Jumat, 19 Juni 2015

Pelangi Dilangit Bangka (Kisah Rio) Part 14

#17 MASALAH DEMI MASALAH

“sudah mama bilang jangan lagi pacaran dengan gadis itu…!” pekik mama marah. Aku yang sedang berbaring malas malasan sambil baca buku dikamar hampir saja terlonjak kaget. Buru buru turun dari tempat tidur berlari keluar.
“malas bicara sama mama tak bakalan mengerti…!” balas kak faisal tak kalah kerasnya.
“jangan membantah fai..! Mama melakukan itu demi kebaikan kamu sendiri!” bentak mama histeris.
“fai udah dewasa ma, fai bisa memilih sendiri cewek yang fai inginkan.. Mama tak berhak mengatur ngatur fai..!” jawab kak faisal keras kepala.
“mama berhak mengatur kamu karena mama adalah ibu kamu..!”
“tidak… Mama tak berhak..kenapa mama selalu memaksakan kehendak mama..fai juga berhak memilih apa yang fai ingin ma..!” lawan kak faisal dengan emosi, wajahnya merah menahan amarah. Aku menggeleng gelengkan kepala prihatin. Kok nggak selesai selesai juga masalah ini, kak faisal keras kepala mama juga keras kepala tak ada yang mau mengalah diantara mereka karena mereka berdua beranggapan sama sama benar.
“aku akan tetap pacaran sama amalia tak perduli mama setuju atau nggak, titik!!” serang kak faisal sambil meraih tas ranselnya diatas meja makan, dengan cuek meninggalkan mama.
“fai tunggu dulu..!! Mama belum selesai bicara..!” mama menjerit mengejar kak faisal. Namun kak faisal tak menghiraukannya.
“terserah…!” kak faisal meraih motornya di depan teras kemudian menghidupkan mesinnya lalu ngebut meninggalkan pekarangan. Mama menggelengkan kepala dan menarik nafas panjang. Kemudian berbalik masuk kerumah.
“ada apa ma?” tanyaku iba.
“biasalah rio, kakakmu itu, keras kepala, tak mau menerima masukan dari orang lain..” jawab mama kesal.
“ya sudahlah ma, kenapa juga sih mama melarang larang kak faisal pacaran sama amalia… Kalau mama melarang terus malah jadinya kak faisal makin mengejar ngejar amalia ma..” ujarku sok menasehati mama.
“kamu belum kenal sama kakakmu itu rio, kalau ia sudah memilih, sulit untuk diubah..!” mama mendesah kesal.
“ya sudahlah kalau gitu kenapa juga mama repot repot..” aku menghempaskan pantat diatas sofa.
“apa nanti kata teman teman arisan mama, kok calon mantu mama kayak gitu..mama bisa malu..” mama mengeluh.
“ngapain juga mikirin mulut orang…Ma apa mama tega kak faisal menderita hanya karena mama lebih memilih gengsi mama ketimbang perasaan kak faisal?” ujarku hati hati. Mama menatapku tajam.
“kamu pikir mama tak sayang sama faisal? Walaupun dia bukan anak kandung mama, tapi mama menyayanginya rio.. Sejak umur 8 tahun mama sudah merawatnya..” keluh mama sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. Terlihat sekali mama begitu letih. Bahkan baju kantornya pun belum di ganti.
“ma… Coba mama mengenal amalia dulu.. Beri kesempatan mereka ma, kalau memang amalia tak baik, aku yakin kak faisal juga akan mengerti nantinya…” aku coba memberikan jalan keluar. Mama terdiam seperti sedang mempertimbangkan usulku tadi.
“jadi maksud kamu mama harus menyetujui hubungan mereka?” tanya mama kaget.
“mau tak mau ma.. Daripada kak faisal dan mama harus bertengkar terus, sementara mama sendiri bilang kak faisal keras kepala kalau sudah memutuskan sesuatu..” tandasku sambil meninggalkan mama.


lagi lagi kak faisal nggak pulang tadi malam, entah menginap dimana aku juga nggak tau. Wajah mama masih keruh, sarapannya cuma ia main mainkan dengan sendok.
“kenapa sih ma, papa liat dari tadi mama kok nggak makan, udah hampir siang loh.. Ntar mama kesiangan loh..” tanya papa yang heran dengan sikap mama yang aneh.
“faisal pa..” ujar mama sebal.
“oh iya faisal kemana ma.. Kok papa nggak liat?” papa seperti baru menyadari kalau kak faisal absen sarapan bersama.
“itulah papa, terlalu sibuk dengan urusan sendiri, malah anaknya nggak diperhatikan lagi..” protes mama kesal.
“loh.. Kan ada mama… Lagipula mama tau sendiri gimana sibuknya papa.. Emangnya ada apa sama faisal ma?” tanya papa dengan sabar.
“faisal pa, tak mau mendengarkan pendapat orang lain, maunya dia terus yang didengarkan..” mama mengeluh.
“faisal kan remaja ma, ya wajar aja dia bersikap seperti itu, mungkin sudah jamannya anak sekarang lebih bebas dan tak ingin diatur atur..” ujar papa santai.
“papa ini bagaimana sih.. Makanya si faisal itu jadi kurang ajar.. Apa apa selalu papa bela, semua keinginannya selalu papa turuti, kalau begini caranya mendingan papa aja yang mendidik dia.. Mama udah capek!” semprot mama sambil berdiri dan meninggalkan kami. Sementara sarapannya tak sedikitpun mama sentuh. Papa melongo melihat mama yang meninggalkan ruangan makan dengan kesal.
“ada apa sih dengan kak faisal yo?” tanya papa sambil mendorong piringnya yang sudah kosong ke tengah meja.
“itu pa.. Mama nggak setuju dengan pacarnya kak faisal..” jawabku sambil mengunyah potongan terakhir dendeng balado dari piringku.
“faisal sudah punya pacar? Wah.. Kok papa belum dikenalin ya.. Dasar anak papa itu..” ujar papa tertawa terkekeh.
“itu masalahnya pa.. Mama nggak setuju dengan pacarnya kak faisal..” aku mengulangi penjelasanku tadi.
“maksudnya?” tanya papa heran. Kemudian meluncurlah kronologis cerita percintaan kak faisal dengan amalia, bagaimana keadaan amalia dan ketaksetujuan mama dengan hubungan mereka itu. Papa cuma diam mendengarkan penjelasanku. Sesekali ia mengangguk anggukan kepala. Setelah aku selesai bercerita, papa seperti termenung. Entah memikirkan apa aku sendiri tak tau. Tiba tiba papa berdiri dan menyusul mama ke kamar.
entah apa yang papa bicarakan dengan mama dalam kamar, yang pasti setelah mereka keluar berdua, tak terlihat lagi ada tanda tanda kekesalan diwajah mama, bahkan mereka pergi ke kantor sama sama. Aku tak sekolah karena liburan sudah dimulai, sebetulnya teman teman mengajak aku liburan ke desa tapi aku menolak karena aku masih ada masalah yang belum diselesaikan. Aku bertanya tanya kemana kak faisal, ada kemungkinan ia menginap dirumah agus. Daripada menebak nebak tak pasti mendingan aku telpon saja agus langsung. Namun begitu aku tanyakan ternyata agus juga tak tau menahu, katanya sudah dua hari tak bertemu kak faisal. Aku berterima kasih dan menutup telpon, setelah itu aku telpon rizal dan teman teman kak faisal yang lain yang memungkinkan jadi sarang persembunyian kak faisal, namun sia sia, tak satupun temannya yang tahu dimana keberadaan kak faisal, dasar kak faisal pinter banget sih cari tempat sembunyi. Sepi juga rasanya rumah tak ada kak faisal, mana liburan lagi.. Aku cuma bisa menggerutu dalam hati.

sudah dua hari kak faisal tak pulang, mama mulai panik, seisi rumah tegang karena mama selalu menangis dan marah marah.
“apa kita perlu lapor ke polisi pa, mama kuatir… Tak biasanya faisal begini.” isak mama diruang tamu. Aku jadi tak menentu, semua yang dihubungi tak tau menahu keberadaan kak faisal, termasuk teman teman akrabnya. Aku hampir kehabisan akal mau mencari kemana.
“sabar ma, nggak perlu seekstrim itulah, wajar ma faisal kan sudah dewasa sekarang, mungkin mama cuma belum terbiasa.. Pada waktunya anak lelaki ingin bebas ma..” tegur papa sabar.
“papa ini bagaimana sih? Bukannya mikir malah tenang tenang saja.. Kalau faisal pergi dari rumah tidak dalam keadaan marah mungkin mama lebih tenang pa.. Mama takut faisal melakukan hal hal yang tidak kita inginkan…” jerit mama dengan panik.
“sssst… Mama tenang dong, papa itu bukannya tak perduli pada faisal, wong dia itu anak papa satu satunya.. Ya pastilah papa sangat memikirkan dia…” papa mencoba membujuk mama. Ada terbersit rasa sedih mendengar kata kata papa, betapa mama menyayangi kak faisal yang notabene bukan anak kandungnya. Tapi papa mengatakan kak faisal hanya satu satunya anak lelakinya. Jadi keberadaanku dirumah ini mungkin hanya dianggap papa sebagai tamu. Aku berdiri hendak ke kamar.
“mau kemana rio?” tanya mama disela isakannya.
“kekamar ma.. Rio mau istirahat..” jawabku lesu sambil berjalan ke kamar. Aku berbaring ditempat tidur dengan pikiran berkecamuk. Mengapa aku harus terlahir sebagai anak yang statusnya tak jelas begini, begitu banyak kekurangan pada diriku. Andaikan aku tahu dimana papa kandungku yang sesungguhnya tentu aku akan sangat bahagia. Dulu waktu masih tinggal bersama emak, ayahku begitu cepat meninggalkanku hingga aku tak merasakan kasih sayangnya. Saat aku tinggal bersama mama, papa tiriku jarang ada dirumah hingga kami berdua tak begitu dekat. Hanya sesekali sarapan bersama.
Dan dari kata kata papa tadi sepertinya hanya aku yang menganggap ia sebagai papa. Sedangkan papa hanya mengatakan cuma faisal satu satunya anak lelakinya. Aku sedih sekali, rupanya keberadaanku dirumah tak ada artinya dimata papa, hanya sebagai anak kandung mama saja, selebih nya tak ada yang spesial bagi papa. Aku cuma menumpang dirumah ini.
***********

“rio.. Ada telpon untuk kamu..” mama mengetuk pintu kamarku. Aku turun dengan malas dan membuka pintu.
“dari siapa ma?” tanyaku heran, tumben ada yang telpon, teman temanku pada berlibur semua, jadi siapa yang menelponku.
“katanya koko.. Ayo cepat dia sudah nunggu tuh..!” bergegas aku ke ruang tengah dan mengangkat telpon.
“halo..”
“ya halo, ini rio ya?” balas suara di seberang.”
“iya ko, ada apa?”
“jalan yuk.. Mau nggak?”
“kemana?”
“belum tau sih, ya jalan aja.. Mau nggak?” aku berpikir sebentar, sepertinya tak ada salahnya aku jalan jalan, dirumah juga nggak ngapa ngapain, lumayan bisa ketemu om alvin lagi.
“oke deh, aku tunggu ya..” jawabku akhirnya.
“sip.. Sepuluh menit lagi aku jemput..” suara koko terdengar sangat senang. Aku menutup telpon dan kembali ke kamar, mencuci muka habis itu ganti baju. Tak menunggu lama koko sudah sampai dirumahku. Aku langsung menemuinya.
“wah.. Udah siap rupanya.” koko tersenyum lebar melihatku.
“ayo.. Langsung aja..” ajakku. Koko berdiri dan pamit sama mama.
“kalau lihat kak faisal tolong suruh pulang ya.. Bilang mama mau bicara..” ujar mama dari depan pintu.
“iya ma..!” jawabku sambil naik ke boncengan.
“udah yo?” tanya koko memastikan aku sudah duduk nyaman.
“udah ko..” jawabku.
“peluk aja yo ntar jatuh..” koko menarik gas motor hingga jalannya agak ngebut.
“iya ko..” aku melingkarkan lengan di perut koko.
“sering ke IP?” tanya koko sedikit menoleh kebelakang.
“jangan ke IP Ah.. Bosan.. Kemana lah asal nggak kesana..” aku keberatan.
“kalo gitu kita ke benteng kuto besak aja.. Mau nggak, kamu pasti belum pernah kesitu kan?” tawar koko.
“wah boleh.. Boleh, aku belum pernah kesana..” jawabku antusias.
“oke kita kesana sekarang..” Suasana yang langsung ku tangkap saat tiba adalah sebuah bangunan yang menghadap ke sungai musi, dengan pelataran yang luas dan barisan pohon palem, sangat indah…
jam setengah enam tepat koko mengantarku pulang, aku mengajak koko mampir, semula ia menolak dengan alasan sudah hampir maghrib tapi aku paksa akhirnya koko tak bisa menolak.
“ini kamarku ko, silahkan masuk..!” aku mengajak koko masuk dalam kamarku.
“wah.. Besar banget kamarmu, mana isinya lengkap.. Pasti betah seharian didalam kamar ini..” desis koko sambil mengitari pandangan ke seisi kamar.
“ya nggak lah ko, kalo udah tiap hari nggak bakalan betah…” aku tersenyum mendengar kata kata koko.
“mau minum apa?” tanyaku.
“terserah..”
“panas atau dingin?”
“coffemix ada?”
“ada.. Tunggu sebentar ya..”
“nggak usah buru buru..” seru koko. Aku ke dapur mengambil cangkir dan mencari coffemix yang biasanya ditaruh di dalam rak dinding. Untung saja masih ada.
“ini ko..” aku meletakkan coffemix panas diatas meja belajar.
“makasih yo..”
“rumah sepi, nggak ada siapa siapa..”
“faisal belum pulang juga ya?” tanya koko.
“belum, udah dua hari ini..”
“apa sih masalahnya?”
“biasalah ko, kak faisal bertengkar sama mama gara gara mama nggak ngasih ia pacaran sama amalia…” jawabku terus terang.
“mamamu nggak setuju… Kenapa?” koko agak heran.
“nggak tau juga, mungkin mama kurang sreg aja kali..” jawabku asal.
“papa sama mamamu kemana?” tanya koko lagi.
“nggak tau, udah biasa mama nggak dirumah jam segini.. Mungkin ke tempat saudara cari kak faisal.” aku menduga duga.
“rio boleh aku numpang mandi?” tanya koko sambil mengipas ngipas tubuhnya yang agak keringatan.
“boleh kok.. Mumpung belum gelap.. Ntar aku ambilin handuk dulu..” ujarku sambil membuka lemari dan mengambil handuk bersih yang masih terlipat.
“ini handuknya ko..” aku memberikan handuk pada koko.
“makasih..” koko mengambil handuk lalu menyampirkan diatas bahunya. Koko melepaskan baju kaus yang ia pakai. Kemudian celana jeansnya. Ia masuk kamar mandi dengan berlilitkan handuk di pinggang. Putih mulus kulit koko untuk ukuran cowok. Betul betul bersih dan klimis. Tapi tubuhnya cukup atletis dan sedap dipandang. Cocok sekali ia jadi pemain film atau bintang iklan. Tak sampai sepuluh menit koko selesai mandi. Keluar dengan berlilitkan handuk. Rambutnya yang lurus agak acak acakan karena basah.
“pake baju aku aja ko.. Baju kamu udah bekas keringat..” tawarku.
“nggak apa apa ya?” koko bertanya.
“nggak masalah.. Sebentar aku ambil..” aku membuka lemari lagi mencari baju untuk koko.
“ini..!” aku melemparkan baju kaus putih dan celana pendek pada koko.
“thanks yo… Sekalian celana dalam boleh?” koko menangkap baju yang aku lemparkan.
“emang kamu mau pake celana dalam ku?”
“nggak apa apa kalo kamu nggak keberatan.”
“ya udah..tunggu sebentar.” aku mengambil celana dalam kemudian memberikan pada koko. Aku menyalakan televisi sementara koko berganti pakaian. Setelah berpakaian koko duduk disampingku.
“boleh pinjam telpon nggak, mau kasih tau mama aku lagi disini..”
“tunggu sebentar aku ambil telponnya.” jawabku sambil keluar dan mengambil telpon tanpa kabel. Koko menelpon mamanya memberitahu ia menginap dirumahku.
“apa kata mamamu?”
“boleh.. Mama mengizinkan.. Tumben biasanya mama paling melarang aku menginap dirumah teman...” jelas koko sambil tertawa. Mumpung ada Koko disini aku ingin bertanya lebih banyak mengenai Om Alvin. Soalnya aku agak penasaran juga, Aku tak tau kenapa aku merasa tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai dia. Hanya yang kutahu tiap berdekatan dengan Om Alvin aku merasa betah. Anak om Alvin cuma satu satunya yang bernama Astrid yang tempo hari aku lihat, menurut Koko, tante Sophie tak bisa lagi memberikan anak untuk Om Alvin karena ada kista di Rahim Tante Sophie. Padahal Om Alvin sangat berharap bisa mempunya anak laki laki. Kadang kehidupan memang tak bisa ditebak. Ada yang begitu mengharapkan kelahiran anaknya tapi tak kunjung datang. Ada yang tak mengharapkan malah diberikan. Kadang bingung juga. Tapi memang begitu kenyataannya, tak semua yang manusia inginkan bisa dikabulkan.
“Ko, udah larut, mendingan kita tidur dulu..” Ajakku karena kasihan melihat Koko sudah menguap berkali kali dari tadi.
“Nggak terlalu ngantuk juga Yo.. Kalau masih mau ngobrol nggak apa apa kok..”
“Nggak lah, aku juga mau istirahat, mataku juga udah mulai ngantuk..” aku menarik selimut.
“Biasanya kamu tidur gelap atau terang?” Tanyaku.
“Bisa gelap bisa terang, kalo mata udah ngantuk aku nggak perduli lagi..” jawab Koko memperbaiki posisi bantalnya.
“Kalau gitu aku matiin aja lampunya biar lebih nyenyak.” Aku turun dan mematikan lampu hingga kamar menjadi redup.

Keesokan harinya aku mengantar Koko, tentu saja bersama mang Tono. Jam sembilan lewat tiba dirumah Koko, Mamanya sedang memasak. Beliau senang sekali waktu melihat Aku dan Koko datang.
“Wah tante udah nyangka Rio bakalan kesini, kebetulan tante masak yang spesial hari ini, Nak Rio makan siang disini aja ya…” Senyum Mama Koko terkembang sumringah.
“Nggak usah repot repot Tante, jadi nggak enak.. Ada yang bisa Rio bantu Tan?” Aku menghampiri Mama Koko yang kelihatan sibuk memotong sayuran.
“Nggak.. Biar tante udah biasa Sayang.. Kamu duduk aja di depan sama Koko..” Mama koko tertawa senang.
“Om Alvin mana ma?” tanya Koko.
“Tadi katanya ngajak Astrid jalan jalan..”
“Bareng Tante Sophie juga ya Ma?”
“Iya.. Tadi Om Alvin nyuruh Tante Sophie bantu Mama, Tapi kamu kan tau sendiri gimana Tantemu itu. Mana mau dia disuruh masak..” Jawab Mama koko.
“Aku ke kamar dulu ya Ma..”
“Iya.. Nggak apa apa.. Bikinin Rio minuman, trus kue yang ada di Kulkas juga dikeluarin, untuk kalian Ngemil, Soalnya Mama baru selesai Masak jam Sebelas nanti..” Ujar Mama Koko. Aku mengikuti Koko ke kamarnya. Bermalas malasan sambil membaca komik. Hingga tak terasa sudah Jam sebelas Saat Mama Koko memanggil kami agar makan siang. Ternyata di meja makan sudah ada Om alvin, Tante Sophie, dan Anaknya Astrid. Aku mencoba tersenyum pada Om Alvin, namun ia seperti tak melihat, Langsung sibuk dengan Makanannya. Aneh sekali sikap Om Alvin, Ia tak sekalipun menoleh padaku walau hanya sekedar basa basi menawari makan. Kemarin kemarin ia ramah dan bersahabat. Padahal banyak yang ingin aku ceritakan padanya. Bahkan hingga selesai makan pun Om Alvin seperti tak menyadari ada aku. Selesai makan, aku diajak Koko nonton tipi. Meskipun film kesukaanku sedang ditayangkan, namun tak konsentrasi sedikitpun. Dalam pikiranku cuma Om Alvin. aku pulang walaupun mama koko dan koko menahan agar aku tinggal lebih lama.
****************

Mang tono datang sepuluh menit setelah aku telpon. Om alvin entah kemana, sejak selesai makan ia langsung masuk kamar bersama isterinya dan belum keluar hingga sekarang. Aku jadi bingung dengan sikap om alvin, kenapa bisa berubah begitu drastis. Apa aku ada salah kata terhadapnya kemarin, sehingga ia tak ramah lagi padaku. Sebetulnya aku mau bersikap tak perduli, namun hatiku berbicara lain. Aku seolah merasa semakin penasaran. Makin tergelitik untuk mendekati om alvin. Biarlah hari ini aku tak ada kesempatan bicara dengannya. Semoga om alvin dan isterinya belum keburu pulang ke jambi.
Sampai dirumah aku betul betul kaget. Ada mama, papa, om sebastian, tante laras, om beno, serta odie, dan satunya lagi yang membuat aku tadi nyaris tak percaya adalah amalia. Apakah itu berarti kak faisal sudah pulang..? Aku menoleh kiri kanan melihat kak faisal namun tak ada.
“hai sepupu.. Apa kabar?” sapa odie langsung menghampiriku dengan semangat, senyumnya tersungging lebar.
“hai odie, kapan datang.. Kok nggak kasih tau dulu?” aku menyambut uluran tangan odie dan menjabatnya.
“maaf bukan nggak ngasih kabar yo, tadi juga mendadak diajak kesini sama mama..” jelas odie.
“dari mana aja kamu?” tanya tante laras.
“rumah teman.” jawabku singkat.
“kelayapan nggak karuan, udah tau ada masalah dirumah…!” tembak tante laras tanpa perasaan. Mukaku terasa panas tak menyangka ia akan berkata seperti itu.
“sudahlah dek laras, jangan berlebihan, rio sedang liburan, lagipula dari kemarin ia juga tak kemana mana, tadi rio mengantar temannya pulang.” jelas mama sabar.
“kak mega tak perlu selalu membelanya mentang mentang ia anak kandung kakak!” tante laras kelihatan emosi.
“kenapa jadi bertengkar, faisal belum juga ketemu sudah merembet ke masalah lain..” tukas om beno menengahi. Mama tertunduk, sementara tante laras cemberut dengan mulut mengerucut seolah sedang menelan gerutuan yang hampir keluar.
“sudah di cek ke teman temannya, barangkali ia menginap disalah satu rumah temannya..?” cetus tante laras.
“sudah, semua temannya yang kami tau sudah dihubungi, tapi tak ada satupun yang tau..!” jawab papa.
“makanya kak, kalau bertindak itu pikir pikir dulu!” tante laras kumat lagi.
“tolong dek laras jangan memperkeruh keadaan, itu semua aku lakukan demi kebaikannya sendiri…” mama membela diri.
“iya..! Kebaikan menurut kakak.. Memangnya kakak tau apa yang terbaik untuk faisal?” tante laras tak mau kalah.
“sabar ma, nggak usah emosi gitu, percuma, faisal entah kemana, kalian malah ribut ribut!” timpal om beno.
“iya yuk, ngomong yang bener kenapa?” sambung om sebastian, dari tadi ia mencuri curi pandang ke arahku. Tapi aku pura pura tak menyadari.
“kalau sudah begini dimana kita harus cari faisal, terpaksa kita lapor ke polisi untuk membantu cari faisal..!” keluh papa prihatin.
“itu semua gara gara kamu!” mama menunjuk wajah amalia dengan berang. Amalia terisak tak berani menatap mama. Aku kasihan sekali pada amalia.
“E…e..e.. Jangan asal tunjuk anak orang dong! Kenapa lagi kak mega menyalahkan amalia, mau cari kambing hitam untuk kesalahan kak mega!” hardik tante laras tak sabar.
“ma udah ma.. Jangan ribut!” om beno kelabakan menenangkan isterinya.
“kalau bukan karena gadis gembel ini tak akan terjadi seperti ini!” pekik mama histeris. Sambil berdiri kalap menghampiri amalia. Om sebastian yang sigap langsung menghadang mama agar tak kelepasan memukul amalia. Tante laras yang duduk dari tadi ikut ikutan berdiri.
“kak sadar kalo ngomong! Lupa ya dulu kakak itu siapa?” hardik tante laras tanpa tedeng aling.
“jangan ungkit ungkit masa laluku laras!” jerit mama kesal.
“kan kakak yang memulai, seolah kakak berasal dari keluarga terhormat, keluarga kaya.. Mentang mentang sudah diangkat derajatnya sama bang harlan, kakak jadi sombong..!” tikam tante laras tanpa belas kasih. Semua tercengang mendengar apa yang tante laras katakan. Mama terpaku seolah kehilangan kata kata.
“dek laras jaga ucapanmu, bagaimanapun juga dia isteriku dan itu artinya dia kakak iparmu juga… Kamu seharusnya lebih hormat, kata katamu itu sungguhtak pantas, kamu sadar ada anak kita disini..!” papa mulai terpancing kemarahannya. Amalia semakin terisak, ia terlihat sangat ketakutan.
“rio, mendingan kita ke kamar kamu aja yuk.. Kayaknya bakalan ada perang bintang disini..” bisik odie pelan.
“tunggu die, aku takut terjadi apa apa.. Kasihan amalia, aku bingung kenapa dia bisa ada disini..” aku mengungkapkan kekuatiranku pada odie.
“mama kamu yang menjemputnya, tante mega pikir amalia tau dimana keberadaan kak faisal, jadi tadi kami sama sama ke rumahnya setelah mama kamu menanyakan alamat amalia ke teman kak faisal..” jelas odie. Aku terdiam, lututku jadi lemas, aku pernah melihat mama emosi seperti ini sebelumnya, dan mama tak akan mau mengalah, kejadian itu terus membekas di ingatanku, bagaimana mama dan emak dulu bertengkar. Dan sekarang tante laras yang juga keras sedang bertengkar dengan mama gara gara kaburnya kak faisal.
Aduh kak faisal kenapa sih pake kabur segala, padahal cuma masalah kecil seperti ini. Betapa kekanak kanakannya kak faisal, bukannya memperjuangkan cinta tapi malah lari dari kenyataan. Aku tak bisa mengerti dengan jalan fikiran kak faisal. Kesal juga aku memikirkannya. Kalau sudah begini semua jadi terseret. Apa tak ada ketenangan dirumah ini. Percuma saja harta berlimpah serta fasilitas yang lengkap tapi minim keakraban. Sering ada masalah, hilang satu masalah terbit masalah lain.
“pokoknya kita harus mencari faisal..! Jangan sampai terjadi apa apa sama faisal.. Kak mega tak bisa menjaga faisal, merawatnya seperti anak kandung sendiri.. Kak mega telah gagal…!” berondong tante laras tanpa henti. Sementara mama hanya duduk terdiam sambil terisak.
“maaf laras, kamu salah, aku sangat menyayangi faisal, tak kurang kasih sayang yang aku curahkan untuk dia, tak ada sedikitpun aku berpikir untuk membedakan dia dengan rio, aku betul betul menyayangi faisal seperti anak kandungku sendiri…” isak mama dengan tubuh terguncang karena tangis.
“sudahlah ma, tak ada gunanya menyalahkan kak mega, faisal memang nekat, kita tau sendiri bagaimana sifatnya.” om beno meredakan kemarahan tante laras.
“jangan menyalahkan mega terus dong dek, abang juga lagi pusing sekarang, jangan menambah masalah lagi..” ujar papa lemah, terlihat wajahnya begitu capek. Empat hari sudah kak faisal menghilang tanpa tau kemana rimbanya, semua menjadi panik sekarang dan tak ada yang bisa berpikir jernih menyikapi masalah ini.
“sekarang kita ke kantor polisi dulu, sebastian tolong kerahkan teman temanmu untuk ikut membantu cari faisal,…” om beno memberikan solusi.
“amalia, betul kamu memang tak tau menahu dimana faisal?” om sebastian bertanya pada amalia. Amalia mengangkat kepala, menatap om sebastian takut takut, bibirnya gemetar seolah sedang menjalani sidang yang menentukan vonis berat baginya.
“be.. Betul om, sungguh.. Sa.. Saya tidak tau.. Saya bertemu faisal terakhir waktu pembagian raport, dia mencoba memanggilku, tapi aku menghindar..” kentara sekali amalia begitu ketakutan.
“ya sudah kalau memang begitu,..” tukas om sebastian.
“jangan bohong kamu, tak mungkin kamu tak tau dimana faisal, dasar kecil kecil udah gatal!” hardik mama tak mau mendengarkan penjelasan amalia.
“cukup kak..! Jangan menyalahkan amalia terus… Cukup kekacauan yang kakak buat! Biarkan faisal memilih sendiri gadis mana yang ia mau..!” bentak tante laras tak sabar. Mama mau membalas kata kata tante laras namun cepat cepat papa potong.
“ayo kita berangkat sekarang, kalau ribut terus nggak bakalan selesai, bisa bisa sampai subuh perang mulut terus!”
“betul, lebih baik kita berangkat sekarang..!” timpal om beno bosan. Mama berdiri dan menghampiriku.
“sayang mama sama papa pergi dulu cari kak faisal, kamu jangan kemana mana dulu, temani odie disini..”
“iya ma… Rio temani odie, hati hati dijalan ma..” ujarku iba. Kasihan mama, ia pasti merasa sangat bersalah. Sepeninggal mereka, aku dan odie duduk di depan televisi.
“kemana ya kak faisal..?” celetuk odie sambil menyenderkan punggungnya di kursi.
“entahlah die, aku juga kurang tau, aku belum begitu hafal dengan teman teman kak faisal, aku takut kak faisal berbuat nekat, soalnya pergaulan kak faisal agak parah, teman temannya banyak anak yang nakal..” aku mengungkapkan kekuatiranku.
“semoga aja kak faisal nggak ngapa ngapain, cuma sekedar kabur ke rumah temannya.” harap odie.
“iya die semoga..” aku menghibur diri sendiri. Padahal dalam hatiku begitu cemas. Aku tau karakter kak faisal bagaimana. Tak bisa dilarang ataupun ditentang. Keinginannya sudah biasa dituruti. Ketika ia dilarang, ia tak bisa menerima, jiwanya masih labil. Ia memang nakal, tapi ia juga manja. Terkadang aku tak habis pikir dengan pola laku kak faisal. Sebetulnya sikap tante laras tadi sangat berlebihan. Wajar saja mama tak terima, karena sepengetahuanku, mama sangat menyayangi kak faisal. Hati mama pasti sakit dengan hinaan tante laras. Aku heran kenapa papa begitu lemah, mama itu isterinya sepatutnya ia bela.
KRING…. KRING…KRING..
Suara telpon yang berdering keras mengagetkanku. Bergegas aku angkat.
“halo…”
“ya halo, bisa dengan rio..?” jawab suara diseberang, yang aku kenali sebagai suaranya koko.
“ini koko ya?”
“oh, ini rio ya.. Lagi ngapain yo?” tanya koko.
“lagi nonton sama sepupuku dirumah, ada apa ko?”
“hari ini tante sophie pulang ke jambi sama astrid, tadi om alvin nanyain kamu.. Katanya habis nganterin tante ke bandara, om alvin bilang mau ngajak jalan… Dia nyuruh aku ngajak kamu yo.. Gimana, sempat nggak?”
tumben, om alvin yang beberapa hari ini cuek sama aku tiba tiba mau mengajak aku jalan jalan, lalu tante sophie pulang, kenapa om alvin tidak ikut?
“gimana ya ko, bukan aku menolak, soalnya lagi ada masalah dirumah, lagipula ada sepupuku baru datang dari baturaja, nggak enak kalo aku tinggalin…” aku menolak dengan berat hati.
“yaaa… Kecewa dong aku.. Ajak aja sepupumu, nggak masalah kok yo..!”
“bukan cuma itu masalahnya ko.. Dirumah lagi panas, kak faisal belum pulang, takutnya nanti mama marah.. Kapan kapan aja ya ko, sampaikan salam sama om alvin, bilang aku bukan nggak mau, tapi belum bisa…” jawabku berat , padahal aku betul betul ingin sekali jalan jalan bareng om alvin, tapi mau bagaimana lagi, nggak mungkin aku pergi bersenang senang sementara masalah dirumah belum selesai. Bisa bisa tante laras makin tak menyukaiku. Aku menutup telpon lalu kembali menemui odie yang menunggu depan televisi.
“siapa yo?” tanya odie ingin tau.
“temanku koko.. Dia mau ngajak keluar..” jawabku sambil mengambil remote dan membesarkan volume televisi.
“terus kamu nolak?” odie ingin tau.
“iya die, nggak mungkin aku pergi, lagipula kak faisal kan belum pulang.”
“kita tunggu aja kabar dari mamamu, mereka kan lagi berusaha untuk mencari kak faisal.” ujar odie tersenyum.
“die kamu pasti belum makan ya?” tanyaku.
“belum sih, tadi belum sempat sarapan karena buru buru mau kesini.. Ditambah lagi tadi orangtua kita nyaris berantem, jadi hilang selera..”
“kalo gitu aku temani kamu makan, kedapur yok..” ajakku sedikit menyesal kenapa bisa nggak kepikiran mengajak odie makan dari tadi, kasian dia pasti sudah kelaparan sekali habis menempuh perjalanan jauh dari baturaja ke palembang, dan hingga sekarang belum makan apapun.
“yo maaf ya, sebetulnya aku sudah punya rencana kalo sekali lagi aku kemari aku mau bawain kamu helikopter remote yang bisa terbang, aku mau kasih sama kamu, tapi aku lupa bawa karena tadi terburu buru…” ujar odie masih tetap duduk.
“ya ampun odie, nggak usah terlalu dipikirin, nggak apa apa kok, lagian kamu kesini aja udah bikin aku senang, nggak perlu bawa apa apa.. Aku jadi malu, justeru aku belum ngasih apa apa sama kamu, sekarang kita makan dulu ya sobat…” aku merangkul bahu odie, betapa baiknya odie, dia sangat tulus.. Menyesal dulu aku sudah bersikap tak ramah terhadapnya hanya karena aku kurang menyukai ibunya. Untung saja odie tak mengambil hati. Kebaikan odie mengingatkan aku akan erwan. Dulunya erwan selalu baik terhadapku. Ternyata walaupun aku telah berpisah jauh dari erwan. Aku masih diberikan tuhan teman yang sebaik erwan. Sayang nya odie tinggal jauh dari sini. Jadi aku hanya jarang jarang sekali bisa bertemu dengannya. Aku harus bisa menyenangkan hati odie dan membuatnya merasa betah, mumpung dia masih disini, aku akan berusaha menahannya untuk tinggal disini lebih lama selama liburan. Semoga kak faisal bisa segera ditemukan. Jadi besok besok aku bisa mengajak odie berjalan jalan.
Sampai di dapur aku memeriksa lauk diatas meja, aku tak tau ada nggak nya, soalnya tadi aku sudah makan dirumah koko, bik tin belum pulang, dan mama juga jarang masak. Semoga saja ada yang bisa dimakan. Kasihan odie kalau sampai nggak ada apa apa. Ternyata kekuatiranku beralasan. Tak ada apa apa diatas meja, mama tak masak, aku jadi bingung. Sedangkan untuk beli keluar aku tak bisa naik motor. Tak ada siapa siapa dirumah.
“die maaf ya, nggak ada makanan.. Hehehe.. Gimana ya..?” aku tersipu sedikit malu karena tadi dengan semangat mengajak odie makan, sedangkan makanan tak ada.
“santai aja sobat, sekarang kita periksa kulkas dulu, barangkali ada bahan makanan yang bisa diolah, kebetulan aku bisa masak sedikit sedikit…” jawab odie santai, ia tertawa melihat reaksiku.
“ya udah aku cek kulkas dulu ya..” jawabku sambil membuka kulkas khusus persediaan makanan. Untung saja ada mama sudah belanja kemarin dulu, jadi persediaan makanan banyak. Ada bermacam sayuran, daging dan ikan kaleng, daging segar, ayam, ikan dan macam macam.
“wah.. Mama kamu udah mempersiapkan bahan yang banyak.. Sekarang tinggal kita masak aja..” odie tertawa kesenangan. Ia langsung memilih bahan bahan untuk dimasak.
“yo kamu lagi pengen makan apa?” tanya odie sedikit kebingungan dengan banyaknya pilihan di depannya.
“terserah kamu die, apapun yang kamu masak aku ikut makan aja..” jawabku.
“gimana kalo aku masak ikan kaleng dengan wortel, sama tumis bayam..” tanya odie.
“emangnya kamu bisa die?” aku agak heran.
“wah jangan ngeremehin aku… Gini gini aku pernah juara memasak di sekolah waktu praktek memasak.. Tunggu bentar ya.. Kamu tolong aku siapin bumbunya..” odie mengeluarkan sekaleng ikan saus tomat dan beberapa buah wortel. Serta seikat bayam yang masih segar. Aku mengambil pisau untuk membuka ikan kaleng. Odie memotong bayam dan bumbu. Aku membantunya mengiris tomat. Menyenangkan sekali memasak, berbulan bukan disini baru kali ini aku mencoba memasak.
*****************


#18 KEMBALINYA KAK FAISAL

Sejam kemudian semua telah siap, wangi aroma masakan begitu menggugah selera, aku betul betul tak menyangka sama sekali kalau bisa memasak walaupun cuma sekedar membantu odie. Perutku jadi lapar sekarang. Odie makan begitu lahap, melihat semangatnya itu aku jadi ikut ikutan makan banyak, padahal tadi sudah makan, walaupun rasanya standar saja tapi entah kenapa aku bisa begitu suka, jadi ingat dengan masakan emak dulu yang standar, bukannya karena emak tak bisa masak yang seenak mama atau bik tin, tapi karena bahan bahan yang seadanya. Kalo bik tin masak bisa menggunakan bermacam macam bahan, emak hanya mengandalkan bahan yang ada. Aku serasa mengalami nostalgia. Dan itu berkat odie. Aku jadi semakin menyukai odie. Ternyata berteman dengan odie betul betul menyenangkan. Aku merasa beruntung memiliki sepupu sebaik odie.
“tambah lagi yo..!” odie menggeser mangkuk berisi ikan kaleng saus tomat kepadaku.
“makasih die, udah kenyang banget nih, aku makan udah dua piring… Bisa bisa nggak bisa berdiri lagi saking kenyangnya…” tolakku halus. Odie tertawa.
“enak ya yo, bisa makan bareng, masak bareng kayak gini, aku tak akan bisa melupakan saat saat seperti ini, kalo aku pulang nanti pasti bakalan kangen mengenang saat ini… Semoga saja kita bisa sering sering ketemu, coba kamu lebih dekat sama mama, jadi kamu bisa main kerumahku kapan kapan..” ujar odie setengah menyesali keadaan.
“nggak tau lah die, mama kamu sendiri yang kurang menyukaiku..” desahku sedih.
“aneh padahal mama sering cerita tentang kamu kalo dirumah, dan tak sekalipun mama bilang yang nggak nggak tentang kamu, malah mama selalu memuji kamu…” jelas odie membuat aku sangat kaget.
“tante laras memujiku?” tanyaku tak percaya.
“iya yo, mama selalu bilang kamu sangat pintar, bahkan raport kemarin kata mama kamu berhasil menjadi juara 2 umum. Padahal kamu pindahan dari kampung..” urai odie tersenyum lebar.
“tante laras bilang gitu die?” aku kurang yakin.
“iya.. Kalau mama lagi marah marah sama aku, ia pasti membanding bandingkan aku sama kamu, ia bilang kamu nggak nakal lah, anak yang baik lah, mandiri, pintar, dan kamu juga punya kepribadian yang tegas!. Gitu kata mama..”
odie melanjutkan kata katanya. Aku terhenyak, tak kusangka sama sekali kenyataan yang terjadi dibalik sikap tante laras yang judes dan dingin terhadapku rupanya ia selalu memujiku didepan anaknya. Aku jadi ragu, apakah aku telah bersikap tepat dengan tak menyukai tante laras. Tapi kenapa kalau ia menyukai sifatku, tapi tak ia tunjukkan, malahan ia bersikap seolah olah ia tak menyukaiku.
“jangan heran rio, mama memang begitu, ia memang agak keras, itu ia lakukan agar orang menjadi lebih baik dan tak mudah terlena. Ia tau dulu faisal terlalu di manjakan oleh mama nya, hingga ia tumbuh menjadi anak yang manja. Dari dulu ia selalu dituruti. Bahkan mamaku pun ikut memanjakannya. Hingga mamanya kemudian meninggal tujuh tahun yang lalu, meninggalkan faisal, itu membuat kak faisal jadi agak susah diurus. Setelah om harlan menikah dengan tante mega, kelakuan kak faisal mulai bisa di kendalikan. Karena tante mega bisa menyayangi kak faisal seperti anak kandungnya sendiri. Mamaku dulu tak menyukai tante mega, tapi tante mega rupanya bisa berlaku sebagai pengganti tante lina dengan baik, ia mengurus om harlan dan kak faisal dengan baik, jadi lama lama mama mulai bisa menerima. Aku juga heran kenapa tadi mama sama tante mega berantem lagi gara gara masalah kak faisal, padahal mama sering mengutarakan kekuatirannya terhadap kenakalan kak faisal..”
odie menyelesaikan kata katanya dengan panjang lebar.
Itu semakin membuat aku terdiam. Aku ternyata betul betul salah menilai tante laras. Aku menyesal telah membenci tante laras, sebetulnya aku juga telah salah, aku tak bersikap ramah terhadap tante laras, tak mencoba mengambil hatinya. Telah banyak indikasi perhatian tante laras selama ini, namun aku selalu menutup mata. Aku berjanji dalam hati, andai nanti tante laras datang, aku akan lebih ramah terhadapnya. Aku akan mencoba untuk lebih dekat padanya. Untung saja odie bercerita tentang hal ini. Sehingga mataku jadi lebih terbuka.
“kenapa melamun rio?” tanya odie sedikit kuatir.
“nggak kok die, aku bukan melamun, aku cuma memikirkan kata katamu tadi..”
“aku tau rio, kamu tak menyukai mama.. Dan mama pun menyadari itu.. Kamu tau rio, waktu dia pernah menampar kamu dulu sebetulnya mama sangat menyesal, ia beberapa kali menangis tiap kali ia ingat menampar kamu. Itu ia lakukan dengan spontan, mama memang mudah emosi, tetapi mama juga mudah menyesali kekeliruan yang ia perbuat.. Aku minta maaf ya yo, kalau dulu mamaku pernah menampar kamu..” odie terdengar menyesal.
“odie, kamu tak perlu minta maaf, itu masalah yang sudah lama berlalu aku juga udah melupakan semua itu..”
“makasih yo, aku hanya berharap kamu bisa lebih dekat sama mama…” harap odie.
“iya die, makasih ya untuk penjelasan kamu tadi, aku akan mencoba untuk lebih dekat sama tante laras, udah selesai makannya die.. Aku beresin meja dulu ya..” aku berdiri merapikan piring piring kotor.
“biar aku bantu yo.. Kita cuci langsung..” tawar odie bersemangat.
“oke sobat, kita buah piring.. Tapi kamu jangan pulang dulu, malam ini kamu menginap dulu ya.. Kalau bisa kamu tinggal selama beberapa hari disini selama liburan.. Gimana?” tanyaku penuh harap.
“oke.. Ntar aku bilang sama mama dulu, soalnya kan harus seijin mama dulu..” odie terlihat begitu senang.
“yo, tapi aku nggak bawa baju ganti…” keluh odie sambil mengelap piring yang baru saja ia bilas. Aku memainkan sabun cuci piring pada spons hingga berbusa banyak.
“soal baju nggak usah dipikirin die, bajuku kan masih banyak, lagian ukuran badan kita tak beda jauh, kamu bisa pake baju aku..” aku menawari odie.
“kalau kamu nggak keberatan sih..”
“ya nggak lah die, yang penting kamu mau temani aku menginap disini ya.. Soalnya aku kesepian, mana kak faisal tak pulang pulang…”
“iya aku mau nginap disini, liburan kan satu minggu, jadi aku bisa lebih lama disini sampe hari jumat..” jawab odie membuat aku senang sekali. Aku membilas piring terakhir dan odie langsung menyambutnya kemudian mengelapnya hingga kering. Setelah mencuci piring aku mengajak odie ke kamar.
“buku yang aku kasih kemarin udah dibaca semua yo? Tanya odie ingin tau.
“belum semua die, ada beberapa yang belum sempat aku baca, soalnya banyak banget..” jawabku sambil menghenyakkan tubuh diatas kasur, kekenyangan ditambah lagi capek habis cuci piring membuat aku jadi pengen berbaring.
“yo ada film nggak?” tanya odie sambil menyalakan televisi.
“ada die, di lemari kaset, kamu tinggal pilih aja, nggak terlalu baru sih, soalnya aku jarang nonton..” jawabku. Odie langsung memeriksa rak kaset, memilih milih film. Ia memperhatikan kaset kaset film itu satu persatu untuk melihat judulnya.
“wah ada film pretty woman juga ya, kebetulan aku belum nonton.. Aku udah lama penasaran kepingin nonton..” teriak odie antusias.
“aku sendiri malah baru tau ada kaset itu didalam kamarku. Mungkin punya kak faisal, soalnya beberapa hari yang lalu ia mengajak temannya nonton disini..” aku duduk diatas tempat tidur memperhatikan odie.
“film ini katanya bagus yo, aku putar ya..!”
“silahkan..”
odie memasukan kaset dalam video player, tak lama kemudian terpampang gambar artis barat yang aku tak tau itu siapa, tapi lumayan cantik. Dengan dandanan super menor.
“ini julia roberts yo, artis favoritku. Semua film film nya bagus, artis ini bayarannya mahal loh.. Kabarnya tarifnya per film sebesar 16 juta dollar..”
odie menjelaskan penuh semangat.
Wow.. Banyak sekali, kalau kurs rupiah sekarang 2000 rupiah per dollar, jadi bayaran dia per sekali main film 32 milyar rupiah.. Ya ampun.. Yang bener itu die.. Kayaknya nggak mungkin deh..” aku kurang percaya. Soalnya uang sebesar itu bisa membelikan apa saja. Pegang uang satu juta saja rasanya kaya minta ampun..
“bener kok yo, aku baca sendiri di artikel majalah.. Katanya ada lagi artis yang bayarannya lebih tinggi dari itu.. Mereka bisa hidup super kaya.. Bahkan kabarnya whitney houston lebih mahal lagi, rumahnya saja di lengkapi dengan komputer, jadi kalau kita mau buka pintu tinggal perintah saja..” odie menjelaskan dengan sabar. Aku ternganga nyaris tak percaya. Rumahku saja sudah begini membuat aku kagum, bagaimana lagi dengan rumah para bintang film itu.
“kamu tau yo… Gaun adibusana yang mereka kenakan saat anugerah piala oscar, harganya bisa buat beli rumah mewah loh.. Kehidupan para artis itu betul betul glamor, nggak akan sanggup kita mengimbangi gaya hidup mereka itu..”
aku jadi semakin tertarik dengan informasi dari odie, ternyata menjadi terkenal itu enak juga, bisa hidup super mewah. Aku jadi memikirkan orang orang yang susah, coba artis artis itu menyisihkan sebagian harta mereka. Pasti banyak orang susah yang bisa ikut menikmati kebahagiaan.
“sudah ah, ceritanya udah mulai, ntar lagi aku sambung ngobrolnya..”
ujar odie yang mulai fokus menatap ke televisi. Aku langsung turun dari tempat tidur kemudian duduk disamping odie ikut menonton. Setelah mendengarkan penjelasan odie tadi membuat aku jadi tertarik untuk melihat artis dengan bayaran 16 juta dolar itu.
Ternyata filmnya memang bagus. Ceritanya tentang seorang perempuan nakal yang diajak seorang jutawan untuk menemaninya selama dinas, tak disangka ternyata sang wanita menjadi jatuh cinta terhadap jutawan itu. Jutawan yang kelihatan agak tua, karena rambutnya berwarna kelabu dan sebagian sudah ada uban. Belakangan aku ketahui namanya richard gere.
Lama juga durasi film itu, hampir dua jam. Setelah film selesai odie nampak begitu puas, matanya berbinar saat ia dengan antusias menceritakan kembali tentang artis artis itu. Aku mendengarkan dengan tertarik. Ternyata pengetahuan odie mengenai artis artis cukup luas juga. Tak hanya sebatas artis indonesia, tapi ia juga banyak tau tentang artis luar negeri terutama artis hollywood. Tanpa bosan bosan ia bercerita tentang kehidupan glamor para artis, termasuk busananya, siapa yang merancang, bahkan ia memuji baju baju yang dalam film tadi yang dibelikan oleh jutawan itu untuk pemeran wanitanya. Kata odie, baju baju itu rancangan desainer kelas dunia dan harganya bisa setara satu buah mobil mewah. Sebetulnya mataku mulai mengantuk, tapi aku tak tega melihat odie yang masih terus semangat mengobrol. Kak faisal mana tertarik membahas hal yang begini. Paling kalau sama kak faisal, yang ia bahas cuma ngumpul dimana, film perang, dan juga bola.. Aku sih kalau mau jujur lebih senang mengobrol sama odie.
Terasa lebih nyambung. Aku senang sekali mendapat pengetahuan baru, mengenai gaya hidup kalangan atas.aku lihat odie sepertinya jarang sekali bisa bercerita lepas seperti ini, terlihat sekali dari sikapnya yang sangat gembira saat aku bisa menjadi teman diskusi yang bisa mengimbanginya.
“kamu udah ngantuk ya yo, kalau mau tidur siang nggak apa apa.. Aku masih mau nonton, nggak apa apa kan aku putar film lain?”
tanya odie.
***********


aku terbangun karena ada yang mengoyang goyang bahuku.
“yo.. Bangun.. Bangun yo..” aku menggeliat malas.
“yo.. Bangun dong.. Udah jam setengah enam nih, kamu nggak mandi ya?” aku tersentak, buru buru bangun. Dengan pandangan yang masih kabur aku menyibak selimut.
“nyenyak banget kamu tidur yo, mimpi apa emang?” odie nyengir melihatku.
“eh odie, sori, soalnya udah lama nggak tidur siang, aku emang jarang tidur siang die…” jawabku setelah berhasil memulihkan semua kesadaran. Aku ingat tadi aku ketiduran waktu odie sedang menonton.
“mama kamu udah pulang, tapi kak faisal nggak ada..” jelas odie tanpa ditanya.
“udah lama mama pulang?” tanyaku.
“sekitar jam sejam yang lalu..” jawab odie.
“aku mandi dulu ya die, kamu pasti udah mandi ya..” ujarku karena aku lihat odie sudah rapi, ia memakai bajuku warna oranye yang jarang aku pakai karena terlalu menyolok warnanya. Odie sadar aku memandanginya.
“maaf aku nggak bangunin kamu soalnya kasihan lihat kamu tidur nyenyak banget jadi aku nggak tega bangunin… Aku pake baju kamu yang ini nggak apa apa kan?” tanya odie agak kuatir. Aku tersenyum melihat odie, kemudian menggelengkan kepala.
“pake aja die, kamu boleh pakai yang kamu sukai, nggak perlu bilang…” jawabku sambil turun dari tempat tidur, kemudian aku masuk kamar mandi. Setengah jam aku mandi. Saat keluar dari kamar mandi, odie sedang membaca buku. Di atas nahkas ada dua gelas teh susu.
“aku bikinin teh susu, tadi tante mega nyuruh aku bikin minum jadi sekalian aja aku bikin untuk kamu..” odie meletakkan buku yang ia pegang keatas meja.
“makasih die, nggak perlu repot, harusnya aku yang bikinin kamu minum…” jawabku tak enak. Kemudian aku membuka lemari memilih baju dan celana. Aku memakai baju kaus warna putih bergambar print patung singa landmark singapura. Setelah memakai baju, aku duduk disamping odie dan meminum teh susu yang dibikin sama odie.
“kata tante mega ia sudah ada gambaran kak faisal kemana..” ujar odie ikut minum teh susu.
“yang benar die?” tanyaku tak yakin.
“ia.. Tadi aku dengar pembicaraan mereka, eh kata tante mega, om sebastian sekarang nggak tinggal disini lagi ya?” jawab odie sekaligus bertanya.
Aku terdiam, memang betul om sebastian tak lagi tinggal disini, sejak kemarin ia sudah memutuskan untuk tinggal di barak, semua ia lakukan karena ia tak mau sampai kejadian tempo hari terulang lagi. Aku masih sedikit trauma dengan kejadian itu. Mengingat aku sekarang sudah ia paksa untuk melakukan sesuatu yang tak pernah sedikitpun pernah terlintas dalam pikiranku itu. Sebetulnya aku agak kasihan juga sama om sebastian, tapi aku juga belum bisa menerima karena bagiku itu terlalu cepat. Aku sadar sekarang aku bukan rio yang sama dengan sebelum aku tinggal disini. Aku tak seperti dulu lagi. Keadaan telah beda. Mau tak mau aku harus bisa menerima kenyataan tentang diriku.
“yo keluar yok.. Masa kita berkurung dalam kamar terus dari tadi..” ajak odie yang sepertinya bosan di kamar terus.
“kamu keluar lah dulu, ntar lagi aku nyusul, aku mau sisir rambut dulu..” jawabku sambil berjalan menuju kaca. Odie keluar dari kamarku. Aku menyisir rambut dan memakai sedikit pewangi. Setelah itu menyusul odie keluar. Mama sedang menyusun meja makan. Sepertinya mama baru habis masak.
“eh sayang udah bangun ya.. Mama kira masih tidur..” ujar mama begitu ia melihatku.
“kak faisal belum ketemu ya ma?” tanyaku sambil duduk di kursi makan.
“nanti malam kami menjemput dia, kata temannya, faisal menginap di rumah paman rusli, adik mama kandungnya yang di ogan.” jelas mama sambil tetap sibuk menyusun lauk pauk diatas meja.
“semoga betul informasi dari temannya itu ya ma, soalnya rio betul betul kuatir sama kak faisal, untung saja ia menginap dirumah saudara..” jawabku dengan simpati.
“iya sayang.. Mama tak enak sama tante laras, ia betul betul marah gara gara masalah ini..” desah mama prihatin, sepertinya mama juga menyesali karena keputusannya melarang hubungan amalia dengan kak faisal membuat kak faisal kabur dari rumah.
mama telah selesai menata meja. Aku berdiri mengambil gelas untuk minum.
“tolong panggilin odie sama mamanya.. Bilang makan telah siap..” perintah mama waktu aku sedang menuang air putih dari keran dispenser.
“oke ma..” jawabku, setelah menghabiskan satu gelas air putih, aku menemui odie yang sedang duduk didepan teras rumah bersama kedua orangtuanya. Tante laras menoleh melihat kedatanganku. Aku memberanikan diri ngomong sama tante laras.
“maaf tante, di panggil mama, kata mama makanan udah siap..” aku berdiri menunggu jawabn tante laras.
“iya yo.. Sebentar lagi tante nyusul.. Makasih ya…” tante laras tersenyum tipis. Aku mengangguk, sebelumnya aku memberi kode sama odie untuk mengikutiku. Odie mengerti, ia langsung berdiri mengikutiku ke dalam rumah.
“ada apa yo?” tanya odie penasaran.
“betul die kalo mamamu nggak benci sama aku?” tanyaku ragu.
“betul yo, buat apa juga aku bohong.. Mama itu memang gitu yo, dia bukan tipe yang gampang akrab sama orang, tapi kamu tenang aja, tadi kami ngobrol, dan aku banyak cerita tentang kamu, aku muji muji kamu depan mama..” ujar odie penuh semangat. Dasar odie, entah apa yang ia ceritakan sama tante laras, aku jadi malu, odie memang betul betul anak yang baik. Ia selalu berusaha untuk membuat aku merasa senang. Aku semakin mensyukuri bisa mengenal odie.
“tadi juga aku udah minta izin sama mama untuk menginap disini beberapa hari, mama mengizinkan asal aku bisa bawa diri.. Gitu kata mama.!” odie menarik kursi makan lalu duduk mengambil posisi di sampingku.
“betul die? Wah senang banget dengarnya.. Asik..!” aku nyaris bersorak saking senangnya membayangkan beberapa hari ke depan punya teman yang selalu ada bersamaku dirumah.
“ada apa sayang kok kayaknya kamu gembira sekali?” tanya mama yang baru keluar dari dapur masak.
“odie mau nginap disini sampe hari jumat nanti ma..!” aku memberitahu mama dengan gembira. Mama tersenyum lebar.
“benar die? Kamu mau menemani rio menginap disini, emangnya mama kamu ngasih?” mama terdengar ikut senang.
“iya tante.. Kata mama boleh.!” jawab odie riang.
“syukurlah.. Kamu memang belum pernah menginap disini.. Untung kamu ada teman ya, padahal selama ini ada faisal tapi kamu nggak pernah mau diajak nginap..” mama ikut duduk bersama kami.
“beda tante, kak faisal orangnya cuek, kalo rio asik.. Makanya odie jadi kerasan..”
“oh ya mama kamu mana? Kok belum kesini?” sepertinya mama baru ingat.
“kata tante sebentar lagi dia nyusul ma..” jawabku. Betul saja baru saja aku bicara begitu, tante laras sama om beno memasuki ruangan makan.
“wah kak mega masak banyak ya?” ujar tante laras sumringah, kemudian menarik kursi dan duduk tepat di depanku.
“makan yang banyak dek laras…” mama menyendok sayur asem ke dalam mangkuk kecil.
“iya kak..” jawab tante laras sambil mengambil nasi. Aku diam menunggu tante laras selesai. Odie mengambil sepotong ayam goreng. Sementara om beno mengulurkan piring ke tante laras yang langsung diisi tante laras dengan nasi. Papa duduk disamping mama sedang memotong daging dengan pisau dan garpu. Tiap kali makan, belum pernah lihat papa makan nasi banyak, papa lebih banyak makan ikan atau daging. Potongan daging yang mama masak sangat besar besar. Aku jadi bingung sendiri melihat banyaknya masakan. Entah kapan mama memasaknya. Ternyata mama bisa masak juga, soalnya selama ini hanya bik tin yang memasak. Mama terlalu sibuk bekerja hingga sore terkadang pulang langsung mandi terus sholat dan kemudian tidur.
Semua makan dengan lahap. Sebetulnya masakan mama lebih enak ketimbang masakan bik tin, sayang mama nggak bisa masak setiap hari. Kami makan dalam keheningan, hanya terdengar sesekali dentingan piring yang beradu dengan sendok.
Diam diam aku memperhatikan mereka satu persatu. Wajah mama yang terlihat masih begitu lelah, aku duga mama masih memikirkan kak faisal. Papa nampak tenang, seolah tak terjadi apa apa. Tante laras makan dengan teratur, ia mengunyah makanan lama sebelum akhirnya ia menelan. Om beno sekali sekali melihat pada tante laras, cara makan om beno hampir tak beda dengan tante laras, aku menduga om beno adalah anggota ISTI. Odie makan agak lama dan teratur, pastilah odie selalu diatur tante laras, kentara sekali odie sangat menjaga sikap dimeja makan.
Aku makan cuma satu piring, karena aku tak begitu lapar, soalnya tadi bersama odie aku sudah makan. Setelah selesai makan, aku tak beranjak dari meja makan, soalnya mama pasti akan melarang, tak sopan beranjak dulu kalau ada tamu. Setelah semua selesai makan, barulah aku berdiri. Mama membereskan meja makan dibantu sama tante laras. Papa mengajak om beno merokok di taman belakang rumah. Sementara aku dan odie duduk di depan kolam ikan koi depan rumah. Sekitar jam tujuh malam, papa dan mama bersama tante laras dan om beno pergi untuk menjemput kak faisal di ogan. Aku dan odie disuruh jaga rumah. Setelah mereka semua pergi, aku mengajak odie masuk ke dalam sambil menunggu pulangnya mama dan papa. Terdengar suara motor berhenti di depan pekarangan rumah. Aku langsung beranjak dan melihat siapa yang datang. Ternyata koko. Aku turun ke teras menghampiri koko.
“nggak jalan yo?” tanya koko sambil melepaskan helm yang ia pakai.
“nggak, disuruh mama jaga rumah.. Dari mana ko?” aku balik bertanya.
“dari rumah, emang sengaja mau kesini..” jawab koko turun dari motor.
“masuk dulu yuk.. Sekalian aku kenalin sama sepupuku.” ajakku.
“boleh..” koko mengikutiku ke dalam rumah.
“die kenalin nih koko teman aku…” aku memperkenalkan odie dengan koko. Odie langsung mengulurkan tangannya ke koko.
“odie..”
“koko..” balas koko tersenyum.
“eh rio, apa bukan hanya aku yang bilang kalo wajah kalian berdua kok agak mirip ya?” ujar odie heran. Koko tertawa seolah terbiasa dengan orang orang yang sudah terlampau sering bilang kami berdua mirip.
“iya die, banyak yang bilang gitu.. Hehehe”
“kalian berdua mirip kakak adik.. Kalau ada yang bilang kalian berdua saudara kandung, nggak bakalan ada yang nggak percaya..” tambah odie kurang puas.
“iya.. Iya die, aku tau.. Nggak usah terlalu heran lah, wajar aja wajah orang mirip, manusia ada milyaran didunia, jadi pasti ada beberapa yang mirip.. Nggak aneh kan..” jawabku bosan. Odie terdiam, tapi dari gerak geriknya ia kurang puas.
“oh ya hampir lupa.. Ya ampun.. Tunggu sebentar yo, ada yang ketinggalan di motor..!” seru koko teringat sesuatu. Bergegas ia bangkit kemudian keluar dengan buru buru. Tak lama kemudian ia kembali masuk dengan menenteng bungkusan.
“titipan mama.. Dia masak soto babat, dia nyuruh bawain untuk kamu..” koko mengulurkan bungkusan itu padaku.
“makasih ko, nggak usah repot repot bilang sama mamamu, aku jadi nggak enak ko..!” aku mengambil bungkusan dari tangan koko. Aku memang betul betul tak enak hati, mama koko sudah begitu baik, ia tak harus begitu cuma karena aku mirip sama anaknya yang sudah meninggal.
“melarang mama melakukan sesuatu yang membuatnya bahagia aku tak tega rio, mama begitu bersemangat setelah mengenal kamu, tak pernah lagi dia menyinggung tentang almarhum, biasanya mama sering terkenang sama almarhum kak johan, tapi sejak kehadiranmu, mamaku sudah lebih tenang, baru akhir akhir ini aku melihat mama begitu bahagia yo, biarkan saja mama begitu.. Kamu juga nggak keberatan kan?” tanya koko.
“kalo aku sih nggak keberatan, cuma nggak enak saja sama mamamu..”
“ya udah nggak usah dipikirin, yang penting tak ada yang merasa dirugikan..” ujar koko. Odie cuma diam mendengarkan pembicaraan aku dan koko, sepertinya odie mulai paham.
“om alvin gelisah terus, tadi tante sophie sempat marah marah, soalnya om alvin belum mau pulang ke jambi, aku heran om alvin selalu nanyain kamu terus, ya walaupun tak secara langsung, tapi ia banyak bertanya tentang kamu, seperti ingin lebih tau banyak tentang kamu yo..” ujar koko, mendengar itu aku menjadi senang, ternyata om alvin ingin tau tentang aku, berarti om alvin tidak cuek.
“emangnya kamu yakin ko.?” tanyaku.
“iya.. Aku nggak mengada ada, aku kenal om alvin, aku sendiri agak heran, tapi wajar lah dia bertanya, mungkin om alvin seperti mama juga, jadi tertarik karena kamu punya kemiripan dengan keluarga kami..” jelas koko terdengar agak tak yakin.
“aku ke kamar dulu ya..” sela odie. Aku menoleh, wajah odie agak kusut, gara gara keasyikan ngobrol sama koko aku nyaris lupa ada odie.
“ngapain ke kamar?” tanyaku.
“ngantuk, nggak apa apa kan?” suara odie agak lain.
“ntar aja lah die, baru aja jam setengah sembilan, emang kamu habis nyuci dan ngepel lantai ya, kok bisa capek?” canda koko. Odie tak tertawa, cuma tersenyum tipis. Kalau sedang begitu, ekspresi odie betul betul mirip sekali sama tante laras.
“atau kita ke kamarku aja, ngobrol disitu sambil baring baring…” usulku.
“boleh..” koko mengangguk setuju.
“ayo die, kita ke kamar aja… Kalian masuk dulu, aku mau menutup pintu depan, motor udah kamu kunci kan?” tanyaku pada koko.
“udah…” jawab koko. Aku menutup pintu ruang tamu kemudian menyusul odie dan koko ke kamar. Odie berbaring tengkurap diatas tempat tidur, sementara koko duduk didepan televisi menonton film the monkey king di anteve.
“Kok pada diam gitu…?” tanyaku heran, tumben odie yang biasanya begitu ceria sekarang agak pendiam. Aku kira ia senang aku kenalin sama koko.
“die udah tidur ya?” tanyaku pelan.
“belum..” jawab odie masih tetap tengkurap.
“ya udahlah kalo emang udah ngantuk tidur aja.. Nggak apa apa..” jawabku pengertian.
“iya..” lagi lagi cuma jawaban singkat keluar dari mulut odie.
“besok om alvin ngajak makan di restoran, kamu mau ikut?” tanya koko.
“makan di restoran? Dalam rangka apa,.. Aku sih mau aja, cuma lihat kondisi besok gimana, kalau kak faisal udah pulang, mungkin aku bisa ikut..” aku menarik bantal lantai bergambar mobil warna biru. Kemudian baring diatas karpet disamping koko. Koko ikut berbaring satu bantal denganku, untung saja bantal ini lumayan besar jadi kepala kami tak perlu berdempet seperti kembar siam.
“tadi kami nggak jadi jalan jalan, om alvin tiba tiba ada urusan mendadak..”
“oh ya, aku kira kalian jadi pergi..” komentarku.
“nggak tau sih, om alvin nggak jelas, kayaknya dia mau ketemu kamu, soalnya dia bilang ada urusan setelah aku kasih tau kamu nggak bisa ikut..” koko menolehkan kepala ke arahku.
“besok aku usahakan ikut..” aku jadi nggak enak hati sudah mengecewakan om alvin. Koko dirumahku hingga jam sebelas lewat, ia pamit pulang. Aku menawarinya menginap tapi ia menolak, katanya lain kali saja. Waktu aku mengantarkan koko sampai depan teras rumah. Tiba tiba mobil papa memasuki pagar, kemudian berhenti di depan garasi. Aku melihat mama keluar dari pintu mobil bersama tante laras dan juga kak faisal. Ternyata mereka menemukan kak faisal. Senang sekali aku melihatnya. Cepat cepat aku hampiri mereka. Koko yang masih duduk diatas motor, turun kembali. Kemudian ikut aku menghampiri kak faisal.
“belum tidur sayang?” tanya mama.
“belum ma..” aku memperhatikan kak faisal, ia menunduk menatap standblok seolah ada uangnya jatuh.
“ayo masuk ke dalam semua..!” suara tante laras tajam. Seperti mengerti dengan situasi yang agak lain, koko langsung pamit pulang. Papa, mama, tante laras, om beno dan kak faisal masuk ke dalam rumah, aku menyusul setelah koko pergi. Baru saja aku sampai depan pintu, suara tante laras memenuhi rumah.
“Apa yang kamu pikirkan fai, apa yang ada di otak kamu?” cepat cepat aku masuk ke dalam, sepertinya kak faisal sedang di sidang. Kak faisal duduk di ruang tengah bersama papa mama dan kedua orang tua odie. Wajah kak faisal tertunduk.
“kamu pikir dengan kabur dari rumah, kamu sudah hebat..? Hah… Kalau memang hebat nggak usah numpang dirumah orang segala..!” tikam tante laras penuh amarah. Kak faisal tak menjawab. Terus menunduk tanpa mengatakan apa apa.
“kenapa fai, kenapa kamu lakukan ini, apa kasih sayang mama kamu anggap kurang, apa yang mama lakukan untuk kamu belum cukup…?” tanya mama terdengar sedih.
“faisal jawab nak.. Jangan cuma menunduk seperti itu, kamu tau kamu sudah bikin susah, seisi rumah kalang kabut memikirkan kamu, apa kamu pernah berpikir sebelum bertindak?” tanya papa dengan tenang, tak ada kemarahan dari sikap papa.
“ayo jawab fai…kok diam saja?” desak tante laras tak sabar. Kak faisal mendongak ragu, takut takut menatap tante laras.
“kenapa fai, kamu sudah bisu sekarang? Nggak bisa lagi ngomong?” cetus tante laras.
“sudahlah dek, jangan terlalu menekan faisal, kasihan dia..” mama mengusap punggung kak faisal penuh kasih sayang.
“maafkan fai tante, fai tak bermaksud menyusahkan tante, fai pergi karena ingin menenangkan pikiran…” jawab kak faisal takut takut.
“oh begitu… Jadi seenaknya nggak pulang pulang tanpa kasih kabar terus kamu bilang cuma menenangkan pikiran… Apa kamu pikir kamu sendirian, sudah punya rumah sendiri.. Sudah mandiri, sudah punya penghasilan sendiri jadi bisa seenaknya begitu… Dimana otak kamu?” tuding tante laras emosi.
“Mama mengerti mama memang salah, mama sudah memikirkan semua.. Dan.. Mama setuju kalau kamu pacaran sama amalia, tapi dengan satu syarat..!” aku tau mama berat mengatakan hal itu, namun rasa sayang mama terhadap kak faisal membuat mama mengesampingkan egonya. Kak faisal tercengang memandang mama seolah tak percaya dengan apa yang mama katakan. Namun mama tersenyum pahit, menganggukan kepala seolah ingin meyakinkan kak faisal bahwa ucapan mama tadi tak main main. Kak faisal tak dapat menutupi perasaan senangnya. Ia berterimakasih sama mama. Tante laras tersenyum lebar. Aku senang akhirnya masalah kak faisal bisa diselesaikan dengan baik. Semoga keadaan rumah akan lebih tenang setelah ini. Mama menyuruh kak faisal istirahat karena sudah jam duabelas dinihari. Kak faisal beranjak dan pamit pada tante dan om, aku langsung mengikuti kak faisal ke kamarnya.
“kakak dari mana aja sih.. Kok kabur gak bilang bilang kemana..!” protesku kesal.
“kalau bilang bilang namanya bukan kabur dek!” jawab kak faisal sambil membuka bajunya.
“ya minimal bilang sama aku kek, jadi aku bisa menemui kak faisal, aku kan kesepian..!”
“adek juga kemarin bela mama kan, bikin sebel aja..!” gerutu kak faisal.
“habis kakak semenjak pacaran sama amalia jadi cuek sama aku..!”
“dasar manja, kakak bukan cuek, salah adek sendiri tiap kali diajak nggak mau..!” kak faisal membela diri.
“ya udah.. Kakak istirahat aja dulu, besok kakak nggak kemana mana kan?” aku menahan keinginan untuk melepas kangen, kasihan kak faisal pasti mau istirahat.
“nggak apa apa dek, kakak belum ngantuk kok.. Disini aja, tidur sama kakak..” tawar kak faisal. Ia membuka lemari baju, mengambil baju kaus kemudian memakainya.
“ada odie kak, nggak enak biarin dia tidur sendirian di kamar ku, ntar mama marah..” aku menolak dengan berat hati.
“dek…” panggil kak faisal. Aku yang baru saja hendak membuka pintu langsung berhenti dan berbalik.
“ada apa kak?” aku menunggu jawaban kak faisal, sepertinya ia terlihat ragu, agak lama dia berpikir sebelum menjawab.
“nggak apa apa dek….. Selamat tidur.. Kak faisal sayang sama adek…” kata kak faisal terdengar kaku. Aku tertegun mendengarnya. Tak pernah kak faisal berkata seperti ini sebelumnya. Ada apa dengan kak faisal..? Aku melongo sepersekian detik.
“rio juga sayang sama kakak..!” jawabku akhirnya. Aku keluar dari kamar kak faisal dengan pikiran yang masih bingung. Aku kembali ke kamarku. Odie sudah tertidur begitu lelap, suara dengkuran halus terdengar dari sela bibirnya yang sedikit terbuka. Tidurnya begitu tenang dengan ekspresi setengah tersenyum. Sepertinya odie sedang bermimpi indah. Aku naik keatas tempat tidur dan tidur disamping odie.

******************


Tidak ada komentar:

Posting Komentar