Senin, 21 Maret 2016

Adikku Alvin Christian - Part 11

Sebuah Simfoni Hitam

:: Reynaldi Prasetio Agung ::

Aku sedang berjalan di pusat pertokoan untuk sekedar cuci mata, lalu lintas Bandung yang padat sudah menjadi pemandangan biasa. Sepertinya sih sedang mencoba menyaingi Jakarta. Tidak sedikit kulihat gadis-gadis bandung baik yang berseragam maupun potongan mahasiswi berseliweran disini. Kuakui mereka-mereka itu memang geulis nan elok, kecantikan mereka itu lain daripada yang lain. Banyak diantara mereka yang melirik dan mencuri-curi pandang ke arahku.Tapi sayang yang kuinginkan hanya Alvin seorang, hahahaha.

Saat mataku sedang asyik mencari objek yang bagus, aku menangkap sebuah objek di dekat lampu merah penyebrangan sana. Ada seorang nenek-nenek yang ingin menyebrang tapi tidak jadi-jadi karena lalu lintas masih cukup padat. Aku menggelengkan kepala, yang namanya pengguna jalan adalah orang yang sangat egois. Aku pun menghampiri nenek itu dan membantunya menyebrangkan jalan. Dengan bergetar beliau mengucapkan terima kasih kepadaku dan melanjutkan perjalanannya. Aku menatap siluet nenek itu yang berjalan lurus dan menghilang di gang. Kasihan juga nenek itu, sudah tua kenapa tidak hidup bahagia dengan anak-cucunya.

Begitu aku berbalik tiba-tiba muncul seorang gadis cantik dengan gaun putih, kulihat kakinya tidak menapak di bumi. Aku bergidik melihatnya.
“hei jangan takut aku adalah gadis ajaib. Dan tentunya bukan jeng kunti, kami beda perguruan dan brand..” ujarnya sambil tersenyum menenangkanku.
Aku berkali-kali menatapnya dari atas kebawah, bagaimana mungkin makhluk ajaib begini muncul di pusat kota Bandung? Aku pasti sedang mimpi!
“begini, karena sudah berbuat baik, aku akan kukabulkan satu keinginanmu” ujar gadis itu seraya mengeluarkan tongkat wasiat.
“berarti kamu sama dengan jin yang aladin donk?”
“whatever..” jawab sang gadis dengan wajah bete.

Kuharap aku sedang tidak berada dalam sinetron silat Indosiar, “aku ingin hidup bahagia dan masuk surga,” pikirku
“itu dua permintaan bro,” sahut gadis itu.
Tak kusangka dia gaul juga, apa di dunia gadis ajaib ada juga kaum gaul dan kaum alay?
“kalo gitu aku ingin masuk surga saja,”
“gak bisa, itu berkaitan dengan Sang Pencipta. Aku cuma bisa mengabulkan permintaan selama kamu berada di dunia,”
“kalo gitu aku ingin menjadi hambaNya yang bertaqwa,” ujarku mantap.
“masih gak bisa, soalnya ini urusan anda dengan Sang Pencipta,”
Aku jadi meragukan yang berada di hadapanku ini gadis ajaib atau bukan.

“yaudah, aku ingin hidup bahagia dengan orang yang aku cintai,”
Gadis itu mengangguk, ia mengayun tongkat wasiatnya dan kulihat bunga api indah menyala di ujung tongkatnya.
Sekejap aku bangun, badanku keringatan. Aku langsung bangkit ke posisi duduk dan melihat ke sekeliling. Aku berada di asrama, bukan di pusat pertokoan. Benarkan? Ini cuma mimpi.

Aku mengambil ponselku dan di layarnya tertera: pukul 20.00. Jam delapan malam rupanya. Sepertinya Alvin masih di rumah sakit, laporan terakhir dari mata-mataku katanya Adit koma dan tak sadarkan diri. ini sudah hari kedua sejak kecelakaan menyedihkan itu. Kenapa orang itu tidak langsung mati saja di tempat? Baru melihat video itu saja sudah nge-down begitu, benar-benar lelaki bermental tempe. Kemunculannya itu benar-benar mengganggu hubunganku dengan Alvin.Ditambah lagi kehadiran anak yang bernama Feri itu, kalau dibiarkan terus bisa membahayakan. Nanti akan kuberi dia pelajaran.

Aku menggelengkan kepala, sepertinya aku memang harus ke rumah sakit juga memantau langsung. Aku tidak bisa membiarkan Alvin di luar sana sendirian. Aku ke kamar mandi untuk cuci muka, aku tidak mau tampil kusut di depan si bocah tengil.

Ku kirimkan pesan singkat kepada supirku untuk datang di tempat biasa. Aku selalu menyisipkan kalimat: gak pake lama! Karena aku benci menunggu. Menyelinap keluar asrama sudah bukan hal yang sulit bagiku, dengan sedikit trik maka sekejap aku sudah berada di luar. Beberapa menit kemudian mobil pribadiku datang, aku langsung masuk.
“kamu terlambat tiga puluh dua detik,” ujarku dengan nada dingin.
“maaf tuan muda, ta..tadi ada konvoi jadi jalanan agak macet. Saya janji akan lain kali akan lebih tanggap dan datang lebih awal.” ucap supirku ketakutan.
“yaudah, jalan sekarang!” sahutku tegas, ngobrol begini membuat waktuku semakin banyak yang terbuang.
Supirku langsung tancap gas, usianya tiga puluh dua tahun dan sudah berkeluarga. Wajar saja dia sangat sangat menjaga pekerjaannya ini. Dasar rakyat jelata!

By the way, kenapa di mimpi itu aku meminta menjadi seseorang yang bertaqwa ya? kalau kuingat-ingat terakhir aku ke masjid itu saat Alvin pertama kali menginjakan kaki di sekolah ini. Alasannya karena aku ingin mengawasi dia saja, anak itu benar-benar membuatku jatuh cinta dalam pandangan pertama. Aku menatap langit malam Bandung dari balik kaca mobil.
“Tuhan, aku tau Engkau disana sedang mengawasiku dari sekian banyaknya manusia di muka bumi ini..” gumamku dalam hati. Aku bahkan tidak pantas memanggil namaNya. Manusia berlumur dosa sepertiku.

Tidak terasa aku sudah tiba di rumah sakit, supirku benar-benar tidak mau kehilangan pekerjaannya. Bagus, begitu donk! Buat majikanmu senang. Mata-mataku sudah menungguku di dekat parkiran.
“gimana situasinya sekarang?” tanyaku.
“Adit lagi diruang operasi, kondisinya makin parah..” ujar mata-mataku.
“bagus, semoga cepat mati itu orang..” gumamku semangat mendengarnya. “kalau Alvin dimana?”
“dia lagi di mushollah, lagi nangis-nangis memohon keajaiban sama Yang Maha Kuasa..”
“waw..” tak kusangka Alvin benar-benar tidak mau kehilangan kakaknya.

“sebaiknya bos jangan menemui dia dulu,” ujar mata-mataku seakan bisa membaca pikiranku.
“emang kenapa?”
“Alvin sedang dalam kondisi yang amat sangat labil. Mungkin kalau ngeliat bos, dia akan ngamuk dan menyalahkan bos atas kecelakaan Adit..”
Benar juga, Alvin ‘kan taunya aku orang terakhir yang bertemu Adit.
“aku cuma mau ngeliat dia dari jauh aja,” ujarku seraya meninggalkan mata-mataku.
Kutelusuri peta denah rumah sakit ini untuk menemukan mushollah. Lokasinya ada di dekat taman, tidak jauh dari sini.

Setelah pencarian kecilku, akhinya ketemu juga tempat ibadah itu. Mushollah itu didesain cukup bagus dan memberi nuansa teduh. Tapi saking teduhnya membuat orang-orang jadi senang tidur disitu. Kasihan mushollah. Aku mendekat perlahan dan mengintip melalui celah, di dalam sana tampak sosok Alvin yang sedang duduk bersandar di dinding paling belakang. Wajahnya terlihat kuyu dan kurang tidur, kepalanya manggut-manggut naik-turun menahan kantuk yang teramat sangat. Menyedihkan sekali keadaannya.

Ponselku tiba-tiba berdering, oh shit! Ponselku kan tidak pernah kuatur dalam modus hening. Buru-buru kutekap lubang speakernya. Kuintip ke dalam mushollah sebentar, Alvin masih anteng di tempatnya. Untunglah! Siapa sih yang SMS? Kalau ternyata SMS tidak penting akan kumaki-maki orang yang mengirimiku pesan tadi. Ternyata dari mata-mataku, dia melaporkan bahwa Lena datang. Wah! Sepertinya akan tambah seru nih.

Alvin tiba-tiba membuka matanya, ia diam sebentar untuk menarik nafas kemudian mendadak beranjak meninggalkan mushollah. Aku masih mengawasi dari tempat persembunyianku, apa kira-kira yang akan dilakukan anak ini. Alvin mempunya intuisi yang mengagumkan yang kadang tak bisa kutebak. Aku diam-diam mengikuti anak itu dalam jarak aman.

Alvin tampak buru-buru dengan langkahnya, dia mendapati sebuah kejutan dengan kehadiran Lena. Ibunya Adit dan Feri duduk mengapit Lena yang tampak terguncang.
“mau apa kamu kesini?” ujar Alvin menatap tajam ke arah Lena.
Lena bereaksi cepat dengan suara Alvin, suara seseorang yang dia benci sama halnya Alvin membenci dirinya. Lena bangkit dan menatap lurus-lurus Alvin, mereka saling beradu mata.
“kak..” ujar Feri mencoba mencegah.
“diam!” bentak Lena pelan.
“masih punya muka kamu datang kesini?” ujar Alvin dengan nada dingin.
“Alvin!!” seru Ibunya Adit.
Ternyata didikanku kepada Alvin tidak sia-sia, seperti itu memang caranya memperlakukan wanita macam Lena.

“it’s okay bu..” ujar Alvin seraya tersenyum kepada Ibunya Adit. Seolah dia ingin bilang, ini antara Alvin dan Lena, biarkan kami menyelesaikan dengan cara kami. Alvin kembali menatap tajam Lena.
“apa itu jadi masalah buatmu?” Lena bertanya balik dengan nada yang tidak menyenangkan.
Alvin mengerutkan dahinya, “tentu saja! Kalau bukan karena kamu yang menolak permintaan kak Adit untuk rujuk, maka hal seperti ini tidak akan terjadi!”
Si Alvin omongannya dalam sekali, dia tidak tau saja bahwa dia juga secara tidak langsung ikut berperan membuat Adit depresi.
Lena langsung diam seribu bahasa, dia menyadari posisinya yang patut disalahkan. Feri dan Ibunya Adit tampak tidak tenang melihat kesengitan Lena dan Alvin.

Jadi Lena menolak rujuk dengan Adit? Pantas waktu itu mukanya lebih melas dari saat pertama kali aku bertemu. Dasar laki-laki menyedihkan! Seperti tidak ada wanita lain saja di muka bumi ini.
“tapi penyebab semua ini adalah kamu! Kamulah biang masalah yang sebenarnya, seandainya Adit tidak ngotot ingin menemui kamu! se..seandainya saja kamu tidak pernah masuk di dalam kehidupan Adit! Kami akan bahagia!”
Sekarang gantian Alvin yang diam seribu bahasa. Posisinya sekarang satu sama dengan Lena. makin seru saja, lebih seru dari sinetron Cinta Fitri. Aku

“cukup! Kalian berdua ini sudah dewasa! Jangan bersikap seperti anak kecil!” tiba-tiba Ibunya Adit menengahi pertengkaran seru ini.
Alvin mendengus pelan sedang Lena menundukan kepala.
“situasinya sedang rumit, jangan kalian tambah dengan pertengkaran konyol seperti ini! lagipula..”
Seorang suster tiba-tiba menyela pembicaraan Ibunya Adit, “bu maaf bu, ini rumah sakit. Jadi harap jaga ketenangan, kalau mau marah-marah Ibu bisa di luar aja..”
Aku mati-matian menahan tawa, niatnya menengahi eh malah dikira tersangka. Makanya tidak usah sok bijak deh mentang-mentang sudah tua, just enjoy the situation by watching.
“i..iya maaf sus, kedua anak saya ini tadi adu mulut soalnya..” Ibunya Adit membela diri.
“yaudah mungkin kalian bertiga mau melanjutkan bertengkarnya di luar? Sebab sekarang sudah jam malam, pasien butuh suasana yang tenang untuk istirahat..” sahut suster itu dengan nada datar.

Check mate! Seandainya posisiku sedang tidak mengintai aku ingin tertawa sekencang-kencangnya. Ibunya Adit, Alvin dan Lena memilih meninggalkan lorong ruang UGD, sepertinya mereka benar-benar akan menyelesaikan masalah di luar. Ini lebih seru dari sinetron, mungkin Lena akan mengeluarkan basoka dari balik baju hordengnya atau Alvin dengan jurus tinju bintang utara.

Tinggal Feri sendirian duduk di bangku, ia sempat menoleh ke kiri dan kanan berharap ada orang yang datang menemaninya. Don’t worry little puss, I will accompany you there. Aku keluar dari persembunyianku dan menghampiri Feri. Si puss kecil itu tampak mengamatiku yang sedang berjalan ke arahnya. Matanya yang teduh itu menatapku penuh tanya. Sesaat aku senang memperhatikan Feri lama-lama, si Puss kecil ini ternyata cukup kharismatik. Kapan-kapan kucicipi ah, pasti dia menggairahkan kalau di ranjang dan aku berani taruhan anak ini masih virgin.
“kakak yang teman sekamar kak Alvin kan?” tanyanya saat jarakku hanya tinggal satu langkah dari tempat dia duduk.
Aku mengangguk pelan, “iya, namaku Agung..”
Feri tersenyum, senyum yang lumayan manis.

“bagaimana kondisi mas Adit?” tanyaku pura-pura peduli.
“kritis kak, dokter lagi berusaha keras di dalam sana..” ujar Feri menatap kosong pintu ruang UGD. “semoga kak Adit baik-baik saja..”
Semoga Adit tidak baik-baik saja, gumamku dalam hati. Aku menepuk-nepuk bahu Feri seolah menyemangatinya. “tenang, yang bisa kita lakukan adalah berdoa..”
“iya kak..” gumam Feri pelan.
Aku dan Feri sama-sama terdiam, mau ngobrol apa ya? Aku rasanya agak malas ngobrol-ngobrol dengan si Puss kecil ini. Aku melihat ponselku, sekarang jam sembilan kurang lima belas menit dan tak ada SMS, Email ataupun panggilan tak terjawab.

“mau cokelat kak?” tanya Feri tiba-tiba seraya menyodorkanku sebatang cokelat. Di tangannya ada dua batang cokelat.
“tentu saja..” ujarku dengan senang hati, rejeki itu tidak boleh ditolak apalagi yang untuk sebuah cokelat.
“terima kasih Feri..”
“kakak tau dari mana namaku?” tanya Feri sembari mengunyah cokelatnya dengan tatapan heran.
“dikasih tau Alvin lah,” jawabku dengan santai, padahal sih aku tau namanya dari mata-mataku.
“ooh,” gumam Feri kembali asyik mengunyah cokelatnya.
Kulihat-lihat dari gelagatnya anak ini masih polos bahkan cenderung ramah kepada orang yang baru dia kenal. Seru juga kalau kujadikan budak seks.
“ngomong-ngomong mana yang lain? kok cuma kamu sendirian?”
“tadi kak Alvin sama kakakku bertengkar, terus disuruh keluar sama suster. Ibunya kak Adit juga ikut buat menengahi mereka..” jawab Feri pelan.
Situasi di tempat ini sedang aman, aku melirik sekilas Feri yang sedang asyik mengunyah cokelat seperti anak kecil. Sepertinya aku bisa melakukan banyak hal terhadap Feri sekarang. Sebaiknya kumulai dengan sedikit interogasi.
“fer, aku mau tanya sesuatu..” ujarku sedikit basa-basi.
“tanya apa kak?” sahut Feri sembari mengelap mulutnya yang belepot coklat.

Belum sempat aku melancarkan pertanayaan kedua orang itu datang, dua orang yang bisa dibilang berbahaya: Revan dan Rena. Tapi tidak biasanya mereka berdua bareng.
“hai gung..” sapa Revan sambil tersenyum. “kamu disini?”
Ya iyalah aku disini, memangnya aku dimana? Di parkiran? Kadang-kadang Revan itu suka konyol sendiri dengan pertanyaannya.
“menyelinap kabur seperti biasa,” jawabku blak-blakan.
“jangan tiru kelakuan dia ya, fer. Agung ini bukan contoh yang baik..” ujar Revan sambil tertawa kecil.
“siapa yang ngajarin dulu..” gumamku mengungkit masa lalu.
“siapa aja boleh..” balas Revan yang memang tukang ngeles sejati.

“gung, ada benda milikmu yang ketinggalan di mobilku. Mau temani aku mengambilnya?” ujar Rena tiba-tiba.
Aku mengangkat sebelah alisku, barang tertinggal? Aku melihat ke arah Rena. Gadis itu menatapku agak beda, sepertinya ini isyarat agar aku mengikutinya.
“okeh..” sahutku seraya bangkit dan mengikuti Rena dari belakang.

Rena rupanya benar-benar mengajakku ke parkiran tapi tidak ke mobilnya. Matanya yang tajam sesekali mampir ke arahku, membuatku jadi tidak nyaman. Dia mengeluarkan rokok pusakanya dan membakarnya di depanku dengan anggun. Ah! Bagiku seanggun apapun wanita, tapi kalau merokok hanya akan membuatnya terlihat jalang.
“kamu mau?” tawar Rena.
Aku menggelengkan kepala, saat ini aku sedang tidak berselera merokok.
“mau ngomongin apa?” tanyaku dingin.

Rena tersenyum simpul tapi masih dengan tatapan dinginnya. Dia merogoh saku jeans-nya dan mengeluarkan sebuah ponsel.
“kamu tau punya siapa ini?” tanyanya sambil menggoyang-goyangkan ponsel itu.
Mirip dengan ponselku hanya saja yang itu warnanya hitam mengkilat, setelah beberapa detik mengamati aku baru sadar itu ponselnya Alvin: IPhone 3G. Benda itu harta karun yang harus Adit temukan dan lihat isinya.

Rena menatapku dengan sinis karena aku masih tidak menanggapi pertanyaannya, ia kemudian mengutak atik ponsel itu kemudian menyodorkan di depan mataku. Sebuah video yang siap diputar. Video yang tak asing lagi di mataku, aku menerima ponsel itu dan langsung kuputar. Video itu bukan salah satu koleksi dokumentasi pribadiku, tapi bisa dibilang semi dokumentasi pribadiku, hehehe. Video itu kurekam beberapa hari sebelum Adit datang dan mengacaukan segalanya.

Aku tersenyum melihat video berdurasi kurang dari lima menit itu. Pengakuan inilah yang ingin kutunjukan kepada Aditya Firdaus, bahwa adiknya sudah bersumpah menjadi milikku.
“you are in a big problem..” ujar Rena dengan serius.
“masalah apa?” sahutku sambil memutar ulang video itu. “benda ini tidak bisa membuktikan apapaun! Tidak ada tanda-tanda kekerasan fisik atau bekas racun kan di dalam tubuh Adit? Lagipula dia murni kecelakaaan. Kalaupun dia kecelakaan karena depresi melihat rekaman ini, ya itu salah dia. Kenapa dia punya mental tempe?”
“jika Alvin tau kamu memperlihatkan rekaman ini kepada Adit, aku berani jamin Alvin akan membencimu,” tambah Rena dengan nada serius. “selamanya.”

Aku terdiam sesaat, kata-kata Rena itu terdengar sangat menyebalkan bagiku.
“baiklah, sekarang apa maumu?” tanyaku mulai frustasi.
“jauhi Alvin, jangan pernah datang lagi dalam kehidupannya..” ujar Rena tegas.
“APA??! LEBIH BAIK AKU MATI!” seruku langsung emosi. Aku tidak akan mau melakukan tindakan tolol seperti itu.
“terserah, semua keputusan di tanganmu gung..” ujar Rena seraya mengangkat bahunya. “kamu tentu lebih tau resiko dari permainan yang kau buat..”
Aku mendengus kesal, bukan perkara mudah memenangkan hati Alvin. Perjuanganku mati-matian untuk bisa memiliki cinta remaja tanggung itu.
Rena tersenyum sinis, “kamu memang persis abangmu, senang bermain api.”

“sudah kubilang jangan samakan aku dengan orang itu,” ujarku sebal.
“kalian kan bersaudara, satu darah maka jelaslah pasti banyak kemiripan diantara kalian..” tambah Rena makin senang membuatku naik darah.
Sekali lagi aku mendengus, “aku kesini bukan untuk mendengarkan ceramah darimu,”
Aku meninggalkan Rena, aku ‘kan datang kesini untuk menemui Alvin bukan ketemu Rena, huh!
“gung..” panggil Rena sebelum aku terlalu jauh.
Aku berhenti sebentar dan menoleh ke arahnya.
“sebaiknya kamu jangan temui Alvin dulu, dia sedang amat sangat labil..”
Aku memutar bola mataku, “tanpa kamu beri tau pun aku sudah tau..”
Dan aku meninggalkan Rena, sebaiknya aku pulang saja dan menunggu laporan terakhir dari mata-mataku.

***

Aku duduk terdiam di tempat tidurku, mataku kosong menatap layar IPhone-ku. Hari ini sangat panas, kutanggalkan kaosku dan badanku tetap saja bersimbah keringat. Ingin mandi saja malas, sekarang baru jam sebelas, mandi jam segini mengundang rematik. Biasanya ada Alvin di sampingku sedang tertidur pulas dengan wajah damai. Dia tidur hanya mengenakan boxer, tapi sejak aku memaksanya tidur satu ranjang, dia selalu mendominasi selimut. Anak yang manis sekali, karena itu aku ingin memilikinya.

Rasa hati ini ingin sekali menemuinya atau menelponnya tapi keadaan sedang tidak memungkinkan. Aku menghela nafas panjang. Aku sungguh rindu senyumnya, tatapannya yang dingin, pelukannya saat tidur sampai ekspresi wajahnya saat orgasme. Semua yang ada pada dirinya, aku sangat menyukainya dan tak akan kubiarkan seorang pun mengambilnya dariku.

Aku ingat saat dulu Alvin menyukai Revan. Sosok Revan begitu mirip dengan kakaknya, kira-kira begitulah pengakuannya. Tapi aku berhasil membuat Alvin patah hati. Aku katakan kepada Alvin bahwa Revan seratus persen normal. Aku tau Revan memang straight karena dia pernah cerita tentang cinta pertamanya dulu saat SMA, seorang gadis yang tak mungkin ia miliki. Dramatis sekali! Setelah mengetahui hal itu, Alvin lantas jaga jarak dengan Revan. Hubungan mereka yang tadinya erat sekali seperti kakak-adik mulai renggang. Alvin tidak mau membiarkan perasaannya kepada Revan makin besar, mumpung masih sebatas benih masih bisa untuk dipendam. Aku bisa merasakan sakit hati yang ia rasakan, serasa mata ini dilubangi dengan mesin bor.

Yang paling sulit adalah membuat Alvin melupakan Adit, dia sudah terlanjur cinta mati kepada kakaknya sekalipun Adit sudah bersikap keterlaluan kepada Alvin. Strateginya kuubah, aku tidak harus membuat Alvin lupa kepada Adit, aku hanya perlu membuat Alvin tidak bisa lepas dariku. Aku sering having sex dengan Alvin, anak itu berlagak tidak mau tapi pada akhirnya dia yang paling menikmati. Tentu saja hal ini tidak lepas dari keahlianku yang selalu memuaskannya. Dan sebagai sedikit nilai tambah, aku pasti mengabadikan kegiatan kami itu dalam bentuk video dokumentasi. Meski aku jadi sering menerima omelan-ocehan Alvin.

Ku kenalkan kepadanya dunia yang sebenarnya, dunia yang penuh kelicikan dan haus darah. Aku pun mengajarinya bagaimana bertahan hidup, prinsip hidup yang paling realistis sekarang ini adalah: yang kuat yang bertahan hidup. Dan Alvin sangat cepat memahaminya, bisa dilihat sekarang dia terkenal sebagai preman yang punya wibawa. Aku sangat puas dengan hasil kerjaku.

Aku hampir berhasil memiliki Alvin, hingga akhirnya datanglah si monyet itu. Rasa cinta Alvin yang sempat terkubur di sumur kegelapan mendadak bangkit seperti luapan lumpur lapindo. Meski Alvin terlalu gengsi mengekspresikan rasa bahagianya melihat kedatangan Adit. Oh Aditya Firdaus, mengapa ku takkan bisa sentuh hatimu? Tidakkah kamu bisa mendengar melodi-melodi cintaku ini, vin? Ah! Bodohnya aku, mudah sekali terhanyut dalam alunan lagu galau seperti ini. Sebaiknya aku tidur, Jangan biarkan otakku lelah karena memikirkan hal seperti ini. aku memejamkan mata dan sekejap langsung tertidur.

Aku melangkahkan kakiku menuju taman mati. Taman ini namanya bukan taman mati sih tapi Taman Aquarius. Dengar-dengar dinamakan begitu karena patung air mancurnya seperti simbol zodiak Aquarius. Ah ada-ada saja memang orang Indonesia kalau memberi nama. Tapi kok taman ini agak beda? Taman ini hidup. Tanaman-tanamannya hijau dan mengeluarkan bau musim semi, pepohonannya yang begitu rindah dan teduh serta yang paling penting: kolam air mancurnya yang berfungsi lagi. Sepertinya ini mimpi lagi, tidak mungkin taman Aquarius kembali hidup.

Perlahan aku menyadari ada sesosok manusia sedang dudud di pinggir kolam yang berbentuk lingkaran itu. Dia duduk membelakangiku dengan pakaian berwarna putih cemerlang, persis seperti baju yang dicuci dengan So Klin Pemutih. Aku mendekatinya pelan-pelan, mungkin saja dia salah satu manusia ajaib yang bisa mengabulkan keinginanku. Lelaki itu menoleh tiba-tiba ke arahku, wajahnya tidak asing lagi. Dia Aditya Firdaus. Wajahnya tampak damai berbeda sangat jauh dengan waktu bertemu dulu. Adit tersenyum kepadaku.

“kamu udah sembuh?” tanyaku dengan bingung.
Adit hanya mengangkat kedua alisnya tanpa menjawab.
“kamu ngapain disini?” tanyaku lagi.
Adit menggelengkan kepala pelan, senyumannya itu membuatku menjadi merasa bersalah. Dia berdiri dan mendekat kepadaku, aku ingin menjauh tapi kakiku terasa membatu. Perlahan Adit menghampiriku, kami saling berhadapan. Adit meraih tanganku dan kemudian menjabat tanganku, erat sekali.
“jaga Alvin ya...” ujarnya pelan.
“jaga gimana?” tanyaku seperti orang tolol.
Adit hanya tersenyum, perlahan ia melepaskan genggaman tangannya dan mundur menjauhiku. Adit berbalik ke arah pintu keluar taman yang tiba-tiba terlihat menyilaukan sekali.

“emangnya Alvin kenapa?” tanyaku yang masih bingung.
Adit terus saja berjalan dengan langkah ringan, ingin ku kejar tapi kakiku masih membatu.
“WOII TOLOL, JAWAB DULU PERTANYAANKU???!” seruku dengan kesal karena Adit tidak menggubris pertanyaanku.
Sesaat Adit menoleh ke arahku, dia menatapku dengan tatapan dingin. Dan beberapa detik kemudian sosoknya menghilang seakan tersedot ke dalam udara, persis seperti adegan Harry Potter sedang ber-disaparate.

Keren! Dari dulu aku ingin sekali bisa ber-disaparate seperti itu.

Mendadak aku membuka mataku, kulirik jam dinding: pukul empat pagi. Aku menggaruk-garuk kepalaku, mimpi sesingkat itu saja memakan waktu lima jam. Oh yeah! Sekarang aku tidak akan tertipu lagi oleh mimpi. Kalau tidak salah tadi di mimpiku Adit sempat menatapku dengan dingin sebelum disaparate, pasti dia tidak terima kupanggil tolol. Lagian ditanya bukannya jawab. Tapi aku menyesal, di mimpi itu kan aku bisa mencoba disaparate. Meski cuma mimpi tapi sensasinya kan seperti benar-benar nyata. Kusambar ponselku, aku butuh penyegaran-bangun-tidur dengan mendengarkan musik (jika Alvin tidak ada).

Ada dua pesan tak terbaca, salah satunya dari mata-mataku:
From: Eye-eye me
Bos, Adit meninggal
Jam 02.04.10 tanggal 03-10-11
Sekarang Alvin sedang menangis gak karuan

Aku langsung seratus persen sadar membaca SMS ini, penghalangku yang satu akhirnya pergi juga! Antara senang dan tak tau berkomentar apa aku mengetahui ini. Mimpi itu.. jadi benar-benar mengganggu pikiranku. Apa ini maksud Adit mengatakan, ‘jaga Alvin?’. He’s passed away. Tapi sepertinya Adit salah masuk mimpi nih, dia seharusnya masuk ke mimpinya Revan.

Ada satu pesan lagi yang belum terbaca, dari Lia.
From: Jablay’a Alvin
Gung aku mau bicara sama kamu
Aku tunggu di halaman belakang sekarang

Mau apa lagi wanita ini? tidak biasanya mengajakku ketemuan. Ini SMS tadi malam kali ya? ku periksa lagi waktu SMS ini diterima. Jam 03.42, jam dinding menunjuk 04.08 ; berarti memang belum terlalu lama. Apa wanita itu mau melakukan kesepakatan, aku jadi penasaran.Kusambar sweater olahragaku dan keluar kamar. Penampilanku sangat gembel: sweater olahraga, celana pendek selutut dan sendal jepit. Biar gembel yang penting ganteng!

Lima menit kemudian aku tiba di halaman belakang. Hanya ada beberapa penerangan disana yang menyerupai lampu taman sehingga keadaannya remang-remang. Samar-samar terlihat sosok seseorang yang sedang duduk di bangku dekat salah satu lampu penerangan. Sosok itu memakai jaket bertudung kepala yang menutupi wajahnya dan celana jeans hitam.

Itu pasti Lia, penampilannya seperti psikopat yang menunggu mangsanya. Aku mesti waspada juga, cewek kalau sudah putus asa pasti berani nekat. Aku bisa melihat mata Lia yang mengawasi kehadiranku dari balik tuduhnya yang gelap. Melihat sorot mata itu aku benar-benar harus meningkatkan kewaspadaanku.
“sekarang katakan,” ujarku dengan nada dingin.
Lia perlahan berjalan mendekat, hanya beberapa langkah dari tempat ia duduk. Kedua tangannya dimasukan kedalam jaket, sekilas ia terlihat seperti model yang berpose cool. Sebagian rambut panjangnya menjulur keluar dari balik tudung.
“tinggalkan Alvin,” ujar Lia singkat-jelas-padat.
Dia orang kedua yang menyuruhku melakukan hal mustahil. Dan aku sadar dua orang yang menyuruhku meninggalkan Alvin itu berjenis kelamin perempuan.
“what’s for?”
“biarkan Alvin bahagia gung, dia berhak melanjutkan kehidupannya yang normal,”

Aku menaikan alisku mendengar pernyataan terakhir Lia. “Alvin justru sangat menikmati cinta yang tidak normal ini. Dan ini adalah pilihannya sendiri jadi kamu tidak perlu khawatirkan dia.”
“itu ulahmu gung, kamu tidak pernah membiarkan Alvin menjalin hubungan cinta yang normal. Kamu selalu menghancurkannya,”
Aku tersenyum dingin kepada Lia, strategi sederhana menciutkan mentalnya. Dia agak takut ketika melihat senyumku yang dingin.
“Tania, maniak seks. Nesti, menjadikan Alvin bahan taruhan. Yeni, matre. Shellia, playgirl. Ratna, punya maksud buruk pacaran dengan Alvin..” ujarku menyebut semua mantan-mantan Alvin. “gak ada yang beres semua! Perempuan-perempuan brengsek itu tidak tulus mencintai Alvin.”

“itu karena kamu tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk berubah!” seru Lia membela mantan-mantan Alvin sebagai sesama perempuan.
Aku menghela nafas pelan, “okeh, sekarang mau kamu apa? Kamu ingin aku melepaskan Alvin dan membiarkan dia bersamamu?”
Lia terdiam, dia mencoba membuang pandangannya agar tidak beradu mata denganku. Wanita dimana-mana sama saja, terlalu munafik.
“percayalah, li..” ujarku menatap Lia lurus-lurus. “aku tidak akan melepaskan kucingku kepadamu..”
Lia masih diam, dia pasti makin nge-down mendengar kata-kataku ini.

“KALAU BEGITU KENAPA KAMU MEMBIARKAN AKU MEMILIKINYA, GUNG?” raung Lia seperti orang gila.
Aku tidak kaget melihat reaksinya ini, malah aku mengharapkan dia bereaksi seperti ini.
“siapa bilang kamu memilikinya? Aku cuma meminjamkan Alvin kepadamu,” ujarku sambil berdecak panjang. “anggap saja aku orang berjiwa mulia yang memberi kesempatan kepada fakir cinta seperti kamu untuk merasakan seperti apa cinta itu. Dan sampai sekarang aku belum mendengar ucapan terima kasih darimu.”
“kamu itu jahat gung, KAMU BAJINGAN!!” Lia makin menjadi.
Aku tidak peduli jika suaranya jadi membangunkan orang yang tertidur, itu urusan belakangan.

“aku? Bajingan? Apa kamu tidak ingat bahwa dirimu itu juga bajingan!” aku membalikan kata-kata Lia.
Lia melotot menatapku, dia tidak mungkin lupa peristiwa malam itu.
“kamu gak perlu sok suci, Lia. Kamu sangat menikmati tubuh Alvin kan?” pancingku dengan nada sengit, aku masih tidak bisa melupakan kejadian itu. “kamu sangat memimpikan bisa making love dengan Alvin bukan? sampai kamu nekat.. menjebak Alvin?”
Gadis itu pasti sudah keringat dingin.
“benarkan? Perempuan dimana-mana sama saja! karena itu aku sudah tidak memercayai kamu dan kaum mu,” ujarku dengan dingin. “cuma bikin sakit hati.”

“aku mencintai Alvin, gung..” ujar Lia tiba-tiba dengan memohon, ada setitik air mata yang mengalir dan membasahi pipinya.
“aku juga mencintai Alvin,” sahutku dengan nada tegas.
“KAMU TIDAK MENCINTAI ALVIN, KAMU CUMA MENGINGINKAN TUBUHNYA SAJA!!” seru Lia tidak mau kalah.
“lalu apa bedanya dengan dirimu?”
“yang kamu rasakan terhadap Alvin ini hanya nafsu semata, gung! Hanya sebuah pelampiasan hasrat yang tak akan ada habisnya dan tidak menghasilkan apa-apa..”
“terus karena kamu bisa ‘menghasilkan’, kamu jadi merasa lebih baik?”
“aku tidak akan mengecewakan Alvin,” ujar Lia cepat. “itu pasti,”
Aku menatapnya kasihan, sebegitu besar cintanya kepada Alvin seperti cinta Yulaikha kepada Yusuf.

Aku tau riwayat hidup perempuan yang bernama Rachelia Puspita. Ayahnya di-PHK sewaktu Lia SMP. Dan keluarga sejahteranya pun perlahan hancur, Lia harus berjuang keras melanjutkan sekolahnya dengan mempertahankan prestasinya demi beasiswa. Sebuah beasiswa yang tadinya dia tolak karena Lia sadar bahwa masih banyak teman-temannya yang lebih butuh beasiswa itu. Bisa dibilang Lia termasuk anak dengan segudang prestasi akademik. Sampai-sampai bisa ia loncat dua tingkat.

Dia pun melakoni kerja part time di kafe. Ayahnya yang terlalu frustasi dengan kehidupan barunya pergi meninggalkan Lia dengan Ibu dan adiknya yang masih kecil. Karena himpitan ekonomi yang tidak semakin membaik adik bungsu Lia harus menutup mata selamanya. Setidaknya hal itu mengurangi penderitaannya di dunia yang kejam ini. Lia berdua dengan ibunya bekerja keras berjuang melawan kerasnya hidup.

“maaf Lia,” ujarku menggeleng-gelengkan kepala. “jika kamu mau mendapatkan Alvin, langkahi dulu mayatku.”
“sudah kuduga kamu akan bilang begitu,” ujar Lia menatapku dengan buas. Tangan kirinya mengeluarkan sebilah pisau yang mengkilap terbias cahaya lampu yang remang. Oh shit! Gumamku dalam hati, dia lebih nekat dari yang kupikir. Dan aku suka itu.

Lia langsung menyerangku dengan membabi buta, gerakannya brutal. Yang ada dipikirannya hanya satu: bagaimana caranya agar pisau itu menancap di tubuhku. Aku menghindar dengan cepat dan Lia mengejarku dengan gesit. Sesaat kami seperti sedang main kejar-kejaran mesra. Aku berlari ke arah tumpukan ban bekas dan menendang bertubi-tubi ke arahnya tapi gadis itu dengan lihai menghindar, persis aktris film action.

Lia mengayun-ayunkan pisaunya saat kami cukup dekat, alhasil lenganku pun tersabet dan menggoreskan lupa sepanjang tujuh senti. Di kehidupan yang keras sepertinya dia belajar banyak cara mengayunkan pisau. Tapi tetap saja anak ini bukan tandinganku, mataku mencari benda lain, ada bangku tempat Lia duduk tadi. Tanpa buang waktu langsung kutendang ke arah Lia dan sukses membuatnya roboh.

Baru nafas sebentar Lia langsung bangkit lagi, dia segera menyingkirkan bangku itu dari tubuhnya dan kembali bangkit. Ini anak punya ilmu rawarontek mungkin. Dengan gerakan yang makin gila Lia menyerangku. Kali ini aku tidak menghindar terlalu jauh, ketika pisau itu mengarah kepadaku aku langsung memegang pergelangan tangan kirinya. Dengan sedikit gerakan sederhana pisau itu terlepas dari tangan Lia diikuti rintihan kesakitan. Pisau itu kutendang jauh-jauh, dan Lia kudorong kuat-kuat ke tanah.

Perempuan itu mengaduh untuk kedua kalinya, aku menatapnya tanpa belas kasihan. Luka di lenganku tidak terlalu menggigit, aku sudah sering merasakan yang lebih dari itu.
“hal ini semakin membuktikan betapa tidak pantasnya kamu untuk Alvin..” ujarku dengan dingin.
Aku bisa mendengar Lia menangis, entah kenapa aku paling tidak tahan dengan suara perempuan menangis. Lebih baik aku mendengar suara bom atau tawa jenk Kunti. Kulemparkan sapu tanganku ke arahnya, sapu tangan yang kebetulan ada di dalam saku sweaterku.
“kamu sebaiknya introspeksi diri,” ujarku seraya meninggalkannya sendiri.

“kenapa gung?” kudengar suaranya sayup-sayup. Suara bercampur menahan tangis.
Aku tidak peduli, aku tetap berjalan lurus hingga kutemukan pisau Lia yang tadi kutendang jauh. Kupungut saja daripada nanti benda ini makan korban.
“KENAPA KAMU HARUS MEMBIARKANKU MENCINTAI ALVIN?!” raung Lia dengan suara yang begitu menyayat hati. “KENAPA KAMU MENYIKSAKU SEPERTI INI GUNG?!”
Suaranya habis, tergantikan suara isak tangis yang tak dapat kugambarkan. Aku menoleh ke arahnya yang terlihat sedang menghapus air matanya yang tak habis-habis. Lia masih saja berusaha tampak kuat di depanku.
“karena kamu telah mencoba merebut seseorang yang sangat aku sayang,” jawabku pelan. “dengan cara yang sangat tidak kusukai.”

Aku melengos meninggalkannya, tak peduli dia berteriak apa. Kupikir dia sudah tau kesalahannya, dia pun juga harus tau bahwa aku masih jauh lebih sakit hati dari yang ia rasakan. Kembali ke asrama, sebaiknya aku melanjutkan tidur. Kulihat siswa-siswi baru selesai kegiatan-pagi-buta dan berbondong-bondong kembali ke asrama. Beberapa diantara mereka ada yang sesekali melihatku dengan pandangan heran. Tapi aku cuek saja dan menganggap mereka itu kumpulan kera yang bermigrasi.

Aku dan Lia sebenarnya sudah saling mengenal, aku dan mantanku sering makan di kafe tempat dia bekerja dulu. Dia adalah gadis ramah yang murah senyum, membuatku bersimpatik kepadanya. Dan di Nusa Bakti ini aku bertemu kembali dengannya, saat di upacara hari senin Lia menerima penghargaan dari kepala sekolah atas kemenangannya olimpiade sains. Lia tampak begitu bersinar dan kharismatik.

Kami teman baik, meski tidak terlalu menunjukan keakraban kami di depan umum. Seandainya saat itu aku belum kehilangan rasaku kepada wanita (karena mantanku yang sialan itu) aku pasti bisa mencintai Lia. Aku lebih tua dua tahun dari Lia, seperti tadi aku jelaskan Lia lompat dua tingkat sedang aku sempat tinggal kelas dua tahun karena kenakalanku.

Pada akhirnya aku dan Lia hanya akan jadi teman dekat dan tidak lebih. Aku tidak ragu bercerita tentang rasa bosanku kepada wanita karena kerap dikecewakan. Bahkan saat aku cerita bahwa aku sedang jatuh cinta kepada Alvin, Lia tetap menyimaknya dengan penuh perhatian. Diam-diam Lia juga naksir Alvin, tapi dia hanya bisa menyimpan perasaannya karena aku. Hingga suatu ketika, aku tak akan pernah bisa lupa kejadian malam itu. Malam dimana Lia mengkhianati kepercayaanku.

***

Aku melirik jam dinding, sudah jam sepuluh malam. Si Alvin kemana sih? Katanya sedang privat dengan Lia di perpustakaan? Disana tidak ada jam apa? dari tadi aku berusaha menahan hasratku yang menggebu-gebu. Aku sudah tidak bisa menunggu lagi, kalau jam segini Alvin masih belum kembali juga pasti ada sesuatu. Kusambar jaket untuk menutupi dadaku yang telanjang. Lorong asrama sudah sepi dan sebagian lampunya dimatikan, sudah hampir tak ada tanda-tanda kehidupan.

Hampir saja kuurungkan niatku saat angin malam menyapaku di luar gedung asrama, cuaca malam itu amat sangat membuat nyenyak tidur hingga seribu tahun. Tapi kupaksakan demi Alvin, bisa-bisanya dia masih berkeliaran malam-malam, kalau perlu kuseret dia pulang. Biasanya gedung perpustakaan akan ramai dengan guru-guru piket yang suka nonton bola, tapi suasana hari ini sepi sekali. Kok bisa-bisanya tidak ada guru yang menjaga di lobi?

Alvin bilang dia minta privat mata pelajaran fisika, jadi aku langsung meluncur ke deret rak IPA. Namun tak seorangpun kutemukan disana. Apa Alvin mengerjaiku? Ato Lia menculik Alvin? aku lebih condong ke kemungkinan pertama, kadang-kadang anak itu senang membuatku mati berbusa karena menunggu. Aku merogoh kondom yang ada di sakuku dan menatapnya sebentar. Aku tidak mau benda ini sampai jadi sia-sia. Pengaman terbaik yang berhasil kudapatkan, dan harganya mahal.

Aku mulai menelusuri seisi perpustakaan, dan hasilnya tetap nihil. Oh Alvin, dimana dirimu? Apa kamu sedang bermain petak umpet? Awas! Kalau aku sampai menemukanmu, tanggung sendiri akibatnya. Celanaku mulai sesak karena birahiku tak kunjung tersalurkan juga. Tiba-tiba instingku menangkap adanya semacam aktifitas, aku celingak-celinguk mencari dimana sumber hiruk-pikuk itu. Beberapa meter dari tempatku berdiri, dekat toilet perpus ada sebuah pintu kayu yang warnanya memudar. Disana kalau tidak salah ruang tidur untuk guru piket perpustakaan.

Aku bisa merasakan ada sebuah aktifitas seru di dalamnya, apa mungkin di dalam sini ada kegiatan perakitan bom? Let’s see. Kuputar perlahan gagang pintu yang ternyata tidak terkunci, kuintip sekilas untuk mengetahui situasi. Dan sekejap jantungku berdetak lebih cepat seperti tabuh drum. Mataku melotot tidak percaya melihat apa yang kulihat. Alvin dan Lia tampak sedang.. mesum diatas tempat tidur. Mereka terlihat asyik sekali dibalut selimut tebal yang menutupi tiga perempat tubuh mereka. Untuk beberapa saat aku masih terbengong tak percaya dengan apa yang kulihat.

Aku mendengar jelas suara Lia meracau meresapi sejuta kenikmatan sedang Alvin hanya mendesah tidak jelas. Mereka berdua berciuman dengan liar, tangan Lia memegangi tengkuk Alvin seakan tidak ingin ciuman itu cepat berakhir. Mereka berdua terlihat begitu nafsu menikmati perbuatan terlarang itu. Aku melangkah masuk, tanpa buang waktu kutarik tubuh telanjang Alvin. Seketika Alvin terjerebab jatuh ke sisi tempat tidur. Lia hampir berteriak kalau saja dia tidak mengendalikan dirinya. Kutinju Alvin hingga ia terlempar menabrak dinding, tak ayal darah segar mengucur sia-sia dari mulutnya.

Ketika aku akan melancarkan tinju selanjutnya, aku baru menyadari bahwa kondisi anak itu setengah sadar. Matanya merah, tak kalah dengan rona mukanya, tubuhnya berkeringat sekali seperti habis latihan basket. Alvin bahkan tidak terlihat kesakitan dengan tinju mematikanku. Aku langsung menoleh ke arah Lia, perempuan itu pasti penyebabnya. Perempuan brengsek itu.

“gung.. aku..” ujar Lia terbata-bata sembari menutupi tubuhnya dengan selimut.
Aku menatapnya tidak percaya, beginikah Lia yang selama ini aku kenal?
“gung..”
“DIAM!” bentakku dengan penuh amarah. “kamu tau kan? Alvin itu MILIKKU!!”
Lia diam bergeming di tempatnya, dia tidak berani melihatku yang sedang emosi tingkat dewa. Wajahku memerah menahan kemarahan yang meluap. Seketika aku mendapat sebuah ide. Aku langsung membaringkan tubuh Alvin ke posisi siap.

Lia terbelalak melihat apa yang kulakukan terhadap Alvin, dia menutup mata tidak sanggup menyaksikan perbuatanku.
“gung, hentikan!” pinta Lia seraya terisak.
“seperti inilah.. yang tadi.. kamu rasakan..” ujarku setengah mendesah.
Aku perkosa Alvin di depan mata Lia. Aku berani jamin perasaannya hancur berkeping-keping melihat pangeran yang tadi mengukir cinta bersamanya malah menjadi pemuas nafsu orang lain, lelaki juga lagi. Lagi pula hasratku juga memang sudah tidak tertahankan lagi. tidak kenal tempat lagi jadi hajar sekalian.

Beberapa kali kudengar Lia memohon agar aku menghentikan perbuatanku, tapi aku tidak peduli. Toh Alvin juga tidak protes, apalagi dia kupake asal-asalan. Emosi yang mendominasiku, bukan nafsu lagi. Baru sekitar lima belas menit kuhentikan perbuatanku, aku sudah hilang selera. Bercampur antara jijik dan kecewa-emosi. Kurapikan penampilanku dan menghampiri Lia yang masih shock menyaksikan perbuatan tidak terpujiku di depan matanya.

“sekarang apa pembelaanmu, wanita jalang?” tanyaku dengan nada dingin.
“maafkan aku gung..” ujar Lia tertunduk banjir air mata.
Kuraih dagunya dan kuangkat agar mata kami saling beradu.
“LIAT MATAKU!” bentakku saat Lia mencoba mengalihkan pandangannya.
Lia memejamkan matanya dengan ekspresi ketakutan, rupanya dia masih tidak punya nyali melihat mataku langsung.
“sudah berapa kali kamu melakukan ini?” tanyaku menatapnya tajam.

Lia masih bergeming dengan ketakutannya. Seandainya yang di hadapanku ini laki-laki pasti sudah kubuat dia muntah darah. Kuremas kedua pipinya hingga bibirnya monyong seperti ikan mas. Jariku kujejalkan masuk, mencari lidah Lia dan kutarik paksa keluar.
“lidah ini apa udah gak berfungsi, hah??!”
Lia menggeleng-gelengkan kepalanya, tangannya memukul-mukul dadaku memintaku agar berhenti.
“mungkin kupotong saja sekalian, biar beneran gak bisa ngomong..” ancamku dengan nada serius.
Lia makin ketakutan, semakin dia meronta semakin serius tanganku mau mencabut lidahnya. Tapi aku teringat riwayat hidupnya yang suram sehingga kulepas tanganku dari lidah dan wajahnya.

Lia tampak megap-megap seperti orang tenggelam, dia mencoba mengatur kembali irama nafasnya. Aksiku tak berhenti sampai situ, aku duduk setengah jongkok di depan Lia dan langsung menjambak rambutnya dan membuatnya mendongak ke arah wajahku. Sekali lagi aku mencoba membuat agar Lia menatap mataku.
“kamu masih bisa ngomong kan?” tanyaku sambil tersenyum mengerikan.
Lia mengangguk pelan, dia pasti kesakitan karena rambutnya tertarik dengan jambakanku.
“sudah berapa kali kamu tidur sama Alvin?”
Lia sesaat seperti orang mau mewek, “ti..tiga kali gung,”
Dan benar saja, dia langsung berurai air mata. Air mata buaya, atau lebih tepatnya air mata ular.

“apa kamu pernah ditikam tiga kali?” tanyaku iseng.
Lia menggelengkan kepala dengan ketakutan.
“aku sudah, dan salah satunya olehmu..”
Yang jelas Lia semakin ketakutan mendengar omonganku yang bernada mengancam. Tiba-tiba aku punya rencana lain jika ingin menyiksa Lia. Sebuah ide penyiksaan secara hati, yang pasti jauh lebih menyakitkan. Ku lempar kepala Lia yang kujambak hingga dia terbaring di tempat tidur.
“nothing,” ujarku sembari meninggalkan Lia. “I see nothing inside you!”
“gung, maafin aku..” terdengar suara Lia memohon dengan nada lirih.
Aku tak menggubrisnya, aku memunguti beberapa pakaian Alvin yang berserakan kemudian memakaikannya kembali kepada pemiliknya.

Aku cuma memakaikan baju dan celana saja, kemudian kugendong dia dipunggungku. Kutinggalkan Lia yang entah berteriak apa, sa bodo teuinglah aku. Sekarang waktunya membawa Alvin ke tempat yang aman, sekaligus memikirkan hukuman yang pantas baginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar