Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 19

#24 KETAHUAN
koko memutar setir berbelok menuju ke jalan tadi, ramai sekali mobil yang lewat hingga kami harus menunggu sedikit sepi baru bisa berbalik. Setelah sedikit sepi tanpa membuang waktu lagi koko membelokkan mobil. Lalu berhenti tepat di depan kafe, seorang tukang parkir memberi komando agar kami memarkir mobil di tempat yang ia arahkan. Rupanya malam ini agak ramai yang berkunjung.
“ayo masuk langsung..”
koko mematikan mesin mobil lalu turun, aku dan rian ikut turun dan berjalan bersama koko memasuki kafe, suara musik langsung terdengar begitu kami menginjak lantai depan, suasananya sedikit temaram karena diberi penerangan yang seadanya namun tak menimbulkan kesan suram. Meja dan kursi ditata teratur berjarak lumayan renggang untuk privasi pengunjungnya. Ditiap tiap meja dihiasi bunga segar dan lilin yang mengeluarkan aroma terapi. Kami memilih meja yang ada disamping agak dekat dengan jendela jendela kaca, hingga pemandangan di jalanan bisa kami lihat sambil menikmati makan malam. Seorang pelayan memakai kemeja putih menghampiri kami memberikan buku menu dan kertas. Aku mempelajari menu yang tertulis. Koko mencatat makanan yang ia ingin pesan.
“ko tolong sekalian tulis satu porsi spaghetti bolognese sama juice alpukat, juga soft drink.. Kentang goreng sama cumi tepung juga..” aku menyebutkan makanan dan minuman yang aku pesan.
“aku risotto dan sunrise manhattan punch..” rian menyebutkan makanan yang ia mau.
“kalian mau coba steak disini nggak, enak loh.. Aku biasanya pesan steak kalau makan disini..” koko mengusulkan. Rian agak ragu dan memandangku. Aku mengangguk padanya.
“boleh..” jawab rian.
“tenderloin atau sirloin?” tanya koko sebelum menulis.
“terserah kamu aja, aku nggak ngerti..” ujar rian agak malu.
“yang sirloin aja yan..” aku mengusulkan.
“iya.. Tentu saja.. Yang sirloin lebih enak..” rian setuju mengangguk angguk dengan semangat.
“kamu pasti terganggu dengan kedatangan fairuz..” kata koko dengan simpati.
“sebetulnya aku senang sih, cuma kenapa ia harus bersikap memusuhiku seperti itu, padahal aku ingin bisa dekat, bagaimanapun juga kehadirannya disaat kepergian kak faisal seolah mengobati kesedihanku ko..” aku berterus terang.
“mungkin pendekatanmu yang belum tepat..” sela rian. Aku menghela nafas, lalu memperbaiki posisi duduk lebih santai.
“dia tak pernah memberi kesempatan aku untuk mengenalnya..”
“lalu kalau begitu terus apa kamu bisa tahan?”
“entahlah… Aku akan berusaha sabar, semoga kak fairuz bisa merubah sikapnya..”
“apakah dia bakalan lama?” rian penasaran.
“semoga nggak..” aku berharap.
Percakapan kami terhenti karena seorang pelayan datang mengantar minuman.
“terimakasih..” aku tersenyum pada pelayan seorang gadis usia kisaran 22 tahun. Ia membalas tersenyum lalu meninggalkan kami.
“aku harap dia tak membuat masalah lagi..” ujar rian gusar.
“semoga saja… Aku capek yan, aku tak suka berantem, apalagi saat ini suasananya tak tepat untuk itu, semoga kak fairuz bisa lebih peka, aku kasihan sama mama.” ujarku kalut.
“sudahlah jangan terlalu dipikirkan, nanti kamu jadi stress..” koko menasehati.
“iya ko, aku juga berusaha agar tak terlalu memikirkan itu, banyak hal lebih penting harus dilakukan.”
“nanti malam aku menginap ditempat kamu, biar fairuz tak macam macam..” rian memegang tanganku. Cepat cepat aku tarik sebelum terlihat oleh koko. Rian mendelik tak suka, namun aku langsung melemparkan tatapan meminta maaf dan meminta pengertian. Rian melengos ke samping, koko mengangkat alis menatapku.
“ada apa yo?”
“nggak ada apa apa ko…” aku pura pura tak apa apa. Pelayan kembali datang kali ini dua orang, membawa makanan lalu menyusun ke atas meja.
“aku yang spaghetti..” ujarku saat pelayan itu mau meletakkan piring datar berisi spaghetti didepan meja rian.
“maaf…” pelayan itu meletakkan spaghetti didepan mejaku. Setelah pelayan itu pergi, kami langsung menyikat makanan tanpa menunggu lama.
“wah enak juga ya, dagingnya empuk..” sela rian sambil mengunyah daging steak medium pesanannya tadi.
“udah aku bilang, pasti kamu suka..” koko tersenyum senang.
“gimana nih, boleh kan aku menginap ditempat kamu..?” rian mengulangi lagi pertanyaanya yang belum sempat aku jawab.
“tentu saja boleh yan…” aku mencoba bersikap biasa didepan koko, sebetulnya aku senang sekali mendengarnya.
“oke kalau gitu…” rian melanjutkan lagi makannya dengan lahap. Kasihan sekali aku melihatnya makan, sepertinya ia jarang makan seperti ini, wajarlah seorang anak kost pasti tak bisa terlalu sering makan di restoran. Aku menggulung spaghetti di garpu lalu memakannya, lumayan enak, bumbunya yang kental dan pedas terasa tajam bercampur rasa asam mayonaise.
“aku kasihan memikirkan amalia…” cetus koko tiba tiba. Aku nyaris tersedak buru buru meraih gelas berisi air putih dan meneguknya.
“kenapa emangnya ko?”
“pasti ia sedih, soalnya kan pernikahan mereka tinggal sehari, aku bisa membayangkan bagaimana perasaannya..”
“entahlah ko.. Mungkin itu sudah takdirnya, itu belum seberapa dari yang kami rasakan, kehilangan keluarga… Yang bertahun tahun tinggal satu rumah dan telah dekat, rasanya tak bisa aku lukiskan…”
kesedihan kembali mengisi rongga hatiku, bayangan wajah kak faisal yang sedang tersenyum melintas di pikiranku. Aku jadi kehilangan selera makan. Rian mengamatiku tajam. Diamati seperti itu aku jadi kikuk, aku langsung pura pura sibuk mengaduk spagheti dengan garpu seolah olah menikmati.
“kenapa yo?” rian melepaskan garpu dan pisau yang ia pegang. Aku diam memandangi kerlip lilin dalam gelas berwarna biru tua ditengah meja. Seolah ada bayangan wajah kak faisal disana.
“lebih baik jangan bicarakan terus mengenai faisal, kamu harus mengerti rio, ko!” rian mengingatkan koko. merasa apa yang dikatakan oleh rian ada benarnya, koko mengangguk.
“maaf yo, aku tak bermaksud terus mengingatkan kamu pada faisal, seharusnya kita disini untuk membuatmu melupakan kesedihan, ini aku malah membuat kamu jadi tambah sedih..” sesal koko tak enak hati.
“tak apa apa ko, mungkin karena masih baru aja aku sulit melupakan kak faisal..” aku tersenyum agar koko tak merasa bersalah.
“kalau udah nggak selera jangan dipaksa..” timpal rian. Aku mengangguk. Sesaat hanya keheningan yang menemani kami bertiga hingga tuntas rian dan koko menghabiskan makanan mereka. Sampai perjalanan pulang kami bertiga diam. Koko mengantar aku dan rian hingga ke pekarangan rumahku.
“sampai besok yo..” ujar koko dari dalam mobil sambil membuka kaca.
“iya ko.. Makasih ya, hati hati di jalan..” koko meninggalkan kami, aku mengajak rian masuk ke dalam rumah lewat pintu garasi.
“loh bukannya kamar kamu ada diruang tengah?” tanya rian heran waktu aku membuka pintu kamar kak faisal.
“kan udah aku bilang kalau kak fairuz mengajak aku tukar kamar..” rian menepuk keningnya.
“oh iya ya.. Hehehe sori..” ia tersenyum malu.
“ya udah.. Masuk dulu..” aku melebarkan pintu, rian masuk lalu aku menutup pintu kamar dan tak lupa menguncinya.
“cuci muka dulu sana…” aku menyuruh rian.
“oke bos..!” ujar rian sambil menirukan gaya orang memberikan hormat pada bendera. Aku cuma tertawa melihat tingkahnya. Rian masuk ke dalam kamar mandi sementara aku membuka lemari mencari baju dan celana untuk rian pakai tidur.
“sikat gigi baru ada dalam laci belakang cermin..” teriakku pada rian yang masih berada dalam kamar mandi.
“iya… Nggak usah.. Aku pake sikat gigimu saja..” rian balas berteriak dari kamar mandi.
“hei.. Jorok amat, nggak boleh sikat gigi dipake satu kampung, ntar banyak bakteri..” aku tertawa.
“biarin aja.. Lagian kita sering ciuman bibir, apa itu nggak mengandung bakteri?” suara rian terdengar kurang jelas karena ia bicara sambil menyikat gigi.
“pelan pelan ngomongnya dodol! Emangnya kamu mau serumah tau kita pacaran?” sungutku sebal.
“hahaha.. Sori… sori.. Lupa..” kepala rian nongol dari pintu kamar mandi, mulutnya berlepotan busa pasta gigi.
“idih jorok amat.. Nggak manners banget!” protesku pura pura jijik. Rian tertawa terbahak bahak lalu batuk batuk tersedak busa.
“rasain!” aku merapikan tempat tidur dan menyusun bantal, baru saja aku berbalik, rian memelukku. Aku tersenyum lebar melihat rian
“sudah lama aku nggak meluk kamu kayak gini sayang..” bisik rian pelan di telingaku. Nafasnya terasa hangat membelai daun telingaku
“iya yan, maaf akhir akhir ini aku memang sedikit sibuk dengan masalahku.” aku membuang pandangan ke samping, saat itulah mataku menangkap bayangan tak asing berdiri diluar jendela sedang mengintip melalui celah tirai yang sedikit terbuka. Nafasku langsung berhenti saat itu juga. Meskipun gelap diluar aku bisa menebak siapa yang sedang mengintai kami dari luar. Dengan cepat aku dorong rian.
“kenapa sayang?” tanya rian heran.
“gawat rian… Gawat..” walaupun tak melihat cermin, aku tahu kalau wajahku pucat pasi.. Aku merosot di lantai. Otakku buntu. Aku menoleh ke jendela, tak ada siapa siapa lagi disana. Hanya cahaya lampu taman yang menerangi kolam membias dari celah jendela. Aku tak mungkin salah lihat, tadi mataku dengan jelas bisa melihat dia berdiri tepat disitu sedang mengamati apa yang aku dan rian lakukan.
“kenapa.... katakan ada apa..?” rian berlutut di depanku sambil memegang bahuku. Aku menggeleng.
“tamat riwayatku… Kiamat rian..” desisku lemas.

“rio kenapa sih, kamu aneh banget, emangnya ada apa?” desak rian penasaran, aku tau dia juga menjadi panik terlihat dari roman wajahnya.
“ada yang melihat kita tadi, ada yang mengintip dari jendela, dia berdiri diluar, aku bisa melihatnya dengan jelas..” jantungku berdetak kencang.
“mungkin kamu salah lihat..” rian kurang yakin.
“nggak mungkin, aku lihat.. Kak fairuz, dia mengintip kita tadi, aku tak mungkin mengada ada… Gawat yan, gawat…!” aku tak bisa menghilangkan kepanikan yang aku rasakan.
Rian bengong, mungkin ia tak mengira itu yang membuat aku jadi bersikap aneh.
“lalu kita harus bagaimana yo, aku bingung… Kalau memang betul apa yang kamu lihat tadi, aku juga tak bisa melakukan apa apa…”
“itulah yan, aku tak mungkin salah, tadi aku benar benar melihat kak fairuz mengintip lewat jendela itu..!” aku menunjuk ke arah jendela dimana tadi kak fairuz aku lihat sedang berdiri di luar.
“ini sudah jam setengah satu yo… Ngapain juga si fairuz kesitu..” tanya rian masih kurang yakin.
“entahlah yan, aku juga tak tau, mungkin tadi kak fairuz mendengar aku pulang, lalu ia sengaja mengintip ingin tau apa yang aku lakukan, ia membenciku yan, pasti ia akan membeberkan semua ini ke papa dan mama, habislah aku yan.. “ aku beringsut duduk di lantai dan menyender ditepi tempat tidur tepat disamping kaki rian yang menjulur.
“jangan terlalu kamu fikirkan yo, sudah terlanjur… Andaikan memang kak fairuz telah melihat perbuatan kita tadi, aku berjanji akan melindungi kamu kalau terjadi apa apa…”
ujar rian dengan mantap. Sedikit banyak aku menjadi agak terhibur mendengarnya. Aku tau rian tak main main, ia tak pernah berdusta padaku, ia selalu menepati janji, kejujuran adalah satu hal yang dapat aku andalkan dari rian. Ia mengelus rambutku, kemudian berdiri lalu berjongkok di depanku.
“lebih baik kita tidur dulu, kita lihat apa yang terjadi besok, andaikan memang timbul masalah, kita tanggung berdua, kamu akui saja dengan jujur, walaupun konsekuensi yang harus kamu tanggung sangat berat, namun aku akan selalu mendampingimu.. Aku berjanji.”
dengan tegas rian mengucapkannya. Aku menatap dikedalaman mata rian, ada kesungguhan yang terpancar dari kedua bola matanya yang bening, senyumnya yang merekah seolah tak terjadi apa apa membuat aku sedikit terhibur, aku percaya rian dapat aku andalkan.
“baiklah yan.. Sekarang kita tidur dulu, kita tunggu saja apa yang terjadi besok. Semoga saja tak seperti yang aku bayangkan..”
ucapku penuh harap sambil berdiri, rian juga ikut berdiri. Bersama kami berdua naik ke tempat tidur dan berbaring, aku menarik selimut dan memeluk rian, hangat tubuhnya dan hembusan nafasnya yang teratur sedikit demi sedikit membuat aku lebih rileks hingga aku tertidur dalam pelukan rian.
Mungkin karena pikiranku yang agak tak tenang, aku bermimpi buruk, mimpiku aneh sekali dan agak menakutkan. Kak fairuz memberitahu mama saat kami sedang duduk dikursi makan untuk sarapan, ia menceritakan semua detil yang terjadi tadi malam kepada mama, aku terdiam dengan tubuh gemetaran tak terkendali, mama melemparkan piringnya ke aku hingga mengenai dadaku, nasi goreng tumpah memenuhi bajuku, namun aku tak mengatakan apa apa. Mama memaki aku dengan kata kata kasar, ia betul betul kecewa dengan apa yang aku lakukan.
Tiba tiba rian keluar dari kamar, ia langsung mengambil pisau dan menikam kak fairuz tepat pada dadanya. Kak fairuz yang tak menyangka akan diserang seperti itu hanya bisa terbeliak saat menyadari sebuah pisau telah bersarang ditubuhnya. Mama menjerit histeris. Rian tertawa terbahak bahak sambil meludahi tubuh kak fairuz yang tersungkur di lantai. Darah bercecaran dilantai, mengalir deras dari luka tusukan pada perutnya, bagaikan ayam kena sembelih, kak fairuz menggelepar gelepar diatas lantai, matanya melotot. Tiba tiba papa datang, ia terpaku melihat semua kejadian ini. Bik tin yang mendengar suara ribut ribut langsung ke ruang makan, ia menjerit sejadi jadinya.
Aku menatap rian dengan ketakutan, rian sangat tenang, tak sedikitpun terlihat menyesali perbuatannya. Tiba tiba tanpa aku duga ia langsung menghampiriku, ia memelukku, tak cukup sampai disitu ia juga menciumi bibirku dengan ganas di depan mama, papa dan bik tin yang cuma bisa bengong. Kak fairuz dengan mata melotot menunjuk aku dan rian dengan tangannya yang berlumuran darah.
“Kalian terkutuk.. Kalian berdua laknat..”
mama, papa dan bik tin ikut meneriakan kata kata itu kepadaku dan rian. Mama meraih apa saja yang ada diatas meja untuk melempariku. Papa meraih kursi dan melemparkan kepadaku dan rian. Aku berlari sekencang mungkin, aku dan rian berlari sambil mengelak dari lemparan lemparan piring, gelas dan kursi. Mereka mengejar kami berdua sambil berteriak dan memaki.
“pembawa aib.. Matilah kamu.. Pergi ke neraka..” tiba tiba sebuah wadah kaca tempat buah mengenai punggungku. Aku berteriak.
“Aaaaaah.. Tidaaaaak.. ampun…!”
“rio.. Rio.. Ada apa rio..” tubuhku digoncang goncang.
“rio.. Bangun.. Kamu mimpi apa?” suara rian menyadarkan aku, aku tersentak terbangun, keringat membasahi tubuhku. Aku langsung memeluk rian. Ia membelai aku lembut.
“rio. . Kamu mengigau, kamu mimpi buruk ya?”
tanya rian dengan cemas. Aku tak menjawab, hanya memandang seisi kamar yang gelap. Ternyata tadi hanyalah mimpi. Tubuhku masih gemetaran. Kenapa aku bisa bermimpi seburuk itu, aku jadi semakin ketakutan, andaikan kak fairuz menceritakan semua kepada mama dan papa, aku bakalan habis, aku tak tau harus melakukan apa, aku tak mungkin membela diri, mama pasti akan kecewa sekali, walaupun aku yakin reaksi mama tak akan seekstrim dalam mimpiku tadi, namun aku tak mau membuat mama kecewa. Ia pasti akan terluka. Apalagi emak di bangka ikut mengetahui tentang hal ini.
“tenang rio, sekarang kamu tidur lagi, tunggu sebentar aku ambilkan minum untuk kamu..” rian bergeser lalu mengambil gelas berisi air putih diatas mahkas. Aku menyambut gelas ditangan rian, tanpa menunggu lagi aku meminum semua isinya hingga tandas.
“makasih yan..” ujarku setelah sedikit tenang, rian mengambil gelas kosong ditanganku, lalu ia taruh lagi diatas naphkas. Rian kembali berbaring disampingku.
“tidurlah dulu sayang, jangan berpikiran tidak tidak, nanti kamu bermimpi buruk lagi..” ujar rian sambil menarik selimut, aku menganggukan kepala lalu berbaring disamping rian. Sampai pagi aku tak dapat tidur, aku takut aku akan bermimpi buruk lagi.
Aku terus berbaring hingga matahari mulai terbit lagi, langit sudah terlihat terang. Cahaya matahari masuk melalui celah celah lubang angin dan jendela. Aku turun dari tempat tidur, tubuhku rasanya lemas sekali. Aku takut keluar kamar, aku takut bertemu kak fairuz, aku malu dan ketakutan, perasaan dalam hatiku berkecamuk. Aku hanya berdiri di jendela hingga pintu kamarku diketuk mama.
“Rio, bangun sayang.. Sudah siang, sarapan dulu nak..” suara mama terdengar seiring bunyi ketukan pintu.
“iya ma, tunggu sebentar, rio udah bangun kok..” jawabku bergetar. Aku melihat ke tempat tidur, ternyata rian sudah bangun, ia menatapku dengan alis terangkat. Aku menggeleng padanya. Rian menyibakkan selimutnya kau turun dari tempat tidur.
“kenapa yo?” tanya rian sambil menghampiriku.
“nggak yan, cuma mama yang bangunin aku nyuruh sarapan..” jelasku. Rian mengangguk, lalu ia masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka. Aku menyusul rian masuk, lalu menggosok gigi. Setelah itu aku mengajak rian keluar dari kamar. Kami pergi ke ruang makan untuk sarapan. Aku berpapasan dengan kak fairuz diruang tengah, ia memakai celana pendek dan bertelanjang dada, matanya agak meremehkan saat menatapku.
“pagi kak..” aku menyapa kak fairuz dengan suara bergetar.
“pagi…” cuma itu jawaban kak fairuz, ia langsung masuk kembali ke kamarnya dengan segelas kopi di tangannya tak sedikitpun ia melirik pada rian, seolah olah rian tak ada di sampingku.
Aku jadi bingung, sikap kak fairuz masih seperti biasanya, dingin dan kurang tertarik untuk ngobrol denganku. Apakah itu salah satu taktiknya untuk membuat aku tenang sebelum akhirnya ia menembakkan pelurunya padaku. Sampai diruang makan cuma ada mama yang sedang duduk sendirian menungguku.
“eh ada nak rian… Ayo sarapan bareng..” tawar mama dengan ramah begitu melihat aku bersama rian.
“makasih tante..” rian tersenyum sopan pada mama lalu ia menarik kursi dan duduk disampingku.
“tante nggak tau kalau nak rian menginap disini, kirain tadi rio cuma sendirian..”
“iya tante, semalam kami jalan, trus rio minta ditemani, jadi aku menginap disini..” jelas rian.
Mama tersenyum dan mengangguk. Lalu mama mengulurkan sebuah piring pada rian, yang langsung diambil rian.
“terimakasih tante..”
“sama sama..” aku mengambil piring satu.
“yang banyak makannya yan..” ujarku sambil mengambil sendok.
“iya..” rian mengangguk.
“tante nggak tau apa rasanya, soalnya tante masak sendiri nasi gorengnya tadi..” ujar mama sambil melirik ke piring rian.
“nggak apa apa tante, tapi dari aromanya sih kayaknya enak..” jawab rian apa adanya tanpa ada maksud sedikitpun menjilat mama. Rian orangnya terbuka, kalau ia merasa itu enak, ia akan bilang enak, kalau ternyata itu nggak enak, ia akan terus terang mengatakannya tak perduli orang mau tersinggung atau tidak.
“papa kapan pulang ma?” aku bertanya sambil mengisi piringku dengan nasi goreng.
“sepertinya sore ini, soalnya semalam waktu mama telpon, kata papa ia kangen sama rumah..” jelas mama sambil memotong cumi dengan sendok.
“kasihan papa ya ma, pasti beliau terpukul.”
“aku turut bersimpati tante..” timpal rian.
“iya nak, makasih..” mama tersenyum pada rian.
“papa udah tau kalau ada kak fairuz?” tanyaku penasaran.
“sudah, semalam mama sudah bilang, makanya papa kamu mau pulang secepatnya.”
“semoga papa bisa mengendalikan kak fairuz ya ma, semoga saja kak fairuz segan sama papa..” aku berharap.
“semoga…” mama berkata pelan sambil menggeleng seolah tak yakin.
“boleh aku bergabung…?” serempak kami menoleh ke arah datangnya suara, ternyata kak fairuz.
“iya boleh.. Ayo sarapan sama sama..” mama langsung berdiri, aku memandang kak fairuz dengan heran. Tumben tak biasanya kak fairuz mau makan bersama. Jantungku langsung berdegup hingga mau copot rasanya.
“ini piringnya nak..” mama memberikan piring kosong pada kak fairuz.
“maaf kamu bukan ibuku, jadi tolong jangan panggil aku nak, aku punya ibu dan dia menderita karena anda…!” kak fairuz kurang ajar. Mama terdiam kaget namun mama tak menjawab karena percuma saja kalau mama membalas hanya akan menimbulkan pertengkaran lagi.
Kak fairuz mengambil piring dari tangan mama lalu mengisinya dengan nasi goreng, ya ampun banyak sekali kak fairuz makan, nasinya menggunung didalam piring, mungkin kucing juga nggak bisa lompat diatas nasinya itu. Aku meneruskan makan tanpa memperdulikan kak fairuz, sementara rian menunduk takut takut.
“darimana saja semalam?” aku menoleh, kak fairuz bertanya, pastilah ia bertanya padaku. Jadi ragu aku harus menjawab apa.
“dari jalan jalan kak..”
“oh ya..?” kak fairuz agak skeptis.
“jam berapa kamu pulang?” sepertinya kak fairuz memancing, aku jadi semakin yakin kalau semalam kak fairuz telah mengintip apa yang aku lakukan dengan rian dalam kamar. Tanganku mendadak gemetaran hingga sendok yang aku pegang bergoyang keras. Itu tak luput dari pandangan kak fairuz, seringainya melebar.
“jam duabelas kak..” suaraku jadi tercekat.
“hmmmm… Sepertinya asyik ya, kapan kapan ajak aku dong…” aku mencengkeram sendok kuat kuat hingga membekas ditelapak tanganku. Apakah kak fairuz menyindir atau memang ia ingin aku ajak aku juga tak tau.
“iya rio, kalau jalan ajaklah kakakmu, kasihan kalau dia ditinggal dirumah terus…” timpal mama penuh perhatian meskipun fairuz tak ramah terhadapnya.
“iya ma..” aku mengangguk lemah. Rian melirik aku, wajahnya sedikit pucat.
“semalam aku susah tidur, jadi aku keluar, duduk di taman, aku lihat lampu kamarmu masih nyala..” suara kak fairuz terdengar wajar, namun sanggup membuat lututku menjadi lemas.
“oh.. Iya kak..” jantungku bagai diaduk aduk dalam shaker. Rian terbatuk batuk hingga tersedak oleh nasi yang ia kunyah. Kak fairuz mencibir seperti menahan senyum.
“ada apa sih?” tanya mama heran, namun mama tersenyum seperti senang karena kak fairuz sedikit berubah, ia sudah mau berkomunikasi denganku.
“nggak apa apa tante..” jawab kak fairuz dengan ekspresi datar. Aku menyelesaikan sarapan dengan cepat, begitu juga dengan rian.
Kak fairuz makan dengan santai namun nasinya sudah tinggal seperempat dari awal. Aku menunggu sampai mama dan kak fairuz selesai lalu beranjak dari kursi dan ke kamar.
“nanti siang kalau kamu sempat kakak minta temani jalan..” aku menghentikan langkah dan berbalik, aku pandangi kak fairuz dengan teliti. Namun aku tak dapat membaca apapun dari wajahnya yang tenang.
“iya kak..” bisa juga suaraku keluar. Didalam kamar aku langsung mondar mandir dengan panik hingga rian menjadi ikut gelisah.
“kenapa sih yo, apa nggak capek dari tadi muter muter nggak jelas gitu..?” rian menarik lenganku hingga aku terduduk disampingnya.
“benar kan apa yang aku bilang, kak fairuz memergoki kita semalam, aku tak tahu ia sedang merencanakan apa, tapi yang pasti tak akan baik untuk kita yan..”
“tak diragukan lagi memang dia telah melihat kita, tapi dia kok tenang tenang saja, aku jadi kuatir yo..”
“makanya aku kuatir yan, aku takut kak fairuz menyiapkan bom dan menunggu saat yang tepat untuk menekan pemicunya.” bisikku kalut. Rian memelukku dan menciumku lembut.
“kita hadapi apapun itu yo.. Kita tanggung bersama, aku sudah berjanji tak akan membiarkan kamu sendirian menanggungnya..” rian menghiburku. Aku menatap wajah rian, ia tersenyum sambil mengangguk.
“makasih yan.. I love you..” desisku lirih. Rian menempelkan telunjuknya di bibirku.
“i love you too…” balasnya sambil mengusap pipiku dengan punggung jari telunjuknya.
“sekarang aku harus kembali ke kost, soalnya aku merendam baju dari kemarin, kalo tak dicuci sekarang warnanya bisa pudar..” rian berdiri dan mengambil jaketnya di gantungan belakang pintu.
“iya yan, tunggu sebentar aku mau buang air dulu..” aku masuk ke dalam kamar mandi. Setelah buang air aku mengantarkan rian pulang. Aku tak masuk, hanya mengantarkan ia ke depan halaman saja, setelah itu aku langsung pamit. Aku memasukkan mobil ke garasi. Baru saja aku membuka pintu mobil, ibu amalia dan bapaknya datang dengan mengendarai motor, mereka berhenti tepat di depan teras. Ibu amalia berjalan cepat menuju teras bagaikan orang panik.
“bu harlan… Bu harlan… Bu..” bagai orang gila ia menggedor pintu rumahku. Bergegas aku menghampirinya.
“ada apa bu?” tanyaku kuatir.
“rio.. Gawat.. Gawat yo..”
“gawat apa bu, ada apa?” tanyaku cepat.
“amalia… Amalia yo.. Dia.. Dia..” ibu amalia terbata bata.
“amalia ditemukan pingsan diatas kubur faisal yo..” bapaknya amalia yang menjawab.
“apaaaaaa….???” aku terbelalak.
“ada apa ini?” mama muncul dari dalam rumah dan menghampiri kami.
“oh bu rusmi, ada apa bu?” wajah mama berubah kalut, setiap melihat kedatangan ibu amalia, pasti wajah mama seperti itu. Sepertinya mama betul betul tak menginginkan kedatangan mereka.
“anak saya bu.. Dia.. Dia seperti orang gila..”
“dimana dia sekarang?”
“ada dirumah, sedang istirahat… Tetangga yang jagain dia..” jawab bapak amalia.
“memangnya kenapa?” tanya mama heran.
“tadi dia ditemukan di kuburan faisal, ia terbaring pingsan diatasnya..”
“astaghfirullah kenapa bisa begitu?” suara mama melengking membuat aku terkejut.
“jangan sok heran deh bu.. Saya rasa ibu tak usah pura pura kaget, itu semua gara gara almarhum anak ibu itu..!” ujar ibu amalia sinis. Mama terdiam, raut muka mama langsung berubah cemberut karena tersinggung.
“kenapa ini… Kok ribut ribut..!” kak fairuz keluar, mungkin ia terganggu mendengar ribut ribut di beranda rumah. Lagi lagi ibu amalia terperangah melihat kak fairuz.
“kenapa ibu memandangi saya seperti itu?” selidik kak fairuz merasa kurang nyaman ditatap seperti itu.
“kamu agak mirip faisal, apa kamu kakak kandungnya..?” tanya ibu amalia heran.
“memangnya kenapa, apa urusannya dengan ibu?” kak fairuz tak sopan.
“adik kamu itu sudah merusak masa depan anak saya!” tikam ibu amalia langsung. Kak fairuz terperangah.
“apa maksud ibu, jangan menjelek jelekan adik saya, dia sudah tenang di alam sana..” hardik kak fairuz tersinggung.
“dia menghamili anak gadis saya, apa itu tak brengsek hah? “ tuntut ibu amalia tanpa takut.
“anak ibu hamil karena adik saya?” kak fairuz terperanjat.
“iya.. Kamu tak tau, memangnya kemana saja kamu selama ini?” ibu amalia berkacak pinggang lehernya bergoyang goyang seolah ada per dipangkal kepalanya, terlihat judes sekali. Kak fairuz menoleh ke mama.
“betul itu tante?” tanya kak fairuz menegaskan.
“iya fai… Almarhum adik kamu telah menghamili amalia..” jawab mama terlihat berat.
“apa buktinya?” kak fairuz belum bisa percaya.
“mau tau buktinya? Tuh lihat sendiri anak saya dirumah, perutnya sudah mulai timbul, mau bukti lain lagi?” tantang ibu amalia tak sabar.
“tak bisa main tuduh langsung gitu dong bu, faisal sudah meninggal, bisa saja kalian mau memeras kami, bukti itu anak faisal apa?” kak fairuz masih tetap bandel.
“faisal sudah mengakui semuanya nak..” ujar mama. Kak fairuz memandang mama tak percaya.
“jadi betul?” desisnya bagai orang tolol.
“iya kak, sehari sebelum mereka menikah, kak faisal meninggal.” aku menimpali.
“faisal masih sangat kecil waktu aku dan mama pergi….” kak fairuz mendesah getir. Wajah kak fairuz berubah murung, sepertinya kak fairuz tak menduga begini.
“coba kalian pergi ke pemakaman, lihat saja kuburan faisal, kalian akan tau bagaimana tekanan batin yang di derita anak saya…” suara ibu amalia terdenger sengau. Mama melirik aku, tak tau apa yang harus aku katakan aku cuma tertunduk sambil berfikir.
“kalau memang begitu, ibu pulang dulu, biarkan kami berfikir, saat ini kami sedang berkabung, saya berjanji tak akan membiarkan hal ini berlarut larut..” ujar kak faisal membuat aku dan mama terkesiap nyaris tak percaya.
“apa kamu serius?” ibu amalia kurang yakin. Namun kak fairuz tersenyum simpul dan mengangguk, itu cukup untuk membuat ibu amalia membungkam mulutnya.
“baiklah kalau begitu kami pamit dulu, kami tunggu tindak lanjut kalian, ingat jangan cuma janji janji saja..!” ibu amalia menekan kalimatnya. Kak fairuz tak menjawab, ia hanya mengangguk dengan bosan.
“begitu saja ribet..!” tukas kak fairuz setelah orangtua amalia pergi.
“mama betul betul pusing memikirkan masalah ini, rasanya tak henti hentinya…” mama mengeluh lesu.
“salah tante sendiri tak bisa mendidik faisal dengan baik, kalau bersama saya dan mama, tak akan begini jadinya..!” tuduh kak fairuz tanpa perasaan. Mama terdiam tak berkutik.
“sudahlah kak, mama tak bersalah, memang mereka berdua sudah lama berpacaran, mungkin kak faisal khilaf, wajar saja itu terjadi..” aku mencoba menengahi agar jangan sampai kak fairuz memperpanjang lagi pembicaraan yang membuat mama merasa bersalah ini.
“temani aku ke kuburnya faisal…”
ujar kak fairuz bukan seperti ajakan melainkan sebuah perintah, aku tak bisa menolak karena memang pada dasarnya aku ingin tau apa yang terjadi dengan kuburan kak faisal seperti yang tadi orangtua amalia katakan, tanpa menunggu lama aku mengikuti kak fairuz ke garasi. Kak fairuz melemparkan kunci mobil padaku. Aku tangkap dengan sigap.
Beberapa menit kemudian kami berdua sudah berada dijalan raya menuju ke tempat pemakaman bukit sekuning. Sampai di tempat pemakaman, aku memarkir mobil di pinggir jalan, lalu turun bersama kak fairuz berjalan melewati kubur kubur yang tersusun rapi berbaris, aku menuju ke kuburan almarhum kak faisal, aku teringat kenangan beberapa hari yang lalu saat tubuh kaku mendiang kak faisal dikuburkan. Kembali kesedihan aku rasakan disaat keheningan tanah pekuburan yang lapang ini menerpa. Aku menghampiri kuburan yang masih baru belum disemen, tanah kuning yang masih empuk dengan kelopak bunga layu yang mulai menghitam.
Sepasang nisan kaku bertuliskan nama kak faisal sedikit berpasir terpercik air hujan. Ada untaian bunga yang di jalin seolah menjadi tali yang melingkar di sisi nisan menghubungkan dengan nisan dibagian bawah, indah sekali hingga membuat kontras dengan kuburan lain yang ada disekitar sini. Aku tertegun melihat di sekeliling kuburan dipenuhi bunga bunga plastik berwarna warni, tak terasa air mataku menetes tanpa dapat ku bendung. Betapa besar rasa cinta amalia pada kak faisal hingga membuatnya melakukan ini, aku bisa mengerti betapa menderitanya amalia kehilangan orang yang sangat ia cintai. Kak fairuz berjongkok didepan nisan sambil mencabuti satu persatu bunga bunga itu.


#25 KEPUTUSAN TAK TERDUGA
“rio tolong kamu lepaskan untaian bunga ini..” perintah kak fairuz. Aku mengangguk dengan lunglai. Tanganku bergetar menyingkirkan bunga bunga itu. Batinku menjerit.
“kasihan amalia…” desahku miris, kak fairuz menoleh padaku.
“jadi faisal meninggal sehari sebelum ia menikah, pantas saja tunangannya itu bisa stress begini…” kak fairuz bergumam bagai bicara pada dirinya sendiri.
“mereka berpacaran semenjak masih smu kak..” aku menambahkan, sementara tanganku masih bekerja membersihkan bunga bunga itu.
“pasti tunangannya itu cantik sekali ya?” kak fairuz bertanya.
“iya kak, amalia cantik… Dia juga baik, amalia sangat menyayangi kak faisal, hingga ia mau melakukan apa saja yang bisa membuat kak faisal senang, sekarang ia lagi hamil kak…” ujarku getir. Kak fairuz tercengang. Sejenak ia mematung tak percaya sambil menatap mataku, aku mengangguk pelan. Kak fairuz tertunduk lesu.
“kasihan gadis itu…”
“makanya orangtua amalia bingung kak, amalia bagai orang yang kehilangan kesadaran, semenjak kepergian kak faisal, ia menjadi stress, mama juga bingung tak tau harus melakukan apa…” aku menambahkan. Bunga bunga yang tadinya memenuhi kuburan kak faisal sudah bersih, tumpukan bunga itu aku kumpulkan di sisi kubur kak faisal.
Kak fairuz berdiri lalu berjalan menghampiri tempat penjaga kuburan, seorang bapak tua sedang duduk sambil merokok. Kak fairuz memberikan sejumlah uang agar bapak itu membersihkan kuburan kak faisal, setelah itu kak fairuz mengajakku pulang. Sampai dirumah aku menceritakan semua pada mama, itu membuat mama menangis. Seolah makin menyesali betapa dulu ia begitu keras kepala.
“mama bingung rio, apa yang bisa mama lakukan, mama sadar sekarang betapa amalia mencintai almarhum kakakmu, tapi semua sudah terlambat, yang bisa mama lakukan saat ini hanya mengusahakan agar amalia jangan semakin terpuruk, mama akan mencarikan psikolog agar bisa menanganinya…” mama menyusut airmatanya dengan ujung lengan daster yang ia pakai.
“sepertinya itu usul yang bagus, semoga amalia bisa ditangani dengan baik, kasihan kalau sampai ia gila ma..” aku mengutarakan kekuatiranku. Mama mengangguk.
“nanti sore kita kerumah amalia, mama akan mengutarakan usul mama ini, semoga saja ini bisa membantu…” ujar mama dengan mantap.
“semoga ma..” aku berharap. Aku meninggalkan mama sendirian lalu ke kamarku.
Kak fairuz tadi langsung masuk ke kamarnya, mungkin ia tidur siang. Tak ada tanda tanda ia mau membicarakan tentang masalah semalam. Apakah kak fairuz menunggu waktu yang tepat sebelum ia menceritakan apa yang ia ketahui itu? Aku jadi kuatir, aku tak tau harus bagaimana, apakah aku harus diam saja menunggu hingga bom itu meledak, ataukah aku harus mencari tau bagaimana caranya agar bom itu tak meledak. Aku tak bisa menunggu dicekam gelisah seperti ini, cepat atau lambat jika memang kak fairuz mengetahui tentang aku, itu merupakan ancaman bagiku. Aku harus bertindak sebelum semuanya bertambah runyam. Aku berbaring gelisah, betul betul bingung harus bagaimana lagi. Akhirnya aku turun dari tempat tidur lalu keluar kamar. Aku menuju ke kamar kak fairuz. Aku harus membicarakan hal ini dengannya. Walaupun aku harus merendahkan diri padanya, aku akan melakukannya, aku yakin semalam itu memang kak fairuz telah melihat aku bercinta dengan rian.
Aku mengetuk pintu kamar kak fairuz dengan pelan.
“kak…” aku memanggil kak fairuz. Tak lama pintu kamar kak fairuz terbuka, ia menatapku heran.
“ada apa?” tanya kak fairuz heran.
“aku mau bicara….!” aku tak mau bertele tele, aku ingin masalahku cepat selesai.
“mau bicara?… Bicara apa?” kak fairuz seolah tak mengerti.
“boleh aku masuk?” aku mengintip lewat bahu kak fairuz yang bidang, melihat ke dalam kamar kak fairuz yang beberapa waktu lalu adalah kamarku.
“silahkan!” kak fairuz mundur memberi jalan agar aku bisa masuk.
Aku pandangi seisi kamar, sudah agak berubah, tercium bau rokok dan sedikit berantakan. Seprei acak acakan seolah habis dilanda angin topan. Selimut tergeletak diatas lantai. Jauh berbeda keadaanya dengan sewaktu aku tempati dulu, sepertinya kak fairuz tipe yang tak suka membereskan kamar. Tapi aku tak mau mempermasalahkan hal itu, aku tak mau menyinggungnya karena hanya akan memicu pertengkaran saja.
“katanya tadi mau bicara… Emangnya kamu mau ngomong apa?” tanya kak fairuz tak sabar.
“langsung saja kak.. Yang semalam berdiri diluar jendela kamarku itu kakak bukan?” tembakku langsung ke intinya.
“iya..!” jawab kak fairuz mantap. Lututku langsung lemas mendengarnya.
“kakak melihat semua..?” tanyaku dengan suara bergetar, menahan malu dan ketakutan.
“iya…” ujarnya sinis. Lidahku mendadak kelu, aku tak sanggup untuk bertanya lagi, tatapan mata kak fairuz menghujam ke mataku. Aku menunduk.
“sudah lama kalian melakukan itu?” tanya kak fairuz datar. Aku diam, bingung harus menjawab apa.
“eh.. Kamu tuli ya, apa kalian sudah sering melakukan perbuatan mesum itu dirumah ini?” kak fairuz mengulangi pertanyaannya dengan lebih keras. Aku tersentak ketakutan, aku menoleh ke pintu, masih tertutup rapat, aku tak mau sampai suara kak fairuz terdengar keluar kamar. Bisa gawat sampai mama mendengar semua ini.
“su.. Sudah beberapa lama kak.. Hampir dua tahun..” jawabku lirih. Kak fairuz mendengus sinis.
“benar benar tak disangka, ternyata kamu itu bejat..!” tuding kak fairuz. Aku diam tak menjawab, aku memang salah, jadi percuma saja aku membela diri.
“maaf kak… Aku.. Aku..” rasanya aku telah kehilangan daya untuk berbicara.
“karena apa?” tuntut kak fairuz. Ia melotot menunggu jawaban dariku. Susah payah aku menahan agar jangan sampai airmataku jatuh. Nasi sudah jadi bubur, aku hanya bisa jujur sekarang, aku harus mengambil resiko menjelaskan semuanya pada kak fairuz agar masalah ini tak menjadi besar.
“aku tak tau kak… Tapi aku mencintai rian..”
“kamu mencintai rian? Dia itu lelaki rio! Apa kamu sudah gila?” suara kak fairuz tinggi.
“maaf kak..”
“tak perlu minta maaf, kamu tak bersalah padaku, tak kusangka kalau kamu itu penyuka sejenis.!!” tikam kak fairuz.
“jadi apa yang harus aku lakukan kak?” tanyaku memelas.
“tanya saja pada dirimu sendiri, kamu sudah dewasa, bisa berpikir, apa perbuatanmu itu bagus?” kak fairuz semakin membuatku merasa kebingungan.
“aku minta tolong kak.. Rahasiakan hal ini, jangan sampai mama tau…” aku memohon.
“kamu pikir aku bego sampai mau mengembar gemborkan hal ini, untung saja aku yang memergoki kamu, coba kalau bik tin atau mama! Kamu bakalan mendapat masalah..!” timpal kak fairuz. Aku nyaris tak percaya mendengarnya.
“jadi kakak tak akan menceritakan masalah ini sama mama kak?” tanyaku kurang yakin.
“tentu saja tidak.. Cuma kakak minta kamu jangan mengulangi lagi perbuatan kamu itu… Tinggalkan rian…!” tukas kak fairuz tak dapat dibantah.
“tolong jangan paksa aku kak, aku menyayangi rian..” airmataku nyaris jatuh. Kak fairuz memandangiku beberapa saat, bagaikan sedang meneliti sesuatu. Aku menunduk dalam dalam. “aku tak bisa mengecewakan rian lagi kak, ia sudah terlalu sering aku sakiti…”
jatuh juga air mataku, mengapa untuk meminta pengertian dari orang lain begitu sulitnya, apakah memang begini nasib orang yang melawan takdir, andai disuruh memilih, tentu saja aku mau menjadi orang normal yang bisa mencintai perempuan sebagaimana yang orang lain lakukan.
“kamu tau rio, kalau papa dan mamamu tau masalah ini, apa yang mereka pikirkan…” tanya kak fairuz ketus.
“iya kak… Aku mengerti… Aku minta maaf..”
“sudah kubilang tak usah minta maaf padaku… Sudah berapa orang yang menjadi korbanmu itu?” tanya kak fairuz tanpa kuduga.
“tidak kak.. Aku tak separah yang kakak bayangkan.. Aku tak pernah melakukan itu dengan siapa siapa kak.. Cuma rian.. Itupun karena aku mencintainya…” aku membela diri, aku tak mau kak fairuz menganggap aku seperti gay lainnya yang kebanyakan suka berganti ganti pasangan dengan gampang. Aku juga tak mungkin menceritakan padanya mengenai hubunganku dengan om sebastian dulunya, demi menjaga jangan sampai om sebastian mendapat masalah.
“oke kakak mengerti… Tapi cobalah kamu berusaha menjauhi rian, ia tak baik untuk kamu… Kakak bisa merasakan itu..” ujar kak fairuz, aku menatap kak fairuz sedikit heran.
“rio, kakak ini tinggal di kota besar, hal seperti itu bukan lagi sesuatu yang aneh.. Teman teman kakak banyak yang melakukan itu, dan kakak cukup mengerti..” aku ternganga mendengar pernyataan kak fairuz
“aku berusaha untuk membencimu rio… Aku berusaha membencimu sejak awal aku melihatmu dan tau kamu anak kandung tante mega…” tambah kak fairuz. Aku menunduk, aku tak berani menatap mata kak fairuz.
“tapi aku tau… Kamu tak bersalah atas kesalahan mamamu… Kamu baik yo… Kamu tak seperti mamamu..” kak fairuz memegang bahuku.
“iya kak… Aku minta maaf untuk mama.. Aku menyesal semua yang terjadi..” hanya itu yang bisa aku ucapkan.
“tinggalkan rian… Kakak minta kamu tinggalkan dia!” tak kusangka sangka kak fairuz mengatakan itu.
“kenapa kak?..” tanyaku ingin tau.
“tak perlu banyak tanya yang penting kamu harus lepaskan dia…”
“kak… Aku bingung…” jawabku apa adanya.
“kenapa bingung dek?” desak kak fairuz.
“aku tak mungkin meninggalkan rian, aku sayang sekali dengan dia kak..” aku berusaha jujur.
“jangan bodoh rio, apa yang kamu harapkan dari dia.. atau kamu mau mama kamu tau masalah ini?” Kak fairuz agak mengancam, aku kehilangan kata kata untuk menjawab saking takutnya.
“ku mohon jangan kak, kasihan mama kalau dia sampai tau masalah ini.. kak faisal baru saja meninggal dan mama masih belum bisa menerima keadaan ini, kalau mama sampai tau masalahku ia pasti stress.. aku tak mau terjadi apa apa sama mama kak..” aku memelas memohon kasihan dari kak fairuz, aku tak bisa berbuat banyak untuk membela diri karena saat ini aku sudah tak punya perisai.
“kamu pikir kakak perduli sama mamamu itu, mau stress kek, gila, bahkan mati sekalipun kakak malah akan mensyukurinya.” Kak fairuz tetap dengan kekeras kepalaannya.
“kak cobalah mengenal mama lebih lama, apa yang kakak pikir tentang mama tak sepenuhnya benar kak..” aku mencoba mempengaruhi kak fairuz mumpung saat ini kami berdua sedang bicara walaupun bukan membahas masalah yang menyenangkan.
“maaf dek, soal mama kamu, sampai matipun kakak tak akan bisa menerimanya, maafkan kakak, dia telah menghancurkan keluarga kami, dan gara gara dia mama ku menderita..”
ujar kak fairuz berapi api. Aku terdiam, betapa besar dendam dalam hati kak fairuz hingga dia tak mau memaafkan mama, aku seperti berada dalam dilema, kak fairuz punya hak untuk membenci mama karena ia yang merasakan penderitaan itu. Namun aku juga tak mau jadi anak durhaka ikut ikutan membenci mama, mungkin itu dulu karena mama masih di penuhi oleh ambisinya. Hingga ia mengenyampingkan orang lain.
“kak, maaf aku capek, mau istirahat dulu ya kak..” aku berdiri. Kak fairuz seperti hendak mengatakan sesuatu namun urung.
“ada apa kak?”
“nggak rio, nggak kenapa kenapa.. Tidur lah.. Pertimbangkan permintaan kakak tadi, “ kak fairuz mengulang lagi permintaannya. Aku tak menjawab lalu meninggalkan kamar kak fairuz.
Kepalaku pusing sekali, tak kusangka akan begini, kenapa sih segala sesuatu terkadang tak bisa diduga, tak terlintas sedikitpun di benakku kalau kak faisal masih punya kakak kandung, padahal selama ini tak sekalipun ada yang menyinggung tentang fairuz, bagaikan dalam cerita sinetron ia tiba tiba muncul, dan kehadirannya itu walaupun banyak membawa rasa kurang enak namun aku tak bisa melarang karena ia punya hak yang sama denganku. Aku tak tau kenapa aku tak merasakan kedekatan seperti yang aku rasakan bersama kak faisal. Meskipun mereka kakak adik, terasa sekali perbedaan sifat antara mereka berdua. Walaupun kak fairuz tak kalah ganteng dengan kak faisal, tapi aku tak merasakan sedikitpun getaran terhadapnya.
Aku masuk ke dalam kamar dan berbaring. Mataku menerawang ke langit langit kamar, aku membayangkan jika aku meninggalkan rian, entah apa yang bakalan terjadi, aku tak bakalan tega menyakiti rian, semenjak beranjak remaja dulu, aku sudah mencintai rian, dia mengejar aku sejauh ini hanya untuk bisa dekat denganku, pantaskah kalau pengorbanannya itu aku balas dengan menghianatinya.
Aku tak akan pernah melakukan itu, cinta bukan untuk main main, ganti pacar tak bisa seperti ganti baju, aku yakin rian tak akan pernah menghianatiku. Jadi aku juga tak akan mencoba menghianatinya. Segala fikiran berkecamuk dalam benakku, namun tak satupun yang bisa membuatku lebih tenang. Akhirnya aku tertidur karena pikiranku terlalu lelah.
Terbangun sudah jam 5, aku langsung turun dari tempat tidur. Astaga..! Bukankah tadi aku sudah berjanji akan menemani mama ke rumah amalia, aku bergegas cuci muka lalu keluar kamar. Aku mencari mama ke kamarnya namun tak ada. Rupanya mama pergi. Apakah mama kerumah amalia? Aku pergi ke kamar kak fairuz, aku ketuk pintunya pelan. Tak ada jawaban, aku coba memutar handle, tak terkunci. Aku buka dan intip ke dalam, tak ada siapa siapa. Aku tutup lagi. Kemana kak fairuz, tak mungkin kalau ia pergi bersama mama, aku yakin hal terakhir yang akan dilakukan oleh kak fairuz adalah berjalan bersama mama.
Saat bik tin melintas diruang tamu aku langsung memanggilnya.
“bik, mama kemana?” bik tin menghentikan langkah lalu mendekatiku.
“tadi kata ibu ia ada meeting dengan kliennya di restoran. Perginya juga terburu buru…” bik tin menjelaskan.
“terus kak fairuz mana?”
“nggak tau bang, soalnya tadi ia langsung pergi begitu saja tanpa pamit sama ibu… Dia pake motor abang..” ujar bik tin.
“oh gitu ya bik..” aku manggut manggut..
“iya bang..”
“ya udah.. Makasih ya bik..”
“iya bang..” bik tin mengangguk lalu pergi ke dapur. Aku menghenyakkan pantatku di sofa, ku raih remote lalu menyalakan televisi. Selama setengah jam aku menonton sinetron kembang setaman yang di perankan ida iasha dan ferry salim. Ceritanya lumayan bagus, tak seperti sinetron kebanyakan yang terlalu penuh bumbu dan intrik tak masuk akal. Jam beranjak ke pukul enam namun kak fairuz belum juga pulang, entah pergi kemana dia, dia datang dan pergi secara tak terduga, jujur sebenarnya aku senang ada kak fairuz, aku tak kesepian jadinya. Namun aku menyayangkan sikapnya yang terlalu egois, andaikan ia bisa bersikap seperti kak faisal dulu, pastinya akan sangat menyenangkan. Aku berharap suatu hari nanti ia akan merubah sikapnya itu. Tapi aku juga belum yakin apa ia akan tinggal lama disini. Soalnya ia sudah terbiasa bersama mamanya.
Hingga aku selesai mandi, makan malam dan menyelesaikan tugas kuliah, mama dan kak fairuz belum juga pulang. Jam delapan lewat sepuluh koko datang menjemputku.
Wajahnya berseri seri entah ingin menyampaikan kabar apa.
“jalan yuk!” ajak koko.
“kemana?” tanyaku penasaran.
“adaaa aja.!” koko tersenyum penuh rahasia.
“apaan sih..?” desakku tak sabar.
“aku punya kejutan..” koko sengaja membuat aku semakin penasaran.
“kejutan apa?” pancingku.
“kalau dikasih tau namanya bukan kejutan lagi dong.. Pokoknya jangan banyak tanya ikut saja denganku…” paksa koko.
“nggak mau ah… Takutnya kejutan nggak asik.”
“idih…” koko cemberut.
“makanya jangan pake rahasia gitu, aku kan harus menjamin keselamatanku, soalnya aku harus jelas mau dibawa kemana…” ledekku sok jual mahal.
“pokoknya ini kejutan, nyesel kalo nggak mau ikut…, kalau besok kamu tau pasti kamu protes kenapa maksa kamu ikut…” ujar koko dengan pedenya.
Aku pura pura cemberut. “ya udah.. Tunggu sebentar aku mau ngambil jaket dulu..”
“oke deh…” koko menyeringai lebar karena puas.
Aku meninggalkan koko di teras lalu aku ke kamar dan mengambil jaket di gantungan setelah itu langsung kembali menemui koko.
“kita pergi sekarang?” tanyaku.
“nggak taun depan aja…” jawab koko sebal.
“nggak usah sinis gitu, kan cuma memastikan..” sungutku sebal.
“hahahaha iya iya… Cuma bercanda kok.. Ayo cepetan!” buru koko sambil berbalik dan berjalan cepat menuju ke mobilnya seolah olah mau mengambil gaji. Aku naik ke mobil, duduk disamping koko.
“kamu udah makan?” tanya koko sambil menstarter mobil.
“kebetulan belum..”
“sama..” koko menekan gas sedikit dan mobil meluncur meninggalkan pekarangan rumahku.
Jalanan begitu ramai mobil hilir mudik, lampu lampu kuning keemasan menyorot menerangi jalanan beraspal. Ruko berderet di sepanjang tepian jalanan dengan bermacam jenis papan reklame yang memancarkan lampu berwarna warni membuat pemandangan malam di kota palembang begitu indah. Namun entah kenapa sehebat apapun kota palembang, sepesat apapun pembangunan disini sehingga bisa dikategorikan sebagai kota metropolitan, aku tetap saja kangen dengan kampung halaman. Aku kangen dengan emak.
Terakhir surat emak mengatakan kalau yuk yanti sudah melahirkan bayi perempuan yang cantik. aku penasaran ingin melihat bagaimana rupa keponakanku itu. Dua tahun lagi kuliahku selesai, aku bisa kembali ke bangka berkumpul lagi dengan emak. Aku kangen dengan masakan emak. Ingin sekali melihat senyum emak yang selalu menghiasi wajahnya meskipun dililit kesusahan. Pasti banyak yang berubah dalam kurun waktu delapan tahun ini. Mungkin sekarang rambut emak sudah di tumbuhi uban. Yuk tina dan yuk yanti pun pasti banyak berubah.
“eh.. Kok malah bengong?” koko membuyarkan lamunanku tentang kampung halaman.
“siapa juga yang bengong..” aku tersipu dan menyangkal.
“mikirin ceweknya ya?” canda koko.
“nggak, ngapain juga mikirin cewek, yang dipikir belum tentu juga mikirin aku..” bantahku sedikit kesal.
“emangnya kamu punya cewek?” olok koko lagi.
“iya iya.. Aku nggak punya, lagian kamu udah tau nanya! Mana ada cewek mau sama cowok kayak aku ini… Nggak seperti kamu yang dengan gampang mendapatkan cewek manapun yang kamu suka..” aku membuka minuman kaleng yang ada di dalam mobil.
“dasar! Pura pura merendahkan diri untuk meninggikan mutu, bilang aja kamu mau aku mengatakan.. Rio siapa bilang kalo nggak ada cewek mau sama kamu, apa kamu buta kalau shinta anak rektor yang cantiknya minta ampun itu sampai tergila gila sama kamu…… Iya kan?… Dasar!!!… Basi tau…!” seringai koko menyebalkan.
“kamu yang bilang bukan aku..” jawabku acuh menanggapi candaan koko.
“kamu ganteng, pintar, lumayan tajir… Aku heran kenapa belum pernah sekalipun kamu pacaran..” selidik koko ingin tau.
“eh bro… Kamu mau ngajak aku jalan untuk menginterogasiku ya? Kok nggak bawa tape recorder..?”
“sori bro… Kita wartawan profesional, nggak perlu tape recorder.. Cukup pake ini..” koko tertawa sambil menujuk ke keningnya.
“dasar sombong..!” gerutuku bercanda.
“motto hidupku biar miskin asal sombong!” koko tertawa ngakak.
“dasar motto nggak mutu!” ejekku ikut tertawa.
“eh kita udah sampai,…!” seru koko mendadak sambil menginjak rem hingga tubuhku agak terbanting, untung saja nggak sampai kena Dashboard mobil.
“gila lo ko… Nyetir yang bener dong.. Makanya bikin sim yang resmi jangan asal nembak!” gerutuku kesal. Koko tertawa terbahak bahak.
“sori yo.. Hahaha.. Soalnya keasyikan ngobrol, jadi nggak konsen ke jalan lagi..” seringai koko menyesal. Aku membuka pintu mobil dan turun.
Kami berhenti tepat eh depan sebuah rumah mewah berpagar tinggi berukir batang anggur menjalar warna keemasan. Aku memandangi rumah itu dengan takjub. Nyata sekali penghuni rumah ini siapapun itu mempunyai selera yang berkelas. Bentuknya tidak minimalis cenderung banyak profil dimana mana. Atapnya model bersusun makin keatas makin mengecil, dibeberapa bagian atapnya terdapat semacam jendela kecil yang diberi penerangan lampu hingga seolah olah ada ruangan didalamnya. Pilar pilar tinggi motif ulir menopang lantai dua yang punya beranda bentuk lonjong dengan ujung berbentuk bagai tombak maharaja. Jendela jendela berukuran raksasa dilindungi teralis modern berukir berkilauan tertimpa sinar lampu taman yang jumlahnya puluhan. Tangga melingkar dari gerbang hingga berakhir eh depan teras rumah yang lagi lagi berbentuk oval lonjong bertingkat tingkat dari batu granit memberikan kesan sejuk rumah yang lebih pantas disebut istana ini.
Dikanan kiri tangga tumbuh rumput manila tebal terawat dengan diselingi tumbuhan hebras merah tua yang berbunga dari ujung ke ujung. Beberapa patung burung dan angsa serta bangau memberikan kesan seolah olah aku sedang berada di padang rumput liar alami. Bisa aku bayangkan berapa duit yang dihabiskan untuk membuat rumah ini.
“ko, ini rumah siapa?” tanyaku penasaran.
“nanti kamu lihat saja yo, kamu nggak bakalan menyangka siapa yang memiliki rumah ini, ayo ikut aku..” koko berjalan lebih cepat, aku mengimbangi langkah koko agar tak tertinggal. Sampai didepan pintu kaca mozaik lukisan pemandangan firdaus yang tinggi hampir tiga kali tinggi pintu rumahku, koko memencet bell dan tak lama kemudian pintu terbuka.
Mataku melotot tercengang melihat siapa yang berdiri didepan pintu tersenyum lebar padaku. Senyumku langsung lenyap, tanpa menunggu lagi aku berbalik dan berlari tanpa mengindahkan teriakan kaget koko yang memanggilku. Ternyata kejutan dari koko sangat tidak asik. Aku berlari tanpa perduli teriakan koko memanggilku, ternyata ia mengajakku kerumah om alvin, seseorang yang saat ini paling tak mau aku temui. Sebetulnya aku sadar kalau aku tak perlu bersikap seperti ini, tapi entah kenapa aku langsung muak melihat wajahnya. Aku menyender di pintu mobil yang terkunci. Kunci masih di tangan koko jadi aku tak bisa masuk ke dalam.
"maafkan aku rio, aku tak menyangka kamu tak mau bertemu papa kamu sendiri.." koko terdengar menyesal. Rupanya ia langsung menyusulku.
"tak apa apa ko, mendingan sekarang kita pulang saja.. Aku capek.." aku mengusap wajahku dengan kedua belah telapak tangan. Tanpa menunggu lagi koko membuka pintu mobil, aku masuk dan duduk disamping koko.
"om alvin kelihatan sedih yo, padahal dia benar benar ingin meminta maaf sama kamu, sebetulnya sudah dari kemarin kemarin ia menyuruhku mengajakmu kerumahnya."
"jangan sekarang ko, aku belum siap, entah apa yang mau om alvin katakan, aku tak perduli... Ia telah membuatku kecewa." ujarku pelan, mataku menatap lurus ke arah jalan seolah terpaku pada satu titik.
"aku minta maaf.. Tak ada maksud membuatmu merasa tak nyaman seperti ini.."
"lupakan ko, mendingan kamu antar aku pulang sekarang, pikiranku lagi tak menentu.." koko tak menjawab, hanya menganggukan kepala. Selama beberapa menit kami berdua membisu, sibuk dengan pikiran masing masing, aku teringat bagaimana ekspresi om alvin tadi ketika melihatku pergi tanpa pamit. Aku tersenyum puas, memang sudah seharusnya aku melakukan itu, aku puas telah membuatnya kecewa. Itu belum seberapa dengan kecewa yang aku rasakan terhadapnya.
Kami sudah tiba dirumahku, aku mengajak koko mampir tapi ia menolak dengan alasan sudah mengantuk. Aku turun dari mobil dan tak lupa berterimakasih. Setelah koko berlalu aku masuk ke dalam rumah. Sepi keadaan di dalam, kak fairuz tak terlihat, mungkin ia kerumah temannya. Aku tak tau dengan satupun teman kak fairuz disini. Dia datang dan pergi semaunya tanpa pernah pamit. Seisi rumah ini tak mau cari masalah dengannya Lebih baik menghindar.
"darimana sayang... Kok pulangnya cepet?" aku berbalik agak kaget, entah sejak kapan mama berdiri di samping lemari kaca pajangan keramik dan guci guci porselen. Mama berjalan pelan menghampiriku.
"belum tidur ma?" aku balik bertanya.
"belum, tadi wenny terbangun, dia agak rewel, badannya sedikit panas.." mama terdengar cemas.
"udah dibawa ke dokter ma?"
"udah tadi, kata dokter cuma demam biasa.. Tapi ya itu, dia jadi agak rewel." ujar mama letih.
"kak fairuz mana ma?"
"entahlah, kamu tau sendiri kakakmu itu, mana pernah dia bilang mau kemana.." mama setengah mengeluh. Meskipun sikap kak fairuz terhadap mama tidak menyenangkan, namun mama seolah tak menghiraukannya, mama tetap memperhatikan kak fairuz seolah ia adalah pengganti kak faisal. Sebetulnya aku kasihan sama mama, kak fairuz membenci mama bagaikan musuh besar yang harus ia lenyapkan. Apapun yang mama lakukan dianggap kak fairuz tak tulus, mama melakukan itu karena ada maunya. Memang kalau orang sudah benci, akan sulit untuk meyakinkannya sekeras apapun berusaha.
"mama tidur dulu ya, kamu jangan begadang, besok kita kerumah amalia.." mama mengingatkanku.
"loh.. Kenapa kerumah amalia ma, ada urusan apa?" tanyaku heran. Ini diluar dugaanku sama sekali, kenapa tiba tiba mama mengajak kerumah amalia.
"mama kasihan sama keluarga mereka, saat ini mereka kebingungan, kehamilan amalia tak mungkin bisa ditutup tutupi lagi lebih lama, mama harus membicarakan masa depan amalia, ini juga demi cucu mama yang ada di rahim perempuan itu.." desah mama terdengar sesak. Aku termenung menatap lukisan di dinding, lukisan daun pisang dengan tiga burung betet berwarna cerah berbingkai keemasan. Aku tak bisa berpikir untuk mencari jalan keluar dari masalah ini.
"ya sudah.. Kamu tidur dulu sana.. Udah hampir larut sekarang.." mama mengulangi untuk kedua kalinya. Aku hanya mengangguk dan melihat mama berjalan gontai menuju ke kamarnya. Aku merasa kesepian dalam ruangan besar ini, sofa busa panjang berwarna merah beralas kain beludru di depanku seolah mengingatkanku akan kak faisal, dulu ia sering tertidur disitu kalau kelelahan membaca komik tiger wong kegemarannya. Seolah kenangan itu baru terjadi kemarin. Aku menggelengkan kepala karena pusing menerpa.
Ruangan ini terasa dingin, ruangan yang mama tata agar terasa hangat dan bikin betah tak mampu menghilangkan kalut yang aku rasakan. Aku berbaring diatas sofa sambil memandangi potret berbingkai berukuran sebesar pintu, dimana ada papa, mama, kak faisal dan aku. Kami berempat tersenyum berpakaian rapi. Mama memakai kebaya hijau pupus, papa, kak faisal dan aku memakai jas hitam. Aku ingat foto itu diambil waktu kak faisal lulus smu, bagaimana waktu itu susahnya fotografer mengarahkan kak faisal bergaya di depan kamera, senyumnya yang kaku membuat kami harus berkali kali mengulang pengambilan gambar hingga bisa didapatkan gambar yang bagus. Kak faisal kurang suka bergaya di depan kamera. Apalagi baju jas hitam yang katanya seolah membuat ia merasa seperti mau pergi ke pemakaman cina. Ia bilang tampangku mirip orang idiot.
Aku membalasnya dengan mengatakan kak faisal mirip vampir yang baru keluar dari lobang kakus. Ia menimpukku dengan tabung bekas gulungan roll film. Aku tersenyum sendiri mengenang kejadian lucu di masa lalu itu. Kak faisal pasti kesepian sekarang dibalik papan kuburannya di dalam tanah. Apakah kak faisal bisa merasakan kalau aku begitu kehilangannya, sosok kakak yang aku butuhkan, kenapa waktu begitu cepat berlalu hingga hanya meninggalkan kenangan kenangan indah yang tak mungkin terlupakan. Terasa perbedaan dirumah ini sejak kak faisal tak ada lagi. Papa jadi jarang pulang, mama meskipun ada dirumah tapi sengaja menyibukan diri dengan pekerjaan kantor yang ia bawa pulang, padahal dulu mama paling anti melakukan itu. Bagi mama rumah adalah tempat berkumpul keluarga dan untuk istirahat.
Kini semua telah berbeda. Kehadiran kak fairuz malah memperparah semuanya. Meskipun mereka sangat mirip namun kak fairuz bukan kak faisal dan tak akan pernah menjadi seperti kak faisal. Sifat mereka sangat bertolak belakang, meskipun akhir akhir ini kak fairuz sedikit melunak, tapi tetap saja sikapnya jauh dari menyenangkan. Kehadirannya dirumah ini bagaikan bom waktu yang bisa meledak kapan saja dan membuat masalah yang hingga saat ini aku dan mama kuatirkan akan terjadi.
Bunyi jam berbandul diruang tengah nyaris membuat aku terlonjak kaget. Dentangan sebanyak duabelas kali menandakan saat ini telah dinihari. Aku bangun dari sofa bermaksud mau ke kamar, tapi terdengar suara mobil memasuki pekarangan rumah. Aku mengintip dari balik gorden, ternyata kak fairuz, ia turun dari mobil lalu berjalan menuju teras. Terdengar suara anak kunci dimasukan ke lobangnya. Aku duduk kembali sebelum kak fairuz masuk. Grendel pintu bergerak dan pintu terbuka. Kak fairuz agak kaget melihatku.
"kok belum tidur?" ia bertanya sambil mengunci pintu.
"iya kak.. Kepalaku sedikit pusing.." jawabku apa adanya.
"kalau pusing minum obat..!" jawab kak fairuz selintas lalu, ia melangkah menuju ke kamarnya. Aku tak banyak bertanya, karena biasanya kak fairuz kurang suka ada yang mencampuri urusannya. Aku kira kak fairuz langsung tidur, ternyata ia keluar lagi dan telah berganti baju.
"belum tidur kak?"
"belum ngantuk.." jawabnya singkat sambil mengambil remote dan menyalakan televisi.
"tadi kamu jalan sama rian ya?" tanya kak fairuz sambil duduk di sampingku.
"bukan kak, aku sama koko, cuma makan malam aja, trus jalan sebentar.." aku menggeser duduk agak memberi tempat pada kak fairuz.
"sudah lama kamu kenal dia?" suara kak fairuz terdengar penasaran.
"sejak kelas tiga smp.. Emangnya kenapa kak?" aku balik bertanya karena heran. Kak fairuz sepertinya begitu ingin tau tentang rian. Setelah kejadian beberapa hari lalu, aku jadi lebih berhati hati dan melarang rian untuk main kesini selama beberapa waktu sampai aku merasa keadaan agak aman.
"kamu percaya sama dia?" pertanyaan kak fairuz bagai teka teki, aku berpikir sejenak sebelum menjawab, aku tak mau jawabanku nantinya akan menjadi celah bagi kak fairuz untuk memanfaatkan kelemahanku dan rian.
"aku mengenal rian bukan sehari dua hari kak, tapi kami sudah dari masih kecil berteman, sedikit banyak aku mengenal dia, dan hingga kini aku yakin rian dapat aku percaya.." aku menjawab mantap. Kak fairuz menangguk angguk seolah mengerti, namun matanya agak menerawang keatas seolah ada menyimpan sesuatu yang akan ia katakan.
"selama kalian berhubungan, pernah ia menyakitimu?" tambah kak fairuz. "menyakiti bagaimana maksud kakak?" aku semakin bingung. "ya misalnya ia selingkuh.. Atau membohongi kamu?" suara kak fairuz sedikit mengejek meskipun tak kentara tapi aku menyadarinya.
"tidak pernah.." jawabku ragu. Aku terpaksa berbohong, rian memang tak pernah selingkuh, tapi ia kerap memukulku, tapi aku tak mau menceritakan itu pada kak fairuz, aku tak mau ia memandang rian jahat, walau harus kuakui kalau sikap rian terkadang membuatku kecewa dan aku beberapa kali ingin meninggalkannya. Sepertinya kak fairuz ingin mengetahui lebih dalam mengenai hubungan aku dan rian. Aku menyesali keteledoranku hingga kak fairuz memergoki perbuatan kami. Pertanyaan kak fairuz makin membuat kepalaku jadi pusing, tapi aku tak berani menghindarinya karena takut kak fairuz marah hingga ia mengadukan hal ini ke mama atau papa, aku tak mau menambah beban pikiran mama.
"kamu punya cewek nggak?" pertanyaan kak fairuz kali ini membuat aku betul betul kaget.
"memangnya kenapa kak?"
"cuma mau tau aja.. Kamu kan cowok, wajar kakak bertanya seperti itu, atau kamu memang sudah tak ada keinginan untuk punya cewek?" pernyataan kak fairuz telak membuatku kehabisan kata kata. Apa yang harus aku jawab, karena memang hingga saat ini aku belum berpikir untuk berpacaran dengan cewek, itu yang aku takutkan, pada waktunya nanti keluargaku Akan bertanya mengenai itu, bagaimana aku harus menjawabnya.
Andai nanti mama tau mana mungkin mama bisa mengerti dengan keadaanku. Aku tak mau membuat keluargaku jadi malu karena itu. Apakah aku harus egois mengikuti keinginanku sendiri sementara aku tahu itu salah. Aku bisa saja menuruti ego tetap menjalani semua ini, tapi itu akan menyakiti semua yang menyayangiku. Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah membiarkan semua mengalir.
"kakak mau tidur dulu, udah ngantuk... Kamu belum mau tidur?" pertanyaan kak fairuz membuyarkan lamunanku.
"kakak tidurlah dulu, sebentar lagi aku tidur.." aku tersenyum pada kak fairuz. Setelah kak fairuz pergi dan masuk ke kamarnya, aku matikan televisi lalu pergi ke kamarku.
Sambil berbaring, aku terkenang lagi bagaimana tadi wajah om alvin yang terkejut saat aku menatapnya dengan nyalang lalu pergi tanpa pamit dari rumahnya. Sebenarnya dalam hati kecilku yang terdalam, aku sangat senang ternyata om alvin adalah ayah kandungku yang sebenarnya, namun aku kecewa om alvin tak mau mengakui hal itu padaku, kalau bukan karena almarhum kak faisal mungkin hingga detik ini aku takkan pernah mengetahui siapa ayah kandungku. Sudah sering aku dan om alvin bersama, begitu banyak kesempatan untuknya menceritakan tentang hal yang sebenarnya, kenapa selama ini aku tak pernah terpikir,om alvin begitu perhatian padaku, sering memberikan hadiah hadiah padaku, aku kira itu semua karena memang sifatnya yang pemurah, ternyata kebaikannya itu karena memang itu adalah kewajibannya.
Aku kangen dengan kehidupanku waktu masih di bangka dulu, meskipun selalu kekurangan tapi aku bahagia. Emak selalu mengajarkan kejujuran. Semua masalah selalu dibahas bersama agar bisa dicarikan jalan keluarnya. Sekarang aku lebih dari berkecukupan, apapun yang aku minta sama mama tak akan menunggu lama untuk ia penuhi selama itu masih dibatas kemampuannya, tapi aku merasa hampa. Seakan tak ada kedekatan serta kehangatan. Hanya kak faisal yang membuat aku merasa betah disini. Tapi sekarang kak faisal sudah tiada. Hari hari jadi terasa lama dan membosankan. Aku mulai merasa tak betah lagi disini. Kalau tak memikirkan kuliahku, mungkin aku sudah pergi dari sini dan kembali ke bangka. Meninggalkan semua masalah disini agar aku bisa merasa tenang. Akhirnya kantuk pun datang mungkin karena terlalu banyak pikiran mataku pun dapat dipejamkan dan tertidur. Aku dibangunkan oleh mama karena sudah siang, saat melihat jam weker, aku langsung tersentak dan bergegas turun dari tempat tidur.
Mama menyuruhku bersiap siap karena sebentar lagi kami mau pergi ke rumah amalia. Aku mandi sekedarnya saja, yang penting sikat gigi bersih bersih. Setelah itu berpakaian. Aku memakai kemeja dan celana jeans biar terlihat rapi lagipula habis dari rumah amalia, aku langsung ke kampus jadi tak repot harus ganti pakaian lagi. Mama sudah siap, ia menungguku di mobil bersama wenny. Aku masuk ke mobil duduk disamping mama. Baru saja mama mau menginjak gas, tiba tiba kak fairuz keluar dari rumah dan memanggilku sambil berlari menuju kearah kami. Mama urung menjalankan mobil. Aku membuka jendela.
"ada apa kak?" tanyaku heran. "aku mau ikut.. Kalian mau kerumah amalia kan?" kak fairuz menunduk ke jendela dan menatapku.
"iya kak.." jawabku singkat karena masih heran. Ada gerangan apa kak fairuz sampai mau ikut ke tempat amalia. Aku menoleh ke mama untuk meminta persetujuan. Selama beberapa saat mama diam dengan wajah yang tak dapat ditebak namun akhirnya mama mengangguk ragu. Kak fairuz tersenyum lalu membuka pintu belakang dan masuk ke dalam. Setelah kak fairuz menutup pintunya, mama menjalankan mobil, aku memandangi kak fairuz lewat spion di depan.
Ia nyengir melihatku. Aku memangku wenny yang agresif menunjuk nunjuk pada setiap mobil yang lewat. Sementara mama tak bicara sedikitpun, pura pura serius konsentrasi pada jalan padahal aku tau saat ini pikiran mama pasti sedang berkecamuk. Kenapa kak fairuz mau ikut kerumah amalia, bukannya ia tak mengenal amalia dan keluarganya.
Aku jadi makin heran dengan sikap kak fairuz yang tak dapat ditebak. Tak beberapa lama kami tiba dirumah amalia. Ibunya sudah menunggu kami di depan rumah. Kami turun dari mobil dan langsung di suruh masuk ke dalam. Kak fairuz agak terpana saat melihat keadaan rumah amalia. Mulutnya terbuka tanpa sadar seolah tak menyangka kalau rumah amalia hanyalah sebuah gubuk yang sederhana.
"silahkan masuk bu harlan.." ibunya amalia mempersilahkan kami.
"terimakasih bu rusmi.." mama tersenyum lalu mengikuti ibu amalia masuk. Aku dan kak fairuz mengiringi dari belakang. Tak banyak yang berubah dari rumah amalia dengan saat pertama kali aku kesini. Kami duduk di kursi ruang tamu yang seadanya.
"sebentar saya ambilkan minum dulu ya.." ibu amalia berlalu ke dapur. Mama hanya mengangguk tak banyak bicara. Sementara kak fairuz seolah tak perduli hanya pandangannya mengitari sekeliling ruang tamu amalia. Tak beberapa lama ibu amalia kembali dengan membawa satu baki teh serta sepiring pisang goreng.
"silahkan di minum bu, rio.. Maaf satunya ini siapa, saya belum kenal.." tawar ibu amalia sambil meletakan cangkir ke atas meja masing masing satu di depan kami.
"ini fairuz bu, kakaknya faisal yang sulung.." mama memperkenalkan kak fairuz. Ibu amalia mengangguk. "pantas saja mukanya begitu mirip.." ujar ibu amalia. Kak fairuz yang mendengarnya hanya tersenyum tipis.
"amalia mana bu?" tanya mama.
"masih di kamarnya, ia jarang mau keluar kamar, sepertinya ia masih stress bu, itulah yang bikin kami bingung, bagaimana caranya biar masalah ini tak berlarut larut.." ibu amalia agak merenung.
"memang tak mudah bagi wanita hamil yang tak punya masa depan menghadapi masalah yang dialami seperti amalia alami bu, makanya kami juga tak bisa lepas tangan dari hal ini, cuma kami mau kerjasama dari bu rusmi, biar kita bisa mendapatkan jalan keluar yang paling baik.." mama menimpali omongan ibu amalia.
"terus terang saja bu, pikiran saya seolah sudah buntu, saya tak mampu lagi berpikir bagaimana mencari jalannya. Hal ini sangat mengejutkan bagi kami..." keluh ibu amalia.
"makanya bu, tidak mudah juga bagi kami... Bagaimanapun juga yang ada didalam rahim amalia itu anaknya almarhum, dan kami tak mau menyia nyiakannya. Ibu tau sendiri betapa saya menyayangi faisal.." mama menarik nafas dalam seolah beban berat sedang menekan diatas pundaknya. Aku diam sambil menunduk mendengar pembicaraan ini. Sementara kak fairuz sedikit terkejut dengan ucapan mama tadi.
"kira kira bagaimana ya bu.. Jalan apa yang harus kita tempuh biar semua bisa teratasi.. Saya takut lama lama amalia jadi makin stress, kandungannya makin membesar bu, saya tak sanggup membayangkan cemoohan yang akan kami dapatkan karena hal ini, tetangga disini kebanyakan suka ikut campur urusan orang.." ibu amalia menjelaskan. Mama mengetuk ngetuk gelas pelan seolah sedang mengatasi kekalutannya.
"di minum dulu bu.." ibu amalia menawarkan kembali. Mama mengangguk lalu mengangkat gelas dan meminum isinya sedikit.
"bagaimana kalau kita cari lelaki yang mau menikahi amalia.." mama mengusulkan. Ibu amalia menegakkan badannya kaku.
"maksud bu harlan?" tanya nya kurang yakin.
"saya rasa dengan mencarikan lelaki yang mau menikahinya, masalah akan teratasi, saya yakin tak sulit mencari lelaki yang mau, bukannya wajah amalia cantik, pasti banyak yang mau sama dia.." mama menjelaskan. Ibu amalia menatap mama lekat lekat seolah sedang meyakinkan dirinya kalau yang sedang bicara tadi itu memang mama.
"tapi bu, siapa..? Mana ada lelaki yang mau menikahi perempuan yang sudah tak terhormat, dan hamil...?" ibu amalia pesimis.
"saya yakin ada bu.. Siapa yang tak mau kalau dikasih uang?" jawab mama dengan mudahnya. Aku yang sedang meminum teh langsung tersedak. Mama mau membayar lelaki yang akan menikahi amalia. Lagi lagi mama selalu mencari jalan mudah dengan menggunakan uang. Aku yakin memang banyak lelaki mau dibayar untuk itu. Apalagi dalam keadaan sulit seperti ini, siapa yang tak mau diberikan perempuan cantik dan dapat uang.
"ibu mudah mengatakan itu, tapi saya juga harus menimbang rasa dengan perasaan amalia bu, menikah dengan lelaki yang tak ia kenal dan cintai akan semakin membuatnya bertambah menderita.." ibu amalia agak keberatan. Mama hanya tersenyum kaku seolah tak perduli.
"apakah dengan keadaan seperti ini amalia masih punya pilihan?" mama balik bertanya hingga membuat ibu amalia terdiam kehabisan kata.
"bu rusmi mau menyuruh amalia menjalin percintaan dengan siapa? Apa masih cukup waktu untuk mencari lelaki yang akan memuaskan romantika percintaan amalia sementara ia sedang hamil seperti ini?" mama melanjutkan.
"ibu berharap lelaki kampung, yang mau menerimanya apa adanya, lelaki kampung biasanya berpikiran kolot bu, perempuan itu harus perawan dan terhormat, oke lelaki itu mau, bagaimana dengan keluarganya... Atau.. Ibu mau lelaki berpendidikan yang lumayan bebas, yang mau menambal kuali bocor, tapi ibu pikir sendiri, mana ada lelaki yang berpendidikan yang mau bertanggung jawab menikah dengan.. Maaf.. Amalia gadis biasa yang sederhana.. Yang tidak mapan. Saya rasa orang pintar lebih realistis bu.." timpal mama cukup masuk akal. Ibu amalia makin terpekur tak dapat menjawab. Terus terang aku mengakui kata kata mama ada benarnya. Siapa yang mau menikah dengan gadis hamil kalau tanpa jaminan. Aku menoleh ke kak fairuz, tak beda denganku iapun diam seolah sedang berpikir keras.
"lalu bagaimana kami dapat mencari lelaki itu dalam waktu singkat bu.?" ibu amalia mendesah seolah sadar tak ada pilihan lain selain menuruti saran mama tadi.
"kami akan membantu ibu mencarinya.. Saya akan keluarkan berapa saja agar lelaki itu mau menutupi aib ini.. Maaf bu, bukan bermaksud untuk berlaku kejam, tapi kita sudah kehabisan akal.. Saya rasa hanya inilah jalan terbaik yang dapat kita tempuh, andaikan nantinya mereka tak mau melanjutkan pernikahan mereka, biarlah mereka berpisah, yang penting anaknya amalia dan faisal tak lahir Sebagai anak haram.." mama menyelesaikan kata katanya.
"tapi saya juga harus membicarakan dulu sama amalia bu, saya harus meminta persetujuan darinya, bagaimanapun amalia lah yang paling berhak memutuskan karena yang menjalani semua ya amalia.." ibu amalia seperti menahan tangis. Mama membuka tas tangannya lalu mengambil amplop dan meletakkannya diatas meja.
"kami mohon diri dulu bu, itu ada sedikit uang untuk amalia, suruh ia beli susu biar kandungannya sehat. Ingat jaga pola makannya.. Saya rasa itu cukup.." mama berdiri dan memberi kode padaku agar ikut berdiri. Ibu amalia tak protes apapun. Walaupun aku tau ia ingin menyampaikan keberatannya pada mama. Mungkin ia tak mau banyak bertengkar lagi. Lagipula mama kalau sudah memutuskan sesuatu cenderung sulit untuk diubah. Mama selalu mencari jalan yang tak ribet. Mungkin karena kelihaian mama dalam bernegosiasi yang membuat mama mencapai posisi yang tinggi di tempat kerjanya. Tapi hidup ini tak sama dengan perusahaan. Manusia punya hati dan perasaan, segala keputusan yang diambil tak bisa seenaknya seperti mengatur benda mati tanpa jiwa. Aku hanya berharap mama dapat mengusahakan seorang pengganti kak faisal yang mau menerima tawaran mama. Tapi lelaki itu harus baik. Tapi apa mungkin ada lelaki baik yang mau menerima amalia dengan embel embel uang? Atau kalaupun mau apakah bisa disebut sebagai lelaki baik. Aku menyalami ibu amalia dan berpamitan. Baru saja kami sampai dekat pintu tiba tiba.
"tante...." mama berbalik. Aku menghentikan langkah demikian juga kak fairuz. Amalia berdiri di tengah pintu yang menghubungkan antara ruang tamu dengan ruang tengah.
"ya amalia kenapa?" tanya mama dengan muka masam.
"tante atur saja mana yang terbaik menurut tante.. Amel tak akan membantah..." suara amalia terdengar agak bergetar. Mama tertegun seakan tak menyangka kalau amalia akan mengatakan hal itu. Aku pandangi amalia lebih seksama. Wajahnya lebih tirus meskipun hamil, biasanya kalau hamil perempuan cenderung lebih gemuk, tapi tidak dengan amalia, mungkin karena terlalu banyak pikiran hingga membuatnya makin drop.
"kamu serius dengan ucapanmu itu?" mama memastikan. Amalia mengangguk mantap.
"iya tante.. Lakukan yang terbaik menurut tante, saya tak ada pilihan selain mengikuti apa yang tante atur.." amalia pasrah.
"makanya mel, dengarkan nasehat orangtua, jangan hanya mengikuti emosi sesaat, kalau sudah begini, kamu tak punya lagi pilihan selain menunggu orang menentukan nasibmu.." ibu amalia menelan ludah pahit. Suaranya yang bergetar lemah menandakan sebetulnya ia sudah sangat letih menghadapi masalah ini.
"baiklah kalau amalia sudah setuju, kami akan segera mencarikan lelaki yang mau menikahinya, jangan takut... Saya tak akan sembarangan, soalnya lelaki itu nantinya akan menjadi ayah dari cucu saya.. Kalau begitu kami pulang dulu ya bu rusmi, amalia.. Assalamualaikum.." mama melangkah keluar dari pintu tanpa menoleh lagi.
"apa itu tak terlalu kejam bagi amalia ma?" tanyaku saat kami sudah duduk dalam mobil dan di jalan menuju kerumah.
"kalau mama membiarkannya justru malah lebih kejam.. Kamu mau anaknya kakakmu lahir tanpa bapak? Apa nanti kata orang orang. Lagian mama bukan memikirkan amalia, cucu mama tak boleh tumbuh jadi anak yang minder.." jawab mama datar, ekspresi wajah mama sukar ditebak. Kak fairuz tak berkata apa apa. Sejak dari rumah amalia tadi, ia cuma diam tak berkomentar.
"siapa kira kira yang mau ya ma..?"
"mama belum ada bayangan.. Tapi mama akan cari, kamu tak usah kuatir, koneksi mama cukup banyak, selama ini tak ada masalah yang tak bisa mama tangani, semoga kali ini mama cukup beruntung." harap mama. Aku memutar tombol ac untuk mengurangi sedikit level dinginnya yang membuat aku agak menggigil.
"semoga mama tak salah pilih, kasian kalau ia mendapat lelaki yang jauh karakternya dari kak faisal, itu akan membuat ia makin tertekan.." aku ikut berharap. Kami sudah sampai di rumah, mama memutar setir, mobil berbelok masuk ke dalam pagar lalu berhenti dalam garasi. Aku turun dari mobil diikuti kak fairuz. Bertiga kami masuk ke dalam rumah.
"eh papa..." mama agak terkejut begitu melihat papa sedang duduk di ruang tamu.
"papa..." ujar kak fairuz nyaris serempak dengan mama.
"darimana saja ma?" papa bertanya seolah tak menyadari kalau mama terkejut melihatnya.
"dari rumah amalia pa.." jawab mama sambil menghampiri papa dan duduk disampingnya.
"kapan datang fairuz?" papa bertanya pada kak fairuz saat kak fairuz menghampirinya dan mencium tangan papa.
"sudah hampir dua minggu pa.. Kemana aja papa kok baru pulang?" kak fairuz duduk di kursi depan papa.
"papa kira kamu tak mau datang lagi kesini.."
"fairuz mendengar kabar kecelakaan faisal, jadi mama menyuruh fairuz menjenguk kak faisal, tak disangka ternyata fairuz tak sempat lagi bertemu faisal untuk terakhir kalinya.." kak fairuz terlihat sedih.
"semuanya sudah takdir nak, papa juga serasa tak percaya kalau faisal sudah tiada.." papa agak melamun seolah mengenang sesuatu.
"papa istirahat dulu, pasti papa capek... Apa kabar ibu pa?" potong mama.
"ibu sehat ma, beliau tanya kenapa nggak ngajak mama kesana..papa bilang mama lagi sibuk dan belum bisa cuti" ujar papa sambil berdiri. Mama mengikuti papa yang berjalan ke kamar. Aku dan kak fairuz tetap duduk di ruang tamu.
"kamu nggak kuliah?" tanya kak fairuz.
"kuliah kak, masih sejam lagi kok.."
"rian satu kampus sama kamu?"
"iya kak.." jawabku singkat.
"ya udah.. Kakak mau jalan dulu.. Nanti kalo udah dirumah, kamu telpon kakak ya.."
"emangnya kenapa kak?" tanyaku heran.
"pokoknya telpon saja.. Jangan lupa.." kak fairuz meninggalkanku sendiri. Aku terpana memandang punggung kak fairuz yang berjalan ke ruang tengah lalu menghilang di balik gorden. Kenapa sih dengan kak fairuz, tak biasanya ia menyuruhku menelponnya, apa ada sesuatu yang mau ia bahas, kenapa tidak langsung dibicarakan sekarang.
Aku makin bingung dengan kak fairuz. Kadang sikapnya itu tak menentu membuat orang yang berada di dekatnya menjadi bingung. Akhirnya aku pergi kuliah dengan pikiran masih bertanya tanya. Pulang kuliah aku jalan jalan dengan rian dan singgah ke kostnya. Aku tiduran di kost rian, ia membereskan kost nya yang agak berantakan, mengganti seprei dan menyapu, aku membantunya menyusun buku buku dan menguras bak mandi, aku nyaris lupa kalau ada janji untuk menghubungi kak fairuz , untung saja aku terpikir untuk melihat ke jam dinding, rupanya sudah hampir jam setengah enam, bergegas aku raih tas ransel kuliahku dan pamit sama rian.
"kok buru buru amat yo?" rian keheranan.
"aku janji sama kak fairuz yan, seharusnya sudah dari jam empat tadi, sekarang pasti kak fairuz menungguku.." rian mengikutiku hingga ke mobil,
"nanti malam kita jalan ya.." rian berharap, aku tak bisa berjanji tapi melihat wajah rian yang begitu berharap membuatku jadi tak tega.
"aku usahakan ya..." aku tersenyum tipis.
"kalaupun nggak bisa kamu kasih kabar jangan bikin aku menunggu tak pasti.."
"baiklah.. Aku pulang dulu ya.."
"hati hati di jalan.." rian memperingatkanku.
"makasih yan.." aku meninggalkan kost rian dan mengendarai mobil agak cepat supaya tiba dirumah segera. Baru saja aku turun dari mobil, kak fairuz yang sedang duduk didepan teras langsung menghampiriku.
"dari tempat rian ya?" selidiknya agak cemberut.
"maaf kak, tadi habis kuliah rian mengajakku ke kost nya untuk bantu beres beres..." jawabku jujur apa adanya.
"kok nggak bilang sama kakak?" tanyanya sebal.
"maaf kak, karena buru buru aku jadi lupa.." sanggahku tak enak hati.
"ya sudah.. Buruan mandi dulu, habis itu temani kakak..!"
"mau kemana emangnya?" aku ingin tau.
"sudahlah buruan mandi dulu, nanti juga kamu tau sendiri.." jawab kak fairuz tak sabar. Aku masuk ke dalam. Tak terlihat mama dan papa, rumah sepi hanya ada bik tin sedang menyuapi wenny makan.
"kak io..!" seru wenny dengan mulut penuh nasi.
"ada apa sayang.. Lagi maem ya.. Abisin dulu tuh mam nya biar cepet gede.." aku menghampiri wenny dan menciumnya.
"abang udah makan?" tanya bik tin.
"belum bik, tadi sibuk dirumah temen, jadi belum sempat makan.." aku tersenyum pada bik tin.
"tadi bibik udah masakin iga asem pedes pucuk kedondong.. Kalau abang mau makan biar bibik panasin dulu.." tawar bik tin.
"makasih bik, aku mau mandi dulu, habis itu jalan sama kak fairuz, paling kalo udah balik baru makan.." ujarku penuh terima kasih pada bik tin.
"kakak mandi dulu ya, abisin tuh nasi.." aku mencubit pipi wenny yang tembem. Ia tak menghiraukanku, sibuk memain mainkan sendok plastik ditangannya. Didalam kamar, aku langsung membuka baju dan ke kamar mandi, aku mandi selama sepuluh menit setelah berpakaian aku turun menemui kak fairuz. "udah siap?" tanya kak fairuz begitu melihatku. "udah kak, udah mau pergi sekarang?" aku masih penasaran sebenarnya ia mau mengajakku kemana. "iya sekarang.." jawab kak fairuz singkat lalu berjalan menuju halaman, aku mengikuti di belakangnya. "pake mobil kamu aja ya.." kata kak fairuz, aku mengangguk dan memberikan kunci mobilku padanya. "kita kerumah amalia sekarang.." ujar kak fairuz membuatku tersentak. "apa..? Kerumah amalia.. Memangnya mau ngapain kesana kak?" tanyaku agak kuatir. Aku takut kak fairuz berbuat macam macam disana. "kamu tenang saja, pokoknya ikut saja.. Ada yang ingin kakak selesaikan.." kak fairuz penuh rahasia. "memangnya kakak mau menyelesaikan apa sih?" aku jadi semakin kuatir. "mengenai amalia.. Kakak mau mengenal amalia dan keluarganya.. Pokoknya kamu harus jaga rahasia ini, jangan kasih tau mama dulu.." "memangnya kalau mama tau kenapa kak?" "gak usah cerewet, mau apa nggak menemani kakak kesana?" kak fairuz tab sabar. "terserah kakak lah asal jangan berbuat yang tidak tidak.." aku memberi penekanan pada ucapanku biar kak fairuz mengerti. "santai saja.." kak fairuz tersenyum dan membuka pintu mobil lalu masuk. Aku membuka pintu sebelahnya dan duduk disamping kak fairuz. Ia menyalakan mesin dan kami melaju menuju kerumah amalia. Sepanjang perjalanan aku benar benar tak bisa berhenti berpikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar