Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 1

Cerita ini saya ambil dari
http://boyzforum.com/discussion/16721346/pelangi-dilangit-bangka-kisah-rio/p1 

#1 AWAL PERKENALAN
1994


“Kue..... Kue....”

aku berteriak dengan lantang di pagi hari agar orang orang yang sedang berkumpul bersama keluarga sebelum memulai aktifitas di hari yang baru dapat mendengar suaraku.

Setiap pagi aku berkeliling kampung menjual kue buatan emak Bersama dengan kedua kakak perempuanku. kami berkeliling pada rute yang berbeda.

Semenjak ayah meninggal tiga tahun lalu, otomatis emak yang jadi tulang punggung keluarga. Sebagai ibu rumah tangga yang berpendidikan cuma sebatas sekolah dasar, emak tak punya keahlian apa apa selain masak dan mengurus rumah tangga.

Jadi untuk penyambung hidup, agar dapur kami tetap mengepulkan asap, terpaksa emak membuat kue untuk dijual. Sebetulnya emak tak menyuruh aku ikut jualan, Tapi aku yang memaksa emak.

Aku ingin ikut andil membantu. Aku tahu, sekolahku membutuhkan dana yang tidak sedikit, sedangkan emak hanya punya penghasilan dari membuat kue basahTentu saja untungnya cuma pas pasan saja. Kadang kadang aku sedih juga kalau kue yang aku jual tidak habis apalagi kalau tanggal tua, Sedangkan aku harus menabung agar bisa membeli buku buku pelajaran.


Oh ya Aku hampir lupa..., Namaku Rio, umurku 15 tahun Masih smp kelas 3, Kakakku yang sulung bernama yanti kelas 2 smu, yang kedua tina kelas 1 smu.Aku anak bungsu laki laki satu-satunya dirumah. Emak sangat sayang padaku Meskipun tak kurang sayangnya pada kedua kakak perempuanku. Biasalah, sebagai anak bungsu memang paling di manja. Walaupun emak tak bisa terlalu memanjakanku seperti kebanyakan orang orang yang mampu, Tapi aku bisa merasakan dengan jelas.


Aku mengayunkan langkah walaupun terasa lelah, Kue yang aku bawa diatas kepalaku ini belum habis. Pesan Emak, kalau sudah jam setengah tujuh habis atau tidak aku harus pulang Karena aku harus sekolah.

“kue!”

terdengar suara memanggilku, Aku berputar mencari darimana asal suara itu. ternyata seorang perempuan sebaya dengan emak, tapi penampilannya lebih muda. Aku hampiri ibu itu, Sudah tiga hari ini ia selalu membeli kue dariku. Rumahnya cukup bagus, setahuku rumah itu sudah lama kosong. sudah sejak seminggu yang lalu keluarga ibu itu pindah ke rumah ini.

Aku turunkan nampan dari atas kepalaku, Kemudian aku letakkan diatas lantai teras, sementara Ibu itu masuk kedalam, kemudian kembali dengan sebuah piring ditangan. Aku buka serbet bersih penutup kue. Ibu itu memilih milih dan membeli cukup banyak 15 potong.

“berapa semua nak?”

“seribu limaratus rupiah bu”
jawabku.

Ibu itu merogoh saku daster yang ia pakai, mencari uangnya

“wah uangnya ketinggalan di dalam, sebentar ya nak..., RIAN.....!”

ibu itu memanggil mungkin anaknya, Tak lama seorang pemuda jangkung seumuran denganku keluar. Ia mengenakan seragam smp, Kulitnya putih bersih rambutnya lurus. Aku jadi minder sendiri, karena penampilanku sendiri jauh beda. Aku lusuh, baju yang aku pakai walaupun bersih tapi sangat kusam.

“ada apa ma?”
tanya pemuda itu.

“tolong ambil dompet mama di kamar ya”

“sebentar ma!”

pemuda itu kembali masuk ke dalam, kemudian kembali dengan membawa dompet mamanya, Aku pura pura sibuk menutup nampan kue.

“ini nak, seribu limaratus kan?”
ibu itu mengulurkan uang pas padaku.

“terimakasih bu”

Aku mengangkat kembali nampan keatas kepala, Sembunyi-sembunyi melirik anak ibu itu, astaga Ia sedang melihatku juga. Aku jadi malu, tatapan matanya seperti heran atau tatapan menyelidik, entahlah...!.
Cepat cepat aku berbalik dan kembali ke jalan, Meninggalkan rumah besar itu.

Aku baru tahu ternyata orang di rumah baru itu punya anak sepantaran denganku. Sekolah di mana ya dia, Bajunya begitu rapi dan bersih bagaikan seragam baru, Terlihat keren membuatku jadi agak iri, Coba ayah masih hidup, mungkin aku pun bisa punya seragam yang baru. Ah.... tapi untuk apa menyesali nasib, hidup ini tak perlu diratapi, Masih banyak hal yang bisa di kerjakan, Tak boleh larut dalam angan muluk, Terima keadaan. Semua orang pasti ingin hidup senang, tapi semua sudah ada garisnya. Kalau aku ditakdirkan hidup bersahaja, itu adalah kehendak yang diatas.


Di jalan aku berpapasan dengan beberapa teman sekelasku, mereka sudah memakai seragam sekolah. Beberapa dari mereka menyapaku, Aku tersenyum. Ada juga diantara mereka pura pura tak melihatku, Entah karena mereka malu atau mereka tak mau membuatku merasa malu Aku tak tahu. Bagiku menjual kue sebelum sekolah bukan satu hal yang memalukan. Sudah jam setengah tujuh, aku harus bergegas pulang. Walaupun kue belum habis aku tak mau terlambat ke sekolah. Aku jera, Pernah kejadian aku terlambat. Guru bahasa indonesia di kelasku menghukumku, sambil menjewer telingaku ia berkata dengan keras di muka kelas.

“makanya jangan jualan kue, Sekolah ya sekolah... Jangan cari uang..!!.”

Hampir seisi kelas tertawa, Mukaku panas sekali, ingin menangis rasanya. Aku kembali ke tempat duduk dengan wajah tertunduk, Aku merasa begitu kecil. Kemiskinanku menjadi bahan lelucon dan canda bagi guru yang pilih kasih terhadap murid yang kurang mampu ini. Semenjak itulah aku bertekad.

Aku harus belajar keras untuk merubah nasib. Tak mau dihina lagi, Aku tak jera berjualan kue. Lagipula guru yang memarahi dan menghinaku itu tak memberi keluargaku makan. Sebagai guru seharusnya ia tak mengatakan hal itu,Tapi tak semua guru itu patut di tiru bukan?. Menjadi guru bisa saja karena butuh pekerjaan, dari pada menganggur. Seperti juga seorang perampok Belum tentu jahat, Bisa saja ia merampok karena terpaksa untuk bertahan hidup demi keluarganya. Tapi kata kata guru itu akan selalu ku ingat!.

*********



“Habis nak kuenya...?”

Tanya Emak sambil membantu menurunkan nampan dari atas kepalaku.

“Masih ada mak, tapi nggak banyak..... masih ada tujuh potong, ini uangnya mak!”.
Aku berikan uang dari dalam kantong krese hitam.

“Ya sudah nggak apa apa Buruan ganti baju..! nanti keburu siang”.
Emak mengingatkanku.

“Iya mak”

Bergegas aku ganti dengan pakaian sekolah, aku sambar tas dari gantungan di dinding kamar.

“mak, Rio berangkat dulu”.

“nih duit jajan kamu”.

emak menyelipkan uang seratus rupiah di tanganku. Aku pamit dan mencium tangan emak, kemudian pergi ke sekolah dengan langkah cepat, aku harus mengejar waktu. sekarang sudah jam 7 kurang lima menit. Sekolahku tak begitu jauh, jalan kaki paling cuma lima menit.

Bertepatan aku tiba di gerbang sekolah, terdengar bell tanda masuk berbunyi, Setengah berlari aku menuju ke kelas. Untung saja tidak telat lagi, kalau tidak bisa berabe.

Aku duduk dibangku paling belakang, teman sebangku ku bernama Erwan, anaknya agak kurus rambutnya ikal kulit sawo matang. Erwan agak pendiam, tapi denganku dia tidak begitu, walaupun Erwan termasuk keluarga yang mampu ia tak risih bergaul denganku. Erwan baik, sering ia membayarku makan dikantin.

“habis tadi kuenya?”.
tanya erwan tanpa ada maksud apa apa.

“nggak Makanya aku agak kesiangan”.

“kok nggak lewat depan rumahku?”.

“nggak keburu lagi, tadi ada yang beli kue Ngajak ngobrol, kalo nggak aku hentikan, bisa bisa sampai sore baru selesai ngobrolnya”.

jawabku sambil membuka tas mengeluarkan buku PPKN. Pelajaran pertama hari ini PPKN Gurunya bu sukma. aku paling favorit dengan guru satu ini, logat jawanya kental, ia juga baik hati. Sudah hampir lima menit aku duduk dalam kelas sejak bell berbunyi, tapi bu sukma belum juga masuk ke dalam kelas. Seperti biasa, setiap guru belum masuk, murid murid pasti ribut. cewek cewek pada bergosip, sedangkan cowok cowok sibuk bercerita tentang film yang mereka tonton. aku heran, Sama sama menonton kok berceritanya heboh banget, masing-masing saling berebut menceritakan lebih dulu.Dasar...!.


Terdengar suara pintu di ketuk, serempak teman temanku kembali duduk ke tempatnya masing masing dengan panik, suasana yang tadinya mirip pasar, drastis senyap seakan akan semua murid dikelas ini anak anak yang patuh, disiplin, dan jinak. Satu kepala melongok dari pintu, celingak celinguk melihat ke dalam kelas kemudian cengengesan. ternyata si roni teman sekelasku yang agak nakal, Rupanya ia terlambat.

“eh bu sukma belum masuk kelas ya....? hehehe...”.

Tanyanya dengan tampang inosen. Terdengar sorakan seisi kelas yang sekejab kembali hingar bingar.

“dasarrr....!”.

“anjriit....!”.

“sialan...!”.

“kampret....!”.

“kunyuk...!”.

“setan....!”.


Disertai lemparan lemparan gumpalan kertas ke arah roni, Suasana semakin ribut, Roni cengar cengir tanpa merasa bersalah sudah membuat teman teman panik.tertawa sambil menghindari serangan yang diarahkan padanya.

“dasar lo ron, kirain bu sukma!”.

seloroh ema, cewek tomboi berambut pendek sebatas dagu.

“loh Emangnya bu sukma nggak masuk, ia sakit ya, Oh tuhan engkau maha baik... Doaku di tengah jalan tadi engkau kabulkan terima kasih tuhan...”

ujar roni kocak dengan suara keras sambil memasang gaya mirip orang sedang berdoa


“TERIMA KASIH KEMBALI....!”.

Suara yang sangat aku kenal, dengan logat jawa yang khas menjawab dari depan kelas Serempak seisi kelas terdiam. Wajah roni berubah pucat seketika.

“selamat pagi anak anak”

sapa bu sukma sambil berjalan dengan cepat ke mejanya, Wajahnya agak masam tak seperti biasa. lalu menghenyakkan pantatnya yang super lebar dikursi kayu meja guru.

“roni maju ke depan..!”.

perintahnya dengan suara sangar. Dengan wajah tertunduk takut roni berdiri, kemudian berjalan menghampiri bu sukma. Ia berhenti di depan meja bu sukma, masih tetap menunduk seolah-olah maling ketangkap basah ngutil di swalayan.

“bisa kamu ulangi lagi doa kamu tadi?”

tanya bu sukma sambil menatap roni dengan tajam. Kelas jadi hening, semua murid murid terdiam, menunggu hukuman yang akan diberikan bu sukma terhadap roni. Aku sempat menangkap suara cekikikan tertahan dari beberapa teman-temanku.

“ayo Kenapa jadi diam Tadi suara kamu yang paling keras!”

tikam bu sukma ketus. Roni semakin tertunduk, terlihat sekali ia sangat gemetaran antara malu dan takut. Walaupun roni murid yang bandel, namun terhadap bu sukma ia segan juga. Hampir semua murid-murid disekolah ini menghormati perempuan gemuk usia paruh baya yang menjadi wali kelas 3b ini.

“jadi selama ini pelajaran moral yang ibu tanamkan sejak kamu bersekolah disini, yang kamu dapat cuma ini Menyumpahi biar guru sakit?”
Kembali bu sukma bertanya, wajahnya yang bundar terlihat agak kesal, sementara roni bungkam seribu bahasa tak menjawab walau sepatah kata. Semua murid diam menyimak insiden tersebut. namun demi melihat roni yang sudah pucat pasi sepertinya bu sukma menjadi tak tega juga. wajah bu sukma sedikit melunak.

“ibu tak akan memukul kamu, karena kamu sudah dewasa, ibu tak mau membuat kamu malu, dan itu juga tidak efektif, tapi kamu juga tak lepas dari sanksi... pertemuan selanjutnya ibu tak mau tahu, kamu harus hafal Undang undang dasar dari pasal 14 hingga pasal 26 Kamu mengerti...?”.

“iya bu, saya mengerti”.

Akhirnya terdengar juga suara dari mulut roni, wzalaupun agak menggeletar seprti orang sedang kedinginan, wajahnya merah menahan malu.

“bagus Sekarang kamu boleh duduk..!”.

Perintah bu sukma dengan wajah tenang. Roni beringsut mundur, kemudian berbalik dengan gontai kembali ke tempat duduknya. Bu sukma memang guru yang bijak, ia tak mempermalukan murid yang bersalah, tapi dengan sanksi yang lebih berguna demi kemajuan murid muridnya. Aku makin merasa bangga dengan bu sukma.

“ini kertas kertas berhamburan begini Siapa yang piket tadi?”.
Tanya bu sukma sambil menatap ke lantai melihat kertas kertas berserakan, yang tadi di lempar oleh teman teman ke roni. Beberapa orang teman-temanku menunjukkan tangan ke atas.

“ibu tidak mau mengajar kalau kelas kotor, seperti kapal pecah, kalian bersihkan dulu!”

Perintah bu sukma dengan muka masam sambil berjalan keluar kelas. Beberapa teman sekelasku yang perempuan cepat cepat mengambil sapu lalu menyapu semua kertas kertas itu. Setelah lantai bersih, bu sukma kembali masuk ke dalam kelas.

“baiklah kita lanjutkan pelajaran hari ini, buka bab 14 Kesetiakawanan
Keluarkan buku catatan kalian!”

perintah bu sukma sambil mengambil buku cetak yang ada diatas mejanya, kemudian berjalan ke depan kelas. Semua murid murid hampir serempak mengeluarkan buku pelajaran PPKN dari tas masing masing. Aku membalik lembaran demi lembaran buku, mencari halaman yang menulis bab tentang kesetiakawanan.

“rio, pulpenku macet, pinjam pulpen kamu dong”.

Bisik erwan pelan di sampingku.

“sebentar, aku lihat dulu, bawa pulpen lagi nggak”

Aku balas berbisik sambil merogoh tas, mencari pulpen yang satunya lagi, Ku ubek ubek isi tas kain bergambar andi lau punyaku yang sudah kusam, biasanya aku selalu membawa pulpen cadangan, persiapan kalau pulpen yang satunya habis. Akhirnya ketemu juga terselip diantara buku
tulisku.

“nih.”

Aku meletakkan pulpen diatas meja.

“pinjam dulu ya, ntar istirahat aku beli pulpen di koperasi..”

Erwan mengambil pulpen yang aku taruh tadi

"udah, nggak apa apa pake aja".


TOK....TOK....TOK....


Terdengar suara pintu di ketuk, aku langsung melihat ke arah pintu, siapa lagi yang datang terlambat nih, Pikirku dalam hati. Bu sukma menghampiri pintu, ternyata pak hasan kepala sekolah sedang berdiri bersama seorang bapak-bapak yang memakai baju kemeja rapi berwarna putih garis garis, seorang anak laki-laki seusiaku berdiri ditengah tengah mereka dengan wajah agak canggung.

Betapa kagetnya aku setelah mengenali anak itu. Anak yang tadi pagi disuruh ibunya mengambil uang untuk membayar kue yang di beli dariku. Aku masih ingat namanya rian, tadi ibunya memanggilnya dengan nama itu. Bu sukma berbicara dengan kepala sekolah, aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tak lama kemudian bapak kepala sekolah pergi bersama bapak yang ada disampingnya. Aku menebak pasti itu bapaknya rian.

“silahkan masuk....! “

Kata bu sukma memasang senyum manis kepada rian. Rian berjalan mengikuti bu sukma ke dalam kelas. Aku tak bergeming sedikitpun melihat ke depan kelas. Bu sukma memperkenalkan rian, anak itu tersenyum menatap kami.

“anak anak Kenalkan ini anggota baru dikelas ini, mulai sekarang Ia duduk dikelas ini bersama kalian Perkenalkan dirimu nak..!”

Bu sukma mempersilahkan rian berbicara. Tampak rian agak malu-malu memandang seputar ruangan, saat melihatku ia sempat mengerutkan kening seperti mengingat ingat. aku langsung menoleh kearah jendela pura pura melihat pohon akasia yang tumbuh diluar. Kelas semakin hening, sepertinya teman temanku pada penasaran semua. Apalagi murid perempuan, biasalah, kalau ada murid baru pasti mereka senang, apalagi yang tampan seperti rian.

“nama saya ferdi Syahrian Saya berasal dari pekanbaru, pindah ke pangkalpinang karena orangtua saya pindah dinas.”

Rian memperkenalkan diri dengan malu malu, Bu sukma mengangguk angguk. Teman teman sekelasku menatap rian dengan keingintahuan yang sangat kentara. Memang rian terlihat agak beda, pakaiannya terlalu rapih tak ada kusut sedikitpun, nampak sekali berasal dari keluarga yang berada.

Kulitnya putih bersih, aku rasa tak ada teman teman sekelasku walaupun perempuan, yang kulitnya seperti rian. Rambutnya yang lurus pendek disisir model cepak, mode yang lagi in. Penampilannya Memancarkan aura yang beda, Aku tak bisa disejajarkan dengan dia Sangat jauh. Beberapa teman temanku berbisik bisik, Aku yakin mereka pasti senang mendapat teman sekelas baru yang seperti rian. Aku bisa menebak tak sulit bagi rian untuk mendapatkan simpati dari teman-teman.

“baiklah, selamat bergabung di sekolah ini, semoga kamu betah dan bisa mengikuti pelajaran disini”.

Ujar bu sukma tersenyum manis pada rian, Kemudian ia melihat ke arah kami. Bu sukma sepertinya sedang melihat posisi mana yang bagus untuk tempat duduk rian.


“anto, tolong kamu pindah ke belakang, duduk dengan iwan!”

Perintah bu sukma sambil menunjuk ke arah anto yang duduk di deretan kursi nomor dua tepat didepan meja guru. tanpa membantah walaupun terlihat agak keberatan, Anto membereskan buku dan alat alat tulisnya diatas meja, kemudian berjalan ke deretan paling belakang ke meja iwan yang selama ini duduk sendiri. Setelah bangku anto sudah kosong, bu sukma dengan ramah mempersilahkan rian duduk di bangku itu.


“silahkan kamu duduk disitu, teman sebangku mu namanya vendi”

Jelas bu sukma masih dengan nada ramah kepada rian. Rian mengangguk sopan, kemudian berjalan menuju bangku yang ditunjuk bu sukma tadi. Aku memandang rian dari tempatku duduk. meja rian berbatasan satu meja disampingku, tapi aku duduk di barisan empat dari belakang. Biarlah, dengan begitu aku bisa melihatnya dari belakang tanpa harus repot repot sering sering menoleh andaikata bu sukma tadi menempatkan ia duduk dengan iwan.

Aku sempat mendengar suara bisik bisik dibelakangku. dari suaranya Pasti ratna dengan nila, mereka berdua kan cewek yang paling centil di sekolah. Bisa dipastikan nila akan melakukan apa saja untuk mendapat perhatian dari murid baru itu. Aku pura pura sibuk membalik balik lembaran buku pelajaran padahal aku mencuri curi pandang melihat rian.

Punggungnya lebar, baju yang ia pakai masih baru, kaus singlet yang ia pakai tercetak jelas, terlihat bajunya terbuat dari katun bagus. Tidak seperti bajuku warnanya sudah agak kusam, soalnya dari kelas satu aku memakai baju ini. Celana biru sebatas lututnya sangat pas ia pakai Pasti dijahit dengan ukuran pinggangnya, Tak seperti celanaku yang beli jadi. Ah.... Kenapa lagi aku ini, Membanding-bandingkan orang lain dengan diriku, Biasanya aku tak begitu perduli dengan apapun yang dipakai ataupun dikenakan oleh teman teman sekolahku.

Tiba tiba rian menoleh ke belakang, melihat ke arahku Bertepatan aku sedang mencuri curi memandangnya. Saat mata kami berpapasan, aku sangat malu sekali ketahuan sedang melihatnya. Aku cepat cepat melihat buku. Rian tersenyum, kemudian kembali melihat ke depan. Bu sukma sedang menulis di buku absen, mungkin menambah nama rian di daftar absensi. Sejenak kemudian bu sukma berdiri mengambil kapur, lalu berjalan menuju ke papan tulis.

“baiklah Kita lanjutkan kembali pembahasan kita, mengenai kesetiakawanan Siapkan catatan kalian...!”

Bu sukma mencatat ringkasan bab dipapan tulis. Aku berpura pura sibuk mencatat, walaupun pikiranku sama sekali tidak konsentrasi sedikitpun, entah kenapa Naluri dalam hatiku selalu ingin melihat kearah rian. Bukan cuma aku yang seperti ini, Aku lihat beberapa teman lain pun menatap rian secara sembunyi sembunyi.

coba tadi bu sukma mengatur aku duduk bersama dengannya. Kenapa ia tadi tidak menyuruh erwan saja yang pindah duduk ke belakang. Lagi lagi aku berpikir yang aneh.

Hingga bunyi bell tanda pergantian pelajaran, aku tak bisa menyimak apa yang bu sukma terangkan tadi. Sebelum meninggalkan kelas, bu sukma masih sempat memberikan tugas pekerjaan rumah, menulis sepuluh hal yang menunjukkan kesetiakawanan dan sepuluh hal yang menujukkan ketidaksetiakawanan.

Selama satu jam pelajaran berikutnya diisi oleh pak pardede guru kesenian. Kami disuruh maju ke depan kelas satu persatu untuk memainkan keyboard mini dengan not not yang kami hapal di luar kepala. Aku memainkan lagu “padamu negeri”. Beberapa kali aku memencet not yang keliru, padahal biasanya aku hapal sekali jika memainkannya dengan soprano.

Aku kembali duduk ke bangku. Setelah beberapa anak disuruh maju Tibalah giliran rian. Dengan percaya diri ia melangkah ke depan kelas, kemudian memegang keyboard mini itu lalu memainkannya dengan kedua tangannya sekaligus.

Semua murid murid terdiam saat alunan lagu hymne guru melantun dengan mulus lewat olahan tangannya yang lincah, jarinya yang ramping, menari nari diatas tuts tanpa canggung. Bahkan ia memainkan chordnya sekaligus. Aku cuma bisa terpana melihatnya. Ternyata rian piawai bermain alat musik. dirumahnya pasti ada keyboard pribadi. Aku merasa rian semakin tak terjangkau untuk menjadi temanku, Bagaikan seorang pangeran dengan rakyat jelata.


jam istirahat yang datang aku cuma duduk saja di dalam kelas, mau ke kantin rasanya malas Perutku belum lapar. Teman-teman sekelasku sudah pada berhamburan keluar sejak bell berbunyi. Tadi erwan sudah mengajak aku ke kantin tapi aku tolak dengan halus Aku bilang sudah sarapan tadi sebelum ke sekolah. Aku sempat melihat sebelum semua teman teman keluar, rian bersama vendi dengan teman teman satu geng dengan vendi yang semua terdiri dari anak anak orang berada, mereka anak anak gaul, pakaian bagus, sepatu selalu baru, tas pun bermerek.


Aku tahu, tak salah lagi pasti rian akan bergabung dengan geng anak yang satu level. Sejak dari kelas satu dulu, di sekolah ini sudah ada pengelompokan pergaulan, Anak anak yang berasal dari keluarga mampu lumrah bergaul dengan sesama anak anak mampu. Walau mungkin terjadi tanpa disengaja Tak urung aku merasa minder juga.

Aku tak berani untuk bergabung walaupun dalam kelas mereka juga menegurku, tapi untuk bersahabat lebih dekat sepertinya tak mungkin. Yang aku tahu ada sekitar belasan anak anak dari kelas 3 a sampai 3d yang setiap hari selalu nongkrong sama-sama, Ke kantin bersama-sama. Bahasan mereka tak jauh dari komik, film, dan mobil tamiya. bahkan ada beberapa dari mereka yang sudah punya motor sendiri walaupun sekolah ini melarang anak anak muridnya membawa motor ke sekolah. Itu tak menyurutkan mereka.

Masih saja ada yang membawa motor ke sekolah walaupun motor itu di titipkan dirumah teman yang ada di depan sekolah kami. Disekolah ini aku cuma berteman akrab dengan erwan dan beberapa murid kelas lain yang aku merasa nyaman dan tidak merasa kecil bila bergaul dengan mereka. Aku lebih senang berteman dengan yang keadaanya tak jauh berbeda dari keluargaku.


Aku mengambil sebuah buku tipis yang sengaja aku beli untuk aku gambar. Aku suka sekali menggambar, kadang aku bikin komik yang aku baca sendiri. aku sering membaca komik bergambar. Dalam benakku selalu tertuang id- ide yang aku salurkan diatas buku ini. Satu satunya yang aku beri untuk membacanya cuma erwan. Ia selalu memberikan support padaku, memuji dan mengkritik kekurangan dan kelebihan dari setiap goresan goresan pensil di buku ini. Aku memegang pensil 2b yang biasa aku pakai, Kemudian menggores sketsa sebuah wajah yang ada di benakku saat ini.


“rio Ke perpus yuk!”

Teriak erwan yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan kelas. ia berjalan menghampiriku,
Cepat cepat aku tutup buku gambarku kemudian ku sembunyikan didalam laci.

“tumben ke perpus, memangnya kamu mau nyari buku apa wan..?”.

Tanyaku sambil berdiri, erwan duduk diatas meja, di tangannya memegang dua bungkus keripik singkong pedas.

“nih..! keripik satu untuk kamu tadi aku beli di kantin bu norma..”
Erwan meletakkan sebungkus keripik diatas meja tepat didepanku.

“makasih wan”

Aku mengambil keripik itu membuka bungkusnya dengan mulutku, kemudian aku ambil sepotong.

“enak ya Pedasnya pas”

Erwan mengunyah keripik pedas didalam mulutnya.

“iya Berapa satu bungkusnya wan?”

Tanyaku sambil mengunyah keripik pedas ini.

“cuma limapuluh rupiah”.

“Eh sebentar lagi bell bunyi, sepertinya kita belum bisa ke perpus sekarang Gimana kalau istirahat kedua aja ya”

Usulku pada erwan sambil melirik jam tangan yang ia pakai di pergelangan kirinya.

“terserah Tapi nanti kamu ingatkan aku ya Aku mau pinjam buku tentang MAMALIA, buku ensiklopedia bergambar itu Kemarin aku sempat lihat, bagus bagus gambarnya Kayak tiga dimensi gitu”.

Erwan menerangkan padaku. Aku cuma mengangguk sementara mataku menangkap dari balik jendela satu sosok jangkung sedang berjalan menuju kelas Bersama dengan vendi, faisal dan tedi. Rian Ia sedang tertawa tawa bercanda dengan teman teman barunya, Nampaknya mereka sudah akrab.

Memang murid cowok cepat akrab dan mencari teman. Rian memasuki kelas, aku pura pura sibuk bicara dengan erwan. Sesekali aku melirik kearahnya. Aku lihat ia sudah duduk di bangkunya. Ditangannya juga memegang sebungkus keripik pedas, sama seperti yang aku pegang. Ia seperti tidak menyadari ada aku dan erwan di dalam kelas bersama mereka. Rian sibuk bercanda dengan vendi.


Bell tanda masuk berbunyi, Teman teman kembalimasuk kedalam kelas Satu persatu sehingga semua bangku kembali terisi. Sepanjang pelajaran sejarah aku mencoba untuk fokus pada penjelasan pak herman Tentang revolusi perancis dan penyerangan benteng penjara bastilles.

Rian tampak begitu serius, wajahnya sedikit berkerut saat mendengar istilah-istilah dalam bahasa perancis seperti “coup de etat” “guillotine” dan “l’etat ces’t moi”. Aku menahan dorongan untuk meniru gayanya mengerutkan alis. Senang sekali melihatnya.

**********


pulang ke rumah aku langsung cuci muka dengan sabun mandi, Dinginnya air dari gayung membuat wajahku yang tadi panas terkena sinar matahari menjadi segar. Waktu aku keluar dari kamar mandi, emak sedang berada di dapur, mengadon tepung beras untuk membuat kue apem.


“makan dulu rio tadi emak masak sayur asem dan goreng cumi, baju sekolahnya ganti dulu!”

Emak menghentikan sejenak mengadon kue, melihatku yang sedang mengeringkan muka dengan handuk.

“iya mak... Yuk yanti mana mak Belum pulang sekolah ya?”

Tanyaku sambil menggantung handuk di gantungan tali plastik di bagian luar kamar mandi.

“belum nak, katanya ada les tambahan, mungkin pulangnya agak sore”.

“kalau gitu nanti rio bisa ngambil kue di warung, takutnya yuk yanti pulangnya terlalu sore”.

“iya Tapi makan dulu... emak sengaja beli cumi cuma buat kamu, Habisnya mau beli banyak tadi uangnya nggak cukup. Cepatlah makan, nanti yuk tina keburu pulang kalau ia lihat kamu makan cumi dan dia tidak, bisa bisa dia marah sama emak”.

Tukas emak kembali melanjutkan mengadon kue. Aku jadi terharu, emak selalu lebih perhatian padaku walaupun harus membagi uang yang benar benar pas pasan. emak selalu berusaha untuk menyenangkan aku. Terkadang aku sudah melarang emak namun percuma saja.

Aku kasihan sekali melihat emak harus bercucuran keringat membuat kue untuk dijual, emak kurang istirahat. Pagi pagi buta ia sudah bangun menggoreng pisang, talas, dan onde onde. Kalau Siang emak membuat kue apem dan mengukusnya. Malam merebus ketan lalu membungkusnya dengan daun pisang untuk dijadikan kue lemper.

Belum lagi harus berbelanja dan memasak. Aku sering tidak tega melihat emak terlalu memforsir tenaganya. Aku harus belajar keras, harus pintar agar nantinya aku bisa merubah kehidupan kami. Aku ingin sekali bisa membuat emak bahagia. aku ingin membelikan emak kain sutera, perhiasan yang bagus, memperbaiki rumah yang terbuat dari papan ini, yang mana atap seng nya sudah banyak yang bocor,

Terkadang aku harus memanjat untuk menambalnya dengan styrofoam yang dituang bensin hingga menjadi lumat. Pernah aku bertanya pada emak, kenapa anting saja ia tak punya, Emak cuma tersenyum sambil membelai kepalaku.

“emak sudah tua, tak perlu lagi pakai perhiasan, Kan emak sudah punya perhiasan yang lebih berharga.... yaitu kalian anak anak emak. Kebutuhan kalian masih banyak kalian harus sekolah. Emak tak mau kalau emak pakai perhiasan tapi anak anak emak jadi terbengkalai, Itu sama saja emak tak amanah Tak bisa menjaga anak anak emak”.

Begitu jawab emakku sambil tersenyum, kemudian melanjutkan nasehatnya....

“perhiasan di dunia ini hanya akan membuat kita menjadi orang orang yang tamak, manusia tak ada puasnya nak..... yang penting perbanyak amal ibadah, insya Allah kita akan mendapatkan perhiasan yang lebih indah di akhirat nanti Itu yang paling penting, Dunia ini cuma sementara yang kekal itu yang harus kita kejar”.


Selalu demikian nasehatnya padaku. Emak memang luar biasa, ia tak pernah mengeluh, Walaupun kesulitan tak pernah ia tunjukkan kepada kami. Cuma kami bisa merasakan kalau hati emak sedang susah, Aku selalu berusaha jangan sampai membuat emak sedih. Selama ini emak selalu bangga dengan nilai nilai yang aku dapat di sekolah, Ia selalu mengatakan kalau aku akan menjadi orang yang berhasil. Emak selalu memberikan semangat kepadaku agar tak mudah menyerah ataupun menyesali keadaan kami yang terlalu bersahaja.


********




Selesai makan aku langsung ke toko Memakai sepeda mini milik yuk tina, Aku mengambil kue kue yang kami titipkan di beberapa toko yang ada di daerah tempat tinggalku.

Aku berkeliling dengan kantong plastik berisi wadah tempat kue yang sudah kosong tergantung di kiri kanan setang sepeda. melewati depan rumah rian. Pintu rumahnya tertutup, mungkin ia sedang tidur siang. Dalam kamusku tak ada istilah tidur siang, Sayang rasanya waktu yang seharusnya aku pergunakan untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat, dihabiskan dengan tidur siang.

Aku lebih memilih membuat pekerjaan rumah atau membaca buku, soalnya kalau malam, bersama kedua kakak perempuanku dan emak, kami menyusun kue kue basah ke wadah untuk besok diantar lagi ke toko.

Aku perlambat mengayuh sepeda, Aku pandangi rumah rian, rumah sebesar itu pasti banyak sekali alat alat yang bagus bagus. Di depan rumahnya ada tiang basket Aku senang main basket, tapi aku tidak terpilih jadi tim basket sekolah karena aku tak mampu membeli sepatu dan baju basket yang mahal itu.

Tapi tak jadi persoalan, Aku juga tak punya cita cita untuk jadi pemain basket. Masih banyak hal yang berharga yang bisa aku lakukan. Lagian basket tidak mengubah dunia menjadi lebih baik. Itu cuma sekedar hiburan saja, Aku masih bisa mencari olahraga lain yang lebih murah dan terjangkau yang sama-sama menghibur tapi tak mesti keluar uang.


Karena mataku tidak terfokus di jalan, tanpa sengaja aku menabrak seekor anak kucing. Aku kaget sekali, sepedaku langsung oleng. cepat cepat kujaga keseimbangan, Aku tekan rem kemudian berhenti. Aku turun dari sepeda dengan gemetar, melihat kucing yang terkapar dijalan membuat aku ketakutan dan merasa bersalah.

Aku berjongkok mengamati anak kucing yang masih kecil itu, nafasnya tersengal sengal menahan sakit. dengan cepat aku pungut lalu masukkan ke dalam keranjang sepeda yang ada di depan. Aku kayuh sepeda kencang kencang menuju ke rumah. Sepanjang jalan aku berdoa jangan sampai anak kucing ini mati,

Aku takut sekali. Aku menyesal telah ceroboh hingga menyebabkan anak kucing ini kesakitan. sampai dirumah aku langsung menaruh sepeda di halaman belakang, lalu aku angkat kucing kecil itu dari dalam keranjang. Bergegas aku masuk ke dalam rumah lalu menuang air minum kedalam tatakan gelas, Kemudian aku teteskan ke dalam mulut anak kucing. Tak ada reaksi, nafasnya pun sudah mulai lemah.


Aku tak menyerah, sambil membuka mulutnya pelan pelan dengan jari, aku teteskan lagi air minum hangat sedikit demi sedikit. kutunggu hingga tertelan oleh anak kucing ini. Setelah habis dalam mulutnya aku teteskan kembali. Demikian berulang ulang hingga aku rasakan kucing ini sudah mulai melemah. Aku baringkan lagi anak kucing ini, kemudian mengambil kain baju yang sudah tak terpakai, Aku masukkan ke dalam kotak bekas sepatu.

Lalu aku tidurkan kucing kedalamnya. Kucing ini sebenarnya bagus, bulunya lebat warna oranye seperti kulit jeruk satsuma, ekornya panjang melebihi panjang tubuhnya. Cuma sayang agak kurus dan kurang terawat. Aku yakin kucing ini tak ada pemiliknya.

Bulunya juga agak kusam karena debu. Untunglah waktu aku tabrak tadi tidak luka. Aku terus mengamati hingga akhirnya kucing itu tertidur. Aku angkat kotaknya, aku bawa kekamar dan aku masukan ke kolong tempat tidur. Aku pergi ke dapur menemui emak sambil membawa plastik plastik berisi tempat kue yang sudah kosong.

“mak Semua kue sudah aku ambil dari toko, semuanya sudah habis”.

Emak menaruh kue apem dari loyang ke dalam kukusan diatas kompor Lalu menghampiriku.


“alhamdulillah Beberapa hari ini selalu habis Kalau begini terus, kita bisa menabung untuk membelikan sepatu baru buat kamu”.


“sepatu rio kan belum robek mak”.

Jawabku sambil memberikan uang kue itu.


“iya, tapi kamu butuh sepatu cadangan, supaya kalau robek tidak kelabakan Kalau ada dua kan kamu bisa ganti ganti, jadi lebih awet”.

Tukas emak sambil duduk di kursi makan kayu peninggalan almarhum ayah, Kursi dan meja makan itu dulu ayah membuatnya sendiri. Emak menghitung uang yang aku berikan tadi Wajahnya berbinar binar.


“mak ada nyimpan ikan asin nggak?”.

Tanyaku takut takut.
Emak menatapku sedikit heran.

“untuk apa nak Kamu lagi pengen makan ikan asin ya? Ada sih..., tapi belum di goreng Nanti kalau sudah selesai bikin kue, emak goreng buat kamu...!”.

“terimakasih ya mak Ikannya di mana biar rio goreng sendiri, Rio kan lagi santai juga”.

“bener nih mau goreng sendiri, nggak takut keciprat minyak goreng panas?”.

Tanya emak kurang yakin.

“ya iyalah mak Masak rio nggak bisa goreng ikan asin, Mak ini ada ada saja... Mana ikan asin nya mak?”.

Aku tertawa mendengar kata kata emak. Sebenarnya aku mau memberi makan kucing malang yang baru aku tabrak tadi, Aku tak tega melihat tubuhnya yang kurus.

“tuh di gantung di dinding, dalam plastik krese warna hitam yang ada di rak bumbu...!”.

Tunjuk emak ke arah dinding yang ia maksudkan. Aku menyalakan kompor yang satunya lagi, kemudian memanaskan minyak goreng dalam wajan berukuran sedang. aku ambil ikan asin dalam plastik yang digantung di dinding, aku masukkan ke dalam minyak goreng panas. bau harum ikan asin langsung memenuhi dapur yang sempit ini. setelah matang aku angkat.


Emak sedang ke halaman belakang, mengambil daun pisang yang sengaja ditanam disana. Sambil melihat lihat keluar, aku mengambil mangkuk kecil tempat air kobokan, aku isi dengan nasi sedikit lalu aku campur dengan ikan asin hingga rata. Aku bawa kekamar. Aku berjongkok mengambil kotak dalam kolong ranjang, ternyata kucing kecil itu masih tidur, aku letakkan mangkuk ke dalam kotak kemudian aku taruh lagi kotak itu dibawah kolong.

Kemudian kembali ke dapur untuk mencuci tangan. Emak sedang meraut daun pisang untuk membuang tulangnya yang keras.

“sudah selesai makannya nak, kok cepat sekali?”

Tanya emak dengan heran, aku tak menjawab cuma tersenyum lirih, aku tak tega membohongi emak apalagi hanya masalah kucing, emak paling marah dengan kebohongan, lebih baik diam.

“mak, rio mau main dulu ya Nggak lama kok, cuma cari angin sebentar”.

Aku minta ijin sama emak.

“main saja rio, kalau ketemu yuk tina dijalan, kamu suruh pulang, bilang emak minta tolong piring piring kotor yang dibelakang belum dicuci, nanti keburu ayam ayam tetangga yang mencucinya”.


Kata emak sambil membakar daun pisang diatas bara, supaya layu Jadi kalau digulung tidak bakalan pecah.

“ih Emak bisa aja Masak ayam bisa cuci piring sih”

Aku tertawa geli mendengar kata kata emak tadi.

“tuh Dengar aja bunyinya Prang Prong Dibelakang itu, pasti ayam ayam sedang cuci piring, cuma kalau ayam yang nyuci dijamin bakalan banyak yang pecah nggak karuan Sudah sana buruan kamu susul dulu yuk tina Sebelum piring piring itu pecah diserbu ayam”.

“oke mak Rio cabut dulu”.

Teriakku sambil berlari keluar.
Biasanya yuk tina nggak jauh jauh, paling cuma kerumah sari teman sekolahnya, Rumah sari nggak jauh dari rumahku paling cuma berjarak delapan rumah. Benar dugaanku, yuk tina memang berada dirumah sari, ia sedang main biji saga.

“yuk....! Ayuk tina Dipanggil emak disuruh pulang cuci piring tuh....!”.

Teriakku dari depan rumah sari, Yuk tina yang sedang asik main saga langsung menoleh melihatku, matanya agak melotot mungkin ia malu.

“iya... iya...nggak usah teriak teriak napa..?”.

Jawabnya sedikit kesal. Aku nyengir lalu berlalu dari rumah sari sambil menahan ketawa,

Biarin aja dia malu sama teman temannya, kebiasaan...... tugas belum selesai udah kelayapan. aku berjalan kaki menuju ke rumah dodi, teman sekolahku waktu aku masih sekolah dasar dulu. Biasanya jam segini dodi sibuk dengan ayam-ayam peliharaannya. Aku memasuki pekarangan rumahnya yang dipagari tanaman bonsai, yang buahnya seperti setangkai anggur tapi berwarna kuning. Aku langsung saja berjalan melewati samping rumahnya, menuju ke halaman belakang, dimana kandang ayam dodi berada. Benar saja dugaanku dodi sedang berdiri menaburkan jagung ke tanah. Aku hampiri dia pelan pelan.....


“DORR”

“eh...... Monyot ........monyot eh.... monyot....!”


“ha..ha..ha..ha..ha..ha”

Aku tertawa ngakak melihat dodi yang latah karena kaget

“sialan lo rio Bikin jantung gue mau lepas aja”

“kayak nenek nenek jaman dulu aja pake latah segala”

Kataku sambil mengambil segenggam jagung lalu aku taburkan ke tanah, Ayam ayam langsung mematuknya. dodi menggantung plastik berisi jagung ke dinding kandang ayam Kemudian mengajak aku berteduh dibawah pohon jambu. Ada bangku panjang tanpa sandaran dari kayu, Aku mengikuti dodi duduk dibangku itu.

“kamu mau ngopi nggak?”.

Tanya dodi.

“boleh Kalau nggak ngerepotin”.

“oke tunggu sebentar”.

“jangan lama lama Ntar aku pulang”.

“iya Sabar sedikit”.

dodi cemberut.

“buruan...!”.

aku sengaja menggoda dodi, soalnya anak ini sangat lucu, mudah kaget, sedikit agak kecewek cewekan. Tapi anaknya sangat kocak dan membuat aku terhibur. dia rajin, Suka membantu ibunya membereskan rumah. dodi juga sering jualan tapi bukan kue, ia jual jambu yang ditusuk dengan lidi kelapa, nangka, kadang kadang jual buah rumbia, aku merasa cocok berteman dengannya.

Aku tak mengerti kenapa teman teman yang lain seperti menjaga jarak dengan dodi. Sering mereka mengata ngatai dodi dengan sebutan yang menyakitkan hati “bencong”. bagaimanapun dodi, apapun keadaan dia aku tak pernah ikut-ikutan mengatai dia bencong.

Sambil menunggu dodi membuat kopi, aku memanjat pohon jambu air yang lagi berbuah lebat, jambu berwarna merah ranum membuat air liurku terbit. Aku memanjat dan meniti dari dahan ke dahan. Jambu jambu yang bergelantungan aku petik satu persatu lalu aku masukkan ke dalam bajuku hingga perutku terlihat lebih gendut. Setelah terasa berat aku turun. Sampai di tanah, aku mengeluarkan jambu jambu dari dalam bajuku. dodi kembali dengan membawa dua gelas kopi, ia letakkan diatas bangku Kemudian menghampiriku

“eh maling ya....?”.

Celetuk dodi sambil nyengir Kemudian jongkok mengambil sebuah jambu yang agak besar lalu memakannya.

“hehehe sori, aku minta jambunya ya Boleh kan...?”.

“huh sama aja bohong, udah dipetik baru minta Emangnya boleh gitu..!”.

ya boleh dong, kan dirumah kamu juga...!”.

“dasar...!!”. Ujar dodi sambil melempar pipiku dengan biji jambu.

“aduh sialan....! Pelit amat sih, Baru minta jambu aja udah sewot!”

“siapa juga yang sewot Kamu ambil semua juga aku kasih..hehe”

“kalau kasih kenapa ngelempar aku tadi”

Aku mengusap pipiku yang basah kena biji jambu air, agak basah karena bekas ludah dodi.

“kan cuma becanda”

Balas dodi sambil berdiri lalu duduk ke bangku. Aku meletakan semua jambu keatas bangku
Lalu aku duduk disamping dodi.

“eh dod, tadi aku nabrak anak kucing”

“gila lo rio Mati nggak kucingnya?”.
“belum tau, tadi aku sembunyiin dibawah kolong Aku takut kalau sampai anak kucing itu mati”.

“awas loh kalau sampai mati, ntar kamu kena sial”.

“itulah yang aku takutkan”.

“waktu kamu tinggal tadi gimana keadaannya?”.

dodi kelihatan ingin tahu.

“kucing itu sedang tidur Aku sudah kasih minum banyak banyak Aku juga udah ninggalin semangkuk nasi dengan ikan asin didekatnya”.

Aku menjelaskan.

“ayo kerumahmu Kita lihat kucing itu Jangan jangan sekarang ia sudah mati”

Kata kata Dodi membuat aku jadi gemetar, Aku tak berani membayangkan kucing kecil itu mati gara-gara aku. Aku berdiri kemudian meminum kopi yang tadi dibikin Dodi dengan terburu buru.

“ayo kerumahku sekarang Cepetan!!”

Aku menarik tangan dodi, rasanya
aku benar benar cemas sekarang, dodi berdiri lalu meminum kopinya sampai habis.

“ayo Makin cepat makin baik. Eh, Jambu jambu ini gimana Sayang kalau nggak dimakan nanti aku dimarahi emak”.

Kata dodi sambil memandangi tumpukan buah jambu diatas bangku.

“kamu punya kantong plastik nggak...? Aku bawa pulang aja..!”

“ada Tunggu sebentar ya...”

Kata dodi sambil berlari masuk ke dalam rumahnya. Tak lama kemudian ia keluar dengan membawa kantong plastik kosong. aku langsung meraup jambu-jambu itu kemudian memasukkan kedalam kantong plastik. Dodi membantuku, Setelah itu bersama kami berjalan tergesa-gesa menuju kerumahku.

“masuk dod Langsung aja ke kamarku...”

Aku membuka pintu kamar, kemudian masuk kedalam dengan dodi mengikutiku dari belakang.

“tutup pintunya Nanti ketahuan sama emakku..!”.

Dodi menuruti perintahku langsung menutup pintu kamar. Aku merunduk ke bawah kolong tempat tidur menarik kontak sepatu berisi anak kucing. Tapi kok ringan sekali tidak seperti tadi. Ketika kotak sudah aku pegang, Aku hanya bisa menatap isinya dengan terpana. Kucing itu sudah tidak ada lagi.

“loh Mana kucingnya rio?”.

Dodi agak heran.

“tadi masih di kotak Dod.... Kemana perginya kucing itu, berarti tidak mati dong, Lihat aja, nasinya yang aku taruh disini sudah habis...!!”.

Ujarku senang sambil berdiri dengan semangat.

"kemana ya anak kucing itu Kok bisa lari dari kotak ini?”.

"nggak jauh rio, masih disekitar sekitar sini, kalau menurut aku sih”.

“tolong aku bantu cari Takutnya anak kucing itu kabur, kasihan kalau dijalan bisa bisa kena tabrak lagi, kucing itu kan belum sehat betul”.

Aku mendesah prihatin takut dengan kemungkinan kalau kucing itu mati dimakan induk kucing jantan yang terkenal suka makan anak kucing. Aku memeriksa lemari, kolong tempat tidur, dibawah lemari, namun tidak ada, nihil. Entah kemana anak kucing itu. Dodi ikut mencari, bahkan ia sempat sempatnya mengangkat kasur mencari kucing itu disana.


“hei....! jangan gila Mana mungkin lah kucing itu sembunyi disitu, emangnya duit bisa dibawah kasur...!”

Aku agak kesal melihat Dodi yang sibuk tapi tak membantu sama sekali.

“kali aja ada disini Hehehe”

Ia menyeringai menyebalkan.

“aduh rio kamar kamu kok berantakan sekali sih Lihat ini celana dalam bekas pakai kok ada di bawah kasur Dasar cowok!!”

Dodi mengangkat celana dalam hijau muda milikku dengan ujung jari jempol dan telunjuknya, satu tangannya lagi memencet hidungnya seolah olah celana itu mengeluarkan bau amis. Cepat cepat aku rampas celana dalam itu dari tangannya.

sini Kemarikan, Emangnya bangkai tikus pake tutup hidung segala...!”

Umpatku agak kesal lalu melemparkan celana itu ke tumpukan baju kotor disamping lemari kayu

“kamar kamu berantakan banget rio Sana ambil sapu biar aku bersihkan..!”.

Perintah Dodi sambil memasang tampang seolah olah tak percaya dengan apa yang ia lihat.

“sudah biarin, nanti bisa aku bereskan sendiri”

“huh paling paling juga kalau aku pulang, kamu lupa membereskannya”

memaksa, sementara itu tangannya sudah bekerja merapikan seprei tempat tidurku. Terpaksa aku keluar kamar mengambil sapu lantai dibelakang pintu ruang tamu. setelah itu aku berikan pada Dodi. Dengan gesit ia membereskan kamarku, bahkan ia menyapu hingga ke bawah kolong tempat tidur. Sambil tangannya bekerja mulutnya pun ikut-ikutan sibuk.

“ya ampun Amit-amit jabang bayi Kalau aku disuruh tidur dikamar berantakan seperti ini, bisa-bisa tiap malam dapat mimpi buruk”.

“mimpi buruk apaan Hantu aja kalau nggak karena terpaksa nggak bakalan mau ketemu sama kamu”.

Balasku sedikit kesal, namun aku senang juga kamarku menjadi rapi sekarang. buku-buku pelajaran yang ada dimeja sudah ia rapikan, tempat tidur, baju baju kotor yang bergeletakan ia bereskan. Bukannya aku tak mau membereskan kamar, kadang sudah tak sempat. Pagi pagi aku bangun langsung mengantar kue ke warung.

Setelah itu aku juga berkeliling kampung untuk berjualan. Setelah selesai membereskan kamarku, Dodi memberikan sapu padaku Langsung aku kembalikan ke tempat dimana aku mengambilnya tadi. Dodi duduk di kursi belajarku sambil mengipas ngipas wajahnya dengan majalah bobo.

Majalah itu di beli emak dipasar. bukan majalah baru sih, Majalah majalah bekas yang dikilo pemiliknya ke toko bumbu. saat emak melihatnya, ia langsung teringat padaku. Ada puluhan macam majalah yang ia beli, kata emak semuanya ada lima kilo Ditebusnya dengan harga seribu limaratus rupiah.

Aku benar benar senang waktu mendapatkan majalah majalah itu, maklum Untuk membeli majalah baru mana mungkin, harga majalah baru mahal!. Bagaikan harta yang berharga aku menjaga majalah majalah itu. Disaat senggang aku menghabiskan waktu membaca. Walau bekas tapi keadaannya masih lumayan.

“makasih ya Dod sudah mau repot repot membersihkan kamarku”

“biasa aja rio, aku juga senang kok beres beres, entah kenapa kalau lihat yang berantakan, kepalaku langsung pusing, pengennya langsung diberesin”.

"Tunggu sebentar ya jangan pulang dulu”. Kataku sambil keluar kamar, kemudian aku menuju ke dapur, Pasti kue apem sudah masak. Emak dan kedua kakak perempuanku sedang memotong motong kue, tepat dugaanku.

“mak Ada teman rio, minta kuenya ya dikit”.

Emak berhenti mengiris, lalu memandangku sambil tersenyum.

ambil piringnya nak”

Aku mengambil piring di rak, kemudian aku berikan pada emak, Langsung saja emak menaruh beberapa potong kue kedalam piring itu.

“ini, siapa temanmu itu, banyak ya?. Tanya emak sambil mengulurkan piring berisi kue padaku.

enggak mak, cuma satu Itu si Dodi”

oh Dodi, Eh jangan lupa bikin teh manis untuknya Nggak enak makan kue tanpa minum yang hangat dan manis”.

Emak mengingatkanku penuh pengertian.

“ow Rio hampir lupa....!”.

Aku menepuk kening, kemudian meletakkan piring keatas meja, lalu membuat teh manis. Setelah selesai, aku bawa kue dan teh manis ke dalam kamar.

“nih kue Dimakan mumpung masih hangat”.

“wah Itu kan kue untuk dijual Apa nanti emakmu nggak rugi?”

Dodi merasa agak tak enak hati.

“ya nggak lah Gila amat kalau sampai rugi, hanya karena sepiring ini, udah makan saja!”

Aku mengambil sepotong dan memakannya, biar Dodi tak merasa sungkan. Kami ngobrol sambil minum teh dan makan kue, Lagi asik asiknya tiba tiba......

“Awww!!!”

Dodi menjerit langsung meloncat turun dari ranjang. Aku jadi kaget rupanya anak kucing yang aku tabrak entah sejak kapan sudah ada dibawah lantai, menggaruk garuk kaki Dodi. Cepat cepat aku ambil anak kucing itu, ia meronta ronta mengibaskan ekornya.

“darimana saja kamu Kok ngilang gitu aja”

Aku membelai tengkuknya, lalu meletakannya diatas pangkuanku. Kucing itu langsung menjadi jinak, tak meronta lagi, bahkan ia langsung menjilat ujung jari telunjukku.

“wah Bagus sekali kucingnya Bulunya coba lihat Tebal banget”

Dodi menatap kucing itu dengan terpesona. Aku cuma tersenyum Tanpa berhenti aku belai terus hingga ke punggungnya.

“iya Dod, kucing ini lucu banget, lihat matanya Benar benar bulat Besok aku mandiin aja, biar lebih bersih”.

“sini aku pegang Untukku saja ya”

“jangan Dod Aku juga sayang sama kucing ini Kan aku yang nabrak, jadi aku harus bertanggung jawab”.

“miara kucing itu harus dengan kasih sayang, jadi ia merasa nyaman Jangan sampai lupa kasih makannya....!”.

“iya aku juga tau Nggak mungkin lah nggak aku kasih makan...!”.

Kucing itu duduk diatas pangkuanku sambil menggoyang goyangkan ekornya yang panjang, sesekali ia menjilat punggung tanganku. Dodi mencabik sedikit kue apem, lalu diberikan pada kucing, langsung dimakan oleh anak kucing dengan cepat.

“kasian Ia masih lapar” Dodi mengulurkan lagi kue dengan potongan yang lebih besar dari yang tadi, Dalam waktu singkat habis dimakan anak kucing ini.

“untung saja masih hidup ya Tadi aku udah kuatir banget”

“makanya lain kali kalau dijalan itu hati hati”

Nasehat Dodi sok bijak.

“iya Dod Aku sudah jera Nggak mau lagi lah sampai nabrak binatang lagi, kasian Pasti mereka kesakitan banget”

Dodi melihat ke luar jendela, langit sudah mulai gelap. Ia berdiri kemudian mengambil gelas dan meminum isinya sampai habis.

“udah hampir maghrib rio, aku mau pulang dulu ya”

"makasih ya dod Udah mau maen kesini, dan bantu cari kucing ini, Buat jambunya juga”

Aku berdiri, meletakkan kucing diatas tempat tidur, lalu mengantar dodi hingga ke pintu depan. Setelah Dodi menghilang dari pandangan, aku menutup pintu kembali kekamar. Kucing itu sudah kembali masuk kotak sepatu, tidur disana. kuambil handuk, bersiap siap mandi dan sholat magrib.


*******




Suasana pagi ini agak mendung, beberapa teman sekelasku bahkan ada yang memakai jaket karena dingin. Untung saja waktu aku jualan tadi pagi tak turun hujan, Jadi aku bisa menjual habis semua kue kue yang aku bawa.

Waktu aku tiba disekolah, gerimis rintik rintik mulai turun Sekarang sudah mulai jadi hujan yang agak deras. Guru agama tidak masuk, karena lagi ada urusan di palembang, kami hanya diberi catatan yang harus ditulis, beberapa ayat ayat al quran dengan terjemahan. Rini, sekretaris dikelas 3b berdiri didepan papan tulis sibuk mencatat.


Beberapa murid tidak ikut mencatat, ada yang sibuk ngobrol dengan suara pelan, ada yang berkeliaran ke bangku temannya. Aku lihat rian tak kemana mana, ia duduk dibangkunya Serius mencatat. Sempat aku lihat vendi mengajaknya ke wc tapi ia tolak, Sepertinya rian anak yang rajin. Ia tak terpengaruh dengan keadaan.

Aku juga menulis di catatanku, huruf arab menggunakan pensil terjemahan memakai pena.
Suasana yang dingin seperti ini membuat teman teman sekelasku jadi malas keluar bahkan ke kantin, Mana diluar hujan yang lebat disertai petir dan guntur sambung menyambung. Terkadang halilintar berbunyi memekakkan telinga membuat murid perempuan berteriak karena kaget.


Aku juga sempat terlonjak kaget, aku jadi ingat emak dirumah lagi sendirian dalam keadaan hujan badai begini. Mana dapur bagian belakang bocor belum sempat aku tambal, pasti emak kelabakan mengambil ember untuk menampung air yang merembes dari atas atap, supaya lantai dapur tidak banjir. Sampai aku selesai mencatat, tak ada tanda tanda hujan mau berhenti malah semakin lebat.

Aku menutup buku, kemudian memasukkan kedalam tas, rasanya jadi pengen kencing. Aku berdiri melemaskan badanku yang pegal karena dari tadi duduk dan menulis. Kemudian aku keluar kelas, berjalan menuju ke wc, Ada beberapa anak murid dari kelas lain yang berada di wc, jadi aku memilih kencing agak dipojok. Aku berdiri membuka resleting celana sekolah, kemudian sambil memejamkan mata, aku kencing di toilet, mengeluarkan seluruh air seni yang dari tadi sudah sesak Rasanya lega sekali.


“hujan hujan begini memang bawaannya pengen kencing terus ya”

Suara disampingku membuat aku tersentak, aku membuka mata dan menoleh, ternyata rian yang entah sejak kapan sudah berdiri disampingku. Ia juga sedang kencing dengan santainya. Jarak kami begitu dekat hingga aku bisa mendengar kecipak air kencingnya yang jatuh di lantai toilet. Cepat cepat aku siram bekas kencing aku sampai bersih, Menutup resleting, bersiap pergi

“tunggu aku dong!”

aku menghentikan langkah, berbalik, berdiri dipinggir pintu wc, menunggu rian yang sedang menyiram toilet, Tiba tiba vendi datang, ia berjalan melewatiku tanpa menoleh, seakan akan aku tak terlihat.

“bro Disini rupanya Eh Temani aku ke kantin yuk”.

Vendi berjalan masuk ke wc Menghampiri rian, Aku memandang rian menunggu kepastian, mau kembali kekelas bersamaku, atau ikut vendi ke kantin.


“kamu duluan aja ke kelas Aku mau ke kantin dulu siapa nama kamu?”.

Ujar rian padaku sambil berjalan dengan vendi, Aku diam saja tak menjawab, langsung berbalik kembali kekelas Vendi cuma melemparkan senyum basa basi padaku Aku membalasnya dengan hambar Semangat yang tadi sempat muncul kembali padam. Kenapa sih harus datang si vendi, padahal aku ingin sekali bisa sedikit lebih dekat dengan rian, Sepertinya ia bukan anak yang sombong Terbukti tadi ia menegur ku waktu di wc. Sampai di dalam kelas aku duduk kembali dibangku, Erwan menoleh melihatku.


“kamu kencing apa berak?”


“memangnya kenapa?”

“kok lama?”

“Ya kencing lah!”

“ke kantin yuk Lima belas menit lagi bell bunyi Lumayan kita bisa lebih santai, jangan kuatir aku yang traktir”.

Tawar erwan.

“kamu sendiri aja lah Aku lagi malas Pengen ke perpus aja”.

Aku menolak, entah kenapa aku jadi kecewa pada rian tadi hingga masih terbawa bawa sampai sekarang. Andai aku ke kantin, pasti akan bertemu dengan rian, aku tak suka melihat dia akrab dengan rombongan vendi.

“ya udah kalau kamu nggak mau Aku ke kantin dulu ya”.

Erwan berdiri kemudian meninggalkan kelas.

Beberapa teman sekelasku masih berada dalam kelas Tapi sebagian besar sudah keluar. Kenapa sih aku ini, Padahal rian kan bukan teman akrabku, tapi mengapa aku bisa sentimentil begini. Belum pernah aku menginginkan akrab dengan seseorang seperti saat ini yang aku rasakan terhadap rian. Aku cenderung kuper kalau dikelas. Sekolah di smp yang kebanyakan teman teman berasal dari kalangan orang mampu, membuat aku tidak percaya diri untuk berteman dengan mereka.

Kelas sudah kosong sekarang, tinggal aku sendirian didalam Daripada bengong sendirian lebih baik aku ke perpus saja, membaca buku mungkin bisa mengalihkan pikiranku yang sedang kusut. Dilorong antara kantin dengan laboratorium fisika, aku melihat rombongan vendi bersama rian sedang berdiri sambil bercerita dengan seru, mereka tertawa terbahak bahak, entah apa yang mereka ceritakan namun aku melihat rian begitu senang.

Beberapa cewek juga ikut ngumpul bersama mereka Diantaranya ada dewi, septi, irma dan ema. Cewek cewek yang terkenal gaul di sekolah. Aku mempercepat langkah menuju ke perpus.


“rio Tunggu”.

Erwan setengah berlari menghampiriku, Aku berhenti menunggu erwan.


“loh Sudah selesai makannya?”.

Tanyaku agak heran, biasanya erwan kalau sudah ke kantin pasti lama, minimal kembali ke kelas, lima menit sebelum bell bunyi.


“sudah, cuma makan tekwan saja kok”.

Erwan berjalan mengiringiku menuju ke perpustakaan.

“rio, nanti sore aku mau renang, kamu mau ikut nggak?”

“renang, dimana?”.

Tanyaku sambil terus berjalan.


“di hotel menumbing dekat pasar, kalau mau nanti aku jemput sekitar jam tiga sore”


“berapa bayar masuk kesana”. Aku ingin tahu, soalnya kalau mahal aku tak punya uang.


“tenang saja aku bisa bayar kok!”

“nggak ah Aku nggak enak kalau kamu yang bayarin”

“nggak apa apa kok Kan aku yang ngajak”.

Desak erwan setengah memaksa. Aku diam sejenak menimbang nimbang.

“oke Nanti kamu jemput aku ya”

“sip lah Kamu tunggu aja di rumah Aku pasti jemput Jangan lupa siap siap, handuk dan celana pendek untuk renang!”.

Erwan mengingatkanku, Aku cuma mengangguk. Kami sudah sampai di depan perpustakaan, aku masuk ke dalam mengisi buku kunjungan. Kemudian berjalan menuju rak rak buku, mencari buku yang menarik untuk di baca. Setelah itu memilih duduk di pojok yang paling sepi. Erwan ikut mengambil buku cerita, kemudian duduk disampingku. Sebentar kemudian aku sudah tenggelam dengan keasyikan membaca.




BERSAMBUNG..........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar