Senin, 21 Maret 2016

Memories Of Him - Part 2

~Alvin Pov~
Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba melupakan kejadian barusan. Tadi benar-benar memalukan. Bisa-bisanya aku tenggelam di kolam dangkal. Lagian tadi aku memeluk Pandu erat sekali. Aku pikir Pandu akan marah sama aku karena aku sudah seenaknya meluk dia dan sudah bikin dia basah kuyup, tapi ternyata aku nggak di apa-apain.

Aku memandangi jaket Pandu yang ada di tanganku. Rasanya Pandu nggak seperti yang di gossipkan. Tapi aku masih bergiding ngeri ketika mengingat luka yang terdapat di punggungnya. Aku nggak sengaja melihat luka itu ketika dia melepas bajunya. Luka sayatan yang ada di punggungnya itu cukup besar. Sayatan yang mengerikan.

Apa dia pernah terlibat perkelahian yang mengerikan?

Akhirnya aku membuka bajuku lalu memakai jaket Pandu. Setelah itu aku langsung berdiri dan beranjak dari tempatku. Aku menyusuri lorong kelas untuk keluar dari area sekolah.

“Vin, kamu kok basah gitu?” tanya Vivi yang nggak sengaja bertemu denganku di lorong.
“Tadi nggak sengaja jatuh ke kolam,” jawabku sambil terus berjalan.

Selama melewati lorong, beberapa anak ada yang menanyai keadaanku sama seperti Vivi, tapi ada juga yang hanya melihatku dengan penuh tanda tanya.

Setelah keluar dari area sekolah, aku langsung mengedarkan pandanganku mencari mobil yang biasa menjemputku. Ternyata mobil jemputanku sudah menunggu tidak jauh dari gerbang sekolah. Aku buru-buru berjalan kearah mobil lalu masuk ke dalamnya.

“Jalan Pak.”
“Iya den,” jawab Pak Ujang, “lho, den Alvin kok basah kuyup gini? Aduh nanti aden bisa demam lagi,” kata Pak Ujang supir pribadiku setelah melihatku dari kaca mobil.
“Tadi nggak sengaja jatuh ke kolam,” jawabku, “aku nggak apa-apa kok,” lanjutku lagi sambil tersenyum ke Pak Ujang. Aku nggak mau Pak Ujang jadi khawatir.

Selama di perjalanan pulang, aku terus memperhatikan jaket kulit yang aku pakai. Warnanya hitam. Ada motif naga berwarna merah yang melingkar di bagian dada sebelah kiri. Jaket ini kesannya keren banget. Aku jadi kelihatan berbeda pakai jaket ini. Ya biarpun jaketnya kebesaran di tubuhku sih.

“Jaket baru ya den?” tanya Pak Ujang.

Aku tertawa pelan mendengar pertanyaan Pak Ujang.

“Bukan Pak. Ini punya teman,” jawabku.

Ah iya juga ya, besok aku harus mengembalikan jaket ini ke Pandu. Harus di cuci dulu nih. Nanti aku suruh Bi Surti buat nyuciin.





~Rico Pov~
Dari kemarin Alvin aneh. Masa kemarin malam dia telfon aku cuma buat nanya di mana alamat rumahnya Pandu, jelas aku nggak tau. Lalu hari ini juga gitu, dia kayak khawatir gitu karena Pandu nggak masuk sekolah. Dia sampai bela-belain tanya ke teman-teman yang lain buat tau dimana rumah Pandu.

Sebenarnya ada apa dengan Alvin? Aneh banget sikapnya itu.

“Kamu kenapa sih nyariin Pandu terus?” tanyaku ke Alvin yang masih berkonsentrasi menyimak pelajaran dari Pak Agus.
“Nggak apa-apa,” jawabnya pelan.
“Nggak mungkin kalau nggak ada apa-apa kan?!”

Sejenak dia terdiam nggak menanggapi kata-kataku.

“Emang nggak ada apa-apa kok,” jawabnya masih dengan suara pelan.

Aku berdecak kesal di buatnya. Baru kali ini dia main rahasia-rahasiaan sama aku. Biasanya aja nggak pernah. Bukan apa-apa sih, tapi rasanya aneh aja. Alvin yang selama ini takut sama Pandu malah sekarang nyariin dia. Nggak mungkin kan kalau nggak ada apa-apa?!

“Yakin nggak ada apa-apa?”

Alvin mengangguk pelan tanpa menatap ke arahku. Aku jadi semakin kesal aja.

“Okay, never mind. If you not say it, I’ll find it self,” kataku jengkel.

Alvin langsung melihat kearahku dengan kening berkerut. Aku langsung mengalihkan pandanganku darinya.

Setelah itu, selama di sekolah aku mendiamkan dia. Males ngomong sama dia. Menyebalkan.





~Alvin Pov~
“Thanks Ric,” kataku pada Rico, tapi Rico cuma diam aja, nggak meresponku.
“Sampai ketemu besok lusa We,” lanjutku, kali ini aku ngomong sama Awe.

Awe tersenyum lebar ke arahku. Sebelum turun dari mobil, aku mengusap kepala Awe pelan. Rico langsung melajukan mobilnya setelah aku turun dari mobilnya. Rasanya dia ngambek karena aku nggak ngomong jujur ke dia. Tapi menurutku, soal aku yang tenggelam di kolam ikan dan sebagainya nggak terlalu penting untuk di bicarakan. Atau lebih tepatnya terlalu memalukan untuk di bahas terus.

Dengan perlahan aku mulai melangkahkan kakiku memasuki rumah.

“Aku pulang.”
“Selamat datang den,” balas Bi Yum yang ternyata lagi membersihkan vas antic milik Mamaku, aku tersenyum ke arahnya.
“Den Alvin mau istirahat dulu atau mau langsung makan?” tanya Bi Yum.
“Istirahat dulu aja,” jawabku sambil melepas tas dan sepatuku.
“O ya udah, kalau gitu bibi bikinin minuman dulu ya,” kata Bi Yum yang langsung di sertai anggukan kepalaku.

Setelah itu Bi Yum langsung mengambil tas dan sepatuku, lalu menuju belakang. Aku langsung duduk dan menyandarkan tubuhku ke sofa yang ada di ruang tamu. Memejamkan ke dua mataku. Rasanya tubuhku agak capek karena pelajaran hari ini sudah mulai full.

Tiba-tiba aku merasakan nafasku sedikit demi sedikit terasa sesak. Aku mencoba membaui ruangan, tapi nggak ada wewangian yang tercium. Tapi nggak tau kenapa nafasku terasa sedikit sesak.

Astaga, debu. Bu Yum tadi kan baru membersihkan ruang tamu. Kenapa aku malah duduk di sini?!

Aku buru-buru merogoh kantongku, tapi alat yang aku cari nggak ada.

Ah iya di tas.

“Biiiiiiiiiii….” teriakku.

Terlihat Bi Yum dan Bi Um berlari ke arahku. Bi Yum sedikit kewalahan karena dia berlari sambil membawa minuman untukku.

“Ada apa den?” tanya mereka hampir bersamaan.
“In..inhalerku,” kataku pelan sambil berusaha mengatur nafasku, “di tas. Tolong,” lanjutku lagi.

Bi Um yang mengerti kondisiku langsung berlari kebelakang lagi, sedangkan Bi Yum langsung meletakkan minuman yang di bawanya ke atas meja lalu segera menghidupkan AC yang ada di ruang tamu.
Mungkin sebagian orang yang terkena asma akan menghindari tempat dingin, tapi nggak buat aku. Asmaku akan kambuh kalau aku menghirup debu, asap rokok atau wewangian. Kalau kena AC aku nggak masalah, malah bagus buat nafasku. Karena AC di rumahku dapat membersihkan udara kotor yang mengandung debu.

“Maaf den, bibi lupa tadi nggak ngasih tau aden kalau bibi baru bersih-bersih ruangan ini,” kata Bi Yum panic.

Aku tersenyum kearah Bi Yum yang panic.

“Aku….aku nggak apa-apa Bi,” kataku masih dengan senyuman di bibirku, aku nggak mau Bi Yum panic.

Setelah itu aku langsung berjalan meninggalkan ruang tamu menuju ruang keluarga. Aku terduduk di sofa panjang yang ada di ruangan itu, mencoba mengatur nafasku yang sudah mulai terasa sesak.

“Kamu kenapa sayang?” tanya Mama yang tau-tau sudah ada di sampingku.
“Asmaku…kambuh,” kataku terputus-putus karena aku masih mengatur nafas.
“Lho..lho..kok bisa?! BIIIIIIIIIII…..MANA INHALERNYA ALVIN?” teriak Mama panic.
“Iya Nyah. Ini baru saya ambil,” kata Bi Um sambil berlari ke arahku lalu segera menyerahkan inhaler yang ada di tangannya padaku.

Aku langsung mengocok inhaler ku lalu memposisikannya di depan mulutku. Aku membuka mulutku dan mengambil nafas dalam-dalam bersamaan dengan waktu aku menekan inhaler ku. Setelah itu aku langsung menahan nafasku selama 10 detik.

Terdengar Mama memberi komando kepada Bi Yum untuk menyalakan AC di kamarku.

“Sudah baikan?” tanya Mama masih dengan nada panic, aku cuma mengangguk sebagai jawaban.

Sebenarnya bohong. Nafasku masih terasa sedikit sesak. Tapi aku nggak mau membuat Mama bertambah panic kalau tau kondisiku.

“Ya sudah kamu istirahat aja dulu di kamar, nanti kalau sudah bener-bener baikan baru makan,” lanjut Mama lagi.
“Ya,” jawabku sambil beranjak dari sofa meninggalkan Mama yang masih menatapku khawatir.

Aku nggak langsung menuju kamar, tapi menuju dapur mengambil segelas air hangat lalu membersihkan mulutku dengan berkumur. Setelah itu aku baru menuju kamarku. Terasa dingin saat aku memasuki kamarku. AC nya terlalu dingin. Aku langsung mengecilkan suhunya, setelah itu aku membaringkan tubuhku ke atas tempat tidur tanpa melepas seragamku.

Gagal sudah rencanaku hari ini. Sebenernya siang ini aku mau ke kosnya Pandu untuk mengembalikan jaketnya, tapi asmaku malah kambuh. Menyebalkan.

Tapi kenapa ya tadi Pandu nggak masuk sekolah? Jangan-jangan dia sakit gara-gara kejadian kemarin? Tapi masa dia bisa sakit cuma gara-gara itu? Rasanya dia bukan tipe orang yang mudah sakit kayak aku. Tapi biarpun begitu aku tetap merasa bersalah. Gimana kalau dia beneran sakit?

Aku merogoh sakuku lalu mengambil secarik kertas di sana. Di kertas itu ada alamat kosnya Pandu. Tadi aku mendapatkannya dari salah satu anak yang rumahnya berdekatan dengan kosnya Pandu.

Ya udah deh nanti malam aja aku ke sana. Sekarang aku mau istirahat dulu.





~Alvin Pov~
“Mau di tunggu atau di tinggal dulu?” tanya Pak Ujang.
“Di tunggu aja Pak. Aku cuma sebentar kok,” jawabku sambil keluar dari mobil.

Aku memperhatikan rumah yang ada di depanku. Lebih tepatnya kos-kos’an. Kos-kos’an itu bercat hijau muda. Dengan ragu-ragu aku mulai melangkahkan kakiku mendekati kos-kos’an itu lalu memencet bel yang terdapat di samping pintu pagar. Beberapa detik kemudian muncul seorang cowok yang seumuran denganku.

“Cari siapa?” tanyanya ketika melihatku.
“Pandu. Eemm..aku temannya,” jawabku sedikit kikuk.

Cowok berambut fauxhawk itu sedikit terkejut mendengar jawabanku. Terlihat dia sedang memperhatikanku dengan seksama sambil membuka pintu pagar yang terkunci itu.

“Barusan dia keluar,” kata cowok itu sambil terus memperhatikanku dari atas sampai bawah. Membuat aku sedikit risih.

Keluar ya? Terus ini gimana?

Aku memperhatikan kantong plastic yang berisi jaketnya Pandu.

Apa aku titipin ke cowok ini aja ya? Tapi rasanya kok nggak sopan. Setidaknya aku harus mengembalikan jaket ini langsung ke orangnya sambil mengucapkan terima kasih sekali lagi.

“Tunggu aja di kamarnya, bentar lagi dia juga balik. Lagian di kamarnya juga ada temannya yang lain.”

Teman? Siapa temannya? Dia punya teman juga ya?

Sejenak aku terdiam. Berfikir.

“Ya sudah aku tunggu dia aja,” kataku akhirnya.

Setelah itu aku kembali mendekati mobilku.

“Pak, Bapak pulang aja. Aku masih harus nunggu temanku,” kataku pada Pak Ujang, “kalau di tanyai Mama, bilang aja Pak Ujang baru nganter aku ke rumahnya Rico,” lanjutku lagi.
“Tapi den…” Pak Ujang seperti keberatan.
“Nggak ada tapi-tapian,” kataku memutus kalimat Pak Ujang.

Setelah itu aku langsung kembali mendekati cowok tadi tanpa memperdulikan panggilan Pak Ujang. Aku mengikuti cowok itu yang sudah berjalan lebih dulu memasuki tempat kos. Telingaku langsung di sambut kegaduhan dari ruang tamu di tempat kos itu. Aku melihat ada 5 cowok yang sedang asyik bercengkrama ria.

“Siapa Do?” tanya salah satu cowok itu ketika melihatku.
“Temennya Pandu,” jawab cowok berambut fauxhawk yang ada di sampingku.

Spontan, ke 5 cowok itu langsung melihat ke arahku. Aku jadi sedikit salting juga.

“Kamu jalan aja terus, lalu belok kiri. Kamarnya Pandu ada di paling pojok,” kata cowok berambut fauxhawk itu.
“Thanks,” kataku.

Tanpa banyak tanya lagi aku langsung melangkahkan kakiku meninggalkan ruangan itu. Aku melewati kamar demi kamar. Ada yang pintu kamarnya tertutup, ada juga yang pintu kamarnya terbuka memamerkan kegiatan yang punya kamar. Untuk kos-kos’an cowok, tempat ini terbilang rapi, berbeda dengan kos-kos’an cowok pada umumnya.

Kakiku akhirnya berhenti di kamar yang paling pojok. Pintunya tertutup.
Kata cowok tadi di kamar ini ada temennya Pandu. Jadi penasaran.

Aku baru mau mengetuk pintu kamar itu, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.

“Iya-iya, aku pulang. Ah cerewet banget sih.”

Terlihat seorang cowok muncul dari balik pintu kamar itu sambil mengomel-ngomel di telfon. Dengan kesal dia mengantongi hp nya di saku celana. Dia sedikit kaget ketika menyadari keberadaanku di depannya.

“Cari siapa?” tanyanya sedikit ketus.
“Pa..Pandu,” jawabku gugup.

Dia ya temennya Pandu?

Aku memperhatikan cowok yang ada di depanku ini. Dia berbeda dengan Pandu yang wajahnya nyeremin. Dia tipe cowok keren yang bakal di gandrungi cewek-cewek. Dia juga memakai jaket yang modelnya sama kayak jaketnya Pandu.

Ternyata cowok itu juga memperhatikanku. Dia mengerutkan alisnya sambil melihatku dari atas sampai bawah, sama kayak cowok-cowok tadi.

Sebenernya kenapa sih mereka melihatku seperti itu?

“Tumben Pandu punya temen beres kayak gini,” gumamnya tanpa mengalihkan pandangannya dariku.

Hah? ‘temen beres’?? Aku maksudnya?? Jadi karena itu mereka melihatku dengan pandangan aneh tadi?!

“Pandu masih keluar, kamu tunggu aja di dalem,” lanjutnya lagi sambil memberiku ruang untuk masuk ke kamar Pandu.
“Ah iya, permisi.”

Dengan ragu-ragu aku melangkahkan kakiku memasuki kamar Pandu. Kamarnya kecil. Cuma ada lemari baju, meja tanpa kursi dan tempat tidur. Beberapa foto tua tampak terpasang di dinding kamarnya. Aku meletakkan kantong plastic yang berisi jaket Pandu ke meja yang ada di sisi tempat tidur. Sejenak aku cuma terdiam bingung. Bingung mau duduk di mana.

“Duduk aja di tempat tidur,” kata cowok itu seakan-akan tau apa yang sedang aku pikirkan.
“Iya,” kataku pelan ambil menempelkan pantatku ke tempat tidurnya Pandu. Keras, berbeda dengan tempat tidurku yang empuk.
“Kamu tunggu aja di sini. Bentar lagi Pandu juga balik,” kata cowok itu, aku cuma mengangguk, “aku tinggal dulu ya,” lanjut cowok itu sebelum hilang dari balik pintu.

Suasana hening. Sepi. Cuma ada aku di kamar Pandu. Aku mengedarkan mataku ke semua sudut kamar. Rapi. Kesannya berbeda kalau melihat sosok Pandu. Aku berdiri lalu berjalan melihat ke foto yang terpasang di dinding. Foto yang cukup tua, di foto itu banyak anak-anak SD yang berpose heboh dengan tertawa lebar. Keluguan terpancar di wajah-wajah mereka.

Siapa ya anak-anak ini?

Setelah puas melihat-lihat foto itu aku kembali duduk di tempat tidur Pandu. Iseng-iseng aku merebahkan tubuhku.

Benar-benar keras ya. Aku pasti nggak bisa tidur di tempat sekeras ini.

****************************************************************************

~Pandu Pov~
“Dari mana aja sih?!” tanya Dodo yang melihatku melintasi kamarnya yang terbuka.
“Beli nasgor. Kenapa?”
“Lama banget beli nasgornya. Temenmu udah nunggu kamu daritadi tuh.”
“O.. Ricky? Dia udah tau kok kalau aku keluar.”
“Kalau Ricky sih udah pulang tadi. Ini temenmu yang lain.”

Temenku yang lain? Siapa ya? Perasaan cuma Ricky yang sering ke kosku.

“Keliatan alim banget anaknya. Dapet dari mana tuh?” tanya Dodo penasaran.
“Enak aja ‘dapet’, kamu kira barang apa?!” jawabku jengah.

Alim?? Perasaan temenku nggak ada yang keliatan alim deh.

Tanpa banyak bicara lagi aku langsung berjalan ke kamarku. Aku sedikit terkejut ketika melihat ada cowok sedang tidur di tempat tidurku. Dengan perlahan aku berjalan mendekati tempat tidurku.

Alvin?? Ngapain dia ke sini??

Aku mengamati wajahnya. Terlihat dia sedang tertidur pulas dengan ke dua kaki yang menjuntai ke bawah.

“Vin,” panggilku sedikit menepuk paha kirinya.

Diam nggak ada reaksi.

Pulas banget tidurnya. Jadi nggak tega buat ngebangunin dia.

Aku berjalan kearah meja dan meletakkan bungkusan nasgorku di sana, tapi mataku langsung menangkap kantong plastic hitam yang sudah ada lebih dulu di sana. Setelah aku buka ternyata isinya jaketku.

Jadi dia ke sini cuma buat ngembaliin jaketku?! Padahal besok lusa juga ketemu di sekolah.

Aku berjalan lagi kearah Alvin yang tertidur. Dengan perlahan aku angkat tubuhnya lalu membenarkan posisi tubuhnya sehingga kakinya nggak menjuntai ke bawah. Setelah itu aku mengambil selimut yang ada di lemariku lalu menutupi tubuhnya.

Sejenak aku perhatikan cowok berkulit pucat itu.

Aku mengangkat sedikit tangannya.

Tubuh kok kecil banget. Sekali pukul bisa langsung hancur nih.
Aku terus mengamati tangannya yang kecil. Telapak tangannya terasa lembut dalam genggamanku, berbeda dengan tanganku yang kasar.

“Ngapain juga aku pegang-pegang tangan cowok?!” gumamku ketika sadar apa yang sedang aku lakukan.

Aku buru-buru menurunkan tangan Alvin lagi. Setelah itu aku mengambil nasgorku lalu memakannya dengan duduk di lantai. Aku melihat jam yang ada di dinding kamarku yang sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

Gimana ya ini? Enaknya Alvin di bangunin apa nggak ya? Tapi aku nggak tega buat bangunin dia. Apa aku biarin aja dia tidur di sini malam ini?
Aku memperhatikan wajah Alvin lagi. Terlihat dia masih tidur dengan nyenyaknya. Akhirnya aku putuskan nggak akan membangunkannya. Biar aja dia menginap di sini.

Karena bingung mau ngapain, akhirnya aku memutuskan untuk tidur juga. Karena nggak mungkin aku ninggalin dia buat ngumpul sama anak-anak di luar sana. Aku pun mengambil kasur lipat dari busa yang ada di dalam lemari bagian bawah lalu meletakkannya di samping tempat tidurku. Biasanya kalau ada temenku yang menginap di sini, aku menyuruhnya tidur di situ. Tapi aku nggak tega kalau memindahkan tubuh pucat itu ke kasur lipat. Karena biarpun tidurnya di kasur tetap aja di lantai.

Setelah posisi kasurnya pas, aku mengambil satu bantal dari tempat tidurku dan meletakkannya di kasur lipat ku. Aku segera merebahkan tubuhku di sana. Mencoba memejamkan mataku biarpun sebenarnya aku nggak ngantuk.





~Alvin Pov~
Dadaku tiba-tiba terasa sedikit sesak. Tanpa membuka mataku, aku meraba-raba sisi kiri bantalku mencari inhaler yang biasa aku pakai. Tapi karena aku nggak mendapatkan apa yang aku cari, akhirnya aku membuka sedikit mataku. Aku begitu kaget ketika sadar kalau tempat ini bukan kamarku. Dengan cepat aku segera bangkit dari rebahanku. Selimut putih bergaris hitam yang tadi menutupi tubuhku langsung terjatuh kepangkuanku.

“Aku tertidur di kamarnya Pandu,” desisku ketika sadar kalau ini kamarnya Pandu.

Aku langsung melihat jam dinding yang ada di kamar Pandu.

Hah? Jam satu lebih? Aku harus cepat-cepat pulang nih.

Dengan panic aku segera beranjak turun dari tempat tidurku. Tapi aku langsung terjatuh ketika kakiku tersandung sesuatu di bawah sana.

“A..aduuuhhh…” rintihku karena merasa sakit di kedua sikuku yang beradu dengan lantai ketika aku menumpu badanku.

Pandu????? Ngapain dia tidur di bawah??? (g sadar klo dia penyebabnya haha)

Aku begitu kaget ketika ngeliat Pandu tidur di lantai dengan hanya menggunakan kasur tipis. Ternyata yang menyebabkan aku terjatuh tadi adalah kakinya Pandu. Kakiku tersangkut di kakinya. Jadi posisi tubuh kami seperti membentuk huruf ‘L’. Jadi kaki sampai pinggangku ada di kasur yang sama dengan Pandu, lalu pinggang sampai kepalaku ada di lantai (isa bayangin g?). Dengan perlahan aku mulai bangkit berdiri. Tapi lagi-lagi aku harus terjatuh ketika merasakan sebuah tangan menarik pergelangan tanganku.

“Saaakkiiitttt….” rintihku lagi ketika merasakan leher belakangku beradu dengan lengan kanan Pandu.

Nggak cukup sampai di situ, tangan dan kaki kiri Pandu tiba-tiba melingkar di tubuhku. Nggak sampai sedetik, dia membalikkan posisi tubuhnya, yang awalnya dia menghadap ke kanan menjadi menghadap ke kiri dengan masih memelukku.

Astaga aku dijadikan guling >.<

“Pa..Pandu bangun!” kataku panic.

Gimana nggak panic kalau posisinya kayak gini? Baru kali ini aku di peluk orang lain selain Rico dan Awe. Apalagi yang meluk aku saat ini adalah Pandu. Waaaaaaa…. Gimana ini????

Aku berusaha lepas dari pelukan Pandu tapi sia-sia, karena aku berada di antara tubuhnya dan sisi tempat tidur. Lagian kedua tanganku juga terjepit di antara tubuhku dan tubuhnya sehingga membuatku semakin sulit untuk bergerak.

“Paaaann… ta..tanganmu..” kataku tambah panic ketika menyadari tangan kanan Pandu menyusup masuk ke dalam kaosku dan langsung menyentuh kulit punggungku, membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Aku takut. Entah apa yang aku takuti. Aku cuma merasa takut.

Lama kelamaan aku mulai kesulitan untuk bernafas. Seakan-akan nggak ada udara di dalam kamar ini. Akhirnya aku berhenti berontak ketika sadar kalau nafasku semakin sesak. Kalau aku melakukan hal yang sia-sia, aku bisa kehilangan nafasku. Lagian aku jadi nggak tega buat ngebangunin Pandu yang tertidur pulas. Yang bisa aku lakukan sekarang adalah mengatur nafasku yang hampir terputus.

Setelah nafasku kembali teratur, aku cuma bisa terdiam dalam pelukan Pandu. Dengan posisiku saat ini, aku dapat merasakan nafas Pandu di sebagian wajahku. Nafasnya teratur.

Hembusan nafas yang teratur itu karena detak jantungnya yang teratur kan?

Antara sadar dan nggak sadar aku malah menempelkan telingaku di dadanya untuk mendengarkan detak jantungnya itu.

Deg Dug.. Deg Dug.. Deg Dug.. Deg Dug.. Deg Dug.. Begitu kira-kira bunyinya.

Entah kenapa lama-lama aku jadi nyaman dalam pelukan Pandu.
Padahal tadi aku takut sama dia, tapi sekarang aku malah merasa nyaman dalam pelukannya. Aneh.

Sambil terus menempelkan telingaku di dadanya, aku mulai memejamkan mataku lagi. Mencoba untuk tidur. Aku sudah nggak menghiraukan kasur yang keras. Aku juga nggak menghiraukan cuaca yang dingin. Aku cuma merasakan nyaman saat ini.

Ternyata mendengar detak jantung orang lain bisa bikin nyaman juga ya.
~Pandu Pov~
Aku mengeliat kecil untuk meluruskan otot tanganku yang kaku. Tapi tangan kiriku terasa berat ketika mau aku angkat. Dengan perlahan aku membuka ke dua mataku.

DUUUEEEEGGGGG (begh kyk apa ya itu –a)

Jantung dan kedua bola mataku hampir copot dari tempatnya ketika menyadari ada seseorang yang tidur dalam pelukanku. Aku tambah panic dan bingung ketika sadar kalau bibir orang itu menempel pada leherku (wktu tdr, tnpa sadar alvin n pandu gerak2, jdnya bibirx alvin nempel haha) dan baju yang di pakainya sedikit terbuka, lebih tepatnya berantakan.

“Alvin?” desisku ketika aku menyadari kalau Alvin lah orang itu.

Dengan perlahan aku mulai meloloskan lenganku dari kepalanya dan segera menjauh darinya. Aku langsung terduduk di lantai dengan bersandar pada sisi meja.

Apa yang terjadi semalam? Apa aku sudah melakukan hal yang enggak-enggak padanya? Aku nggak minum kok kemarin, tapi kenapa aku nggak ingat kejadian semalam? Kalau aku dalam keadaan sadar, aku nggak mungkin lupa kejadian semalam. Lagian aku nggak mungkin melakukan hal yang enggak-enggak pada cowok. Tapi kenapa dia ada dalam pelukanku?? Sebenarnya apa yang terjadi???????

“Egghh… pagi Pan.”

DUUUUEEEEEEGGGG…

Lagi-lagi jantungku hampir copot ketika Alvin menyapaku. Dia bangun dari tidurnya dan tersenyum manis ke arahku. Membuatku jadi memikirkan yang aneh-aneh tentang apa yang terjadi semalam.

“Pa..pagi,” sapaku balik dengan sangat gugup, “a..anu. kemarin malam apa yang terjadi antara…?” aku melanjutkan kalimatku dengan menunjuk diriku sendiri dan dirinya secara bergantian.

Seketika itu juga wajah Alvin memerah. Alvin langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam. Kedua tangannya langsung sibuk merapikan bajunya yang berantakan.

Waduh jangan-jangan….

“Nggak terjadi apa-apa kok.”
“Hah??”
“Nggak terjadi apa-apa kok kemarin,” ulangnya lagi masih dengan wajah merahnya.

Aku mengernyitkan dahiku.

Aku nggak percaya.

“Lalu kenapa kamu ada di bawah? Bukannya kemarin malam kamu tidur di atas?!” tanyaku lagi.

Dia menggigit bibir bawahnya. Terlihat dia seperti menyusun kalimat yang pas untuk di keluarkan dari dalam mulutnya.

“Aku kemarin malam terbangun.”
“Terus?”
“Ehmm.. waktu aku turun dari tempat tidurmu, aku terjatuh karena kakiku tersangkut kakimu.”
“Terus??” tanyaku makin nggak sabar.
“Setelah itu kamu.. kamu memelukku karena menganggapku sebagai guling,” katanya nyaris berbisik dengan muka yang makin memerah.
“Cu…cuma itu?”

Alvin mengangguk tanpa berani menatapku.

“Bener??”

Alvin mengangguk lagi. Aku langsung menghela nafas lega.

Untung-untung nggak terjadi hal yang aneh-aneh. Bener-bener bikin jantungan aja.

“Oh ya, aku mau pulang dulu,” pamitnya, menyadarkanku dari lamunan.
“Gimana kalau aku anter?” tanyaku menawarkan diri.
“Ng..nggak..nggak usah. Aku minta di jemput aja,” katanya sambil merogoh-rogoh kantong celananya, tapi mendadak wajahnya nampak kebingungan.
“Kenapa?” tanyaku yang melihat tingkahnya yang aneh itu.
“Aku lupa nggak bawa hp,” jawabnya lirih.
“Udah deh aku anter aja,” kataku sedikit memaksa.

Terlihat dia terdiam nampak sedang berfikir.

“I..iya udah. Sorry dah ngerepotin,” katanya akhirnya.
“Biasa aja kali,” kataku sambil memakai jaket yang dia kembalikan kemarin, setelah itu aku mengambil kunci yang ada di laci meja.
“Oh ya. ehm..makasih pinjeman jaketnya. Ya biarpun telat ngembaliin jaketnya dan telat ngucapin makasihnya,” katanya pelan, aku cuma terkekeh pelan mendengarnya.
“Nggak apa-apa.”

Akhirnya kami berdua keluar dari kamar kos ku. Melangkahkan kaki kami melewati kamar demi kamar. Sepi. Nggak aneh sih mengingat ini hari minggu, anak-anak masih menikmati mimpinya.

“Dingiiinnnnn….” kata Alvin lirih ketika sudah berada di halaman depan.
Alvin menyilangkan ke dua tangannya lalu meletakkannya di depan dadanya.
“Ya jelas dingin, ini kan masih jam setengah enam,” kataku sambil melepas jaketku, “nih pakai, daripada nanti sakit lagi,” lanjutku sambil menyerahkan jaketku padanya.

Alvin menatapku bingung.

“Tapi jaket itu kan baru aku kembaliin. Masa aku pinjem lagi?” tanyanya.
“Udah deh cepet ambil!” kataku nggak sabar, “nanti kalau udah sampai di rumahmu, kembaliin ke aku lagi,” lanjutku.

Sejenak Alvin cuma terdiam sambil melihat jaket yang ada di tanganku.

“Emang kamu nggak kedinginan?” tanyanya.
“Nggak,” jawabku singkat.

Akhirnya dengan ragu-ragu dia mengambil jaket yang aku sodorkan dan langsung memakainya.

Bukannya aku sok perhatian, tapi mengingat Alvin yang sering sakit-sakitan, aku jadi nggak tega kalau melihat dia kedinginan. Lagian kalau dia sampai sakit, terus aku di salahin sama ortunya gimana?? Bisa berabe kan jadinya.

Setelah aku memberinya helm, akupun mulai mens-tarter motorku. Nggak sampai sedetik, aku merasakan Alvin sudah naik ke motorku.

“Udah?”
“Udah,” jawabnya lirih, “ah tunggu!”
“Apa?” tanyaku.
“Jangan ngebut ya, aku takut. Aku nggak pernah naik motor,” katanya pelan.
“Ya..ya..”

Akhirnya aku melajukan motorku setelah menanyakan alamat rumahnya. Aku melajukan motorku dengan kecepatan sedang. Dalam perjalanan, Alvin memeluk pinggangku erat-erat. Dia takut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar