Senin, 21 Maret 2016

Memories Of Him - Part 13

~Clay Pov~
Haaa….udah sampai sini ternyata…capek juga ya nulisnya hahahaha…aku ska bngt nulis karakter si Ryo ini. nggak tw knp aq mnikmatinya hehehe…menyenangkan aja sih hahaha…

Eh iya..ada tmn yg nanya dan akan aku jwb satu2..ya sebenernya klo menyimak dan membaca bnr2 pasti tw jwbannya..tp msh ada bbrp yg blm paham. Jadi mw aq jwb lngsung aja biar paham hehe..
1. Apa awe itu msh perawan/perjaka? Jawabannya: Nggak. Dia sudah di tidurin ama ayah kandungnya sendiri. Jadi traumanya itu mendalam.
2. Apa kak Hengky pernah meniduri awe (duh bahasaku haha.)? Jawabannya: ada di bacaan atas. Saat kak Hengky blng ‘Emangnya kakak pernah nyentuh tubuhmu secara berlebihan? Nggak kan?!’….nah dari situ simpulkan sendiri hehehehe ^^
3. Kok tmn2 Pandu nyantai-nyantai aja sih ama hubungan pandu-alvin? Jawabannya: pertama, mereka merasa segan untuk memperotes Pandu, mereka merasa nggak perlu ikut campur dalam kehidupan manusia satu itu. Manusia yg sdh melindungi mereka dari kejamnya Ryo. Lagian mereka juga takut klo Pandu sampai ngamuk. Kan pandu orgx temperamen. Nggak bisa nahan emosi. Percuma dong lolos dari Ryo tapi pada akhirnya malah mati di hajar Pandu hahahaha. Jadi biarpun ada yg nggak ska ama hub itu tp mereka ttp bersikap biasa aja. Pura2 buta dan tuli dengan hub itu. Lagian selain itu mereka jd bisa godain Pandu yg lagi kasmaran haha…(kyk pas Pandu lg tlpnan gt.) Mnurut mereka Pandu yg seperti itu jd kliatan lucu hahaha…


Nah itu aja penjelasan dariq atas pertanyaan2 yg sering muncul hehehe ^^… Masalah aku telat update mohon di maafkan yaaaaaaa…aq lgi sibuk bertetangga jadinya ya gini ni hahahahaha….telaatttt hihihihi…maaf yaaaa… ^^


~Awe Pov~ (Pukul 17.35)
“Lhoh Awe?!” seru tante Yuni, mama nya Rico saat membukakan pintu untukku, “cari Rico ya?!”

Aku langsung mengangguk.

“Rico ada di kamarnya tuh. Langsung masuk aja ke sana,” kata tante Yuni sambil memberiku jalan untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Permisi ya tante,” desisku sambil mulai melangkahkan kakiku masuk ke dalam.

Tanpa sungkan lagi, akupun berjalan dan menaiki tangga menuju lantai dua.

“Sedang apa?” tanyaku ke Rico saat melihat Rico sedang sibuk dengan pintu kamarnya, “pintunya kenapa?” tanyaku lagi saat melihat pintu kamar Rico yang mengenaskan. Pintunya terlihat sedikit miring karena salah satu engselnya copot.
“Awe,” desis Rico saat melihatku, tapi sedetik kemudian perhatiannya sudah tersita lagi ke pintu, “ini lagi benerin pintu. Tadi habis bertengkar hebat sama kak Andi. Pintuku jadi sasaran kakinya. Ditendang sampai engselnya copot,” dengus Rico kesal.
“Kok bisa bertengkar?” tanyaku sambil berjalan mendekatinya dan berjongkok di sampingnya.
“Ya bisalah, namanya juga cowok,” jawab Rico sambil tersenyum, “oh ya, ada apa kamu ke sini?”
“Mau main.”
“Main apa? Main yang enak apa yang nggak enak?”
“Apaan sih Rico ini mesum deh.”
“Lhoh mesum gimana? Kamu tuh yang mesum. Maksudku tadi, main yang nggak enak tuh kamu bantuin aku benerin pintu. Kalau main yang enak ya main game,” kata Rico sambil terkikik geli. Sedangkan aku langsung manyun-manyun kesal.

Aku di kerjain >.<

Rico masih tetawa melihatku yang manyun-manyun kesal.

“Bercanda say. Jangan manyun gitu ah!” kata Rico.

Dia menatapku lalu mengusap lembut kepalaku. Saat itulah aku baru sadar kalau ujung bibir kirinya terluka dan ada sedikit luka lebam di tulang pipi kirinya.

“Ah luka,” desisku sambil meraba luka di ujung bibirnya dan luka lebam di tulang pipinya itu.
“Sssshhh…” Rico mendesis pelan saat tanganku menyentuh lukanya itu.
“Sakit ya?” tanyaku masih meraba ujung bibirnya. Rico mengangguk sambil meringis menahan sakit.

Ugghh… kasian. Pasti sakit banget ini.

“Aku nggak apa-apa kok. Cuma perih aja,” kata Rico sambil menggenggam tangan kananku yang sedang meraba lukanya.

Dia mengarahkan telapak tanganku itu ke bibirnya lalu menciumnya lembut dengan mata terpejam. Setelah itu dia menggeser tangan kananku itu ke pipinya.

“Sudah mendingan,” desis Rico masih dengan mata terpejam, sedangkan tangan kananku masih ada di dalam genggaman tangannya dan masih menempel di pipinya.

Melihat wajahnya yang seperti itu membuat jantungku berdebar-debar.. >.<. Deg…Deg…Deg gitu bunyinya (jd ingat Alvin haha).

“Kalau di cium pasti bisa langsung sembuh,” desis Rico lagi.

Perlahan-lahan dia membuka matanya dan menatapku lembut.

“Bohong. Mana mungkin bisa langsung sembuh cuma karena ciuman,” kataku sambil menundukkan kepalaku.

Aku nggak berani membalas tatapan matanya.

“Beneran kok,” kata Rico sambil terkekeh pelan, “mau bukti?” tanya Rico yang langsung membuatku mengangkat wajahku menatapnya.

Tapi tiba-tiba…

CUP…

Rico menciumku. Mataku langsung melebar karena kaget. Terlihat Rico juga sedang menatapku. Dia menciumku sambil terus menatapku dengan kedua matanya. Ku rasakan genggaman tangannya pada tanganku semakin mengencang. Perlahan-lahan bibirnya mulai melumat bibir bawahku. Aku buru-buru menutup ke dua mataku rapat-rapat. Dadaku terasa sakit karena debaran jantungku yang terlalu kencang. Aku ini aneh banget. Padahal ini bukanlah ciuman pertamaku dengannya. Tapi nggak tau kenapa aku selalu deg..deg’an kalau berciuman dengannya >.<.

Lagi-lagi aku harus terbelalak kaget saat merasakan lidah Rico menyusup masuk ke dalam mulutku. Tapi mataku kembali terpejam saat lidah Rico sudah bermain-main di dalam mulutku. Lidahnya berputar-putar di sana. Merasa kurang puas, tangan kirinya menekan kepala belakangku ke arahnya untuk memperdalam ciuman kami. Sedangkan tangan kirinya masih menggenggam erat tangan kananku yang menyentuh pipinya.

“Ri..Ric,” desisku saat aku berhasil mendorong bahunya sedikit hingga ciuman kami terlepas.

CUP…

Rico kembali menciumku lagi.

“Ric stop..uuummhh…” desisku lagi, tapi lagi-lagi Rico menyumpal bibirku dengan ciumannya.

Untuk beberapa saat kami saling dorong mendorong. Aku berusaha mendorong tubuh Rico menjauh, sedangkan Rico selalu medorong kepalaku ke arahnya dan mencium bibirku lagi. Akhirnya aku terpaksa mendorong tubuhnya dengan sedikit keras sampai membuatnya terjengkal ke belakang.

“RICO BEGO!! AKU NGGAK BISA BERNAFAS TAU,” teriakku kesal diantara deru nafasku yang tersengal-sengal.

Sejenak Rico cuma bengong melihatku yang berteriak. Tapi sedetik kemudian dia tertawa terbahak-bahak.

“Ugghh..Rico jahat,” gerutuku kesal sambil berusaha berdiri.

Tapi baru saja berdiri tiba-tiba keseimbanganku hilang dan jatuh menimpa Rico yang masih berjongkok. Rico yang nggak siap menopang tubuhku akhirnya jatuh terduduk.

“Aduh kakiku..kakiku kesemutan,” rintihku.
“Haa?? Kesemutan??” tanya Rico, aku langsung mengangguk, “ada-ada aja,” desis Rico sambil terkekeh pelan.

Rico berusaha berdiri sambil memegang ke dua lenganku.

“Ka…kayaknya kakiku juga kesemutan,” kata Rico pelan.

Akhirnya kami berdua berjalan menuju tempat tidur Rico dengsn sedikit tertatih. Aku langsung duduk di tepi tempat tidur, sedangkan Rico langsung merebahkan tubuhnya dengan ke dua kaki yang menjuntai ke lantai.

“Salahmu nih!” gerutuku sambil memijat telapak kakiku yang kesemutan.
“Kok aku?!” protes Rico sambil tertawa pelan.
“Habisnya main cium-cium gitu,” gerutuku lagi.
“Sorry,” desis Rico.

Pijatanku terhenti saat merasakan sebuah tangan melingkar di perutku. Rico memelukku dari samping.

“Masih sakit nggak?” tanyaku sambil meraba bibir Rico yang terluka.
“Sudah sembuh kok.”
“Masa?”

Akupun langsung menekan luka di bibirnya dengan sedikit keras.

“Auu…sa…kit A..we..” rintih Rico pelan, sedangkan aku langsung terkekeh.
“Gitu katanya bakal sembuh setelah di cium,” sindirku sambil memanyunkan bibirku.
“Kan tadi yang nyium aku, bukan kamu. Lagian ciumannya kurang lama. Jadi ya nggak bisa sembuh 100% deh.”
“Bohong!!” dengusku masih dengan bibir yang sedikit manyun.
“Nggak bohong kok. Mau bukti?”

Aku langsung menutup bibirku dengan ke dua tanganku sambil menggeleng cepat. Rico yang melihatku seperti itu langsung tertawa.

“Nih. Kompres pipimu dengan ini!” tiba-tiba kak Andi muncul di depan pintu kamar Rico yang rusak. Membuatku reflek menjauh dari Rico.

Aku bener-bener lupa kalau di rumah ini masih ada orang lain selain Rico >.<. Ini gara-gara Rico yang nakal. Gimana kalau tadi dia jadi menciumku. Pasti tadi bakal kepergok sama kak Andi. Duuhh nggak kebayang kalau kepergok sama kak Andi. Jangan-jangan aku bakal di tinju sama kak Andi. Huuweeee…nggak mau. Aku nggak mau di tinju. Pasti sakit banget tuh di tinju sama orang yang bisa karate kayak kak Andi T-T.

Kak Andi melempar sesuatu kearah Rico. Benda itu ternyata sebuah handuk yang sudah di rendam di air panas. Aku tau kalau handuk itu panas karena Rico langsung melemparkan handuk itu ke lantai sambil berseru’aauu panas’.

“Air panasnya ada di dapur. Kalau handuknya udah kering, kamu ambil aja airnya di sana buat basahin handuknya,” kata kak Andi, “besok minta Pak Mamat yang ada di belakang rumah buat benerin pintumu,” lanjut kak Andi sebelum beranjak pergi meninggalkan kamar Rico.
“Aku mau antar mama ke rumah Alvin dulu. Kamu jaga rumah yang bener dan jangan bikin ulah!!” seru kak Andi dari kejauhan.

Setelah kak Andi pergi, aku dan Rico langsung berpandang-pandangan.

“Dasar aneh,” dengus Rico sambil menendang handuk tadi sampai ke pojok kamar.
“Kok di tendang-tendang sih?! Itu kan dari kak Andi,” kataku sambil beranjak mengambil handuk yang baru saja di tendang Rico, “kotor deh,” desisku sambil meletakkan handuk itu di meja belajar Rico.
“Biarin aja,” dengus Rico, “aku mau mandi dulu. Kamu mau ikut nggak?” tanya Rico sambil berjalan keluar kamar.
“Nggak,” jawabku cepat, “aku udah mandi kok,” lanjutku lagi.
“Ya udah kalau gitu aku mandi dulu ya. Kamu tunggu saja di sini,” kata Rico sebelum menghilang dari kamar.

Uuummmhhhhh…untung aku sudah mandi sebelum ke sini tadi. Coba kalau aku belum mandi, Rico pasti akan memaksaku untuk mandi bersamanya. Bisa gawat kalau itu sampai terjadi >.<

Aku langsung berguling-guling di tempat tidurnya Rico sambil menutup mukaku dengan ke dua tanganku. Rasanya wajahku jadi memanas gara-gara membayangkan hal yang enggak-enggak.

Waaaa….aku kok jadi mesum gini yaaa >.<

DUUAAAKKK…

“Adduuuhhhhh…..” rintihku sambil memegangi keningku yang terbentur dinding di sisi tempat tidur.

Aku langsung bangkit dari rebahanku dan duduk di sisi tempat tidur sambil mengusap keningku. Setelah sakitnya hilang aku langsung berdiri dan berkaca di depan cermin yang ada di lemari baju Rico. Hhuuummm…untung aja keningku nggak benjol. Cuma sedikit merah aja.

Setelah puas mengamati keningku di layar kaca(???), akupun kembali duduk di tepi tempat tidur Rico lagi. Ku lempar pandanganku ke seluruh penjuru kamar Rico. Kamar Rico nggak serapi kamarku dan Alvin. Baju, celana pendek dan panjang, serta jaket terlihat menggantung di belakang pintu. Di dinding banyak tertempel poster-poster pemain sepak bola dan beberapa poster cewek sexy. Hmm..lain kali aku mau nyobek-nyobek poster itu >.< (jelez in critax wkwkwk…).

Mataku mulai beergerak lagi menuju sebelah kanan pintu. Di sana ada meja belajar yang di atasnya tergeletak laptop acer milik Rico dan handuk kecil yang tadi aku letakkan di sana. Kuperhatikan handuk yang tergeletak di atas meja itu. Aku nggak tau kenapa Rico dan kak Andi bertengkar. Tapi yang jelas pasti karena Rico jahil hehe.. Habisnya tiap Rico bertengkar sama kak Andi atau sama kak Danil, pasti yang bikin gara-gara duluan tuh si Rico. Aku aja sering di jahilin >.<

“Apa tuh?!” desisku saat melihat kardus yang ada di bawah meja belajar.

Segera ku hampiri kotak kardus itu dan langsung melihat isinya. Mukaku langsung memanas saat melihat isi kardus itu.

“Kamu ngapain We?”
“WAAAAAAAAAAA…….” teriakku kaget bercampur panic karena tau-tau Rico sudah berdiri di belakangku.

Aku buru-buru menyembunyikan beberapa kepingan CD yang aku ambil dari kardus tadi di belakang punggungku dan langsung berdiri menghadap Rico.

DEG

Mataku langsung melebar saat melihat Rico yang bertelanjang dada dan hanya melilitkan handuk di pinggangnya. Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini terlihat basah dan acak-acakan. Butiran-butiran air menetes di setiap ujung rambutnya itu. Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium bau sabun yang dia pakai. Nafasku hampir tercekat ketika melihat lingkaran handuk yang dia pakai. Lingkaran handuknya agak turun kebawah sehingga memperlihatkan sebagian kecil lekukan tubuh bagian bawahnya. Aku langsung memejamkan mataku waktu membayangkan apa yang ada di balik handuk itu (apa ya haha..). Padahal aku sudah sering melihatnya bertelanjang dada seperti ini, tapi baru kali ini aku merasa malu untuk melihatnya secara terang-terangan.

Aaaaaa ada apa denganku??!! Kenapa aku jadi berpikir yang nggak-enggak sih >.<. Jangan-jangan aku sudah jadi mesum kayak Rico??!! Aaaaaaa…nggak mau >.<

“Kok geleng-geleng gitu?!” tanya Rico sambil tertawa pelan, “terus itu apa yang kamu pegang?” tanyanya lagi.
“Ng…Nggak. Nggak apa-apa dan bukan apa-apa,” jawabku gugup.

Aku masih menutup mataku dan masih berusaha menyembunyikan kepingan CD itu di belakang tubuhku. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu mendekat dan menempel di tubuhku. Aku langsung membuka mataku dan sangat kaget waktu tau Rico sudah menempel di tubuhku. Ah nggak. Bukan nempel tapi peluk. Rico memelukku dari depan dengan kepala yang terjulur ke belakang melewati leherku dan berusaha menggapai tanganku yang memegang kepingan CD.

“Hmm.. yayangku ini bener-bener udah mesum ya,” desis Rico.

Nafasnya langsung menerpa leherku sehingga membuatku geli. Tiba-tiba saja aku merasakan benda kenyal dan basah menempel di leherku.

“AAAAAAAAAAAAAAA…..” teriaku sambil mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga saat menyadari benda itu adalah bibirnya.

Rico yang kaget karena aku dorong, tiba-tiba menarik lenganku sehingga membuatku ikut jatuh bersamanya. Kepingan CD yang aku pegang juga terlepas dari tanganku dan berceceran di lantai.

“Aduh sakit We. Ngapain sih pakai dorong-dorong gitu,” rintih Rico yang ada di bawahku.
“Ha…habisnya kamu…kamu tadi nyium leherku,” kataku masih dengan perasaan malu luar biasa.

Aku buru-buru menjauh dari tubuhnya. Tapi waktu mau berdiri aku baru menyadari kalau telapak tangan kananku jatuh di tempat yang salah. Kali ini bukan cuma wajahku yang memanas, tapi semua tubuhku jadi ikut memanas. Rasanya aliran darah di dalam tubuhku mendadak jadi kacau. Jantungku juga ikut terpacu lebih cepat dari biasanya. Di depanku aku melihat pemandangan yang membuat tubuhku jadi membatu. Handuk yang melingkar di pinggang Rico terlepas sehingga memperlihatkan sesuatu yang tadi sempat aku bayangkan. Tubuhnya kali ini polos tanpa tertutup sehelai benangpun. Aku mau menjauhkan tanganku dari juniornya tapi nggak bisa. Tanganku terasa kaku melingkar di ‘sana’.

“SSssss…We. Ja…jangan di genggam keras-keras,” kata Rico dengan suara paraunya.

Rico memegang tanganku dan berusaha mengendurkan cengkeraman tanganku pada juniornya. Tapi Rico nggak menjauhkan tanganku dari juniornya. Dia cuma mengendurkan genggamanku aja.

“Gerakin tanganmu We!” perintah Rico dengan suara tertahan.

Seperti di hipnotis, aku mulai mengerakkan tanganku yang masih melingkar di junior Rico naik turun. Pelan. Aku menggerakkan tanganku dengan sangat pelan. Aku merasakan tanganku sedikit gemetaran. Lama-lama daging itu membesar dan makin membesar. Nggak butuh waktu lama untuk melihat junior itu tegak berdiri dengan gagahnya (halah –a). Terdengar desisan halus dari mulut Rico. Aku mengangkat wajahku dan menatap wajah Rico yang sedikit memerah. Dia memejamkan matanya. Aku juga dapat melihat dadanya yang bergerak naik turun dengan deru nafas yang memburu. Akhirnya mataku kembali pada sesuatu yang sedang aku mainkan dengan tanganku. Lama kelamaan gerakan tanganku makin lancar karena terbantu oleh prechum yang mulai keluar. Tiba-tiba aku jadi ingin mendekatkan kepalaku ke junior itu. Entahlah aku bingung >.<. Aku ragu dengan aktifitas yang kami lakukan ini, tapi nggak tau kenapa aku tetap melakukannya. Dan yang lebih parahnya lagi, aku jadi menginginkan yang lebih dari ini >.<.

Perlahan-lahan aku mulai merendahkan kepalaku mendekat ke penis Rico yang terus mengeluarkan precum itu. Aroma khas pria langsung tercium di hidungku. Wajah dan tubuh yang dari tadi memanas kini terasa makin panas saja. Debaran jantungku yang terlalu cepat juga membuatku makin bertambah aneh. Aku bahkan harus membuang nafas panjang beberapa kali untuk memperlancar pernafasanku yang terasa sesak. Junior Rico terus saja mengeluarkan precum sehingga mengeluarkan aroma yang menakjubkan(?) untukku. Perlahan-lahan ku julurkan lidahku menyentuh benda yang kini sudah tampak licin mengkilap. Tapi cuma sebentar, aku segera menarik lidahku lagi saat mendengar desahan halus dari bibir Rico. Ku angkat wajahku dan memandang Rico. Ternyata Rico juga sedang menatapku. Dia menatapku dengan mata yang aneh. Seperti menuntut lebih. Aaaaaaaaa….. >.<. Aku langsung menundukkan kepalaku lagi dan langsung menghela nafas panjang lagi. Ku lihat lagi junior yang masih tergenggam lemah oleh jari-jari tanganku. Lagi-lagi ada perasaan aneh yang menjalar di tubuhku. Seperti panas dingin yang berlebihan dan aaaaaaaaa…..aku nggak bisa jelasin. Terlalu memalukan hiks… >.<. Masalahnya di bagian bawahku juga sudah mulai bereaksi (ini sdh menjelaskan klo km horny We hahaha).

Perlahan-lahan aku mulai mendekatkan kepalaku lagi ke junior yang sudah basah itu. Ku julurkan lagi lidahku ke ujung penis Rico. Rasa asin langsung menyergap panca indra pengecapku (eh precum cwo rasax apa ya?? hehe maaf2 g tw haha..). Ku putar-putar lidahku di ujung penis itu sehingga membuat precumnya keluar makin banyak. Setelah cukup puas dengan kepala penisnya, lidahkupun turun menjelajahi batang penisnya itu. ku jilati batang itu seperti aku menjilat es krim atau coklat ke sukaanku. Nggak tau karena gemas atau apa, aku langsung memasukkan penis besar itu ke dalam mulutku. Uuugghhh…BESAR >.<. Mulutku nggak bisa menampung semuanya. Terlihat seperempat batangnya masih ada di luar mulutku. Untuk beberapa saat aku bingung dengan penis yang sudah ada di dalam mulutku. Seumur-umur aku belum pernah mengulum penis. Rasanya aneh. Aku seperti mengulum permen lollipop yang sangat besar.

Waktu aku masih bingung dengan penis yang ada di dalam mulutku, tiba-tiba Rico berdiri sehingga membuat penisnya terlepas dari mulutku.

“Sial,” umpat Rico dengan suara paraunya.

Tiba-tiba Rico menarik pelan lenganku sehingga aku ikut berdiri. Setelah aku berdiri Rico langsung menggendongku lalu merebahkanku di tempat tidurnya. Belum hilang rasa kagetku, Rico sudah mencumbuku lagi. Dia melumat bibirku dengan sangat lembut membuatku lupa akan segalanya.

DEG

“JANGAN!!!” aku langsung berteriak dan mendorong tubuhnya menjauh saat tangan-tangan Rico mulai menyusup masuk ke dalam sweaterku.
“Awe? Kenapa? Bukannya tadi kamu…” Rico menghentikan kata-katanya saat melihatku mulai menangis, “ka…kamu kenapa?” tanya Rico bingung.

Aku hanya menggelang sambil menutup ke dua mataku. Sebenarnya saat Rico mulai memasukkan tangannya ke dalam sweaterku tadi, aku teringat kejadian saat itu. Kejadian di mana aku harus mendapat mimpi buruk setiap malam.

* * *
* * *

“AAARRRGGGHHH… PAK JANGAAA…AAN!!!!” teriakku histeris.

Aku makin meronta saat ayah kandungku sendiri mulai memasukkan jari-jari tangannya ke delam hole ku. Rasa perih langsung menyergapku. Aku terus menangis dan berontak. Dengan sisa tenagaku yang masih tersisa, aku berusaha mengeluarkan jari-jari itu dari dalam tubuhku.

PLAK

Tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Panas. Kini nggak cuma bawah tubuhku saja yang terasa panas. Pipiku juga terasa panas karena tamparan itu.

“DIAM!! DASAR BOCAH BRENGSEK!!” maki bapak dengan teriakkan.

Bau alcohol yang sangat pekat langsung tercium dari mulutnya. Aku terus menangis ketakutan.

Ibu tolong. Tolong aku. Aku nggak mau seperti ini. Ini sakit Bu. Ibu tolong aku!!

Aku terus menangis dan meminta bantuan pada Ibu yang nggak akan pernah bisa menolongku. Ibu nggak akan bisa menolongku karena beliau sudah pergi jauh meninggalkanku. Tapi aku terus berharap beliau datang dan menolongku.

“Kaaallllaauuuuu… perempuan itu nggak mati cepat…aaaku nggak akan ngelakuin ini sama kamuuuuu,” kata bapak dengan suara kacau karena mabuk, “AKU INI BUTUH KEPUASAN JUGA!!! KAMU TAU ITU BOCAH??!!!!” bentak bapak.

Aku yang ketakutan cuma bisa diam dan menangis sesenggukan. Aku nggak berani mengeluarkan sepatah katapun. Aku takut di tampar lagi. Aku takut bapak akan menyakitiku lebih dari ini.

“AAARRRGGGGHHH…. PAAKKK SAKIIITTTTTTT…,” teriakku kesakitan saat bapak memaksakan sebuah benda yang lebih besar dari jari-jari tangannya masuk ke dalam tubuhku.

AKU NGGAK MAU SEPERTI INI!!! AKU NGGAK MAU!!!! INI SAKIT…

* * *
* * *

“We..ka…kamu nggak apa-apa kan?” tanya Rico yang membuatku tersadar dari masa lalu yang menyakitkan.

Aku membuka kedua mataku dan menatap Rico yang masih ada di atas tubuhku. Raut wajahnya terlihat khawatir.

“A..apa aku menyakitimu?” tanya Rico masih dengan wajah paniknya.

Di usapnya ujung mataku yang masih mengeluarkan air mata.

Kenapa aku belum bisa melupakan masa lalu itu? Kenapa masa lalu itu harus muncul saat aku bersama dengan Rico?

“Awe? Kamu nggak apa-apa kan?” tanyanya lagi sambil mengusap lembut rambutku.

Kenapa aku bisa membayangkan Rico berubah menjadi orang itu? Bukankah Rico dan orang itu berbeda? Rico nggak akan pernah menyakitiku. Rico nggak akan pernah memaksakan sesuatu yang nggak aku suka. Rico…Dia…Dia berbeda dari orang itu.

Aku melihat Rico menghela nafas sejenak. Setelah itu dia tersenyum lembut ke arahku.

“Ya udah kalau kamu nggak mau. Aku nggak akan memaksa,” kata Rico lembut.
“Ric!” panggilku saat Rico mau beranjak dari atas tubuhku.
“Hmm?”
“Nggak apa-apa. Lan…lanjutkan saja,” kataku pelan nyaris berbisik.
“Eh?” Rico melebarkan matanya kaget.
“Te…teruskan,” bisikku.

Aku langsung meraih leher belakang Rico dan mendorong kepalanya mendekat ke arahku. Ku cium bibirnya. Pertama-tama Rico hanya diam nggak merespon ciumanku, tapi akhirnya dia membalas ciumanku juga. Detik-detik selanjutnya mulai terdengar erangan, desahan dan rintihan dari bibirku dan bibir Rico.





~Clay Pov~
Maaf2…baru update..sekali update malah dikit hehe..sebnrx pngn lngsung bnyk, tp malah aq salah langkh, jd g bisa aq update bnyk2 dl hehehe..gpp kan hehe ^^.

Oh ya..aq dnger2 bnyk org2 yg kurang bertanggung jwb mengcopas cerita lalu di posting tanpa izin dan parahnya nggak menulis sumberx sec jelas. Hmm..aq jd prihatin deh. Itu kan sama sekali g menghargai karya orang..mereka udah capek2 bikin crita tp di bajak gt aj..Ya klo ska ama karya seseorg jngn kyk gt lah. Kasian mereka yg sudah susah2 bikin cerita. Bikin crita itu kan g gmpang. Hrz ada mood dl, hrs luangin waktu, dll.. Jadi usahakan jngn berbuat sesuatu yg merugikan org lain seperti itu ^^. Tp aq yakin kok tmn2 di sini g ada yg kyk gt ^^. G ada yg seenaknya mengcopas lalu memostingnya tanpa izin. Di sini orgx baik2, nggak neko2 dan saling mengerti satu sama lain ^^. Yach moga2 aj org2 tak bertanggung jwb itu sadar dngn kesalahan mereka ya ^^.

Bwt tmn2 yg jd korban, aq cm bisa menyemangati dari sini. Crita kalian bgs kok, makanya d curi gt. Mreka cm iri krn g bsa bikin crita sebgs crita kalian ^^. Aq aja sampai ngefans ama kalian..pinter2 semua sih nulisx hehehe ^^. Makax ttp semangat ya ^^.

~Alvin Pov~ (Pukul 20.54)
Jalanan di depan café yang aku singgahi sekarang ini terlihat ramai dengan lalu-lalang kendaraan beroda dua dan empat. Sesekali terlihat juga beberapa pejalan kaki yang melintas di sisi-sisi jalan.

“Apa hanya ini yang bisa aku lakukan?” desisku sambil mengadung-aduk vanilla latte ku yang belum berkurangsama sekali sejak aku memesannya tadi.

Aku masih sangat ragu dengan keputusanku ini. Aku takut kalau keputusan yang aku ambil ini salah dan membuat semuanya makin kacau. Tapi aku nggak berani berbuat apa-apa selain ini. Ancaman Ryo membuatku ketakutan.

“Ayo,” terdengar sebuah suara dari sisi kiriku.

Ku amati cowok yang sedang berdiri di sisi kiriku itu.

“Aku Gin. Aku di suruh Ryo untuk menjemputmu,” kata cowok itu dengan muka datar. Sekilas aku jadi teringat sama Johan yang selalu bermuka datar.

Kalau nggak salah cowok inilah yang sempat berteriak saat Pandu menyerang Ryo kapan hari itu.

“Pergi sekarang?” tanyaku sambil melambaikan tangan ke salah satu waiter.

Waiter itu segera menuju ke mejaku sambil membawa bill.

“Iya. Ryo sudah menunggumu,” jawab cowok bernama Gin itu.
“Oh,” desisku sambil meletakkan uang 100ribuan ke atas nampan yang dibawa waiter itu.
“Di tunggu sebentar ya kembaliannya,” kata waiter itu sambil tersenyum ramah ke arahku.

Waiter itupun berlalu dari mejaku untuk mengambil kembalian uangku.

“Yuk!” ajakku mulai berdiri dari kursiku dan berjalan mendahului cowok bernama Gin itu.
“Uang kembalianmu?” tanya Gin yang mengikutiku dari belakang.
“Biarin aja,” jawabku tanpa menghentikan langkahku.

Mana mungkin aku memikirkan masalah kembalian kalau pikiranku terus ada di Pandu. Uang nggak seberapa itu, ah nggak..mungkin semua kekayaan ortuku nggak ada apa-apanya jika di bandingkan dengan keselamatan Pandu. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Pandu, aku pasti akan menyesal seumur hidup.

Akupun terus berjalan keluar café tanpa memperdulikan tatapan penuh tanda tanya dari beberapa pengunjung café.

“Mana motormu?” tanyaku saat berada di area parkir motor yang tepatnya ada di depan café itu sendiri.
“Yang itu,” jawabnya sambil menaiki salah satu motor balap berwarna hitam.

Dia pun langsung menaiki dan mens-tarter motor itu. Gin langsung menjalankan motornya setelah aku naik. Aku hampir protes ke dia karena dia nggak memberiku helm, tapi aku tahan. Aku nggak mau mencari masalah dengannya.

Gin menjalankan motornya dengan kecepatan sedang karena jalanan lumayan ramai. Aku terpaksa harus merendahkan tubuhku saat melewati pos-pos polisi. Takut kalau polisi itu akan menilang kami dan membuat waktuku terbuang dengan percuma. Sekarang ini tiap detik dan menit sangat berharga buatku.

Setelah makan waktu sekitar 30 menit, motor yang aku tumpangi memasuki sebuah kompleks pertokoan atau ruko yang ada di perbatasan jalan. Tempatnya berbeda dengan kompleks ruko yang jadi tempat nongkrong Pandu dan kawan-kawan. Kalau tempat nongkrong Pandu dan kawan-kawan itu jalanannya sedikit gelap dengan penerangan yang minim. Tempatnya juga cenderung menakutkan karena di ujung jalan ada sebuah makan tua yang nggak terurus. Sedangkan di sini tempatnya sangat bersih, penerangan dari lampu-lampu jalan sangatlah terang.

Tiba-tiba Gin memasukkan motornya ke salah satu ruko yang pintunya terbuka sangat lebar. Akupun segera turun dari motor setelah Gin menghentikan motornya tepat di tengah-tengah ruangan ruko itu. Rukonya masih kosong, cuma ada beberapa kursi dan meja yang berdebu di ujung ruangan. Tempatnya benar-benar seperti gudang. Berantakan.

“Di mana Ryo?” tanyaku saat melihat nggak ada satu orangpun di dalam ruko ini.
“Sebentar lagi dia ke sini,” jawab Gin.

Setelah melepas helm yang dia pakai, dia berjalan ke ujung ruangan dan duduk di salah satu kursi berdebu itu.

“Duduk!” ajaknya.
“Aku punya asma. Aku nggak tahan sama debu,” kataku.
“Kalau gitu kamu duduk aja di motorku,” kata Gin sambil mengambil rokok dari sakunya lalu menyulutnya.
“Sorry tapi aku juga nggak tahan asap rokok,” kataku pelan.

Gin langsung menatapku tajam.

“Kamu tau nggak posisimu sekarang sebagai apa?” tanya Gin dengan terus menatapku.
“Maksudmu?” tanyaku bingung.

Gin langsung membuang nafas dan mengalihkan pandangannya ke tempat lain.

“Sudahlah lupakan aja,” katanya sambil mulai menghisap rokoknya.

Ck…gimana sih nih orang. Udah aku bilang kalau aku nggak tahan asap, masih aja merokok. Mana aku nggak bawa inhaler lagi.

“Aku nggak pernah ngizinin kamu keluar dari sini kan?!” kata Gin sewaktu aku melangkahkan kakiku menuju pintu.
“Sudah aku bilang kalau aku nggak kuat asap dan debu. Kalau aku masih di sini bisa-bisa asmaku kambuh,” sahutku sambil tetap melangkahkan kakiku.

BRRAAAAKKKK…

Aku tersentak kaget ketika sebuah benda keras terjatuh atau lebih tepatnya terbanting di lantai. Ku putar tubuhku menghadap asal suara itu. Terlihat Gin sedang memegang salah satu kaki kursi yang di bantingnya tadi.

“Mulai sekarang biasakan!” kata Gin penuh penekanan di setiap kata-katanya.

Aku yang melihat sikap kasar Gin cuma diam membatu. Gin terus menatapku tajam, membuatku jadi makin terdiam.

“Kamu menakutinya Gin,” tiba-tiba terdengar sebuah suara dari belakangku.
“Ryo,” desisku saat melihat Ryo sudah berdiri di ambang pintu dengan dua orang temannya.

Ryo langsung menyunggingkan senyum saat mata kami bertemu.

“Di mana Pandu? Kamu sembunyikan di mana dia? Kamu apakan dia?” tanyaku langsung membabi buta.

Aku langsung berjalan mendekatinya dan menatapnya tajam penuh amarah. Ryo mengangkat ke dua alisnya dan menunjukkan ekspresi kebingungan. Tapi sedetik kemudian dia mulai menyunggingkan senyumnya lagi.

“Kamu aja nggak tau, apalagi aku,” jawab Ryo masih dengan senyumnya.
“Bohong. Kamu pasti tau di mana Pandu. Kamu sembunyikan di mana dia? KAMU APAKAN DIA?” tuduhku dengan penuh emosi.
“Ck…Alvin. Aku sama sekali nggak tau di mana Pandu. Kami belum berhubungan lagi sejak dia menelfonku tadi siang,” kata Ryo.
“Ryo aku mohon, jangan sakiti Pandu. Bukankah aku sudah ada di sini sekarang, memenuhi permintaanmu. Jadi tolong lepasin dia!”
“Vin, aku benar-benar nggak tau di mana Pandu sekarang. Lagipula sepertinya kamu ini sudah salah paham dengan percakapan kita tadi siang,” kata Ryo sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding dan melipat kedua tangannya di depan dada.
“Salah paham?” tanyaku bingung.
“Iya. Apa kamu pikir kalau kamu sudah datang ke sini dan memberi apa yang aku minta maka Pandu akan selamat?!”

Aku menelan ludah.

“Ja…jadi kamu membohongiku? Bukankah tadi siang aku…aku sudah memohon padamu?! Aku akan mengabulkan semua permintaanmu asal Pandu nggak kamu lukai.”
“Aku bukan pembohong Alvin. Aku nggak pernah berjanji apapun padamu. Ingat?!” lagi-lagi aku menelan ludah, “aku cuma mengatakan apa yang aku mau dan…yah…kamu mengabulkannya. Kamu ada di sini sekarang.”

Bego!! Aku terlalu bego. Aku baru sadar kalau dia nggak pernah berjanji apapun padaku. Aku mengambil keputusan itu tanpa pikir panjang. Seharusnya aku lebih berhati-hati menghadapinya. Sekarang aku harus gimana?? Apa yang harus aku lakukan??

Ku ambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya.

“Apa yang kamu mau dariku? Bukankah kamu menginginkan sesuatu dariku sampai memanggilku kemari? Uang? Atau apa?” tanyaku lirih.

Aku sudah sangat putus asa sekarang. Aku sudah nggak tau lagi harus berbuat apa. Yang bisa aku lakukan cuma mengabulkan permintaannya lalu pergi dari sini mencari Pandu.

“Apa aku kelihatan seperti orang yang membutuhkan uang?” tanyanya sambil tertawa pelan.
“Dasar bego!! Ryo itu nggak butuh duitmu. Emangnya kamu aja yang tajir haaa????” tiba-tiba salah satu teman Ryo ikut bersuara.

Cowok yang terlihat sombong itu menatapku dengan tatapan meremehkan dan menghina.

“Asal kamu tau aja. Menurut informasi yang ada, orang tuamu yang tajir itu nggak ada apa-apanya jika di bandingkan dengan orang tuanya Ryo,” kali ini cowok berambut landak berwarna kuning yang berbicara.
“Ka…kalian mencari informasi tentangku?” tanyaku nggak percaya.
“Iya. Aku terpaksa mencari informasi tentang kamu karena kamu berhubungan dengan Pandu. Awalnya aku kaget karena ternyata pacarnya seorang cowok. Aku nggak menyangka, Pandu punya hobby seekstrim ini” kata Ryo menjawab pertanyaanku sambil tersenyum mengejek ke arahku

MENYEBALKAN!!!

“Kamu salah. Aku bukan pacarnya Pandu,” dengusku kesal.
“Hmm gitu…jadi benar kamu cuma mainannya?” tanya Ryo sambil mengerutkan dahinya. Tapi sedetik kemudian dia tertawa pelan, membuatku jadi tambah jengkel.
“Sinting!” dengusku kesal sambil melangkahkan kakiku menuju pintu.
“Eiittzz..mau kemana kamu?” tanya cowok sombong, temannya Ryo.

Dia berdiri di depanku dan menghalangiku keluar dari ruangan berdebu ini.

“Aku mau pulang, jadi tolong minggir!” aku menatap tajam cowok itu, “AAHHHHH….” teriakku kaget campur sakit saat tiba-tiba ada seseorang yang menarik rambutku dari belakang dengan sangat kasar.
“Apa aku sudah mengizinkanmu untuk pergi dari sini?” tanya Ryo sambil tersenyum, “nggak kan?!” lanjut Ryo sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku dari samping, sedangkan tangan kanannya masih menarik rambutku dengan kuat sampai membuatku meringis menahan sakit.
“Le…lepasin Yo! Sakit!!” kataku sambil berusaha melepas tangannya dari rambutku.

Tapi bukannya di lepas, Ryo malah menarik rambutku makin kencang. Dia juga memasukkan tangannya ke dalam kantong celanaku dan mengambil sesuatu dari sana. Setelah itu dia mendorongku kembali ke tengah ruangan. Aku langsung mengusap kepalaku yang terasa sakit karena tarikannya tadi.

“Oh sakit ya?! Maaf deh kalau gitu,” kata Ryo masih dengan senyumnya yang memuakkan, “Gin, jaga dia! Jangan sampai dia keluar dari sini. Aku masih ada urusan dengan Pandu,” kata Ryo sambil berjalan menuju pintu.

Aku yang kaget karena mendengar kata-katanya, segera menyusul langkah Ryo dan teman-temannya tapi terlambat. Ryo sudah menutup pintunya dan menguncinya dari luar.

“AAARRRGGGHHH BRENGSEK!!!!” teriakku kesal.

Ku tendang berkali-kali pintu yang sudah terkunci itu. Baru kali ini aku mengucapkan kata-kata yang nggak pernah aku ucapkan. Kata-kata yang pernah di lontarkan Rico saat dia sedang kesal sekarang keluar begitu saja dari bibirku. Sumpah serapah terus saja aku teriakkan sampai sebuah dehaman terdengar dari belakangku.

“Bisa tenang sedikit nggak?!” tegur Gin yang masih dengan rokoknya.

Aku langsung berbalik dan menatapnya tajam.

“KELUARIN AKU DARI SINI DASAR BRENGSEK!!” teriakku kesal.
“Kamu buta ya? Jelas-jelas kamu lihat sendiri kalau pintunya di kunci dari luar.”
“KAMU PASTI PUNYA KUNCI DUPLIKATNYA KAN?! JADI MANA KUNCINYA??!!”
“Aku nggak punya. Cuma Ryo yang punya kunci tempat ini.”
“Apa? Ja..jadi…”
“Kita berdua terkurung di sini sampai Ryo membuka pintunya,” kata Gin memotong kata-kataku.

Aku langsung terduduk lemas di lantai.

Dasar sialan. Kenapa Ryo tega melakukan ini semua. Apa yang akan dia lakukan pada Pandu nanti?? Harusnya sejak awal aku berhati-hati dengannya. Harusnya aku nggak ikut dengannya ke café tadi siang. Harusnya aku nggak ke sini tadi. Harusnya…Harusnya.. AAAARRRGGGHHH…DASAR BRENGSEK. AN***G!!

Ke remas rambutku karena frustasi.

Gara-gara kecerobohanku, Pandu akan mendapat masalah lebih besar lagi. Apa yang bisa aku lakukan sekarang??

Tiba-tiba nafasku terasa sesak. Aku langsung mengangkat wajahku dan berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Gawat asmaku.

“Asmamu kambuh?” tanya Gin sambil menatapku dari tempat duduknya.
“Ga…gara-gara rokokmu dan tempat berde…berdebu ini,” jawabku dengan sedikit susah payah, “aku kan…aku kan sudah bilang ka…kalau aku punya asma,” lanjutku lagi.

Dadaku benar-benar terasa sesak. Aku mulai kesulitan untuk bernafas.

“Kamu tenang aja. Setelah Ryo menyelesaikan urusannya dengan Pandu, kamu akan aku lepaskan.”
“Sebenarnya ap..apa yang akan dilakukan Ryo ke…ke Pandu?” tanyaku sambil berusaha menstabilkan nafasku.
“Nanti kamu juga akan tau,” jawab Gin sambil membuang putung rokoknya ke lantai lalu menginjaknya.
“Apa kalian…kalian akan memukulinya?”
“Kamu akan tau sendiri nanti.”
“Ap…apa kalian akan…akan mem…membunuhnya?”
“Aku kan sudah bilang, kamu akan tau sendiri nanti.”

Aku langsung tertunduk lemas. Aku takut kalau Ryo akan melukai Pandu. Aku takut kalau Ryo akan mencelakai Pandu. Bukankah Ryo sudah dibutakan oleh dendam?! Apa saja bisa dia lakukan.

“Kenapa kamu dan teman-temanmu sa…sa…sangat tunduk pada Ryo?? Bu…bukankah an..neh kalau pim…pimpinan ka…kalian itu orang seperti Ryo?!! Me..menurutku kamu jauh…jauh lebih pantas jadi pimpinan daripada dia.”
“…”
“Kam…kamu gagah dan ting…tinggi besar. Kamu…kamu juga ter…terlihat lebih berkarisma daripa…daripada dia. Terlalu…terlalu di sayangkan kalau ka…kamu hanya berakhir sebagai an…anak buahnyaaaaa….aahh…haaahhh…haaaahhh…”

Ga…gawat asmaku makin menjadi.

“Aku nggak minat jadi pimpinan. Aku cuma ingin jadi anak buahnya yang setia. Dengan begitu aku bisa melindunginya.”
“Melin…melindunginya?? Ke…kenapa?? Kenapa kamu…kamu mau melindunginya??”

Gin terdiam. Dia nggak langsung menjawab pertanyaanku. Ku lihat Gin sedang melempar pandangannya kearah lain.

“Karena aku menyukainya. Sangat menyukainya. Aku mencintai Ryo. Akan ku lakukan apapun untuk membuat senyuman hangatnya kembali. Aku ingin melindungi senyumnya itu. Aku juga ingin melindungi Ryo dengan tanganku sendiri,” jawab Gin sambil tersenyum tipis.

Aku cuma terdiam karena kaget dengan pengakuannya barusan. Aku nggak menyangka kalau Gin ternyata menyukai Ryo. Dia bahkan rela melakukan apapun untuk melindungi seorang Ryo yang licik. Gagal sudah rencanaku untuk mengacaukan pikirannya dengan hasutanku. Rencananya aku akan menghasut Gin sampai Gin mau membantuku keluar dari sini bagaimanapun caranya.

“Kenapa kamu…kamu bilang ke aku ten…tentang perasaanmu?” tanyaku sambil memegang dadaku yang makin terasa sesak.
“Karena aku berfikir kita ini sama. Sama-sama ingin melindungi orang yang kita sukai.”

Aku terdiam. Nggak ada gunanya juga aku bicara dengannya sekarang. Daripada melakukan hal yang sia-sia, lebih baik aku menghemat energiku yang masih tersisa.

Perlahan-lahan ku rebahkan tubuhku di lantai dekat dinding yang nggak jauh dari pintu. Ku biarkan saja debu yang mulai menempel di bajuku. Rasanya percuma juga menghindari debu kalau asmaku sudah kambuh seperti ini. Akupun mulai memejamkan ke dua mataku dan masih berusaha untuk mengembalikan nafasku yang sudah kepayahan. Semoga saja ini cepat berakhir dan semuanya kembali normal seperti sediakala.

Pandu…kamu harus kembali ke tempatku dengan selamat. Aku akan menunggumu. Apapun yang terjadi aku akan terus menunggumu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar