Senin, 21 Maret 2016

Adikku Alvin Christian - Part 7

:: Aditya Firdaus ::

17 Juli, hari ini hari ulang tahun adikku. Sebelum pulang kerja kusempatkan ke toko kue dekat kantor. Aku memilih kue blackforest mini dan lilin angka 1 & 5. Aku yakin Lena sudah tidur, aku mengendap-endap masuk ke rumah seperti maling kemudian menyelinap ke kamar Alvin. Pintu kukunci kemudian kukeluarkan bungkusan berisi kue tadi, lampu kamar kubiarkan mati biar cahayanya cukup dari lilin saja. Sambil kupasang lilin angka 1 & 5 kupandangi seisi kamar ini, sama seperti tahun kemarin dan sebelumnya. Kamar ini menyimpan banyak kenangan, kenangan indah tentang adikku yang rasanya menyakitkan jika aku mengenangnya. Keadaan kamar tetap sama, kujaga sama persis seperti saat terakhir ditinggalkan. Supaya nanti saat Alvin kembali ia mendapati kamarnya masih seperti dulu. Kunyalakan lilinnya dengan geretanku, tanganku sedikit gemetar saat kuarahkan apinya ke sumbu.
“selamat ulang tahun, Alvin Christian ..” ucapku lirih. “semoga di usiamu yang ke-15 ini kamu semakin dewasa dan menjadi anak yang sholeh. Cepat pulang ya, de ..”
Aku merogoh sesuatu dari tasku: sebuah kado. Kado berisi AKD versi komik ke-3. Buku yang sangat ditunggu-tunggu Alvin (yang aku yakin dia belum baca). Mungkin agak menyedihkan, tapi hanya ini yang bisa kulakukan. Aku betul-betul kehilangan jejak Alvin. Bahkan polisi pun tidak bisa berbuat banyak. Kuharap Alvin baik-baik saja dimanapun ia berada.

“dit, aku tau kamu di dalam ..” tiba-tiba suara Lena dari balik pintu.
Pelan-pelan aku bangkit dan membuka pintu, tampak sosok Lena dengan wajah kusut. Kulihat matanya bukan hanya seperti orang baru bangun tidur, tapi juga seperti orang habis menangis.
“boleh aku masuk?” tanya Lena.
Aku mengangguk dan memberi ruang untuk Lena memasuki kamar. Ku dengar Lena menghela nafas panjang sebelum ia duduk di tempat tidur.
“hari ini Alvin ulang tahun yang ke-15 ya?” tanya Lena melihat ke arah kue blackforest berhias lilin angka 1 & 5. Ia juga sempat melirik kado yang kubungkus dengan kertas motif kucing lucu.
Lena berbalik menatapku, tatapan yang sungguh lirih. Ingin kumemeluknya tapi tubuhku terasa kaku untuk mendekat kepadanya.
“sudah hampir setahun kan? Jujur, aku ikut sedih Alvin masih belum bisa kita temukan ..” ujar Lena dengan suara agak bergetar. “tapi, please! Berhentilah menyalahkan diri kamu sendiri, dit ..”

Aku tertegun mendengarnya, sorot mataku bias menatap Lena. Pelan-pelan aku menundukan kepalaku, memang Lena yang paling menderita atas rasa bersalahku. Selama pernikahanku dengannya, aku belum pernah sekalipun menyentuhnya, memberikan nafkah batin yang menjadi haknya. Selama hampir dua tahun ini. Aneh memang tapi begitulah keadaannya dan entah kenapa Lena bisa begitu sabar denganku. Aku sendiri betul-betul sudah kehilangan selera untuk melakukan itu. Lena sama sekali tidak kekurangan apapun, dari segi materi, kasih sayang dan perhatian sama sekali tidak kurang. Hanya masalah “itu” saja yang tidak dapat kuberikan kepadanya.

“maaf,” ujarku seakan tak punya kata-kata lain. Aku yakin Lena sudah bosan mendengar kata maaf dariku. “mungkin sebaiknya kita akhiri saja, aku yakin kamu akan mendapatkan penggantiku yang jauh lebih baik,”
“enak kamu bicara kaya gitu, dit!!” seru Lena bangkit dari tempat tidur. Belum pernah kulihat Lena semarah itu. “kita sudah mengucap janji di hadapan Allah, apa semudah itu ditarik kembali??”
Aku lebih memilih diam, Lena memang berhak marah. Ia berhak marah dan menyalahkan semuanya kepadaku.

Aku dan Lena saling hadap-hadapan, matanya yang tadi berkilat karena marah berubah menjadi sendu. Bisa kulihat air matanya menetes meski penerangan di kamar Alvin hanya dari cahaya lilin.
“aku .. cinta kamu, Aditya Firdaus ..” ujar Lena dengan suara bergetar. Matanya menatapku dalam-dalam menusuk tepat ke jantungku.
Lena menahan tangisnya, aku tak tahan melihatnya. Kudekati ingin memeluknya, meringankan beban batin yang tengah ia pikul.
“jangan!” ujar Lena mundur. “tiga bulan suami tidak memberikan nafkah batin kepada istri sama saja sudah jatuh talak,”
“bomat!” ujarku tetap memaksa memeluk Lena. Kupeluk dengan erat, istriku yang malang. Tidak seharusnya ia menderita seperti ini akibat keegoisanku.
“maafkan aku, Lena Humairoh ..” bisikku pelan di telinganya.

***

Jam menunjuk pukul tiga malam, aku masih terjaga di kamar Alvin sedang Lena kembali ke kamarnya. Masih terngiang kata-kata Lena sebelum ia kembali ke kamar.
“aku tidak tau isi hati kamu, dit. Entah karena rasa bersalah yang amat sangat atau kamu mulai mempunyai rasa terhadap Alvin ? Wallahualam,”. Matanya menusuk dalam ke hatiku, tatapan yang membuatku seperti terdakwa hukuman mati.
Aku mempunyai rasa terhadap Alvin? Yang ada juga rasa sayangku sebagai seorang abang, tidak lebih. Kuraih ponselku, kupilih menu musik ; sebuah lagu kupilih untuk diputar. #Now Playing: Avril Lavigne – When You’re Gone

When you're gone
The pieces of my heart are missing you
When you're gone
The face I came to know is missing too
When you're gone
All the words I need to hear to always get me through the day
And make it OK
I miss you

Tio pernah bilang lagu Avril itu maknanya dalam, lebih dalam dari lubang buaya. Karena itu kuulang-ulang saja lagu itu. Aku terus saja merenung, kenapa aku bisa sampai berbuat hal bodoh macam ini? Alvin kan adikku sendiri. Sudah bertahun-tahun aku mengenalnya, ya meski ada beberapa hal yang tidak kuketahui.

Aku menggeliat memperbaiki posisi tidurku, tapi seperti ada yang mengganjal di balik selimut. Aku berangsur ke posisi duduk dan meraba benda itu. Sebuah buku rupanya. Buku yang bertuliskan nama adikku. Aku terpaku menatap buku ini, aku sempat membanting buku ini dihadapan Alvin. Sebuah buku yang aku yakin sangat berarti baginya. Kupeluk erat buku itu seakan aku sedang memeluk pemiliknya. Aku masih hafal aroma tubuh Alvin, dari kepala sampai badannya.

Ada semacam dorongan untuk membaca isinya. Waktu itu kan aku cuma baca sebagian saja. Buku ini adalah privasi Alvin dan aku adalah orang yang menghargai privasi. Tapi sudah terlanjur basah juga aku berurusan dengan buku ini. Ya Allah ampuni Adit…

Semakin ku menyayangimu
Semakin ku harus melepasmu dari hidupku
Tak ingin lukai hati lebih dari ini
kita tak ‘kan mungkin bersama

sampai kapanpun kita tak akan bisa bersama
selain menjadi kakak-adik, selamanya

Kubalikan lembarannya sampai menjelang halaman terakhir. Lembarannya sedikit bergelombang, bekas kertas yang basah kemudian mengering. Ini pasti basah oleh air mata Alvin, pikirku.

My Dee,
Sering aku baca tentang kutukan
Kutukan itu biasanya berasal dari penyihir jahat
Kalau begitu penyihir mana yang bertanggung jawab atas kutukanku ini?
Hahaha

Aku percaya inilah takdir dari Tuhan
Ketetapan yang sudah direncanakan olehNya sejak aku membuka mata
Tapi Ayah berpikiran lain,
Ini adalah sebuah pilihan ..

Di halaman terakhir aku menemukan Alvin menggambar sebuah kartun, seorang anak laki-laki yang kupikir itu adikku, anak laki-laki itu sedang duduk di sebuah bangku dan wajahnya sedang sedih. Kubolak balik lembaran diary ini, sebagian besar adalah curhatan perasaan Alvin terhadapku.

U know the taste of being curse, it’s so pain, you will hate yourself :: curse of love ::

Aku terkesima membaca tulisan itu. Sebuah tulisan galau luar biasa seorang Alvin Christian. Kalau aku memahaminya secara subjektif, mencintai aku seakan seperti kutukan bagi Alvin. Oke! Aku tidak bisa menyangkalnya, betapa menderita Alvin mencintai seseorang yang tak mungkin mencintainya. Ditambah perlakuanku yang sama sekali tak pantas menjadi kakaknya, waktu itu. Pikiran dan hatiku mendadak kosong, seakan disedot oleh vacuum cleaner Malaikat Izrail. Tapi ngomong-ngomong seperti apa ya alat penghisapnya malaikat maut? Pasti mengerikan, hiiii.

Kemudian aku menemukan lembaran yang menceritakan isi hati Alvin yang lain.

My Dee..
Terkadang aku teringat ibuku,
Apa kabarnya ya?
Dia sedang apa disana..
Dan masihkah ia ingat kepadaku..

Meskipun dia seringkali menelantarkanku
Tapi biar bagaimanapun dia adalah ibuku
Yang melahirkanku dengan perjuangan antara hidup & mati.

Aku ingin bertemu dengannya
Dan bilang terima kasih,
Terima kasih untuk semuanya

Ibunya Alvin? Dia wanita pendiam dan jarang berinteraksi dengan orang-orang. Kulit Alvin yang putih mulus pasti dari dia. Bisa dibilang ibunya Alvin itu wanita yang memikat, hanya saja terlalu misterius. Bagiku sih misterius. Aku pernah mencoba menyapanya tapi ditanggapi dengan tatapan dingin. Kalau kata tetangga ibunya Alvin pernah mengalami depresi berat dulu sehingga karakternya menjadi pendiam dan dingin. Kasihan sekali dia, tapi lebih kasihan lagi Alvin! Anak itu sering dibiarkan sendirian.

Tak sengaja mataku menangkap lembaran buku yang sedang terbuka, entah ini halaman ke berapa.

Hal yang kutakutkan datang juga
Akhirnya kak Adit mengenalkan pacarnya
Gadis pujaan hatinya: Lena Humairoh
Wanita sholehah berbalut hijab yang anggun
Qori’ah bersuara indah tatkala melantunkan ayat suci
Master chief ketika berkutat di area masak-memasak
Madam of House terhebat jika berhadapan dengan urusan rumah tangga

Lena benar-benar luar biasa
Kecantikan yang tersembunyi dibalik gaun surga yang bernama hijab
Tak ada lelaki manapun di dunia ini yang pantas memilikinya
Kecuali kak Adit-ku

Sampai-sampai di tempat rahasia kak Adit tersimpan satu foto Lena
Foto tercantik dari gadis pujaannya itu
Dan dibalik foto itu tertulis ‘I will marry you’
Dia memang merupakan calon istri impian

Aku dibanding dia tak ada apa-apanya
Beda jenis kelamin juga sih :-P

Aku terbelalak tak percaya, Alvin bisa tau tentang foto itu? Hanya aku dan Tuhan yang tau keberadaan foto itu. Oh My God, aku tak percaya Alvin sampai sebegitunya? Kulihat tanggal tulisannya, kira-kira dua minggu setelah acara wisudaku. Alvin sepertinya punya bakat jadi paparazi.

Ah sudahlah! Kumatikan ponselku lalu mencoba memejamkan mata. Kuletakan buku harian Alvin itu di dadaku, seakan menjadi sebuah penghubung agar Alvin yang ada di luar sana bisa merasakan betapa aku kehilangan.


Sebuah kenyataan

Pekerjaanku hari ini sudah selesai, tak kusangka bisa secepat ini. Dengan begini lembur sampai larut pun bisa dihindari, hehehe. Jam di dinding menunjuk pukul 18.30 pas. Teman-temanku sudah pada pulang dan cuma aku yang berada di ruangan ini. Tadi sore aku sudah memberi tau Lena aku ada pekerjaan yang harus kuselesaikan. Jadi dia tidak perlu menungguku, dan Lena tidak protes. Dia cuma bilang hati-hati serta jangan lupa makan dan sholat. Disuruh lembur di hari jumat yang notabene week end adalah sesuatu yang menyebalkan.

Meski kondisinya horor tapi aku tidak takut, kalau sampai di hadapanku muncul yang macam-macam langsung kulempari dengan gelas. Aku langsung membereskan berkas dan merapikan mejaku. Kusempatkan sholat maghrib dulu di mushollah kantor baru cabut. Ketika kakiku tiba di area resepsionis aku kaget melihat Ayahku tengah mengobrol dengan satpam penjaga. Lagi ngapain bapak Manager jam segini masih berkeliaran di kantor?

“yah?” panggilku, sudah lewat jam kerja aku pun kembali memanggilnya Ayah.
Beliau menoleh ke arahku dan tersenyum. Sebuah senyum dalam raut wajah lelahnya.
“tumben Ayah belum pulang?” tanyaku menghampiri.
“Ayah sengaja nunggu kamu, udah lama kan kita gak pulang bareng..”
Aku terenyuh mendengarnya, aku saja tidak sampai terpikir kesitu saking sibuknya dengan pekerjaan.
“sudah dulu ya mas, makasih nemenin saya nungguin si Adit..” ujar Ayah seraya pamit kepada pak satpam. Dan mengajakku masuk ke lift yang terbuka, seakan sudah diatur akan terbuka begitu kami pamit.

Aku dan Ayah hanya diam-diam selama di dalam lift. Mungkin karena ada beberapa orang di lift yang asyik dengan obrolan mereka. Sesekali aku melirik Ayah tanpa beliau sadari, seolah aku memastikan laki-laki disampingku ini betulan Ayahku bukan alien yang menyamar. Aah! Khayalan tingkat tinggiku (-___-‘) Ting! Pintu lift terbuka, gerombolan yang ada di dalam lift selain aku dan Ayah menghambur keluar. Sempat kuintip keluar lift, ruangan lobby benar-benar sepi. Aku dan Ayah lanjut ke lantai basement mengambil mobil.

“tadi Ayah sudah telpon Lena mau pinjam kamu dulu sebentar, dan dia tidak keberatan..” ujar Ayah memecah keheningan diantara kami.
“ooh,” aku ber-o panjang. “pantes dia tadi gak tanya-tanya,”
“tadi dia bilang kamu ada kerjaan yang mesti kelar ya?”
“iya yah! Pak Haidar lupa ngerekap data pajak bulan Februari, Maret dan Juli. Data itu juga sudah dikirim sedangkan divisiku butuh rekapannya untuk perhitungan sebelum akhir tahun, yang lagi dicicil dari sekarang..”
“wajar aja, pak Haidar waktu itu lagi sibuk-sibuknya, jadi ada yang kelewat..”
Aku mengangguk-angguk, pertama pak Haidar itu dekat dengan Ayah kedua posisi pak Haidar benar-benar bukan pekerjaan biasa..”

Aku dan Ayah
“kamu mau makan dimana? Biar kita cari tempat makan yang enak,” Ayah mengalihkan pembicaraan.
“adit maunya di d’cost yah..”
“d’cost?” Ayah mengulang jawabanku, mungkin sekelas manager macam Ayah agak asing mendengar nama itu.
“enak lho yah, adit paling suka tauge ikan asin..”
“ada menunya yang ikan asin?” Ayah masih tak percaya
“iya, seafood gitu. Makanya Ayah mesti coba! Restoran kelas atas mulu sih yang diicip,” aku bersemangat mengajak Ayah.
“oke, kita menuju lokasi!” ujar Ayah meniru gaya kapten polisi.

Ayah memilih yang di kawasan Plaza Semanggi setelah aku buka situs resminya. Aduuh, ini kan kawasan orang elit, aku mana pernah kesini. Setelah memilih meja dan memesan makanan Ayah seperti biasa langsung membuka obrolan.
“gimana Ibu kamu? Masih betah di sekolah itu?” tanya Ayah sambil memandangi desain interior restoran ini.
“Ayah pastinya lebih tau dari aku..”
“maksudnya?”
“lah kan Ayah yang lebih sering telpon-telpon Ibu daripada adit?”
Ayah mendadak agak grogi dan wajahnya memerah. “kata siapa? Tau sendiri kan Ayah sibuk?”
“kata Ibu lah. Ibu bilang Ayah rutin nelpon!”

Check mate! Ayah tak bisa mengelak lagi. Beliau berdehem sambil mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pembicaraan. Dan beruntung saat itu pelayan membawakan pesanan.
“yah..”
“udah! Kita makan dulu!”
“maksudku ya itu, daritadi nyariin apa sih? Halte busway?” aku sedikit berkelakar.
Ayah menatapku (¬,¬”) dan aku hanya tertawa hehehe.

Aku memesan tauge ikan asin dan sayur asem, sedang Ayah (yang sering lupa dengan kolestrolnya) memesan sapi lada hitam dan sayur kombinasi. Ayah makan dengan adab tinggi sedang aku makan dengan adab warteg.
“gimana hubungan kamu sama Lena?” Ayah mulai membuka pembicaraan disela-sela makan.
Aku diam sebentar kemudian menenggak lemon tea ku. Dan Ayah bisa membaca kebiasaanku itu, bahwa pasti ada apa-apa.
“baik-baik saja kok,” aku berbohong.
Ayah menatap mataku dalam-dalam, kemudian beliau hanya mengangguk.

“yah aku mau tanya..” aku membuka pembicaraan.
“tanya apa?”
“lukisan yang di rumah Ayah itu, yang laki-laki kekar di atas sebuah gunung. Itu.. lukisan apa sih?”
“itu lukisan dari adiknya sahabat Ayah dit, gambaran tentang Ayah begitu katanya. Ngakunya sih hasil karya iseng-iseng..”
“iseng-iseng tapi mantep banget,” gumamku menerawang lagi lukisan itu di kepalaku.
“ya.. itulah dia. Dia senang melukis tapi tidak mengembangkan hobinya,”
“sayang banget ya, padahal..” gumamku lagi.

“Ayah.. ehm mau tanya pendapat kamu..” Ayah tiba-tiba menyambar pembicaraanku yang belum selesai.
“okeh, aku siap mendengarkan..” aku antusias.
“Ayah berpikir, usia Ayah belum terlalu tua. Makanya Ayah.. berencana.. menikah lagi..”
Aku menatap o.o ayahku, apa aku tidak salah dengar? Kalau dari kata-katanya mungkin calonnya Ayah bukan Ibu, tapi orang lain.
“nikahnya gak di Belanda kan?” aku iseng.
“enggaklah! Bercanda aja kamu..” jawab Ayah buru-buru.

“siapa orangnya yah?” tanyaku to the point.
“teman lama Ayah.. seseorang yang telah berjanji akan menunggu Ayah,” jawab Ayah pelan.
Aku terdiam mendengarnya, tenggorokanku sedikit tercekat tapi tidak terlintas dalam pikiranku untuk minum.
“trus selama ini perhatian sama Ibu itu apa? Ayah jangan kasih harapan palsu ke Ibu donk!”
“enggak dit, enggak! Ibumu juga sudah tau kok perihal teman Ayah ini,”
“pacar kali maksudnya..” aku sedikit ketus.

“dengarkan dulu dit!” potong Ayah dengan nada sebal. “Ibu kamu udah tau tentang teman Ayah ini! Dia setuju dan mendukung Ayah..”
“apa?!” aku tak percaya mendengarnya.
“jujur, Ayah dan Ibu memang tidak saling mencintai sejak kami menikah. Pernikahan kami ini adalah rencana perjodohan dua keluarga yang tidak bisa Ayah tolak. Dengan sangat terpaksa Ayah meninggalkan kekasih yang seharusnya Ayah nikahi..”
Aku tertegun mendengarnya. Seharusnya aku dengarkan penjelasan Ayah dulu.

“perceraian kami dulu itu memang sudah keputusan Ayah dan ibumu menyetujuinya..”
“kalau begitu kenapa Ayah tidak langsung menikahi.. kekasih Ayah itu?” tanyaku dengan nada sinis.
“keluarga Ayah mencabut semua fasilitas Ayah, dit. Rumah, kendaraan, kartu debit dan lain-lain. Sejak saat itu Ayah bekerja keras hingga mencapai posisi yang sekarang ini. Posisi yang lebih dari siap baik dari segi mental dan materi..”
Aku hanya diam, mau bilang apa lagi? rupanya Ayah memang sudah mempersiapkan semuanya.
“dan Ayah pikir sekarang saat yang tepat untuk memberi taumu yang sebenarnya..”

Yeah! Aku sudah cukup dewasa untuk menerima kenyataan bahwa Ayah ingin menikah lagi. Pernikahan yang sempat tertunda. Baiklah! Aku sebagai anak harus mendukung, toh juga untuk kebahagiaan Ayah juga. Apalagi Ibu mendukung.
“apapun yang terbaik buat Ayah, akan adit dukung. Asalkan tidak ada pihak yang tersakiti..” ujarku, tapi sepertinya kata-kataku tadi mirip omongan di sinetron.

“jadi... Ayah mengajakku makan hanya untuk memberi tau tentang rencana pernikahan Ayah?”
“enggak juga sih, kan kita sudah lama gak menghabiskan waktu bareng kaya gini. Ayah sibuk kamu juga sibuk kan? Sekarang kamu sudah punya kehidupan sendiri,”

Aku terdiam sejenak, kehidupan sendiri? Iya, sekarang aku sudah punya kehidupan sendiri. Kehidupan yang dulu kuperjuangkan sekarang malah kusia-siakan. Aku menyia-nyiakan wanita yang sangat berarti dalam hidupku, Lena Humairoh. Sejenak aku hanya memain-mainkan makanan di piringku.
“kenapa dit?” Ayah memecah lamunanku.
“ah gak apa-apa yah..” jawabku pura-pura cool. “ehem, Alvin masih belum ada kabarnya ya?”
Ayah menggelengkan kepala. Beliau menghentikan makannya sebentar untuk berbicara.
“Ayah mungkin akan meminta bantuan teman Ayah, orang pintar gitu..”
“dukun?”
“bisa dibilang dia punya bakat jadi dukun, tapi dianya gak mau. Ingin jadi orang biasa aja katanya..”

“padahal kalo buka praktek lumayan tuh penghasilannya,”
“tiap hari ada amalannya lho kaya puasa, sholat gak boleh tinggal ditambah sholat sunnahnya, jaga omongan, dzikir-dzikir, hati juga harus selalu suci gak boleh ada prasangka, belum lagi banyak pantangan gak boleh ini gak boleh itu..”
“enakan jadi orang biasa kalau begitu ya, gak terlalu terikat ini-itu..”
“untuk mendapatkan nilai lebih harus melakukan pengorbanan kan? Begitulah gambarannya,”
Aku mengangguk-angguk.

“minggu Ayah mau kesana, kamu ikut ya..”
“okeh.. tapi bergaransi gak tuh temen Ayah?”
“bergaransi maksudnya?”
“penerawangannya akurat gak? ntar diterawangnya ada di Australia eh pas disamperin salah orang tapi namanya sama? Repot kan..”
“bismillah aja dit, namanya juga usaha. Segala macam cara udah kita pake tapi gagal kan?”
Aku menghela nafas. Sepertinya memang Alvin tidak mau untuk ditemukan.

***

Aku tiba di rumah, satu jam sebelum tengah malam. Aku membuka dan mengunci gerbang dengan hati-hati sekali. Kulihat motor sudah terparkir di garasi, berarti tadi orang suruhan Ayah sudah memulangkan motorku dengan selamat. Aku dengan pelan-pelan sekali membuka pintu dan menguncinya, jam segini Lena pasti sudah tidur. Aku melangkah pelan menuju kamar Alvin. Yeah kamar Alvin bukan kamarku. Aku merogoh kunci kamar itu, dan kumasukan anak kunci itu ke lubangnya. Kuputar perlahan dan..

“kak adit?” sebuah suara memanggil.
Mendadak aku gelagapan, tapi pintu sukses terbuka. Aku menoleh panik ke arah sumber suara. Sesosok anak laki-laki berdiri di gang menuju dapur. Ferdian Adhiyanto atau lebih akrab dipanggil Feri.
“Feri? Ngagetin kakak aja! Dan.. kok kamu bisa disini??” cerocosku tapi masih dengan nada berbisik.
“bukannya kak Lena udah kasih tau?” Feri bertanya balik. Suaranya ikut dikecilkan setara dengan volume-ku barusan, ia nampak paham situasi. “Aku mau nginep disini, kan?”
Aku mengerutkan dahi dan membuka ponselku. Oh shit, man! Kebiasaan kurang telitiku kambuh, aku tidak memperhatikan baris terakhir dari SMS Lena yang memang menyatakan Feri mau main.

“iya, kakak yang salah..” ujarku sambil tersenyum malu.
Feri hanya tersenyum, senyuman yang sangat persis dengan Lena.
“kakak ngapain di kamar kak Alvin?” tanya Feri dengan polos.
Aku cuma tersenyum getir, mana mungkin aku memberi tau kalau aku dan Lena pisah ranjang? Tapi sepertinya Feri bisa menangkap signal-signal dari ekspresi wajahku.
“kamu tidur dimana, fer?” tanyaku, sebuah pertanyaan bodoh yang baru kusadari setelah beberapa detik. “oh iya, pasti di kamar tamu ya..”
Aku mengetuk-ngetuk keningku. Feri terkekeh melihat tingkah kikukku.
“Vita gak diajak?”

Feri menggelengkan kepala, “lagi persiapan lomba Fisika antar sekolah,”
“wau, keren banget! Aku gak nyangka dia jago Fisika..”
“aku juga kak, nanti dia duel sama aku..” tambah Feri, ada sebuah nada kebanggaan dalam kata-katanya.
“duel? Kamu versus dia gitu?”
“yep! Sekolahku mengutus aku dan sekolahnya Vita mengutus dia..”
Aku mengangguk-angguk kagum, “eh tapi, kalau kamu yang diutus kok malah berkeliaran disini?”

Anak itu malah cengar-cengir, “aku sebelum lomba biasanya ingin ada waktu buat menenangkan diri gitu. Semua udah tau kok kebiasaan aku ini, dan aku memilih nginep di rumah kakak ini,”
“lho kok?”
“ada deh..” jawab Feri dengan misterius.
Aku terdiam menatap remaja di hadapanku ini. Aku usap-usap saja rambutnya seperti aku sering melakukannya kepada Alvin.
“masuk aja yuk,” ajakku kepada Feri, ke kamar sejuta kenangan ini.
Feri menganggukan kepala.

Aku menggelar karpet tidur untuk alasku tidur.
“kamu tidur di atas aja Fer,” ujarku kepada anak itu.
Feri merangkak ke atas tempat tidur dan merebahkan dirinya. Aku pun juga, kulipat kedua tanganku ke atas di belakang kepala. Aku dan Feri saling diam.
“aku sama sekali gak tau kak Alvin kabur dari rumah..” tiba-tiba Feri membuka obrolan.
“hmmm..” aku tak tau mesti berkomentar apa, kepergian Alvin kan karena aku.
Aku menghela nafas panjang sambil kupejamkan mata, membayangkan sosok adikku ada di hadapanku. Seandainya..
“rasanya baru kemarin aku ketemu dia di taman,” sambung Feri
“taman? Taman dekat rumah?”
“bukan, taman di daerah selatan.. waktu aku lagi dinas nyebarin undangan pernikahan kakak,”

Ooh, waktu lagi menyebar undangan. Eh sebentar, menyebar.. undangan.. ? Aku langsung bangun dan beralih ke Feri.
“taman mana Fer?” tanyaku dengan antusiasnya.
Feri menyebut sebuah taman, sebuah taman dekat mall besar di Jakarta Selatan tempat dia dan Alvin bertemu, dimana Alvin sedang duduk sendirian sambil minum es dawet ayu. Jantungku berdetak kencang sekali menyimak setiap kata yang diucapkan Feri.
“pantas waktu itu dia minta sampaikan salam untuk kakak dan Ibu kakak,” gumam Feri bernostalgia.
“dia bilang begitu?” tanyaku seolah tak percaya.

Feri mengangguk, “wajahnya sendu sekali seperti seseorang yang kehilangan kekasihnya..”
Aku semakin diliputi rasa bersalah yang luar biasa. Kalau ada tombak Izrail rasanya ingin kutancapkan saja ke dadaku, biar sakit dan mati sekalian.
“besok kesana yuk, fer! Kali aja ada petunjuk soal Alvin..” aku berinisiatif.
“okeh, mungkin aja kita dapat petunjuk..” sahut Feri dengan nada berharap.
“tapi jangan bilang kakakmu ya..” ucapku pelan.

Kini Feri beralih menatap ke arahku, bola mata kami beradu. Dia melihat lurus ke arahku sebentar kemudian mengangguk pelan. Tatapannya benar-benar seperti Lena, terkadang penuh misteri seakan ia tau apa yang ada di dalam pikiranku. Aku bisa pastikan Feri sudah terlelap, suara dengkur tidurnya terdengar sangat jelas. Sedang aku masih tidak bisa memejamkan mata, pandanganku kosong ke arah langit-langit. Perlahan aku bangkit dan meninggalkan kamar, meninggalkan si Feri yang sudah bermain di alam mimpinya.

Aku baru sadar tenggorokanku seret, aku berniat mengambil segelas air di dapur. Sekarang giliran aku bertemu dengan kakaknya Feri: Lena.
“kapan pulang dit?” tanya Lena membuatku tersedak karena kaget.
Melihatku terbatuk-batuk dengan air yang buyar kemana-mana, Lena langsung mengambil tissu dan menepuk-nepuk punggungku. Aku cuma terbatuk-batuk tanpa peduli mengganggu keheningan.
“lebay amat kamu, dipanggil dikit batuk-batuk..” ujar Lena saat aku sudah mulai menguasai diriku.
“daripada joget-joget?”
Lena menatapku (¬,¬”) “ngaco aja kamu dit!”
Aku terkekeh pelan, seakan lupa tadi habis batuk-batuk.

“ngapain kamu malam-malam begini belum tidur?” tanyaku seperti orang KPK.
“kamu sendiri belum jawab pertanyaanku,”
“errr.. aku pulang jam sebelas,” jawabku seakan aku anak kecil yang berhadapan dengan Ibu galak. Jawabanku sepertinya tidak memuaskan Lena. “aku kan tadi makan sama Ayah! Ayah sudah SMS kamu kan?”
Raut wajah setengah galaknya memudar, Lena menjawab dengan anggukan pelan.
“sekarang giliran kamu jawab pertanyaanku,” sahutku tidak mau kalah.
“coba kamu lihat jam, kamu akan mengerti..” ujar Lena sambil melipat tangan.

Aku melirik jam, jam setengah tiga. Weitz! Jam setengah tiga? Cepat sekali waktu yang berlalu, tidak terasa sudah hampir sepertiga malam saja. Eh?! Aku menoleh kembali ke Lena. Kulihat di wajahnya ada bekas basah.
“tahajud?”
“iya.. kebiasaan yang udah lama kamu tinggalkan, jadi aku sholat sendiri deh sekarang. Kamu terlalu sibuk ngeliatin foto Alvin,” jawab Lena kemudian melewatiku dan kembali ke kamar.
Dalam sekali kata-kata itu. Aku meletakan gelas minumanku yang masih setengah, langsung menuju kamar mandi ; berwudhu dan kembali ke kamar, kamarku.

Kulihat Lena sedang duduk di tempat tidur, ia sudah mengenakan mukenah. Dua buah sajadah berjamaah terhampar di hadapannya. Seolah menunggu aku datang ke kamar. Lena menatapku dalam-dalam, ia tidak berkata apa-apa dan hanya tersenyum.

“haya sholatan tahajud fii jama’ah..” ujarku dengan bahasa arab. Aku cuma bisa sedikit-sedikit, yang jago ya Lena. Lena mengangguk seraya bangkit, menyambut kehadiranku. Sang imam. Dan kami pun akhirnya sholat tahajud. Entah ini bisikan setan atau kenangan yang terbuka, aku teringat waktu aku dan Alvin sholat tahajud saat aku dalam masa persiapan ujian masuk UI. Aku ingat bayangan wajah Alvin yang polos, tapi kata-katanya bijaksana. Hingga rakaat terakhir akhirnya air mataku jatuh juga.

“kamu menangis dit?” tanya Lena menyadarinya.
Aku tidak berniat pura-pura tidak terjadi apa-apa. Aku hanya menjawab dengan anggukan. Lena sepertinya paham anggukanku itu memiliki lebih dari satu arti. Kini ia hanya diam di belakangku.

Kami saling diam-diaman cukup lama. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, entah dengan Lena. Perlahan aku menoleh ke arahnya dan berbarengan Lena memanggilku pelan.
“dit…” panggilnya dengan suara lirih.
Aku dengan spontan tersenyum, senyuman yang dipaksa. Lena malah tertawa kecil melihatku. Seketika senyumku berubah jadi cemberut serius.
“kenapa kamu ketawa?” tanyaku pura-pura sebal. Sejujurnya aku senang bisa membuatnya tertawa seperti ini.
“muka kamu lu.. ehem!” Lena dengan cepat menguasai dirinya.
“it doesn’t even matter, bee. Tadi mau ngomong apa?” aku berlagak so cool.
Lena tersenyum, hanya tersenyum. Sebuah senyuman yang penuh arti khas seorang wanita. Aku yang tidak pandai main teka-teki pun hanya bisa garuk-garuk kepala.

Sekarang Lena menyentuh pipiku, sentuhan yang begitu hangat. Ia menatapku dalam-dalam, sebuah tatapan penuh cinta (kalau yang kutangkap)
“aku mencintaimu, dit..” bisik Lena kepadaku, aku hanya diam mematung.

***

“pagi, Fer..” sapaku melihat Feri sedang sarapan roti selai kacang di meja makan. Dan Lena ada di sisinya sambil mengoles selai ke roti yang lain.
“pagi kak..” jawab Feri sambil mengunyah rotinya.
Aku tersenyum simpul kepada Lena, sedang dia membalasku dengan sebuah senyuman juga. Senyuman penuh arti dan misteriusnya wanita.
Seperti biasa aku bangunnya siang kalau week-end. Kulihat Feri tampak segar dan rapi dengan pakaian santai, pasti dia sudah mandi. Begitu pula Lena sedang aku masih acak-acakan begini.

“jadi kan kak, ntar?” tanya Feri.
“iya..” jawabku singkat sambil mencomot sepotong roti yang baru diselai Lena.
Lena mendelik kepadaku, tapi hanya kubalas dengan sebuah kedipan mata dan senyuman maut. Feri kembali mengunyah, pura-pura tidak tau.
“len, si Vita sama Feri mau tanding ya?” aku membuka pembicaraan.
“iya, mereka akan unjuk gigi siapa yang terbaik..” sahut Lena dengan nada bangga.
“jangan khawatir, Fer. Vita kan masih newbie, gampanglah digasak..” ujarku memberikan dukungan.

“hei, jangan ngeremehin Vita lho ya, dit..” ujar Lena masih sibuk mengolesi selai. “Vita kalau udah niat kaya gitu, gak bisa dianggap remeh meskipun newbie..”
“oh iya?”
“iya kak, Vita pernah menang lomba tamiya. Gara-gara dia tertarik ngeliat aku hobi main itu..” Feri menambahkan.
Aku cuma bisa ber-o panjang. Sekeluarga ini memang orang-orang hebat ya, aku iri! Setelah sarapan aku mandi kemudian bersiap ke taman itu dengan Feri. Tuhan, kumohon.. semoga ada petunjuk dimana Alvin. Setelah pamit dengan Lena, kuambil si Jupiter biru, tungganganku yang setia. Kupanaskan mesinnya sambil kugiring ke depan gerbang.
“kak,” panggil Feri sambil memakai helm.
“iya..”
“dawet ayu yang di taman itu enak lho rasanya,”
Gubrak! Kupikir dia mau ngomong apa. “iya ntar kita beli,”

Mesin sudah cukup panas, sekarang si kuda biru siap untuk turun ke area. Feri duduk manis di bangku belakang, dan aku langsung membawa kebut si jupiter. Dengan Feri sebagai live-GPS aku pun tiba di lokasi. Taman bernuansa hijau yang cukup terawat, terlihat asri dan enak untuk berteduh disana. Apalagi tukang-tukangan yang tak jauh dari taman berjejer rapi dengan dagangan mereka.
“disini, fer?” tanyaku sambil melepas helm.
“gak salah lagi, kak! Aku inget banget dawet ayunya..”
(-____-‘) yang ada di pikiran anak ini kok es cendol terus sih? Dasar! Tapi si abang tukang dawet belum nampak batang hidung dan gerobaknya.

“kamu disini aja ya, kakak pengen keliling..” ujarku kepada Feri. Dan anak itu hanya mengangguk tanpa banyak protes.
Aku mulai menelusuri area taman dan sekitarnya. Sambil kutanya ke beberapa orang yang kupikir ‘menarik’ bagi Alvin, maksudnya orang-orang yang mungkin pernah berinteraksi dengan Alvin. Alvin anaknya unik sih, dia tipe orang yang agak pemilih. Dengan modal foto Alvin yang tersimpan di dompetku. Tukang parkir, Ibu-Ibu penduduk situ, sampai beberapa warung makan kaki lima aku sambangi.
“wah gak tau dah, lupa! Biasanya anak-anak yang hobinya ngemis gue siram..” jawab salah seorang penjaga warung makan.
“sadis amat,” gumamku kepada sendiri.
“kenapa mas?”
“enggak, makasih ya bang..”

Bahkan seorang Ibu-Ibu tukang pecel:
“kayaknya saia pernah liat deh..” ujar si Ibu sambil mengingat-ingat.
“oh ya? dimana bu?” aku antusias sendiri.
“ah, si mas pake ngomong! Saia jadi lupa deh..” sahut si Ibu sambil menepuk-nepuk dahinya.
“ooh maaf bu, gak bermaksud..”
Belum selesai kata-kataku si Ibu itu memotong pembicaraanku.
“oh, iya!” seru si Ibu tiba-tiba. Ia mengamati seksama foto Alvin yang kupegang. “ini anak yang kulitnya putih, kaya orang china dan umurnya sekitar lima belas tahunan...”
Aku mengangguk-angguk dengan semangat, sengaja tidak berkata apa-apa. Takut si Ibu lupa nanti malah berabe.
“eh, ini bener adik mas? Dia putih banget begini tapi kok si masnya kuning langsat rada gelap?”
“warna kulit saya kuning bangs*t bu..” sahutku kesal kemudian meninggalkan orang itu, eror amat! Tapi herannya dagangan pecel ayam-lele nya laku keras.

Sudah terlanjur kesal, aku pergi menuju tempat lain. Kepalaku harus dingin kalau tidak bisa meledak. Tidak jauh dari taman ada masjid, tempatnya bisa dibilang lumayan asri dan teduh. Di situ aku duduk melepas lelah sejenak, nikmat sekali singgah di rumah Allah ini. Semilir anginnya membangkitkan rasa kantukku, hoaaaamz! Aku pun menguap. Kupandangi sekeliling, tempelan larangan tidur di masjid sangat nyata. Dan larangannya pun bervariasi:

Masjid adalah rumah Allah bukan Panti Singgah
Sholat dan bertilawah lebih baik daripada tidur

Boleh juga, lebih kreatif dan menarik.

“kak Adit!” sebuah suara memanggilku, suara si Feri.
Kulihat dia berjalan menuju ke arahku sambil menyedot es dawet ayu dengan sedotan plastik. Minumannya tinggal sedikit, jadi pas sekali sedot itu habislah tinggal si batu es.
“aku ditinggalin buat jaga motor sedang kakak malah enak-enakan nyantai di masjid?” protes Feri sambil membuang plastiknya ke tempat sampah.
“lah trus motornya?”
“aku tinggal dengan kunci masih nempel di kontak, plus STNK dan tulisan ‘free motorcycle’ “ jawab Feri seperti tanpa dosa.
“ngaco kamu! kuncinya aja sama kakak,” ujarku sambil merogoh saku, memastikan kuncinya masih disana. Dan memang masih di sakuku.

Feri terkekeh, ia menyeka bekas es dawet yang menempel di sekitar mulutnya. “motor kakak aman di tempat yang seharusnya..”
“emang dimana?”
“di tempat daur ulang,”
“serius fer!” dari tadi ngelawak aja nih anak.
“iya, ku titip sama yang megang daerah situ..”
“preman?”
“hampir seprofesi kayaknya..”
“ntar kalo motornya dibawa kabur?”
“ada saudaraku asli orang sini, tenang aja kak..”
“awas aja kalau sampai ilang ya..”
“beres..” ujar Feri tenang-tenang saja. Ini anak nyantai banget sih, kalau rumahnya kebakaran (amit-amit dah!) jangan-jangan tetap nyantai-nyatai juga? (-____-‘)

“udah menemukan petunjuk belum?” tanya Feri kemudian.
“yang ada nihil..”
Feri menghela nafas panjang. Dia malah tiduran dengan melipat kedua tangannya ke belakang kepala. Matanya kosong menerawang ke langit-langit masjid.
“makan yuk!” ajakku berinisiatif.
“makan apa?”
“masakan padang aja..” sengaja kusebut makanan kesukaan Feri.

Dan anak itu mengangguk setuju. Feri lalu mengajakku ke rumah makan padang langganannya, tidak terlalu jauh dari jalan raya dan dekat dengan sebuah bangunan yang kupikir gudang. Tempatnya sederhana tapi pemiliknya mendesain dengan baik, membuatku jadi tertarik untuk singgah. Ada sebuah lukisan berlatar sawah di pedesaan dan sebuah sawung dimana pak tani dan istri-anaknya tengah makan siang. Cuma ada satu dua orang yang sedang makan, kulirik jam dinding disitu: jam sepuluh pagi.

Feri memesan nasi rames dengan telur dadar dan gulai nangka.
“gak salah itu? Enggak pesen rendang ato ayam bakar?” tanyaku.
“okeh tambahin ayam bakar, mas..” ujar Feri kepada si mas.
Kuacak-acak saja rambut Feri, dasar bocah! Aku memesan rendang dan kuah gulai, dengan porsi lebih tentunya. Kulirik Feri makan dengan santai dan beradab, kalau dibandingkan denganku yang masih warteg style.
“yang biasa makan disini para pekerja keras di gudang logistik dekat sini, kak..” ujar Feri sambil mengunyah. Feri mempleseti kata kuli dengan istilah yang lebih enak didengar.
“gudang logistik? Yang bangunan gede dekat sini?”
“yep..”

Dua buah mobil tronton lewat di depan rumah makan dengan suaranya yang khas. Lurus terus menuju lokasi gudang. Aku dan Feri kembali terdiam dengan makanan masing-masing. Meskipun kuantitas makanan di piringku lebih banyak dari Feri tapi tetap saja aku duluan yang habis.
“kakak makannya udah banyak cepat pula tapi gak gemuk-gemuk, kayaknya perut karung?” goda Feri.
Kuacak-acak lagi rambut Feri sampai berantakan. Feri cuma nyengir-nyengir tanpa protes. Tangannya masih berlapis nasi-kuah gulai untuk membenarkan rambutnya, sedang aku makannya kan pakai sendok dan garpu.

“kak Alvin itu suka menulis lho kak,” gumam Feri.
“nulis?” ulangku mendengarnya. Pikiranku langsung tertuju kepada buku harian Alvin.
“di mading sekolah kan kak Alvin penulis tetap. Dia senang mengirimkan cerpen ataupun cerbung. Dan cerita karangannya itu yang cukup ditunggu oleh pembaca setia mading..”
“wau, aku baru tau lho! Absolutely..” ujarku sedikit tidak percaya. Tak kusangka Alvin punya bakat terpendam yang aku sendiri tidak bisa: mengarang indah.
“aku pribadi suka sama cerita kak Alvin, apalagi yang judulnya sahabat jadi cinta..” tambah Feri mencuci tangannya di mangkuk kobokan. Selesai juga dia makan.

“sahabat jadi cinta? Lagunya Zigaz donk?” ujarku sambil membayangkan cerita yang Alvin buat.
Feri mengangguk dengan penuh semangat, “cerita tentang seseorang yang jatuh cinta dengan sahabatnya yang merupakan adik kelas..”
“err, permisi mas..” sebuah suara memotong pembicaraan kami.
Aku dan Feri menoleh, kulihat seseorang dengan pakaian kemeja rapi berdiri di samping kami. Wajahnya oriental dengan ekspresi muka yang terkesan dingin dan agak angkuh. Dari penampilannya aku yakin dia orang penting.
“ada geretan gak? korek?” ujarnya lagi sambil memberi isyarat tangannya yang seperti menyalakan korek gas.

“wah maaf bang, saia gak ngerokok..” jawabku.
“nih ada bang..” ujar Feri sembari merogoh sakunya dan memberikan sebuah pemantik.
Aku terperangah tak percaya melihatnya. Si kokoh yang kupanggil abang itu menyalakan rokoknya di depan kami kemudian mengembalikan pemantik itu ke Feri.
“makasih ya de..” ujarnya kemudian meninggalkan kami.
“sama-sama,” ujar Feri sambil mengantongi lagi pemantiknya. Sekarang ia beralih ke arahku, ia hanya tersenyum getir.

“kamu.. ngerokok?”
“maklum, namanya juga anak muda yang banyak pingin taunya, jangan bilang-bilang kak Lena ya..”
“tapi... kok?”
Aku masih saja tidak percaya. Anak sebaik dan sealim Feri bisa merokok? Memang sih anak jaman sekarang pergaulannya sudah makin menjadi. Di mata masyarakat anak laki-laki merokok itu wajar, meskipun tidak kalau menurutku.
“kalo lagi suntuk aja kok kak,” jawab Feri seakan bisa membaca pertanyaan yang menggema luar biasa di pikiranku.
“ya sudahlah..” aku akhirnya menyerah.
Sejenak kulirik si kokoh yang kupanggil abang tadi. Dia sedang mengobrol dengan temannya, sepertinya tentang pekerjaan. Wajahnya serius sekali meskipun lawan bicaranya tidak serius-serius amat.

Aku dan Feri balik ke taman. Pencarianku disini saja belum mencapai lima puluh persen tapi aku sudah cape’ duluan. Habisnya dari tadi tidak ada tanda-tanda keberadaan Alvin. Aku memandang motorku yang sekarang berada di barisan parkiran motor. Dan di ujung barisan itu terdapat bapak-bapak yang memakai rompi seperti densus 88. Benar kata Feri, sudah diserahkan kepada si empunya taman a.k.a reman. Aku memesan es dawet ayu yang tadi dibangga-banggakan Feri, seperti apa sih rasanya. Pada sedotan pertama: wow enak juga! Manisnya, lembutnya benar-benar pas.

“enak kan kak?”
“absolutely..” jawabku sambil meresapi rasanya. Aku menoleh ke arah si abang tukang dawet. “bang, esnya muantap sekali..”
Si abang dari gerobaknya cuma nyengir sambil mengancungkan jempol.
“kak, boleh tau gak kenapa kak Alvin kabur dari rumah?” tanya Feri tiba-tiba.
Aku mendengung pelan dan terdiam, Feri melihat ke arahku dengan tatapan ingin taunya. Kupikir Lena sudah menceritakan semuanya. Aku menggaruk-garuk kepala, ragu juga menceritakannya.
“aku gak yakin kamu bisa menerimanya..”
“tenang aja kak, aku sudah terbiasa dengan hal-hal yang gak bisa diterima..”

Jawaban yang paling tidak bisa kubalikan. Sebenarnya aku punya hak untuk tidak menceritakannya, tapi kupikir aku perlu melepas beban yang ada di hatiku ini. Sepertinya tak ada salahnya jika kuceritakan kepada Feri, aku juga memegang rahasia dia yang merokok.
“a.. Alvin,” ucapku pelan, agak susah rasanya. Mencari kata-kata yang lebih tepat.
Feri tampak menyimak dengan baik.
“Alvin suka sama kakak,” ujarku lepas, kujeda sebentar untuk melihat reaksi Feri.
Tak ada reaksi yang kuharapkan, Feri malah mengangguk mengisyaratkan agar aku melanjutkan ceritanya.

“dari buku hariannya kakak mengetahui itu, kakak benar-benar marah, sedih, kecewa.. semua bercampur jadi satu. Kakak cuma bisa diam menahan perasaan yang campur aduk itu. Kemudian membanting buku hariannya itu, meninggalkan dia yang menangis.. kakak pergi ke tempat Ayah, kakak bilang ke Ayah dan ke Ibu, gak akan pernah mau melihat Alvin lagi. Dan akhirnya tanpa sepengetahuan Ayah dan Ibu, Alvin kabur dari rumah. Tanpa membawa apapun kecuali baju yang dia pakai..”

Feri termenung sebentar setelah mendengar ceritaku. Aku degdegan menunggu reaksinya. Feri hanya tersenyum tanpa memandang ke arahku. Entah kenapa reaksinya tak pernah seperti yang kuharapkan.
“kasihan kak Alvin,” gumamnya pelan.
“kakak juga bingung, fer..” ujarku, niatnya ingin curhat.
“cinta itu rumit kak..”
“sangat sangat..”
“cinta itu buta, tidak pandang siapa. Tua atau muda, teman sekelas atau guru, sahabat atau musuh bahkan laki-laki ataupun perempuan..”
Tunggu dulu! Sejak kapan si Feri omongannya tua begini.
“yeah! Kakak sendiri juga gak terlalu ngerti dengan cara kerja cinta itu sendiri. Buat kakak sekarang yang penting Alvin ketemu,”
“I wish so, because I missed him..” gumam Feri.
Missed Him? Merindukan Alvin? Pikiran lamaku mulai menggelayutiku, apa Feri menyukai Alvin ya. Ah! Wajarlah dia rindu, dia kan akrab sekali dengan Alvin.


Sebuah Kalung

Sorenya Karim, temanku datang ke rumah. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya. kesibukan kerja, kuliah dan kepala rumah tangga benar-benar membatasi waktuku dengan teman-temanku. Aku dan Karim ngobrol-ngobrol di teras depan sambil menikmati kopi dan cemilan yang Lena siapkan.
“enak ya yang udah punya istri.. ada yang bangunin, nyiapin makan dan yang cihuy di kamar. Hahahaha!” ujar Karim sambil tertawa lepas.
“makanya married donk, brur..” ujarku dengan santai.
“ntar dit, kalo gue udah naik jabatan langsung Anita gue lamar..”
“rejeki itu gak akan kemana bro, dimana ada kemauan disitu ada jalan!” aku menegaskan.

“bismillah lah, dit!” jawab Karim kemudian menyeruput kopinya.
“tadi gue liat ada anak cowok di dalam siapa? Adiknya Lena ya?”
“iya, lagi nginep disini..”
“oouh..”
Aku ikutan menyeruput kopiku. Dan kami sama-sama terdiam sejenak, sama-sama mencoba mencari topik obrolan.
“masih gak ada kabar dari adik lu?” tanya Karim.
Aku menggelengkan kepala sambil meletakan cangkirku. Ku hela nafas panjang sambil menyandarkan kepalaku ke belakang. Karim tampak menyesal membahas tentang Alvin.
“eh ntar malam anak-anak pada mau ngumpul, si Revan kan ulang tahun jadi ceritanya dia mau traktir kita-kita..”
“Revan? Teman lu yang anak Bandung itu ya..” aku langsung bangun dari posisi.

“iyah, di kafe langganan dia di Kemang. Tapi lu diijinin gak sama hareem lu?”
“santai aja, kalo gak diijinin gak gue kasih jatah dia! Hahahaha..” ujarku sambil tertawa lepas.
“gak dikasih jatah gimana, dit?” Lena tiba-tiba sudah ada di ambang pintu.
Waduh! Mati aku.
“gue gak ikut-ikutan ya..” ujar Karim lepas tanggung jawab.
Aku cuma tertawa kuda, tau kan tertawa kuda? Tertawa yang suaranya seperti ringkihan kuda. Dan cuma aku yang punya tertawa macam itu.
“gak apa-apa, len. Biasalah obrolan laki-laki,”

Lena sempat mendelik pelan kearahku. “aku udah masak makan malam, makan dulu yuk!” ujarnya kemudian.
“okeeeh..” jawab Karim dengan penuh semangat.

Di meja makan Feri sudah bersiap dengan sebuah piring dan sepasang sendok-garpu. Hari ini Lena masak perkedel kentang dan sayur sop lengkap dengan emping sebagai pendamping lauk utama. Kemudian kami pun mulai makan dengan lahap, masakan Lena memang sangat lezat.
“tau gak Len, aku dulu pernah main ke rumah temanku. Dia chef di salah satu restoran khas Indonesia di Eropa. Di restoran itu menu masakan Indonesia bermacam-macam, ada rendang, gudeg, lotek, sayur asem, sayur lodeh dan juga perkedel. Karena dia lagi liburan makanya aku main, lumayan kan ntar nyobain masakannya dia. Hari itu ternyata dia masak perkedel dan sayur sop, dan rasanya endang bambang! Kupikir gak akan ada yang bakal nandingin rasanya, tapi waktu aku icip masakan kamu ini. Aku baru sadar, temanku itu punya saingan berat..”

Lena tersipu malu mendengar pujian itu. Dasar si Karim Abdullah, pintar sekali memuji, gumamku di dalam hati.
“oh iya Len, hari ini temanku ada yang ultah. Dia mau mentraktir aku dan kawan-kawanku di tempat makan langganan dia, malam ini. Boleh gak?”
“kafe dimana?”
“daerah Kemang, gak jauh kok dari sini..”
Lena diam belum menjawab, malah menambah nasi ke piringnya secentong.
“kalo mau, kamu ama Feri boleh ikut..” Karim memberi usul.
Aku jadi degdegan sendiri.

“aku dan Feri di rumah saja, kalian have fun lah..” ujar Lena sembari tersenyum.
Karim hanya mengangguk tanpa menambahkan apa-apa. Satu senyuman seorang wanita saja bisa membungkamkan Karim. Hebat!
“dit, jangan pulang terlalu malam ya..” pesan Lena.
“siap bos..” ujarku.
Kata-kata itu seakan ultimatum.
“by the way, siapa teman kamu yang ulang tahun itu? Apa kau kenal dia?” tanya Lena kepada Karim.
“dia temanku dari Bandung yang juga satu kampus dengan kita, satu angkatan pula. Namanya Revan Andhika Syah anak sastra Indonesia..” jelas Karim.

“kayaknya aku pernah dengar nama itu deh,” sahut Lena sambil mengingat-ingat.
“si Revan mah emang terkenal di beberapa fakultas. Disamping anaknya cakep dan pinter, dia juga aktif di ekskul basket..” tambah Karim.
“ehm..” aku berdehem.
“eh tapi tetep gantengan si Adit kemana-mana..” ujar Karim kemudian setelah melihat aku mendelik kepadanya.
“iya dia terkenal, sampai Tio aja kenal sama dia. Ya enggak, rim?” sahutku sambil menyeringai.
“kalo kakaknya emang bisa dibilang terkenal, dit..” ujar Karim serius.
“terkenal gimana?”

“dulu SMA Nusa Bakti adalah sekolah yang punya segudang prestasi juga terkenal dengan kumpulan murid-muridnya yang merupakan anak-anak bandel dan biang onar. Hobinya tawuran dan cari masalah dengan sekolah lain. Murid-murid nakal yang bejibun itu dipimpin oleh lima orang. Lima orang yang memiliki julukan Pandawa hitam. Kan kalau pandawa yang kita tau tokoh protagonis pembela kebenaran, nah mereka ini adalah lima orang yang hobi menyiksa dan membuat kekacauan. Lambangnya mereka pun serigala hitam berekor lima. Pandawa Hitam ini sudah melegenda dan turun temurun, jadi setiap generasi ada penggantinya..”

“kenapa namanya enggak Rahwana five aja? Kan cocok banget tuh menggambarkan mereka berlima banget..” komentar Feri frontal.
Aku, Karim dan Lena terkekeh mendengarnya.

“pemilihannya gak sembarangan, ada ritual apa gitu pokoknya ekstreme deh. Dan pada generasi itu anggota geng itu empat cowok sama satu cewek tomboi. Namanya Agung, Bayu, Reksa, Andri dan Siska Denger-denger sih si Siska ini lesbian tapi wallahualam deh. Kelima anak itu punya anak buah masing-masing yang jumlahnya banyak, hampir sepertiga murid di sekolah itu. Guru-guru sampai kepala pun hampir gak bisa menangani ulah mereka, sebab kelima anak itu orang tuanya adalah donatur tetap sekolah.

Sampai kemudian Rendi Kurniawan Syah dan saudara kembarnya Rena Silviliani datang. Anak baru pindahan dari sekolah lain. tradisinya anak baru secara turun-temurun ala Pandawa Hitam adalah ngerjain mereka selama seminggu penuh. Dan mereka ngerjainnya juga bukan sembarangan ngerjain, mereka yang sifat dasarnya emang mental orang jalanan jadi kegiatan ngerjain mereka itu sama kaya penyiksaan gila-gilaan. Secara fisik ataupun verbal. Pernah ada yang masuk rumah sakit dan koma..”

Aku, Lena dan Feri mendengarkan dengan penuh penasaran. Ada juga ya manusia-manusia seperti itu masih merajalela di muka bumi ini. Mungkin mereka ada hanya saja tidak terekspos media saja.

“melihat ada dua anak baru ibarat singa buas melihat sepasang rusa masuk ke wilayah mereka. Tapi sayangnya mengerjai kedua orang itu adalah sebuah kesalahan besar. Mereka lupa membaca informasi tentang Rendi dan Rena yang merupakan pindahan dari sekolah militer. Dan lagi, Ayah mereka itu terkenal sebagai jagoan bayangan yang unbreakable alias tak terkalahkan..”
“jagoan bayangan maksudnya?”

“jagoan yang enggak mengespos dirinya, jadi cuma beberapa kalangan aja yang tau. Balik ke cerita, kemudian Pandawa Hitam yang biasanya tinggal nyuruh anak buah mereka buat ngerjain malah turun tangan langsung. Katanya udah lama gak kedatangan anak baru, nunggu tahun ajaran baru kelamaan. Dan di hari pertama itu dua dari mereka turun, satu orang yang cowok kalo gak salah Agung ngerjain Rendi dan Siska yang ngerjain Rena.

Dan bisa kalian tebak hasilnya, kedua anggota Pandawa Hitam itu kembali dengan membawa kekalahan yang memalukan. Salah satu anggota yang jagoan basket turun tangan nantangin Rendi. Si jago basket yang namanya Reksa ini gak pernah kalah sekalipun, dia yang selalu ikut jika ada turnamen basket antar sekolah. Pertandingan antara Rendi dan Reksa ditonton murid satu sekolah, mereka berdua bertanding dengan sengit. Kehormatanlah yang dipertaruhkan. Tapi sepertinya Tuhan berpihak kepada Rendi, si Reksa pun itu takluk, dengan 1-0 untuk Rendi.

Di waktu yang hampir bersamaan, Siska mengerahkan tujuh anak buahnya yang merupakan cewek-cewek preman buat balas dendam ke Rena. Bayangin aja tujuh lawan satu, tau lah kalo cewek berantemnya pasti ada jambak-jambakan dan cakar-cakaran. Tapi ke tujuh cewek garang itu kalah sama Rena. Tinggal dua Pandawa Hitam yaitu Bayu dan Andri yang udah gatal pengen unyeng-unyeng dua anak baru yang menjatuhkan harga diri mereka.

Two on two di sebuah tempat mereka duel. Mereka nyebutnya duel sampai mati. Tadinya mereka cuma menantang Rendi, tapi Rena maksa ikut. Peraturannya satu: duel dengan tangan kosong. Duel itu berlangsung sengit. Rendi mewarisi bakat berantem dari ayahnya begitu pula Rena. Tapi si Bayu dan Andri juga terkenal sebagai panglima tawuran.

Gue gak tau terlalu detil tentang duel itu, yang pasti pemenangnya adalah Rendi dan Rena. Pandawa Hitam yang melegenda kalah, tapi mereka cukup jantan dengan menerima kekalahan tanpa ada dendam. Heran juga sih gue, biasanya yang jahat bakalan balas dendam tapi ini enggak.

Mungkin emang sudah takdir Tuhan agar mereka taubat melalui perantara Rendi dan Rena itu. Dan sekolah memberi apresiasi luar biasa kepada Rendi danRena. Nusa Bakti terbebas selamanya dari tradisi Pandawa Hitam selamanya. Cerita ini terkenal di kalangan tertentu aja, ada yang tau macam Tio. Dan gue yang notabene teman adiknya Rendi..”

Aku, Lena dan Feri mengangguk-angguk meresapi cerita itu. Satu kata sederhana yang cukup mewakili kesan kami: keren!

Setelah makan malam dan sholat maghrib aku bersiap-siap. Dengan motor masing-masing kami menuju Kemang. Sedikit macet khasnya Kemang, tapi berhubung kami motorcycle rider jadi hajar saja. Tio, Fandi dan Revan sudah duduk manis di meja dekat jendela yang sudah dipesan.
“sori telat ma bro,” aku menyapa mereka sembari berjabat tangan (khas kami)
“datangnya sama Karim sih yang tukang ngaret, jadi telat deh lo..” ujar Fandi sambil nyengir.
“hahahamsyong..” komentar Karim pura-pura cemberut.
Aku beralih ke empunya hajat, si Revan.

“selamat ulang tahun, Revan Andhika Syah..” ujarku sambil menjabat tangannya.
“terima kasih banyak, Aditya Firdaus..” sahut Revan sambil tersenyum berseri. “mana hadiahnya?”
Berhubung ini anak setipe denganku yang suka kejutan, sebelum kemari aku sudah menyiapkan sebuah kado. Feri yang memilih hadiahnya sedang Lena yang membungkus.
“wah, apa ini dit?” tanya Revan berbinar menerima hadiah dariku. “padahal gue bercanda lho..”
Kulirik sebentar beberapa kado yang tersusun rapi di pojok meja. “gak apa-apa kok, santai aja. Silahkan dibuka, van..”
Dengan antusias Revan membuka kado dariku. Karim mengintip isi kado itu. Revan mengeluarkan si hadiah dari kotaknya. Sebuah kalung dengan perak murni dengan bandulnya yang berbentuk lempengan kotak sebesar kupon Time Zone. Di bandul kotak terdapat guratan-guratan halus yang membentuk semacam simbol dan ditengah-tengahnya itu terukir jelas sebuah huruf:
R untuk Revan.

“terima kasih banyak, mas bro..” ujar Revan tersenyum lebar, ia langsung memakai kalung itu. “you know? Kalung ini mirip seperti kalung seseorang..”
“oh iya?” aku sedikit antusias. “kalung model ini sebenarnya cuma ada satu, waktu bokap gue ke Kalimantan dia beliin buat gue. Nah waktu gue ada bisnis ke Makasar, eh ada yang jual sama persis. Kata penjualnya ini kalung dia beli langsung dari pembuatnya. Pembuatnya memang ngebikin dua kalung, yang satu dia jual dan yang satunya lagi dia pakai. Tapi berhubung si pembuatnya lagi ada keperluan, maka dijuallah kalung dia itu. Wallahualam deh..”
“ooh,” Revan ber-O panjang. “trus mana kalung lu dit?”
“gue simpan di dompet,” jawabku sambil menunjukan dompetku. Kalung itu kusangkutkan di selaan foto.
Revan terkesima melihat kalungku yang memang sama persis dengan miliknya, tapi ukiran di bandul kalungku:
A untuk Adit.
“udah, udah! Jangan ngomongin kalung doank, mending kita langsung makan! Laper nih..” ujar Fandi memecah obrolanku dan Revan.
“oh iya ya, okelah! Tarik mang.. silahkan pesan apa saja terserah kalian,” ujar Revan sambil tersenyum.
“Let’s have fun..” gumam Karim menuju meja melihat buku menu.

Kami mengobrol panjang lebar, dimulai dari kegiatan kuliah yang seperti tak ada habisnya: Karim sekarang sedang aktif di media cetak kampus, dia begitu mencintai dunia editor. Fandi dan Tio sekarang hobi naik gunung, berbagai macam gunung sudah pernah mereka daki (kecuali gunung wanita, hehe) hobi foto bak model kelas atas masih mereka lakoni. Sedang Revan yang hobi berwirausaha tengah mengembangkan bisnis bajunya, kadang dia pulang pergi ke Bandung untuk bertemu keluarganya. Kalau aku? Tau sendirilah! Kuliah, kerja dan jadi kepala rumah tangga. Mana sempat memikirkan hobiku.

“gak apalah dit, toh juga nanti kita semua juga akan masuk ke masa yang kamu nikmati sekarang..” ujar Fandi sambil mengutak-atik ponsel barunya.
“cie cie yang tahun ini mau ngelamar Sonia..” goda Tio.
“wew..” ujar aku, Revan dan Karim berbarengan.
Wajah Fandi mendadak merona merah. Wah ada yang mau menyusulku nih.
“namanya orang udah kebelet kawin, hahahaha..” tambah Tio lagi.
“nikah itu enaknya sepuluh persen doank, fan..” sahutku dengan muka serius.
Fandi yang tadinya cengar cengir dengan wajah memerah langsung berubah menjadi raut muka serius.
“serius lu dit?” tanyanya sedikit cemas.
“iya! sembilan puluh persennya.. enak bangeeeet,”

Karim menyeringai ke arahku, dasar iseng! Revan menggeleng-gelengkan kepala. Sedang Fandi yang habis kukerjai kembali memerah mukanya.
“ah! Rese lu dit! Gue kirain...” protes Fandi campuran antara ingin tertawa dan sebal karena dikerjai.
“kirain apa sih fan? Jadi anak polos amat,” sahutku dengan seringai jahil.
“kaya gak tau Adit aja yang 11:12 sama Revan,” timpal Karim sambil mengicip kue blackforest di meja.
Kami semua tertawa, tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Hingga sekarang kami sudah berada di posisi yang sekarang ini. Aku ingat dulu kami belajar bersama menjelang SNPMPTN, masa-masa yang begitu menyenangkan.

“oom gue di Bandung punya sebuah sekolah yang didirikan bareng ama teman-temannya. Berhubung oom gue masih sibuk memandirikan kliniknya, maka gue yang dikasih kehormatan untuk mewakili dia dulu,” ujar Revan di sela-sela pembicaraan. “tadinya itu sekolah didirikan buat anak-anak yang kurang mampu. Berkat kegigihan teman-teman oom gue, itu sekolah mulai berkembang dan punya reputasi. Hal yang gue sukai dari sekolah itu, murid-muridnya diajari untuk berwirausaha dan mengembangkan potensi diri. Fasilitas sekolah yang menjadi jantung kehidupannya adalah tambak ikan bawal, kebun sayur-mayur dan koperasi kebutuhan sehari-hari yang pengurusnya adalah murid-muridnya. Guru-guru mah tugasnya sebagai pembina dan pembimbing aja..”

“wah keren! Coba di Jakarta ada yang kaya gitu,” sahut Fandi dengan antusias. Meski sering dikerjai oleh Revan tapi dia tetap yang paling antusias kalau Revan sudah bercerita.
“jadi independen gitu ya sekolahnya,” komentarku.
Revan tersenyum, “tertarik gak dit? Gue dengar nyokap lu jadi guru sukarelawan di sekolah daerah terpencil ? kali aja lu juga punya jiwa sosial yang sama?”
“wah wah, liat sikon dulu deh..” jawabku teringat Lena. Kalau aku bergabung nanti Lena sendirian saja di rumah.
“kok cuma Adit yang diajak? Gue juga donk!” Tio protes. Karim dan Fandi mengangguk setuju.
“hehehe, kalian semua kalau berminat boleh kok..” jawab Revan segera mengamankan situasi. “tapi gue juga ingin membangun sekolah seperti itu di Jakarta. Coba aja kalian liat ada berapa jumlah anak putus sekolah di Ibu Kota ini?”

Kami semua termenung, iya juga sih. Di kota sendiri saja masih banyak yang perlu diperhatikan.
“semua ada saatnya kawan, tenang aja..” ujar Revan sambil nyengir.
“oh iya, van. Mana pacar lu?” Tio tiba-tiba berceloteh. “di hari lu yang spesial ini kok lu gak ngajak pacar lu sekalian? Biar rame..”
“bedon lu, io. Ada lah waktunya sendiri ama pacar, sekarang adalah waktunya bersama teman-teman. Ya enggak, van?” celetuk Karim.
Revan hanya tersenyum tanpa menjawab sambil meneguk caramel machiato-nya. Tidak terasa jam sudah menunjuk pukul 10:15 pm. Seperti janjiku kepada Lena aku tidak akan pulang terlalu malam. Aku pun pamit duluan kepada teman-teman.
“ciee yang udah ditungguin istrinya buat ehem ehem,” goda Tio dengan seringainya.
“ntar lu ngerasain deh, hahaha! Duluan ya kawan-kawan. Dan terima kasih van buat traktirannya..” ujarku sambil memakai jaket.
“absolutely..” jawab Revan.

Apalagi besok Ayah kan ngajak aku ke rumah temannya yang orang pintar. Jadi tidak boleh tidur terlalu larut. Aku memacu si Jupiter dengan kecepatan lumayan, maklum aku tidak boleh mengecewakan Lena.

***

Setiba di rumah kulihat Lena dan Feri sedang asyik nonton. Kehadiranku seakan tidak disadari oleh Lena dan Feri. Rupanya mereka membeli beberapa DVD untuk ditonton. Kulihat tumpukan film di atas meja yang beberapa diantaranya terbuka covernya. Sekarang mereka sedang menonton film Life is Beautiful. Seperti film yang pernah kutonton dulu, cerita pelik tentang Ayah dan anak yang tertangkap tentara Nazi. Dan sekarang ada di adegan yang memilukan, yaitu saat sang Ayah akan dieksekusi. Kuintip Lena yang sudah berlinang air mata sedang Feri matanya cuma sedikit berkaca-kaca saja.

Aku paling tidak tahan dengan bagian ini, si Ayah masih saja meyakinkan si anaknya bahwa ini hanyalah permainan. Tanpa sadar aku juga menitikan air mata. Kenapa hidup bisa sepelik ini ya?
“kak Adit nangis?” tiba-tiba suara Feri mengagetkanku.
Buru-buru aku menghapus air mataku. “enggak fer, tadi kelilipan di motor..”
“menangis itu juga tanda bahwa seseorang masih punya hati lho dit,” sahut Lena sambil menyeka air matanya dengan tisu. Ia tersenyum, senyuman misterius khas wanita.
“seperti janjiku, gak terlalu malam..”
“terima kasih sudah menepati janji..”
Aku mengangguk dan berangsur menuju kamar Alvin, mau istirahat. Tidak perlu tanya lagi kan kenapa aku tidak balik ke kamarku.

Di kamar Alvin pun aku tetap tidak bisa tidur, aku cuma berguling-guling di atas kasur. Kupandangi buku harian Alvin yang kusembunyikan dibalik bantal. Buku itu sedikit kusut karena pernah kubanting, tapi aku melihat ada usaha Alvin untuk membuat bukunya tampak lebih baik. Tulisan tangan Alvin yang terlihat lucu dengan ciri khas huruf ‘a’ nya yang gemuk seperti buah apel. Kurogoh sakuku mengambil dompet dimana aku menyimpan foto Alvin. Foto saat aku dan dia sedang tersenyum. Di foto itu Alvin nampak begitu bahagia. Entah sekarang ia bahagia atau tidak.

Kudengar suara pintu kamar diketuk, aku bangun dan langsung menyembunyikan semuanya dibalik selimut.
“ya masuk..” sahutku mempersilahkan.
Tak lama sosok Feri pun muncul dari balik daun pintu. Aku memberi isyarat untuk masuk.
“kenapa Fer?” tanyaku saat adiknya Lena ini duduk di sebelahku.
“enggak apa-apa kak,” jawab Feri misterius.
Aku mengangguk-angguk mencoba mencari topik pembicaraan.
“teman kakak itu suka hadiahnya?” tanya Feri.
“iya dia suka banget. Kamu pinter ya milih hadiah..”
Feri hanya tersenyum. Karena waktunya mepet, aku tidak sempat membeli sesuatu untuk hadiah. Untunglah Feri punya sesuatu dari tasnya (aku sempat curiga tasnya itu jelmaan kantong ajaib Doraemon) yaitu seuntai kalung perak murni, yang aku herannya persis seperti milikku. Asal-usulnya seperti yang tadi aku ceritakan, hanya saja yang membelinya Feri bukan aku.

“film tadi membekas banget, kak..” ujar Feri sembari mengingat-ingat film yang baru selesai ditontonnya.
“sangat..” sahutku. “intinya kita harus menghargai hidup..”
“sepelik apapun?”
“absolutely, hidup itu adalah anugerah terindah yang pernah dimiliki manusia..”
Feri mengangguk-anggukan kepalanya.
“tidur gih fer, udah malam..” ujarku sambil menunjuk jam dinding.
Sekali lagi Feri hanya menjawab dengan anggukan kepala, ia beranjak dari tempat tidur dan meninggalkan ku sendirian di kamar ini.
“selamat malam, kak..” ujar Feri sebelum ia menutup daun pintu.

Setelah Feri menutup pintunya, aku kembali berbaring. Kuambil kembali benda-benda yang sempat kusembunyikan tadi: buku harian dan dompetku. Kuletakan buku harian itu di dadaku, sekarang aku mengamati foto Alvin lagi. Gurat senyum Alvin itu hanya dia yang punya, sebuah senyum seorang anak yang polos dan baik hati. Kulirik kalung yang tergantung disamping foto itu, huruf ukiran A itu bisa diartikan inisial A untuk Alvin. Tadinya aku mau memberikan kalung ini untuk Alvin saat usianya 15 tahun. Bukan karena tidak suka ataupun bosan, tapi Alvin tampak sangat menyukai kalung ini. Karena itu kalung ini tidak aku pakai lagi tapi kusimpan di dompet.

Ponselku berbunyi, ada SMS masuk. Langsung saja kubuka.

Dit, ini Revan
Besok free gak?
Kita ketemuan yuk!
Sambil jogging ke monas

Revan? tumben, besok aku dan Ayah kan mau ke rumah teman Ayah yang pintar itu. Biasanya Ayah akan menghubungiku untuk memastikan, tapi dari tadi aku belum menerima SMS atau telpon dari Ayah. Ah hitung-hitung cuma jogging, tak ada salahnya kalau kusanggupi.

Ok!
Jam7 dMOnas
:D
Sent!

Besok pagi aku langsung bersiap, dengan kaos bercorak garis hitam dan celana panjang training serta sepasang sepatu ketsku. Tas gunung berukuran sedang sudah tergantung di punggungku, yang isinya sebotol air dan handuk kecil. Mungkin rasanya berlebihan aku membawa tas jika isinya hanya itu saja, tapi karena memang hobiku membawa tas gunung daripada tas pinggang.
“mau kemana dit?” tanya Lena baru bangun tidur.
“mau jogging,” jawabku masih mengikat tali sepatu.
“kemana dan ama siapa?” tanya Lena mendadak seperti petugas introgasi.
“ke Monas sama Revan..”
“ooh, Revan yang ulang tahun itu ya?”
“Yep..”
“eh kayanya ada orang di depan gerbang, dit..” ujar Lena menangkap sosok seorang laki-laki di luar rumah. Orang itu duduk di atas sepeda sambil sesekali mengamati ke dalam rumah, ia sibuk berkutat dengan ponselnya.
Aku menoleh ke jendela. Wah! Itu Revan, kok dia bisa tau rumahku? Buru-buru aku bergegas keluar, menyambut orang itu.

“hei..” sapaku sambil melambaikan tangan.
Revan tersenyum sambil mengancungkan jempolnya. Sama sepertiku, ia mengenakan kaos dan celana training yang pendek.
“ke Monasnya pakai sepeda?” tanyaku.
“iyalah, masak naik odong-odong? Ada sepeda kan lu?”
“ada..” jawabku sambil melirik ke garasi. Aku memang punya sepeda gunung yang sudah lama tidak kupakai. Terakhir Alvin yang memakainya.
“let’s go! Matahari udah mulai meninggi,” ujar Revan bersiap dengan meremas stang sepedanya.
“okeh..” aku buru-buru mengambil sepeda itu dari garasi. Sial! rantainya kering karena sudah lama tidak diberi oli.

“sebentar ya van, gue ngolesin rantainya dulu..” seruku.
“okay..” jawab Revan dari depan gerbang.
Sepeda itu langsung kubalik, kuambil sekaleng oli dari lemari kayu. Olinya kutuang pelan-pelan ke rantai sambil kuputar pedalnya. Dan otomatis olinya merata ke semua.
Ku dengar pintu terbuka, kulirik ke depan: Revan tampak tersenyum ke arah pintu. Dan beberapa detik kemudian Lena muncul di hadapanku.
“masih oke gak ban nya?” tanya Lena.
Ban? Oh iya, aku langsung memeriksa. Agak kempis, Lena langsung mengambilkan pompa dan mengisikan udaranya. Setelah semuanya oke sepeda siap kupakai, tanpa buang waktu langsung kutunggangi. Revan sudah cukup sabar menunggu.
“terima kasih, bee..” ujarku sambil melemparkan senyuman mautku. “aku berangkat, Assalamualaikum,”
“waalaikumsalam..”

Revan yang memimpin jalan menuju monas, jalan tikusnya hampir sama lah seperti jalan tikus motor. Kira-kira sejam mengenjot tiba juga di Monas. Minggu pagi begini Monas sangat ramai.
“van, kayanya kita banting stir aja dari jogging jadi sepedaan gimana?” usulku.
“fine! Yang pasti kan sama-sama sehat,” jawab Revan.
Alhasil kami jadi main sepeda, mengitari sudut-sudut monas yang luasnya seperti lapangan golf eksekutif. Kira-kira ada dua jaman kami berputar-putar, kemudian Revan memilih sudut dekat kolam untuk melepas lelah. Revan membeli arem-arem dan sebotol minuman, sedang aku hanya membeli gorengan sebab air aku bawa sendiri.

“lu penuh persiapan ya dit, pakai bawa tas segala..” gumam Revan sambil mengunyah arem-aremnya. Sesekali ia menyeka keringat di dahinya.
Aku nyengir sambil menggigit tahu isiku. “hobi aja bawa tas kalo lagi ke luar..”
“tapi semalem lu gak bawa tas?”
“enggak ah, ntar disangkain mau nawarin barang ke pengunjung kafe lagi..” jawabku sambil bercanda.
Aku dan Revan tertawa lepas. Revan menghabiskan arem-aremnya baru kemudian menenggak minumannya. Ia menatap monas dengan mata cemerlangnya. Aku sesekali mengamati sekitar sambil sebentar-sebentar meneguk minumanku.

“gue seumur hidup ini belum pernah naik kesana,” gumam Revan. Entah dia mengajakku ngobrol atau berbicara kepada dirinya sendiri.
Aku menoleh, kulihat dia menunjuk puncak Monas. Dulu waktu kecil aku pernah diajak ke puncak monas oleh Ayah, ngantrinya seperti antre pembagian BLT. Bahkan lebih parah. Revan kan orang Bandung, tidak heran kalau dia belum pernah naik ke puncak Monas.
“lu mau naik?” tawarku iseng.
Revan pun menoleh ke arahku. “lu udah pernah naik?”
“udah,”
Dia terdiam sejenak sambil meneguk lagi minumannya hingga tersisa seperempat.
“gue pengen banget naik kesana, ngajak adik gue..” sahut Revan masih mengamati ujung puncak Monas. “adik gue belum pernah naik dan pengen banget naik sama kakaknya..”
“ooh, kenapa gak lu ajak aja pas ada waktu luang?”

Tiba-tiba Revan menatapku dengan tatapan sendu, aku kaget melihat perubahan raut wajah Revan yang mendadak itu.
“kan tadi gue udah bilang, adik gue pengen naik ke puncak monas sama kakaknya..” ulang Revan.
Aku mendelik ke arah Revan, sejujurnya aku belum benar-benar paham maksud omongan dia.
“maksudnya van?”
Revan menatap mataku dalam-dalam. Tatapan sendunya berubah menjadi tatapan serius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar