
Cinta tak dapat dibeli, kasihan amalia dan anaknya kalau punya suami dan bapak yang mata duitan.
"kalau memang keputusan kakak itu sudah bulat dan kakak memang serius, besok kita harus membicarakan sama mama kak, aku yakin mama pasti setuju, bukannya kakak adalah kakak kandung almarhum, yang paling masuk akal sebagai pengganti almarhum untuk menikahi calon isterinya.."
aku jadi semakin bersemangat.
"makanya kakak juga berpikir demikian, kalau begitu besok kita bicarakan lagi masalah ini.. Kamu istirahatlah dulu, sudah jam satu lewat, mendingan tidur.. Kakak tunggu besok ya.." kak fairuz berdiri dan menepuk bahuku. Aku mengangguk. Pikiranku masih saja berkecamuk memikirkan keinginan kak fairuz barusan. Setelah kak fairuz keluar dan menutup pintu kamar, aku langsung berbaring, butuh satu jam baru aku bisa tertidur karena aku memikirkan rian dan kak fairuz.
Aku bangun agak siang, saat melihat jam weker digital di sisi tempat tidurku ternyata sudah pukul setengah delapan. Aku bergegas bangun dan cuci muka lalu keluar kamar. Mama sedang duduk di depan televisi sambil memangku wenny.
"baru bangun yo?" mama menyapaku sementara tangannya menyuapi wenny makan.
"iya ma, susah tidur dari semalam.."
"memangnya apa yang kamu pikirkan, mau beli mobil lagi?" tanya mama. Aku langsung cemberut.
"mama ini, pasti kalo liat aku agak murung dikit dikiranya mau ganti mobil, ya nggak lah ma.." protesku sebal. Mama tersenyum lebar.
"terus kamu mikir apa? Mau kawin.. Jangan dulu kamu itu masih kuliah, lagipula umur kamu baru 22 belum kerja, mau kamu kasih makan apa anak isterimu nanti.." mama menggodaku. Aku jadi makin sebal.
"siapa juga mau kawin ma, nggak lah.. Tapi aku punya kabar buat mama yang pastinya mama akan senang mendengarnya Ma.." aku memeluk mama.
"hei.. Ada apa ini dengan anak mama, tumben peluk peluk mama segala.." mama tertawa senang.
"memangnya nggak boleh ya peluk mama..."
"tentu saja boleh sayang, sudah lama sekali mama ingin kamu peluk seperti ini.." ada keharuan pada suara mama. Aku terdiam, kata kata mama ada benarnya, selama ini belum pernah aku memeluk mama. Aku jadi merasa bersalah. Telah sekian tahun bersama mama namun pikiranku masih saja bercabang. Hingga saat ini rasanya ibu kandungku adalah emakku yang di bangka. Entah mama menyadari atau tidak.
"memangnya apa sih kabar yang katanya akan bikin mama senang itu?" mama kembali bertanya. Aku melepaskan pelukanku dan tersenyum pada mama.
"nanti mama akan tau sendiri..."
mama cemberut dan mencubit hidungku.
"anak mama sudah pakai rahasia rahasiaan segala sama mama sekarang ya..!"
"aduh mama, pelan pelan dong sakit nih.." aku meringis pura pura kesakitan. "makanya jangan bikin mama penasaran dong!" sungut mama kesal.
"rio mandi dulu ah..." aku meninggalkan mama sambil tertawa dan bernyanyi nyanyi sementara mama cuma menggelengkan kepala melihat tingkahku. Selesai mandi dan memakai baju, aku pergi ke kamar kak fairuz. Ku ketuk pintu pelan dan memanggil kak fairuz. Tak ada jawaban. Ku putar grendel dan membuka pintu sedikit lalu mengintip ke dalam. Gelap gulita gorden dan jendela belum di buka. Ternyata kak fairuz masih molor. Dasar kak fairuz sudah hampir jam sembilan masih belum bangun juga. Hmmm, otak usil ku mulai bekerja. Ku tutup lagi pintu kamar kak fairuz lalu pergi ke dapur. Aku mengitari pandangan ke seluruh dapur.
Yes.. Di bawah wastafel tersusun panci dari stenlis. Aku berjongkok mengambil tutup panci yang paling besar. Sambil menahan senyum aku kembali ke kamar kak fairuz. Ia masih lelap dengan bantal berserakan tak teratur. Mulutnya agak menganga. Langsung ku lemparkan tutup panci ke lantai kamarnya tepat di sisi kepala tempat tidurnya hingga menimbulkan suara berkelontangan yang sangat berisik. Secepat kilat aku tutup kembali pintu kamarnya dan berlari sembunyi di samping bufet fiber. Tak lama kemudian kamar kak fairuz terbuka. Kak fairuz keluar dengan rambut acak acakan. Ia melongok ke kanan kiri mencari aku.
Tutup panci yang aku lemparkan tadi sekarang ada di tangannya. Ia menggaruk kepalanya kesal. Lalu ia berjalan menuju kamarku. Ia membuka pintu mencariku. Setelah dilihatnya aku tak ada ia menutup lagi pintu kamarku. Aku menutup mulut dengan tanganku agar tertawa yang ku tahan sedari tadi tak menyembur keluar. Kak fairuz masuk lagi ke dalam kamarnya setelah meletakan tutup panci di meja pajang yang terletak di pertengahan pintu kamarnya dengan pintu ruang tengah. Setelah kak fairuz menutup pintu kamarnya, aku keluar dari persembunyian. Langsung kembali ke kamarku. Aku tertawa sepuas puasnya di dalam kamar.
Melihat kak fairuz yang kebingungan karena kaget tadi membuatku sangat senang. Kak fairuz terlalu serius selama ini. Semoga saja dia tak marah. Setelah mengambil handphone diatas meja belajar, aku keluar dari kamar bermaksud pergi ke dapur. Namun jantungku nyaris copot mendengar suara berkelontangan yang berisik langsung menyambutku tepat di depan pintu. Kak fairuz berdiri didepanku sambil nyengir. Sementara tutup panci tergeletak diatas lantai tepat dibawah kakiku.
"hahahaha... Rasain dasar pengganggu!" tawa kak fairuz pecah diiringi seringai puasnya. Aku terdiam menahan kesal karena kak fairuz langsung bisa membalas telak candaku tadi.
"emang enak dikagetin!" kak fairuz masih tetap mengolokku. Akhirnya aku tertawa juga. Kak fairuz mencolok pinggangku dengan tangannya. Aku yang tak tahan geli langsung berlari menghindar, kak fairuz mengejarku. Walhasil pagi itu aku dikejar kejar kak fairuz di seputaran ruangan. Bik tin cuma menggeleng gelengkan kepala dengan prihatin melihat kelakuan kami. Karena capek aku berhenti. "ampun kak.. Nyerah.. Capek kak!" ujarku dengan nafas yang tersengal sengal. Kak fairuz juga terlihat capek. Ia menghampiriku dan menopang tangannya di lutut kaki hingga membungkuk.
"capek, kamu itu kayak anak anak aja!" kak fairuz agak terengah engah. "kakak juga kayak anak anak!" aku tak mau kalah. "kamu yang mulai duluan!"
"habis jam sembilan masih aja molor!" "wajar aja rio, kakak baru bisa tidur jam lima subuh.." kak fairuz membela diri. Ia duduk di sofa panjang diruang keluarga. Aku ikut duduk disampingnya.
"hari ini kamu tolong bilang ke mama, kita kerumah amalia lagi.." tiba tiba kak fairuz mengalihkan topik. Sontak aku pandangi kak fairuz melihat kesungguhan di wajahnya. Ternyata kak fairuz tak main main.
"kakak yakin mau menikahi amalia?" tanyaku ragu.
"iya... Tak usah menunggu lama, kakak lah orang yang paling tepat untuk menikahinya..." kak fairuz mengatakannya dengan mantap.
"kalau begitu aku telpon mama sekarang, kita harus membicarakan dulu hal ini sama mama agar beliau tak kaget.." aku memberi saran. "terserah kamu..!" tanpa menunggu lama aku menelpon mama. Terdengar suara mama di telpon. "rio ma.!" jawabku. "ada apa rio?" tanya mama.
"bisa pulang agak cepat nggak ma?"
"kenapa memangnya?" tanya mama heran.
"ada hal penting ma yang harus kita bicarakan sekarang, tolong mama bilang sama papa juga agar pulang lebih cepat!" aku memburu mama.
"baik, sebentar lagi mama pulang..!" jawab mama dari seberang terdengar agak panik. Setelah menutup telpon aku kembali menghampiri kak fairuz.
" gimana rio?" tanya kak fairuz. "sebentar lagi mama pulang kak..!"
kak fairuz mengangguk.
"kalau gitu kakak mau mandi dulu.!" kak fairuz berdiri dan meninggalkanku. Aku termenung memikirkan semua kejadian ini yang seperti dalam mimpi saja. Kak fairuz selalu penuh dengan kejutan dan selalu membuat orang kaget dengan keputusannya. Dulu ia muncul membuat aku sangat terkejut. Kedatangannya bertepatan dengan kepergian kak faisal sudah cukup bikin heboh, belum lagi kebenciannya pada mama yang hingga saat ini belum juga sirna. Tapi sekarang malah memutuskan ingin menikahi amalia padahal ia belum mengenal amalia dengan baik. Aku bingung ada apa dengan semua ini. Terlalu membingungkan. Aku pandangi foto kak faisal yang dibingkai pigura keemasan. Wajah yang tersenyum itu seakan akan masih ada. Aku masih merasa kak faisal ada dirumah ini. Kalau ia masih hidup aku penasaran bagaimana reaksinya kalau bertemu dengan kak fairuz. Apakah mereka dulunya cukup dekat. Ataukah mereka sudah tak pernah lagi saling bertemu semenjak papa dan mamanya berpisah. Tepat jam sebelas mama pulang bersama papa. Aku langsung menemui mereka. "ada apa nak, apa yang mau kamu bicarakan?" cecar mama tak sabar. " ini mengenai kak fairuz ma.." jawabku. Mama langsung duduk di kursi tamu demikian juga dengan papa. "ada apa dengan fairuz?" papa ingin tahu. "mendingan kita tunggu kak fairuz dulu ma, biar dia sendiri yang menjelaskan." aku melirik ke arah ruang keluarga. Melihat kak fairuz siapa tahu sudah keluar dari kamarnya. "mana fairuz?" tanya mama. "di kamarnya ma, mungkin lagi berpakaian..tunggu saja sebentar lagi kak fairuz pasti keluar." kataku dengan yakin. Benar saja, tak sampai setengah menit setelah aku mengatakannya, kak fairuz keluar dari kamarnya dan berjalan menuju ruang tamu menghampiri kami. "ada apa ruz? Tanya papa terdengar kuatir. Kak fairuz tak langsung menjawab. Ia duduk langsung bersama kami. Mama tak bicara apa apa, walaupun aku tau mama juga lagi penasaran. Namun mengingat bagaimana sikap kak fairuz selama ini aku yakin mama akan berpikir dua kali untuk bicara dengan kak fairuz. "fairuz mau menikah pa.." jawab kak fairuz langsung tanpa basa basi. Papa tercengang. Demikian juga mama. "loh kok mendadak sih?" tanya papa setelah berhasil mengatasi keterkejutannya sejenak. "iya pa.." jawab kak fairuz tenang. "memangnya siapa calon kamu, mau menikah di jakarta atau palembang?" tanya papa masuk akal. Papa memang selalu mengandalkan logika dalam berbicara. Kak fairuz tak langsung menjawab. Ia diam sejenak sambil memandangi papa kemudian mama. Tapi saat memandangi mama wajahnya agak sinis. Mama mengalihkan pandangannya dari kak fairuz dan langsung memandangku. Aku mengangguk pelan ke mama. "aku mau menikahi amalia.." suara kak fairuz datar. Tapi efeknya luar biasa. Papa yang tadi siap siap untuk bertanya lagi jadi terdiam. Sedangkan mama bagai tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengarkan memandangi kak fairuz dengan mulut yang lupa ia tutup. "amel ma.." aku menambahkan. Mama memandangku dan menutup mulutnya. "maksud..mu.. Amalia.. Almarhum..?" kata kata mama berlepotan saking kagetnya. Aku tersenyum "iya ma, amel mana lagi.." "tapi.. Kenapa?" mama bukannya bertanya pada kak fairuz malah bertanya padaku. "tanya kak fairuz ma.." aku mengingatkan mama. Beliau langsung menoleh ke arah kak fairuz. "aku mau menikahi amalia demi almarhum adikku.." ujar kak fairuz tanpa ditanya. "tapi kamu belum mengenal amalia cukup dalam.." suara mama terdengar ragu, reaksi mama hampir sama dengan reaksiku saat pertama laki mendengar keinginan kak fairuz yang tak disangka sangka ini. "masih banyak waktu untuk mengenalnya setelah kami menikah nanti.." kak fairuz tak bergeming. Mama menegakan tubuhnya dan menarik nafas dalam. Sementara papa seperti sedang berpikir keras dahinya berkerut. Sesekali ia memandangi kak fairuz kemudian mama dan aku. "bagaimana pa, Apa papa setuju..?" suara kak fairuz terdengar seperti tak sabar. Papa tak langsung menjawab. Malah kembali menatap mama. Aku lihat mama mengangguk pelan. "kalau kamu memang serius, papa hanya bisa merestui.." keluar juga kata kata dari papa. "iya ruz, kalau memang keputusan kamu sudah bulat, kami akan mengurus semuanya.." mama menambahkan. "terserah tante, yang penting sekarang kita tanya pada amalia apa mau menerimaku.." kak fairuz malah terdengar agak ragu. "sepertinya amalia tak punya banyak pilihan kak, ia pasti menerima.. Bukannya tempo hari dia sempat bilang sama mama kalau dia akan menerima siapa saja yang dipilih oleh mama untuk menikahinya.." aku sok tau. Mama mengangguk tapi dari wajahnya aku tau mama masih belum "kapan kita akan membicarakan ini sama keluarga amalia?" tanya papa serius. "kalau bisa secepatnya, aku tak mau menunda nunda lagi.." jawab kak fairuz. Lagi lagi aku terkejut dengan jawaban kak fairuz itu. Apa yang ada di fikirannya saat ini. Kenapa ia bersikap seolah olah tak sabar seperti ini. "sore nanti kita sama sama ke rumah amalia, semoga saja mereka setuju kalau amalia menikah denganmu.." mama berharap. "semoga ma.." jawabku. "kalau begitu sekarang papa mau kembali lagi ke kantor, masih banyak pekerjaan disana, nanti papa usahakan pulang secepatnya.." kata papa sambil berdiri. " iya pa, hati hati di jalan." mama mengantar papa ke depan. Aku menarik tangan kak fairuz dan menyeretnya hingga ke depan pintu kamarku. "ada apa yo?" kak fairuz ingin tau. "aku harap kakak tak main main.. Kasihan amalia kak, dia baru saja bisa menerima keadaannya, kalau sampai kakak menyakitinya entah apa yang akan terjadi padanya.." aku mengutarakan kekuatiranku. "kamu kira kakak main main.. Kamu belum mengenal kakak yo.. Jangan takut, kakak juga tau." kak fairuz tersenyum sinis dan meninggalkanku. Aku kembali ke ruang keluarga. Mama masih duduk sambil menelpon. Aku duduk disamping mama. Ternyata ia sedang menelpon tante laras. Mama menyuruh tante datang Dari yang aku dengarkan. Setelah mama menutup telpon aku langsung bertanya. "mama tak balik lagi ke kantor?" "nggak yo, mama harus menghubungi semua kerabat untuk datang.." suara mama terdengar agak riang, aku tau mama senang dengan keputusan kak fairuz. Satu masalah mama akan selesai. Aku menahan keinginan untuk bertanya tentang om alvin saat ini meskipun hatiku masih begitu penasaran. Cerita mama yang dulu itu belum lengkap. Tapi aku bisa menunggu. Setelah menelpon semua keluarga, mama pergi ke kamarnya. Tak lama kemudian keluar lagi dengan memakai baju rumahan. Mama pergi ke dapur membantu bik tin memasak. Aku kembali ke kamar dan berdiri dekat jendela. Memandangi pemandangan di luar. Hari ini cerah, langit biru dengan awan yang tak begitu banyak ditambah lagi matahari tepat diatas kepala membuat aku agak menyipit karena sedikit silau. Dibawah ayunan baby sitter sedang memangku wenny dan menyuapinya makan. Sepertinya baby sitter itu sedikit kewalahan karena wenny melempar makanannya kemana mana. Aku tersenyum melihat adik tiriku itu. Aku tak menyangka bakal dapat adik lagi. Pintu kamarku di ketuk aku berbalik. Ternyata kak fairuz. "ada apa kak?" tanyaku menghampiri kak fairuz. "nggak kenapa napa.. Jalan yuk!" ajak kak fairuz. "tengah hari panas panas gini kak?" tanyaku seperti tak percaya. "iya, kan pake mobil.." ujar kak fairuz. "kemana?" aku ingin tahu. "ya keliling aja dek, sambil menunggu sore."jawab kak fairuz sekenanya. Aku mengangguk lalu mengikuti kak fairuz. "mau kemana rio?" tanya mama yang sedang menyusun piring diatas meja makan. "jalan jalan sebentar ma.." jawabku sambil mencomot ayam goreng tepung. "jangan terlalu sore pulangnya ya!" mama mengingatkan. "nggak kok ma cuma muter muter aja.." jawabku. Sementara kak fairuz tak mengatakan apa apa seolah ia tak menyadari ada mama di dapur. Kami berkeliling menyusuri jalanan besar tanpa tau tujuan. Kak fairuz terlihat agak gelisah. Mungkin karena sebentar lagi kami akan kerumah amalia. Diam diam aku amati kak fairuz yang sedang menyetir. Sebetulnya wajah kak fairuz tak sangar sangar amat, cuma entah kenapa ia sering ketus. Padahal kalau ia sedang tersenyum, aku seakan melihat kak faisal. Meskipun tak identik namun mereka berdua lumayan mirip. Perbedaannya hanya dari jambang, cara bicara, potongan rambut, dan cara berpakaian. Berkali kali aku menyayangkan kenapa kak fairuz tak tinggal dirumah bersama papa dan kak faisal. "kak..." aku memanggil kak fairuz pelan. "apa?" kak fairuz menoleh sekilas. "apakah mama kakak sudah tau keinginan kakak untuk menikah?" tanyaku ingin tau. "sudah.!" lagi lagi jawaban singkat. "memangnya kapan kakak memberitahunya.." kak fairuz tak langsung menjawab. Pandangannya terpaku ke depan. "sebelum aku memberitahumu.." kak fairuz memperlambat laju mobil. "apa mama kak fairuz akan datang?" tanyaku lagi. "tentu saja rio, mama pasti datang, meskipun tak mungkin menginap dirumah papa, tapi mama berjanji akan datang.." kak fairuz tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya itu. Aku jadi penasaran bagaimana wajah mama kandung kak faisal dan kak fairuz. Pastinya mama mereka cantik, karena mempunyai anak yang tampan tampan. Padahal papa kan nggak begitu tampan malah cenderung agak gempal. "jadi haus nih.. Singgah ke resto cari es kirim yuk!" ujar kak fairuz. "boleh.." aku menyetujui soalnya aku juga merasa agak haus, sudah jam dua siang dan matahari masih terik. Akhirnya kami singgah ke palembang square. Sebuah mall yang besar. Kak fairuz mengajakku ke food court. Kami memesan dua gelas es krim. Saat itulah aku melihat om alvin sedang berjalan dengan mamanya koko. Aku tak sempat lagi menghindar karena mama koko telah melihatku. "eh rio.. Kebetulan sekali kita bertemu disini.." seru mama koko senang. "tante, lagi borong ya?" aku berbasa basi, sedapat mungkin aku menghindar melihat om alvin. Ia tersenyum juga padaku namun tak ku balas. "nggak, cuma lagi cari gaun aja nak, minggu ini ada pesta dirumahnya adik tante ini.." jawab mama koko. Ada pesta dirumah om alvin? Aku mengerutkan kening. Kok koko belum mengatakan hal itu padaku. Tapi aku tak perduli, mau ada pesta ataupun ada hantu sekalipun tak ada pengaruhnya bagiku. Meskipun diundang tak bakalan aku datang. "apa kabar rio.?" om alvin menyapaku. "baik.." jawabku singkat. "sama siapa rio?" tanya mama koko lagi. Aku menunjuk ke meja kami, tak jauh dari tempatku berdiri, kak fairuz sedang duduk menunggu es nya datang. "sama kakak saya tante.." mama koko melirik kearah yang aku tunjuk. "itu ya kakakmu yang baru datang itu, koko sudah menceritakan semuanya sama tante..." aku mengangguk. "kokonya mana tan, kok nggak ikut?" "ada dirumah, lagi ngetik didepan komputer, katanya banyak tugas yang harus ia kerjakan.." mama koko menjelaskan. "oh gitu ya, salam aja sama koko ya tante.. Maaf aku harus kesitu lagi, kakakku udah nunggu.." ujarku dengan rasa agak tak enak, aku mau menawari mama koko bergabung di meja kami, tapi karena ada om alvin aku jadi malas. "oh ya nggak apa apa, tante juga mau berkeliling lagi, ini cari jas untuk adik tante ini..oh ya jangan lupa ya minggu kamu datang kerumah om alvin ya..." mama koko mengundangku. " insya allah tante.." "ya sudah kalau gitu kamu lanjutkan lagi, tante jalan dulu.." pamit mama koko. Aku lihat sebenarnya om alvin belum mau beranjak, namun ditarik mamanya koko. Pasti dia tahu kalau aku tak menyukai om alvin. Koko pasti sudah cerita sama mamanya, terlihat dari sikap mamanya yang tak mencoba untuk berlama lama mengajak aku bicara, padahal biasanya ada saja yang ia bicarakan agar aku betah berlama lama. "makasih ya tante.." aku mengangguk pada mama koko. "iya rio, jangan lupa main kerumah, tante udah kangen.." ujar mama koko sebelum pergi. " iya tante.." aku kembali ke meja menghampiri kak fairuz. Ku lihat om alvin menoleh melihatku. Tapi tak kuacuhkan. "siapa itu yo?" tanya kak fairuz penasaran. "mamanya koko temanku itu kak.." "ohh.. Mamanya temanmu.." kak fairuz mengangguk angguk. " iya.. " aku mengaduk es krim dalam gelasku. "yang bersamanya itu siapa yo, kok kakak lihat agak mirip kamu ya!" untuk yang kesekian ratus mungkin ribu kali kata kata seperti itu aku dengar. "adiknya mama koko, itu bapak ku.." jawabku santai. Kak fairuz tersedak. "bapak kamu?" kak fairuz seolah tak percaya. "iya kak memangnya kenapa?" tantangku "kok kamu dingin dingin saja gitu melihatnya?" kak fairuz jadi tambah penasaran. "malas kak.. Punya bapak pengecut seperti itu..." aku acuh tak acuh. "bagaimana dengan mama kamu?" desak kak fairuz. "mama belum tau kak, aku tak mengatakan sama mama kalau aku sudah tau siapa bapakku yang sebenarnya." "jadi kamu juga baru tau kalau itu bapak mu?" kak fairuz jadi semakin heran. "selama ini mama menutup nutupi semuanya, aku kan sejak bayi tinggal dibangka sama emak angkatku. Ya mana lah aku tau mengenai itu, sedangkan ibu kandungku pun aku tau pada saat aku kelas tiga smp dulu.." penjelasanku itu membuat mata kak fairuz terbelalak. "jadi selama ini kamu diberikan sama orang lain maksudmu?" kak fairuz kurang yakin. Aku mengangguk lemah. "mama kamu memang keterlaluan, kasihan kamu dapat ibu seperti itu... Hanya mementingkan diri sendiri, makanya kakak tak menyukainya dari awal, dulu dia yang jadi perusak kebahagiaan kami.." kak fairuz terdengar agak sedih. "mama perusak kebahagiaan kalian bagaiamana maksud kakak?" "sebelum mama mu datang, kami bahagia, memang kakak akui papa dan mama sering bertengkar, tapi tak pernah sampai bertengkar besar. Semua masalah bisa diatasi." kak fairuz mulai bercerita. Aku mendengarkan dengan seksama. "sampai pada suatu hari waktu itu aku masih kelas satu sd dan almarhum faisal belum sekolah. Papa dan mama jadi semakin kerap bertengkar, terkadang mama tak pulang sampai berhari hari, Datanglah mama kamu, dia teman kerja papa. Kami semua mengenalnya sebagai tante yang baik. Yang perhatian. Entah kenapa faisal lebih dekat dengannya. Ia sering membawakan kami mainan dan hadiah yang bagus bagus.." kak fairuz melanjutkan. Aku tak bersuara sedikitpun. Aku ingin tau semuanya. "pada suatu malam papa bertengkar hebat sama mama karena menemukan dikamarnya ada tante mega bersama papa.. Mama pulang ke rumah bermaksud untuk menyelesaikan masalah sama papa. Tapi malah yang ia hadapi perbuatan mesum terjadi di kamarnya sendiri..!" kak fairuz berapi api. Entah mengapa tubuhku jadi gemetar mendengarnya. "terjadi pertengkaran hebat malam itu, mama mengamuk. Mungkin karena panik papa mencoba untuk menenangkan mama dengan cara menampar mama keras keras.." mata kak fairuz berkaca kaca. tanpa sadar aku meremas gelasku. "papa kalap, ia memukul mama bertubi tubi. Faisal menangis keras. Sementara aku mencoba melindungi mama, aku ikut terkena pukulan papa... Kamu tau apa yang mama kamu lakukan?""memangnya apa yang mama lakukan kak?" aku jadi takut mendengar jawaban yang akan keluar dari mulut kak fairuz. "mamamu membawa faisal keluar kamar dan tak perduli sedikitpun padaku dan mama yang saat itu terkena amukan papa!" kak fairuz melanjutkan dengan getir, aku tertunduk mendengarnya. Tak kusangka mama berbuat sejauh itu, wajar jika sekarang kak fairuz begitu membenci mama. Aku bisa merasakan apa yang kak fairuz rasakan. "setelah kejadian itu papa menceraikan mama, meskipun mama mati matian tak mau tapi papa tetap menceraikannya.." kak fairuz mengambil selembar tissue dan menyusut hidungnya. "aku ikut mama dan faisal ikut papa.. Belakangan aku baru tau kalau sebenarnya mama dan papa sudah lama bermasalah dengan pernikahan mereka jauh sebelum mama kamu masuk ke kehidupan kami..." kak fairuz mengangkat tangannya dan melirik arloji yang melingkar di pergelangannya. "sudah hampir jam tiga yo, lebih baik kita pulang sekarang..!" kak fairuz berdiri. Aku masih termenung memikirkan cerita barusan. Kepalaku terasa berdenyut denyut . "rio.. Ayo pulang!" ulang kak fairuz. Aku tersentak dan langsung berdiri. "iya kak.." jawabku lesu. Kami keluar dari food court dan kembali ke mobil. Kak fairuz menyetir dalam keheningan. Aku menatap jalanan dengan pikiran yang berkecamuk. Begitu banyak hal yang belum aku ketahui yang sedikit demi sedikit mulai terungkap. Aku bingung harus berbuat apa karena aku sendiri benar benar baru tahu mengenai itu semua. Tanpa ku sadari kami telah sampai. Kak fairuz keluar dari mobil. Aku mengikuti kak fairuz masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai. "jangan terlalu di pikirkan cerita kakak tadi.. Kakak sekedar ingin kamu tau saja kenapa kakak sampai saat ini tak bisa menerima mama kamu!" ujar kak fairuz sambil menaiki undakan teras. Aku diam tak berkata apapun. Saat kami masuk ke ruang tamu, mama dan papa sudah menunggu di kursi tamu. "kalian dari mana.,?" tanya mama sambil meletakkan majalah yang ia pegang keatas meja. "jalan jalan cari angin ma.." jawabku dingin. "sudah hampir sore, bersiap siaplah sekarang... Kita mau ketempat amalia!" mama mengingatkan. "iya ma..." aku meninggalkan mama dan papa lalu ke kamarku. Kak fairuz tak berkata apa apa. Ia langsung ke kamarnya. Setelah mandi dan berpakaian, aku menemui mama dan papa. Kak fairuz duduk di beranda menungguku. Berempat kami pergi kerumah amalia. Ibu amalia sedang menyapu halaman rumahnya saat kami tiba. Ia langsung berhenti saat melihat mobil kami memasuki pekarangan rumahnya. "oh bapak dan ibunya faisal.. Silahkan masuk..." ibu amalia menyenderkan sapu lidi yang ia pegang di bangku papan depan rumahnya. Papa dan mama mengangguk. Kami berjalan mengikuti ibu amalia masuk ke rumahnya. "amalia ada?" tanya mama saat kami sudah duduk diruang tamu. "ada bu, sebentar saya panggil dulu.." ibu amalia masuk ke dalam. Kami menunggu dalam diam. Ku lihat kak fairuz nampak sedikit gelisah. Berkali kali ia menunduk dan meremas jemarinya. "ada apa tante?" serempak kami menoleh melihat amalia. "duduk dulu mel, ada yang ingin tante bicarakan sama kamu!" ujar mama tanpa basa basi lagi. Amalia duduk di sampingku. Aku bergeser sedikit memberi ruang untuk amalia. Ia memandang mama dengan penasaran. Mama menarik nafas sebentar sebelum ia melanjutkan kata katanya. Sama seperti kak fairuz, amalia terlihat jadi gelisah. "kamu bilang mau menikah dengan lelaki yang tante pilih bukan?" mama mengingatkan amalia. Aku mengerutkan kening menatap mama. Amalia mengangguk pelan. Kulihat kakinya agak gemetar. "tante sudah punya calon buat kamu!" mama langsung pada intinya. Sontak amalia tegak menatap mama. "tante sudah punya calonnya... Siapa tante.." amalia terbata bata. "masih saudara almarhum juga.." ujar mama. "maksud tante rio..?" amalia sembunyi sembunyi melirikku. "bukan!" mama menjawab tegas. Ibu amalia keluar dengan membawa sebaki minuman. Mama diam menunggu ibu amalia selesai menyajikan minuman untuk kami. " silahkan diminum pak, bu, nak rio.." ibu amalia menawari kami lalu duduk bersama kami dan menaruh baki dibawah meja. "saya dengar ibu sudah punya calon.. Siapa bu?" tanya ibu amalia. "kakaknya almarhum faisal.." jawab mama tanpa melihat ibu amalia. "iya bu, anak saya fairuz katanya mau menikahi amalia.." kali ini papa yang angkat bicara. "apa..!!" ibu amalia kelihatan sangat kaget demikian juga dengan amalia. Namun mama tetap tenang seolah sudah bisa menebak reaksi mereka bakalan begitu. "iya.. Kalau amalia mau maka kita secepatnya akan mengadakan lamaran.." lanjut mama tanpa ekspresi. "tapi bu, apa fairuz mau?" ibu amalia masih belum bisa percaya. "masalahnya bukan hanya itu bu, apa amalia mau kalau menikah dengan kakaknya almarhum?" tanya papa dengan sabar. Semua langsung melihat amalia. Bukannya menjawab amalia malah menangis hingga kami semua kebingungan. "kenapa mel?" mama jadi panik. Mendengar pertanyaan mama amalia semakin terisak. "kamu tak mau menikah dengan fairuz?" tanya papa bingung. "mel jangan nangis dong... Kamu jawab aja, kalaupun kamu tak mau tante tak akan memaksa.." mama mencoba menenangkan amalia. Aku menatap amalia dengan kasihan. Ia hanya menunduk sambil menutup wajahnya. Bahunya berguncang karena isakan tangisnya. Sementara itu kulihat kak fairuz mulai tak tenang duduknya. Wajah kak fairuz pucat. Mungkin kak fairuz tak menyangka reaksi amalia akan begini. "saya.. Saya sudah katakan.. Apapun keputusan tante, akan saya terima..." ucapan amalia terpatah patah. Mama menarik nafas lega demikian pula semua yang ada disini. Wajah kak fairuz pun berubah lebih cerah. "kalau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar