Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 22.1

Tak seperti biasanya hari ini dia berpakaian sangat rapi. Agak ramai suasana dirumahnya. Kami masuk ke dalam rumahnya dan menyalami keluarga amalia. Bapak amalia tersenyum bangga. Beberapa orang tetangganya berkumpul di depan halaman untuk melihat keramaian dirumah amalia. Sebagian dari mereka berbisik bisik. Aku dan kak fairuz duduk di lantai yang telah di alasi tikar pandan. Kursi tamu yang biasa bertengger disini telah dipindahkan untuk mengakomodasi tamu yang diprediksi bakalan ramai. Kami semua duduk rapi berderet menyender di dinding ruang tamu yang tak seberapa luas ini. Amalia dan adiknya menyuguhkan minuman dan kue kue kecil. Ada beberapa orang yang belum pernah aku lihat sebelumnya ikut duduk disini, mungkin itu kerabat amalia. Papa dan mama ngobrol sambil berbisik. Sementara odie dan om sebastian masih keluar masuk membawa hantaran ke dalam hingga terkumpul semuanya bertumpuk di tengah tengah ruangan ini. Setelah selesai menyuguhkan kue, amalia ikut bergabung bersama kami. Ia duduk diapit oleh ibu dan bapaknya. Papa memulai pembicaraan mengenai lamaran ini. Amalia tak berkata walaupun sepatah. Ia mendengarkan pembicaraan antara kedua orangtua kami. Mama mengeluarkan cincin pertunangan dari dompetnya lalu memberikan kepada amalia. Dengan dibantu oleh ibunya amalia memakai cincin itu. Kak fairuz berkali kali meremas jemarinya dengan gelisah. Aku menepuk paha kak fairuz pelan untuk menenangkannya. Kesepakatan tercapai kalau acara pernikahan ini nantinya diadakan dirumah amalia. Akad nikah dilaksanakan dihari yang sama dengan penyelenggaraan pesta nanti. Mama memberikan uang untuk dana pesta pada ibu amalia dalam jumlah yang tak sedikit. Cukup lah untuk menyelenggarakan pesta meriah.



Aku bersyukur atas hal ini. Aku yakin almarhum kak faisal ikhlas dengan semua ini. Amalia berada ditangan pria yang tepat yaitu kakak kandung kak faisal sendiri. Aku menoleh keluar, nampak kerumunan tetangga amalia yang ingin tahu sudah makin banyak. Aku heran dengan orang orang kampung sini, selalu ingin tahu urusan orang lain. Ibu amalia nampak tak keberatan melihatnya. Ia bahkan menebar senyum lebar seolah ingin menunjukkan pada tetangganya kalau hari ini dan seterusnya ia bisa menegakkan kepalanya. Jam setengah sepuluh kami mohon diri pada keluarga amalia. Sebelum pulang kami bersalaman lagi. Mereka mengantar kami hingga ke halaman rumahnya. Lamaran yang cukup kaku tapi sukurnya berlangsung lancar. Di perjalanan pulang kak fairuz sudah lebih lega dan mau bercanda. Dua minggu lagi pesta mereka akan di laksanakan. Jadi kak fairuz tak bisa lagi bersantai santai, masih banyak urusan yang harus ia selesaikan agar pesta mereka nanti berlangsung lancar tanpa kendala. Sampai dirumah keluarga kami masih berkumpul dan membahas tentang lamaran tadi. Tak ada keributan lagi kali ini, semua nampak senang, bahkan tante laras tak bisa menyembunyikan perasaan gembiranya. Biasanya jarang sekali bercanda namun kali ini kami sampai terpingkal pingkal mendengar cerita cerita lucu yang ia lontarkan. Hp ku berbunyi, ku ambil dari dalam kantong celanaku. Ternyata ada sms dari rian yang menanyakan kenapa aku tak ada kabar selama beberapa hari ini. Aku jadi tak enak hati sama rian. Aku balas sms nya dan menyuruh dia menunggu karena aku mau ke rumahnya sekarang. Aku mengajak odie juga karena tak mungkin meninggalkan odie sendirian. Rian menyambut kedatanganku dengan wajah cemberut. Sepertinya ia marah padaku.


"kalau nggak aku yang hubungi kamu duluan pasti gak akan ada kabar, memangnya kamu kemana saja?" ia bertanya dengan ketus. Odie sendiri sampai kaget mendengarnya. Aku yang sudah terbiasa menghadapi rian bisa menebak kalau ia akan bereaksi gini. Dengan sabar aku menjawab pertanyaan rian.


"bukan gak mau kasih kabar yan, dirumah lagi sibuk... Persiapan lamaran kak fairuz dan kemarin ada papa kandungku datang kerumah.. Jadi aku lagi nggak bisa konsentrasi." kemudian aku menjelaskan seluruh kronologis kejadian beberapa hari ini pada rian dan berharap ia bisa mengerti.


"paling tidak kan kamu bisa sms aku.." keluh rian cemberut.



"iya deh lain kali aku janji kasih tau kamu.." aku lega rian mau mengerti. Odie menyikut pinggangku pelan.


"ngapain sih..!" gerutuku heran.


"temperamental banget ya.." bisik odie.


"ngomong apaan kamu?" rian menyipit melihat odie.


"nggak.. Nggak kok.." odie jadi kelabakan.


"aku dengar kamu bilang aku temperamental, maksud kamu apa?" kelihatannya odie bingung sekali harus menjawab apa ia jadi serba salah.


"sudahlah rian, kenapa sih kamu ini, odie kan belum mengenal kamu.. Lagian kamu juga sih sedikit sedikit marah.." aku menetralisir suasana.


"wajar kan aku gitu karena aku sayang, kalau aku sudah nggak perduli lagi itu patut dipertanyakan seperti kamu itu nggak ada perhatiannya sama sekali." rian mengerutu lagi.


Aku diam tak menjawab apa apa, percuma saja dalam keadaan seperti ini membela diri, yang ada malah akan menimbulkan perdebatan yang tak selesai selesai ujung ujungnya berakhir dengan pertengkaran. Odie juga sih nggak bisa menjaga mulut, apa nggak bisa menunggu saat kami sudah dirumah saja untuk membahas tentang sifat rian. Untung saja aku sudah terbuka mengenai hubunganku dengan rian kepada odie jadi ia tak banyak bertanya lagi. Cuma dari sikap tubuh yang ia tunjukkan menyiratkan kalau ia jadi kurang respek terhadap rian.


"kamu udah makan yan?" tanyaku perhatian sekalian mengalihkan pembicaraan.


"belum.!" rian menjawab singkat.


"loh kenapa?" tanyaku heran.


"pikir aja sendiri, cuma kamu lah yang bisa makan dengan tenang meskipun tak mendapat kabar dari kekasih.." rian mulai lagi.


"kan aku sudah jelaskan tadi yan, kok kamu ungkit ungkit lagi, jangan membuat aku terus terusan terpojok dong.." aku benar benar tak tahu harus berbuat apa lagi. Begitulah rian kalau sudah marah sukar sekali untuk melupakan kesalahan. Kalau dia marah justru kebaikanlah yang mudah ia lupakan. Ibaratnya rusak satu ember susu hanya karena satu tetes racun.


"lagian kamu juga, sudah tau kalau aku begini masih aja diulang terus..!" rian masih kurang senang. Aku jadi malu sama odie yang melihat rian dengan pandangan tak suka.


"kalau begitu kita keluar cari makan dulu ya.." aku membujuk rian.


"makan aja sendiri, aku nggak selera.." jawab rian ketus.


"ya sudah terserah kamu kalau nggak mau aku juga gak bakalan memaksa.." aku menarik nafas berat.


"mendingan kalian masuk dulu, dingin diluar sini.." rian melebarkan pintu. Aku memberi isyarat pada odie agar mengikutiku masuk ke dalam. Walaupun seperti terpaksa odie tak banyak bicara lagi ia ikut aku masuk ke dalam. Kamar rian sungguh berantakan seolah habis diterjang badai. Aku menahan nafas karena bau apek, tak biasanya rian begini.



"kok berantakan sih yan?" aku mulai membereskan kamar kost rian.


"lagi gak semangat yo, mau ngapain juga males.." rian menggumam.


"iya aku mengerti.. Tapi suasana yang berantakan begini malah akan menambah sumpek pikiran kamu loh.." kataku sambil melipat selimut rian. Odie juga tak tinggal diam ikut membantuku.


"sudahlah nggak usah repot repot, ntar juga pasti aku beresin kok..." rian jadi tak enak hati.


"nggak apa apa.. Daripada bengong.." timpal odie membantuku menarik seprei dan merapikan bagian ujung bawah sementara aku menarik ujung bagian atas.


"makasih deh kalau gitu.." rian tak banyak berkomentar lagi, malah ia juga ikut membantu membereskan buku buku yang berserakan di lantai.


"sudah selesai acara lamarannya?" tanya rian sembari menyusun buku di atas meja belajar.


"sudah tadi barusan, pulang dari rumah amalia kami langsung kesini.." jawabku.


"lancar kan acaranya..?" rian ingin tahu.


"lumayan lancar, amalia tak banyak bicara sih, ia terima saja apapun keputusan orang tua nya dan orang tua ku." kataku sambil duduk, akhirnya selesai juga merapikan kamar rian ini, aku senang semuanya sudah berada ditempat yang semestinya. Jadi tak sumpek lagi melihatnya.


"kalau dikerjakan rame rame cepet kelar ya.." rian mengambil buku dan berkipas.


"kamu itu walaupun ada masalah jangan di pendam sendiri yan, aku tak mau kalau kamu jadi stress dan keliaran di jalan mengganggu orang orang.."


"enak aja, jangan nyumpahin aku gitu dong!" rian menimpukku dengan bantal. Aku tertawa melihat rian yang pura pura kesal.


"oh ya aku udah transfer dana ke rekening kamu, nanti kamu cek udah masuk atau belum.. Nanti kamu bayar langsung uang semester dan sksnya." aku mengingatkan rian. Ia tak langsung menjawab, namun ia memandangku dengan tatapan penuh terimakasih.


"iya rio.. Aku janji akan ganti setiap sen uang kamu yang aku pakai nantinya.." rian kelihatan tak enak hati.


"jangan pikirkan itu dulu, yang penting kamu bisa tetap kuliah, itulah gunanya sahabat yan, mungkin suatu hari nanti aku yang butuh sama kamu.." ujarku realistis.


"indahnya persahabatan seperti ini, saling berbagi dan mengerti..." odie tersenyum melihat aku dan rian.


"iya die... Beruntung sekali aku mengenal rio, kalau tak ada dia aku tak bisa membayangkan bagaimana aku nantinya.." rian mengangguk dan tersenyum sama odie.


"makanya kamu bisa lihat gimana rio sama kamu, mestinya kamu juga harus bisa mengerti rio, jangan hanya menuruti emosi saja.." nasehat odie.


"nggak tau kenapa die.. Aku selalu berpikiran yang tidak tidak kalau satu hari saja rio tak kasih kabar, aku kuatir dia sakit atau ada apa apa..." rian mencari alasan.


"atau kamu takut dia selingkuh?" tukas odie tanpa tedeng aling lagi. Rian agak terkejut tak menyangka akan mendengar kata kata seperti itu dari odie.


"itu juga salah satunya.." rian mengakui.


"kalau menyayangi seseorang tanpa memberi kepercayaan padanya itu sama saja egois.. Berarti kamu tak sepenuh hati menyayanginya.." odie meneruskan.


"tentu saja aku menyayangi rio.. Karena itu aku tak mau ia selingkuh.." rian membantah.


"terserah kamu, tapi manusia itu punya rasa bosan yan, apa kamu tak takut kalau terus terusan kamu curigai malah nanti rio merasa tak nyaman.. Dan akhirnya kejadian deh ninggalin kamu..!" odie memancing. Ekspresi wajah rian berubah. Nampaknya kata kata odie tadi mengena dihatinya.


"tak akan ku biarkan itu terjadi.." desis rian. Aku diam saja tak menimpali apapun percakapan mereka. Aku sangat berterimakasih pada odie yang mau memberikan pengertian pada rian terlepas dari rian mau menerimanya atau tidak. Setengah jam kemudian aku mengajak odie dan rian keluar untuk mencari makan. Perutku saja sudah terasa lapar lagi apalagi rian yang katanya belum makan malam. Setelah selesai makan aku mengantar rian kembali ke kost nya, aku langsung pamit pulang tanpa singgah lagi. Soalnya sudah hampir jam satu dinihari.


Rian sebetulnya agak keberatan dan menyuruh kami menginap saja. Tapi aku tak enak sama tante laras soalnya aku kan membawa odie, dan kami juga belum meminta ijin sama tante laras untuk menginap dirumah teman.


"kalau menurutku sih hubungan kalian berdua tak bakalan lama deh yo.." ujar odie saat sudah berada didalam mobil dan diperjalanan pulang kerumah.


"kok kamu bisa ngomong gitu sih?" aku menoleh melihat odie. "bukan dari kamu rio tapi dari rian.. Kalau ia tak berubah aku tak yakin kamu mampu bertahan.." odie sok tau.


"ya nggak lah die, aku yakin kok suatu hari nanti rian bakalan berubah dan lebih bisa mengerti aku.." ujarku yakin.


"entah lah, aku sih berharap gitu, tapi secara rasional kayaknya sulit.." odie tetap bertahan dengan pendapatnya.


"ya jangan doakan yang buruk buruk dong.." "nggak mungkin lah aku doakan yang buruk, cuma kamu harus bisa merubah sifat rian, kalau kamu selalu mengalah ya akan terus begitu.." nasehat odie.


"aku juga sudah berusaha, tapi rian itu kalau lagi marah suka kalap, omongannya tak boleh dibantah yang ada malah ia makin emosi.." jawabku sedih.


"itu karena kamu takut, coba sekali sekali kamu menentang dia, jangan mau mengalah terus terusan..!" odie menatapku gemas.


"soalnya aku sayang sama dia die.."


"cinta buta, ntar bisa buta beneran loh baru tau rasa..!" sindir odie sinis.


"nggak mungkin lah rian sekejam itu. Bantahku tak yakin.


"amin...." potong odie sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Pembicaraan kami terhenti karena mobilku telah memasuki pekarangan rumah. Aku berhenti untuk membuka pintu garasi. Setelah memasukkan mobil ke dalam garasi aku mengajak odie masuk ke dalam rumah melalui pintu yang ada dalam garasi. Rumah telah sepi karena semua penghuni telah tidur.


Aku dan odie masuk ke kamarku. Kami tak mengobrol lagi karena sudah sama sama mengantuk. Setelah gosok gigi dan cuci muka kami tidur. Tiba tiba mataku terpaku melihat ke jendela. Jantungku berdebar keras aku seperti melihat bayangan yang sangat aku kenal sedang berdiri di depan jendela. Karena lampu kamar telah ku matikan sedangkan lampu diluar halaman masih terang aku bisa melihat bayangan yang terpeta jelas dari balik tirai transparan.


Aku mendengar bayangan itu memanggil namaku. Tapi suaranya bukan aku dengar melalui kuping namun seperti langsung ada dalam otakku. Bulu kudukku langsung berdiri. Aku menyentuh odie dan membangunkannya. Namun tak odie tak bergeming sedikitpun. Aku menggoyang tubuh odie makin kuat namun odie tidur seperti orang pingsan. Padahal biasanya odie kalau mau membangunkannya cukup membisikan namanya saja di kupingnya maka langsung bangun. Aku merasakan lagi namaku dipanggil. Tubuhku gemetaran. Dengan hati hati aku turun dari tempat tidur dan mendekati jendela. Tiba tiba saja bayangan itu langsung hilang. Aku berani bersumpah itu kak faisal.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar