Senin, 21 Maret 2016

Adikku Alvin Christian - Part 4

Hidup itu kejam

Namaku Alvin Christian. Aku adiknya Aditya Firdaus, tadinya. Hingga suatu ketika kakakku membaca isi hatiku yang kutuang di diary. Dia begitu marah. Belum pernah aku melihat kak Adit semarah itu. Tatapan itu serta bahasa tubuhnya, seperti bukan kakakku. Dan ia memutuskan untuk tidak akan pernah melihatku lagi. Aku hanya bisa menangis. Apakah salah jika aku mencintai seseorang? Entahlah! Hanya Tuhan yang berhak menilai. Kuputuskan untuk meninggalkan rumah yang selama ini tempatku berteduh. Meninggalkan sejuta kenangan indah yang pernah tercipta di tempat itu. Kutanggalkan uang pemberian Ibu yang selama ini kukumpulkan di dalam celengan, tak ada satupun pakaian yang kubawa atau sesuatu yang lain. Hanya baju yang melekat di tubuhku ini serta rasa luka kesedihan yang begitu dalam. Pikiranku kalut, tak sempat memikirkan bagaimana kedepannya. Aku tidak tau betapa kejamnya kehidupan di luar sana. Aku terus berjalan tak tentu arah, hanya menerka-nerka saja akan kemana kaki ini melangkah. Melewati hingar-bingar Jakarta: peralihan dari sore menuju malam. Jalan ini begitu ramai dan penuh hiruk-pikuk sedang aku merasa begitu sendiri. Kemana Ibu? Apa beliau tidak khawatir? Kenapa tidak lekas mencariku? Aku yakin aku belum terlalu jauh. Suara-suara hatiku mulai menggema dan berharap.

Hingga malam pun harus kulewati dengan tidur di emperan toko. Dingin sekali. Tanpa kasur yang nyaman, bantal yang empuk serta selimut yang hangat. Kulihat tidak cuma aku yang memanfaatkan lapak itu, ada bapak-bapak pemulung, nenek-nenek pengemis berbaju lusuh dan seorang Ibu dengan anaknya. Miris aku melihatnya, tak ada yang peduli dengan nasib orang-orang malang ini. Dan sekarang aku bagian dari orang yang malang ini. Hatiku jadi tergelitik sendiri menyadari kenyataan itu. Ah sudahlah, sebaiknya aku tidur, biar udara malam saja yang menjadi selimut tidurku.

Paginya aku dibangunkan oleh satpam toko. Kasar sekali, bapak-bapak bertubuh besar itu seenaknya menendang tubuhku. Sakit dan nyeri bersarang di tubuhku, kupaksakan bangkit dan pergi. Kudengar pria itu bersumpah serapah. Seakan aku ini sesuatu yang begitu hina dan pantas diperlakukan semena-mena. Aku cuma bisa meringis kesakitan. Aku tak punya tujuan yang jelas. Kalau begini terus yang ada aku akan terus ditindas. Aku harus punya rencana. Kuputuskan untuk berteduh sebentar di sebuah masjid yang terdapat di perkampungan belakang pertokoan. Sekaligus sholat, aku minta petunjuk kepada Allah. Aku yakin Dia tidak akan meninggalkanku, meski akunya tidak sesuai kodrat. Perutku melilit serta keroncongan, sejak kemarin sore aku belum makan. Kucoba tahan dengan meminum air dari keran wudhu. Setidaknya perutku ini tidak kosong-kosong banget. Aku menghela nafas panjang, begini toh rasanya jadi tuna wisma. Pertama aku harus punya pekerjaan! Untuk bertahan hidup. Ada tukang cuci piring, tukang parkir, kuli pasar, mengamen atau memulung. Tinggal pilih saja! hahahha! Aku tertawa menertawai nasibku dan betapa beratnya hidup ini.

Kuakui aku gegabah dengan tindakan ini. Kabur tanpa membawa apapun kecuali baju yang masih menempel di badanku. Cuma bermodalkan kenekatan seorang anak remaja labil. Saat itu yang ada di pikiranku adalah menjauh, pergi dari kehidupan Ibu dan kak Adit. Aku berharap Ibu mencariku dan mengajakku kembali ke rumah. Tapi sepertinya itu tidak mungkin, selama kak Adit tidak menginginkan aku semuanya hanya akan sia-sia. Semangatku mendadak layu ; sepertinya pantang kalau mengingat kak Adit. Ya sudahlah! Aku bangkit dari duduk-dudukku, waktunya menyingsingkan lengan baju dan bekerja. Di dekat sini kan banyak warung makan kaki lima, mungkin dengan bantu mencuci piring aku bisa mendapat makan. ‘kan lumayan, hehehe. Bismillah! Semoga saja disana ladang rejekiku. Tapi sebelum bekerja ada baiknya aku mandi, biarpun bajuku kelihatan dekil tapi orangnya kan tidak boleh ikutan dekil juga. Saat aku ke kamar mandi ada larangan jelas: DILARANG MANDI DAN BUANG AIR BESAR! Di pintu kamar mandinya. Tapi aku tetap mandi juga. Maafkan aku ya Allah.. aku janji kalau dapat upah pertama nanti sebagian akan kusisihkan untuk amal di masjid ini, ucapku dalam hati sebelum melakukan guyuran pertama. Selanjutnya aku berusaha untuk tidak seriuh mungkin, supaya orang masjidnya tak ada yang curiga.

Selesai mandi setidaknya aku tampak lebih segar. Bajuku agak lembab karena aku tidak mengeringkan tubuhku. Aku celingak-celinguk sedikit, tak ada tanda-tanda pengurus masjidnya. Kulihat cuma ada seorang laki-laki sedang berwudhu. Aku pun jalan meninggalkan kamar mandi itu seperti tak punya dosa. Dan melangkah keluar dari masjid. Kulihat di depan masjid ini ada mobil sedan merah wine diparkir. Apa mungkin punya laki-laki tadi ya? Kulihat sekilas sih pakaiannya kelihatan mentereng. Dan juga tadi juga tidak jelas dia itu betulan wudhu atau cuma cuci muka. Mobilnya bagus juga sih, terlihat terawat dan mengkilap.Pilihan warna merah wine nya sangat bagus. Apalagi jendelanya dipasangi kaca film membuat mobil itu tampak keren. Tak bosan kuperhatikan dari atas sampai bawah.
Tiba-tiba radarku berbunyi, pasti ada sesuatu nih! Aku menoleh ke belakang: laki-laki pemilik mobil itu terlihat sedang mengamatiku dari dalam masjid. Daripada terjadi hal yang tak diinginkan aku lebih memilih pergi: jalan yang cepat.

Aku pun melanjutkan niatku sebelumnya: cari kerja. Meski cuma diupah makan tapi tak apalah, yang penting ada hasilnya dan bukan mengemis. Satu persatu wajah pemilik warung kuperhatikan. Begini-begini aku mesti pintar memilih-milih calon bos. Yang kelihatan jutek aku lewati dan yang kelihatan baik yang aku datangi. Dari sekian warung aku memilih yang tukang pecel dulu, seorang ibu-ibu.
“permisi, maaf bu..” aku menyapa sesopan mungkin.
Si ibu yang tengah bermain handphone seketika beralih kepadaku. “ya, de.. ada apa?”
Melihat penampilanku yang agak kumal begini pasti dia tidak berpikir aku akan beli.
“begini bu, err.. saya boleh gak kerja disini?”
Ibu itu terdiam sejenak, mengamatiku dari atas sampai bawah. Entah kenapa sorot matanya yang tadi normal berubah jadi menyebalkan.
“terserah deh Ibu mau suruh saya ngapain. Mau cuci piring, goreng ayam, ulek sambel, kupas bawang atau bersiin kompornya. Saya cuma buat makan aja, bu. Dari kemarin saya belum makan,” aku sedikit jujur, berharap si ibu itu iba.
Tapi sayang ibu itu hanya menggelengkan kepala. “saya masih belum butuh tambahan orang, masih bisa sendirian.”
Aduuh! Si ibu ini, aku kan tidak bilang mau kerja dengan dia SELAMANYA. Sebaiknya aku pergi, percuma juga kalau aku jelaskan lagi. Kudatangi warung yang lain dan selanjutnya pun hasilnya pun sama, bahkan sempat ada yang menyiramku dengan air cucian piring, untung saja cuma kena sedikit. Aku tidak terima diperlakukan seperti itu, tapi yang nyiram orangnya besar dan seram seperti preman. Aku memilih menyerah.

Matahari sudah semakin tinggi tapi masih belum ada yang butuh tenagaku. Aku memilih duduk-duduk dulu di bangku taman. Lelah juga, apalagi suara perutku sudah seperti konser band keras: tidak karuan dan bertalu-talu. Aku duduk termenung, baru sehari saja jadi orang terlantar aku menderitanya terasa luar biasa, hebat ya mereka yang terbiasa hidup susah. Kalau begini terus kurang dari tiga hari aku pasti tewas duluan tapi jika balik ke rumah rasanya gengsi, menghancurkan harkat dan martabat. Ku hela nafas panjang. Hidungku begitu sensitif mengendus bau makanan. Tak jauh dari taman ada tukang mie ayam dan bakso. Apalagi keduanya sedang kebanjiran pembeli. Hampir saja air liurku menetes melihat pemandangan itu. Kalau minta-minta aku gengsi tingkat dewa deh, harga diriku mau ditaruh dimana? Aku melirik kiri-kanan, mungkin saja ada sesuatu. Sesuatu yang bisa membuatku memiliki uang. Aku langsung kesana.

Aku tak sengaja melihat sebuah bangunan yang terhalang rumah-rumah berlantai satu. Bangunan itu tampak agak tua dengan dindingnya bercat putihnya yang sudah pudar dan berlumut. Bangunan itu dihiasi papan yang bertuliskan Panca Wardana. Papan itu tidak terlihat usang sama sekali. Hatiku tergerak untuk kesana. Kupikir disana adalah gudang logistik sebab beberapa truk berisi karung-karung berat beberapa kali mengarah kesana. Tak terlalu jauh dari taman, cuma beberapa blok dan akhirnya aku tiba di gudang itu. Gudang yang berdekatan dengan pasar induk itu tampak ramai. Kuli-kuli dengan tubuh kekar dan kuat mengangkuti barang-barang dari truk ke dalam gudang. Aku masih berdiri mematung menatap kehiruk-pikukan kegiatan para manusia di hadapanku.

Di pikiranku mulai berkecamuk tak karuan. Jadi kuli? Pasti berat! Kerja kasar gitu. Tapi kalo gak kerja gak akan makan, gak makan akan sangat menyiksa. Nanti sakit, sudah begitu gak ada yang ngerawat. Lama-lama mati di pinggir jalan. Paling tinggal dikubur aja di pemakaman umum, sudah begitu kuburan satu berdua lagi. Kalau aku mati nanti kak Adit dan Ibu gak tau. Sudahlah! Coba saja dulu, kerja halal ini. Cuma perlu penyesuaian aja, nanti lama-lama juga terbiasa. Okeh! Aku melangkahkan kakiku menuju kesana, permisi sajalah sama mandornya. Pak mandor tampak dengan topi dibalik, jaket rompi yang mirip dengan milik densus 88 serta buku catatan.

Tidak sulit untuk meyakinkan mandornya untuk menerimaku, sebab anak-anak yang seumuranku bahkan dibawahku banyak juga. Dan berhubung badanku kecil dan masih dibawah umur aku dikasih bagian ngangkut yang ringan-ringan saja. Meskipun ada juga anak-anak seumuranku yang diperbolehkan menangani bagian yang ‘berat-berat’ tapi kelihatan badan mereka kekar-kekar. Seratus delapan puluh derajat denganku. Aku tidak bisa membayangkan seandainya badanku sekekar mereka juga. Pasti akan jadi dikagumi para gadis. Tunggu dulu.. aku kan tidak berminat dengan gadis-gadis, tapi juga kalo diminati para lelaki kesannya aneh (menurutku). Halah! Meskipun badanku kekar tetap saja kak Adit tidak tertarik!
“woii, tong.. salah masuk kamar ente! Haduh, gimana sih? Ngelamun aja toh ..” salah seorang mandor meneriakiku.
Karung beras kupanggul tapi aku sendiri malah menuju gudang gula. Wah! Saat kerja harus fokus, malu juga diteriaki seperti itu. Aku sempat melihat beberapa kuli tersenyum-senyum melihat perbuatanku. Mukaku malah tambah merah. Aku benar-benar mati kutu jika sudah malu, akhirnya kukerahkan 90% tenagaku (kalau 100% bisa tepar) menyelesaikan tugas.

Kira-kira dua jam aku hilir mudik ‘nguli’ akhirnya selesai juga (memang karena tubuhku sudah tak bisa kuajak kerja lagi) setelah itu pak mandor memberikan upahku.
“dua puluh lima ribu, coba diitung lagi!” ujar pak Mandor menyodorkan beberapa lembar uang yang ada ditangannya.
Uangnya recehan lima ribu dan sepuluh ribuan, kuhitung-hitung lagi dan pas. Lumayan, lumayan alhamdulillah!
“besok masih balik lagi?” tanyak pak mandor sambil menghitung (berlembar-lembar) uang yang digenggamnya.
“iya, bang!” jawabku mantap.
“okeh,” sahut pak mandor dengan enteng kemudian berbalik meninggalkanku.

Kutatap sebentar recehan sebesar tujuh puluh lima ribu di tanganku ini. Upah pertamaku, sepertinya bagus kalau aku bingkai, hihihi. Waktunya pulang.
Aku berbalik dan berjalan dengan hati yang senang. Akhirnya bisa makan juga, perutku juga sudah riuh tak sabar diisi dengan makanan.
“de, sini dulu duduk! Abis nguli cape’ kan?” seru seorang bapak-bapak saat aku lewat. Bapak-bapak itu sedang duduk-duduk melepas lelah bersama rekan sejawatnya.
“duduk dulu lah, ada minuman ama singkong rebus nih. Lumayan buat ganjel perut ..” celetuk yang lainnya.
Untuk menghormati ajakan mereka aku pun bergabung. Mereka menyodorkanku dengan serantang singkong rebus, kuambil saja satu. Aku sebenarnya kurang terlalu suka singkong rebus, lebih enak digoreng. Ada juga anak sepantaranku yang tadi, dia sedang asyik menikmati kepulan asap tembakau yang terkenal sebagai rokok kuli. Anak itu sadar aku perhatikan, ia pun menyodorkan rokok yang ia pegang. Wah, bukan itu yang aku maksud mas..

Mereka mengajakku ngobrol panjang lebar, sesekali diselingi candaan meski agak kasar. Tapi secara keseluruhan mereka orang yang baik-baik, jauh dari pikiranku selama ini. Benar juga yang dibilang pak ustadz a.k.a Kak Adit: kita harus selalu berpikir positif.
“tong, kok lu cakep-cakep malah nguli? Gue berani taruhan lu dari keluarga berada!” tiba-tiba seorang mas-mas kumisan nyeletuk. “keliatan lu bersih dan terawat, beda ama kita-kita ..”
“ah gak juga, hehe ..” jawabku yang masih tak pintar mencari alasan.
“kite? Lu doank kali gus, gue mah kagak!” sahut seorang lagi yang logatnya betawi sekali, dan diikuti gelak tawa yang lainnya.
Aku ikut-ikutan tertawa saja. Mereka pun memperkenalkan diri masing-masing. Berhubung aku adalah tipe yang susah hafal nama orang sekaligus, yang aku ingat cuma yang seumuran denganku saja. Yang sedang kumpul-kumpul saat itu ada tiga orang: Joko, Farhan dan Dadan. Khas nya kuli, badan mereka terlihat berbentuk meski usianya sepantaran denganku.

Setengah jam aku kumpul-kumpul bareng mereka, setelah itu aku pamit pulang. Di depan gudang sempat kulihat pak mandor sedang berbincang bincang dengan orang yang kupikir bos. Penampilannya mentereng berdasi pula, potongan rambut mahal, sepatu hitam mengkilap dan wajah orang yang berpendidikan tinggi. Kapan ya aku bisa jadi bos? Khayalku sambil jalan. Ups! Si bos melihat ke arahku, mungkin dalam pikirannya: gembel mana lagi ini yang jadi kuli? Hihihi.

Hari kedua aku bekerja, barang diangkut ke truk lebih banyak daripada yang diangkut ke gudang. Kata pak mandor ada trader yang ingin memborong persediaan beras. Bisa dibayangkan besar dan beratnya karung beras untuk anak seukuran aku. Sedikit-sedikit aku diam sebentar mengatur nafasku yang tak beraturan. Sementara yang lain dengan cekatan memindahkan karung-karung beras sebesar gunung itu ke truk tronton yang disiapkan. Masih penyesuaian masih penyesuaian, gumamku dalam hati seraya meyakinkan.
“kalo cape jangan maksain diri, tong ..” ujar seseorang dari belakang yang mengagetkanku.
Ku tengok sosok dibelakangku itu: pak mandor sedang menatapku lurus-lurus. Matanya terlihat memicing lurus ke arahku. Aku menelan ludah, agak seram sekaligus risih juga dilihati seperti itu.
“istirahat sebentar aja juga fit lagi pak,” jawabku mencoba meyakinkannya.
“badan lu kecil tong, otot gak ada, baru bawa lima karung beras udah ngos-ngosan ..?” cecar pak mandor tanpa ampun.

Aku agak gondok juga kalau dibilang begitu (meskipun itu kenyataannya) tapi berhubung dia atasan dan aku bawahan aku cuma bisa woles saja. Pak mandor kemudian meninggalkanku yang sedang mengatur nafas. Beberapa menit kemudian aku siap nguli lagi. Belajar dari yang pengalaman (baru tadi) aku sebisa mungkin melakukannya dengan tidak buru-buru, tidak perlu penuh semangat. Bismillah! Aku kembali ke medan laga.

Hari ketiga dan beberapa hari seterusnya job masih sama: yakni angkut-angkut karung beras dan karung gula. Tapi kebanyakan karung beras yang seperti bayi gajah Thailand bagiku. Aku sudah berusaha sebaik mungkin tapi hasilnya tidak jauh beda dengan yang kemarin, aku masih jadi yang paling pertama ngos-ngosan. Dan kembali istirahat menepi. Keringatku mengucur deras bak air pancuran kamar mandi. Lepek dan demek deh nih baju, gumamku dalam hati. Mana ini satu-satunya baju yang aku punya lagi. Kalau malam ini kucuci, aku pakai apa? Masak koran bekas? Memalukan. Pikiranku mulai menggema tak menentu. Hingga aku tak menyadari derap langkah pak mandor yang mendekat ke arah posisiku.
“gue bilang juga apa tong dari kemaren,”
Aku terloncat kaget, suara pak mandor tidak terlalu membahana tapi akunya yang kaget sekali. Kulihat ia berdiri dengan tegak di belakangku sambil geleng-geleng. Tangannya langsung menyodorkan segelas-kardus minuman. Minuman isotonik yang mengandung ion dari air kelapa.
“takutnya dehidrasi trus megap-megap kehabisan napas,” tambah pak mandor saat kuterima.

Segar sekali sebab minumannya masih dingin. Rasanya juga alami manis sehingga aku penasaran untuk menenggaknya lagi. Pak mandor masih berdiri di dekatku sambil memeriksa lagi catatan stok dan surat jalan. Beberapa menit istirahat tenagaku sudah full-charged dan minuman isotonik itu juga sudah habis, waktunya kerja lagi. Aku beranjak dari posisi duduk, tiba-tiba pak Mandor menahan bahuku dan mendorong ke bawah sehingga aku kembali ke posisi duduk. Aku langsung menatapnya dengan heran.
“udah duduk aja disini, gak usah ngangkut-ngangkut,” ujar pak mandor yang masih melihat-lihat catatannya, tanpa menatapku.
“kalo gak kerja saya gak makan pak,” aku protes tapi lebih terdengar nada melas.

Tiba-tiba dia menatapku dengan tajam (matanya memicing) aku langsung ciut. Tangannya menarik bajuku ; mengisyaratkan agar aku berdiri.
“ikut saya,” ujarnya dengan nada dingin.
Dengan takut kuikuti dia, meski beberapa kali dia membentakku karena jalanku lama. Bukan membentak sih sebenarnya tapi cuma menegur, suara pak mandor tinggi kalau ngomong jadi setiap dia bicara terdengar seperti orang membentak. Pak mandor membawaku ke area belakang bangunan, jauh dari ruangan-ruangan penyimpanan. Dan tibalah kami di sebuah ruangan. Aku sendiri tidak tau ada ruangan seperti ini di bangunan ini. Ruangan ini bisa dibilang kamar tidur, sebab ada tempat tidur pendek lengkap dengan kasurnya, sebuah meja berlaci, lemari kecil dan jendela yang menghadap ke belakang bangunan. Aku memandang sekeliling ruangan ini, berbanding terbalik bangunan gudang yang lebih mirip rumah tahanan.

“saya ngeliat kamu tidur di emperan toko tadi pagi,” ujar pak mandor tiba-tiba yang sekaligus mengagetkanku.
Kulihat dia tengah menatapku dengan serius. Aku jadi salah tingkah dan langsung keringat dingin.
“kamu gak punya rumah emangnya?” tanya pak mandor lagi.
Aku diam tak menjawab. Antara takut dan bingung mau jawab apa. Pak mandor tampak tak sabaran denganku.
“yaudah, soal itu nanti kita bicarakan lagi. Untuk sementara, selama kamu masih kerja disini kamu boleh pakai kamar ini ..” ujar pak mandor.
“eh, serius pak?” aku kaget sekaligus senang mendengarnya.
“di lemari udah ada beberapa setel baju, kamu bisa pilih dan ganti-ganti ..” tambah pak mandor seakan tak menggubris kata-kataku sebelumnya. “karena saya perhatiin baju kamu itu-itu aja,”
Aku terdiam mendengarnya, tak kusangka pak mandor yang galak (penilaianku selama ini) ternyata orang yang baik dan peduli.

“terima kasih ya pak,” ujarku sambil tersenyum lebar.
Pak mandor menyodorkan kunci ruangan itu tepat di depan mukaku. “pegang kuncinya. Gunakan kamar ini saat malam menjelang kamu tidur aja, gak enak kalau kelihatan orang ..”
“iya pak! Terima kasih ..” ujarku mengucap terima kasih lagi. Yang tadi saja seakan tidak didengar oleh pak mandor.
Pak mandor mengacak-acak rambutku seenaknya, sempak kulihat sekilas bibirnya tersenyum kecil namun langsung tertutupi dengan ekspresi wajahnya yang dingin.
“nanti kamu angkut barang datang aja, gula pasir. Gak terlalu berat kok buat ukuran kamu,” ujar pak mandor kemudian meninggalkanku di kamar. Melengos begitu saja.

Dan ucapan terima kasihku sama sekali tidak digubrisnya. Menyebalkan, tapi alhamdulillah ini rejeki.

Masalah Baru

Seminggu lebih sudah aku bekerja di pabrik logistik, aku sudah cukup mengenal situasi dan orang-orang disana. Aku sudah akrab dengan pak mandor yang bernama pak Beni. Aku baru sadar pak Beni itu orang chinese dan usianya dua puluh delapan tahun. Selama ini aku kurang ngeh kalau ternyata memang matanya yang sipit. Habis kalau matanya itu lebih seperti sedang memicing. Dan berhubung mataku juga agak sipit dan berkulit putih persis seperti orang chinese, yang lain sering menggodaku adiknya pak Beni. Dan gara-gara itu pak Beni pun malah dekat denganku. Ya gak apa-apalah, lumayan kalau urusan makan siang ada yang tanggung.

Pak Beni itu orangnya 11:12 denganku, kalem dan cenderung terlalu pendiam. Kalau tidak diajak ngobrol pasti diam dan baru ngomong kalau memang perlu. Tak ada usaha untuk membuka obrolan sehingga mau tak mau aku terus yang cari topik pembicaraan. Meskipun begitu, saat sudah masuk topik pembicaraan, pak Beni orangnya asik dan seru. Dia selalu punya pendapat-pendapat yang menarik. Seperti misalnya saat kami membicarakan tentang polisi.
“saya sebenarnya termasuk orang yang paling gak suka sama polisi. Mentang-mentang berseragam aparat lagaknya tengil, tapi kinerja nol besar. Apalagi sama yang namanya polisi lalu lintas, gerah saya ngeliat mereka. Apalagi kalau tanggal tua, tanggal panen uang. Pernah saya ditilang cuma gara-gara pelek yang saya pakai gak sesuai standard. Coba kamu bayangin! Pelek yang sekecil itu. Pengen banget saya tabrak tuh polisi biar cacat sekalian ..” pak Beni bercerita dengan penuh ekspresi, sambil sesekali mulutnya mengunyah kerupuk kulit.

“tapi pernah satu kali, waktu saya buru-buru ke rumah bos saya ditilang. Masalahnya karena helm yang saya pakai gak sesuai standard. Berhubung saya lagi buru-buru, saya salam tempel lima puluh ribu ke polisi itu. Bukannya dikantongi malah dibalikin lagi uangnya. Dia malah bilang,
‘maaf pak, saya gak nerima yang beginian. Mendingan uangnya bapak simpan buat denda di sidang nanti,’.
Wah saya langsung emosi ‘kan, trus saya bilang, ‘lu polisi pake munafik, sok suci gak nerima uang beginian!’. Polisi itu mukanya merah nahan emosi, dia natap saya lurus-lurus dan saya bales tatap nantangin.
Kemudian dia bilang begini ke saya, ‘maaf pak, saya tau image polisi yang bapak tau adalah orang yang hobi malak di balik seragam aparat. Tapi tolong jangan pukul sama rata semua polisi seperti itu. Dan maaf, meski saya polisi tapi saya gak gelap mata seperti kebanyakan rekan-rekan saya yang lain. Mungkin gaji saya gak sebesar anggota DPR, tapi itu cukup untuk memenuhi kebutuhan saya dan keluarga saya. Masih lekat ajaran orang tua saya dulu untuk berprilaku jujur. Saya pun masih punya iman, punya malu dan ingat dosa. Tuhan itu Maha Melihat pak,’.
Saya langsung diam mendengar kata-katanya. Saya gak nyangka di zaman sekarang masih ada polisi yang jujur seperti dia ..”

Aku juga tertegun sekaligus takjub mendengar cerita pak Beni. Masih ada ya polisi jujur seperti itu, seandainya ada penghargaan kejujuran, aku yakin polisi itu masuk nominasi dan juara.
“oh iya, vin. Kamu itu chinese ya?” tanya pak Beni mendadak menatap lekat kepadaku. Matanya yang sipit memicing sehingga terlihat seperti garis.
“banyak yang bilang begitu, tapi bukan! Saya orang pribumi,” jawabku yang sebenarnya agak grogi kalau dipandangi seperti prasasti kuno seperti itu.
“abis, kamu lebih mirip orang chinese daripada pribumi, hahaha ..” ujar pak Beni lagi. Ia tertawa keras sekali sampai semua mata tertuju padanya (dan aku).
Aku cuma cengar-cengir tak jelas, ingin pura-pura gak kenal tapi semua orang di kantin sudah tau aku anaknya pak Beni.

“bapak sendiri orang yang jujur gak?” aku balik bertanya.
Pak Beni sempat mendelik sebentar kearahku, ia mendengus tersenyum. “dulu yang namanya kejujuran itu nonsen bagi saya. Cuma sebuah teori orang-orang sok suci yang iri dengan keberhasilan orang sukses. Memang kalau kita lihat jaman sekarang yang namanya kejujuran itu langka, yang ada adalah keegoisan diri sendiri untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Dan begitu pula saya, saya belajar dari senior-senior saya bagaimana berbisnis di dalam bisnis, dari cara bersih sampai yang paling kotor. Kalau saya ambil jalan tengah saja, yang aman tapi menguntungkan. Prinsip saya waktu itu adalah jika dunia ini tak adil, maka kita sendiri yang buat keadilan itu. Ngerti kan maksud saya?”

Aku mengangguk-angguk saja meski aku agak lama mencerna kata-kata pak Beni.

“setelah saya bertemu dengan polisi itu, saya jadi merenung. Ada perang batin di dalam diri saya, teori dan jalan hidup yang saya jalani selama ini sepertinya bukan jalan yang benar. Perang batin itu benar-benar tidak biasa sampai-sampai saya sakit panas semalaman. Besok paginya pas bangun saya akhirnya mendapat sebuah pencerahan yang simpel tapi mencakup semua hal, yakni hukum karma itu berlaku ..”
Pak Beni nyengir lebar kepadaku, ia tampak bangga atas pencerahan yang ia dapatkan itu.

“satu lagi, vin. Kamu jangan pernah nganggap remeh peraturan!” pak Beni menambahkan.
Aku mengerutkan dahi, pak Beni malah mengacak-acak rambutku sampai tidak karuan. “cuma orang yang gak punya otak yang bilang peraturan itu dibuat untuk dilanggar, apalagi kalau dia yang bikin aturan dia juga yang ngelanggar. Ingat dan camkan itu baik-baik!”
“iyaa, pak ..” jawabku sambil merapikan kembali bentuk rambutku dengan muka cemberut.

Yang kudengar dari teman-temanku, pak Beni itu tergolong orang yang pendiam dan jarang ngobrol. Kalau makan siang biasanya sendirian atau kalau sedang ada bos, dia bareng si bos. Makanya baru kali ini dengan kemunculanku, pak Beni menjadi orang yang lebih ‘ceria’. Pak mandor itu benar-benar menganggapku adiknya. Usut punya usut sih katanya pak Beni punya adik yang seumuran denganku tapi sudah meninggal karena over dosis dicekoki teman-temannya yang nakal. Aku bisa bayangkan betapa sedihnya pak Beni menghadapi kenyataan itu.

Dan sialnya kedekatanku dengan pak Beni membuat beberapa orang iri dan tidak suka. Mulai deh kelihatan wujud aslinya orang-orang Panca Wardana. Dari sindiran halus sampai kata-kata yang bikin kuping panas:
“diperhatiin banget ama pak mandor, jadi ngiri ..”
“enaknya yang jadi ade pak mandor ..”
“yang udah bertahun-tahun kenal diperlakukan biasa aja, ini yang anak baru kemaren udah diistimewakan sekali ..”
“pake pelet kali tuh bocah,”
“kayaknya dia kucingnya pak Beni deh,”

Awalnya aku agak asing dengan istilah “kucing”, tapi akhirnya aku tau maksudnya. Kucing bisa dibilang simpanan oom-oom hidung belang. Sama seperti brondongnya tante girang. Kalau tante girang berarti kalau oom jadi oom senang. Perbaikan: kucing bisa dibilang simpanan oom senang. Yeah! Itu lebih baik. Tapi aku jadi senewen, bisa-bisanya mereka bilang begitu. Meski kenyataannya pak Beni sampai sekarang tak pernah terlihat menggandeng cewek atau bahkan bercerita tentang wanita yang ia sukai. Tapi mungkin saja kan dia terlalu fokus sama pekerjaannya sehingga mengesampingkan cari jodoh.

Kalau disindir-sindir begitu pak Beni punya jawaban sendiri.
“masalah gitu buat lo?” balas pak Beni dengan ekspresi wajah dingin yang merupakan khasnya.
Biasanya kalau dia sudah ngomong begitu, si penyindir cuma bisa diam menahan gondok setengah matinya. Lain pak Beni lain lagi aku, kalau pak Beni yang memang punya kekuatan dan kekuasaan sedang aku cuma seorang kuli ingusan yang baru berumur belasan tahun. Aku cuma bisa diam dan pura-pura tak peduli meski hatiku rasanya serasa dicabik-cabik macan. Tidak sampai disitu, biasanya teman-temanku seprofesi begitu ramah dan ramai sekarang agak berbeda denganku. Tidak semuanya sih tapi banyak diantara mereka bersikap agak dingin dan menyebalkan kepadaku. Aku cuma bisa usap dada, kalau begini sekarang prinsipnya: sama-sama cari uang, masing-masing sajalah.

Sampai suatu ketika, waktu sudah menunjuk pukul 07:15 malam, aktifitas di gudang senyap sudah. Aku pun bersiap menuju kamarku lewat halaman samping gudang. Tiba-tiba saja tubuhku ditarik dan diseret paksa. Mulutku dibekap dengan tangan (yang baunya seperti ikan, hoeeek). Ada lebih dari satu: tiga orang, mereka membawaku ke belakang bangunan dan mendorongku ke tembok dengan keras. Spontan aku meringis menahan sakit, kutatap tiga orang pengeroyokku itu. Dua diantaranya kuli berbadan besar dan satu lagi mandor juga yang setara dengan pak Beni. Yang satu langsung memukul perutku keras sekali, hampir saja aku muntah kalau aku tak coba menahan sekuat tenaga. Aku terjerebab ke tanah sambil memegangi perutku.

Rambutku dijenggut dan kepalaku ditarik keatas dari posisi tersungkur. Aku sedang beradu mata dengan mandor yang kuketahui namanya Sukro.
“baru bocah udah banyak lagak,” ujarnya dengan nada menyebalkan.
Dan wajahku langsung diludahinya dengan ekspresi jijik. Sukro melepas jenggutannya dari kepalaku seakan sedang membuang sampah.
“lu masih ingusan, mending jadi anak baik aja buat dapet duit. Jangan pake cara ngejilat segala, mentang-mentang si Beni doyan juga ama laki ..” tambah si Sukro kemudian berbalik dan meninggalkanku. Salah satu dari kuli itu menginjak punggungku, keras sekali. Bisa dibayangkan tenaga kuli seperti apa. Kurasakan ada bunyi krek dari punggungku, entah patah atau ada urat yang bergeser. Untuk berdiri terasa sakit sekali, yang bisa kulakukan cuma ngesot. Aku coba saja mengesot sampai ke kamar. Uugh! Suster ngesot gak cape apa kemana-mana ngesot seperti ini, belum kalau tanah tempat ngesotnya kotor, becek atau penuh tanaman berduri. Kasihan kasihan kasihan. Cukup memikirkan yang aneh-aneh, fokus ke diri sendiri dulu.

Aku tidur dalam posisi tengkurap, kamar tidak aku kunci hanya pintunya aku tutup rapat. Rasanya sudah tak ada lagi tenaga untuk menguncinya.

***

Bangun-bangun tubuhku serasa remuk, untuk bangkit ke posisi duduk harus pelan-pelan sekali. Salah gerakan sedikit saja tulang punggungku terasa mau rontok. Kulirik ke jam tangan yang kujadikan jam kamar: jam sembilan pagi. Matahari pun sudah bersinar terang menembus jendela kamar. Nyenyak juga tidurku ini, tidur menahan penderitaan. Aku kembali rebahan, badanku masih belum bisa diajak bekerja. Kupejamkan mata sebentar dan tanpa sadar membiarkan alam bawah sadar memanjakanku sesaat.

Terdengar suara pintu kamar diketuk, aku memaksa membuka mata. Badanku masih sakit, sampai-sampai tidurku terasa sangat tidak nyaman. Frekuensi suara ketukan itu makin sering, dengan malas aku bangkit ke posisi duduk. Kulirik sekali jam tanganku: jam sepuluh. Eh?! Jam sepuluh? Rasanya baru memejamkan mata selama lima belas menit. Magic sekali yang namanya tidur itu. Kenop pintu perlahan berputar dan daun pintunya terbuka, sosok pak Beni pun muncul di daun pintu yang setengah terbuka. Wajahnya kelihatan khawatir, melihat keadaanku tampak memprihatinkan ia langsung masuk.

“kamu sakit, vin?” tanya pak Beni sambil memeriksa badanku.
“aaw!” aku spontan mengerang saat pak Beni tidak sengaja menyentuh punggungku. Aku paling tidak bisa menyembunyikan sesuatu apalagi rasa sakit.
“punggung kamu kenapa?” tanyanya kemudian berpindah posisi ke belakangku.
Ia langsung melepas kaos yang kupakai dan memeriksa punggungku. Ada biru-biru di bekas injakan si kuli itu. Jelas sekali.
“ini kerjaan siapa, vin?” tanya pak Beni dengan nada marah.
“ketimpaan barang, pak ..” aku berusaha mencari alasan yang bagus.
“jangan bohong sama saya, vin!” omel pak Beni. “saya tau kamu gak pinter bohong,”
Sial! Tau aja lagi, gumamku dalam hati. Tapi aku tidak berani bilang jujur sekarang sehingga aku cuma diam saja. Mulutku terkunci rapat.

“ya udah, sekarang kamu harus diobati dulu!” pak Beni menyerah.
Ia pun memapahku ke mobilnya dan langsung berangkat menuju klinik langganan pak Beni. Selama di mobil pikiranku masih terngiang kata-kata Sukro: mentang-mentang si Beni doyan juga ama laki. Apa benar kata-kata si Sukro itu. Kalau memang benar, berarti pak Beni sejenis denganku. Tapi entah kenapa aku jadi ngeri sendiri jika itu memang benar. Kulirik sekilas pak Beni yang sedang konsentrasi penuh menyetir. Ya Tuhan, aku percaya aku berada di tangan orang yang baik.

Sekitar lima belas menit perjalanan tibalah kami di sebuah klinik. Kliniknya cukup besar dan ramai. Belum sempat membaca nama kliniknya, pak Beni sudah keburu menarikku. Aku disuruh duduk menunggu sementara dia mengurus administrasi. Kulihat kebanyakan pasien-pasiennya yang sedang duduk menunggu giliran adalah‘orang kelas bawah’. Apa di klinik ini murah ya?
“ayo, vin ..” pak Beni mencolekku.
“emangnya gak nunggu dipanggil?” tanyaku keheranan. Kok cepat sekali tanpa harus menunggu.
“saya ini punya kartu VIP,” jawab pak Beni mengada-ada. “ayo! Kita sudah ditunggu pak dokter di ruangannya ..”
Aku pun langsung bangkit dan mengikuti pak Beni. Enak juga kalau gak pake nunggu begini, gumamku dalam hati.

Ruangan pak dokter di lantai dua. Di pintu tertempel papan persegi kecil yang bertuliskan ‘dokter Fian’. Setelah mengetuk pintunya pelan pak Beni berangsur masuk sambil menarik tanganku seakan aku anak kecil yang suka kabur-kaburan dan harus dituntun setiap saat. Ruangan pak dokter tidak terlalu luas tapi terlihat nyaman dengan komposisi penataan perabot yang simple but perfect. Jendela ruangan yang menghadap ke jalan dibuka lebar-lebar dengan tirai biru yang terikat di kedua sisinya. Dokter Fian tersenyum menyambut kedatangan pak Beni dan aku. Pak dokter itu berpostur tubuh besar dengan sorot mata cemerlang.
“silahkan duduk..” ujarnya dengan ramah. ”ada yang sakit, ben?
Entah kenapa aku senang dengan dokter Fian, dia sepertinya orang yang baik dan aura yang menyenangkan. Pak Beni dan aku pun duduk di bangku yang tersedia.
“anak buah saya sakit, bang ..” jawab pak Beni sambil memberi isyarat ke arahku.
Dokter Fian melihat ke arahku, dalam satu gerakan bola mata sekilas ia melihatku dari atas kebawah kemudian tersenyum. Aku menggaruk kepalaku sambil pura-pura melihat kebawah. Mendadak grogi diperhatikan begitu.
“siapa nama kamu?”
“A.. alvin, dok ..” ujarku mendadak grogi.
“keluhannya apa?”
“punggung saya sakit, rasanya kaya mau remuk. Bergerak sedikit saja sakit banget ..”
“coba ke tempat tidur, biar saya lihat dulu ..” dokter Fian memberi isyarat agar aku ke tempat tidur.

Aku langsung tiduran tengkurap, dokter Fian menarik ke atas kaos yang kupakai kemudian ia mulai memeriksa dan meraba punggungku. Bekas biru itu pasti masih ada. Beberapa kali aku memekik sakit karena dokter Fian menekan beberapa titik sakitku.
“ini ada patah sedikit dan urat yang bergeser, ada yang mukul ato nginjek punggung kamu ya?” tanya dokter Fian selesai menganalisa.
Aku menelan ludah, tak berani menjawab. Pak Beni sudah melotot ke arahku, dugaannya pasti tidak meleset. Dan aku tidak bisa cari alasan di hadapan dokter.
“vin?” dokter Fian memastikan kebenaran analisanya lagi.
Kujawab dengan anggukan berat sambil membenamkan kepalaku di bantal.

“siapa orangnya, vin?” pak Beni tiba-tiba bangkit dan bertanya dengan suaranya yang menggelegar.
“ssst! Ben, ingat! Dia lagi sakit, nanti dulu. Biar dia sembuh dan tenang dulu,” dokter Fian buru-buru menenangkan pak Beni.
Ajaibnya pak Beni menurut dan kembali duduk di kursinya. Tapi ia masih menatapku dengan tajam seakan ingin bilang, kenapa kamu gak jujur? Kan kalau kamu bilang saya akan cari pelakunya dan ngelempar mereka ke sumur buaya.
“saya akan mencoba meluruskan beberapa urat, kamu tahan ya.. memang akan agak sakit tapi setelah itu kamu akan merasa lebih baik,” ujar dokter Fian.
Aku menganggukan kepala, siap-siap deh.
“gigit aja bantalnya kalo perlu,” tambah dokter Fian bersiap.
Ah! Bisa-bisanya pak dokter ngelawak. Kalau soal bagaimana proses dokter Fian ‘membetulkan punggungku’ bisa dibayangkan sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar