Senin, 21 Maret 2016

Adikku Alvin Christian - Part 12 (Final)

ni dia abangku yang paling tua, yang paling bajingan. Tubuh tegap dengan pandangan bak elang mengintai mangsanya. Aku tersenyum, bukan senyum manis tapi senyum mengerikan yang ku warisi dari ayah. Cukup untuk menciutkan sesaat mental Irfan Erlangga, saudaraku dari pernikahan Ayah dengan istri pertamanya. Dia tergolong orang yang gila harta. Sejak awal dia memang tidak suka dengan kehadiranku dan Ibu, terlebih saat tau adiknya berbeda. Selama beberapa saat kami saling pandang-pandangan bak dua rival yg sudah lama tak jumpa. Irfan mencoba tersenyum untuk mengusir rasa ngerinya, sebuah senyuman meremehkan.
"gue pikir lu udah bahagia dengan pasangan homo lu yang baru disana," ujar Irfan dengan nada mengejek.
"dan gue kira lu udah insaf setelah sadar anak lu dimana-mana," sahutku dengan dingin. "tapi naluri binatang lu masih belum ilang juga rupanya."
"mau apa lu datang lagi kesini?" tanya Irfan tanpa mengacuhkan kata-kataku tadi.
"just for taking my own stuff," jawabku santai.
Irfan masih menatapku tidak percaya, dia tampak waspada atas hal-hal yg mungkin terjadi.
"gue bukan tipe yang pendendam kok," tambahku. "tenang aja, yang lalu biarkanlah berlalu."
aku meninggalkan Irfan yang yg masih mematung di tempatnya berdiri.

Mungkin dia masih takut aku balas dendam atas perbuatannya dulu. Perbuatan yang bagi dia paling jahat tapi dia sendiri justru melakukan itu terhadap adiknya sendiri, yakni memisahkan dua orang yg saling mencintai. Tapi semua itu adalah masa lalu dan aku sudah melupakannya. Di depan pintu masuk aku disambut oleh pak Theo, kepala pelayan di wisma kegelapan. Dia adalah lelaki berusia 48 tahun yang telah bertahun-tahun mengabdikan dirinya untuk keluargaku.
"lama tak berjumpa tuan muda," sapanya dengan ramah.
"baru dua tahun pak," sahutku seraya melirik lukisan besar ayah yg dipajang dekat pintu masuk.
"tapi saya baru menyadari, dua tahun itu bisa jauh lebih lama ketimbang 48 tahun masa hidup saya sekarang."

Aku terkesan dengan kata-katanya yang memang bijaksana dan bermakna. Aku tersenyum kepadanya.
"dan aku sudah bilang kan, jangan panggil aku tuan muda! Aku tidak suka panggilan menyebalkan itu."
Gantian pak Theo yg tersenyum. Senyuman yg begitu tulus dari seseorang yg dulu kuanggap sangat menyebalkan.
"pak Theo, tolong awasi Rey selama dia di rumah ini!" seru Irfan dari kejauhan.
Aku memutar bola mataku mendengarnya. Aku pergi ke kamarku dengan didampingi pak Theo dan beberapa pengawal yang entah datang dari mana. Berlebihan sekali seolah-olah aku narapidana berbahaya.

Aku memasuki kamarku dengan santai, sedang para pengawal itu terlihat agak tegang. Ruangan ini masih sama saat terakhir ku tinggalkan, pak Theo pasti menjaganya dengan baik.
Aku melirik brankas yang anteng di pojok kamar. Brankas itu ku sulap jadi meja kecil multifungsi. Aku menghampiri brankas itu dan mulia memutar-mutar kunci kombinasinya. Tak sampai semenit kuncinya pun terbuka. Pak Theo dan beberapa pengawal itu mengintip penasaran benda yg tersembunyi di dalamnya. Aku nyengir melihat tingkah mereka.

Benda yang jadi harta karunku itu adalah sebuah kotak mainan bergambar gundam. Pak Theo terbelalak, begitu pula para pengawal itu. Mereka sama sekali tidak menyangka isi brankas itu.
"see? Just my toys box," ujarku sambil nyengir.
Pak Theo tersenyum sedang para pengawal itu terlihat tidak enak hati karena sudah berpikir macam-macam tentangku.
"fine, i've done here.." ujarku kepada pak Theo. "i think i dont need the bodyguards to get out. Aren’t i?"
"sure," jawab pak Theo seraya memberi kode kepada pengawal-pengawal itu untuk membubarkan diri.
Dan para pengawal itu pun pergi bak paskibra membubarkan diri.
"oh iya pak," kataku kepada pak Theo. "mobilku masih ada di tempatnya kan?"
"tentu saja", jawab pak Theo "Athena aman tanpa ada yang mengusiknya."
"bagus," gumamku tersenyum puas.
Benda itu adalah kendaraanku yang paling kusayang yang telah menemaniku berpetualang. Kujuluki Athena karena kupikir Athena adalah dewi perang (sangat cocok dengan fungsi mobilku yang untuk seperti kendaraan perang) tapi karena sudah terlanjur dinamai begitu jadi dan sudah cocok dengan nama itu, ya sudahlah.

"apa perlu saya dampingi tuan muda?" tanyanya ketika aku bersiap melengos ke tempat athena menantiku.
"ehem!" ujarku kepada pak Theo.
"err, maksud saya den Agung.."
aku tersenyum puas. "biar aku pergi sendiri,"
Aku meninggalkan pak Theo menuju tempat Athena beristirahat sejenak. Tempatnya ada di garasi rumahku, meski ada sekita lima belas mobil yang berjejer disana tapi aku tetap bisa mengenalinya. Mobil berwarna abu-abu silver polos bermerk Nisan itu masih sama seperti dulu. Hanya saja retakan spion kiri dan goresan tajam di lampu jauhnya sudah tidak ada. Semua lecet-lecet bekas kenakalanku dulu sudah diperbaiki. Sudah kinclong seperti saat pertama kali aku beli.

Tanpa buang-buang waktu langsung kukendarai, segila Adit kalau bermain dengan kecepatan atau mungkin lebih gila lagi. Kulihat Irfan menatap ke arahku, tatapannya tajam seperti tusukan seribu jarum. Sejujurnya aku ingin tertawa, tapi aku ada hal lain yang jauh lebih penting daripada memperhatikan tatapan abangku yang menyedihkan itu. Aku menatap kotak mainanku, benda ini sebenarnya bukan kotak mainan biasa karena berisi mainan yang berbahaya yakni tapi tokalev yang belum dirakit lengkap dengan pelurunya. Aku punya sebuah rencana kecil yang keji.

***

Taman aquarius adalah taman yang begitu populer, setidaknya dua tahun yang lalu. Waktu itu taman Aquarius masih begitu hijau dan rindang dengan beragam tanaman hijau yang berbaris teratur dalam formasi berbentuk 8. Apalagi taman itu dilengkapi atap-atapan yang berbentuk kubah sehingga taman itu sempurna disinggahi saat hujan ataupun panas. Hingga tiba saatnya taman ini terbengkalai dan terabaikan, pepohonan & tumbuh-tumbuhan hijau yang jadi meranggas dan perlahan mati. Dan setelah air mancur dari patung wanita yang sedang menuang air itu mati, taman Aquarius benar-benar berakhir. Bahkan ikan-ikan yang tadinya berenang-renang dengan lincah diadopsi oleh penduduk sekitar.

Bagiku taman ini tidak mati, hanya sedang tertidur saja. Menunggu saat terbaik untuk membuka mata dan menunjukan pesonanya kepada dunia.

Aku memandangi patung wanita yang sedang berpose menuang air dengan jambangannya. Tak bosan-bosannya aku memandangi keindahan polesan dan ukiran patung ini yang eksotis. Jangan salah sangka lho! Aku memang murni mengagumi patung ini bukan membayangkan yang tidak-tidak. Aku masih penasaran siapa pembuat patung ini. Dulu aku pernah kucoba cari tau tentang asal usul patung ini. Tapi informasi yang kudapat hanyalah: patung ini pemberian bapak gubernur Bandung dulu. Dan tulisan Pohon Kenangan itu masih jadi tanda tanya besar, sebab anak buahku sama sekali tidak bisa menemukan arti dari ukiran kata itu.

Sebenarnya ada alasan lain yang membuatku jadi tertarik dengan patung air mancur itu. Sewaktu pertama kali mengajak Alvin ke taman ini, Alvin memandang lekat ke arah patung itu. Dia bilang wajah di patung itu mengingatkannya kepada Ibu kandung yang telah menelantarkannya dulu. Tapi mulut sialku malah mengejek Alvin dengan seenaknya, membuat anak itu menekuk wajahnya sepanjang kencan kami. Tapi aku senang melihat wajah cemberut Alvin, dia terlihat lucu dengan ekspresi seperti itu. Mengenang masa lalu yang indah itu sangat menyenangkan, kekasihku yang sedang berusaha menjauh dariku. Tapi tentu saja dia tidak akan bisa.

Semenit kemudian dia datang, seseorang yang kutunggu-tunggu yakni pacar palsunya Alvin. Gadis itu menatapku dengan mata cemerlangnya yang sudah memudar. Dia masih sekusut saat kupermalukan waktu itu. Lia menatapku dengan sorot mata yang dipenuhi kebencian. Masa bodo lah dengan apa yang ada di hatinya, karena aku membutuhkan dia untuk menyempurnakan rencanaku.
“apa masih ada kebahagianku yang ingin kamu renggut gung?” tanya Lia dengan nada parau. Tipe suara tercipta jika telah menangis semalaman.
“mungkin aku datang kesini untuk minta maaf,” jawabku sambil tersenyum.

Lia tampak tertegun mendengar kata-kataku. Reaksi yang kuharapkan, kutatap matanya dalam-dalam seolah mataku ini bisa melihat isi hatinya yang penuh luka.
“Alvin sudah mengatakan semuanya,” lanjutku dengan nada sedikit menyesal. “ternyata bukan kamu yang memulainya tetapi anak itu.”
Lia masih tertegun diam di tempatnya berdiri. Aku menghampirinya perlahan namun Lia mundur menjauh seiring langkahku mendekat kepadanya.
“jangan mendekat!!” seru Lia setengah panik.
“hei tenang, semua baik-baik saja! percayalah!” ujarku berusaha meyakinkannya. “bukankah sudah kubilang aku datang untuk minta maaf, apa itu salah?”

Lia langsung terdiam tanpa menjawab. Dia kembali menatap tajam kearahku seperti tadi.
“dengar, aku mendapat sebuah kabar tentang Alvin..” ujarku kembali mendekatinya perlahan, Lia tidak menjauh seperti tadi. “kudengar setelah seratus hari kematian Adit, Alvin akan ditunangkan dengan adik perempuan mantan istrinya Adit.”
Lia terperajat mendengarnya, reaksi yang kuharapkan lagi darinya.
“terkejut? Tak perlu disangkal aku juga terkejut. Tapi kita masih bisa menghentikannya.”
“benarkah?” sahut Lia antusias.
Aku menganggukan kepalaku sembari tersenyum. “tentu, kita bisa mencegah agar hal itu tidak sampai terjadi. Dan aku punya rencana, tentu saja rencana ini tak akan bisa berhasil tanpa bantuanmu.”

Lia tersenyum, seperti orang putus asa yang tiba-tiba mendapat bantuan tidak terduga. Aku ikut tersenyum, sebuah senyuman khas yang ku warisi dari ayahku.
“sebuah pengorbanan,” ujarku seraya membisikinya.
Senyuman dari bibir Lia menghilang seketika, hanya aku yang tersenyum.


Sebuah Nama Sebuah Cerita


Revan Andhika Syah

Aku berharap liburanku dan Adit di Bandung untuk bertemu Alvin akan berakhir dengan bahagia. Dan ternyata Tuhan punya rencana lain. Sejujurnya aku paling tidak suka cerita sedih karena setiap orang berhak untuk bahagia. Saat itu Adit masih dalam kondisi kritis di rumah sakit, Alvin tidak berhenti menangis dan menyalahkan dirinya sendiri. Aku sebagai abang-abangannya berusaha menghibur dan ada selalu ada disampingnya. Seperti yang sudah kubilang, aku benci melihat orang lain menangis.
“everything will be alright,” ujarku seraya mendekap Alvin yang sesunggukan. “kamu akan melihat dia kembali tersenyum, vin. Aku yakin itu.”
Alvin berusaha menghapus air matanya, dia memelukku dengan erat membenamkan wajahnya di dadaku. Aku sejujurnya pesimis dengan kata-kataku barusan, sebab menurut dokter kondisi Adit sudah parah. Mereka akan berusaha semaksimal mungkin. Ya Tuhan, aku mengharapkan keajaiban dariMu.

Aku memutuskan untuk membeli makanan. Orang tuanya Adit, Alvin dan Feri belum makan sejak tadi siang. Bersama Feri aku langsung melangkah chaw, di dekat rumah sakit ada minimarket yang menjual makanan cepat saji. Feri memilih sekotak nasi lengkap dengan lauknya untuk orang tuanya Adit dan Alvin sedang untuk dirinya sendiri Feri memilih hotdog. Sedang aku sendiri mengambil humberger.
"kok kamu bisa ikut kesini fer?" tanyaku iseng. "bukannya kamu sekolah ya?"
"pengen aja kak," jawab Feri sambil tersenyum. "aku kan juga ingin ketemu kak Alvin,"
"ooh," aku ber-o panjang. "emang boleh sama kakakmu?"
"hmm, gitu deh.." jawab Feri sambil nyengir. "tadinya sih gak boleh."
"ooh," aku kembali ber-o panjang, tapi aku bisa melihat secuil kebohongan dari jawaban Feri.
Setelah membayar makanan-makanan itu kami kembali ke rumah sakit.

Ayah dan ibunya Adit makan lumayan lahap, begitu pula Feri. Hanya Alvin yang sama sekali tidak menyentuh makanannya. Wajahnya tampak kuyu dan pucat, rambutnya acak-acakan persis pengangguran lagi depresi. Aku meraih kotak makanan Alvin dan mencoba menyuapinya.
"A.." ujarku seraya menyodorkan satu sendok suapan di depan mulut Alvin.
Alvin menggelengkan kepalanya dengan lesu.
"kamu belum makan dari tadi siang," ujarku. "apalagi kamu juga habis bertandingkan? Energimu terbuang banyak."
Alvin tetap diam tanpa merespon. Aku menghela nafas pelan, anak yang satu ini kalau sudah ngotot susah sekali dibujuknya.
"ade pasti lapar kan? Ayo makanlah barang tiga suap," bujukku.
Alvin menggelengkan kepalanya lagi.
Ibunya Adit, Bu Emil kemudian duduk di sebelah Alvin juga.
"kamu boleh mengkhawatirkan Adit seperti ini, tapi jangan sampai kamu mengabaikan hak tubuhmu untuk makan," ujar Bu Emil mencoba membujuk.
"biarlah bu," sahut Alvin.
"gak boleh gitu, vin.." ujar Bu Emil. "dengarkan Ibu! Apa yang kamu lakukan ini hanya menyiksa diri dan tidak akan menyelesaikan apa-apa. Tidak akan membuat Adit selamat dari masa kritisnya sekarang?!"
Alvin masih saja diam tanpa bereaksi apa-apa. Aku mencoba mencari inisiatif sendiri.
“apa gunanya ade menunggui Adit dengan perut kosong seperti ini?” ujarku sambil mengaduk nasi Alvin untuk menyiapkan satu suapan. “kalau saat Adit bangun nanti ade malah terkapar sakit, gimana? Sia-sia donk ade menunggu?”
Anak ini tampak berpikir. Sesuatu yang tak terlintas di pikirannya dan yang tak diinginkannya pula.
“nanti Adit akan marah-marah kalau tau kamu mengabaikan kesehatan lagi,” tambah Bu Emil, beliau menambahkan kata ‘lagi’ yang berarti mungkin pernah dilakukan Alvin dulu. “kamu tidak mau kan membuat kakakmu mengomel saat dia membuka matanya nanti?”

Akhirnya Alvin menyerah, perlahan dia mengambil kotak makanannya dari tanganku. Dan ternyata Alvin makan dengan lahap. Sudah pasti itu, sebab dia tenaganya sudah banyak terkuras karena pertandingan basket. Padahal tadi berlagak tidak lapar, dasar anak-anak! Makannya cepat sekali, tak sampai sepuluh menit nasinya sudah habis. Alvin kemudian bangkit dankemudian meninggalkan kami.
“mau kemana vin?” tanya Ibu nya Adit heran.
“mau meminta kemurahan hati Yang Maha Kuasa,” jawab Alvin.
Aku sempat melihat mata Alvin yang kembali berkaca-kaca sesaat sebelum siluet dia menghilang di belokan ke tangga.

“semoga Yang Maha Kuasa mau mendengar doa Alvin,” gumam Bu Emil, entah dia berbicara sendiri atau denganku. Beliau juga sama sedihnya seperti Alvin. Ibu mana yang tidak menangis ketika anak semata wayangnya sedang kritis dengan harapan selamat yang cuma secuil?
“Tuhan pasti akan mendengar doa orang-orang yang memohon dengan tulus,” ujarku sambil tersenyum empati.
“semoga saja, kadang doa bukan bukan soal mengabulkan keinginan. Sekarang yang bisa kita lakukan hanyalah berdoa,” tambah Ayahnya Adit tiba-tiba. “karena saat ini adalah wewenang Yang Maha Kuasa untuk memutuskan bagaimana perjalanan hidup Adit.”
Tangis Bu Emil tak terbendung lagi, kata-kata pak Hadi barusan memang terdengar begitu menyesakan tapi inilah kenyataannya sekarang.
“mungkin aku harus menemani Alvin,” ujarku seraya beranjak. Sebuah ide yang tiba-tiba saja lewat di pikiranku.
“sebaiknya jangan,” cegah pak Hadi tiba-tiba. “biarkan Alvin sendiri untuk saat ini. Dia butuh lebih banyak ruang sendiri untuk meyakinkan Tuhan bahwa yang dia pinta itu tidak salah.”

Aku terdiam sesaat, benar juga sepertinya. Hanya saja naluri keabanganku yang dulu sempat memudar mendadak bangkit kembali.

Ponselku mendadak berdering, tanda ada SMS masuk.
From: Rena “galak”
Van, aku lg d’lobby. Cpt km dtg!

Singkat jelas padat, tumben kakakku yang galak itu menghubungiku. Aku langsung meninggalkan mereka, biasanya kak Rena menghubungiku jika ada hal yang penting. Kakakku tampak duduk manis di bangku lobby.
“ada apa kak?” tanyaku.
“kamu kenal Reynaldi Prasetio Agung kan?” ujar Rena membuka pembicaraan.
“Re..Reynaldi?” ulangku bingung, nama itu asing di telingaku.
“Agung..”
“ooh!” aku baru ngeh. “iya kenal, dia kan murid ekskulku dulu.”

Rena menatapku tajam seakan aku seseorang yang mengancam keselamatannya. Aku langsung menelan ludah, kakakku yang ini auranya memang sedingin es.
“berhati-hatilah dengannya, van..”
“lho kenapa?” tanyaku heran.
“dia seseorang yang sangat berbahaya!” tegas Rena. “kamu tidak mau kan adik kecilmu itu dalam bahaya?”
“tunggu-tunggu,” aku masih belum bisa menangkap maksud omongan kak Rena. “apa maksudnya dia berbahaya dan Agung membahayakan Alvin?”
“banyak yang tidak kamu ketahui tentang Agung,” ujar Rena sambil berdecak pendek. “nama aslinya saja kamu tidak tau kan?”
Yang dia katakan benar, dan aku tidak suka kalau dia benar.

Rena merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah ponsel yang terkenal dengan harganya yang selangit: IPhone 3G.
“cuma ada satu file di dalamnya,” ujar Rena.
Di dalam kapasitas 16 GB ini cuma ada satu file? Rasanya terlalu mubadzir. Begitu kubuka galeri hanya ada sebuah video yang tersimpan. Aku melirik ke arah kak Rena sebentar kemudian baru memilih video itu untuk diputar. Video ini tentang Agung dan Alvin, terlihat mereka saling bercakap-cakap, tak ada hal yang aneh jadi aku masih menonton saja. Mulai masuk ke inti video aku mengerutkan dahi, tenggorokan mendadak tidak enak seperti habis memakan buah nanas. Belum sampai detik terakhir video itu sudah ku-stop, aku tidak mau melihatnya sampai habis.

Aku masih tidak menyangka dengan apa yang kulihat tadi. Agung dan Alvin adalah.. pasangan homo? Aku memandang Rena lurus-lurus dengan segudang pertanyaan di pikiranku.
“terkejut?” kalau kamu tidak terkejut justru aku heran,” ujar kak Rena dengan enteng. Sekilas kata-katanya itu seperti yang diucapkan Dumbledore saat Harry melihat kenangannya di Pensieve.
“sejak kapan kakak tau tentang hubungan mereka ini?” tanyaku menggelengkan kepala dan menyerahkan kembali IPhone itu.
“ketika aku bertemu kembali dengan anak itu saat pertandingan basket,” jawab kak Rena.
“kakak sendiri dari mana tau tentang Agung?” sepertinya kakakku tau lebih banyak.
“dia cuma bagian dari masa lalu,” ujar Rena kemudian bangkit dan kini berdiri berhadapan denganku.

Ada terlalu banyak masa lalu yang dimiliki kakakku ini, dan tidak semuanya dia beberkan dengan gamblang.
“itu cuma sebuah masa lalu yang tidak penting,” sahut Rena sambil tersenyum getir. “seandainya Adit tidak dapat lolos dari malaikat maut, maka kamulah yang akan menjadi abang yang dapat Alvin andalkan.”
“apa maksud kata-kata kakak tadi?!” aku jadi sedikit berurat. “Adit pasti akan selamat dari masa kritis ini!”
“aku kan cuma bilang seandainya,” ujar Rena pelan. “memang tak akan ada orang yang bisa menggantikan posisi Adit bagi Alvin tapi aku tau Adit percaya kepadamu.”
Aku terdiam mendengar kata-katanya.

***


Hari semakin malam, aku memutuskan untuk menunggui Adit di depan pintu UGD. Ayah dan Ibu nya Adit kembali ke hotel, Lena membawa Feri ke tempatnya sedang Alvin ngotot ingin tetap di depan ruang UGD. Aku berusaha keras membujuknya pulang.
“tenang saja vin! Adit akan baik-baik saja! dokter siap jika Adit sudah membuka matanya,” bujukku kepada Alvin.
“gak mau!” tolak Alvin singkat, dia tetap duduk di posisinya.
“jangan kayak gini donk,” ujarku masih belum menyerah. “nanti waktu Adit sembuh ade malah sakit lagi?”
“aku gak peduli!” sahut Alvin kekeuhnya minta ampun. “aku ingin jadi orang pertama yang melihat kak Adit membuka mata.
Baiklah! Aku sudah tidak bisa menggoyahkan pendirian Alvin ini. aku menghela nafas panjang seraya mengusap-usap lembut kepala Alvin.

Tidak perlu membujuk-paksa dia lagi, karena aku mengerti apa yang dia rasakan sekarang.
“ade tunggu disini ya,” ujarku seraya bangkit. “aku akan pulang sebentar untuk mengambil beberapa barang.”
Alvin hanya menganggukan kepalanya, dia menekuk kedua kakinya di depan dada dan memeluknya sembari membenamkan wajahnya ke lutut. Terlihat sekali betapa lelahnya anak ini. aku malah jadi tidak tega melihatnya, bahkan meninggalkan Alvin barang sepuluh detik rasanya aku tidak sanggup. Kuputuskan untuk menyuruh orang rumah saja, membawakan selimut tebal dan beberapa makanan kesini. Aku duduk di sebelah Alvin yang sedang duduk meringkuk di lantai yang dingin, kukirim sebuah pesan singkat kepada mang Iyan. Kurapatkan tubuhku dengannya untuk mengusir hawa dingin rumah sakit yang ternyata cukup menusuk tulang. Alvin hanya bergeming, sepertinya anak itu sudah terlelap dalam lelahnya.

Suasana hening begini bukan atmosfir yang bagus menurutku. Terdengar ponselku berdering memberi tau laporan pengirimanku berhasil. Sudah terkirim, semoga mang Iyan tidak ngaret. Suasana hening begini bukan atmosfer yang bagus. Langsung saja ku keluarkan ponselku dan meumat playlist lagu pop. Volumenya tidak terlalu keras, paling tidak cukup untuk aku seorang yang mendengarnya. Aku jadi menyesali kebiasaanku yang tidak suka membawa headset. Sembari menikmati lagu yang mengalun pelan aku mengamati suasana rumah sakit di malam hari ini. Kurasa tidak berlebihan kalau rumah sakit digambarkan menyeramkan kalau di film-film horor, memang begitulah kenyataannya. Bahkan Alvin yang terduduk-meringkuk begitu sekilas terlihat seperti arwah gentayangan yang mati dengan putus asa. Ayolah Revan! sudah besar masih saja parnoan.

Lima belas menit kemudian mang Iyan pun datang membawakan barang-barang yang kupesan. Tapi yang mengherankan itu mang Iyan datang tidak sendiri tapi bersama seseorang: kak Rena. Mau apa dia malam-malam datang?
“kakak ngapain ikut juga?” tanyaku.
Rena merogoh sakunya dan menyodorkanku sebuah benda, headset ponselku.
“mungkin benda ini akan berguna, van..” ujarnya.
Dia ini memang punya bakat meramal mungkin ya? intuisinya tajam juga.
“mang Iyan duluan aja, bawa mobilnya ke pintu depan rumah sakit. Aku akan ada disana,” ujar Rena.
Tanpa bertanya atau berkata apa-apa mang Iyan langsung capcus. Kak Rena mengambil selimut yang kupegang lalu menyelimuti Alvin. kak Rena menatap Alvin dengan tatapan yang berbeda, seolah-olah dia sedang menatap adik kandungnya yang sedang terlelap dalam lelah. Tatapan yang jarang sekali kulihat dari kedua bola matanya. Aku terkesima melihatnya.
“jaga dia baik-baik ya van,” ujar kak Rena kemudian meninggalkanku.

Aku kemudian ikut masuk ke dalam selimut hangat itu, kuatur posisinya sehingga Alvin ada di depanku dan menyandar kepadaku sedang aku memeluknya dari belakang. Perlahan aku tertidur, rasa kantuk yang luar biasa datang menyerangku. Sepertinya memang aku juga sama lelahnya, hanya saja kutahan-tahan.

Jam tiga pagi aku terbangun, karena kebiasaan sholat tahajud makanya aku sering sekali terbangun pada jam segitu. Alvin menggeliat pelan, posisinya berubah jadi menghadapku. Dia sedang memelukku, erat sekali. Apa dia sedang bermimpi memeluk Adit ya? aku mencoba melepaskan diri daripelukannya tapi sulit sekali. Persisi seperti saat aku menginap di kamarnya yang di gudang logistik. Tiba-tiba aku menyadari bahwa ada aktifitas di dalam ruang UGD. Sepertinya..

Aku melepaskan diri dari pelukan Alvin dan mencoba mengintip apa yang sedang dilakukan tim dokter di dalam. Entah kenapa firasatku mengatakan buruk, ya Tuhan kuharap ini tidak seperti yang kupikirkan. Para dokter terlihat sedang berusaha keras di tengah bunyi alat kardiogram yang seakan memburu. Aku menggigit bibir menebak-nebak apa yang terjadi. Bunyi alat kardiogram makin tak beraturan itu membuat siapapun yang mengdengarnya pasti merinding.

Tanpa kusadari air mataku jatuh, mulutku komat-kamit menyebut asmaNya, berharap Dia Yang Maha Baik menunjukan kemuliaanNya. Jujur aku merasa takut. Aku takut kehilangan seseorang seperti Adit.
“Tuhan, kumohon dengan sangat..”
Para dokter semakin sengit dengan pekerjaan mereka. Salah satu dari mereka mengeluarkan alat kejut jantung (salah satu peralatan dokter favoritku) mereka mulai melakukan “kejutan listrik”. Satu kali, dua kali, tiga kali hingga tegangannya sudah dinaikan, alat itu tetap tidak bisa memenuhi ekspektasi mereka.
Dalam hati aku meraung memohon kepada Tuhan.
Tuhan, ku mohon jangan...

Beberapa menit tim dokter berkutat dengan alat kejut jantung itu, hingga kemudian mereka menyerah dan berhenti. Adit tergolek tak bergerak dengan kardiogram yang menunjukan garis lurus. It’s the end. Salah satu dokter menyelubungi Adit dengan selimut hingga menutupi wajahnya, layaknya seseorang yang meninggal. Ayolah! Kalian tim dokter sedang bercanda kan? Aku tau kalian cuma sedang melakukan simulasi. Simulasi operasi yang gagal.

“kak Adit..” sebuah suara terdengar dari belakangku. Siapa lagi kalau bukan Alvin, dia tampak sedang mengucek mata kirinya sedang mata kanannya terlihat merah seperti orang sakit mata. Dia menatapku lurus-lurus, hanya perlu beberapa detik untuk Alvin menyadari bahwa ada yang tidak beres.
“mana kak Adit?” tanyanya seraya bangkit dan menyingkirkan selimutnya.
Bersamaan dengan itu, tim dokter keluar dari ruang UGD, wajah mereka kusut tapi tidak lebih kusut dari Alvin. salah satu dari mereka berbicara kepada Revan.
“maaf, kami sudah berusaha semampu kami,” ujar salah satu dari dokter itu.
“kalian bercanda kan?” sela Alvin. Dia punya pikiran yang sama denganku.

“aku tau kalian sedang bercanda,” lanjut Alvin sambil tersenyum memaksa. “kalian sekongkol kan dengan kak Adit? Mengerjaiku?”
Para dokter itu hanya diam dan menatap Alvin dengan tatapan lirih. Alvin masih mencoba tersenyum, dengan langkah gontai dia masuk ke ruang UGD. Tak ada satu dokter pun yang mencegahnya. Anak itu sempat cekikikan pelan melihat Adit yang terselubungi selimut.
“kak Adit..” panggil Alvin sembari berlutut di samping tempat tidur. “bangun kak! Aku tau kakak lagi pura-pura.”

Pura-pura dari Hongkong! Kalaupun ini lelucon sungguh sangat tidak lucu. Tapi aku lebih berharap ini cuma sebuah lelucon. Aku perlahan melangkah mendekat ke Alvin.
“kak Adit udah ketularang bang Revan nih!” ujar Alvin setengah terisak. “suka banget bercanda, tapi ini gak lucu kak.”
Tak ada jawaban karena memang tak mungkin Adit menjawab, dia tetap terdiam kaku dibalik selimut.
“bangun kak! Please..” Alvin memohon, air matanya mulai bercucuran. “aku ingin baca buku bareng kakak lagi, boncengan sambil kebut-kebutan di jalan..”
Alvin membenamkan wajahnya di tempat tidur, suara tangisannya makin menjadi. Aku mendekap Alvin dari belakang.
“sudahlah, vin. Biarkan Adit pergi dengan tenang,” ujarku berusaha menenangkannya.

Alvin mendorongku hingga aku jatuh.
“abang bohong! Abang bilang kak Adit akan hidup?! Abang bilang dia akan bertahan buatku?!” Dia mengatakan denganpenuh emosi.
Aku tidak bisa menyangkalnya, aku menyesal terlanjur berkata seperti itu, sebenarnya aku tidak bermaksud menjanjikan tapi aku berharap ada malaikat lewat dan mencatatnya. Tapi rupanya yang mencatat malaikat maut.

***

Setelah seharian menangis dan menyalahkan dirinya, Alvin hanya diam. Tatapannya kosong seakan cahaya hidupnya sudah padam. Dan aku berusaha terus standby di sampingnya. Tapi anak itu sempat menghilang entah kemana, aku panik mencari Alvin kesana kemari. Ponselnya kutelpon mati kutanya orang sana-sini hanya menjawab tidak tau. Tapi sekitar jam tujuhan dia kembali, dengan wajah yang sama: kusut dan sedih. Saat aku tanya dari mana dia hanya menjawab dengan gelengan pelan lalu meninggalkanku lagi.

Aku menariknya ke taman rumah sakit dan lantas membelikannya es krim, salah satu makanan manis kesukaan Alvin. Tapi es krim itu hanya dipegang saja dan dibiarkan meleleh membasahi tangannya.
“meleleh tuh es krimnya de,” ujarku menunjuk tangannya yang terkena lelehan es krim.
Tapi anak itu hanya bergeming dengan pikirannya sendiri.
“ade mungkin mau ayam goreng buat makan siang?” tanyaku mencoba mencari topik. Aku menawari Alvin dengan makanan kesukaan Ipin.
Anak itu menggelengkan kepalanya lalu membuang es krim itu lalu pergi meninggalkanku. Alvin kalau sedang galau benar-benar akut, butuh dokter spesialis galau. Aku menghela nafas panjang. Aku langsung menyusul dan berjalan mengiringinya bak seorang pengawal. No matter what I have to be with him all time.

Hari ini pak Hadi, bu Emil dan Alvin akan pulang ke Jakarta, membawa serta jasad Adit. Kata pak Hadi Adit akan disholatkan dan dikuburkan disana. Lena, mantan istrinya Adit tak nampak batang hidungnya. Kata Fer, Lena dan Alvin bertengkar hebat semalam. Karena itu mungkin Feri tidak menampakan dirinya di sekitar Alvin?

Aku pergi ke minimarket yang kemarin, membelikan makan siang untuk Alvin. Sedang pak Hadi dan bu Emil sedang mengurus administrasi rumah sakit setelah urusan tiket pesawat beres. Saat sedang memilah nas kotak yang pas untuk Alvin, seseorang ada yang mencolekku dari belakang. Saat aku menoleh kudapat Feri berdiri dengan wajah cemas seperti maling ayam yang sedang ngumpet dari kejaran massa.
“kemana aja fer? Dicariin Alvin tuh!” ujarku dengan nada bercanda.
Di Feri cuma cengar-cengir tak jelas, tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah buku dari jaketnya dan menyodorkan kepadaku.
“apa ini?” tanyaku keheranan melihat buku itu.
“sebuah diary,” jawab Feri. “baca aja kak, nanti kakak akan tau dan paham.”

Feri lalu pergi dengan tergesa-gesa meninggalkanku, ada apa sih dengan anak itu? aku mengamati buku diary dengan cover polos dengan sebuah nama di bagian bawahnya.

Alvin Christian

Kenapa benda sepribadi ini bisa ada di tangan Feri? Aku kembali ke rumah sakit dengan pikiran penuh tanda tanya.

Tadinya aku ingin ikut juga ke Jakarta, tapi ada sebuah urusan keluarga yang harus ku selesaikan dulu. Apalagi oom Fian sudah jauh-jauh datang kesini.
“abang akan kesana secepatnya jika urusan disini sudah kelar,” ujarku kepada Alvin saat di hotel tempat orang tua Adit.
Anak itu cuma menganggukan kepala dengan lesu. Matanya masih sembab bekas air mata. Kuacak-acak saja rambutnya, persis seperti kebiasaan Adit dengan teknik yang sama.
“everything will be alright,” ujarku kepadanya. “aku tak akan membiarkanmu sendirian, percayalah!”
Alvin malah berkaca-kaca, dia buru-buru menghapus air mata itu sebelum membasahi pipinya. Ku dekap erat anak itu, tak tega ku lihat dia sedih terus menerus. Anak yang tadinya garang mendadak melow-galau begini. Dia aslinya memang tak punya bakat jadi preman.

“do you promise?” bisiknya kepadaku. Suara Alvin terdengar parau.
“of course,” jawabku meyakinkan. Kulepaskan dekapanku kepadanya lalu ku keluarkan sebuah kalung. Kalung yang kata Adit ingin dia berikan kepada Alvin. kalung berinisial A itu.
"ade tau?" ujarku sembari memperlihatkan kalung. "Adit ingin memberikanmu kalung ini sebagai hadiah kemenanganmu.”
Alvin menatap kalung itu dalam-dalam seolah ada potongan kenangan Adit yang masih tersimpan di dalamnya.

Dan mereka pun berangkat, dengan membawa jasad Adit. Tak kubayangkan seperti apa jadinya jika bawaan salah satu penumpangnya adalah orang mati. Tanpa kusadari aku sudah tiba di rumah. Astaga! Aku menyetir sambilng bengong. Apa seperti ini ya posisi Adit saat kecelakaan? Bengong dalam kecepatan tinggi.

Begitu aku memasuki ruang keluarga, semua orang sudah lengkap. Ada kak Rendi, kak Rena dan oom Fian. Mereka semua tampak menungguku, aku jadi grogi sendiri.
“welcome home, Revan..” ujar oom Fian seraya tersenyum. Senyuman yang begitu lebut seperti senyum ibuku. Aku membalas senyum juga.

“sekarang kita sudah lengkap, om!” ujar Rena yang tampak tak sabar. “sekarang oom bisa uraikan maksud dan tujuan oom mengumpulkan kita semua disini!”
“kamu memang orang yant tidak sabaran,” ujar oom Fian santai. “persis ayahmu.”
Dibilang begitu kak Rena langsung diam. Kata-kata sederhana yang begitu ajaib. Oom Fian berdehem sebentar lalu memintaku untuk duduk. Kulirik kak Rendi sebentar, wajahnya agak serius.
“terima kasih ya atas kesediannya untuk berkumpul,” ujar oom Fian membuka pembicaraan. Beliau tersenyum kemudian melanjutkan ke inti pembicaraan. Pembicaraan yang cukup panjang, dan aku sebenarnya sudah agak bosan mendengarnya. Keutuhan keluarga. karena kenyataannya keluarga ini sudah tidak utuh lagi. Hanya sedang berusaha bertahan dari kehancuran.


:: Reynaldi Prasetio Agung ::

Situasi aman, Revan tidak menampakan batang hidungnya. Suasana rumah Adit sepi-sepi saja, setelah acara penguburan. Tak ada aktifitas yang berarti, semua berjalan seperti biasa dan tentunya mereka sedang dalam suasana berkabung. Pada jam tujuh malah ayahnya Adit pulang. Bukannya menemamin sang mantan istri yang sedang sedih? Lelaki macam apa dia? Baiklah! Itu tidak penting sekarang aku harus memancing si anak kucing keluar dari rumahnya.

Kukeluarkan ponselku dan menekan nomer Alvin yang sudah kuhafal di luar kepala. setelah beberapa kali nada sambung, panggilanku pun dia jawab. Ku pikir dia akan me-reject atau mengacuhkannya.
“mau apa kamu menghubungiku lagi?” tanya Alvin dengan dingin.
“apa orang tuamu tidak mengajari etika berbicara di telepon?”
“to the point sajalah! Apa maumu?” Alvin terdengar setengah membentak.
Aku tersenyum, membayangkan ekspresi Alvin saat ini.

“temui aku di taman dekat rumahmu, yourself only sekarang!”
“kamu pikir kamu siapa bisa menyuruhku begitu??!” seru Alvin berang.
“datang atau baak Hadi tercinta tak akan pulang dengan selamat!” ancamku yang tentunya membuat Alvin jadi berpikir dua kali.
Sempat ada keheningan diantara kami, sedang aku hanya menunggu respon darinya. Ancamanku tidak pernah sekedar main-main.
“tunggu aku sepuluh menit lagi!” ujar Alvin dan panggilan terputus.

Gotcha! Gumamku dalam hati. aku langsung mengarahkan mobilku menuju taman itu. malam ini terasa begitu dingin dengan bulan purnama yang bersinar merah. Jarang-jarang bulan berwarna merah indah seperti ini. begitu aku tiba di taman, sosok yang kunanti sudah berdiri tegak disana. Sorot matanya yang tajam adalah daya tarik utamanya, bagiku.
“enam menit dua puluh tiga detik,” gumamku kepadanya sekaligus memberi signal kehadiranku.
Alvin langsung menoleh dan tatapannya makin tajam.
“katakan apa maumu!” ujar Alvin sama sekali tak mau berbasa-basi dulu.

“aku mengundangmu ke pertunjukan teater,” ujarku dengan santai. “besok jam dua belas siang.”
Aku tersenyum sinis seraya menyodorkan sebuah amplop berisi undangan. Undangan itu seperti undangan pesta ulang tahun anak kecil.
“konyol!” ujar Alvin kesal. “aku tidak mau datang.”
“kamu akan datang vin,” ujarku sambil membaca SMS laporan dari anak buahku. “sebab di pesta itu tidak hanya kita berdua, aku pun turut mengundang keluargamu dan beberapa teman kecilmu.”
“apa katamu??!” sergah Alvin berang.
“tidak menyenangkan bila cuma kita yang bersenang-senang,” senyumku berubah menjadi senyum bengis. Senyuman yang menakutkan. “aku tentu mengajak serta orang-orang yang kamu cintai, agar mereka bisa ikut merasakannya.”

Alvin mengeluarkan sumpah serapah. Kata-kata layak sensor itu lebih terdengar seperti untaian puisi indah di telingaku. Setelah membiarkan dia puas berintermaezo, aku kembali ke topik pembicaraan.
“jangan lupa untuk mempersiapkan dirimu,” ujarku kemudian meninggalkannya. “anak buahku akan menjemputmu tepat waktu. Jadi kamu tidak mungkin salah alamat atau terlambat.”
“kamu akan menyesal gung,” ujar Alvin menahan emosi yang teramat sangat. “aku akan memastikan itu, kamu akan membayar untuk ini.”
Aku cuma tersenyum dan meninggalkan anak itu sendirian. Telpon selulerku berdering.

“bos, semua tamu sudah dikumpulkan.”
“bagus, teruskan rencana ke tahap lanjutnya.”


:: Revan Andhika Syah ::

Aku membuka kamar orant tuaku. Kamar ini sudah lama dibiarkan kosong tapi semua tetap terawat dengan baik. Posisi perabot tak ada yang berubah, semua tetap pada tempatnya. Di dekat jendela yang menghadap ke taman ada sebuah foto besar Ayah dan Ibu. Foto yang diambil saat mereka berbulan madu di Bromo. Wajah keduanya tampak begitu bahagia berseri-seri. Aku duduk di tempat tidur seraya melihat lama-lama foto tersebut. Seandainya saja aku bisa bertemu mereka lagi meski hanya dalam mimpi.

“kamu rindu Ayah dan Ibu ya?”
Aku yang sedang khidmat bernostalfia mendadak kaget, kak Rendi berdiri di ambang pintu sambil tersenyum lembut.
“anak mana yang tidak rindu dengan orang tuanya?”
Rendi kemudian melirik ke arah foto yang sedari tadi kulihati, lalu berjalan menghampiri dan duduk di sebelahku.
“seandainya saja waktu bisa diputar ulang, maka tak akan ada yang namanya penyesalan, kesedihan dan kesalahan.”
“kakak dan kak Rena pun tentunya kaan memiliki keluarga yang utuh dan bahagia,” gumamku sambil membayangkan.

Kak Rendi langsung menatapku sambil mengerutkan dahi.
“kenapa kamu ngomong begitu?”
“cuma berandai-andai aja kak,” jawabku sambil tersenyum.
“kakak tidak pernah menyesal dengan semua ini,” ujar kak Rendi. “jika Ayah tidak menikah lagi dengan ibumu, tentu sampai kapanpun kakak tidak akan memiliki adik semanis kamu.”
“kak Rendi ngelawak aja!”
“siapa yang ngelawak? Aku serius,” ujar kak Rendi sambil merebahkan dirinya di tempat tidur.
“oh iya?” sahutku dengan nada tidak yakin kepadanya.

“begitulah. Kehadiran ibumu seakan mengisi sosok Ibu kandungku. Mereka memang bukan orang yang sama tapi aku bisa merasakan aura yang serupa. Sosok seorang Ibu.”
Aku termenung mendengarnya, rasanya ingin menangis tapi air mataku ini tidak kunjung keluar juga.
“apa yang telah digariskan oleh Tuhan adalah yang terbaik untuk kita,” sambung kak Rendi sambil menerawang ke langit-langit kamar.
“kuharap begitu kak,” ujarku lalu ikut merebahkan diri juga.
“semua orang menginginkan kebahagiaan. Tapi kadang orang itu tak sadar bahwa kebahagiaan sejati mereka itu ada di dekat mereka. mereka hanya perlu bersyukur dan melihat semuanya dengan mata hati.”
“kakak punya mata hati?”
“punya donk,” jawab kak Rendi seraya bangkit dari rebahan. “tapi mata hatiku udah minus, hehehe.”
Dia langsung kabur meninggalkanku. Dasar kakakku yang satu itu memang suka sekali melawak.

By the way, aku belum lihat buku diary Alvin. tapi kenapa Feri memberikan kepadaku ya? dengan gelagat seperti maling pula dia tadi. Buku itu aku lipat dan kutaruh di saku. Bukunya tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil. Aku mulai membaca dari halaman pertamanya. Banyak hal-hal yang tidak ku ketahui tentang Alvin, aku cuma bisa menilai dari apa yang kulihat dari bahasa tubuhnya.

Aku baru ngeh kalau Alvin itu menyukai Adit. Meski mereka tidak mungkin incest karena keduanya tidak memiliki ikatan darah. Alvin pernah ketahuan oleh ibunya Adit, tapi dengan bijaksana ibunya Adit tetap menerima Alvin di keluarganya dan berharap suatu hari nanti Alvin akan kembali kepada kodratnya. Alvin sempat patah hati dan tidak terima Adit punya hubungan khusus dengan Lena, dia sangat membenci Lena. Dan ketika Adit mengetahui Alvin menyimpan rasa kepadanya dia sangat marah. Mungkin inilah sebabnya Alvin kabur dari rumah dulu, dia tidak pernah mengatakan dengan jelas alasan minggatnya. Tapi 95% yang bisa kutangkap adalah Adit adalah sosok yang sangat berarti bagi Alvin, lebih dari seorang abang. Menyenangkan memiliki seorang abang yanb bisa melindungi dan menyayangi. Yeah! Kuakui itu. Adit juga orangnya berwibawa dan baik meski terkadang pikirannya suka aneh-aneh.

Kuletakan buku itu di dadaku. Sekarang aku mengerti betapa berartinya Adit bagi Alvin. Bukan salahnya memang memiliki cinta hitam seperti itu. Aku sangat memahami itu, kalau mengutip kata-katanya ; orientasi seksual menyimpang bukanlah sebuah kutukan tapi sebuah ujian. Kasihan memang anak itu, masa kecilnya sudah rumit ditambah perlakuan Adit yang menurutku agak berlebihan. tapi pantas kulihat Adit begitu sedih, dia tampak begitu menyesal dengan perubahan Alvin.

Eh, eh, tapi mendadak aku kangen dengan Alvin. Menelpon anak itu sepertinya bukan ide yang jelek. Jam segini pasti dia belum tidur. Kuraih ponsel saktiku dan langsung melakukan panggilan ke nomer Alvin. nada tunggunya menggunakan NSP Wali – Doaku untukmu sayang. Astaga, ini anak mellow-yellow banget. Tak lama panggilanku dia respon.
“Halouu Assalamualaikum Warahmatullahi wabarokatu!” sapaku dengan penuh semangat.
“waalaikumsalam,” balas yang diseberang sana. Suaranya pelan dan terdengar tidak bersemangat.
“lagi apa de?” tanyaku cuek saja, meski Alvin masih terbawa suasana duka tapi akunya harus tetap ceria dan menceriakan.
“lagi duduk,” jawab Alvin singkat.
Duduk? Jawaban yang terlalu denotatif, biasanya ini ciri-ciri orang yang lagi malas mengobrol. Tapi aku orang yang tidak mudah menyerah.
“duduk dimana? Diatas jembatan? Diatas kursi eksekusi?” tanyaku berkelakar.
“diatas tempat tidur.”
“udah makan belum?”
“udah, tadi siang.”
“lho lho, kok tadi siang? Ibu gak masak ya?”
Alvin mendadak diam tanpa menjawab dan merespon apa-apa.

“vin?” aku mencoba memanggilnya balik ke obrolan.
Dia masih saja diam. Suara nafasnya masih bisa kudengar meski pelan sekali yang menandakan dia belum tidur. Kalau begini aku menduga pasti ada sesuatu.
“besok aku akan kesana, jangan khawatir,” ujarku. “as my promise to you. You won’t be alone.”
“tidak usah!” tiba-tiba anak itu merespon. “abang tidak perlu kesini.”
“lho? Kenapa?”
“aku..aku ingin.. menyendiri,” jawab Alvin seperti mencari alasan (sepertinya memang begitu sih). “aku ingin menenangkan diri..tapi sendirian saja.”
“are there something I have to know but you hide?” tanyaku mengerutkan dahi.
Kenyataannya Alvin masih pembohong yang buruk. Kata-katanya yang gugup itu semakin menguatkan dugaanku bahwa memang ada sesuatu.
“nothing, bang! It’s nothing,” jawab Alvin. “maaf ya bang, aku ngantuk mau tidur dulu.”
“ummm, okeh!”
Dan pembicaraan terputus. Sepertinya ini tidak jauh-jauh dari yang namanya Agung. Aku ingin memastikan dulu, kuambil ponselku yang satu lagi dan kukirim SMS kepada kepala pengawas asrama. Aku harus memastikan dulu bahwa Agung masih di tempatnya. Tak lama kemudian ponselku berdering mengindikasikan ada SMS masuk.

From: Kepala PengawaZ asrama
Agung ada kok bos
Dia lagi ngerjain tugas2


:: Reynaldi Prasetio Agung ::

Kepala pengawas asrama sudah kupastikan tutup mulut, dia tidak akan membocorkan keabsenanku dari sekolah. Pokoknya aku sudah mempersiapkan berbagai antisipasi jika Revan berniat ikut campur dalam urusanku. Pestanya dimulai besok tapi persiapannya sudah selesai. Yang sekarang kulakukan adalah menunggu dengan manis.Tak sabar sebenarnya ingin bersenang-senang dengan Alvin. menurut laporan terakhir dari mata-mataku, Alvin sedang mengurung diri di kamar. Dia belum makan apa-apa sejak tadi siang. Kasihan juga sih aku dengan anak itu, tapi ini adalah konsekuensi yang harus dia tanggung. Berani-beraninya mengkhianatiku seperti ini.

Aku menatap keempat orang yang terselubung kain hitam dan terikat kuat di dalamnya. Mereka menggeliat pelan mencoba meraba sekeliling yang gelap dan hitam. Aku berani taruhan apa yang mereka rasakan jauh lebih buruk daripada kematian. Sebaiknya kuabadikan momen indah ini sebagai dokumentasi. Beberapa gambar saja sudah cukup untuk koleksi albumku, kuberi nama: menjelang acara. These are the nice pictures.

:: Writer - Rivengold ::


Alvin tidak bisa tidur, sepanjang malam ini matanya tetap terbuka tanpa ada hasrat untuk terpejam meski hanya sedetik. Rasa khawatir dan takut menyelimuti hatinya, bagaimana tidak? Seorang Agung benar-benar punya rencana busuk terhadapnya. Dan rencananya melibatkan orang-orang yang dia sayang. Sebenarnya Alvin agak menyesal tidak jujur kepada Revan tapi dia sudah bertekad agar tak ada orang lain yang ikut terlibat. Alvin menjambak rambutnya sendiri, yang ada di pikirannya: semua ini adalah salahnya! Air matanya bercucuran, tapi air mata ini tak akan mengubah segalanya, semua sudah terjadi dan yang bisa dilakukan adalah menghadapinya. Tapi rasanya terlalu berat bagi Alvin untuk menghadapinya sendiri, dia cuma anak berumur lima belas tahun yang sok jagoan.

Alvin meraih foto Adit yang terpajang meja samping tempat tidurnya. Alvin ingat foto ini diambil saat dia dan kakaknya pergi ke kota tua. Wajah Adit tampak begitu cerah dan senang. Sekarang wajah itu sudah tak akan bisa dia lihatnya lagi. Kakak yang ia cinta sudah kembali ke pangkuan Tuhan.

Tuhan? Alvin tentu ingat saat ia menyarankan Adit untuk tahajud menjelang SNMPTN. Tuhan adalah yang Maha Segalanya, Dia pasti bisa menolong. Segera saja Alvin beranjak dari tempatnya duduk menuju kamar mandi melewati kamar Ibu. Kamar itu pintunya terbuka. Padahal satu jam yang lalu Ibu masih ada disana. Ada semacam rasa bersalah di hatinya karena meninggalkan Ibu sendirian. Lalu dengan mantap Alvin melanjutkan ke kamar mandi, mengambil wudhu kemudian kembali ke kamar. Dia mengambil bajunya yang paling bagus, merapikan rambutnya, memakai parfum. Sekarang Alvin tampak keren sekali. Dia memang harus tampil keren untuk bertemu sang Raja Yang Maha Perkasa.

Alvin berusaha se-khusyuk mungkin. Dan di akhir sholatnya dia berdoa.
"wahai Tuhan yang Maha Indah, Engkau telah ciptakan aku sebagai sebaik-baik makhluk dengan tanganMu yang Indah. Engkau ciptakan aku dengan segala kelebihan dan kekuranganku. Dan aku senantiasa bersyukur dan positif thinking kepadaMu.

Wahai Tuhan Yang Maha Pendengar lagi Maha Tau. Aku hanyalah satu dari hambaMu yang tak pantas Engkau kasihi. Aku bukan hambaMu yang taat dan baik. Aku terlalu hina memohon pertolongan kepada Engkau, Raja Yang Maha Tinggi. Namun aku percaya pada kebaikan hati Engkau, kemurahan hati Engkau.

Wahai Tuhan Yang Maha Perkasa. Hanya Engkaulah tempatku memohon, meminta pertolongan dan berserah diri. Cukuplah aku yang menanggung semua masalah yang kusebabkan. Selamatkanlah mereka yang tidak berdosa, wahai Tuhan. Ku pasrahkan semua kepada Engkau wahai Tuhan Yang Maha Pengasih.”

Jam setengah dua belas sebuah mobil Honda Jazz hitam berhenti tak jauh dari rumah Alvin. kemudian keluarlah seorang laki-laki bertampang preman dan bertubuh kekar layaknya algojo. Orang itu menatap sebentar kediaman rumah Adit kemudian mengetuk pintu. Tapi dia bukannya mengetuk pintu melainkan menggedor-gedor seperti Debt Collector. Sebenarnya ketukan biasa pun akan terdenger oleh Alvin, namun orang itu lebih senang membuat keributan. Alvin bangkit dari tempat duduknya dan langsung menuju pintu. Kalau dalam semenit dia belum membuka pintu pasti orang itu akan mendobrak masuk.

Alvin menarik nafas sebentar sebelum membuka pintu.
“ketukan biasa pun aku dengar kok,” ujar Alvin seraya membuka pintu.
Joni (nama orang bertampang preman itu) tersenyum. Dengan muka seperti itu senyuman apapun yang tersungging di bibirnya akan terlihat seperti senyuman bengis.
“lu cakep juga ya,” ujar Joni dengan nada mengejek. “pantes bos tergila-gila sama lu.”
Alvin langsung menekuk dahi, dia benci dipuji oleh laki-laki macam Joni ini, menjijikan! Kemudian Alvin digiring ke mobil bak narapidana berbahaya. Di mobil itu ada tiga orang: seorang supir (Dodi), seseorang yang duduk di bangku depan (Fathir) dan seseorang di bangku tengah di pojok (Sarwo). Semuanya berpakaian dengan nuansa hitam. Alvin duduk di bangku tengah dan diapit Joni & Sarwo. Duduk di tengah-tengah begitu terasa amat sangat tidak bebas, apalagi Joni memakaikannya tutup mata. Sepanjang perjalanan pun Alvin hanya bisa menebak-nebak akan dibawa kemana dirinya.

Perjalanan itu terasa satu jaman lebih tapi kenyataannya hanya memakan waktu dua puluh menit. Alvin sempat mengendus aroma yang rumput yang basah ketika Joni atau entah siapa memaksanya berjalan. Setelah jalan sebentar tutup matanya pun disingkap. Alvin sedang berada di sebuah ruangan, dari desainnya seperti ruang keluarga. Ada TV LCD 40 inch lengkap dengan home theater nya di dekat perapian kecil, tak lupa seperangkat sofa berwarna merah dan meja jati berlapis kaca di permukaannya. Di salah satu sofa itu duduk seseorang yang Alvin benci. Orang itu duduk bak seorang raja dengan secangkir teh di tangannya. Gayanya benar-benar seperti bangsawan. Reynaldi Prasetio Agung.

“Hai baby, akhirnya datang juga,” ujar Agung sambil tersenyum merekah. Cangkir teh yang dia pegang diletakan di atas piring tatakannya.
Alvin menatap sengit Agung. Dia benci melihat senyum dan sapaan Agung. Semua yang dari Agung membuatnya merasa eneg. Agung memberi kode kepada anak buahnya agar meninggalkan dia dan Alvin berdua saja. dan sebagai anak buah yang baik orang itu (yang tak lain adalah si Sarwo) berangsur pergi. Sekarang hanya ada Agung dan Alvin di ruangan itu, Agung yang sejak kemarin sangat merindukan Alvin langsung beranjak dari tempat duduknya menuju hadapan Alvin. sedang Alvin hanya bisa diam terpaku, mundur tidak bisa, maju sama saja menyerahkan diri kepada ular siluman itu.
“do you enjoy the joruney?” tanya Agung yang tanpa Alvin sadari sekarang mereka saling berhadapan.
Anak itu tidak menjawab, perhatiannya justru terusik dengan sebuah tirai di belakang Agung. Agung mengikuti arah tatapan Alvin kemudian tersenyum.
“do you wanna see something behind it?” tanya Agung seraya mengeluarkan remote dari saku lalu menekan tombolnya.
Tirai itu bergerak perlahan dan menyingkap sesuatu dibaliknya. Alvin menganga melihatnya Lia dan Vita terikat diatas kursi dengan mulut tersumpal lakban hitam, penampilan mereka kusut seperti jemuran kering. Mereka berdua terlihat ketakutan.

“see? They are another guest,” ujar Agung tersenyum lebar.
Alvin bergerak ingin menolong mereka tapi Agung lebih dulu menahan. Dengan lihai dia sempat-sempatnya mendaratkan satu kecupan di bibir Alvin. Alvin lantas mendorong tubuh Agung menjauh, tak lupa ia memberi bonus dengan meludahi Agung tepat mengenai pipinya. Agung terdiam sebentar meraba ludahan itu kemudian menyeka dengan sapu tangannya. Ekspresinya mendadak berubah menjadi wajah aslinya: mengerikan. Dia mencabut tokalev dari sarungnya dan memuntahkan satu peluru ke arah Vita tanpa mengalihkan pandangannya dari Alvin.

Alvin berteriak ngeri. Peluru itu meleset beberapa mili dari kepala Vita dan bersarang di tembok dengan sebuah retakan. Vita menangis shock.
“jangan coba-coba menantangku, vin” ujar Agung menatap dengan tajam.
Tanpa ragu Agung menembak tangan kiri Alvin. anak itu spontan mengaduh keras sekali menahan sakit luar biasa. Tak ayal darah segar mengucur dan membasahi lantai.
“aku tidak akan ragu lagi untuk menyakitimu jika kamu tidak menuruti keinginanku, Alvin Christian.”

***

Sementara itu di Bandung Revan masih terjebak di pasar, mencari oleh-oleh yang pas dan bagus serta yang harganya bersahabat. Alvin dan orang tuanya Adit pulang tanpa sempat membeli suvenir makanya Revan berinisiatif. Salah satunya adalah keripik maicih yang sedang naik daun, meski di Jakarta pun tidak sedikit penjualnya. Untuk sang adik, Revan memilih membelikan beberapa setel baju dan celana jeans. Menurut pandangannya Alvin punya selera berpakaian yang buruk. Setidaknya beberapa setel ini cukup digunakan Alvin untuk bepergian atau kondangan. Tidak lupa lupa Revan membelikan untuk Lena dan Feri suvenir berupa cendramata (yang lagi-lagi di Jakarta pun ada). Yang kemarin dia kenal memang cuma mereka berdua.

Setelah dirasa cukup dengan belanja suvenir ini Revan buru-buru mencapa mobilnya di parkiran. Agak susah juga karena barang belanjaannya seperti bawaan orang mudik. Belanjaan-belanjaan itu kini mengisi kursi belakang. Hari ini Revan pulang sendiri ke Jakarta, oom Fian masih mengurs beberapa masalah di sekolah, Rena entah kenapa sedang betah di rumah. Kalau menurut rencana seharusnya Revan pulang besok tapi berhubung ada sebuah musibah semua rencana itu berantakan total. Revan menyalakan mobil dan melaju keluar dari parkiran menuju jalan raya. Cuaca hari ini mendadak mendung dan angin dingin berhembus menusuk tulang sampai ke sumsum.

Hari ini Revan sudah punya list kegiatan yang akan dia habiskan bersama Alvin, Revan sudah bertekad untuk membuat Alvin tersenyum kembali dan move on. Something happened is not the end of the world, is it? Because life must go on. Revan mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Alvin yang intinya mengabarkan keberangkatannya ketika mobilnya berhenti di persimpangan lampu merah. Dua menit berlalu tapi tak ada tanda-tanda ponselnya menerima SMS balasan. Hingga lampu lalu lintas berubah jadi hijau ponselnya tetap membisu. Revan tidak memusingkan hal itu, mungkin Alvin sedang tidur atau sedang merenung di suatu tempat dan jauh posisi ponselnya.

Tema agenda hari ini adalah fun. Yang pasti dia akan membuat Alvin tersenyum, tertawa dan senang. Revan jadi senyum-senyum sendiri membayangkannya. Tapi entah kenapa terselip sebuah perasaan mengganjal di hatinya. Seolah-olah ada sesuatu yang buruk. Seperti melihat penampakan hantu. Buru-buru ditepis perasaan itu dengan bernyanyi-nyanyi kecil. Namun hal itu membuat dia mulai jadi khawatir, Revan belum tau pasti orang seperti apa Agung itu. apakah Agung adalah tipikal yang berani menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya seperti tokoh antagonis sinetron-sinetron. Sebaiknya dia semakin mempercepat laju mobilnya, Revan kemudian memasuki gerbang tol dan bersamaan dengan rintik-rintik hujan yang menetes di jendela mobilnya.

Kalau hujan begini pasti lalu lintas Jakarta MACET. Revan sangat membenci kemacetan. Macet itu adalah saat dimana para kendaraan berlomba-lomba menyalip dan mendahului yang lain untuk bisa melaju lebih depan. Ini menunjukan betapa egoisnya manusia. Ah! Simpan sajalah dulu semua omelan-ocehan itu, jalan di depan masih lancar jaya. Revan mematok kecepatan standar meski tol masih cukup lengang, keamanan masih tetap nomer satu.

***

Agung mendudukan Alvin di kursi dan mengikatnya persis seperti Lia dan Vita.
“acara kita ini adalah menonton teater,” ujar Agung sembari menepuk-nepuk kedua pipi Alvin. “jadi duduk manis disini!”
Kemudian dia berjalan mengitari kedua tawanannya, pistolnya dimain-mainkan bak sherif, dengan sesekali ditodongkan ke sembarang arah. Langkahnya berhenti di belakang Lia. Dengan gesit tangannya mejambak rambut Lia hingga gadis itu mendongak. Spontan Lia menjerit takut dalam bungkaman.
“hei, Alvin! ini wanitamu, sengaja ku bawa jauh-jauh dari bandung. Dia bilang dia sangat rindu kepadamu,” ujar Agung sambil menempelkan moncong pistol di pelipis Lia.
Gadis itu makin histeris dan menggeleng-gelengkan kepalanya, berharap Agung menjauhkan mainan berbahaya itu.
“why Lia? Do you afraid to die?” tanya Agung dengan nada seperti sedang berbicara dengan anak kecil. “kamu aja berani main pisau, masak sama pistol aja takut? Ini memang gak bisa nancep tapi kalau pelurunya kena kepalamu. Aku jamin otakmu bisa mencret, hahahaha.”
Kata-kata itu langsung membuat Lia makin tak karuan. Dan Agung senang melihatnya.

“mau coba?” tawar Agung.
Lia menggelengkan kepalanya dengan cepat. Dia meraung-raung tidak jelas.
“enggak?” tanya Agung sambil tertawa-tawa.
Lia kembali menggelengkan kepalanya dan mulai menangis ketakutan. Moncong pistol itu dekat sekali dengan pelipisnya.
“ooh, enggak usah ragu. Okeh!” sahut Agung seolah mengerti apa yang ingin dikatakan Lia. Dia lalu menegakan badannya dan mengarahkan pistol itu tepat di kepala Lia.

“JANGAN!!” teriak Alvin ngeri.
Dor! Lia jatuh tersungkur dengan darah muncrat kemana-mana. Alvin berteriak keras dan menangis mengutuki tindakan Agung.
“ini setimpal untuk dia yang mengkhianati temannya,” ujar Agung enteng. “sebenarnya dia pantas mendapatkan yang lebih, tapi berhubung aku masih seorang yang pengampun jadi ini saja cukup.”
Agung membalikan tubuh Lia, menatap dalam-dalam wajah ketakutan Lia menjelang peluru itu menembus kepalanya.
“you’re beautiful and it’s true,” ujar Agung seraya mengeluarkan ponsel dan memfotonya. “ini akan menjadi koleksi pribadi yang berharga.”
Satu kata untuk Agung: kejam.

Dia kemudian mengarahkan pistolnya kepada Vita. “dan yang ini untuk menyingkirkan masa depan.”
Dor! Vita ambruk juga dengan darah segarnya membasahi lantai. Alvin makin histeris menyaksikan tindakan tidak bermoral itu.
“yang namanya wanita itu memang racun dunia,” ujar Agung seraya berjongkok di samping Vita yang sudah tak bernyawa kemudian memfotonya. “racun yang sangat memuakan dan membuatku jijik. Tapi setidaknya racun yang mencoba menghalangi cinta kita sudah tiada..”
“kamu sungguh biadab gung,” ujar Alvin berurai air mata. “kamu tidak lebih dari binatang liar dengan nafsu membunuh yang biadab!”
Agung menyarungkan kembali pistolnya. Dia berlutut di hadapan Alvin. Mereka saling menatap. “ingat! Ayah dan Ibumu masih bersamaku. Mereka selamat atau tidak semua tergantung kepadamu,”
“jika sampai terjadi sesuatu kepada mereka,” ujar Alvin dengan nada mengancam. “aku bersumpah kamu akan membayar semua ini.”

Agung berdecak pelan seraya mengelus-elus lembut rambut Alvin yang berantakan. “menakutkan sekali kata-katamu, tapi jangan memaksakan diri melakukan sesuatu yang mustahil kamu lakukan vin. Kamu kan lemah, hanya bisa berlindung di belakang orang lain. misalnya Adit atau Revan, hahahahaha.”
Alvin meludahi Agung lagi, kali ini mengenai bahu kirinya. Agung melirik sebentar bekas ludahan itu dan berdecak pelan.
“kamu itu memang paling hobi menguji kesabaranku, vin..”
Dengan gerakan cepat dan tiba-tiba Agung melumat bibir Alvin seraya memegangi kepala anak itu ; yang berusaha memberontak melepaskan diri. Agung menggigit bibir dan lidah Alvin sampai berdarah. Bukan sekedar ciuman tapi wet kiss. Spontan Alvin mengerang kesakitan dan makin meronta. Tapi sayang tenaganya kalah kuat oleh Agung. Makin banyak darah yang mengalir membuat Agung semakin nafsu. Dia makin agresif mengeksplorasi isi mulut mantan kekasihnya itu. Setelah beberapa menit ciuman berdarah itu, Agung melepaskan Alvin. Lidahnya menjilati sisa-sisa bercak-bercak darah.

“that’s my best kiss ever,” ujar Agung sambil tertawa.
Alvin meneriakan sumpah serapah meski lidah dan bibirnya terluka. Dia meringis menahan rasa sakit itu ditambah tangan kirinya masih nyut-nyutan.
“jangan khawatir, tuan muda. Dokterku akan memperbaiki lukamu,” ujar Agung mengamati luka tembakan di lengan Alvin yang masih mengeluarkan darah. “aku akan memastikan kamu dalam kondisi fit untuk acara minum teh nanti. Kamu belum bertemu kedua orang tuamu kan?”
Mendengar kata ‘orang tua’ Alvin langsung mengangkat kepalanya. Ada gurat sedih di wajahnya.
“tentu saja belum, mereka akan berpartisipasi di acara kita. Sama lah seperti kedua racun itu.”
Setelah itu Agung meninggalkan Alvin di ruangan itu, bersamaan dua orang berpakaian putih yang menggiring Alvin ke ruangan lain dan dua orang berpakaian hitam yang memindahkan jenazah Vita dan Lia seperti bangkai kucing.

***

Melewati perjalanan yang cukup membuat ngantuk Revan akhirnya tiba di Jakarta. hal yang membuatnya heran, Jakarta pun cukup lengang. Hujan yang tadinya dia pikir akan mengguyur habis-habisan Jakarta pun tak kunjung turun. Kondisi cuaca tidak terlalu panas karena langit cukup berawan. Beberapa jam perjalanan itu terasa begitu cepat, tanpa Revan sadari langit siang sudah mulai beralih menjadi sore. Perutnya pun minta diisi juga dengan memberi alarm panggilan alam. Revan memilih singgah di sebuah restoran ayam bakar. Setelah menunggu beberapa menit maka datanglah hidangan yang ditunggu-tunggu. Hmm wanginya, yummy.

Revan sempat memutuskan untuk makan dengan tangan langsung. Kata teman-temannya makan ayam bakar dengan tangan langsung itu memiliki kenikmatan sendiri. Tinggal sebuah sentuhan terakhir: angkat satu kaki atau bahasa kerennya itu warteg style. Sah sah saja sih karena rumah makan ini menerapkan konsep lesehan.

Awalnya sih terasa aneh dan canggung tapi lama-kelamaan Revan mulai bisa menikmatinya. Enak juga sih, gumam Revan dalam hati. saat sedang asyik menguliti ayam ponselnya berdering. God Damn! Ponselnya model layar sentuh pula. Mau cuci tangan juga tanggung, benar-benar situasi yang tidak mengenakan. Dan ponselnya pun menrit makin menjadi. Pendapatnya bahwa makan dengan tangan nikmat itu sirna sudah. Kalau berada di situasi begini bagaikan disodori buah simalakama. Dengan jengkel Revan meraih tissu dan membersihkan jemari tangannya.

Setelah tangannya cukup kering baru Revan merogoh ponsel yang dia taruh di saku. Dan si pemanggil itu adalah Rena.
“ada apa kak? Aku lagi makan,” ujar Revan sambil mencelupkan tangan kirinya di mangkuk kobokan.
“kamu lagi dimana?” tanya Rena.
“di restoran ayam bakar, aku udah sampai di Jakarta..” ujar Revan gantian mencelupkan tangan kanannya ke mangkuk kobokan.
“gimana Alvin?” tanya Rena.
Revan merengut di dalam hati, yang ditanya kok Alvin bukan dirinya yang notabene adik kandung.
“mana aku tau, aku kan juga baru sampe..” jawab Revan menancapkan garpu ke potongan ayamnya.
“memangnya kamu gak telpon? Atau SMS?” tanya Rena agak cemas.
“tadi siang sebelum berangkat sempat aku SMS, tapi gak dibalas sampai sekarang,” jawab Revan sambil menggigit potongan ayamnya. “lagi gak ada pulsa kali atau lagi gak mau diganggu. Kenapa kakak gak coba telpon sendiri?”

“sejak tadi siang?” ulang Rena malah semakin cemas. “oh God!?”
“ada apa sih kak?” tanya Revan mengerutkan dahi. “kan Alvin aman sama orang tuanya Adit.”
“aku berkali-kali telpon ke rumahnya Adit tapi tidak ada jawaban,” ujar Rena. “nomer Ibu Emil, pak Hadi bahkan Alvin sendiri. Gak ada jawaban!”
Revan menelan ludah, mendadak dia punya firasat buruk.
“tadi aku sempat menelpon ke abangnya Agung,” lanjut Rena. “kemarin Agung pulang ke rumahnya yang di Jakarta, enggak lama sih katanya cuma mengambil kotak mainannya.”
“lho tapi kata kepala pengawas asrama dia..”
“open your mind van,” potong Rena. “aku sudah bilang kan orang semacam Agung itu bisa melakukan apapun.”
Deg! Nafsu makan Revan mendadak hilang. Revan terdiam sebentar, dia tidak berani membayangkannya.

“aku akan langsung ke rumah Adit, nanti ku telpon lagi!” ujar Revan kemudian mengakhiri panggilan.
Langsung saja dia meninggalkan makanannya yang baru habis setengah porsi. Bahkan uang kembaliannya pun tidak diambil. Revan langsung tancap gas menuju kediaman Adit. Ya Tuhan, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa! Gumam Revan dalam hati. Sekilas dia seperti suping angkutan umum Jakarta yang pembalap F1 wanna be. Tapi Revan tidak memperdulikan itu. baginya yang penting melihat Alvin dan keluarga baik-baik saja.

Kemudian tibalah Revan di kediaman Adit. Tempat itu begitu sepi tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Sekilas jadi seperti rumah hantu. Revan mencoba mengetuk pintu, lama tak ada jawaban dia pun mengetuk sekali lagi. Tak peduli suaranya lebih seperti gedoran, dan hasilnya sama tidak ada jawaban. Sekarang Revan patut cemas, dia mulai menyalahkan dirinya sendiri. Bahkan lapor polisi pun sepertinya tak ada gunanya. Untuk saat seperti ini siapa yang bisa Revan andalkan? Dia benar-benar bingung.

Ponselnya berdering tiba-tiba, sebuah panggilan masuk dari Rena. Tanpa pikir panjang langsung Revan angkat.
“Alvin gak ada ya?” tanya Rena seakan bisa menbaca pikiran Revan.
“enggak kak,” jawab Revan pelan.
Rena terdengar menghela nafas pelan.
“do you have any ideas? I cant just let this go..”
“I’ll try to contact Irfan,” ujar Rena.
“siapa itu Irfan?” tanya Revan.
“abangnya Agung,” jawab Rena.
Kemudian sambungan terputus. Revan menatap layar ponselnya dengan penuh kehampaan, dia menyesal terlalu menyepelekan masalah.

***

:: Alvin Christian::

Aku terdiam menunggu, luka di tangan kiriku sudah diobati oleh dokter pribadi Agung. Sedang bibir dan lidahku sudah diberi antiseptik. Aku agak kesulitan kalau berbicara dan makan. Makanan malam yang disediakan Agung sama sekali tidak kusentuh. Aku sudah terlalu mual melihat dua orang mati mengenaskan di depan mataku. Bagaimana nasib Ayah dan Ibu? Apa mereka baik-baik saja, Lia dan Vita saja Agung bunuh dengan entengnya aku takut hal yang sama terjadi kepada Ayah dan Ibu. Pintu kamar ini terbuka, lalu masuklah sosok seorang laki-laki. Aku menekuk dahi melihat kehadirannya.
“yayangnya datang kok malah cemberut, babe?” sapa Agung sambil menarik sebuah kursi dan duduk di hadapanku. Senyumannya benar-benar membuatku muak.
Tidak kutanggapi kata-kata Agung, aku malah beranjak naik ke tempat tidur dan membungkus diriku dengan selimut.

Agung menghela nafas dan bangkit dari kursinya, auranya yang dingin sudah tidak kurasakan lagi. Aku menyingkirkan selimutku dan bernapas lega. Pintu terlihat terbuka lagi, namun yang masuk bukan sosok menyebalkan itu tapi anjing. Ada mungkin sepuluh ekor anjing yang masuk dengan riang ke kamar, mereka berisik sekali dan mulai mengacau. Ada yang mengacak-acak meja, memakan makan malamku, dan naik ke tempat tidur. Gonggongan mereka sangat menggangguku, aku benar-benar tidak bisa tenang. Sesaat aku bisa melihat Agung tersenyum ke arahku seakan ia ingin bilang, “enjoy the doggies.”

Semalaman aku sibuk membuat para anjing itu pergi dengan adrenalin terpacu luar biasa.

***

Keesokan harinya acara selanjutnya yakni acara minum teh. entah minum teh macam apa yang dimaksud Agung, tapi yang pasti bukan sesuatu yang menyenangkan. aku dikawal oleh dua orang bertubuh debt collector dan bertampang preman. Serasa narapidana hukuman mati, tapi sepertinya tidak salah juga. Agung tampak duduk dengan santai di meja minum teh dengan cangkir

Aku mendengus kesal. Anjing-anjing kirimannya itu amat sangat menggangguku. Agung nyengir sambil mengangkat sebelah alisnya. Aku dipersilahkan duduk di kursi yang telah disediakan, tepat di hadapan Agung.

"mana Ayah dan Ibu?" tanyaku mengerutkan alis.
"mereka sedang mempersiapkan diri," ujar Agung melirik pintu di ujung ruangan yang entah menghubungkan ke dimensi mana. "masih agak lama sich, jadi kita sebaiknya mulai duluan."
"memang apa yang mau kita mulai?" tanyaku gusar, orang ini terlalu bertele-tele.
"yeah, semua ini memang sudah terlanjur mulai," ujar Agung sambil menyeruput tehnya. "maka dikarenakan itu hal ini harus kita akhiri."
Aku mengerutkan dahi, "kupikir semua ini sudah berakhir, apalagi yang harus diselesaikan?"
Agung tersenyum lebar. Dia meletakan cangkir tehnya, kemudian mempersilahkan aku untuk menyeruput teh. Aku menatap secangkir teh di hadapanku tanpa ada niat untuk kucicipi.
"jangan khawatir, tak ada racun yang kucampur."
Ah tetap saja berbahaya. Aku masih tetap tidak ada niat untuk menyentuhnya.

"baiklah jika kamu tidak mau mencobanya," ujar Agung dengan nada sedikit kecewa. "padahal aku membelinya import khusus buatmu."
Agung memberi kode kepada pelayan disitu agar membawakan cemilan yakni satu nampan penuh kue kroket. Salah satu kesukaanku dan kak Adit.
"sebuah nama sebuah cerita," ujar Agung sambil mencomot sebuah.
Aku mengerutkan dahi mendengarnya.
"aku ingin menjadikan namamu sebagai sebuah cerita yang indah.." ujar Agung tersenyum senang. "di awalnya tapi diakhirnya tragis, kematian dimana-mana."
"aku baru tau kamu punya bakat menulis," ujarku dengan nada menyindir.
"memang tidak," ujar Agung sambil bangkit ke arah jendela besar yang menghadap ke sebuah halaman. "tapi aku berbakat mendokumentasi."

Aku merinding mendengarnya, Agung menatap lurus ke arah jendela itu. Entah kenapa aku penasaran dengan apa yang dilihat Agung, aku langsung bangkit dan menghampiri tempat Agung berdiri. Aku langsung merinding melihat pemandangan itu:
Aku melihat dua sosok manusia yang terduduk di atas kuda masing-masing dengan kepala terbungkus kain dan seutas tali tambang yang melingkari leher mereka dan terikat di dahan pohon.
“aku punya bakat menirukan suara-suara lho,” ujar Agung.
Perasaan bakat si Agung banyak sekali, mungkin multi talenta anak yang satu ini. Agung meneriakan sebuah suara yang menyerupai kuda, persis suara kuda mengamuk. Kedua kuda dibawah sana yang tadinya anteng-anteng mendadak meringkik dan berlari. Sementara kedua orang yang terduduk di atasnya terlempar dan kontan tambang itu menjerat leher mereka dan membuat keduanya tereksekusi gantung.

“bapak Hadi dan Ibu Emilia,” gumam Agung santai.
“apa??!” seruku semakin syock. Tanpa ragu kuhantam dagu Agung dengan satu pukulan keras hingga dia terhuyung.
Hanya perlu waktu beberapa detik bagi Agung untuk kembali tegak berdiri.
“pukulanmu masih tetap sama seperti yang terakhir,” ujarnya seraya memiringkan kepalanya hingga terdengar suara krak ; meluruskan urat di leher.
“kenapa kamu bunuh mereka! mereka tidak bersalah!!!??” raungku meluapkan semua emosi yang mengganjal di kepalaku.
“aku cuma ingin menyatukan mereka bersama sang putra tercinta,” jawab Agung dengan enteng. “lagi pula artis kita hari ini bukan mereka. Aku kan bilang kemarin orang tuamu, bukan orang tua angkat..”

Aku mengerutkan dahi mendengarnya seiring dengan sebuah senyum bengis yang tergurat di bibir tipis Agung. Dia menoleh ke arah pintu itu, pintu berwarna cokelat tua yang perlahan terbuka. Aku menganga melihat sosok yang muncul di ambang pintu. Sepasang laki-laki dan perempuan. Agung tersenyum semakin lebar.
“Alvin?” panggil yang perempuan. Matanya menatapku dalam-dalam, raut wajahnya menunjukan sebuah rasa sedih.
“Ibu..” gumamku pelan, pelan sekali hingga hanya aku saja yang bisa mendengarnya.
Di sebelah Ibu berdiri sosok laki-laki yang merupakan Ayah kandungku, wajahnya memang sangat mirip denganku. Beliau tampak cemas begitu pula Ibu.
“so sweet,” ujar Agung sambil mengisi tokalev nya dengan peluru. “wanna make this more interesting?”
Lelaki itu mengarahkan pistolnya ke kepala Ibu dengan percaya diri. Spontan Ayah langsung berdiri di depan Ibu ; melindunginya dari jangkauan peluru Agung.

“cukup dengan semua tingkah gilamu gung!” seruku sangat marah. “belum puaskah kamu membunuh semua orang yang kusayang?”
Agung melirikku sambil menaikan sebelah alisnya. “benar juga, apa gunanya aku membunuh orang-orang yang tidak bersalah.”
Aku sedikit lega, apalagi Agung pun menurunkan senjatanya sambil memain-mainkannya bak sherif. Dengan gerakan cepat dia mengancungkan moncong pistolnya ke arah kepalaku.
“kamu benar vin, aku seharusnya langsung ke titik permasalahan..” ujar Agung sambil tersenyum, tanpa ragu dia menarik pelatuknya.

Dan pistol itu memuntahkan sebuah peluru panas dengan cepat, menembus kepalaku sebagaimana cara kerjanya. Sebuah rasa sakit itu menghantam dasyat, begitu perih tapi sekejap membuatku melayang. Semuanya menjadi gelap, tapi aku sempat menangkap sebuah kata-kata Agung.
“aku membawa kedua orang tuamu kesini untuk menyaksikan eksekusimu, dan kurasa mereka patut menjadi saksi kematianmu.”
Sebuah suara yang menggema di telingaku, mengiringi ketidak sadaranku. Suara Ayah yang memanggil-manggil namaku berulang kali. Suara itu perlahan menghilang bak ditelan lumpur hidup.


Tiga Tahun kemudian...
Agung menatap sebuah pusara di areal pemakaman, setiap tahun dia selalu mengunjungi pusara itu. Wajahnya tampak sayu dan tidak lagi memperlihatkan devil inside khas nya.
“hei Alvin Christian, sedang apa kamu disana? Kesepian kah kamu?” tanyanya seolah Alvin bisa mendengar dan menjawab pertanyaannya. “oh kamu tentu tidak akan kesepian, Adit dan kedua orang tuanya pasti menemanimu seperti keluarga.”
Diusap olehnya gundukan tanah yang bunga-bunga diatasnya tampak kering. Agung menatap batu nisan yang bertuliskan nama lengkap Alvin. Dia sendiri yang mendesain batu nisan itu. Didesain sebagus mungkin dengan gaya dan kreatifitasnya.

Agung merogoh sakunya mencoba mencari sesuatu, tangannya menggapai dengan susah payah seakan sakunya itu salah satu kantong ajaib Doraemon. Matanya tetap lurus menatap nisan Alvin tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali. Setelah bersusah payah merogoh akhirnya didapatlah apa yang dia cari yakni sebuah botol kecil berisi cairan bening. Agung tersenyum sesaat, diminum tanpa ragu sampai habis isinya. Tubuhnya mendadak kejang-kejang dan pelan-pelan membaringkan diri di sisi pusara Alvin.

“kamu tak akan sendirian vin, aku akan menemanimu..” ujar Agung sesaat sebelum dia menutup mata selamanya. Dia malah tampak tersenyum dalam kematiannya. Angin berhembus pelan menerbangkan beberapa daun kering, sesaat daun-daun itu menari dengan indah di udara kemudian perlahan jatuh di tubuh Agung. Botol bening itu terlepas dan menggelinding pelan ; berhenti di kaki seseorang. Siluet bayangan Adit berdiri menatap Agung dengan wajah kecewa.

TAMAT


Kritik dan saran 08566144661

5 komentar:

  1. Ngeri ya klo pacaran ama org yg over posesive dan psikopat gtu.. tp jujur agak sayang dg ending nya yg begitu.. klo happy ending kan bgus alvin bahagia sama revan gtu

    BalasHapus
  2. Ceritanya terasa ribet kebanyakan pemeran,kisahnya hampir sama kayak Rio abangnya meninggal juga... Btw salut sama adminnya yang Uda luangkanya wktu buat tulis dan mikirnya🙏🙏🙏

    BalasHapus
  3. Ceritanya terasa ribet kebanyakan pemeran,kisahnya hampir sama kayak Rio abangnya meninggal juga... Btw salut sama adminnya yang Uda luangkanya wktu buat tulis dan mikirnya🙏🙏🙏

    BalasHapus
  4. Hei Min, kok aku malah baper ya liat nya. Gak suka Sama agung, dia kayak psikopat, terus kenapa gak ditangkap sama Polisi, ending nya malah mati sendiri. Hahahaha 😁😁😁😁. ADA kelanjutan lagi gak?

    BalasHapus