Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 16

#20 KEDATANGAN RIAN

hari berganti hari, hingga tak terasa aku sudah naik kelas dua, mama sudah semakin lunak terhadap amalia. Hubungan antara amalia dan kak faisal sudah direstui, bahkan amalia sering main kerumah. Aku senang dengan perubahan ini.
aku pun sudah beberapa kali menulis surat pada emak, balasan dari emak sempat membuat aku meneteskan air mata, kata emak yuk yanti sudah menikah. Aku sedih tak dapat menghadiri pernikahan yuk yanti. Aku menyesal telah menunda menulis surat hingga aku tak tau tentang itu. Aku janji sama emak akan kembali lagi nantinya kalau aku sudah berhasil. Emak selalu mendoakan aku. Bagi emak aku tetaplah anaknya dan tak akan berubah hingga kapanpun. Om alvin kalau ada main ke palembang pastilah menghubungiku. Terkadang aku menginap dirumah koko kalau ada om alvin. Odie setiap liburan pasti kemari, bahkan aku sudah pergi ke baturaja, tante laras walau tak terlalu dekat denganku namun sudah ada sedikit perubahan.
Aku sedang berkumpul bersama keluarga saat bik tin memanggilku karena ada orang yang mencariku. Aku bertanya pada bik tin siapa yang mencariku tapi kata bik tin dia tak kenal. Dengan bertanya tanya aku pergi ke ruang tamu. Tak ada siapa siapa, kata bik tin tadi ada yang mencariku. Aku langsung ke beranda mungkin yang mencariku itu belum masuk. Tak mungkin koko, soalnya bik tin sudah kenal sama koko. Saat aku keluar, di depan teras ada yang berdiri memunggungiku. Ia sedang mengamati taman depan rumahku. Sepertinya aku tak asing dengan sosok itu. Namun aku ragu. Jantungku berdebar keras. Seperti menyadari ada yang berada di belakangnya. Sosok itu berbalik, melihatku, senyumnya terkembang, senyuman yang pernah begitu aku rindukan, mengisi setiap detik dan menit ruang dalam hatiku. Mataku langsung berkaca kaca.
“apa kabar rio…”
ia menyapaku dengan wajah berbinar binar. Lututku langsung lemas.
“Ri… Rian..?” aku mendesis nyaris tak percaya.
“iya rio, kamu pasti kaget kan… Aku memang sengaja mau bikin kejutan..” rian tersenyum lebar, rasanya rian semakin jangkung saja lama nggak ketemu. Lututku lunglai, hampir tak mampu bergerak mendekatinya.
“kamu.. Tau… Alamat…ku…dari… Mana?” tanyaku terpatah patah. Aku tak yakin apakah ini nyata atau sedang bermimpi.
“tak susah mencari alamatmu, aku minta sama emak..” jawab rian sambil mendekatiku.
“aku nggak disuruh masuk ya?” tanya rian.
“eh.. Iya.. Iya.. Silahkan masuk… Maaf..” aku belum bisa mengatasi perasaanku. Aku ingin berteriak rasanya. Air mataku mau jatuh, tak pernah aku bermimpi akan bertemu lagi dengan rian secepat ini. tak kusangka ia masih mengingatku. Aku fikir karena sudah hampir dua tahun ia tak lagi mengingatku. Rian melangkah memasuki rumahku. Aku mempersilahkan dia duduk.
“rumah kamu bagaikan istana yo..” desis rian sambil memandangi seisi ruangan tamu. Mama memang memakai jasa desainer interior untuk menata setiap ruangan dirumah ini.
“ini rumah mama yan, aku hanya sekedar anaknya..” jawabku singkat sambil berusaha untuk menenangkan gejolak dalam hatiku.
“kamu lagi sama siapa dirumah?”
“ada papa, mama dan kak faisal..” jawabku.
“kemana mereka?”
“lagi di taman belakang rumah, bersantai”
“kamu bagai pangeran yo, beda sekali dengan kamu yang dulu, makin cakep dan bersih..” puji rian.
“ah biasa aja kok yan, aku masih yang dulu..”
“kalau begitu kamu masih sahabatku bukan?” tembak rian membuat jantungku nyaris berhenti. Saat melihat rian, perasaanku haru biru, bagaikan kembali lagi kemasa lalu.
“yan, kita ke kamarku aja ya..” aku mengajak rian karena aku mau membicarakan sesuatu yang agak rahasia, aku tak mau sampai ada yang mendengar karena ini begitu pribadi.
“kamarmu dimana?” rian nampak tertarik langsung berdiri. Aku mengajaknya ke kamarku.
“wah… Rio kamu betul betul bagaikan pangeran.. Kamarmu bagus sekali.. Wow.. Ada komputer.” seru rian sambil memegang komputerku.
“ya rian begitulah..” jawabku apa adanya. Rian sibuk berkeliling kamarku, melihat barang barang dalam kamar ini, wajahnya berbinar binar cerah. Seolah olah dia ikut senang dengan keadaanku.
“rian…” aku memanggilnya, tapi rian tak mendengar karena terlalu sibuk mengagumi koleksi miniatur yang aku punya.
“rian…” ulangku lebih keras. Rian tersentak langsung berbalik.
“iya yo ada apa?” tanya rian penasaran.
“dalam urusan apa kamu ke palembang?”
“kangen…” ujar rian sekenanya.
“yang serius yan..” desakku tak sabar.
“aku pindah kesini, sekolah disini..” jawab rian mengagetkan aku. Tiba tiba rian memelukku.
“rio aku kangen banget sama kamu..” desah rian bergetar. Aku ingin menangis mendengarnya. Pelan pelan aku melepaskan diri dari rian. Ia tercengang melihatku.
“kenapa rio?” mata rian terbeliak.
“nggak rian..” aku menarik nafas berat.
“kamu aneh sekali..”
“nggak kok rian, Cuma agak kaget aja.. aku benar benar tak membayangkan akan melihatmu hari ini...”..”
“kamu sudah punya pacar?” tanya rian. Aku menggaruk kepala bingung harus menjawab pertanyaan rian, aku mlu kalau bilang belum punya, padahal aku sudah kelas dua sekarang. Akhirnya aku menjawab jujur.
“belum rian, sampai sekarang aku belum prnah mencoba yang namanya pacaran.”
Sekilas senyum aku lihat berkelebat di bibir rian.
“sukurlah...” desisnya pelan sekali.
“memangnya kenapa rian?” aku jadi penasaran, aku pandangi lagi rian yang rasanya makin jangkung saja. Kulitnya masuh tetap putih seperti dulu, melihat rian rasanya membangkitkan semua kenanganku akan kampung halaman yang lama tak aku lihat. Rian banyak bercerita mengenai kampungku sejak aku tinggalkan, katanya sekarang erwan sekolah di sma satu, sedangkan dodi bapaknya meninggal dan terpaksa ikut bibinya kekampung. Aku mengusap dada menyebut asma allah, alangkah malangnya nasib dodi, semoga ia bisa menjalaninya, aku jadi semakin kangen dengan semua teman temanku. Aku benar benar melepas kangen dengan rian seharian itu, aku mengajak rian menginap dirumahku saat aku lihat sudah agak gelap, namun rian menolak dengan alasan tak enak sama saudaranya. Akhirnya aku melepaskan kepulangan rian dengan perasaan kangen yang belum sepenuhnya terobati.
“sering sering kesini yan..” Seru ku saat rian menuruni tangga teras rumahku. Rian mengangguk dan tersenyum lebar.
“kita tetap bersahabat rio, tenang saja.. Masih ada waktu..” jawab rian tetap berjalan tanpa menungguku. Aku mengantar rian hingga ke depan pintu. Ia naik ke mobilnya. Ternyata dia tak sendirian. Mungkin sopir yang mengantarnya. Aku mematung memandangi mobil rian yang menghilang di jalan raya.
Aku masuk ke kamar, mengunci pintu dan melompat gembira. Terimakasih tuhan kau bawakan lagi sahabatku yang sangat aku sayangi. Rasanya tak sabar menunggu esok hari untuk bertemu lagi dengan rian. Aku yakin akan merajut kembali hari hari kami yang telah sempat terhenti, aku akan melanjutkan kisah kami yang lalu, semalaman aku tak bisa tidur membayangkan akan bertemu lagi dengan rian. Aku akan mengajaknya jalan jalan ke tempat tempat terbaik dipalembang ini, rasanya aku bisa menatap hari esok dengan lebih optimis sejak hari ini.


#21 KEHAMILAN AMALIA

2002


“mau kemana yo?” tanya mama yang sedang duduk didepan televisi sambil memangku dan menyuapi makan wenny adikku yang berumur hampir tiga tahun, adikku ini sangat manja sekali, tapi ia paling dekat denganku, aku betul betul bahagia punya adik perempuan, sudah lama aku membayangkan asiknya punya adik. Dan sekarang telah menjadi kenyataan.
“bang io, ikut…” jerit wenny sambil melompat dari pangkuan mama.
“adek, ntar aja ya ikut, sekarang abang mau kerumah sakit, mau disuntik, adek mau disuntik?” aku menggendong adikku.
“nggak mau dicuntik… Nggak mauuuu!!” jerit wenny ketakutan.
“cup..cup…cup.. Adek jangan nangis ya.. Ntar dibeliin cokelat, makanya nggak usah ikut abang, ntar disuntik sama dokter..” aku membujuk wenny, mama mendelik padaku, mungkin mama sebal melihat aku hampir membuat wenny menangis, soalnya kalau sudah menangis susah diamnya. Wenny meronta mau turun dari gendonganku. Aku menurunkan wenny, ia menghambur berlari naik ke pangkuan mama.
“rio jalan dulu ma..” aku pamit.
“hati hati nak, jangan lupa nanti malam kita kerumah amalia..” mama mengingatkan.
“oke ma..” aku keluar dari rumah, mengambil mobil digarasi. sebentar lagi kuliahku selesai, aku akan menjadi seorang sarjana, setelah itu aku akan kembali ke bangka, aku akan segera bertemu lagi dengan emak dan ayuk ayukku. Lama waktu berlalu pastilah banyak perubahan yang terjadi, yuk yanti sudah punya anak, laki laki menurut surat yang emak kirim, aku sudah tak sabar ingin menggendong ponakanku itu.
Aku sudah mengatakan pada mama tentang rencanaku pulang, mama keberatan tapi ia bisa mengerti, aku sudah dewasa, bisa memilih jalan yang menurutku paling baik, pada akhirnya semua anak akan berpisah dari orangtuanya. Aku memarkir mobil di tempat yang teduh di bawah pohon mangga.
Rumah yang aku tuju terlihat sepi, pintunya tertutup. Aku mengetuk pintu. Tak sampai semenit pintu dibuka.
“jadi nggak?” tanyaku sambil masuk. Ruangan ini hanya terdiri dari satu ruang tamu, satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Memang daerah ini tempat kost kostan.
“ya jadi lah..! Aku udah nungguin dari tadi..” jawab rian berang.
“maaf yan, tadi aku lagi ngerjain tugas, jadi nggak bisa langsung kemari.” aku mengutarakan alasan kenapa aku bisa terlambat.
“alasan! Pasti kamu menemui seseorang ya!” tuduh rian.
“demi allah yan, aku nggak jalan sama siapa siapa… Percaya aku yan!” kataku memelas.
“kalau dulu aku percaya sama kamu yo, tapi saat ini rasanya sulit, kamu sudah menghianatiku sekali, tak mustahil kamu mengulanginya lagi..!”
tuduh rian tanpa perasaan.
“rian, aku sudah bersumpah, aku tak mungkin melakukan itu, aku tak pernah dengan siapapun, itu Cuma kesalah pahaman..!” aku membela diri. Aku tak sanggup lagi mendengarkan tuduhan rian yang tak berdasar itu. hampir putus asa rasanya meyakinkan rian, semua ini salahku. Rian sudah berubah. aku menjalin hubungan dengan rian, dia satu kampus denganku, kalau aku mengambil jurusan ekonomi, rian mengambil jurusan hukum. Dan sekarang ia seolah menghukumku yang pernah mengecewakannya. Setiap aku berbuat salah sedikit saja, rian tak segan segan menuduhku. Ia betul betul tak bisa aku mengerti, terkadang aku merindukan saat saat dulu, ketika dia begitu baik padaku. Namun itu sepertinya mustahil.
Rian selalu mengandalkan kecurigaan. Jarang sekali perbuatanku betul dimatanya. Seolah ia memilikiku sebagai pelampiasan dendam atas kesalahan yang telah aku lakukan. Aku terjepit diantara dilema. Melanjutkan hubungan tapi aku hidup dalam kecurigaan dan serba salah, memutuskan hubungan dengan rian tapi aku sudah terlanjur mencintainya. Dialah cinta pertamaku dan aku harapkan menjadi yang terakhir. Aku masih berharap, andaikan aku bisa bersabar, mungkin lama kelamaan rian akan mengerti bahwa cintaku tulus padanya. Yang jadi tanda tanya besar sekarang, sampai berapa lama aku bisa bertahan dengan hubungan yang bagai telur diujung tombak ini.
Kalau cuma kemarahan dan curiga yang rian limpahkan padaku, itu bisa aku terima. Tapi tak jarang rian memukulku. Memukul dalam artian sebenarnya. Terkadang meninggalkan bekas bilur bilur dibagian yang ia pukul. Aku merasa begitu asing dengan rian yang sekarang. Ia betul betul telah berubah total. Namun anehnya setiap kali ia selesai memukulku, ia akan menangis, kemudian memeluk aku erat erat, seolah olah ingin melindungiku. Menghilangkan perasaan takut pada diriku. Seolah tak terjadi apa apa. Seolah olah orang lain yang habis menyakitiku dan ia ingin melindungiku. Beberapa kali aku mengatakan ingin mengakhiri hubungan kami, namun rian tak terima, ia meratap memohon dan mengancam akan bunuh diri kalau aku sampai meninggalkan dia. Aku tau itu tak main main, rian adalah orang paling serius yang aku kenal. Ia tak pernah sekadar mengancam. Kalau ia bilang A, maka A, kalau ia bilang B maka B itulah. Rian betul betul menguras pikiranku setiap hari. Bukan ini yang aku impikan dulu ketika menerima rian sebagai teman lelakiku. Tapi yang lebih membuat aku tak habis pikir lagi. Kadang ia betul betul baik dan perhatian. Ia sangat memperhatikan aku dari hal yang paling kecil sekalipun. Ia memperhatikan aku seolah memujaku.
aku menemani rian kerumah saudaranya, dulu waktu awal pindah, ia tinggal dirumah saudaranya itu, tapi akhirnya ia memilih kost dengan alasan ingin lebih mandiri, Ia tak pernah berpacaran dengan siapapun selama yang aku tahu. Dia sekolah ditempat yang sama denganku. Persahabatan kami kembali terjalin, walaupun rian menjadi lebih pendiam, tapi perhatiannya kepadaku tak pernah kurang, Waktu terus berjalan, aku lulus sma, kemudian masuk ke perguruan tinggi, demikian juga dengan rian, tak lama aku kuliah rian memohon agar aku bisa menerima karena ia sudah lelah berharap, menunggu saat itu datang. Aku yang sendiri merasa tak ada salahnya menerima rian lagipula aku sudah mengenal dia dari smp dulu, dia adalah orang pertama yang sempat masuk kedalam hatiku.
Namun tak lama setelah aku menerimanya, rian mulai berubah, ia mulai menunjukkan egonya, mulai suka melarang aku bergaul, terlalu posesif dan over protectif, seringkali kecemburuannya yang tak beralasan ia tunjukkan dengan penuh emosi tanpa bertanya terlebih dahulu, pernah ia melihat aku jalan dengan koko, ia cemburu, saat kami berdua ia langsung menampar pipiku. Aku betul betul kaget waktu itu, tamparan pertama dari rian, aku sudah berusaha menjelaskan posisi koko bagiku, namun tak ia gubris. Ia tak mau percaya. Bahkan ia mengata ngatai aku murahan. Mata keranjang, dan lain sebagainya yang membuat kupingku jadi merah mendengarnya. Bahkan waktu aku mencoba untuk melawan waktu mencekal leherku, ia malah meninjuku.
Aku tak bisa terima perbuatannya itu, aku pulang dan tak mau lagi bertemu dengannya. Tiap hari dia mencariku kerumah, hingga akhirnya dia telpon dan mengancam akan menceritakan hubungan kami dengan keluargaku. Aku yang tak ingin membuat keributan terpaksa menemuinya. Dia meminta maaf, memelukku dan berjanji tak akan pernah lagi mengulanginya. Itulah hari pertama aku dan rian melakukan hubungan badan. Tak kusangka rian betul betul bisa membuat aku terbang dengan cumbuannya. Diatas tempat tidur rian adalah teman bercinta yang asik, tak egois, ia lebih mengutamakan kepuasanku, ia betul betul tahu titik di tubuhku yang paling nikmat disentuh. Rian memperlakukan aku bagaikan seorang kekasih sejati yang memuja kekasihnya. Aku kira hari hari setelah itu akan lebih indah, ternyata aku salah. Rian sekarang bukanlah rian yang dulu......
****************


aku dan rian tak berlama lama dirumah saudaranya, jam tiga rian mengajak pulang. Aku dan rian berkeliling dengan mobil hingga sore. Setelah mengantar rian kembali ke kost, aku pulang kerumah. Aku mencari wenny dikamar mama, rupanya dia sedang tidur. Mama keluar dari kamar mandi. Rupanya mama habis mandi.
“tumben pulangnya cepet yo?” tanya mama sambil melepaskan lilitan handuk yang menutupi rambutnya.
“iya ma, tadi temani rian kerumah saudaranya, tak lama habis itu pulang, mau jalan malas soalnya gerah!” jelasku sambil menghampiri adik kesayanganku dan mencium keningnya pelan agar ia tak terbangun.
“ada liat faisal nggak?” tanya mama.
“nggak ma, mungkin lagi bantu bantu dirumah amalia.”
“oh ya..mungkin..” karena mama mau berpakaian, aku keluar dari kamar mama. Malam ini dirumah amalia ada acara selamatan karena amalia sudah berhasil menyelesaikan kuliah dan menjadi sarjana. Kami sekeluarga diundang. Tadi mama sudah wanti wanti agar aku jangan sampai lupa datang.
Hubungan kak faisal dengan amalia memang cukup lama bertahan. Sudah enam tahun mereka berpacaran. Aku cukup salut dengan kak faisal. Dia bisa bertahan selama itu berpacaran dengan seorang gadis. Lucu kalau aku ingat dulu pernah terpikir menyukai kak faisal. Padahal setelah lama aku tinggal serumah, baru terasa hubungan kakak adik yang nyata. Aku bahkan sampai merinding membayangkan andai dulu kejadian aku sama kak faisal. Ternyata memang segala sesuatu itu tak boleh terburu buru, kadang apa yang kita pikirkan hari ini yang terbaik belum tentu yang terbaik di masa datang. Malah bisa menjadi yang terburuk yang justeru akan kita sesali, karena semakin bertambah usia, pikiran kita menjadi bertambah dewasa, segala sesuatu yang akan kita perbuat cenderung kita pikirkan. tak seperti waktu masih remaja, berbuat dulu baru berfikir.
Aku pergi ke kamar, kemudian mandi, setelah itu aku duduk diruang tamu. Baru saja aku duduk, tiba tiba handphone ku berbunyi. Suara sms masuk. Segera aku baca. Sms dari koko. Ia memberitahuku kalau om alvin dan isterinya sedang mengurus perceraian mereka. Aku balas sms itu, aku bilang sama koko kalau aku ikut prihatin. Meskipun hal itu sudah aku duga akan terjadi. Om alvin sering menghubungiku, terkadang ia curhat mengenai masalah keluarganya. Ia selalu menasehatiku agar jangan sekali kali menikah tanpa dilandasi rasa cinta. Itu akan menjadi penderitaan yang panjang. Ternyata sekarang semua terjadi. Om alvin tak berhasil mempertahankan pernikahan mereka. Ia sudah tak sanggup lagi mengarungi rumah tangga bersama tante sophie. Om alvin yang begitu kebapakan, selalu menasehatiku tentang kehidupan. Terkadang aku malah merasa om alvin lebih perhatian padaku ketimbang papa.
“assalamualaikum..” kak faisal masuk kerumah.
“waalaikum salam..” jawabku.
“tumben dirumah dek?” tanya kak faisal.
“nggak juga kak, tadi udah jalan bareng rian.”
“oh ya dek, abang ingin tanyakan sesuatu sama adek..”
“mau tanya apa kak?” tak biasanya kak faisal bersikap seperti ini. Biasanya ia langsung bicara saja tanpa bertanya.
“kita ke kamar kakak…!” ujar kak faisal. Aku bangun mengikuti kak faisal ke kamarnya. Kak faisal menutup pintu kamar.
“ada apa kak?” tanyaku ingin tau. Kak faisal terlihat gelisah. Ia sepertinya ragu apakah harus bicara atau tidak.
“ada apa kak, tadi katanya kakak mau ngomong..?” ulangku.
“adek…”
“iya.. Kenapa?”
“bisa jaga rahasia nggak?” kak faisal membuatku bingung.
“bisa kak.. Memangnya kenapa?” aku memastikan.
“amalia dek..”
“kenapa amalia kak?” desakku, karena kak faisal masih saja agak ragu. Apa yang ingin ia sampaikan. Ada apa dengan amalia.
“amalia hamil…”
“AMALIA HAMIL..???” teriakku kaget. Kak faisal jadi panik langsung membekap mulutku.
“dek.. Pelan pelan dong, nanti mama dengar..” mohon kak faisal, aku mengangguk, kak faisal melepaskan tangannya dari mulutku.
“kok bisa kak?” tanyaku tak percaya.
“itulah kenyataannya dek.. Kakak juga kaget.. Benar benar kaget, tapi semua sudah terjadi..” kak faisal terdengar menyesal.
“kakak kukira amalia gadis baik baik..ternyata aku salah…” ujarku belum bisa menutupi perasaan kaget mendengar berita ini. Kak faisal memang tak berpikir panjang, usianya baru 23 tahun, mungkinkah mama mengijinkan kak faisal menikah secepat itu? Lagipula ini terlalu mendadak, bisa bisa papa akan mengamuk gara gara ini. Aduh aku nggak bisa berpikir, kepalaku betul betul pusing, kak faisal selalu saja membuat masalah, apa tak pernah ia mau sekali saja memikirkan orang lain, bukan cuma egonya sendiri, sekali saja aku ingin kak faisal memakai otaknya.
Sudah banyak orangtuaku memberikan pengertian untuk kak faisal, mama pada awalnya menentang hubungan mereka, ternyata kak faisal memang tak pernah perduli akan itu semua. Aku kecewa sekali sama kak faisal.
“dek, kakak harus bagaimana?” desak kak faisal panik.
“entahlah kak, aku bingung.. Ini betul betul gila.. Sudah berapa bulan kak?” tanyaku gelisah.
“sebulan setengah dek.. Kakak bingung, tak bisa terlalu lama menutupi masalah ini, lama lama kandungan amalia akan membesar, dan orang akan segera menyadarinya..” desis kak faisal takut.
“kakak sendiri bagaimana, keputusan kakak apa?” tanyaku ingin tau.
“itu yang bikin kakak bingung, bagaimanapun juga kakak belum siap kalau harus kawin dek..” keluh kak faisal.
“tapi kakak harus bertanggung jawab! Tak boleh lari begitu saja, perbuatan kakak sama amalia akan mencoreng muka keluarga kita kak!” ujarku dengan nada tinggi.
“dek jangan bikin kakak tambah bingung..” ratap kak faisal ketakutan. Aku berbalik tak perduli, aku betul betul kecewa sama kak faisal, kalau memang ia mau melakukannya kenapa tak mencari cara yang aman, menggunakan kontrasepsi atau apapun yang bisa dipakai mencegah kehamilan. Kalau sekarang semua sudah terlambat, tak akan bisa ditutupi lagi.
“dek tolong jangan pergi dulu, kakak butuh teman bicara..!” kak faisal memohon tapi tak kuhiraukan. Aku memang sangat kecewa. Kak faisal tolol, bodoh tak punya otak. Aku membanting pintu kamar kak faisal lalu pergi dengan marah.
“loh kenapa ini, kok pintunya dibanting gitu?” tanya mama heran.
“nggak kenapa napa ma..” aku berlalu begitu saja meninggalkan mama.
“rio mau kemana… Udah magrib..!” teriak mama. Aku tak perduli terus berjalan menuju garasi, aku masuk ke dalam mobil dan segera menyalakan mesin.
“riooo….! Mau kemana… Nanti malam kita ada acara dirumah amalia..!” teriak mama menyusulku. Aku membuka kaca mobil.
“mama pergi aja.. Aku nggak ikut, ada kerjaan..” teriakku dari dalam mobil lalu tancap gas. Tak perduli lagi mama mau marah itu urusan nanti. Aku bingung mau kemana, berputar putar ditengah kota ini makin menambah kepalaku pusing. Akhirnya aku ke matahari berjalan dari konter ke konter tanpa tujuan. Aku bingung mau beli apa. Akhirnya aku pergi ke konter celana jeans, aku membeli beberapa macam celana. Kalau lagi ada masalah aku lebih suka berbelanja. Terdengar mirip perempuan, yah aku tak perduli yang penting aku tak merugikan orang lain. Aku ingin menenangkan diri sebelum ledakan besar dirumah terjadi.
Setelah membayar semua barang yang aku beli, aku keluar dari mall, kumasukkan belanjaan dalam bagasi, kemudian aku mengemudi mobil menuju kerumah koko. Untung saja koko nggak kemana mana.
“dari mana yo, tumben jam segini udah muncul..?” tanya koko.
“dari jalan jalan ko..”
“ayo masuk yo, kebetulan dirumah lagi nggak ada siapa siapa.. Oh ya yo besok om alvin mau kesini, urusan perceraiannya sudah beres..” koko menjelaskan sambil mengajakku duduk dikursi ruang tamu.
“syukurlah kalau memang sudah selesai, tapi aku kasihan juga perkawinan mereka jadi kandas seperti itu..” ujarku prihatin.
“mama justeru senang om alvin akhirnya sadar, kalau nggak cerai om akan menderita terus..” kata koko.
“oh ya ko kamu nggak jalan sama rini?”
“kan semalam udah, nggak enak pacaran ketemuan terus yo, cepet bosan..” ujar koko sambil berdiri.
“loh mau kemana?” tanyaku.
“bikinin minum dulu, tunggu sebentar, atau mau nyantai dikamar langsung aja kesitu..” jawab koko sambil meninggalkanku. Aku beranjak ke kamar koko. Baru saja aku rebah ke tempat tidur, handphoneku berbunyi. Nama rian berkedip di layar. Aku angkat.
“ya sayang ada apa?” tanyaku.
“sayang lagi dimana, aku mau ngajak kamu jalan jalan, bete di kost terus, aku kangen.. Jemput aku dong.” kata rian memelas. Ya ampun baru aku mau bersantai, kenapa sih nggak dari tadi bilang mau ngajak jalan.
“iya yan, tunggu ya.. Sekitar jam delapan aku jemput, kamu siap siap dulu.”
“oke, jangan telat lagi ya!” rian memperingatkan.
“iya yan..” aku menutup pembicaraan. Mengantong hp kemudian beranjak dari tempat tidur. Baru jam tujuh masih ada waktu satu jam lagi, lumayan masih bisa bersantai dulu. Koko masuk membawa dua cangkir kopi dengan krimer.
“minum yo” tawar koko.
“makasih ko, kayaknya aku nggak bisa lama, soalnya ada janji sama rian.” kataku sambil mengambil secangkir kopi lalu meminumnya sedikit.
“kenapa sih rian kalau sama aku kayaknya nggak suka?” tanya koko.
“nggak kok ko, itu cuma perasaan kamu aja..” aku berusaha menutupi, sebetulnya rian memang tak suka sama koko karena terlalu akrab denganku, rian cemburu katanya koko ada mau padaku. Aku tak perduli apa yang rian pikirkan tentang aku dan koko karena memang tak ada apa apa, percuma saja aku menjelaskan kalau rian tak mau dengar, cuma kalau aku lagi sama koko, aku berusaha menjaga jangan sampai rian tau. Tepat Jam delapan aku pamit pada koko, aku mau menjemput rian, malam ini aku mau tidur di kost rian saja. Sampai di kost, rian sudah menunggu. Tanpa berlama lama ia langsung mengunci pintu lalu naik ke mobil.
“kamu udah makan?” tanyaku pada rian.
“belum, mau makan sama kamu.” jawab rian.
“kalau lapar nggak perlu nunggu aku, makan aja dulu yan, nanti kamu sakit.” nasehatku.
“aku nggak bisa yo, kalau aku belum memastikan kamu udah makan, aku nggak bisa makan.” ujar rian.
“iya yan, makasih kamu selalu memikirkan aku..”
“aku pasti memikirkan kamu, nggak tau kamu gimana, kalau nggak aku telpon, kamu jarang telpon duluan..” ujar rian. Aku tak tahu harus menanggapi apa, ada benarnya juga yang ia katakan. Bukan apa apa soalnya aku sering merasa tak nyaman dengannya. Ia sering curiga dan menuduh tak jelas. Sebesar apapun cintaku padanya hampir tertutupi oleh perasaan kuatir. Siapa yang betah kalau selalu dicemburui, dicurigai seperti aku tak pernah benar.
“sayang, malam ini aku tidur sama kamu ya!” kataku pada rian.
“boleh, udah lama kita nggak sayang sayangan..” balas rian semangat.
“aku capek yan..” keluhku.
“oke, ntar aku pijat, emangnya habis ngapain sih kok capek, aku heran sama kamu yo, masa nggak pengen sih, atau memang kamu sudah terpuaskan oleh yang lain?” lagi lagi rian bertanya hal yang tak aku sukai.
“nggak yan, please deh.. Jangan suka ngomong kayak gitu, aku nggak suka.” ujarku sebal.
“habis kamu aneh, masa nggak kangen mesra mesraan sama pacar sendiri, yo kamu itu tulus nggak sih mencintaiku?” tanya rian sambil mengganti lagu di tape mobil.
“kenapa harus bertanya lagi, aku tulus yan, betul betul tulus..” jawabku jujur.
“kalau gitu aku mau mesra mesraan malam ini.” paksa rian. Aku tak menjawab, terserah rian, itu memang hak dia, aku adalah pacarnya jadi aku tak bisa menolak.
Kami telah sampai di restoran. Aku memesan makanan kesukaan rian, ia makan dengan lahap, bahkan sesekali ia menyuapiku, aku berusaha menolak karena malu, ini tempat umum tapi rian cuek. Beberapa pasang mata melihat kami, aku canggung namun rian tak perduli.
“yan, nggak enak dilihat orang.” aku berbisik.
“orang gak kasih kita makan, perduli setan dengan orang orang, emangnya mereka pikir mereka siapa?” balas rian tak perduli.
Selesai makan aku merokok. Rian meminta satu batang. Tak biasanya rian begitu, apakah ia belum menerima kiriman dari orangtuanya di bangka. Mau menanyakannya aku takut rian tersinggung, aku pernah mencoba kasih ia uang dulu namun ia nggak mau terima, katanya ia mencintaiku bukan karena uangku, tapi karena memang mencintaiku. Aku percaya kalau masalah itu, soalnya waktu ia menyatakan suka dulu, keadaanku belum seperti ini, aku masih tinggal bersama emak yang sederhana. Aku menghabiskan rokok lalu mengajak rian pulang.
“masuk yo..” ajak rian sambil membuka pintu.
“makasih yan.. Gila penat banget rasanya.”
aku langsung merebahkan diri diatas kasur. Rian sangat pembersih, walaupun tak begitu besar kost ini, namun ia tata dengan rapi. Segala barang barang tersusun pada tempatnya. Tak ada kesan berantakan sedikitpun. Rian memang menyukai kebersihan dan kerapian. Aku baru tahu kalau dia rajin merawat kulit dan wajah, dulu waktu aku mengenalnya aku kagum dengan mulusnya dia, ternyata semua itu karena perawatan.
Rian baring disampingku.
“aku pijat ya, mau nggak?” tanya rian.
“boleh kalau kamu nggak capek..”
“untuk kamu nggak ada istilah capek yo, apapun aku lakukan..” rian beranjak mengambil body lotion. Ia membuka bajuku lalu mengoleskan lotion merata disekujur punggungku. Tangannya bergerak searah melakukan pijatan yang konstan, melemaskan otot dan urat uratku yang kaku. Nyaman sekali rasanya. Aku betul betul rileks sekarang. Lama juga rian mengurutku.
“kamu udah capek yan?” tanyaku.
“belum yo, santai aja, aku suka kok melakukan ini, kamu nggak usah kuatir, kalo capek juga aku bisa berhenti ntar..”
jawab rian sementara tangannya meremas bahuku. Aku terpejam karena nyaman. Sambil memijat, rian mengajakku ngobrol, banyak yang kami bahas, dia bahkan bercerita tentang papanya yang sekarang sakit keras, dirawat dirumah sakit di bangka. Sebetulnya ia mau pulang, tapi belum memungkinkan karena masih banyak tugas kuliah yang harus di kerjakan. Aku prihatin mendengar ceritanya. Pantas saja rian tak punya rokok, pasti persedian uangnya lagi tipis jadi ia harus berhemat.
“yan, kamu kalau butuh sesuatu jangan segan segan ngomong, kamu tau sendiri kan, kita itu bukan orang asing, jadi apapun yang menjadi masalahmu, itu menjadi masalahku juga..” aku mencari kata yang tepat agar rian tak merasa tersinggung.
“iya yo makasih, aku tau kamu baik, aku nggak apa apa kok yo, tenang aja, semua masih normal aja, cuma aku sedikit kuatir mengenai papa, jantungnya mengalami pembengkakan, beliau harus di opname, kasihan mama pasti kebingungan.” curhat rian sambil terus memijat aku. Aku berbalik, kemudian duduk menghadap rian.
“yan, kamu betul betul menganggap aku pacar kamu kan?” aku bertanya walaupun sudah tau jawabannya.
“kenapa kamu menanyakan itu?” rian heran.
“kalau aku kekasih kamu, aku ingin kamu membuang ego kamu, aku tau kamu sedang ada masalah keuangan, izinkan aku untuk menunjukkan keperdulian pada orang yang aku cintai..” aku berusaha membujuk agar rian mau menerima bantuan dariku. rian terdiam seperti sedang berpikir. Wajahnya berubah sendu, jarang aku melihat ia seperti ini, pastilah beban yang sedang ia tanggung sekarang begitu berat.
“yo.. Terimakasih untuk tawaranmu, aku akui memang aku lagi kesulitan, keuanganku saat ini betul betul parah, sudah satu bulan lebih aku tak menerima kiriman dari mama, begitu banyak kebutuhan, adikku yang bungsu baru mau masuk kuliah butuh banyak dana, belum lagi perawatan papa, itu butuh banyak dana, aku ingin mencari pekerjaan disini…” jawab rian sedih.
“terserah kamu yan, kalau memang ada pekerjaan silahkan kamu kerja, tapi itu belum pasti kan, kalau kamu diterima ya sukur, tapi walaupun kamu kerja, pastilah gajinya baru dibayar setelah satu bulan, nah selama menunggu itu, kamu mau makan apa?” tanyaku simpati.
“tenang aja yo, tuhan menciptakan manusia dilengkapi dengan otot dan otak, mengandalkan keduanya mustahil kelaparan.” jawab rian diplomatis.
“iya sih yan.. Tapi izinkan aku membantumu walaupun tak seberapa, aku ingin meringankan beban kamu, andai kamu tak terima, anggap saja ini pinjaman. Kalau kamu sudah ada uang baru kamu bayar, gimana?” aku berusaha membujuk rian. Ia diam lagi, kemudian mengangguk.
“aku pinjam yo.. Makasih ya..” berat sekali kelihatannya rian menjawab. Aku mengangguk tersenyum padanya.
“tenang aja sayang, nggak usah dibesar besarkan, aku ikhlas kok, aku justeru sedih kalau kamu nggak mau memakai uangku seolah kamu anti kepadaku.”
“iya yo.. Aku tau..”
“besok aku ke atm ngambil uang..” ujarku.
“iya yo, nggak apa apa..” rian berhenti mengurutku. Kemudian aku berbaring, rian ikut berbaring disampingku. Rian menyenderkan pipinya di dadaku. Tangannya menggenggam tanganku.
“rio, andai kamu bisa membaca pikiranku, membuka isi hatiku, kamu akan mengerti berapa besar rasa cintaku padamu..” desah rian menarik nafas panjang. Aku tersenyum, membelai pipi rian, menelusuri setiap lekuk wajahnya. Bibirnya, hidungnya yang mancung, alisnya yang tumbuh begitu tebal dan rapi, matanya tajam dengan bola mata yang bening dan teduh. Aku senang kalau rian lagi tenang seperti ini, seperti kembali rian yang aku kenal dulu. Walaupun sekarang kami telah sama sama dewasa. Yang berubah pada rian hanyalah rambutnya yang sekarang di potong ala ferry salim, model tintin.. Memang model ini lagi trendy. Tubuh rian lebih terbentuk dan tegap. Jambang yang tumbuh diantara kuping dan pipinya itu ikal tebal hingga perbatasan tulang rahang. Sebetulnya aku beruntung dicintai rian, begitu banyak cewek kampus yang naksir sama dia, tapi ia tak mengacuhkan sama sekali. Ia bersikap cuek, itu malah membuat sebagian besar yang tergila gila pada rian menjadi penasaran. Tapi rian tetap setia padaku. Ia tak mau berpacaran dengan yang lain, walaupun aku tak melarang ia punya pacar cewek. Bagi rian kesetiaan adalah nomor satu, pantang baginya untuk melanggar, dan diapun berharap aku bisa sepertinya. Menjaga kepercayaan yang ia berikan. Tak pernah menduakannya. Apalagi selingkuh.
Aku tak keberatan untuk setia, aku bisa melakukannya. Tapi terkadang rian suka cemburu buta, kalau ia melihat aku jalan sama seseorang terlalu akrab, ia bakalan marah besar, mengamuk bahkan tak segan memukulku. Bukan hanya aku yang ia pukul. Ia akan mencari gara gara untuk melampiaskan marahnya pada orang yang membuat ia cemburu. Makanya aku selalu berhati hati agar temanku jangan sampai terkena pukulan rian.
“rio kamu sudah tidur?” bisik rian pelan tepat di kupingku.
Aku menggeleng sambil terpejam. Rian mencium pipiku lembut setelah itu ia tidur berbantalkan lenganku. Subuh aku terbangun, jam di dinding menunjukkan setengah empat. Rian masih terlelap. Aku merubah posisi karena tanganku mulai pegal di tindih kepala rian. Aku menarik bantal, mengganti posisi tanganku dengan bantal. Rian mengeliat sebentar lalu tertidur lagi. Aku pandangi wajahnya lama lama. Aku betul betul mencintai rian lebih dari siapapun. Aku tak ingin kehilangannya. Aku yakin nantinya rian akan menyadari perasaanku ini, ia mau merubah sikapnya yang terkadang susah aku tebak. Aku ingin rian selalu seperti ini.
“yo bangun, sarapan dulu..” rian membangunkanku, ia mengoyang bahuku pelan. Aku mengeliat malas dan membuka mata, sinar matahari yang menerobos lewat jendela menyilaukan hingga aku menyipit karena mataku terasa pedih.
“jam berapa sayang?” tanyaku pada rian yang sedang duduk disampingku sambil ku duduk menyibakkan selimut.
“jam delapan yank… Cuci muka dulu sana, habis itu sarapan, aku udah belikan bubur ayam..” rian merapikan selimut dan melipatnya. Aku beranjak ke kamar mandi mencuci muka. Keluar dari kamar mandi aku lihat rian sedang merapikan kasur, ia menepuk bantal dan menyusunnya bertumpuk disisi atas.
“sarapan yuk.. Kamu pasti udah lapar..” rian duduk dilantai yang dialasi karpet plastik. Ia membuka karet bungkusan bubur ayam lalu menuang ke mangkuk. Aku duduk disampingnya.
“wah.. Enak banget aroma buburnya yank, beli dimana?” “beli sama bapak tukang bubur yang tiap pagi lewat depan rumah, ayo dimakan nanti keburu dingin.” ujar rian memberikan mangkok itu padaku.
“makasih sayang..” aku tersenyum pada rian dan mengambil mangkok berisi bubur ayam hangat dan kerupuk.
“kamu tidur nyenyak banget yank, emangnya mimpi apa tadi?” tanya rian sambil menyendokkan bubur lalu memakannya.
“mimpi apa ya?.. Kayaknya aku mimpi tentang kamu deh yank, kita berdua keliling candi borobudur, rasanya bagai nyata..” aku mengingat ingat mimpiku semalam.
“kapan ya kita bisa ke jogja sama sama.. Pengen liburan sama kamu, pasti menyenangkan sekali,..” ujar rian tersenyum. Kemudian ia mengulurkan sendok berisi bubur ke mulutku. Aku bergeser mendekat lalu memakannya.
“kamu maunya kapan, aku bisa ngajak kamu ke manapun yang kamu suka..” aku menyendokkan bubur lalu menyuapi rian.
“yo kamu tau nggak, saat saat seperti ini yang paling buat aku bahagia, andaikan aku bisa memiliki kamu seutuhnya yo, kapan ya itu bisa terjadi?” tanya rian sambil terpekur. Aku mengangkat gelas berisi air putih lalu menyorongkan ke mulut rian. Ia meminumnya sedikit. Kemudian mendorongnya pelan, aku menarik gelas itu dan meminum isinya hingga tertinggal setengah.
“sabar rian, kita jalani hubungan kita ini dengan optimis, kalau kita yakin dan tetap setia, pasti akan bertahan lama.” jawabku sambil menyuapi rian lagi.
“iya yo, tapi aku takut kamu berpaling, kamu kan banyak penggemar..” imbuh rian sambil menelan bubur.
“saling percaya itu yang paling penting sayang.. Aku tak terniat sedikitpun untuk menduakan kamu, bagiku cintamu sudah melebihi apapun..” kata kataku terputus karena rian menempelkan sendok berisi bubur ke bibirku.
“aku harap begitu, kalau sampai ada yang berani mengganggumu atau kamu selingkuh, aku tak akan pernah memaafkan, nyawapun aku pertaruhkan..” tikam rian tajam. Aku minum lagi karena erongkonganku rasanya tercekat.
“jangan ngomong begitu yan, aku takut..”
“kalau kamu setia tak perlu takut.. Kalau kamu takut artinya di otak kamu ada terpikir untuk selingkuh.” ujar rian menatapku tajam.
“sudahlah yan, berhentilah bersikap seolah olah aku ini tukang selingkuh..”
“soalnya kamu sudah pernah hampir selingkuh..” ungkit rian.
“itu kan dulu, sekarang nggak lagi, kan udah ada kamu..” aku mencium bibir rian agar ia diam.
“kalau merayu paling pintar.. Dasar…!”
rian memencet hidungku dengan gemas. Aku tertawa kecil.
“mandi sana! Bau tau…!” rian ikut tertawa.
“oke aku mandi dulu, mau ikut nggak?” candaku sambil berdiri dan ke kamar mandi.
“dengan senang hati!” rian tertawa dan menyusulku masuk ke kamar mandi. Aku dan rian mandi bersama sama, saling menyabuni tubuh, rian menggosok sekujur tubuhku dengan spons berbusa. Kami menyirami. Ia menggelitik pinggangku, aku mengusap wajahnya dengan busa sabun. Kami bercanda dalam kamar mandi.
seharian aku bermalas malasan di kost rian, bercanda dan ngobrol hingga menjelang sore, setelah itu aku pulang. Baru saja aku sampai dirumah, kak faisal langsung menghampiriku, seperti orang stress wajahnya.
“dek, tolong kakak mau bicara, masalah ini hanya adek yang tau, kakak bingung harus ngapain..!” kak faisal menarik tanganku dan menyeretku ke kamarnya.
“itu urusan kakak, aku tak mau ikut campur, nikahi amalia kalau kakak memang lelaki..” jawabku malas, aku tak mau memikirkan masalah ini, kak faisal tak boleh pengecut seperti itu. Kalau sudah ada masalah baru menyesal.
“adek ini gimana sih, nggak perduli sama kakak sedikitpun..” kak faisal cemberut.
“lalu kakak mau aku ngapain?” tantangku.
“dek, tau nggak dimana dukun beranak yang bisa gugurin kandungan?” tanya kak faisal murung.
“dukun beranak? Nggak tau.. Aku belum pernah beranak!”
ujarku sewot.
“adek, kakak serius, tolong dek, pikiranku kacau, nggak tau harus gimana… Benar benar buntu..!”
ratap kak faisal. Aku menghenyakkan pantat diatas tempat tidur. Bete sekali rasanya melihat kak faisal, bukannya bertanggung jawab, malah mau cuci tangan dari masalah, mau untungnya sendiri, amalia juga sebagai perempuan tak bisa menjaga diri, setelah kejadian begini baru dia sadar bagaimanapun juga ia tetaplah seorang korban. Tak akan bisa ngapa ngapain, mama kalau tau masalah ini aku yakin akan berang, kebaikan mama selama ini telah mereka nodai dengan mengecewakan mama, kak faisal masih kuliah, andai ia mau menikah aku sangsi mama akan mengizinkan, paling juga reaksi mama tak beda jauh dengan kak faisal, aku yakin mama akan menyuruh kak faisal mengajak amalia menggugurkan kandungan setelah itu mama akan melarang hubungan mereka. Aku kenal sekali dengan mama. Dan kak faisal tak mungkin tak mengetahui itu. Makanya ia panik.
“kakak mau cari nanas muda, kata rizal ia pernah kasih ke ceweknya waktu hamil dan berhasil..” ujar kak faisal mantap.
“kalau nggak berhasil gimana kak?” aku tak yakin.
“coba cara lain, pokoknya adek jaga agar jangan sampai keceplosan ngomong sama siapapun, kakak lagi berusaha tak membiarkan semua menjadi parah..”
“terserah kakak kalau memang itu sudah menjadi keputusan kakak, gak nyangka akhirnya kakak hanya akan menjadi pembunuh.. mendingan orang lain yang dibunuh.. ini darah daging sendiri..!” Timpalku datar, aku hanya bisa berharap semua berjalan lancar, kalau memang harus begitu. Semoga lain kali kak faisal mau memakai otaknya. Pintu kamar diketuk terdengar suara bik tin.
“bang faisal, ada amalia..” seru bik tin. Kak faisal langsung pucat.
“aduh dek. Gimana ini.. Kenapa sih amalia harus kesini..” kak faisal panik. Aku berusaha menenangkan kak faisal.
“kak, temui aja, kakak nggak boleh menghindar, ia kan pacar kakak, kenapa kakak harus takut, aku yakin amalia tak akan gembar gembor, dia juga pasti sedang panik sama kayak kakak.”
“tapi dek, kakak belum siap, dari kemarin ia bikin kakak gerah, ia selalu saja menuntut kakak untuk bertanggung jawab. Kakak pusing..” keluh kak faisal, sementara itu bik tin masih terus mengetuk pintu kamar.
“iya bik.. Tunggu sebentar..!” teriak kak faisal.
“keluarlah sekarang kak, temui amalia, bicarakan baik baik, katakan apa yang kakak inginkan. Aku yakin kalau memang amalia mencintai kakak, ia akan mengerti..” hiburku.
“iya dek..” kak faisal membuka pintu dengan gontai berjalan keluar dari kamar menemui amalia. Aku mengikuti kak faisal menyusulnya. Amalia sedang duduk diruang tamu, kelihatannya ia begitu gelisah. Ia memainkan kuku jari tangannya. Wajah amalia tak ceria seperti biasanya.
“ada apa mel?” tanya kak faisal sambil menghampiri amalia lalu duduk disamping amalia.
“aku mau bicara sal..” amalia menatap kak faisal, kentara sekali ia menahan tangis.
“lebih baik kita bicara diluar, ayo mel..” ajak kak faisal. Amalia berdiri. Baru saja mereka mau keluar dari ruang tamu, mama masuk, rupanya mama sudah pulang dari kerja.
“eh ada amalia, sudah lama ya?” tanya mama tersenyum.
“barusan tante..” jawab amalia.
“kalian mau kemana?”
“mau jalan jalan ma..” kak faisal yang menjawab.
“kok buru buru, memangnya mau jalan kemana?” mama heran.
“mau kerumah dosen amalia ma” kak faisal berbohong.
“oh begitu.. Hati hati dijalan” mama mengangguk.
“kami jalan dulu tante..” amalia pamit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar