Senin, 21 Maret 2016

Adikku Alvin Christian - Part 9

Revan menemui Alvin di kamarnya, dia pikir mungkin Alvin tau penyebab sikap anehku. Alvin hanya sendirian di kamarnya, cuma mengenakan celana panjang training dengan handuk digosokan di kepalanya. Melihat kehadiran Revan Alvin jadi sedikit cemberut. Dan Revan pura-pura tidak menyadarinya, dia bersikap seperti biasa saja. Revan mengacak-acak rambut Alvin yang masih basah.

“untung aja belum nyisir,” gumam Alvin sambil menatap sinis Revan.
Disinisi seperti itu Revan malah mencubit kedua pipi Alvin sampai merah. Alvin langsung menepis tangan Revan dan mengusap-usap pipinya yang terlihat bersemu merah.
“kak Adit mana?” tanya Revan sambil melihat sekeliling seolah aku sedang bersembunyi di kamar ini.
“gak tau! Abang kan pacarnya..” sahut Alvin ketus, ia berbalik ke lemari dan mengambil sebuah kaos lengan buntung.

Revan merangkul Alvin dan berbisik dekat sekali di telinga Alvin hingga bibirnya menyentuh telinga ALvin. “kenapa? Kamu cemburu ya..”
Anak itu langsung mendorong Revan menjauh, mukanya makin memerah dan dahinya ditekuk. Revan tertawa melihat ekspresi dan warna muka Alvin itu. Memang anak yang satu ini paling hobi mengerjai orang. Alvin memalingkan muka dari Revan menutupi wajahnya yang semakin memerah.
“bercanda kok de, aku dan Adit sama sekali gak pacaran..” ujar Revan akhirnya mengaku.
Alvin yang tadinya memalingkan muka kembali menatap lurus-lurus ke arah Revan.

“aku gak percaya! Jelas-jelas abang nyium kak Adit, mesra banget lagi..”
“mesra aja, gak pake banget..” koreksi Revan sambil memandangi kuku jarinya. “cowok nyium teman cowoknya yang dekat banget itu udah bukan hal mencengangkan di Korea..”
“disini Indonesia bukan Korea, kebanyakan nonton drama Korea nih..”
“gak apa-apa, toh Aditnya juga gak nolak kan? He is free now, everyone can have him..”
Alvin mengerutkan dahi mendengar kalimat terakhir Revan itu. Sekelebat ia tersenyum senang tapi langsung tertutupi dengan ekspresi wajahnya yang dingin.

Ponsel Revan yang Galaxy SII berdering dengan nyaring, buru-buru diangkat olehnya. Revan berbicara agak formal dan sopan, ia melirik sebentar ke arah Alvin.
“iya orangnya ada kok, okay! Saya oper ke dia ya bu..” ujar Revan kemudian menghampiri Alvin dan menyodorkan ponselnya. “ini dari Ibumu, vin. Dia mau ngomong sama ade..”
Alvin tertegun sesaat hingga kemudian ia menyambar telpon itu.
“ha..halo..” Alvin membuka pembicaraan.
“Alvin? Alvin anak Ibu.. ya Allah! Apa kabar nak? Sehat kamu disana? Ibu kangen sekali sama Alvin..” Ibu mulai membrondong kata-kata, terdengar suara Ibu agak bergetar.
“sehat bu, alhamdulillah.. Ibu disana gimana?” kulihat wajah dingin Alvin melunak, matanya berkaca-kaca mendengar suara Ibu. Seseorang yang begitu tulus menyayangi, merawat dan menyekolahkan Alvin.

Mereka tampak bercakap-cakap saling melepas rindu. Hubungan Ibu-anak yang indah, Revan terlihat agak iri melihatnya tapi dia cuma bisa memperhatikan. Ponselnya yang satu lagi berdering, ada satu SMS masuk.

From: Adit
Thx n sory
Thx 4 d’help, absolutely thx
Sory if it bothers u,
^_^

Revan mengerutkan dahi. Dia menggelengkan kepala sambil tersenyum dan kemudian membalas pesanku.

Sent!
It doesn’t even matter bro
u and I are brothers

Aku pun tersenyum membaca balasan Revan. Betapa beruntungnya aku memiliki teman sebaik dia, aku menyenderkan tubuhku lagi di dinding. Aku masih di masjid untuk menenangkan diri, aku tidak sendiri ada sekelompok anak yang sedang belajar ngaji dengan seorang mentornya yang berkopiah. Masih ada ya anak-anak yang punya niat untuk mengaji di zaman sekarang? Hebat! Aku kagum. Zaman sekarang orang yang pergi mengaji niatnya sedikit melenceng, bukan benar-benar niat untuk mencari ilmu. Bukan bermaksud menyindir tapi sering aku lihat mereka yang konvoi di jalanan, diatas mobil sambil mengibarkan bendera mereka ; betul-betul tidak pantas. Ayolah! Yang wajar-wajar saja, tidak perlu berlebihan. Kadang aksi mereka-mereka itu suka membuat macetlah, rusuhlah, melanggar aturanlah. Sungguh terlalu (-_____-‘)

Kepalaku mungkin masih sedikit pusing akibat efek kehujanan tadi, ditambah lagi pertemuanku dengan Agung tadi. Aku semakin sulit untuk menerima kenyataan. Pikiranku jadi melayang tak tentu arah begini. Aku bangkit menuju serambi depan, udara segar pasca hujan mungkin akan membuatku sedikit lebih relaks. Dan angin pun berhembus seakan bisa mendengar isi pikiranku. MasyaAllah betapa nikmat salah satu ciptaanNya ini. begitu lembut dengan suaranya yang seperti bisikan.

Kupandangi langit Bandung yang masih didominasi awan abu-abu. Kulihat kilat sesekali muncul menampakan dirinya yang bersinar. Betapa agungnya Allah dan kecilnya aku, aku sungguh tiada apa-apanya dibanding ciptaan Allah yang lain. Aku ingat dulu betapa bangganya diriku sebagai mahasiswa yang sudah bekerja dan kuliah tetap lancar, sudah berumah tangga pula. Aku sudah bisa mandiri menafkahi diriku dan keluargaku, dengan hasil kerja kerasku sendiri. Tapi aku lupa bahwa semua yang telah ku genggam dan ku nikmati tidak lepas dari aspek kehendakNya. Terlebih setelah bertemu Revan dan oom Fian, mereka orang-orang yang luar biasa. Aku masih belum ada apa-apanya.

“hei, kok bengong aja?” sebuah suara menyapaku.
Aku menoleh ke arah suara itu, disana tampak Rena sedang berdiri sambil memegang payungnya.
“eh kak Rena..” sapaku sambil tersenyum.
Rena membalas senyum juga, ia pun menghampiri serambi dan seraya melepas sepatunya. Kulihat kaki dan celananya yang bagian pergelangan agak kotor.
“sebentar ya, mau cuci ini dulu..” ujarnya sambil menuju tempat wudhu wanita. Beberapa menit kemudian Rena kembali dengan kondisi yang lebih bersih.

“apa gak nanti aja kak dibersihinnya? Ntar juga kotor-kotor lagi kena becek?” tanyaku iseng.
“memang sih sayang, tapi gak ada salahnya kita mencoba tampil lebih oke daripada dibiarkan saja kelihatan dekil..” sahut Rena sambil mengamati genangan air di depan serambi.
“ya gak salah juga sih. Sejak kapan tampil lebih oke itu jadi salah?” sahutku sambil mengelus-elus dagu seperti orang bijak.
“semua tergantung niat dit..” ujar Rena masih tidak melepas tatapannya dari genangan air itu.“kalau tampil oke nya buat narik perhatian oom-oom hidung belang? Apa masih layak disebut ‘gak salah’?”
Beda level sepertinya aku dengan Rena, omongan Rena berat dan dalam yang menunjukan tingkat intelegency-nya yang berkelas. Kalau aku? Jangan dibahas ah! Malu.

“ngomong-ngomong kakak baru datang?” tanyaku melanjutkan pembicaraan dengan topik baru.
“iya, tadi sama oom, kita nunggu hujan agak reda baru berangkat..” jawab Rena sambil menoleh ke arahku. “eh, baju kamu kok agak kotor gitu?”
“ooh, ini tadi jatuh..” aku sedang tidak pandai membuat alasan, jujur-jujur saja.
“jangan bilang gara-gara dijorokin Revan?”
“ah enggak kok, emang akunya yang gak hati-hati..”
“kupikir gara-gara diisengin Revan, waktu kecil dia itu bandelnya minta ampun, seneng banget bikin temennya nangis..” Rena bernostalgia mengingat sebuah kenangan masa kecil. “tapi aslinya sama aku atau sama Rendi manja sekali. Kadang kalau udah liat dia nangis bawaannya gak tega. Aku sendiri gak pernah bisa marah jadinya sama Revan..”
Rena punya ingatan cukup bagus soal adiknya, tapi kenapa dia begitu benci kepada Revan ya?

“dan sekarang anak itu udah tumbuh jadi seorang yang mandiri dan tangguh,” gumam Rena dengan tatapan sendu. “dia sudah bisa berdiri sendiri dan siap memasuki tahap kehidupan yang penuh dengan tanggung jawab, dia sudah tidak butuh kakak-kakaknya lagi..”
Aku mencoba memberanikan diri bertanya, “hmm.. kak, aku boleh tanya sesuatu? Agak pribadi sih kayaknya..”
“tanya apa? Sejauh aku masih bisa jawab..” jawab Rena diplomatis.
“kenapa kakak.. agak kurang ramah sama Revan? Tapi kakak sendiri justru peduli sama dia?”

Rena terpaku menatapku, aku mendadak tidak enak hati. Sepertinya memang tidak sopan menanyakan hal seperti ini.
“it’s nothing but my egoism..” jawab Rena tertunduk sedih.
“eh maaf kak kalau pertanyaanku malah menyinggung..” aku buru-buru minta maaf.
“gak apa-apa,” sahut Rena sambil tersenyum.

Dari jauh terdengar seseorang memanggil Rena, aku pun ikutan menoleh karena penasaran. Sekitar lima belas meter dari masjid Rendi melambaikan tangannya. Dia memberi isyarat agar Rena menghampirinya.
“si big boss udah manggil-manggil aku, nanti kita lanjut lagi ya..” ujar Rena sambil melempar senyum kepadaku, dia segera memakai sepatunya dan menyambar payungnya mendatangi Rendi yang tengah berkacak pinggang menunggunya.
Mereka sempat membicarakan sesuatu, pasti tidak jauh-jauh seputar tim basket. Ekspresi wajah Rendi tampak semangat sekali. Dia menoleh ke arahku dan melambaikan tangan, menyuruhku agar menghampiri mereka juga. Kupikir dia tidak enak karena mengganggu kami yang tadi sedang mengobrol. Ku jawab dengan gelengan kepala, aku menunjuk-nunjuk masjid ; yang berarti aku masih betah disini. Rendi menganggukan kepala sambil mengancungkan jempolnya, kemudian ia dan Rena beranjak meninggalkan tempat mereka berdiri. Mereka sempat melempar senyum kepadaku dan kubalas senyum juga.

Aku melihat siluet mereka berdua sesaat sebelum menghilang di belokan gedung sekolah. Dari sebelah kiriku terdengar suara sekelompok anak, mereka yang tadi belajar mengaji. Sepertinya sudah selesai kegiatan mereka dan saatnya kembali ke asrama. Perlahan mereka akhirnya meninggalkanku sendiri di masjid ini. Tidak! Aku tidak sendirian, aku tidak pernah sendirian. Allah ada di rumahNya menemaniku. Sekarang sudah tak ada siapa-siapa lagi disini selain aku, aku kemudian bangkit dan kembali ke dalam masjid. Hatiku tiba-tiba tergerak untuk menuju shaft paling depan.

Aku menundukan kepala seraya menghela nafas panjang, ada semacam udara sejuk yang berhembus di hatiku. Hatiku yang gundah gulana mendadak menjadi jauh lebih tenang. Aku merasa Tuhan sedang mendekapku dengan lembut, ini saatnya kucurahkan isi hatiku.
“ya Allah jika Alvin bersamaku adalah yang terbaik baginya kumohon izinkanlah aku dengan kuasaMu untuk menjaganya jika bukan jauhkanlah ya Allah, aku menginginkan yang terbaik untuknya dan aku ikhlas jika harus berpisah lagi dengannya. mengenalnya dan pernah menjadi kakaknya merupakan kenangan terindah yang pernah kumiliki dalam hidupku..”

Semua kenangan-kenangan itu memancar keluar dari lemari ingatanku, seperti sedang melihat video kilas balik kehidupanku yang dulu. Saat kami ke toko buku, bermain lapangan banteng, mengunjungi museum di kota tua, waktu aku menjemputnya pulang sekolah. Semua kenangan manis dan pahit itu, sesuatu yang begitu kurindui dan kusesali, kenapa dulu aku begitu menyia-nyiakan. Benar kata pepatah, penyesalan selalu datang belakangan. Seperti aku ini.
“ya Allah, mohon ijin ya di rumahmu nyetel lagu yang bukan lagu sholawatan atau murotal..” gumamku kepada Allah, semoga Dia mengijinkan.
Kubuka pemutar musik di ponselku, mencari lagu yang cocok. Setelah berputar-putar di playlist akhirnya aku dapat satu yang bagus: #Now Playing: Evanescence – My Immortal

I’m so tired of being here
Suppressed by all my, childish fears
And if you have to leave
I wish that you would just leave
‘Cause your presence still lingers here
And it won’t leave me alone

These wounds won’t seem to heal
This pain is just too real
There’s just too much that time cannot erase

When you cried I’d wipe away all of your tears
When you’d scream I’d fight away all of your fears
And I held your hand through all of these years
But you still have…
All of me

You used to captivate me, by your resonating light
Now I’m bound by the life you left behind
Your face it haunts
My once pleasant dreams
Your voice it chased away
All the sanity in me

These wounds won’t seem to heal
This pain is just too real
There’s just too much that time cannot erase

When you cried I’d wipe away all of your tears
When you’d scream I’d fight away all of your fears
And I held your hand through all of these years
But you still have…
All of me

I’ve tried so hard to tell myself that you’re gone
But though you’re still with me
I’ve been alone all along

When you cried I’d wipe away all of your tears
When you’d scream I’d fight away all of your fears
And I held your hand through all of these years
But you still have…
All of me

Kuputar terus lagu ini, lagu ini maknanya dalam sekali. Memang tidak salah kalau aku nge-fans dengan Evanescence. Terlebih suara Amy Lee yang luar biasa dan punya ciri khas yang tiada duanya di dunia ini.

***

“vin dicariin pelatih” kata agung sambil membuka pintu kamar kamar. Revan tampak berdiri di ambang pintu ketika Agung yang lebih dahulu memutar kenopnya.
“si akang ngagetin aja!” ujar Agung tanpa menampakan ekspresi kagetnya.
“justru kamu yang ngagetin, masuk bukannya bilang permisi dulu malah main nyelonong aja..”
Agung cuma tersenyum, ia melirik ke arah Alvin yang langsung melompat dari tempat tidur dan meninggalkan buku yang sedang dibacanya.
“berarti kak Rena udah datang..” gumam Revan.
“kak Rena?” ulang Alvin sedikit bingung.
“dia itu..”
“tadi juga mas Adit nyariin akang,” potong Agung sebelum Revan menyelesaikan kalimatnya.
“oh iya! dari tadi Adit belum setor muka. Kamu ketemu dia dimana?” tanya Revan.
“aku lihat tadi dia ke mushollah, dan aku yakin mas Adit masih disana..” jawab Agung sambil tersenyum.

Sesaat Alvin menatap tidak senang kearah Agung, dan tatapan itu tidak luput dari perhatian Agung. Agung hanya tersenyum sejuta arti kepada Alvin. Revan pun langsung pamit untuk menemuiku dan meninggalkan kedua anak itu, dia pergi dengan riang seperti biasa. Alvin menunggu beberapa menit untuk memastikan Revan sudah cukup jauh dari kamar.
“tadi kamu ngomong apa aja sama kakakku?” tanya Alvin dengan dingin.
“cuma obrolan biasa, babe..” ujar Agung sambil memegang bibir Alvin.
Alvin langsung menepis tangan Agung dan menabrakan bahunya ke bahu Agung, meninggalkan anak itu di kamar.

***

“dit..” panggil Revan ketika ia mendapati sosokku di masjid.
Aku langsung menoleh ke arah sumber suara. Revan perlahan menghampiriku dan matanya agak terbelalak.
“kok baju lu basah gitu dit?”
“menurut lu kenapa baju gue bisa basah begini?”
“kehujanan ya?”
“tuh pinter, pake nanya lagi..”
Revan memukul bahuku pelan. “ntar sakit lu dit, lekas ganti baju gih..”
“gue ke rumah lu dulu gitu?”
“ya begitu lah..” ujar Revan sambil melihat ke arah jam tangannya. “latihan tim basket masih dua setengah jam lagi, waktu kita masih banyak kok..”
“okay..” jawabku sambil bangkit dari posisi dudukku.

“lu di masjid bukannya nyetel murotal malah lagu barat?” komentar Revan.
“gue udah minta ijin sama Tuan rumah tadi,” jawabku enteng
“tau darimana dah dikasih ijin?”
Aku cuma bisa nyengir tanpa menjawabnya. Kami pun langsung lekas chaw! Ngobrol-ngobrol tentang asal-muasal bajuku basah, hilangnya aku secara mendadak di kantin dan sebagainya. Dan memang dasar Revan selalu saja ia tanggapi dengan banyolan konyolnya. Dan melewati lapangan menuju parkiran kami berpapasan dengan Agung.

“siang kak..” sapa Agung dengan ramah.
“siang gung..” jawab Revan.
Aku hanya diam menatap tajam ke arahnya. Agung hanya tersenyum. Sebuah senyuman yang sangat kubenci.

Sebuah pertanyaan sebuah jawaban

“kayaknya lu ama Alvin udah akur ya?” ujar Revan setiba kami di rumah.
“sepertinya begitu,” ujarku dengan santai.
“tadi gue pas makan kenapa lu malah ngilang? Porsi mie ayam lu yang cadangan itu jadi gue yang makan deh..”
“gak apa-apa, berbuat baik itu kan mendatangkan pahala..”
“berbuat baik atau menyia-nyiakan rejeki?”
“wallahualam! Biar Tuhan saja yang menilai,” jawabku diplomatis.

Kepalaku dipenuhi dengan pikiran ingin membunuh seseorang. Yeah! siapa lagi kalau bukan Agung. Dia terus-terusan berada di dekat adikku seolah-olah Agung adalah sahabat Alvin. Dan lagi Revan menyambut baik anak itu, aku jadi jengah sendiri melihatnya. Tapi bisa apa aku? Meskipun Ayah sudah punya nama dan kekuasaan tapi tetap saja kalau lawannya mafia itu susah. Aku menjambak rambutku sendiri saking putus asanya.

“lu kenapa sih dit? Dari tadi aneh banget? Gini kali ya efek terlalu senang?” ujar Revan menggeleng-gelengkan kepala melihatku.
Aku cemberut dibilang begitu, dan melihat mukaku ditekuk begini Revan langsung cengar-cengir riang. Entah kenapa dia senang sekali melihat orang cemberut. Anak yang aneh. Mungkin dengan melihat orang cemberut dia mendapatkan energi seperti tumbuhan hijau berfotosintesis. Ada kali ya makhluk seperti itu, hiiii.
“van, seumur-umur gue belond pernah liat cewek lu? Boleh donk kasih liat fotonya, wanita mana yang berhasil menaklukan Revan Andhika Syah?” ujarku iseng.
“yakin lu mau liat?” tanya Revan dengan nada jahilnya.
“yakin donk, kalo gak yakin gue gak bakalan minta kan?” ujarku mantap. Kata-katanya tadi seakan-akan Revan berpacaran dengan wanita dari dimensi lain.

Aku mengamati Revan yang sedang mengaduk-aduk lacinya, diam-diam aku mengintip di belakangnya melihat apa yang sedang dia cari. Setelah berkutat serius dengan isi lacinya akhirnya didapatlah sebuah buku ber-cover warna cokelat kayu yang bertuliskan 1887 di baris judul. Begitu Revan berbalik ia lantas berteriak spontan, melihatku yang tiba-tiba ada di belakangnya. Melihat reaksinya yang agak berlebihan itu aku malah cekikikan.
“seneng ye ngagetin orang?” ujarnya sedikit ngos-ngosan. “untung gue gak ada penyakit jantung,”
Baru dibuat kaget seperti itu, padahal sendirinya sering membuat orang lain jantungan juga.
“sori sori, mana fotonya bro?” tanyaku gantian cengar-cengir.

Revan membuka buku itu, membolak-balik lembarannya hingga ke sebuah halaman dimana ada satu foto terselip. Revan sempat menatap lirih ke foto itu sebelum disodorkan kepadaku, sedang aku dengan antusiasnya menerima dan melihat foto itu. Di foto itu tampak Revan sedang berpose dengan seorang gadis yang dandanannya sedikit tomboy. Gadis itu mengenakan kemeja kotak-kotak dengan jaket serta jeans biru pudar dengan topi bertuliskan huru A. Sedang Revan mengenakan kaos cokelat bergambar pulau lengkap dengan pohon kelapanya dan celana jeans hitam. Mereka tidak tampak seperti dua orang sejoli.

“namanya Aulia Maharani..” ujar Revan sebelum aku menanyakan namanya. “aku kenal dia waktu kerja sambilan di restoran dulu..”
“wah! Keren..” pujiku sambil tersenyum lebar. “sekarang dia dimana van? Sudah jadi manager di restoran itu atau udah punya restoran sendiri?”
“she passed away about 4 years ago..”
“wah.. gue turut berduka cita van,” ujarku jadi tak enak sendiri karena memaksa ingin melihat pacarnya Revan.
“it’s okay. Itu juga udah lama banget, dan sekarang gue udah bisa ikhlas menerima kepergian dia..” jawab Revan dengan besar hati.
Aku mengangguk-angguk. Baguslah kalau begitu.

“van..” ujarku saat memakai kaos Revan.
“iya dit..” jawab Revan tanpa menoleh, dia sedang asyik-asyiknya membaca komik.
“kak Rena itu sebenarnya sayang ama lu..”
“iyalah, dia kan kakak gue..”
Aku merengut mendengar kata-kata Revan, tapi kucoba tahan. “tapi kenapa dia bersikap dingin gitu ke elu? Seakan-akan dia gak suka sama lu?”
Revan tiba-tiba menutup komiknya. Tiba-tiba ia menatapku dalam-dalam, aku mendadak jadi tidak enak hati karena terkesan ikut campur dalam urusan keluarga orang.
“gue percaya kak Rena masih orang yang sama seperti kak Rena yang dulu menyayangi gue..” ujar Revan kemudian. “meskipun dia membenci gue, gue akan tetap sayang sama dia. She’s my best sister I’ve ever had,”
Aku termenung mendengar kata-kata itu, sebuah kata-kata yang membuatku sangat kagum kepada Revan.

“van, lu kayaknya akrab banget sama teman sekamar Alvin yang namanya Agung itu?” tanyaku iseng.
“ooh Agung, iya! Dia dulu anggota tim basket tapi keluar karena ada selisih dengan mantan kapten tim..”
“selisih sama mantan?”
“iya! Masalahnya apa gue juga gak gitu ngerti,” ujar Revan sambil melipat tangannya. “padahal dia skillnya bagus dan solidaritasnya tinggi. Sekarang Alvin yang jadi kapten tim basket, tapi Agung masih gak mau kembali bergabung..”
“dia itu asal-usulnya dari mana sih?”
“tumben lu tanya-tanya? Ada sesuatu yang lu cari tau nih?”
“gue pengen tau tentang teman sekamarnya Alvin, gue yakin dia yang ngajarin Alvin ngerokok!” ujarku dengan serius, sedikit menyembunyikan fakta yang penting. “dia bisa bikin asap bentu O persis kayak Alvin!”

“yaelah dit! Ngerokok mah anak laki-laki wajar. Gue aja juga ngerokok. Laki-laki itu kalo gak ngerokok banci!”
“banci juga banyak noh yang ngerokok,” kelitku seperti belut.
Revan check mate!
“Agung itu sebenarnya.. anak mafia gitu tapi dia menolak tinggal sama orang tuanya. Katanya hidup sebagai anak mafia gak tenang, banyak tekanan banyak tuntutan. Dia pengen bebas, makanya dia dari sekolah paling elit di Bandung dia pindah ke Nusa Bakti..”
Mafia? Pantes aja licik begitu.
“koneksinya luas dit, kadang dia bisa lebih update daripada detik..” tambah Revan. “dia bisa dapat dengan mudah informasi..”
Ini cukup menjelaskan kenapa dia bisa tau tentang Lena.

“tapi overall anaknya baik kok, meski agak pendiam. Gue liat kayaknya dia senang punya teman sekamar kaya Alvin..”
“gimana kalau ternyata dia yang memberi pengaruh paling banyak kepada Alvin sehingga adik kecil kita itu berubah jadi preman?”
“ah gak mungkin, kalau itu Agung gue gak percaya..” sanggah Revan tegas.
“kenapa lu bisa gak yakin?”
“gue tau Agung anak baik, ya meski dia itu agak posesif..”
Sepertinya Revan sudah diguna-guna oleh Agung.
“emang kenapa lu tanya-tanya begitu soal Agung?”
“kan gue udah bilang, kayaknya dia yang ngajarin Alvin ngerokok..”
“sepele banget..”

Kami yang pulang dengan mengendarai mobil, kembali ke sekolah menggunakan motor. Motor bebek tipe lama yang tampak masih baru berkat asuhan (pembantu) Revan. Dan jeleknya Revan itu pembawa motor yang payah, beda denganku yang cinta kecepatan tinggi ; Revan mah santai sekali dan mengutamakan keamanan.
“gue bawa nyawa orang masalahnya, kalo gue bawa sendiri mungkin bakalan sedikit lebih kencang..” ujar Revan santai saat aku protes.

Sedikit lebih kencang? Mungkin memang benar-benar sedikit kecepatan yang dinaikannya. Menurutku revan payah! Dia tidak tau seni melaju di jalanan, sekali-kali aku harus ajarkan indahnya kecepatan. Setelah dua puluh menit perjalanan akhirnya kami tiba, aku agak ngap-ngapan karena revan terlalu lama.
"payah lu, lama banget bawanya kaya anak perawan," protesku yang ke sekian kalinya.
“emang masih perawan..” sahut Revan dengan riang.
“yang depan ato yang belakang yang masih perawan?” godaku sambil melepas helm.
“yang mana aja boleh..” balas Revan seperti manusia belut, licin dan pandai mengelak.

Sekarang jam dua siang, aku melihat para anggota tim basket sedang pemanasan tapi ada juga yang sedang main satu lawan satu. Intinya mereka tak ada yang berdiam diri. Mataku mulai mencari-cari dimana Alvin, sebelum sosok imitasi kokoh glodok itu kutemukan Revan lebih dulu menunjuk keberadaannya. Alvin sedang push up di depan Rendi, keringatnya tampak mengucur. Meski nafasnya agak ngos-ngosan tapi dia tampak tegar dan enteng-enteng saja. Revan mempercepat langkahnya menghampiri mereka.
“kok yang ini push up aja kak?” tanya Revan sambil jongkok mengamati Alvin.
“dia tadi kabur pas latihan jam sembilan, dan itu melanggar komitmen yang sudah disepakati,” jelas Rendi. “hukumannya adalah push up 150x,”
“kejam,” gumam Revan sambil mengelus-elus rambut Alvin yang lepek karena keringat.

“maafin dia kak, sebenarnya dia kabur karena aku yang minta.” aku tiba-tiba nyerocos, “ia udah bilang ada latihan basket tapi aku maksa dia, aku kangen banget karena ingin berlama-lama dengan adikku ini,”
Rendi beralih menatapku diikuti oleh Revan, sedang Alvin masih fokus push up tapi aku yakin dia mendengar juga.
“kamu? Sama Alvin.. saudara?” Rendi tidak percaya, ia melihat ke Alvin kemudian beralih kepadaku, beberapa kali. “kok gak mirip?”
“dia adik angkatku, kak. Aku sudah mencarinya sejak satu tahun yang lalu..”
“hilang? Kok bisa?” Rendi makin terperangah, apa yang kuceritakan sekilas seperti cerita-cerita sinetron.
“ya bisalah kak, kucing aja bisa ilang apalagi anak orang?” celetuk Revan.
“apalagi belut..” tambahku.
“belut?” ulang Rendi dan Revan berbarengan.
“forget it!” ujarku sambil mengusap bagian belakang kepalaku. Aku langsung mengambil posisi push up disamping Alvin.

“ngapain dit?” tanya Rendi dan Revan berbarengan.
“Alvin tidak seharusnya dihukum begini, sebab yang menyebabkan dia melanggar komitmen adalah aku. Karena itu aku harus bertanggung jawab atas hukuman ini,” jawabku kemudian memulai push up sambil mulutku menghitung.
Alvin tampak cuek dengan tetap melanjutkan push up nya. Aku dan dia seakan sedang berlomba push up. Adu yang paling cepat dan kuat.
“aah! Dit, gak usah gak usah..” ujar Rendi sambil menggaruk-garuk kepalanya. “kamu juga vin, berhenti-berhenti sekarang!”
Aku dan Alvin kompak berhenti. Aku langsung berdiri sedang Alvin ke duduk sambil meluruskan kakinya, keringatnya makin tak terbendung. Rendi menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahku.

“mestinya kamu bilang biar gak ada salah paham seperti ini..” ujar Rendi kepada Alvin.
Anak itu hanya menganggukan kepala tanpa berkata apa-apa.
“kamu juga dit, si Alvin kan mau tanding besok seharusnya kamu support dia terus..” tambah Rendi.
“iya, maaf kak..” ujarku dengan nada menyesal.
“yaudah, semoga hal kaya gini gak terulang lagi..” gumam Rendi. “kamu duduk aja dulu, nanti kalau aku panggil kamu udah harus siap buat melawan mereka ya..”
Sekali lagi Alvin hanya menjawab dengan sebuah anggukan. Kemudian Rendi berbalik dan menghampiri anak-anak yang sedang pemanasan.

“biasalah kak Rendi, sifat dari sekolah militernya gak ilang-ilang..” gumam Revan kepada Alvin.
Aku jongkok dan mengeluarkan sapu tanganku, kuusap perlahan keringat yang mengalir di dahi dan leher Alvin. Anak itu langsung menepis tanganku, ia menatapku dengan dingin. Lama-kelamaan aku sudah cukup terbiasa dengan tatapannya itu. Dia mengambil sapu tangan dari tanganku dan menyeka keringatnya sendiri. Dia melakukan itu seolah ingin berkata: aku sudah besar kak, tidak perlu memperlakukanku seperti anak kecil. Aku tersenyum sambil mengelus lembut kepalanya, dan kali ini dia tidak menolak.
“nih de, minum!” ujar Revan entah darimana menyodorkan sebotol air mineral.
Tanpa buang waktu Alvin langsung menyambarnya dan meminum hingga habis semuanya. Bisa kubayangkan betapa lelah yang ia rasakan saat ini.

“gue mau ke kantin dulu ya, pesen makanan buat anak-anak buat ntar selesai latihan,” ujar Revan langsung melengos pergi seperti angin.
Sukses dia meninggalkanku dengan Alvin. Kulirik adikku yang sedang mencoba mengatur nafasnya, dia melirik juga kearahku dan alhasil kami saling beradu mata.
“cape?” tanyaku basa-basi.
“kelihatannya?”
“keringatan,”
“ya gitu lah..” sahut Alvin sembari membaringkan tubuhnya.
Dia balik lagi jadi anak yang dingin, padahal saat tadi aku kehujanan dia perhatian sekali. Aku mencari posisi duduk yang enak sembari mengamati kegiatan para anggota tim basket dibawah arahan Rendi. Kami berdua hanya diam, aku ragu jika kubuka obrolan Alvin akan menanggapinya dengan ramah. Tapi tak ada salahnya jika aku coba.

“dulu Agung anggota tim basket ya?” tanyaku iseng kepada Alvin.
“iya..” jawab Alvin singkat.
“emangnya kenapa dia keluar?”
“selek ama mantan kapten,”
“selek gimana vin?”
“biasalah anak bos kalo keinginannya gak dipenuhi ngambeknya jelek,”
“dimana-mana kan yang namanya ngambek itu emang jelek? Hehehe..”
“si Daniel dibikin cacat oleh Agung, kaki kanannya dipatahin dan divonis dokter dia gak boleh main basket lagi..”
Aku menelan ludah, kecil-kecil berani banget si Agung ini.

“kenapa gak dilaporin ke polisi? Biar dipenjara orang berbahaya itu??”
“dia itu anaknya mafia kak!” ujar Alvin dengan nada jengkel. “tau sendirilah gak ada hukum yang bisa nyentuh dia!”
“dan karena itu ade gak bisa lepas dari Agung?”
Alvin sedikit tersentak mendengar kata-kataku ini dia langsung bangkit ke posisi duduk. Sedang aku menatapnya dalam-dalam, aku ingin mendengar kebenaran itu dari mulut Alvin sendiri.
Alvin sempat diam sesaat, ia sepertinya bingung mau mulai dari mana.

“Agung cerita apa aja kak?”
“sebuah kenyataan yang pahit..” jawabku dengan lirih. Aku bahkan tidak tega mengingatnya.
Alvin menghela nafas panjang, ia menekuk kedua kakinya dan memeluknya.
“sekarang gimana menurut kakak?” tanya Alvin lesu.
“gimana apanya?”
Alvin menatapku dengan lirih. “aku sudah bukan adik yang kakak banggakan lagi. Sudah terlalu banyak noda hitam yang membuatku keruh..”
Aku menepuk bahunya dengan lembut. “kita mungkin tidak bisa menghapus noda hitam di gambar tapi kita bisa menambahkan warna lain, lebih banyak warna sehingga noda itu tidak berarti lagi?”

“maksudnya apa kak?” tanyanya dengan polos.
(-___-‘) cape deeeh! Aku menggeleng-gelengkan kepalaku.
“aku mau tanya satu hal vin..” ujarku tak mengindahkan pertanyaannya tadi.
“tanya apa?”
“yang foto kamu sama cewek.. itu.. benar?”
Aku tidak menanyakan soal video sebab sudah cukup jelas, kalau foto kan masih bisa dimanipulasi dengan sempurna. Alvin menundukan kepalanya tanpa menatap mataku. Baiklah sepertinya aku sudah bisa menebak jawabannya.

“aku sendiri gak tau lho kak,” ujarnya kemudian.
“gak tau gimana?” aku malah gregetan sendiri kepada Alvin.
“aku gak tau apakah aku benar-benar melakukan.. itu ke Lia atau enggak. Sebab sampai detik ini aku tidak pernah macam-macam dengan cewek manapun yang kupacari..”
“foto itu begitu nyata! Apakah mungkin itu jebakan?”
“satu hal yang kakak perlu tau, Agung selalu menghancurkan hubunganku dengan setiap cewek yang kupacari. Dia tidak pernah membiarkanku berpacaran dengan cewek..”
Mendengar itu emosiku mulai meledak, darahku naik semua ke kepala. Jadi dia bukannya playboy tapi memang ada dalang dibalik gosip itu.
“Lia memang baik, paling istimewa dibanding semua mantan pacarku yang lain. Dan dia satu-satunya cewek yang.. bisa dibilang direstui oleh Agung..”

“vin! Come here! your break is enough..” seru Rendi.
Alvin langsung bangkit dan berlari menuju tempat Rendi dan tim basketnya tanpa mengatakan apa-apa lagi kepadaku. Aku hanya diam, bingung juga harus berbuat apa. Aku akan menyelamatkanmu dari iblis itu vin, jangan khawatir, ujarku di dalam hati.

Dari sini aku hanya mengamati Alvin dan rekan-rekannya yang latihan tanding. Rupanya Rendi memanggil tim basket dari sekolah lain untuk pertandingan persahabatan dengan Alvin dkk. Boleh juga strateginya melatihnya Rendi ini. Alvin dan timnya tampak bermain dengan penuh semangat. Tanpa kusadari Agung di lantai dua gedung sekolah memperhatikan kami dari tadi. Ia hanya tersenyum entah apa yang direncanakannya. Senyumannya mungkin terlihat ramah tapi itu hanya topeng, kamuflase yang paling luar biasa yang pernah kutemui seumur hidupku.

***

“besok adalah pertandingan yang sangat menentukan harga diri sekolah, dengan kata lain harga diri kalian juga..” ujar Rena seperti sedang berorasi. Mendengar kata-kata Rena tadi sebagian besar tim tampak tegang. Rena kemudian tersenyum.
“pertandingan ini mungkin sangat penting bagi sekolah, tapi hei! Kalianlah pelaku utama disini donk? Satu hal yang aku tekankan, tidak perlu menganggap pertandingan ini sesuatu yang berkaitan dengan hidup dan mati atau mempertaruhkan harga diri. Anggaplah sebagai pertandingan biasa dimana kalian bermain dengan penuh semangat dan kalian menikmati permainan itu. Disini aku menyemangati kalian bukan dengan harapan agar kalian menang, tapi aku lebih berharap kalian bisa bersenang-senang dengan pertandingan ini. Olahraga yang memang menjadi hobi kalian..”

Otomatis Rena langsung menerima tepuk tangan dari tim, kata-katanya bagus dan bukan menuntut. Rendi sekilas mendelik ke arahnya tapi Rena cuek saja. Tak lama Rena selesai dengan pidatonya, makanan pun datang. Revan tadi memesan bubur ayam.
“kok bubur ayam?” tanyaku kepada Revan.
“soalnya ini makanan berat yang ringan..” jawab Revan dengan bahasanya sendiri yang membuatku menggeleng-gelengkan kepala.
Jumlah tim basket ada lima, untuk Rendi & Rena dua, aku & Revan dua tapi Revan memesan sepuluh. Aku yakin anak ini punya rekor merah di pelajaran matematika. Tapi karena sudah terlanjur dipesan dan dibayar yang pasti bubur sisa itu akan jadi rebutan antara aku dan Revan.

“de, hari ini main ke rumah abang gimana?” ajak Revan kepada Alvin.
Itu usul iseng-isengku yang diam-diam kubisikan kepadanya dan Revan langsung merealisasikannya tanpa persetujuan dariku.
“boleh juga sih bang..” ujar Alvin sambil memakan buburnya dengan lahap.
“nah gitu donk, kan si Adit jadi seneng..” sahut Revan dengan riang.
Aku langsung melotot ke arah Revan.
“liat tuh de, saking senengnya kakakmu jadi kaya orang kena step gitu..” goda Revan makin menjadi.
Ini anak benar-benar ya dikasih hati minta seluruh tubuh.

“wah enak ya lagi pada makan-makan..” sapa seseorang persis dibelakang Alvin dan Revan.
Aku bisa melihat jelas orang itu karena posisiku di hadapan mereka. Revan dan Alvin langsung mendongakan kepala. Agung tampak tersenyum kepada mereka dengan tangannya dilipat ke belakang. Dia sekilas menatapku dengan tatapan licik dan kemudian memasang kembali topeng wajah ramahnya.
“eh ada Agung, ayo sini gabung! Nih masih ada satu buburnya tadi aku mesennya kelebihan..” ujar Revan
“kan buat gue van!” selaku, pertama aku tidak mau anak itu bergabung di obrolan kami kedua bubur itu memang sudah kuincar dari tadi.
“yaelah lu kan bisa makan sepuas lu di rumah gue..” ujar Revan memangdang (¬.¬) kearahku. “nih gung silahkan dinikmati,”
“terima kasih kang..” ujar Agung seraya menerima sekotak bubur itu. Ia sempat tersenyum ke arahku (seakan berkata: “mau coba-coba melawanku? hahaha”) dan duduk di sebelah Alvin.

Alvin terlihat agak kikuk dengan kehadiran Agung. Ya iyalah, lagi enak-enak makan neraka datang.
“tadi akulihat si kapten ini mainnya bagus sekali,” ujar Agung sambil mengelus kepala Alvin. “besok pasti tim kita akan menang mutlak,”
“so pasti itu,” sahut Revan dengan percaya diri. “oh iya, ntar si Alvin akan bermalam di rumahku, mau ikut juga gak?”
Selama sepersekian detik Agung melirik ke arah Alvin. “seharian ini aku masih dijerat segunung tugas yang harus kuhabisi untuk besok..”
“yaah, sayang sekali donk!” sahut Revan agak kecewa.
“kalo tugasnya menggunung kenapa masih jalan-jalan?” celetukku dengan niat menyindir.
“refreshing dikit mas, kan suntuk kalo di depan meja belajar terus..” jawab Agung dengan lihainya.
“alesan,” sahutku di dalam hati.

“oh iya! Kata Revan dulu kamu juga tim basket ya gung?” aku masih ingin mencari masalah.
Agung mengerutkan dahinya, “iya, waktu kelas satu..”
“kudengar skillmu itu bagus? Kenapa keluar? Kan sayang kalau tidak dikembangkan..”
Revan berdehem, tapi aku tidak peduli. Aku memang sedang ingin cari masalah.
“aku dengan kapten basket yang dulu ada ketidak cocokan,” jawab Agung dengan tenang. “daripada suasana makin keruh lebih baik aku mengundurkan diri, toh di luar pun aku masih bisa main basket,”
“tapi sekarang sekarang kamu dengan mantan kapten itu sudah akur kan?”

Sebenarnya kurang sopan mengatakan itu karena berkaitan dengan privasi seseorang tapi aku tidak peduli, aku benar-benar ingin melihat reaksi Agung.
“semua baik-baik saja, dia sudah mendapatkan hobi yang jauh lebih baik daripada basket..” jawab Agung dengan tatapan berkilat.
Jawaban yang pintar, aku akui kau memang pandai bersilat lidah gung! Tidak sekalian kau akui tentang ulahmu yang menghancurkan masa depan seorang anak manusia, gumamku di dalam hati.
“sekarang kan Alvin sudah jadi kapten tim basket, kenapa kamu gak gabung lagi? ya gak van?” ujarku sambil melirik Revan.
“aku udah nemu hobi yang jauh lebih menyenangkan daripada basket,” jawab Agung sambil menyuap buburnya dengan anggun.
“wah, hobi apa itu?” tanyaku antusias.
“aku lagi tertarik sama video recording & editing mas, ngebikin semacam film pendek gitu. Sudah ada beberapa karyaku, meski masih sutradara amatir tapi lumayanlah hasilnya..” jawab Agung ; yang otomatis langsung membuatku naik darah. Seandainya tidak ada Revan, Alvin dan orang-orang disekitarku sudah kutinju sampai babak belur si Agung ini.

“aku baru tau hobi barumu itu gung?” Revan tiba-tiba menyambar obrolan kami. “kalau mau nanti kukenalkan sama temanku yang ekspert di bidang perfilman..”
“mungkin nanti kalau sudah lulus baru aku bisa leluasa untuk serius kang,” ujar Agung sambil menyuap buburnya. “nanti tinggalin aja kartu nama teman akang itu, aku biar aku coba kenalan via SMS..”
“okeh siip!” Revan mengancungkan jempolnya.
“mana hasil karyamu? Jangan cuma disimpan donk,” ujarku makin tengil.
“iya nih, aku kan juga ingin lihat karya agung dari seorang Agung..” tambah Revan malah antusias.
Alvin tersendak dan terbatuk-batuk, Revan buru-buru menyodorkan sebotol air mineralnya.
“nanti aku perlihatkan yang lain,” ujar Agung sambil menepuk-nepuk punggung Alvin ; yang masih terbatuk-batuk. “nanti akan kubuat film yang lebih keren. Aku sudah ada gambaran konsepnya,”

Aku melotot ke arah Agung. Dan anak itu hanya membalas dengan sebuah senyuman khasnya. Senyuman sejuta arti. Dia tiba-tiba bangkit.
“aku balik ke kamar lagi ya, bubur ini biar aku bawa aja..” ujar Agung.
“sampai sebegitu banyak kah tugas-tugasmu itu?” tanya Revan dengan heran.
Agung hanya menjawab dengan anggukan pelan sembari tersenyum, ia pun berbalik dan melengos balik ke menuju gedung asrama. Aku menatap lekat Agung yang semakin lama semakin jauh. Itu anak sudah cabul pake ngambil jatah buburku lagi, sial! Gumamku dalam hati.

Selesai acara makan, maka latihan pun selesai. Jam sudah menunjuk pukul empat sore, sebelum membubarkan diri tim basket semuanya berdoa bersama dipimpin Rendi. Kulihat mereka begitu khusyuk berdoanya, apalagi Alvin. Mungkin dia sekalian berdoa agar cepat terlepas dari jerat Agung. Dan kemudian anak-anak kembali ke asrama kecuali Alvin.
“gue minta izinnya Alvin dulu sama resepsionis ya..” ujar Revan seraya menoleh ke arah meja resepsionis.
Dia lalu melemparkan kunci motornya kepadaku, refleks aku langsung menangkapnya.
“lu pulang sama Alvin naik motor, gue ama kedua kakak gue naik mobil. Okay?” ujarnya sambil berbalik dan melangkah cepat ke arah meja resepsionis.
Ada-ada saja ide si Revan ini, aku menoleh ke arah Alvin. Adikku itu pasti masih ingat dengan keahlian memacu kuda besi ini.
“apa boleh buat ya de?” ujarku kepadanya.
Alvin menganggukan kepala dengan berat. Oh ayolah adikku, itu tidak seburuk yang kau pikir! Dan sekali gas, Alvin langsung memeluk erat tubuhku. Seperti prinsip lamaku: it’s a long road so let’s fast!

***

Setiba di istana Syah (kediaman Revan diam-diam aku sebut begitu) Revan langsung mengajak Alvin main basket di lapangan samping rumah. Alvin pun tanpa pikir panjang langsung mau. Ini anak punya stamina kuda kali ya? Ku biarkan sajalah mereka bersenang-senang dengan cara mereka, aku mau duduk di beranda lantai dua dulu. Aku mau mengistirahatkan kepalaku sejenak, dan nanti aku harus memutar otak mengatur strategi melawan Agung. Apa yang sedang ia rencanakan.

Tidak sengaja aku membuka folder di galeri ponselku yang berisi foto Lena semua. Semua kenangan akan Lena, dimulai dari foto dari ponselnya yang dulu kucuri diam-diam dengan bluetooth, foto yang ku tangkap saat dia sedang pose tidak siap dan lain-lain. Banyak sekali, memang sengaja aku membuat satu folder khusus yang isinya album foto Lena. Tanganku agak bergetar melihat satu persatu foto itu yang berurutan berdasarkan baris waktu. Terdengar suara riuh dari dua orang yang sedang bermain basket di halaman, Alvin tampak meluapkan kekesalannya karena Revan berhasil mencuri angka darinya.

Aku keluar dari galeri foto dan menuju layar utama ponsel. Sebenarnya aku agak ragu, telpon tidak telpon tidak telpon tidak. Kutekan tombol-tombol ponselku kemudian kutunggu sambil mendengar nada sambungnya. Sudah tut yang keempat tapi belum diangkat juga. Aku berdebar berharap panggilanku lekas diangkatnya. Lena, apakah sededar mengangkat teleponku dia enggan?

“Assalamualaikum..” sebuah suara wanita akhirnya mengganti bunyi nada sambung menyebalkan itu.
“waalaikumsalam! Lena..?” panggilku, entah kenapa aku senang sekali bisa mendengar suaranya.
“ada apa dit?” tanyanya dengan nada yang masih agak dingin. Tapi aku tidak peduli!
“a..aku aku ingin memastikan sesuatu..”
“memastikan apa?”
Aku menarik nafas perlahan, “aku ingin memastikan bahwa aku masih bisa menjadi suamimu lagi,”

Hening sejenak diantara kami, Lena tidak menanggapi kata-kataku itu. Tapi aku tau dia masih disana, aku bisa mendengar suara nafasnya yang teratur dan lembut.
“I’m still waiting for your decision..” celetukku mencoba memecah keheningan.
“kita lihat saja nanti..” jawab Lena dingin.
“nanti??! Kenapa harus nanti kalau sekarang kita sudah bisa merencanakan??!”
“manusia berencana tapi tetap Allah yang menentukan,”
“paling tidak kan kita sudah berusaha!”
“mungkin subjeknya disini adalah kamu, bukan aku sehingga kurang tepat disebut kita..”

Aku terperangah mendengarnya, “jadi.. kamu gak mau.. rujuk?”
“aku masih belum melihat ada alasan buatku untuk rujuk. Karena itulah aku bilang kita lihat saja nanti,”
“you must know how I do love you, Lena!” ujarku dengan nada memohon.
Lena diam tidak menanggapi, entah dia sedang menitikan air mata atau sedang menonton topeng monyet. Yang pasti dia diam seribu bahasa, jika Lena sudah diam dan aku tidak berbuat apa-apa maka aku tak akan punya kesempatan. Aku memutar otak untuk membalikan situasi.

“Kau boleh acuhkan diriku
dan anggapku tak ada
Tapi tak ‘kan merubah
perasaanku kepadamu

Ku yakin pasti suatu saat
semua ‘kan terjadi
kau ‘kan mencintaiku
dan tak akan pernah
melepasku

Aku mau mendampingi dirimu
aku mau cintai kekuranganmu
slalu bersedia bahagiakan mu
apapun terjadi
ku janjikan aku ada

Kau boleh jauhi diri ku
namun ku percaya
kau ‘kan mencintai ku
dan tak akan pernah
melepas ku
Aku mau mendampingi dirimu
aku mau cintai kekuranganmu
slalu bersedia bahagiakan mu
apapun terjadi
ku janjikan aku ada..”

Meski suaraku memang lebih bagus jika kusenandungkan saat konser di kamar mandi, tapi aku tetap pede. lagu ini adalah lagu kesukaan Lena. Sekarang aku diam, menunggu Lena merespon. Desir angin sore seolah menjadi backsound suasana saat ini. Aku makin cemas karena Lena masih saja tidak menjawab.
“len..” panggilku seperti orang sakit tipus.
“aku gak bisa jawab sekarang. Dan aku gak bisa janji apa-apa..” ujar Lena sambil menutup telponnya.
“lena tunggu…” aku berusaha menghentikan tapi Lena keburu mematikan sambungannya.

Kubanting ponselku (pelan) saking kesal dan putus asanya. Mulutku menggumamkan kata-kata terakhir Lena itu. Benar-benar menggantungku di ujung semesta tertinggi, lebih baik mati daripada digantung. Naluriku menangkap ada sesosok orang yang sedang memperhatikanku. Matanya yang tajam justru melihatku dengan sendu, ada sebuah gurat kecewa di wajahnya.
“mungkin aku salah ya terlalu berharap banyak sama kakak..” ujar Alvin membuang pandangannya ketika aku menatap matanya dalam-dalam. “sampai kapanpun aku cuma akan menjadi adik kecil kakak, dan pada akhirnya hanya melihat kakak bahagia bersama orang lain..”

Aku tak punya kata-kata untuk menyangkal atau apa, pikiranku sudah cukup mumet dengan Lena.
“masih kamu simpan rasa cintamu itu vin, kamu tau kan kakak tak mungkin mencintaimu..” ujarku parau, mulutku nyerocos tanpa kusaring dulu.
“kalau memang kakak masih ingin bersama wanita itu, kenapa kakak harus mencari aku? Kakak seharusnya disana hidup bahagia dengan keluarga kakak!”
“mana bisa aku begitu!? Akulah yang paling bertanggung jawab atas kepergianmu dari rumah! Saat kamu berada di luar sana, aku sangat khawatir. Kamu yang sudah terbiasa dengan kasih sayang yang hangat dari keluarga harus berada di kehidupan jalanan yang keras dan kejam. Hingga kamu yang sekarang telah berubah menjadi seseorang yang tak kukenali lagi, dan kamu yang telah diperbudak oleh iblis yang bernama Agung itu! Aku benar-benar tidak bisa memaafkan diriku..”

“sebaiknya kakak pulang! Dan jangan pernah menemuiku lagi..” ujar Alvin sambil berbalik dan pergi. Dia sama sekali tidak mengindahkan kata-kataku.
Aku berlari menghampiri Alvin, tanpa permisi kupeluk erat dirinya. Dia memberontak agar aku melepaskannya, tapi pelukanku makin erat hingga akhirnya dia diam.
“aku lebih baik tidak pernah bertemu kakak lagi, jika pada akhirnya harus menerima rasa sakit ini lagi..” ujar Alvin dengan putus asa.
“kakak sayang kamu vin, Absolutely..” bisikku di telinganya menegaskan kembali kata-kataku.
Tiba-tiba Alvin mendorong tubuhku, lepas dari pelukanku, “love me, and I will hate you!”

Dia sempat menatapku dengan tatapan tajam penuh kebencian kemudian lantas pergi meninggalkanku, sendirian disini seperti seorang pecundang. Pecundang yang tidak pantas menjadi kakaknya sampai kapanpun. Aku terduduk lemas, aku ingin berteriak tapi takut disangka kesurupan, membanting barang-barang yang ada nanti kena ganti, meninju tembok sama saja pemborosan energi. Ya Allah aku tau Engkau ada disana sedang melihatku, mungkin inikah jalan terbaik yang Engkau maksud? Jika ya, seperti kataku sebelumnya. Aku ikhlas ya Allah, aku akan belajar untuk ikhlas. Aku termenung sendirian disini cukup lama. Seandainya salju turun di Bandung, aku ingin sekali melihat salju.

Aku perlahan bangkit, ayolah! Aditya Firdaus tidak boleh sepeti ini. Meski kuakui aku telah kehilangan semuanya. Hei! Aku belum kehilangan semuanya, aku masih punya keluarga dan pekerjaan. Aku masih punya kesempatan untuk menata kembali hidupku ini. Dimana ada pertemuan pasti ada perpisahan, meskipun sedih tapi semua akan baik-baik saja. Setelah pertandingan final besok, mungkin aku akan pulang saja. Sudah cukup jelas Alvin tidak akan mau kuajak pulang. Jatah cutiku sebenarnya masih ada beberapa hari lagi tapi biar sajalah. Dengan bekerja dengan penuh semangat, kegalauanku akan sedikit demi sedikit terlupakan.
Petualanganku di Bandung cukup sampai sini saja.

***

“lu kenapa dit? Lemes banget?” tanya Revan.
“kayaknya dehidrasi, kekurangan ion dan kurang darah..” jawabku asal.
“tadi Alvin pamit ama gue..” ujar Revan kemudian. “katanya dia mau membantu Agung menyelesaikan PR nya yang bejibun. Sayang banget! Padahal hari ini gue mau ajak dia main PS..”
“trus sekarang dia mana?”
“udah dianterin pulanglah, tadi sama mang Iyan, sekitar lima belas menit yang lalu..” jawab Revan sembari menyeka keringatnya. “oh iya lu kayaknya sakit? Istirahat gih di kamar! Ntar gue bawain obat..”
“gak apa-apa, kan tadi gue bilang kayaknya gue dehidrasi, keku..”
“udah udah udah! Istirahat aja dulu gih, biar besok kan lu mesti tampil prima untuk melihat kemenangan Alvin..” ujar Revan seraya meninggalkanku.

Menyebalkan! Sepertinya hari in semua orang pada kompakan meninggalkanku. Tiba-tiba aku punya ide untuk menyusul Alvin ke asrama. Sekarang kan belum terlalu sore baru jam setengah limaan, aku mau bilang besok aku pulang ke Jakarta, mungkin saja dia jadi luluh? Yeah mungkin saja. Kususul Revan saja Revan dan meminjam kuda besinya.
“mau kemana dit? Bukannya lu sakit?”
“gue mau ke Nusa, ada yang ketinggalan tadi..” jawabku bohong. “kan gue bilang, gue cuma dehidrasi karena terlalu lelah..”
“lagian lelah kenapa? Kayaknya dari tadi lu gak melakukan aktifitas berat?”
“sudahlah! Mau pinjemin si kuda besi gak?”
“iya iya oke..” ujar Revan sambil menyerahkan kunci motornya.
“terima kasih..” ujarku sambil melengos meninggalkannya.
Begitu semua perlengkapan siap aku langsung tancap gas, seakan-akan aku sedang berlomba dengan waktu.

Dalam lima belas menit aku sudah tiba di gedung sekolah, satpam gerbang depan sudah hafal mukaku jadi dia tidak ragu mengizinkanku masuk. Aku sempat agak ragu untuk mendatangi kamar Alvin. Bukan dengan maksud apa-apa, aku hanya ingin pamit pulang. Aku akan mempercayakan Alvin kepada Revan, dan Revan nanti harus percaya bahwa Agung itu bukan anak baik-baik. Kulihat gedung asrama agak sepi, anak-anak kebanyakan sedang bermain di lapangan. Setelah menaiki tangga aku belok ke lorong senja menuju kamar Alvin yang paling ujung. Aku bisa mendengar jelas yang punya kamar sedang menyetel sebuah lagu dengan volume yang cukup keras bahkan dari luar kamar. Aku tau lagu ini.
#Now Playing: Last Child – Diary Depresiku

malam ini hujan turun lagi
bersama kenangan yang ungkit luka di hati
luka yang harusnya dapat terobati
yng ku harap tiada pernah terjadi

ku ingat saat ayah pergi, dan kami mulai kelaparan
hal yang biasa buat aku, hidup di jalanan
disaat ku belum mengerti, arti sebuah perceraian
yang hancurkan semua hal indah, yang dulu pernah aku miliki

wajar bila saat ini, ku iri pada kalian
yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah
hal yang selalu aku bandingkan dengan hidupku yang kelam
tiada harga diri agar hidupku terus bertahan

mungkin sejenak dapat aku lupakan
dengan minuman keras yang saat ini ku genggam
atau menggoreskan kaca di lenganku
apapun kan ku lakukan, ku ingin lupakan

namun bila ku mulai sadar, dari sisa mabuk semalam
perihnya luka ini semakin dalam ku rasakan
disaat ku telah mengerti, betapa indah dicintai
hal yang tak pernah ku dapatkan, sejak aku hidup di jalanan

wajar bila saat ini, ku iri pada kalian
yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah
hal yang selalu aku bandingkan dengan hidupku yang kelam
tiada harga diri agar hidupku terus bertahan

Lagu ini benar-benar lagunya Alvin. Kenapa anak ini memutar lagu galau macam ini? Kupaksa saja untuk menerobos masuk. Sayangnya begitu aku menginjakan kaki di kamar ini bukan Alvin yang kutemui melainkan Agung. Agung tampak sedang berkutat dengan tumpukan buku di sekitarnya, dia tersenyum melihat kehadiranku.
“nyari Alvin ya mas?” tanya Agung.
“bukan! Aku nyariin anak mafia!” jawabku dengan jengkel.
“wah kebetulan! Aku memang sedang mencari anaknya Hadi Firman Sudirja..” sahut Agung seraya bangkit menghampiriku.
“lu benar-benar kaya petugas kelurahan, tau aja data diri gue..” tanpa basa basi aku mengeluarkan dialek Jakarta.

Agung tersenyum sinis. “more than you have ever though. Apa perlu gue ceritain juga? Tentang bapak Hadi yang pacarnya ditolak mentah-mentah oleh pihak keluarga karena adiknya itu gay? Dia dipaksa menerima perjodohan dengan Ibu lu, kehidupan rumah tangga mereka yang bagai di ujung tanduk karena bapak Hadi tidak bisa melupakan kekasihnya itu? Aku pribadi kasihan kepada Ibu lu mas..”
“TUTUP MULUT LU!!” bentakku kepada Agung, kemudian aku mengeluarkan kata-kata yang layak sensor.
Sedang Agung hanya tersenyum, ia tampak tidak terlalu memedulikan sumpah serapahku.
“aku mau melakukan sebuah permainan kecil dengan mas Adit gimana?” ujar Agung sambil meniup poninya.
Permainan? Orang macam ini kalau mengadakan permainan pasti dia curangi terlebih dahulu.

“aku tidak mau! Untuk apa? Untuk menyenangkan dirimu sendiri?”
“bukan kok! Tenang aja, ini cuma sebuah permainan amat sederhana yang bernama ‘temukan harta karun Alvin’..” ujar Agung sambil mengambil secarik kertas dan menarik pulpen yang diselipkan di daun telinganya.
“kalau aku tetap tidak mau?”
Agung menatapku lurus-lurus, tatapannya yang tadi seperti manusia pada umumnya seketika berubah menjadi tatapan iblis yang licik.
“gak masalah sih kalau mas Adit gak mau,” ujar Agung sambil meletakan kertas dan pulpen yang dipegangnya. “tapi itu sama artinya Alvin gak akan selamat besok, mungkin dia akan bernasib sama dengan kapten tim basket yang dulu. Alvin sudah cerita kan ke mas Adit tentang si Daniel?”

Aku meneguk ludah, “apa lu setega itu kepada Alvin? Bukannya lu menginginkan dia?”
Agung menggelengkan kepala seolah sedang berbicara dengan orang paling bodoh sedunia, “ada dua alasan. Pertama, ada seseorang yang berniat merebut Alvin dari tanganku, yaitu kamu mas Adit. Kedua, orang yang jauh lebih daripada Alvin masih banyak, aku bisa dengan mudah mendapatkannya semudah mengambil permen dari tangan bayi..”

Kata-katanya itu sangat menyebalkan, tapi aku yakin dia tidak main-main. Dia menatapku dengan tajam sambil memain-mainkan pulpennya di jarinya. Sepertinya aku terpaksa masuk ke jaring laba-laba. Seharusnya aku mengatur strategi terlebih dahulu sebelum membunyikan genderang perang.
“permainan apa?” tanyaku pelan.
Agung tersenyum licik, topeng yang selama ini dipakainya sepertinya sedang ia lepas sehingga wajah aslinya terlihat.

***

Seharian ini Oom Fian mengadakan pertemuan dengan dewan sekolah, terkait dengan program-program baru dan rencana membeli beberapa hektar area hutan untuk perkebunan sekolah. Seharusnya sudah selesai dari jam setengah tiga, tapi dewan komite beserta kepala sekolah yang notabene tema-teman beliau mengajak main dulu maka oom Fian iya saja. Permainan-permainan lama yang semasa muda sering mereka lakukan seperti: catur, nonton pertandingan bola & film animasi sampai ke permainan anak-anak yakni benteng. Diam-diam mereka masih senang dengan permaianan yang menggunakan kecerdikan dan ketangkasan itu.

Bagi oom Fian tak masalah karena mengenang masa muda itu adalah hal yang positif, beliau bersama teman-temannya sangat senang. Meskipun fisik sudah tidak terlalu prima tapi yang penting kan semangatnya. Tadi setelah bermain benteng, oom fian dkk duduk-duduk sambil menonton sebuah film animasi. Film ini adalah pilihannya bapak Yunus sang kepala sekolah yakni Up, mereka semua ini pecinta film animasi sih apalagi yang buatan pixar. Sebenarnya hampir semua teman-teman oom Fian sudah menonton film ini, hanya oom Fian dan pak Yunus yang belum. Sepertinya karena padatnya jadwal mereka sebagai orang penting.

Film ini sangat berkesan bagi oom Fian, di awal filmnya saja sudah sedih dimana Mr. Fredickson kehilangan istrinya sebelum impian mereka tercapai. Bahkan oom Fian sampai berkaca-kaca melihat bagian itu, mengingatkannya kepada almarhum istri dan anaknya. Dan juga pada adegan dimana Mr. Fredickson membuka kembali buku petualangannya Ellie. Ayo cari petualangan yang baru! Sebuah kutipan yang doi banget.
“sekarang aku sudah menemukan petualangan baruku dan sekarang sedang menikmatinya,” gumam oom Fian di dalam hati.

“wew, ente nangis ian?” celetuk pak Yunus saat menyadari oom Fian yang berkaca-kaca.
“ya begitulah..” sahut oom Fian sambil meraih tissu.
“cup cup cup! Ntar papa belikan balon..” goda pak Yunus makin menjadi.
“sialan lu yee..” sahut oom Fian nyengir sambil menyeka air matanya.
“justru bagus lho kalo di usia begini kita masih bisa nangis..” sela salah satu dewan komite yang dipanggil Jajang. “kalau gak bisa nangis itu tandanya hati kita sudah membeku,”
“tapi tadi kamu gak nangis jang?” balas pak Yunus.
“saya kan udah nonton ini film beberapa kali, jadi saya udah tau jalan ceritanya. Saya udah nangis duluan..” jawab Jajang dengan santai.
Gagal deh pak Yunus membalikan kata-kata Jajang.
“sudah ah! Pada bertengkar aja kaya anak bocah, saia mau keluar dulu cari angin segar..” ujar oom Fian seraya melirik ke jam dinding: pukul setengah tujuh lewat sepuluh menit.

Waktunya sholat maghrib nih, beliau pun melangkah menuju masjid Baitul Hikmah. Setelah itu beliau berjalan ke beranda gedung sekolah. Gedung sekolah tidak tampak menyeramkan karena di sebagian area sekolah lampunya tetap dinyalakan. Angin senja berhembus perlahan, nikmat sekali. Meskipun katanya tidak terlalu bagus untuk kesehatan. Oom Fian menangkap adanya kehadiran makhluk lain selain dirinya di beranda ini. Sensornya mulai mencari-cari dan melihat ke arah dekat tower air. Di sebelah kiri memang ada tower air.

Perlahan oom Fian mendekat, ingin mengenali sosok itu manusia atau bukan. Setelah melihat lebih dekat ternyata bukan makhluk halus melainkan makhluk kasar. Dan oom Fian mengenali orang itu. Salah seorang penghuni asrama yang sedang terduduk lesu menatap ke arah langit malam yang cerah. Kalau dilihat dari ekspresi muka, bahasa tubuh serta suasanan tempat, oom Fian bisa menyimpulkan bahwa anak itu sedang galau. Meski angin malam lumayan dingin tapi anak itu tetap bergeming bersama kegalauannya.

Oom Fian mendatangi Alvin yang sedang duduk di pinggir beranda. Wajah Alvin tampak sedih dan murung.
“udah siap belum buat pertandingan besok?” ujar oom Fian mengagetkan Alvin.
“eeh, pak dokter!” Alvin tersenyum lebar seraya bangkit dan mencium tangan oom Fian. Dia masih tidak lupa dengan yang namanya sopan santun jika bertemu dengan orang tua.
“maaf ya selama ini saia jarang datang nengokin kamu, seandainya saja saia lebih pandai membagi waktu..” ujar oom Fian dengan nada sesal.
“gak masalah lah oom. Prioritas pak dokter kan jauh lebih banyak daripada sekedar mengunjungi bocah tengil macam aku?” sahut Alvin sedikit berkelakar.

Oom Fian mengelus lembut kepala Alvin seolah Alvin adalah anak beliau sendiri. Sekali lagi beliau hanya bisa tersenyum sendu.
“pertandingan final ini hanya tinggal menghitung hari, yang kamu rasakan apa? Degdegan? Tegang?? Atau malah Senang?”
Alvin menghela nafas sebentar, terlihat ada raut tegang di wajahnya tapi kemudian hilang. “semua yang pak dokter bilang! Semua rasa itu bercampur jadi satu dan membuatku makin semangat..”
Saat mengatakan itu, wajah polos Alvin muncul kembali.

“kakakmu datang jauh-jauh untuk memberimu semangat lho,” celetuk oom Fian sambil mengelus-elus kepala Alvin lagi.
Alvin terdiam mendengarnya, wajahnya terlihat tidak bersemangat mendengar kata-kata oom Fian tadi.
“saia gak bermaksud mencampuri urusan diantara kalian berdua. Tapi saia cuma ingin mengatakan satu hal, memaafkan itu perbuatan mulia. Hatimu akan menjadi jauh lebih lapang dan ringan. Hati yang masih menyimpan dendam hanya akan membuat hidupmu tidak tenang..”
Alvin menekuk kedua kakinya di depan dadanya dan memeluknya dengan kedua tangan. Wajahnya malah tampak lebih murung.

Mereka kini terdiam, bersama menatap angin malam yang berhembus dengan sejuknya. Menerpa mereka yang saling terdiam dalam pikiran masing-masing. Oom Fian menatap ke langit, disana tidak ada bintang. Hanya ada bulan sabit yang bersinar keemasan. Mengingatkan beliau dengan simbolnya Sailor Moon. Memang bulan sabit punya pesona sendiri dibanding bulan purnama.
“hidup ini pelik ya, pak dokter..” gumam Alvin pelan. Akhirnya Alvin membuka obrolan juga.
“kenapa kamu berpikir seperti itu?”
“setelah apa yang selama ini aku lalui, merasakan betapa pedihnya menjadi seseorang yang tidak diinginkan. Oleh orang tuaku sampai oleh seseorang yang selama ini sangat menyayangiku..”

Ada nada sedih saat Alvin mengatakan itu. Sebuah luapan duka yang selama ini dia pendam sendiri.
“kadang aku iri dengan teman-temanku, mereka memiliki keluarga yang utuh, orang-orang yang menyayangi mereka. Aku kan juga ingin bahagia, atau aku memang tidak berhak?”
“jangan ngomong gitu, vin. Semua orang berhak untuk bahagia, Tuhan tidak akan menghalangi seseorang untuk bahagia, hanya saja ada semacam perjuangan untuk mendapatkannya..”
“entahlah pak, bagi aku semua tampak tidak adil!” gumam Alvin.
Oom Fian menghela nafas sebentar, ia menggeser posisi duduknya agar lebih dekat ke Alvin.

“saia teringat dengan sebuah kisah waktu saia sedang menghadiri majelis, Nabi Musa AS pernah mengeluhkan hal yang sama kepada Allah. Mengapa hidup ini begitu tidak adil, yang kaya menindas yang miskin, yang baik didzalimi dan banyak lagi contoh-contoh yang Nabi Musa sebutkan. Kemudian Allah memerintahkan Jibril agar mengajak Musa ke sebuah tempat, sebuah telaga. Di dekat telaga itu ada sebuah semak dan disitu Nabi Musa disuruh bersembunyi untuk melihat apa yang akan terjadi di telaga. Jibril berpesan apapun yang terjadi jangan keluar dari semak itu, Nabi Musa hanya boleh melihat saja. Dan Nabi Musa pun setuju.

Tak lama datanglah seorang bangsawan dengan kudanya, bangsawan itu berhenti sejenak di telaga itu untuk menunaikan sholat. Setelah itu sang bangsawan melanjutkan kembali perjalanannya. Tapi kantung uang sang bangsawan tertinggal di telaga saat ia berwudhu tadi. Nabi Musa tadinya ingin memanggil sang bangsawan tapi beliau ingat pesan Jibril maka beliaupun diam di tempat.

Kemudian datanglah seorang anak kecil ke telaga untuk melepas dahaganya, anak itu melihat kantung uang sang bangsawan dan kemudian membawanya pulang. Nabi Musa ingin menghentikan anak itu tapi beliau kembali teringat pesan Jibril maka beliaupun tetap diam di tempat.

Lalu datanglah seorang kakek yang buta, singgah di telaga untuk melepas lelahnya untuk beberapa saat. Tak lama kemudian sang bangsawan kembali untuk mengambil kantung uangnya. Karena tidak mendapati kantung uangnya dan hanya kakek tua yang duduk disitu tak ayal sang bangsawan menuduh kakek tua tersebut. Merasa tidak mencurinya sang kakek tidak mengakuinya, karena kesal dengan kakek tua tersebut sang bangsawan langsung memenggalnya dan pergi. Nabi Musa tadinya ingin memberi tau sang bangsawan kejadian yang sebenarnya tapi beliau teringat pesan Jibril untuk tetap diam dan mengamati saja.

Setelah itu datanglah Jibril untuk menjelaskan perihal kejadian tadi. Sang bangsawan yang kantung uangnya ketinggalan itu memiliki seorang buruh yang mana meninggal karena dibunuh sekawanan perampok jalanan. Tapi hak buruh tersebut tidak diberikan kepada ahli warisnya oleh sang bangsawan. Sedang anak kecil yang mengambil kantung uang sang bangsawan itu adalah anak dari buruh tersebut. Dengan kata lain anak itu mengambil sesuatu yang menjadi haknya , dan kakek buta yang dibunuh sang bangsawan itu adalah pimpinan kawanan perampok yang membunuh Ayah anak kecil itu..”

Alvin terkesima mendengar cerita oom Fian itu, raut wajah murungnya tampak sedikit menghilang.
“kesimpulan dari cerita itu apa menurut kamu vin?” tanya oom Fian sambil tersenyum.
“kita harus senantiasa ber-husnudzon dengan semua ketetapan Allah,” sahut Alvin sembari mencoba merangkai kata.
“betul sekali. Sebab apa yang kita pikir tidak adil bisa jadi adalah sesuatu yang paling adil. Manusia itu tidak terlepas dari kesalahan masa lalu, yang mungkin saja kesulitan atau ujian di masa sekarang ini merupakan karma. Lagi pula Allah tidak akan membebankan sesuatu diluar kemampuan kita. Hidup ini boleh pelik tapi jangan sampai kita menjadi manusia yang putus asa dan kufur nikmat..”

Anak itu menganggukan kepala dengan semangat, terlihat api kehidupannya telah berkobar kembali. oom Fian sekali lagi mengelus kepala Alvin sambil tersenyum.
“seandainya saja Ilham masih ada, pasti dia seumuran dengan Alvin,” ujar oom Fian didalam hati. Mungkin Alvin atau Revan itu seperti Russel baginya.
“turun yuk pak, disini dingin!” ajak Alvin.
“dari tadi anginnya kan memang dingin sekali, kamunya aja yang terlalu sibuk galau, hehehe..” ujar oom Fian.
Mereka berdua tertawa dan turun bersama. Alvin kembali ke asramanya sedang oom Fian kembali ke ruangan tempat teman-temannya ngumpul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar