Senin, 21 Maret 2016

Memories Of Him - Part 7

~Pandu Pov~
Dia…

Aku menghela nafas jengah, sedangkan Awe malah tersenyum lebar ketika melihatku. Sedetik kemudian dia berlari ke arahku, tapi tiba-tiba…

BRRUUUKKK….

“Aaaaa….”

Mataku langsung terbelalak kaget ketika melihat Awe yang tiba-tiba saja jatuh. Awe tersungkur. Aku terdiam sejenak melihatnya tersungkur seperti itu, tapi akhirnya aku melangkahkan kakiku mendekatinya.

“Ngapain sih kamu ini? Kok bisa-bisanya jatuh. Kayak anak TK aja,” kataku sambil membantunya berdiri. Awe cuma diam saja.

Aku melihat ke dua lututnya terluka dan mengeluarkan darah. Kalau saja dia pakai celana panjang mungkin dia nggak akan berdarah seperti ini.

Aku segera berjongkok dan mengamati lukanya. Luka di lututnya cukup besar karena dia tadi jatuhnya tepat di atas jalanan yang nggak rata. Aku langsung melihat sekeliling mencari kran air. Ada.

“Sini ikut aku.”

Aku berjalan ke kran air yang ada di sisi kiri dinding depan mini market. Awe langsung mengikutiku dengan tertatih-tatih. Dia berjalan sambil meringis menahan sakit di lututnya. Persis kayak anak TK. Mendadak aku jadi ingat sama seseorang. Orang yang pernah tenggelam di kolam ikan yang dangkal. Dia juga mirip anak TK. Aku langsung tertawa ngakak nggak jelas. Awe yang sudah berdiri di sampingku cuma melihatku dengan tatapan aneh. Aku buru-buru meredam tawaku.

“Sini kakimu!” kataku sambil membuka kran air itu. Awe langsung mendekatkan kaki kanannya kearah air yang mengalir.
“Kamu bersihin dulu kakimu, aku mau beli betadine dulu di dalem,” kataku, Awe mengangguk.

Aku segera masuk ke dalam mini market.

“Selamat malam kakak,” sapa penjaga kasir.
“Malam. Mas tolong betadine dan kapasnya satu,” kataku cepat.

Aku nggak perlu masuk ke dalam buat beli betadine dan kapas, karena tempat obat ada di etalase belakang penjaga kasir ini.

Cowok penjaga kasir itu langsung mengambil betadine dan kapas yang ada di belakangnya.

“Cuma ini kak?” tanya cowok itu.
“Iya.. Ah nggak. Sebentar mas,” kataku.

Aku langsung berjalan menuju rak bagian shampo dan mengambil shampo clear yang biasa di pakai Ipang. Setelah itu aku kembali ke kasir dan menyerahkan shampo itu. Setelah membayar barang yang aku beli, aku langsung keluar dan menghampiri Awe yang sudah terduduk di anak tangga dekat pintu masuk mini market.

“Kemarikan kakimu!” kataku sambil membuka tutup betadine yang ada di tanganku.

Aku berjongkok di depan Awe dan mulai menuangkan betadine itu di kedua lututnya. Kapas yang aku beli tadi aku gunakan untuk membersihkan betadine yang mengalir ke bawah lutut.

“Udah,” desisku sambil memasukkan betadine dan kapas tadi ke dalam kantong plastic.

Tiba-tiba Awe menyodorkan notes ke arahku.

-Makasih- tulisnya.
“Ya,” kataku, “kamu naik apa ke sini?” tanyaku.
-Jalan- tulisnya.
“Kamu bisa jalan nggak sekarang?” tanyaku lagi.

Awe terdiam sejenak setelah itu dia berdiri dari duduknya dan mulai berjalan. Aku memperhatikannya dari belakang. Terlihat Awe berjalan dengan kaki yang di seret-seret. Maklum sih kalau jalannya kayak gitu. Luka di lutut emang nyusahin. Awal jatuh pasti nggak terasa apa-apa, tapi setelah beberapa menit baru deh terasa sakit. Kalau di buat jalan malah tambah berasa sakitnya.

“Rumahmu jauh nggak?” tanyaku sambil berjalan mendekatinya.
-Nggak. Dari sini terus aja lalu belok kanan, itu sudah rumahku- tulisnya.

Aku mengamati jalanan yang menuju rumahnya. Emang nggak terlalu jauh sih, tapi kalau jalan kaki dengan di seret gitu rasanya kok……..

“Ayo naik! Aku anter kamu pulang,” kataku sambil setengah berjongkok.
“…”
“…”
“…”

Nggak ada reaksi.

“Buruan!!” kataku nggak sabaran.

Akhirnya Awe mendekat ke arahku dan memegang ke dua bahuku. Aku langsung berdiri begitu memegang ke dua pahanya. Aku menggendongnya di punggung. Awe langsung memegang bahuku dengan kuat.

“Tenang aja, aku nggak akan membiarkanmu jatuh,” kataku pelan sambil mulai melangkahkan kakiku meninggalkan mini market.

Kami berdua melewati jalanan yang sedikit gelap karena jalanan yang kami lewati bukan jalan besar. Jalannya cuma bisa di lewati satu mobil aja. Kalau ada dua mobil yang lewat dari arah berlawanan, mobil satunya terpaksa harus mundur.

“Kamu kok keluar malem-malem gini?” tanyaku.
“…”
“Ehm… kalau posisinya kayak gini jadi sulit buat nulis di notes ya?! Ya udah deh nggak usah di jawab aja,” kataku akhirnya.

Aku lupa kalau dia masih aku gendong dan dia pasti kesulitan kalau mau nulis dalam posisi sekarang. Tapi aku penasaran karena ngeliat Awe keluar malem-malem gini. Rasanya bukan dia banget. Kalau aku keluar malem masih pantes tapi kalau Awe rasanya agak aneh aja.

“Karena aku cuma bisa ngerasain kehadirannya di malam hari. Makanya aku keluarnya malam-malam.”

Aku langsung menghentikan langkahku dan menengok ke kiri untuk melihat wajahnya. Terlihat Awe juga melihat ke arahku dengan tersenyum. Aku kaget karena Awe menjawab pertanyaanku. Jarang-jarang dia mengeluarkan suaranya di depan orang lain kalau nggak penting.

“Kenapa?” tanya Awe masih dengan senyumnya.
“Nggak apa-apa,” jawabku sambil melangkahkan kakiku lagi, “oh ya, maksudmu tadi gimana? Kamu dapet ngerasain kehadiran setan gitu?” tanyaku bingung, Awe tertawa pelan.
“Bukan. Tapi seseorang. Seseorang yang berharga,” jawabnya pelan.

Awe mulai melingkarkan kedua tangannya ke leherku, lalu dia meletakkan dagunya di bahu kiriku. Aku cuma terdiam membisu. Rasanya aku sudah menyinggung sesuatu yang nggak perlu. Mendadak suasana menjadi sangat aneh. Diliputi keheningan yang menyesakkan. Udara yang tadinya sudah dingin sekarang terasa lebih dingin.

“Tadi jam delapan tadi ketiduran karena capek,” kataku asal.

Aku berusaha mengganti topic agar suasana menjadi lebih ringan.

“Eh? Apa?” tanya Awe bingung.
“Jam sebelas aku kebangun gara-gara mendengar suara ah uh ah uh dari arah depan. Waktu aku liat ternyata ada party yang nggak di rencanakan.”
“Ah uh ah uh?? Party??” tanya Awe makin bingung.

Dia sampai mengangkat dagunya dari bahuku dan berusaha melihat wajahku dari samping.

“Iya. Ah uh ah uh tadi ternyata asalnya dari film bokeb dan suara desahan temen-temenku yang lagi pesta mesum. Mereka langsung protes waktu aku mematikan film bokep yang sedang mereka putar,” kataku.
“Oh pesta mesum,” desisnya, “hah?? Pesta mesum????” ulangnya lagi dengan nada kaget, sedangkan aku cuma tertawa ngeliat wajah kagetnya itu.
“Di kosku sih hal kayak gitu udah biasa. Soalnya anak-anak yang ngekos di situ semuanya bejat-bejat. Kecuali aku,” kataku ngasal, kali ini gentian Awe yang tertawa.

Aku menghela nafas lega karena bisa mencairkan suasana aneh tadi.

“Ah itu depan situ rumahku,” Awe menunjuk rumah yang memiliki pintu pagar berwarna hijau.

Aku langsung mempercepat langkahku kearah rumah yang di tunjuk Awe. Setelah sampai di depan pintu pagar yang bercat hijau itu aku langsung menurunkan Awe.

-Makasih- tiba-tiba Awe menyodorkan notesnya ke arahku.

Aku yakin itu tulisan yang sama dengan tulisan yang dia sodorkan waktu aku selesai mengobati kakinya tadi.

“Ya,” sahutku, “ya udah sana masuk!” kataku ketika ngeliat Awe belum bergerak dari tempatnya berdiri.

Akhirnya Awe mulai berjalan dengan tertatih-tatih kearah pintu masuk rumahnya.

“Eh tunggu!” seruku, Awe langsung berbalik dan menatapku, “kenapa kamu selalu ngikutin aku waktu di sekolah?” tanyaku penasaran.

Awe nggak langsung menjawab pertanyaanku. Dia kelihatan sedang berfikir. Sesekali bibirnya di maju-majuin kayak mulut ikan. Lucu sekali wajahnya.

“Emm…Aku selalu ngerasa nyaman kalau deket sama kamu. Kamu mirip sama orang yang aku sukai sih,” jawab Awe sambil tersenyum lebar, aku manggut-manggut.

Tapi aku langsung terdiam ketika menyadari ada keganjilan dalam kata-katanya.

“Se..sebentar. Kamu tadi bilang kalau aku mirip orang yang kamu sukai. Jangan-jangan orang yang kamu sukai itu cowok??” tanyaku hati-hati, Awe langsung menganggukkan kepalanya dengan mantap.

“Oh,” desisku sambil menggaruk kepalaku yang nggak gatal.

Baru kali ini aku ngeliat orang yang terang-terangan mengaku kalau dirinya gay.

“Tapi kamu nggak suka kan sama aku?” tanyaku takut-takut, Awe tertawa pelan.
“Nggak kok. Kamu emang mirip sama dia tapi kamu kan bukan dia,” jawab Awe, aku langsung bernafas lega.
“Aku masuk dulu ya,” kata Awe, aku langsung menganggukkan kepalaku, “hati-hati ya pulangnya. Daaaa….” lanjutnya lagi sambil melambaikan tangan ke arahku sebelum menutup pintu rumahnya.

Aku tersenyum geli ngeliat tingkahnya itu.

Dasar hehe…





~Rico Pov~
“Kenapa kakimu?” tanyaku pada Awe waktu ngeliat dia berjalan sedikit aneh.

Awe mulai menulis di notesnya lalu menyodorkan ke arahku.

-Kakiku sakit karena baru jatuh kemarin-
“Jatuh? Kok bisa?” aku langsung berjongkok di depannya lalu menggulung celana panjangnya untuk melihat lututnya.

Awe sedikit meringis ketika celana panjangnya aku gulung ke atas. Terlihat kain kasa menutupi kedua lututnya.

“Kayaknya agak lebar ya lukanya?! Mending jangan di tutup rapat gini, nggak bisa kering nanti,” nasehatku, “aku buka ya kasanya,” lanjutku lagi sambil mulai membuka kain kasa yang ada di lututnya tanpa menunggu persetujuannya.
“Aaaaaa…” rintihnya saat aku mulai membuka kain kasa itu sedikit demi sedikit.

Kain kasa itu sudah lengket dengan lukanya jadi sedikit susah untuk membukanya. Tangan Awe langsung mencengkeram erat tanganku yang sedang berusaha membuka kain kasanya.

“Ini harus di lepas We. Kalau nggak di lepas nanti nggak bisa kering-kering lukanya,” kataku sambil menatap Awe.

Awe menggeleng dengan cepat. Setelah itu dia menulis di notesnya lagi lalu mengulurkannya ke arahku.

-Jangan di lepas. Sakit Ric-
“Ya harus di lepas We. Kalau di biarin terus malah tambah lengket nanti dan bakal tambah sakit kalau di lepas.”

Awe langsung cemberut. Matanya menatapku dengan tatapan memohon.

“We….”
“Kalian sedang apa sih?” tiba-tiba Alvin yang tadi menunggu kami di mobil sudah ada di ambang pintu masuk rumah Awe.
“Ini lo, kaki Awe terluka tapi malah di tutup kasa,” kataku pada Alvin yang kini berjalan mendekatiku dan Awe.

Alvin ikut berjongkong di sampingku dan langsung ngeliat lutut Awe.

“Ini harus di lepas kasanya,” gumam Alvin.
“Nah kan. Ini harus di buka We,” timpalku.
“Tapi caramu salah Ric. Kalau langsung di lepas gitu pasti tambah sakit.”
“Eh masa sih??”
“Iya,” desis Alvin, “kamu punya air panas tau air hangat nggak?” tanya Alvin pada Awe, Awe mengangguk.
-Ada air panas di dapur-
“Tante Lila udah berangkat kerja belum?” tanya Alvin lagi.
-Udah-

Alvin langsung berjalan kearah dapur begitu membaca tulisan Awe. Nggak sampai
semenit dia sudah kembali lagi ke ruang tamu dengan membawa baskom kecil.

“Apa itu?” tanyaku.
“Air hangat,” jawab Alvin.

Setelah itu Alvin langsung berjongkok di depan Awe. Dia mulai membasahi lutut Awe yang masih terbalut kasa dengan air hangat yang dia bawa tadi.

“Tahan ya,” kata Alvin pada Awe.
“Nggak mau. Jangan di lepas!”

Aku dan Alvin langsung melihat Awe yang baru saja bersuara. Mukanya tampak sedikit panic.

“Nggak apa-apa We. Nggak akan sesakit tadi kok. Percaya ya sama aku,” kata Alvin sambil tersenyum.

Alvin mulai membuka kain kasa itu secara perlahan-lahan. Kalau agak sulit di buka, Alvin akan membasahi lutut Awe dengan air hangat lagi. Akhirnya ke dua kain kasa itu terlepas dari lutut Awe. Awe langsung tersenyum lega.

“Jangan di balut lagi ya lututnya. Nanti sulit lagi waktu di lepas. Lalu celanamu di gulung aja biar nggak kena lukanya,” kata Alvin, Awe mengangguk.
“Ya udah kita berangkat sekarang. Udah mepet banget ini,” ujarku sambil melihat jam dinding yang sudah menunjukkan jam enam lebih dua puluh menit.

Akhirnya aku, Alvin dan Awe langsung berangkat ke sekolah. selama di perjalanan aku sesekali melihat kearah Awe yang duduk di sebelahku. Awe masih saja melihat lututnya yang sakit itu. Aku suka sekali melihat wajahnya. Lucu, imut dan gemesin.

Tanpa sadar mobil yang kami tumpangi sudah sampai di tempat parkiran mobil sekolah. dengan tergesa-gesa kami mulai berlari menuju kelas kami masing-masing.


##############################################################################

Akhirnya jam istirahat pertama pun berbunyi. Lega rasanya karena aku sudah melewati pelajaran yang membosankan.

“Harusnya aku masuk IPS aja,” keluhku tanpa sadar.
“Kenapa emangnya? IPA kan enak,” kata Alvin.
“Nggak enak. IPA itu nggak sesantai IPS.”
“Terus kenapa kamu masuk IPA dulu?”

Aku langsung menatap Alvin sebal.

“Siapa ya yang dulu ngerengek-ngerengek agar aku mau masuk IPA?” sindirku, Alvin tertawa pelan.

Aku masih ingat betul kejadian dua tahun yang lalu. Di mana Alvin merengek-rengek padaku agar aku bisa masuk IPA. Aku sampai mati-matian belajar pelajaran yang nggak aku sukai demi mengabulkan keinginan tuan muda satu ini. Menyebalkan memang, tapi aku paling nggak bisa nolak keinginannya.

Tiba-tiba aku ngeliat Awe datang memasuki kelasku. Dia langsung berjalan ke arahku. Tapi langkahnya nggak berhenti di tempatku dan Alvin. Awe hanya melemparkan senyumannya padaku dan Alvin sedangkan kakinya terus melangkah melewati kami. Aku langsung mengerutkan keningku ketika melihat Awe berjalan mendekati meja Pandu.

“Gimana kakimu? Udah sembuh?” tanya Pandu pada Awe.

Terlihat Awe menulis sesuatu di notesnya setelah itu dia menyodorkan notesnya kea rah Pandu. Pandu langsung berjongkok dan melihat luka Awe.

“Makanya nggak usah di bungkus kasa. Sakit kan jadinya,” kata Pandu.

Pandu langsung berdiri setelah selesai mengamati luka Awe. Lalu mengusap kepala Awe.

Tunggu..tunggu..ada yang salah ini. ada yang salah. Kenapa Pandu bertanya ‘Gimana kakimu? Udah sembuh?’ pada Awe?? Apa dia tau Awe terluka?? Tapi kenapa dia bisa sampai tau?? Aku aja sama Alvin baru tau tadi pagi. Ini aneh. Terlalu aneh. Lagian Pandu yang terkenal garang dan nakutin kok bisa perhatian gitu sama Awe.

“Ini aneh. Bener kan Vin?” desisku.

Aku langsung ngeliat Alvin. Tapi aku sedikit terhenyak ketika ngeliat Alvin sedang melihat tajam ke arah Awe dan Pandu. Ekspresi yang nggak pernah aku liat darinya selama ini.

“Vin,” panggilku.

Tiba-tiba Alvin beranjak dari duduknya meninggalkanku. Dia berjalan keluar kelas dengan terburu-buru. Aku yang bingung dengan sikapnnya langsung mengejarnya.

“Vin!” panggilku sambil setengah berlari tapi Alvin nggak menggubrisku, “Vin,” panggilku lagi, kali ini aku berhasil menyusulnya.
“VIN!!” kali ini aku memegang tangannya supaya Alvin berhenti berjalan.
“Kamu kenapa sih? Sakit?” tanyaku setelah Alvin berhenti. Dia nggak menjawab.
“Vin?”
“Aku nggak suka,” desisnya sambil melepaskan cengkraman tanganku dari tangannya.
“Apa?? Nggak suka apa??” tanyaku bingung.
“Aku nggak suka kalau Awe deket-deket Pandu,” kata Alvin lirih, “kamu udah janji kan sama aku bakal jagain Awe. Tapi kenapa dia malah makin deket sama Pandu?”
“Aku juga nggak tau Vin. Tapi rasanya Pandu nggak sejelek gosipnya. Dia…”
“PANDU ITU ANAK NGGAK BAIK. DIA CUMA NIPU AWE BUAT HAL NGGAK BAIK.”
“Siapa yang kamu maksud?”

Aku dan Alvin langsung menengok ke asal suara yang menyela.

DEG

PANDU….





~Alvin Pov~
PANDU??

Mataku melebar karena kaget ketika menyadari Pandu dan Awe sudah ada di sampingku dan Rico. Tubuhku langsung melemas ketika menyadari kesalahan yang baru aku buat. Keringat dingin mulai menjalari tubuhku. Terlihat Pandu sedang menatap tajam ke arahku. Aku juga melihat Awe yang sedang berlari tertatih ke arah kami.

“Pan..Pandu ini…ini nggak seperti yang kamu kira,” kata Rico gugup. Sedangkan aku masih terdiam membisu.
“Aku nggak tuli Ric,” kata Pandu datar dan dingin sedingin es.
“Pan..ka..kamu salah paham,” akhirnya aku bisa mengeluarkan suaraku biarpun terdengar seperti bisikan.
“Aku kira kamu ini berbeda dari yang lain, tapi ternyata sama saja. Sama-sama menyebalkan.”

NYUTT

Dadaku terasa sakit waktu Pandu bilang aku menyebalkan.

“Pan kamu salah paham. Aku… aku bisa jelasin semuanya,” desisku. Rasanya suaraku seperti tertahan di dalam tenggorokanku.

Pandu mendengus kesal.

“Pan..yang aku katakan tadi nggak bener. Aku….”
“Aku nggak butuh penjelasanmu,” Pandu memotong kata-kataku dengan cepat.

Setelah itu di berbalik badan dan mulai melangkahkan kakinya meninggalkanku.

“Pandu tunggu!”

PLAAKK…

Pandu langsung menepis tanganku dengan kasar ketika aku memegang tangannya untuk menghentikan langkahnya. Sejenak Pandu menatapku dengan pandangan yang sulit aku artikan. Setelah itu dia mulai mulai melangkahkan kakinya lagi. Aku hanya terdiam terpaku melihat punggung Pandu yang mulai menjauh.

“Bikin jantungan aja. Aku kira dia bakal menghajar kita habis-habisan.”

Aku tersentak kaget ketika mendengar suara Rico. Kesadaranku seperti di tarik kealam nyata lagi. Aku melihat Rico yang sedang menghela nafas berkali-kali. Sedangkan Awe cuma terdiam dengan wajah kebingungan. Aku juga melihat beberapa anak sedang melihat ke arahku sambil berbisik-bisik. Ada juga yang cuma melihat sekilas lalu pergi dengan cueknya. Aku bener-bener lupa kalau ini masih jam istirahat.

“Vin kamu nggak apa-apa?” tanya Rico, aku menggeleng pelan.
“Aku nggak apa-apa,” desisku sambil berusaha tersenyum sebisaku.
“Udah nggak usah di pikirin. Nggak penting juga,” kata Rico sambil menepuk bahuku pelan. Lagi-lagi aku cuma tersenyum.
“Tapi aneh ya. Bukannya tadi dia sedang ngobrol sama kamu. Kok tau-tau dia di sini?” tanya Rico ke Awe.

Awe langsung mengeluarkan notesnya, menulis di notes itu lalu menyodorkannya ke arahku dan Rico.

-Tadi setelah kalian keluar kelas, Pandu juga ikut keluar kelas-

Mendadak aku jadi ingat siapa yang membuat semuanya jadi runyam. Ini gara-gara Awe. Ya ini semua gara-gara Awe. Kejadian tadi nggak akan terjadi kalau aja dia nggak dekatin Pandu.

“Semua ini gara-gara kamu. Kalau aja kamu nggak deketin Pandu kejadian ini nggak akan terjadi,” kataku sinis pada Awe.

Awe langsung tersentak kaget mendengar kata-kataku barusan. Rico malah melebarkan matanya menatapku.

“Apa-apan sih kamu Vin?! Jangan nyalahin Awe gitu dong!” seru Rico nggak terima.
“Emang kenyataannya gitu. Gara-gara dia semuanya jadi runyam kayak gini. Aku…”
“VIN!!!!” bentak Rico yang langsung membuatku terdiam, “kamu ini kenapa sih? aneh banget. Yang jelek-jelekin Pandu itu kan kamu, terus ngapain kamu jadi nyalahin Awe?! Heran deh aku,” kata Rico jengkel.
“AARRRGGHHHH… TERSERAH!!!!” teriakku emosi.

Aku langsung beranjak meninggalkan mereka. Ternyata anak-anak yang melihat kearah kami semakin banyak, tapi aku sudah nggak perduli. Aku sudah terlalu muak. Muak dengan AWE.





~Awe Pov~
“Udah nggak usah dipikirin terus. Alvin tadi masih bingung dan syock karena ketahuan jelek-jelekin Pandu, makanya dia nggak sengaja ngomong kayak gitu ke kamu,” kata Rico, aku menetapnya dengan pandangan nggak yakin.

Rico tersenyum sambil mengusap kepalaku perlahan dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya tetap di kemudi mobil. Aku cuma tersenyum masam ke arahnya.

Nggak mungkin kalau Alvin tadi ngomong gitu ke aku cuma karena bingung dan syock. Tadi Alvin bener-bener marah sama aku. Baru kali ini aku melihat dia marah. Selama ini dia sama sekali nggak pernah marah.

Setelah dia kejadian tadi siang, aku jadi nggak berani main ke kelasnya saat istirahat ke dua. Aku takut kalau Alvin marah lagi sama aku. Sekarang aja Alvin juga nggak ikut pulang bareng Rico. Alvin seperti ngindarin aku. Kenapa dia bisa semarah itu ke aku? Aku kan cuma mau berteman dengan Pandu. Alvin T-T

TEEPP…

Tiba-tiba Rico menempelkan jarinya pada bibirku.

“Mulut kok di maju-majuin gitu hehe.. jelek tuh..tuh…” goda Rico sambil terus menempelkan jarinya di bibirku.

Mendadak mukaku terasa memanas. Selain itu jantungku tiba-tiba berdetak kencang sekali.

“Aaaaaaa…” desisku panic ketika menyadari ada yang salah denganku.
“Ke..kenapa?” tanya Rico kaget sambil menjauhkan jarinya. Sesekali matanya melihat ke depan karena dia masih menyetir.

Aku menggeleng cepat sebagai jawaban ‘nggak apa-apa’.

“Bener nggak apa-apa?” tanya Rico lagi, aku mengangguk.

Setelah itu aku langsung tertunduk malu.

“Sudah samapai,” kata Rico pelan.

Aku langsung mengeluarkan notesku dan menulis di lembaran yang kosong. Setelah itu aku menyodorkan notesku ke arah Rico.

-Makasih- tulisku.

Rico tersenyum membaca tulisanku lalu mengusap kepalaku. Lagi-lagi jantungku berdetak kencang. Aku buru-buru keluar dari mobil dan langsung masuk ke dalam rumah. Setelah sampai di dalam rumah aku langsung mengintip keluar lewat jendela kaca. Terlihat mobil Rico mulai melaju dengan perlahan meninggalkan rumahku. Setelah mobil Rico nggak terlihat lagi, aku mulai melangkahkan kakiku menuju sofa yang ada di sisi kiriku dan langsung duduk di sana. Aku langsung menghela nafas berkali-kali untuk menenangkan jantungku. Tapi debaran di dadaku nggak mau berhenti.

Aaaaaaa… Aku kenapa sih? Kok bisa deg-deg’an gini?

Aku mengambil bantal sofa lalu membenamkan mukaku di sana. Rasanya mukaku memanas lagi. Hhuuuffhhhh….

Dreett…Dreett…

Aku tersentak kaget ketika hp ku bergetar dalam kantong celanaku. Aku buru-buru merogah kantong celanaku dan mengambil hpku. Di layar hp terlihat ada sebuah amplop yang terbuka tutup tanda ada sms masuk.

From: {dianjurkan no. telpon lewat PM krn banyak laporan penyalahgunaan}
Pa kbar?

Aku menaikkan sebelah alisku membaca sms dari nomor baru itu. Tanpa pikir panjang aku langsung membalas smsnya.

To: {dianjurkan no. telpon lewat PM krn banyak laporan penyalahgunaan}
Baik. Sp ya?

SEND

Nggak lama kemudian hpku bergetar lagi. Waktu aku lihat ada sms dari nomor yang sama.

From: {dianjurkan no. telpon lewat PM krn banyak laporan penyalahgunaan}
Syukur deh klo kmu baik2 aja. Nanti kmu juga bakal tau siapa aku ^^

Aku tertegun membaca smsnya.

Siapa ya orang ini?? Bikin penasaran aja.





~Pandu Pov~
“PAN!!!” teriak Aan panic.

Aku langsung mendorong orang yang baru saja aku pukuli sampai jatuh.

“Gila kamu. Kamu mau bunuh orang?!” seru Aan sambil menarikku pergi dari tempat pembantaianku barusan.

Yup benar. Aku baru membantai orang yang pantas untuk di bantai. Bisa-bisanya dia memalak seoarang bocah tepat di depanku. Dasar brengsek.

“Dia emang pantas buat di hajar,” dengusku sambil menepis tangan Aan.
“Tapi kali ini kamu udah kelewatan. Bisa-bisanya kamu menghajar orang yang udah hampir sekarat. Gimana kalau dia sampai mati?”
“Dia emang pantes mati.”
“Pandu!!” seru Aan.

Aku mendengus kesal.

“Kamu kenapa sih?” tanya Aan. Kali ini suaranya melunak.
“Nggak apa-apa,” jawabku datar sambil berjalan mendahului Aan menuju tempat anak-anak berkerumun.

Aku langsung terduduk di sisi jalan di samping Ricky yang sedang asyik dengan rokoknya. Sedangkan Aan berjalan ke sisi lainnya dan bergerombol dengan anak yang lain.

“Hebat banget cara menghajarmu,” sindir Ricky, aku cuma diam, “mau?” Ricky menyodorkan kotak rokoknya padaku, aku menggeleng.


Beggin, beggin you
Put your loving hand out, baby
Beggin, beggin you
Put your loving hand out darling


Tiba-tiba hpku berbunyi menandakan ada telfon yang masuk. Lagu berjudul beggin itu terus mengalun dari hp ku sampai akhirnya berhenti sendiri. Aku nggak ada niat untuk mengangkat telfon itu karena aku tau siapa yang menelfonku. Alvin. Ya Alvin. Sejak kejadian tadi siang, Alvin berulang-ulang kali meng-sms dan menelfonku. Intinya dia meminta maaf tentang kejadian tadi siang. Dia juga mengatakan kalau semua yang aku dengar tadi nggak bener dan dia bisa ngejelasin semuanya. Tapi aku sudah nggak perduli. Smsnya sama sekali nggak aku balas dan telfon nya juga nggak aku terima. Aku sudah terlalu males dengan Alvin. Dia orang yang suka berpura-pura. Di depanku dia baik banget dan sok perhatian tapi di belakangku dia jelek-jelekin aku. Aku bener-bener kecewa banget sama dia.

“Brengsek,” umpatku sambil memukul tiang listrik yang ada di sisi kananku dengan tangan kananku.


~Alvin Pov~
Aku memandangi bangku kosong tempat Pandu biasa duduk. Hari ini Pandu nggak masuk sekolah, padahal aku mau minta maaf ke dia hari ini. Kayaknya Pandu bener-bener marah ke aku. Kemarin sudah aku sms berkali-kali tapi nggak di balas, telfonku juga nggak di angkat.

Aku menghela nafas berat. Kini pandanganku beralih ke Rico yang duduk di sebelahku. Tadi pagi Rico nggak jemput aku seperti biasanya. Nggak cuma itu saja, selama di sekolah Rico cuma diem. Lebih tepatnya aku di diemin sama dia. Rico juga marah sama aku. Ya pantas sih kalau aku kena marah sana sini. Aku sudah seenaknya marah-marah ke Rico dan Awe, padahal mereka nggak salah. Seharusnya aku minta maaf ke mereka berdua tapi aku terlalu sibuk mikirin Pandu, aku jadi melupakan mereka.

Bel tanda pelajaran telah berakhir akhirnya berbunyi. Pak Samsul yang mengajar pelajaran bahasa inggris di kelasku langsung keluar kelas.

“Ric,” panggilku ke Rico ketika melihat Rico sudah berdiri dari bangkunya dan bersiap-siap untuk pulang.

Rico menoleh ke arahku tanpa mengatakan apapun.

“So..sorry. Sorry buat yang kemarin,” kataku lirih.
“Harusnya kamu minta maaf ke Awe bukan ke aku,” sahut Rico dingin.

Setelah itu dia berjalan keluar kelas meninggalkanku sendiri. Aku langsung menghela nafas setelah kepergiannya.

Dia bener-bener marah.

“Hai Vin. Nggak pulang?” sapa Ayu yang tau-tau sudah ada di samping kiri mejaku.
“Bentar lagi,” jawabku sambil tersenyum sebisaku ke arahnya.
“Kok nggak bareng sama Rico?” tanya Ayu yang masih berdiri di sisi mejaku. Aku menggeleng pelan.
“Nggak,” jawabku lirih.
“Kalau aku liat-liat kamu lagi ada masalah ya sama Rico dan eeenggg…sama Pandu?” tanya Ayu.

Beberapa teman yang mendengar kata-kata Ayu langsung mendekat ke mejaku.

“Eh jadi bener kamu sama Rico bertengkar?” tanya Hendro.
“Nggak, Alvin nggak bertengkar sama Rico tapi dia lagi ada masalah sama Pandu,” sahut Dewi.
“Tau dari mana?” tanya Ayu pada Dewi.
“Kemarin banyak anak yang liat kalau Pandu ngancem Alvin,” timapal Yenny.
“Itu…”
“Iya bener, aku juga denger kalau Pandu bentak-bentak Awe,” Dina ikut-ikutan nimbrung dan langsung memotong kalimatku.

Aku membulatkan mataku kaget mendengar perkataan Dina.

Pandu bentak Awe? Yang ada aku yang bentak Awe. Aduh mereka salah paham.

“Bener-bener deh si Pandu itu. Apes banget sih kita sampai harus sekelas sama dia selama dua tahun,” desis Dina yang sekarang sudah duduk di bangku Rico.
“Kalian salah paham. Pandu nggak seperti yang kalian kira,” kataku berusaha menjelaskan.
“Udah deh Vin. Nggak usah terlalu baik gitu. Ngapain juga belain Pandu?!” dengus Dewi.
“Bukan gi…”
“Iya nih. Dia itu harusnya dikeluarin aja dari sekolah. Berandalan seperti di…”
“KALIAN INI SALAH PAHAM!!!” teriakku memotong ocehan Hendro dengan sangat jengkel.

Temen-temen yang lain langsung melihatku dengan pandangan tak percaya. Mungkin mereka kaget melihatku marah seperti ini.

“CK… AAAHHH….” dengusku kesal sambil berjalan meninggalkan kelas.

Selama ini aku bisa menahan emosiku, tapi kali ini aku bener-bener marah. Aku nggak rela Pandu di jelek-jelekin sama mereka. Mereka nggak tau apa-apa tentang Pandu tapi berani menjelek-jelekkannya seperti itu.

Aku terus berjalan tanpa arah. Setelah berjalan melewati kelas demi kelas akhirnya aku berhenti di depan tempat yang akhir-akhir ini sering aku kunjungi. Kebun. Ya kebun. Tanpa sadar aku malah berjalan kearah kebun sekolah. Terlihat beberapa cewek sedang mengurus bunga di dalam green house. Aku melanjutkan langkahku melewati green house menuju kolam ikan.

“Awe?!” desisku kaget ketika melihat Awe mondar-mandir di dekat kolam.

Tanpa banyak pikir akupun berjalan mendekat ke arahnya.

“Cari Pandu?” tanyaku yang sukses membuat dia tersentak kaget.

Awe masih terdiam sambil melihat horror ke arahku. Sedetik kemudian dia mengeluarkan notes dan bolpoin dari sakunya lalu menulis di notes itu dengan cepat.

-Ya- itulah tulisan yang aku baca.

“Hari ini Pandu nggak masuk, jadi dia nggak akan ke sini,” kataku pelan sambil berjalan ke pohon mangga yang ada di samping Awe.

Setelah itu kami cuma terdiam. Awe masih berdiri di sampingku sambil menundukkan kepalanya, sedangkan aku berdiri bersandar pada pohon mangga.

“Ma…maaf Vin. Maafin aku kalau aku ada salah sama kamu,” kata Awe tiba-tiba.

Aku langsung melihat ke arahnya kaget. Awe masih menundukkan kepalanya.

“Kamu nggak salah, tapi aku yang salah. Harusnya aku yang minta maaf ke kamu,” kataku pelan, “sorry ya We,” lanjutku lagi.

Awe langsung mengangkat wajahnya melihatku. Aku langsung tersenyum ke arahnya.

“Sorry ya buat yang kemarin. Aku sudah bentak-bentak kamu. Aku bener-bener nyesel. Kamu mau kan maafin aku?” tanyaku.

Awe masih melihatku dengan tatapan kagetnya, tapi sedetik kemudian dia tersenyum lebar ke arahku di sertai dengan anggukan kepalanya. Awe langsung berlari ke arahku dan memelukku. Kedua tangannya melingkar di leherku lalu wajahnya dibenamkan di bahu kiriku. Aku cuma bisa tersenyum melihat tingkahnya ini.

Aku menghela nafas berat dalam pelukannya yang makin mengencang itu.

Bisa-bisanya kemarin aku membentaknya.

“A..aku takut di benci. Aku takut kamu membenciku,” desisnya sambil terus memelukku.
“Aku nggak membencimu. Mana mungkin aku bisa membencimu,” kataku sambil mengusap kepalanya yang masih menempel di bahuku.

Perlahan-lahan Awe melepas pelukannya. Dia melihatku lalu tersenyum lebar lagi.

“Aku janji nggak akan bentak-bentak dan marah-marahin lagi ke kamu,” kataku sambil membentuk huruf ‘V’ dengan jari telunjuk dan jari tengahku. Kali ini Awe tertawa pelan melihat tingkahku.

Setelah tawanya berhenti Awe langsung duduk di bawah pahon. Akupun ikut duduk di sampingnya. Aku melempar pandanganku ke kolam ikan yang ada di depanku. Nggak tau kenapa aku sangat merindukannya. Aneh. Aku merindukan kolam ikan.

“Aku kangen Pandu.”
“Pandu?” tanya Awe yang langsung menyadarkanku.

Aku langsung menutup mulutku rapat-rapat.

Kok jadi Pandu?? Aku kan kangen sama kolam ikannya. Kok jadi kangen sama Pandu??

Tiba-tiba Awe mendekatkan wajahnya ke arahku.

“Kamu kangen Pandu?” tanyanya lagi.
“I..itu…”
“Kamu kangen Pandu??” tanyanya lagi dengan nada nggak sabaran, “apa kamu deg-deg’an kalau memikirkannya??”

Aku yang di tanya langsung seperti itu cuma terdiam. Pertama aku bingung lihat tingkah Awe dan yang ke dua aku bingung mau jawab gimana.

Awe terus menatapku meminta jawaban.

“I..iya,” jawabku akhirnya, seketika itu juga Awe tersenyum lebar, “ke…kenapa?” tanyaku bingung.

Awe langsung menulis di notesnya.

-Kamu suka Pandu-
“Su..suka?” tanyaku makin bingung setelah membaca tulisannya, “ya aku memang suka Pandu sama seperti aku suka sama kamu dan Rico,” lanjutku lagi tapi Awe langsung menggeleng cepat.
-Bukan itu Vin. Sukamu ke Pandu itu berbeda- tulisnya lagi.

Aku mengerutkan keningku.

-Kamu cinta Pandu-

Mataku langsung melebar selebar-lebarnya membaca tulisan yang baru saja di tulis Awe.

“Apa maksudmu? Cinta? Aku? Pandu?” tanyaku yang sekarang super bingung, Awe langsung mengangguk dan tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar.

Tapi sedetik kemudian senyumnya lenyap. Dia terdiam seperti memikirkan sesuatu, setelah itu dia langsung memegang dadanya sendiri dengan wajah panic.

“Ke…kenapa?” tanyaku yang masih kebingungan.

Awe langsung melihat ke arahku dengan wajah panicnya.

-Nggak apa-apa- tulisnya.
“Bener nggak ada apa-apa?” tanyaku meyakinkan. Awe mengangguk.

Aku masih menatapnya curiga. Biarpun dia bilang nggak apa-apa, tapi wajahnya masih memancarkan kepanikan.

~Rico Pov~
Lagi-lagi aku melihat jam yang ada di hp ku. Sudah hampir setengah jam aku menunggu Awe di tempat parkir, tapi batang hidungnya sama sekali nggak kelihatan. Aku sudah sms ke hp nya tapi hp nya nggak aktif. Sebelum ke tempat parkir aku sudah mencarinya di kelasnya tapi dianya sudah nggak ada jadi aku kira kalau dia sudah ke tempat parkir lebih dulu. Ternyata….

Ck..kemana sih si Awe ini?

Akhirnya dengan malas aku pun berjalan masuk ke lingkup sekolah, berjalan menyusuri lorong-lorong kelas mencari Awe.

“Hai.. lihat Awe nggak?” tanyaku pada salah satu teman sekelas Awe yang berpapasan denganku.
“Udah pulang kayaknya,” jawabnya sambil terus berjalan.

Pulang? Masa sih?? Ck…

Tanpa banyak pikir lagi aku mulai berjalan menuju ruang-ruang yang belum aku lihat. Lab computer, Lab Biologi, Perpus sampai WC, tapi nihil. Awe tetep nggak ada.

Ah iya kebun. Kebun belakang sekolah belum aku cek. Ya biarpun kemungkinannya kecil sih dia ada di situ.

Akupun melangkahkan kakiku menuju kebun belakang sekolah. Dan ternyata apa yang aku lihat di sana cukup membuatku kaget. Awe dan Alvin duduk berdua di bawah pohon. Mereka terlihat akrab. Sepertinya mereka berdua sudah baikan.

“Hai…” panggilku ketika aku sudah ada di belakang mereka.
“WAAAAAAAAA……” teriak Awe tiba-tiba yang sukses membuatku dan Alvin tersentak kaget.

Awe melihatku dengan ekspresi kaget yang luar biasa. Dia terus melihatku seperti itu dengan tangan yang menempel di dadanya.

“Kenapa sih?” tanyaku bingung melihat tingkah Awe, tapi Awe cuma melihatku dengan tatapan horrornya.
“Kamu sakit? Dadamu nggak kenapa-kenapa kan?” tanya Alvin ke Awe, Awe langsung menggeleng cepat.
“Kalau sakit bilang!” kataku sambil mendekat kearah Awe.
“Jangan mendekat! Kalau mendekat jantungku bisa meledak,” kata awe panic.
“Hah???”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar