Senin, 21 Maret 2016

Memories Of Him - Part 10

~Pandu Pov~
Kleekk…
“WAAAAAAAAAAAAA…….” teriak Alvin dan orang yang baru saja membuka pintu kamarku hampir bersamaan.

Alvin langsung terduduk dan sembunyi di punggungku. Sedangkan aku yang masih syock cuma terdiam.

“DAMN…!! SHIT…!!” umpat Ricky (tokoh di Good boy or Bad Boy), “sorry-sorry nggak tau,” kata Ricky sebelum menutup pintu kamarku lagi.

Tapi nggak sampai sedetik pintu kamarku terbuka lagi dan si kunyuk satu itu muncul lagi.

“WAAAAAAAAAAA….” teriak Alvin waktu ngeliat si kunyuk itu muncul lagi.
“Sorry ganggu lagi, aku tadi di suruh ngambil baygon,” kata Ricky.

Tanpa izinku dia langsung masuk dan menyambar baygon yang ada di bawah mejaku.

“Silahkan di lanjutkan,” kata Ricky dengan senyum yang memuakkan sebelum menutup pintu kamarku lagi.

Si brengsek itu…dia sengaja.

“Gi..gimana ini Pan?! Ta…tadi aku nggak ngunci pintunya,” kata Alvin yang terlihat sangat panic.
“Sebentar!” aku langsung menyambar kaosku dan berlari keluar kamar.
“Rick!” panggilku ke Ricky yang belum jauh dari kamarku.

Ricky yang mendengar panggilanku langsung berhenti dan melihatku.

“Apa? Emm… udah selesai ya ‘mainnya’?” tanya Ricky dengan senyum penuh arti ke arahku.
“Jangan bilang siapa-siapa!” kataku sambil menatap garang ke arahnya.

Aku langsung menghampirinya sambil memakai kaosku.

“Emang kenapa? Kan yang tadi itu bisa jadi hot news,” katanya terkekeh.
“BRENGSEK!! AKU SERIUS!!” bentakku jengkel sambil mencengkeram kerah bajunya.
“WAAAAAAA….. AAN TOLONG!!” tiba-tiba Ricky berteriak lebay.
“Kamu…”
“AAN TOLONG!! PANDU MAU MENCEKIKKU,” teriaknya lagi.
“Ada apa ini? Kenapa kok teriak-teriak?” tanya Aan yang tau-tau sudah ada di sampingku dan Ricky.
“Wah.. cepet banget datengmu. Baru juga teriak,” kata Ricky heran.
“Alvin mana?” tanya Aan tanpa menghiraukan Ricky yang hampir aku cekik sungguhan.
“Di kamarku. Kenapa?” tanyaku sambil melepaskan tanganku dari kerah baju Ricky.
“Dia di jemput tuh,” jawab Aan.
“A..aku di jemput?” tiba-tiba ada suara lain yang menyahut.

Aku, Ricky dan Aan langsung melihat ke arah kamarku. Alvin terlihat berdiri di depan kamarku dengan baju yang sudah rapi.

“Iya. Di tunggu supirmu di depan,” kata Aan.

Perlahan-lahan Alvin mulai mendekat kearah kami. Alvin langsung menundukkan kepalanya saat bertemu pandang dengan Ricky. Dia pasti malu banget saat ini. Ini semua gara-gara Ricky yang muncul mendadak kayak setan. Dia bahkan nggak mau repot-repot mengetuk pintu kamarku dulu. Awas aja dia nanti.

“A..aku pulang dulu,” pamit Alvin masih dengan kepala tertunduk.
“Aku antar sampai depan,” kataku.
“Vin!” panggil Aan menghentikan langkahku dan Alvin.
“Ya?” tanya Alvin, tapi Aan nggak segera menjawab pertanyaan Alvin.

Aan cuma diam sambil memperhatikan Alvin dengan kening berkerut. Ricky juga ikut melihat Alvin dengan menahan tawa. Alvin yang di pandang seperti itu akhirnya menundukkan kepalanya lagi.

“Sebaiknya kamu jangan pulang seperti itu,” kata Aan sambil berjalan ke arahku dan Alvin.

Setelah itu Aan merogoh-rogoh kantong celananya dan mengeluarkan sesuatu dari sana.

“Ini di tutup handsaplas dulu,” kata Aan lagi sambil menempelkan handsaplas ke leher kiri Alvin.

Aku yang sadar maksud Aan langsung menepuk jidatku. Kiss mark yang aku buat di leher Alvin tadi ternyata kelihatan. Baju yang di pakainya nggak sampai menutupinya.

Brengsek..bego banget sih aku ini.

“Kenapa? Aku nggak luka kok,” kata Alvin bingung. Dia meraba lehernya yang sudah tertempel handsaplas.
“Apa kamu tadi di gigit sama dia?” tanya Ricky sambil menunjuk ke arahku. Aku langsung melotot ke Ricky.
“I..iya. Sedikit,” jawab Alvin lirih yang langsung di sambut tawa Ricky.
“Diam!! Jangan bikin Alvin bingung,” Aan langsung menyundul kepala Ricky dengan tangannya.
“Habis…habisnya…” Ricky nggak melanjutkan kata-katanya karena masih sibuk tertawa.

Aku terus memandang tajam Ricky yang tertawa-tawa dengan hebohnya.

Brengsek. Aku bunuh dia nanti.

“Kalau ada yang tanya tentang handsaplas itu, kamu bilang aja kalau kamu baru tergores. Untuk sementara waktu jangan lupa pake handsaplas dulu di tempat itu,” kata Aan.
“Memangnya kenapa?” tanya Alvin yang masih belum mengerti maksud Aan.
“Tanda cinta kalian terlihat jelas. Kalau tanda itu sampai terlihat orang, mereka bakal tau kalau kamu habis…uh..uh..” sahut Ricky sambil memperagakan gerakan maju-mundur di pinggulnya waktu mengatakan ‘uh…uh…’

Alvin membelalakkan matanya kaget dan langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“BRENG…BRENGSEK!!” umpatku ke Ricky yang kini sudah tertawa-tawa nggak jelas. Bahkan dia tertawa sampai memegang perutnya. Aan juga terlihat sedang menahan tawanya dengan menutup mulutnya rapat-rapat.
“Indahnya masa muda,” gumam Aan yang beranjak pergi meninggalkanku, Alvin dan si brengsek Ricky.

AN**NG!! AAARRRGGGHHHHH…..!!!!!!

“A..aku mau pulang sekarang,” kata Alvin yang masih tertunduk, setelah itu dia langsung beranjak pergi.
“Ah tunggu! Aku antar sampai depan,” kataku, “kamu…kita bikin perhitungan setelah ini,” kataku pada Ricky yang masih saja tertawa.
“Ya aku tunggu dengan senang hati. Tapi aku nggak mau kasar, aku maunya yang halus dan pelan-pelan penuh dengan perasaan,” goda Ricky masih dengan tawanya.
“Kamu…ck ah…” akupun langsung berbalik menyusul Alvin.

Liat aja nanti, aku bunuh dia. Aku pasti membunuhnya setelah ini. Dasar brengsek.





~Rico Pov~
“Aku pulang dulu,” kata Alvin setelah membereskan semua buku-bukunya.
“Vin tunggu! Vin!” panggil Pandu saat Alvin beranjak dari bangkunya.

Tapi Alvin terus berjalan meninggalkan Pandu yang berusaha menyusulnya.

“Vin, ayolah jangan kayak gini! Sampai kapan kamu mau ngindarin aku terus?” kali ini Pandu berusaha menghalangi langkah Alvin.

Alvin yang terhalang akhirnya memutar melewati salah satu meja lalu berlari keluar kelas sebelum Pandu berhasil menghentikannya.

“Kenapa sih mereka itu?” tanya Dewi saat melewati mejaku.
“Nggak tau,” jawabku.

Sejak tadi pagi sikap Alvin dan Pandu aneh banget. Alvin selalu ngindarin Pandu, sedangkan Pandu berusaha membujuk Alvin yang terus menghindarinya. Kalau di lihat-lihat jadi kayak cowok yang membujuk ceweknya yang lagi ngambek.

Ah sudah lah. Ngapain juga aku ngurusin masalah mereka berdua. Aku aja juga punya masalah yang bikin aku bingung. Awe juga menghindariku. Dari kemarin dia selalu menghindariku. Kalaupun nggak sengaja bertemu, dia selalu bilang ‘maaf’ sebelum pergi lagi dariku. Waktu aku tanya kenapa dia minta maaf ke aku, dia cuma bilang ‘maaf’ lagi ke aku. Nggak cuma itu aja, sudah dua hari ini dia nggak mau aku antar jemput ke sekolah. Dia lebih memilih naik sepeda motor daripada aku jemput.

Setelah semua bukuku masuk ke dalam tas, akupun segera beranjak meninggalkan kelasku yang sudah sepi. Aku sengaja berjalan memutar melewati kelas Awe, tapi ternyata kelasnya juga sudah sepi melompong. Akhirnya aku beranjak menuju tempat parkir untuk mengambil mobilku. Setelah itu aku langsung melajukan mobilku keluar area parkir. Tapi belum sampai keluar dari area sekolah, aku harus menghentikan mobilku di tepi karena melihat sesuatu yang ganjil. Aku melihat Awe bersama seorang cowok di samping pintu pagar sekolah. Awe masih terduduk di motornya, sedangkan orang yang bersamanya berdiri di sampingnya. Yang membuatku kaget bukan karena Awe bersama seseorang, tapi sikap Awe. Awe dengan santainya tertawa dan mengobrol dengan cowok itu. Padahal selama ini dia nggak pernah membuka mulutnya kalau nggak ada hal yang sangat penting. Dia juga nggak akan mengobrol dengan orang yang nggak dia kenal. Tapi sekarang…

Ku amati cowok yang bersamanya. Kalau menurutku cowok itu berusia sekitar 30 tahun ke atas karena wajahnya yang kelihatan dewasa. Dia memakai t-shirt abu-abu serta jaket hitam yang memiliki kerah mirip jas di lengkapi dengan celana panjang hitam. Rambutnya pendek tapi nggak cepak, belah kiri dengan poni yang hampir menutupi mata. Sesekali jari-jari tangannya merapikan rambut depannya supaya nggak menutupi matanya. Kelihatan banget kalau dia cowok yang selalu memperhatikan penampilannya sama kayak aku. Tapi jujur aja, dia lebih keren dari aku. Apalagi kulitnya yang putih bersih, bahkan lebih putih dariku. Dan aku bener-bener nggak suka melihat Awe terlalu akrab dengan orang yang aku nggak tau itu siapa.

Aku mendengus kesal sebelum menjalankan mobilku lagi. Sewaktu melewati Awe dan orang itu, aku sengaja melambatkan laju mobilku dan melihat ke arah mereka dengan tatapan tajam. Awe yang sadar dengan kehadiranku langsung tertunduk dan nggak berani melihatku.

Sial…

~Awe Pov~
“Sekolahmu bagus ya. Bersih dan rapi,” kata kak Hengky setelah menutup pintu rumah.

“Iya kak. Kebersihannya memang nggak di ragukan lagi,” sahutku sambil berjalan kearah kamarku, “aku ganti baju dulu ya kak,” kataku lagi.

Tadi kak Hengky ke sekolahku. Katanya dia penasaran gimana sekolah SMA ku. Aku bertemu dengannya sewaktu pulang sekolah tadi. Kak Hengky terlihat mondar-mandir di depan sekolahku. Nggak susah mengenalinya, karena dia terlihat begitu mencolok dari yang lain. Kami pulang ke rumah dengan kendaraan masing-masing. Aku pulang dengan motorku sedangkan kak Hengky pulang dengan mobilnya.

Aku segera menaiki tangga loteng menuju kamarku. Setelah sampai di kamar, aku langsung membuka seragam atasku.

Kleekkk…

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka.

“Tubuh yang bagus,” kata kak Hengky yang sudah ada di depan pintu kamarku.

Aku langsung menyambar seragamku lagi dan menutupi tubuhku.

“Hai kenapa di tutup? Aku kan ingin melihat pertumbuhan si bintang kecilku ini,” kata kak Hengky sambil tertawa pelan.
“Ka..kakak!!”
“Jangan tegang gitu ah. Nggak mungkin aku meraba-raba tubuhmu atau apa, ya biarpun ingin sih hehe…” katanya sambil terkekeh pelan.

Kak Hengky hanya tertawa saat melihatku manyun-manyun kesal. Dia berjalan memasuki kamarku dan merebahkan tubuhnya di tempat tidurku. Aku langsung membuka pintu lemari bajuku dan mengganti bajuku di sisi kiri pintu lemari agar kak Hengky yang ada di sisi kanan nggak bisa melihatku.

“Kanapa sih nggak percaya sama kakak? Emangnya kakak pernah nyentuh tubuhmu secara berlebihan? Nggak kan?! Yang ada malah kamu pernah nyuri ciuman kakak,” goda kak Hengky, “dulu waktu kakak tidur kamu nyium kakak kan?!”
“Apaan sih kak?! Jangan mengungkit hal yang memalukan!” kataku sewot.

Malunya kalau mengingat aku yang berumur 11 tahun dulu mencuri ciuman kak Hengky yang sedang tidur >.<

Aku menutup lemari bajuku karena aku sudah selesai mengganti baju. Setelah itu aku berjalan dan duduk di kursi yang ada di sisi tempat tidur.

“Hehe..emang gitu kan kenyataannya…uuggghhh…badanku sakit semua,” kata kak Hengky sambil mengeliatkan tubuhnya kearah samping kiri dan menekan pinggangnya dengan tangan kanannya.

Aku tersenyum geli waktu kak Hengky meluruskan semua otot-otot di tubuhnya dengan mengeliat-ngeliat seperti ular. Dua malam ini kak Hengky terpaksa tidur di sofa karena Tante Lila nggak ngizinin kak Hengky tidur di kamar tamu, sedangkan kamarnya yang dulu sudah aku pakai. Lagian kasur di kamarku cuma muat buat satu orang aja.

Dreett…Dreett…

Aku langsung mengambil hpku yang bergetar di atas meja belajarku dan membaca sms yang barusan masuk. Mataku terbelalak kaget sewaktu membaca siapa yang baru mengirimiku sms. Rico.

From: Rico
Sp cwo td? Knp km cuek k aq tp bisa akrab sma cwo lain? Apa mksdmu tiap ketemu dgnq slalu minta maaf? Ada apa ini? Apa ada yg g aq tw?

Aaaaaaa….gimana ini?? Dia masih bertanya tentang permintaan maafku, dan sekarang dia bertanya tentang kakakku. Masa sih aku harus bilang kalau aku minta maaf karena aku sudah berciuman dengan kakak eenggg… omku sendiri?? Ah bukan…maksudnya om tiri. Apa sebaiknya nggak aku balas saja smsnya? Tapi sudah dua hari ini aku nggak membalas smsnya dan selalu menghindarinya. Aku takut dia marah, tapi aku lebih takut lagi kalau dia tau yang sebenarnya. Aduuuhhhh…gimana ini hiks T-T

“Sms dari siapa sih? Kok serius banget,” tanya kak Hengky yang tau-tau sudah ada di belakangku.
“Bu..bukan siapa-siapa,” jawabku cepat sambil memasukan hp ku ke dalam kantong celanaku.
“Hmm..ya sudah kalau nggak mau bilang,” desis kak Hengky sambil berjalan kearah tempat tidurku lagi dan mendudukkan pantatnya di sisi tempat tidurku, “kamar ini benar-benar nggak berubah ya,” gumam kak Hengky.

Aku memutar tubuhku sampai menghadap kak Hengky yang ada di sisiku.

“Iya. Aku nggak berniat untuk merubahnya,” sahutku sambil melihat setiap jengkal kamarku.

Putih dan bersih. Warna kesukaan kak Hengky. Benar-benar pas dengan profesinya sebagai seorang dokter.

“Tempat ini memang nggak berubah, kamu juga nggak berubah. Tapi hatimu mungkin sudah berubah,” kata kak Hengky pelan.

Kak Hengky terus memandangku lekat-lekat.

“Aku…aku…” aku nggak bisa meneruskan kata-kataku.

Aku cuma bisa menundukkan kepalaku.

“Nggak apa-apa Gung. Aku nggak berharap kamu akan terus menyukaiku setelah apa yang sudah aku lakuin ke kamu,” desisnya.

DEG

Perlahan-lahan aku mulai mengangkat wajahku dan membalas tatapan matanya.

“Dari dulu aku selalu ingin tanya, kenapa dulu kakak meninggalkanku begitu saja? Kenapa kakak nggak pernah menghubungiku lagi? Kenapa kakak menghilang dari hidupku? Kanapa kakak membuangku sama seperti semua saudaraku yang membuangku?” tanyaku bertubi-tubi.

Ya benar, aku sudah di buang saudaraku sendiri karena aku di anggap nggak pantas untuk mereka terima dalam hidup mereka. Karena aku akan merepotkan, karena aku akan membuat malu, karena aku membawa aib keluarga, itulah alasannya.

Aku langsung mengeluarkan hp ku lalu membuka phonebook dan mencari nomor yang sering menggangguku akhir-akhir ini.

“Ini nomor hp kakak kan?!” kataku sambil menyodorkan hpku ke kak Hengky.
“Sorry,” desisnya tanpa berani menatapku, kak Hengky juga nggak melihat hpku yang aku sodorkan.
“Apa segitunya kakak mau melupakanku? Apa kakak takut kalau aku akan merusak hubunganmu dengan kak Vinna?” tanyaku lagi dengan nada bergetar.

Perlahan-lahan air mataku mulai mengalir jatuh membasahi ke dua pipiku. Semua pertanyaan dan uneg-unegku yang selalu aku pendam sendiri akhirnya keluar begitu saja dari mulutku tanpa bisa aku cegah.

Aku menundukkan kepalaku dan memejamkan ke dua mataku rapat-rapat. Ku remas sendiri jari-jari tanganku untuk mengurangi kegalauan yang aku rasakan saat ini.

Siapa yang bilang kalau uneg-uneg sudah keluar kita bisa lega? Aku sudah mengeluarkan uneg-unegku dan yang terasa adalah sakit. Hatiku sakit saat mengingatnya kembali.

Perlahan-lahan aku membuka mataku dan menatap nanar kearah kak Hengky.

“Hampir tiap hari aku memandangi hp dan telfon rumah hanya untuk menunggu kabar darimu. Tapi semua percuma….karena kakak nggak pernah menghubungiku,” kataku di sela isak tangisku yang makin menjadi, “kakak nggak pernah tau kalau ada anak berusia 11 tahun yang selalu menanti kepulanganmu. Kakak nggak pernah tau kalau ada anak berusia 11 tahun yang sedang menangis seorang diri karena merindukanmu. KAKAK JUGA NGGAK PERNAH TAU KALAU ADA ANAK BERUSIA 11 TAHUN YANG SELALU MENAHAN RASA SAKIT HATINYA,” kataku penuh emosi dan akhirnya berteriak di akhir kalimatku, “kakak nggak pernah tau,” lanjutku lirih sambil mengusap air mataku yang terus mengalir turun.

Kak Hengky terlihat syock melihatku berteriak histeris seperti tadi.

Perlahan-lahan kak Hengky berdiri dari duduknya dan menghampiriku. Setelah itu dia berjongkok tepat di depanku.

“Aku nggak pernah berfikir negativ tentangmu. Aku nggak pernah membuangmu. Aku juga nggak pernah ingin melupakanmu,” katanya pelan sambil menggamgam lembut ke dua tanganku, “dan aku adalah orang yang paling memahami sakit di hatimu. Karena aku juga merasakannya,” lanjutnya lagi.

Aku masih terdiam. Cuma tatapan mata kami yang saling beradu.

“Hal itu aku lakukan agar kamu bisa melupakanku. Aku nggak mau menyakitimu lebih lagi,” katanya lagi, “aku yang bodoh. Aku nggak bisa menjaga kelakuanku sampai hal itu terjadi. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku juga nggak akan bisa lari dari masalah itu. Vinna hamil dan aku di tuntut untuk bertanggung jawab,” lanjutnya lagi.

Di belainya lembut pipi kiriku yang sedikit basah dengan tangan kanannya.

“Tapi sekeras apapun aku mencoba bersamanya, aku tetap nggak bisa melepaskanmu dari pikiranku. Aku selalu merindukanmu,” katanya pelan nyaris berbisik, “aku terlanjur mencintaimu,” lanjutnya lagi.

Aku masih terdiam dengan berbagai hal yang berkecamuk dalam dada. Rasanya sulit untuk mengendalikan perasaanku saat ini. Apakah aku harus senang dengan pengakuannya? Apa aku harus bersedih karena mendengar fakta setelah semuanya terlambat?

“Ikutlah bersamaku,” desisnya.
“Ha?” tanyaku bingung.
“Kita pergi berdua. Sejauh yang bisa kita tempuh. Aku akan menyiapkan semuanya. Besok aku akan pergi menemui teman lamaku untuk mengurusnya. Aku juga sudah membawa berkas-berkas untuk keperluan izin membuka praktek umum,” aku membelalakkan mataku kaget mendengarnya.
“A…apa kakak sudah gila? Kakak tau apa yang baru saja kakak bicarakan?” tanyaku nggak percaya.
“Aku nggak gila dan aku tau apa yang aku bicarakan,” katanya.

Kak Hengky menatap kedua mataku tajam dan penuh keseriusan.

“Ta…tapi gimana dengan kak Vinna? Gimana dengan anak kakak yang masih kecil? Gimana…gimana dengan Tante Lila?” tanyaku makin kacau.

Gimana dengan Rico????

“Kita tinggalkan semua. Cuma ada kamu dan aku. Cuma berdua. Nggak akan ada yang bisa ganggu kita lagi. Aku tau kamu pasti berat meninggalkan kak Lila. Tapi dia hanya ibu angkatmu, dia cuma teman ibumu dan bukan ibu kandungmu,” katanya, “masalah sekolahmu aku bisa menanganinya. Aku akan menanggungnya,” lanjutnya lagi.
“I…ini terlalu mendadak,” desisku sambil memegang kepalaku yang mendadak sakit.
“Ini nggak mendadak. Aku sudah memikirkannya jauh-jauh hari. Aku sudah nggak tahan kalau harus pura-pura seperti ini terus. Aku capek,” katanya.

Lagi-lagi aku cuma terdiam mendengar semua kata-katanya. Aku bingung. Bahkan sangat bingung.

Memang nggak mendadak buat kak Hengky tapi mendadak buatku.

“Mungkin aku akan pergi selama seminggu. Selama seminggu itu pikirkan baik-baik ajakanku ini. Setelah aku pulang, aku nggak akan kembali ke rumah ini lagi. Aku akan menunggumu di dekat mini market tempat kita dulu sering belanja. Kalau kamu mau pergi bersamaku, datanglah. Tapi kalau kamu menolaknya, jangan menampakkan diri di sana karena itu akan membuatku bertambah sedih dan kecewa.”
“Ka…kakak…aku…aku…”
“Aku tau kalau hatimu mungkin sudah berubah. Mungkin kamu sudah nggak menyukaiku lagi atau mungkin saja jauh di dalam hatimu sekarang kamu membenciku. Tapi aku yakin kalau kamu masih memiliki 20% rasa yang sama seperti dulu padaku. Dan aku mau bertaruh untuk yang 20% itu,” kata kak Hengky memotong kata-kataku, “sekarang istirahatlah, aku mau membereskan semua barang-barangku untuk besok,” lanjutnya lagi sambil berdiri dan mengusap pelan kepalaku.

Setelah itu kak Hengky berjalan menuju pintu kamarku.

“Aku tunggu kedatanganmu,” kata kak Hengky sebelum menutup pintu kamarku.

Aku masih terdiam dan tertegun setelah kepergian kak Hengky. Aku masih nggak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Kak Hengky mengajakku kabur??

Perlahan-lahan ku angkat ke dua kakiku menaiki kursi yang sedang aku duduki. Ku lipat dan ku peluk kakiku yang terlipat dengan tanganku, lalu ku benamkan wajahku di kedua lututku.

Tuhan apa yang sebenarnya terjadi?? Kenapa semuanya jadi seperti ini?? Ibu…aku harus gimana?? Apa yang harus aku lakuin Bu?? Aku sangat membutuhkanmu Bu. Aku sangat membutuhkanmu saat ini.

~Pandu Pov~
“Nih minum!” tawar Aan sambil menyodorkan minuman kaleng ke arahku.

Aku langsung menyambar minuman kaleng itu, membuka tutupnya dan meminumnya.

“Gimana Alvin? Masih marah?” tanya Aan.

Aan yang tadi berdiri sekarang ikut duduk di sampingku.

“Masih. Beberapa hari ini dia ngindarin aku terus,” jawabku sebelum meneguk minuman kalengku lagi, “gara-gara si kunyuk itu,” lanjutku sambil menatap kesal ke arah Ricky yang duduk di seberang jalan sana.
“Kan dia nggak sengaja Pan. Tau sendiri lah sifat jahilnya itu dah parah banget. Lagian Alvin itu juga lucu sih,” kata Aan sambil terkekeh pelan.
“Ck… jadi kamu belain tuh anak? Dia itu udah malu-maluin Alvin. Dan gara-gara dia Alvin jadi marah sama aku. Alvin pasti benci banget sama aku sekarang. Sial,” gerutuku yang langsung di sambut tawa Aan.
“Suruh aja tuh anak tanggung jawab,” kata Aan.
“Tanggung jawab gimana?”
“Ya suruh dia buat bujuk Alvin sampai Alvin nggak marah lagi sama kamu.”
“Jangan macem-macem lah, yang ada malah Alvin makin marah sama aku,” dengusku.
“Kamu ini bener-bener suka sama Alvin ya?!”
“Apaan sih?! Aku cuma ngerasa nyaman aja deket dia. Serasa punya adik aja.”
“Masa sih?!”
“Ah udah deh! Aku mau ikut bali (balapan liar) aja,” kataku kesal sambil beranjak dari dudukku.

Aku langsung meninggalkan Aan yang sekarang sudah tertawa ngakak nggak jelas.

Rasanya aku udah salah karena menganggap Aan itu sebagai tempat curhatku. Yang ada malah dia jadi ngolok-ngolok aku dan kadang mulutnya bocor bongkar sana-sini.

“Mau kemana?” tanya Helen yang sedang duduk di atas motornya.
“Bali. Mau ikut?”
“Nggak deh. Kamu tau sendiri kan aku sedang apa?!” tanya Helen yang meminum minuman keras langsung dari botolnya.

Aku juga melihat beberapa anak sudah ada yang teler di sisi jalan.

“Mau?” tawar Helen sambil mengacungkan botolnya ke arahku.
“Nggak,” tolakku sambil melanjutkan jalanku menuju deretan motor yang terpakir nggak jauh dari tempatku sekarang.

Aku langsung menghabiskan minuman kalengku, membuang kaleng kosongnya ke sembarang tempat lalu menaiki motor kebanggaanku. Setelah itu aku melajukan motorku menuju tempat anak-anak yang sudah bersiap melakukan bali. Saat aku melewati tempat nongkrongku tadi, aku lihat Aan sedang ngobrol dengan Ricky. Aku harap mereka nggak membicarakanku lagi.





~Alvin Pov~
“Iya ma aku baik-baik aja kok. Asmaku juga nggak pernah kambuh akhir-akhir ini,” kataku menjawab pertanyaan Mama di telfon.
“Ya bagus deh kalau gitu. Mungkin Mama belum bisa pulang besok, masih banyak yang harus Mama urus di sini,” kata Mama.
“Iya Ma nggak apa-apa kok,” sahutku.
“Ya udah Mama mau seminar dulu. Sudah di tunggu sama temen-temen Mama. Kalau ada apa-apa kabarin Mama ya!”
“Iya Ma,” kataku sebelum sambungan telfon kami terputus.
“Dari Nyonya ya Den?” tanya Bi Um yang sedang menata buah-buahan di atas meja makan.
“Iya nih Bi. Besok Mama nggak bisa pulang lagi,” jawabku sambil mulai mengambil nasi dan sayur untuk makan malamku.
“Apa Den Alvin nggak kesepian? Apa perlu Bibi panggillin Den Rico untuk nemenin Aden malam ini?” tanya Bi Um.
“Nggak usah Bi,” jawabku sambil menyendok makananku lalu memasukkannya ke dalam mulutku.
“Den. Di cari temanmu tuh di depan,” kata Bi Surti yang tau-tau sudah ada di sampingku.
“Teman? Siapa Bi?” tanyaku sambil meminum air mineralku.
“Namanya Ricky,” aku terbelalak kaget saat mendengar nama Ricky keluar dari mulut Bi Surti.

Dia kan temennya Pandu yang sudah bikin aku malu di depan Pandu dan Aan. Ngapain dia ke rumahku??

“A..anu Bi. Bilang ke dia kalau aku nggak ada di rumah!” perintahku panic.
“Aduh maaf Den, Bibi sudah terlanjur bilang kalau Aden ada di rumah,” kata Bi Surti bingung.

Aduh gimana nih? Masa aku harus nemuin orang macam dia?!

“Ya…ya udah deh nggak apa-apa,” kataku akhirnya.

Aku segera beranjak dari kursiku dan pergi ke ruang tamu untuk menemui cowok itu.

Ricky langsung berdiri dari duduknya dan tersenyum waktu mengetahui kedatanganku.

“A..ada apa?” tanyaku gugup.

Aku benar-benar merasa malu berhadapan dengan Ricky saat ini.

“Sorry ganggu, aku cuma mau ngajak kamu ke tempat nongkrong kami,” kata Ricky.
“A..apa?”
“Pandu marah banget sama aku. Dia bakal ngabisin aku malam ini kalau aku nggak bisa ngajak kamu ke tempatnya. Katanya gara-gara aku, kamu jadi nyuekin dia. Aku minta maaf kalau sudah bikin kamu marah,” aku tertegun mendengar semua ocehan Ricky.

Masa sih Pandu marah banget sama Ricky?? Masa iya Pandu mau menghajar Ricky cuma karena hal itu?? Apa cuekku sudah keterlaluan sampai Pandu nyalahin Ricky seperti ini?? Tapi aku cuek ke Pandu karena aku malu sama dia. Aku malu kalau mengingat kejadian itu. Rasanya aku nggak punya muka kalau bertemu dengannya. Apalagi kejadian itu kepergok sama Ricky dan Aan. Pasti kejadian itu sudah di dengar teman-teman Pandu yang lain. Aduh…

“Ya udah sekarang kita ke sana,” kata Ricky yang langsung menarik tanganku.
“Tu…tunggu… aku kan belum bilang mau pergi,” kataku sambil berusaha melepaskan cengkraman Ricky dari tanganku, “lagian aku nggak boleh keluar malam-malam gini,” lanjutku lagi sambil melihat ke jam dinding yang sudah menunjukkan jam 8 malam.
“Ck..kamu mau liat aku mati di tangan Pandu?? Dia pasti menghajarku habis-habisan nanti. Aku mohon ikutlah denganku!”
“Ta..tapi…”
“Aden mau pergi?” tanya Bi Yum yang nggak tau sejak kapan sudah ada di belakangku sambil membawa tempat sampah.
“Iya Bi. Ada tugas kelompok yang belum selesai. Jadi aku mau ajak Alvin kerumahku sebentar buat nyelesain tugas itu. Nggak apa-apa kan Bi?”
“A..ap…”
“Tapi ini sudah malam. Den Alvin nggak boleh keluar rumah jam segini,” kata Bi Yum.
“Tung…”
“Nggak akan lama kok Bi. Kalau nggak selesai malam ini kami berdua bakal di hukum besok. Hukumannya berat Bi. Di suruh lari keliling lapangan 10 kali.”

Mataku langsung melebar waktu mendengar kebohongan dari mulut Ricky.

“LARI?? 10 KALI??” Bi Yum juga ikut terbelalak kaget, “tapi..tapi Den Alvin nggak bakal kuat. Tubuhnya lemah,” lanjutnya panic.
“Makanya Bi. Aku mau pinjam Alvinnya sebentar. Daripada di hukum kan lebih baik ngerjain tugasnya sampai selesai,” kata Ricky santai seolah-olah yang di ucapkannya itu bukanlah suatu kebohongan.

Gimana aku bisa punya tugas yang sama dengan Ricky kalau kami aja nggak satu sekolah?? Lagian mana ada guru di sekolah SMA yang menghukum muridnya lari 10 kali cuma karena nggak ngerjain tugas. Paling cuma di beri tugas tambahan lagi sebagai hukumannya.

“Ng..ya..ya udah deh. Tapi nanti tolong antar Den Alvin pulang lagi ya! Atau kalau perlu nanti biar di jemput.”

Apa?? Bi Yum membiarkanku pergi begitu saja?? Masa sih dia percaya sama kebohongan Ricky?? Lagian, di jemput?? Nggak mungkin kan aku di jemput di tempat seperti itu. Aduh…

“Nggak ini…”
“Iya Bibi tenang aja. Kalau sudah selesai akan aku antar Alvin pulang sampai rumah dengan selamat, jadi nggak perlu di jemput. Lagian mobil nggak akan bisa masuk sampai rumahku karena rumahku masuk gang.”

Aku makin lemas mendengar ocehan Ricky yang murni bohong itu.

“Hmm..ya udah deh kalau gitu. Hati-hati ya di jalan.”
“Iya Bi. Kami berangkat dulu,” pamit Ricky.

Setelah itu dia langsung menarik tanganku sampai keluar dari rumah.

“Apa aku harus ke sana???” tanyaku setelah kami sampai di tempat Ricky memarkir motornya.
“Ya harus!” jawab Ricky sambil menaiki motornya dan mens-tarternya, “nih pakai!” kata Ricky sambil menyodorkan helm ke arahku.
“Apa nggak bisa besok aja?? Aku kan bisa ketemu sama Pandu di sekolah,” kataku sambil mengambil helm yang di sodorkannya itu.
“Aku lihat Pandu tadi sedang berciuman sama cewek.”
“Apa??” aku membelalakkan mataku kaget, berharap pendengaranku salah, “ber…ber…apa??”
“B.E.R.C.I.U.M.A.N,” ulang Ricky perlahan.
“A..aku ikut ke sana,” tanpa pikir panjang aku langsung memakai helm yang di sodorkannya ke arahku dan langsung naik ke motornya.

Setelah itu Ricky mulai melajukan motornya menyusuri jalan menuju tempat yang dulu aku datangi. Tempat di mana gank motor Pandu dkk berkumpul. Selama di perjalanan aku nggak berani meluk Ricky seperti aku meluk Pandu. Aku cuma memegang jaketnya supaya nggak jatuh.

Nggak butuh waktu lama untuk sampai di tempat itu. Motor yang kami tumpangi sudah membawa kami ke arah orang-orang yang sedang bergerombol di sisi jalan. Setelah Ricky berhenti di salah satu kios yang sudah tutup, aku pun langsung turun dari motornya dan menyerahkan helmnya kembali.

“Kamu tunggu di sini dulu. Aku mau nyari Pandu. Nggak apa-apa kan?” tanya Ricky.
“Iya nggak apa-apa,” jawabku.
“Ya udah sebentar ya,” kata Ricky yang langsung melajukan motornya lagi.

Aku yang seorang diri di depan kios yang sudah tutup ini akhirnya duduk di salah satu anak tangga yang ada di depan pintunya. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat orang-orang yang bergerombol di seberang jalan yang sedang memperhatikanku. Takut juga sih mengingat aku punya pengalaman buruk sama beberapa orang dari mereka. Tapi apa boleh buat daripada aku harus kehilangan orang yang begitu penting buatku. Kadang aku heran kenapa aku bisa menganggap Pandu itu sangat penting dan berarti di hidupku. Aku juga heran kenapa aku bisa menikmati apapun yang dia lakukan pada tubuhku.

Aduh wajahku rasanya jadi panas mendadak kalau ingat hal itu.

Ku raba leherku yang kini sudah nggak tertutup handsaplas lagi karena tandanya sudah memudar. Dan lagi-lagi mukaku terasa memanas.

Apaan sih aku ini. Bisa-bisanya membayangkan hal yang enggak-enggak di saat seperti ini >.<.

“Al…Alvin,” tiba-tiba ada orang yang muncul begitu saja di depanku.
“Pandu,” desisku kaget.

Aku langsung berdiri saat Pandu berjalan menghampiriku.

“Kamu kenapa ada di sini??” tanya Pandu bingung, “naik apa kamu ke sini?” tanyanya lagi.
“Aku…aku di jemput sama Ricky,” jawabku tanpa berani menatap matanya.
“Ricky? Tapi Ricky nggak bilang kalau dia jemput kamu,” kata Pandu bingung.
“Ehm…Ricky bilang kalau aku nggak ke sini sekarang juga, kamu bakal menghajarnya sampai babak belur,” kataku masih tertunduk.
“Dia bilang gitu?” tanya Pandu yang lengsung mendapat anggukan kepalaku, “kamu di tipu,” dengus Pandu kesal.
“He??” aku langsung mengangkat wajahku menatapnya bingung.
“Aku nggak ada niat mau menghabisinya,” kata Pandu sambil mengedarkan pandangannya ke semua penjuru jalan seperti mencari sesuatu, “tapi kalau dia emang niat banget minta di hajar bakal aku kabulin keinginannya itu.”
“Ah..jangan!” cegahku, “jangan menghajarnya!”
“Nggak kok tadi aku cuma bercanda. Masa aku mau menghajar temenku sendiri sih,” kata Pandu sambil tertawa pelan melihatku yang menjadi panic.
“…”
“…”
“…”
“…”
“Ehm…Pan sorry aku menghindarimu akhir-akhir ini,” desisku, “aku…aku malu,” lanjutku lagi nyaris berbisik.

Aku langsung menundukkan kepalaku lagi.

“…”
“…”
“…”
“…”
“Ah..lupain aja!! Yang seharusnya minta maaf itu aku. Aku sudah bikin kamu malu di depan temen-temenku,” kata Pandu, “sorry ya.”
“Iya,” jawabku masih dengan menundukkan kepalaku.
“…”
“…”
“Hm..kamu kok nggak pakai jaket?” tanya Pandu.

Belum sampat aku menjawab pertanyaannya aku sudah merasakan ada yang melingkar di kedua bahuku. Jaketnya Pandu. Aku langsung menatap Pandu.

“Pakai aja! Biar nggak kedinginan,” kata Pandu.
“Iya,” aku pun langsung mamakai jaket Pandu dengan benar.

Tiba-tiba…

KUKURUYUUUKKKK….(ayam?)

Aku langsung memegang perutku yang berbunyi seperti suara ayam.

“Kamu belum makan?” tanya Pandu sambil tertawa pelan.
“Sudah tapi cuma sesendok,” jawabku sambil menahan malu luar biasa.

Aduh malu banget rasanya. Kenapa juga perutku berbunyi di saat ada Pandu?! Ck…bener-bener deh.

“Aku belikan makanan dulu ya?! Kamu mau kan nunggu di sini sebentar?” tanya Pandu yang langsung mendapat anggukan dari kepalaku.

Setelah itu Pandu langsung pergi meninggalkanku.

Sendiri lagi deh..Huuffhh…

Akhirnya aku duduk-duduk lagi di anak tangga tadi dan menunggu Pandu datang. Jalanan makin ramai dengan orang-orang yang melakukan balapan. Asap motor langsung mengepul dan memenuhi udara.

Gawat aku nggak bawa inhaler.

Aku langsung menutup hidungku rapat-rapat supaya asap hitam itu nggak masuk dan mengganggu pernafasanku. Untung asapnya cepat menghilang setelah motor-motor itu pergi menjauh.

“Anj**ng!! Aku kalah sama tuh anak kecil,” tiba-tiba terdengar suara dari kios sebelah kiriku.

Aku nggak tau mereka siapa karena tiap-tiap kios terpisah dengan dinding yang cukup tinggi. Apalagi tempat di sekitar sini cenderung gelap karena minimnya pencahayaan.

“Mau gimana lagi dia kan emang jago. Pokoknya kita nggak bakal bisa menang dari gerombolannya si Aan,” sahut seorang lagi.
“Bener, mereka itu main curang,” terdengar suara ke tiga.
“Tau gini aku kasih paku aja tadi di jalanan. Biar mampus tuh Johan belagu,” dengus suara pertama.

Wah mereka ngomongin Johan. Kalau nggak salah Johan itu temen kosnya Pandu yang rada aneh. Anaknya masih SMP tapi cuek dan nggak mau tau nya itu bener-bener kelewat parah. Aku aja pernah di biarin di depan pintu gerbang kosnya sampai ke hujanan. Nggak aneh sih kalau ada yang nggak suka sama dia.

“Kapan-kapan kita harus memberi anak itu pelajaran biar nggak belagu lagi,” kata suara ke dua.
“Kalian mau mati di hajar Pandu hah?! Jangan coba-coba menyentuh salah satu gerombolannya sedikitpun, bisa tamat kalian di tangan monster itu,” celetuk suara ke tiga.

Ck…apaan sih mereka itu. Beraninya menyebut Panduku seorang monster. Kayak cewek aja sukanya ngegosipin orang di belakang.

“Kalau mau coba-coba bermain dengan salah satu gerombolannya, kalian harus berani mati. Ah…nggak… nggak sampai matilah, paling cuma kritis,” lanjut suara ke tiga lagi.
“Ini nggak adil. Kita kan juga anggota gank ini, tapi kenapa cuma mereka-mereka aja yang dapet perlakuan khusus dari Aan dan Pandu?!” dengus suara ke dua.
“Karena mereka satu kos, satu kerjaan di bengkel dan temen nongkrong,” sahut suara pertama.
“Brengsek. Tau gitu aku masuk kos Aan aja,” dengus suara ke dua.
“Dan satu kerjaan sama Pandu di tempat Aan,” timpal suara ke tiga.
“Aku sih nggak mau sama-sama mereka. Orangnya banyak yang aneh. Coba aja liat si Johan yang belagu abis itu. Si pervert Vino…”
“Kayak kamu nggak aja,” potong suara ketiga dengan tawanya.
“Emang aku nggak,” protes suara pertama, “belum lagi Pandunya.”
“Emang kenapa sama Pandu?” tanya suara ke tiga.
“Kamu nggak tau?” tanya suara pertama dan suara ke dua hampir bersamaan.
“Nggak,” jawab suara ke tiga.
“Dia lagi suka sama mainan barunya. Alvin.”

DEG

Jantungku hampir berhenti berdetak saat mendengarnya.

Maksudnya apa?? Aku?? Aku mainan??

“Masa sih? Alvin itu nama cowok kan?!” tanya suara ke tiga dengan nada penasaran.
“Iya Alvin itu cowok,” jawab suara ke dua.
“Wah aku baru tau kalau Pandu punya hobby kayak gitu. Menjijikkan hahaha…” kata suara ke tiga.

Aku mengigit bibirku kuat-kuat untuk meredakan amarahku yang meluap. Setidaknya aku nggak mau punya masalah dengan mereka. Tapi…mendengar kalau aku adalah ‘mainan’ rasanya terlalu menyakitkan. Apa Pandu juga berpikir kalau aku cuma sebuah mainan??

“Sudah jadi rahasia umum kalau Pandu sangat menikmati mainan baru kesayangannya itu. Bener-bener parah tuh…”

BRAAAKKK….

KLONTANG…KLONTANG…KLONTANG…

Tiba-tiba tong sampah di kios sebelah kananku jatuh, atau lebih tepatnya di tendang dan membuat ke tiga orang di kios sebelah kiriku berhamburan pergi. Nggak lama kemudian muncul seseorang dari kios sebelah kananku.

Aku tercekat sewaktu melihat orang yang baru saja muncul itu.

JOHAN…

Johan menatap ke arahku dan perlahan-lahan berjalan mendekatiku. Aku langsung tertunduk takut. Dia pasti mendengar namanya jadi bahan gossip. Jangan-jangan sekarang dia sangat marah dan ingin menghajar seseorang untuk pelampiasannya.

“SO…SORRY,” spontan aku minta maaf saat merakan tangannya mendekat ke kepalaku.
“Nggak usah di pikirin. Pandu bukan orang seperti itu.”
“Apa?” aku langsung mengangkat wajahku saat merasakan tangan Johan mengusap pelan kepalaku, “ah…i…iya,” kataku menanggapi kata-katanya.

Johan masih mengusap kepalaku sampai hp nya berdering. Dia langsung menjawab telfon yang masuk di hp nya, setelah itu dia beranjak pergi meninggalkanku begitu saja.

“Apaan sih…bikin kaget aja,” desisku yang masih kaget dengan tingkahnya barusan.

Tapi mendadak aku tertawa pelan saat menyadari keanehan yang baru saja terjadi. Siswa kelas 12 SMA di tenangkan sama siswa SMP. Ah..malunya.

~Pandu Pov~
Kupandangi anak-anak yang sedang bergerombol di seberang jalan dan di sekitar kios tempat Alvin menungguku. Tanpa pikir panjang aku langsung menyiul keras sampai mereka melihat ke arahku, setelah itu aku mengusir mereka dengan gerakan tanganku. Perlahan-lahan mereka mulai membubarkan diri dan berpindah ke sisi jalan yang agak jauh dari tempat Alvin. Kecewa dan marah terlihat jelas di wajah mereka, tapi nggak ada yang berani protes. Dan itu yang aku mau. Setelah anak-anak itu mengungsi ke tempat lain barulah aku mendekat ke tempat Alvin.

Seharusnya aku mengusir mereka sejak tadi sebelum aku meninggalkan Alvin.

“Sorry lama. Antri,” kataku setelah setelah kembali ke tempat Alvin menungguku.
“Nggak apa-apa,” sahut Alvin sambil tersenyum ke arahku.

Aku langsung berjalan ke arahnya dan duduk di sisi kirinya.

“Nih aku belikan nasgor sama aqua botol,” kataku sambil menyodorkan kantong plastic yang berisi satu bungkus nasgor dan aqua ke arahnya.

Alvinpun langsung menerimanya dan membuka bungkusan nasgor pemberianku.

“Kenapa??” tanyaku saat melihat Alvin yang terdiam sambil memandangi nasgor yang ada di tangannya.
“Ehm..nggak ada sendoknya,” jawab Alvin pelan.
“Pakai tangan aja kalau gitu.”
“Ta…tangan??”
“Ya mau gimana lagi?! Daripada kamu sakit karena nggak makan.”
“Tapi aku nggak pernah makan pakai tangan.”
“Serius?” tanyaku nggak percaya yang langsung di jawab dengan anggukan kepala Alvin.

Aku tersenyum melihatnya.

Tanpa pikir panjang aku langsung mencuci tangan kananku dengan sedikit air dari aqua botol yang ada di dalam kantong plastic. Setelah itu aku mengambil bungkusan nasgor dari tangan Alvin.

“Gini caranya,” aku segera mengambil sedikit nasgor dengan jari-jari tangan kananku dan melahapnya, sedangkan Alvin cuma menatapku bengong, “nih!” aku menyodorkan kembali bungkusan itu kearah Alvin.
“Ehm…harus pakai tangan ya?” tanya Alvin ragu-ragu.
“Iya, habis nggak ada sendoknya,” kataku masih menyodorkan bungkusan ke arahnya.

Lagi-lagi Alvin cuma terdiam sambil memandangi nasgor yang ada di tanganku.

“Kalau nggak mau makan pakai tanganmu, gimana kalau aku suapin?” tanyaku sambil mulai mengambil sedikit nasgor dengan jari-jari tanganku dan mulai menyodorkannya kearah Alvin yang makin bertambah bengong, “aaaaaaa…!!!” kataku sambil mendekatkan jari-jariku yang sudah ada nasgornya ke bibirnya.

Alvin masih menatap nasgor yang ada di tanganku, tapi akhirnya dia membuka mulutnya dan melahap nasgor yang aku sodorkan. Aku langsung tersenyum lebar melihatnya.

“Enak nggak?” tanyaku sambil mengambil nasi dengan jari-jariku lagi.
“Enak,” jawabnya lirih sambil menundukkan kepalanya.

Lagi-lagi aku tersenyum di buatnya.

“Nih!” kataku sambil menyodorkan nasi ke arahnya lagi dan Alvin pun melahapnya, “sebentar, ada yang nempel,” kataku sambil membersihkan butiran-butiran nasgor yang menempel sisi bibirnya dengan punggung tanganku.

Alvin cuma tersenyum sekilas lalu menundukkan kepalanya lagi.

Sebenarnya ini hal yang ganjil kalau di lihat orang, tapi aku nggak perduli. Rasanya aku jadi lupa diri kalau bersamanya. Aku selalu ingin memanjakannya dan membuatnya nyaman saat berada di sampingku. Hal yang nggak pernah aku lakuin pada orang lain.

“Udah habis,” kataku saat nasgornya sudah habis.

Aku langsung membuang bungkus nasgor ke tong sampah yang ada di sampingku.

“Tanganmu jadi kotor,” desis Alvin.
“Nggak apa-apa, nanti juga bisa cuci tangan di warung deket sini,” kataku sambil menyodorkan aqua botol ke Alvin.

Alvin meminum beberapa teguk lalu mengoper ke arahku. Akupun meminumnya sedikit, setelah itu sisa airnya aku gunakan untuk membersihkan tanganku. Memang nggak bisa bersih, tapi daripada nggak kena air sama sekali.

“Kalau nggak salah aku ada tissue basah deh,” gumam Alvin sambil merogoh-rogoh kantong celananya, “ada,” kata Alvin sambil tersenyum lebar.

Alvin langsung menarik tangan kananku dan mulai membersihkan jari-jariku dengan tissue basah yang dia bawa. Sebenarnya sih masih percuma. Tanganku nggak bakal bisa bersih kalau nggak cuci pakai sabun. Tapi bau harum yang keluar dari tissue basah itu bisa sedikit menolong.

Aku perhatikan Alvin yang terus membersihkan tanganku. Wajahnya kelihatan serius padahal yang dia kerjakan ini bukanlah hal yang serius.

“Sudah selesai,” desis Alvin.

Tiba-tiba Alvin mengangkat wajahnya membuat pandangan mata kami bertemu. Lagi-lagi aku merasakan getaran aneh yang membuatku ingin menyentuhnya. Perlahan-lahan aku mulai mendekatkan wajahku ke wajahnya. Dekat dan semakin dekat. Sangat dekat. Sedikit lagi aku bisa menciumnya. Tapi tiba-tiba…

“Jangan!” tiba-tiba Alvin mendorong tubuhku menjauh darinya.
“Ke..kenapa?” tanyaku bingung.
“Aku…aku nggak mau kalau dianggap sebagai mainanmu lagi.”
“Apa maksudmu?” tanyaku kaget, Alvin nggak menjawab dan cuma menunduk.
“Vin?!”
“Mereka yang bilang,” desis Alvin.
“Siapa?”
“Teman-temanmu.”

Seketika itu juga amarahku memuncak. Dapat ku rasakan wajahku memanas menahan emosi yang mendadak meluap.

‘Mainan’?? Beraninya mereka bilang seperti itu ke Alvin. BRENGSEK!!

“Tunjukkan siapa orangnya!!” kataku dengan suara bergetar menahan emosi.
“Buat apa?” tanya Alvin yang kini mengangkat wajahnya menatapku.
“Akan aku hajar mereka,” kataku sambil berdiri.

Alvin melebarkan matanya kaget.

“Ja…jangan! Lagian aku nggak tau siapa mereka. Aku nggak bisa melihat wajahnya,” kata Alvin sambil menahan tanganku.

Aku menatap Alvin dengan pandangan penuh selidik.

“Sungguh. Aku bener-bener nggak tau,” kata Alvin yang sekarang ikut berdiri dan masih memegang tanganku.

Aku terus menatap mata Alvin untuk mencari kebenaran di sana. Tapi tatapan matanya menunjukkan kalau dia nggak berbohong. Akhirnya aku cuma bisa menghela nafas berkali-kali untuk meredam emosiku.

“Jangan dengarkan mereka!! Asal kamu tau, aku nggak pernah menganggapmu sebagai mainanku,” kataku sambil kembali duduk di anak tangga yang di susul Alvin.
“Be…benarkah? Terus kenapa…kenapa waktu itu kamu menciumku??” tanya Alvin lirih nyaris berbisik. Dia juga menundukkan kepalanya untuk menghindari tatapan mataku.

Untuk beberapa saat aku cuma terdiam mendengar pertanyaannya. Jujur aja aku sendiri juga bingung. Banyak pertanyaan yang nggak bisa aku jawab. Kenapa aku selalu perduli padanya? Kenapa aku selalu ingin bertemu dan ingin selalu dekat dengannya? Kenapa aku selalu ingin melihat wajahnya? Kenapa aku ingin dia merasa nyaman kalau berada di dekatku? Kenapa aku bisa menciumnya dan melakukan hal yang hampir yach…hampir….?

Aku langsung melemparkan pandanganku kearah lain sambil menghela nafas panjang.

“Aku sendiri juga nggak tau,” desisku.
“Hmm…gitu ya.
“Tapi aku nggak pernah menganggapmu sebagai mainanku,” kataku cepat saat melihat kekecewaan di raut wajahnya, “aku selalu merasa nyaman kalau dekat denganmu sampai aku…aku nggak bisa mengendalikan diriku,” lanjutku lagi.

Alvin terlihat salah tingkah sekarang. Dia langsung menundukkan kepalanya lagi.

“Gimana denganmu? Kenapa waktu itu kamu nggak menolaknya? Kenapa kamu ikut menikmatinya?” tanyaku sambil mengangkat dagunya agar aku bisa menatap wajahnya.
“Aku…aku…juga nggak tau. Mungkin karena aku juga merasa nyaman saat berada di dekatmu. Makanya aku…aku nggak menolaknya,” jawab Alvin gugup.

Alvin mau menundukkan kepalanya lagi tapi aku tetap menahan dagunya.

“Kalau gitu apa boleh aku menciummu sekali lagi?” tanyaku sambil menatapnya lekat-lekat.
“Ja…jangan bercanda!”
“Aku nggak bercanda.”
“Ta…tapi ini…ini di tempat umum. Aku…aku takut kalau ada yang lihat,” kata Alvin makin gugup.
“Nggak ada yang lihat. Aku sudah mengusir mereka.”
“Tapi…”
“Ssttttt…” aku menempelkan jari telunjukku pada bibirnya, “cuma sebentar. Aku janji.”

Setelah itu aku kembali mendekatkan wajahku pada wajahnya dan sekali lagi aku mencium bibirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar