Senin, 21 Maret 2016

Memories Of Him - Part 8

~Awe Pov~
“Hah???” Rico menatapku bingung.

Aku menelan ludah sambil menggigit bibir bawahku. Dadaku jadi tambah kencang saja ketika melihatnya dari jarak sedekat ini. Rico dan Alvin cuma memandangku dengan tatapan bingung.

Ya ampun kenapa aku baru sadar kalau aku juga sering deg-deg’an kalau ada di dekat Rico akhir-akhir ini?! Aaaaaaa…. Aku sudah suka sama Rico >.<

“Hai…” tiba-tiba Rico memegang pundakku sehingga jantungku berdetak lebih cepat lagi.
“Aaaaaa…aaaaaaaa…..” desisku panic dan berusaha menepis tangannya, tapi Rico malah memegang pundakku kuat-kuat.
“Kenapa sih?” tanya Rico yang sekarang ikut panic, “kamu sakit? Mana yang sakit?” tanyanya.
“Ini? Ini? Apa ini?” tanyanya lagi sambil memegang bahu, dada dan pinggangku. Aku yang syock karena di raba-raba secara mendadak seperti itu cuma terdiam dengan muka yang memanas.
“Jangan-jangan kamu demam?” tanyanya lagi sambil memegang keningku dengan punggung tangannya.

Merasa kurang puas, Rico pun menempelkan keningnya ke keningku. Aku yang panic berusaha menjauhkan kepalaku tapi langsung di tahan dengan tangannya yang ada di belakang kepalaku. Dengan posisi yang seperti ini nafasnya begitu terasa di wajahku. Debaran jantungku sudah nggak terkontrol lagi. Aku cuma terdiam. Pikiranku mendadak menjadi kosong.

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

Rico belum menjauhkan keningnya.

“Aaaaaa…” aku yang sadar dari otak kosongku langsung mendorong tubuh Rico menjauh. Rico yang kaget langsung gelagapan.
“Eh itu anu nggak demam kok,” kata Rico gugup.

Aku nggak tahu kenapa Rico gugup, harusnya kan yang gugup itu aku bukan dia.

“Kalian pulang aja duluan, kayaknya Awe lagi nggak enak badan,” kata Alvin.
“Hah? Oh iya pulang ya hehe…” Rico yang gugup langsung menarikku pergi meninggalkan Alvin. Tapi nggak sampai sedetik dia melepaskan genggamannya dan berbalik melihat Alvin yang masih berdiri bersandar pada pohon.
“Ng..kamu nggak ikut pulang Vin?” tanya Rico pelan.

Alvin langsung memandang Rico sambil tersenyum. Aku suka kalau Alvin tersenyum. Tapi sekarang aku masih bingung menenagkan debaran jantungku yang masih berdetak kencang.

“Aku nunggu jemputan. Lagian aku masih ingin di sini dulu,” jawab Alvin.
“Ehm..Vin..”
“Ya?” tanya Alvin karena Rico mengantung kata-katanya.
“Ah..ng..nggak…nggak apa-apa,” kata Rico, setelah itu dia membalikkan badannya.
“Ric!” panggil Alvin, Rico langsung berbalik lagi menatap Alvin, “sorry,” desis Alvin yang langsung mendapat senyuman lebar dari Rico.

DEGDEGDEGDEGDEGDEGDEGDEG….

Tiba-tiba jantungku kembali berdetak kencang lagi ketika melihat senyum Rico. Padahal selama ini aku nggak deg-deg’an kalau melihat senyum Alvin yang sangat aku sukai itu. Tapi sekarang jantungku malah deg-deg’an lihat senyum lebar Rico. Uummmm >.<

“Ya udah aku sama Awe duluan,” kata Rico pada Alvin, “yuk We!” ajak Rico yang sedikit mengagetkanku.

Aku langsung melambaikan tanganku kearah Alvin sebelum menyusul Rico. Selama perjalanan menuju tempat parkir, aku dan Rico sama sekali nggak mengobrol. Ya biasanya aku emang diam dan Riconya yang ngomong sih –a. Kali ini aku cuma mengikutinya dari belakang tanpa membuat ulah.

Akhirnya kami sampai juga di tempat parkiran mobil. Aku dan Rico langsung masuk dalam mobil. Tapi Rico nggak langsung menjalankan mobilnya, dia malah sibuk mengaduk-aduk isi kantong plastic yang di ambilnya dari jok belakang.

“Ini coklat buatmu,” katanya sambil menyodorkan beberapa coklat batangan ke arahku.

Matakupun langsung berbinar-binar melihat coklat itu. Tanpa banyak pikir lagi aku langsung menyambarnya. Aku langsung mengeluarkan notesku dan menulis sesuatu di sana.

-Makasih- tulisku, Rico langsung tersenyum dan mencubit pipiku.

Aku yang di perlakukan begitu langsung tertunduk malu.

Aaiiiiizzzz… aku kok jadi aneh banget sih. Masa iya aku suka beneran sama Rico??

“Kenapa kamu mukulin keningmu sendiri gitu hehe?” tanya Rico, aku langsung terdiam.
“Eh kemarin aku juga beli gantungan hp lucu,” kata Rico sambil mengeluarkan beberapa gantungan hp dari kantong plastic itu.

Ada gantungan hp yang berbentuk boneka bebek, monyet dan kucing.

“Mau yang mana?” tanya Rico sambil menyodorkan ke tiga gantungan hp itu.

Aku langsung mengamati satu persatu gantungan hp itu. Senyumku langsung mengembang ketika berhasil memutuskan gantungan hp mana yang mau aku ambil.

“Monyet?” desis Rico ketika aku mengambil gantungan hp monyet dari tangannya, “aku pikir kamu mau ambil kucing,” lanjutnya lagi.

Aku cuma tersenyum memandangi gantungan hp monyet yang sedang nyengir. Mirip Rico hehehehehe…


~Awe Pov~
Aku langsung masuk ke dalam rumah setelah Rico melajukan mobilnya. Rumahku tampak sepi karena Tante Lila masih bekerja dan baru pulang sore hari. Aku langsung berjalan menuju kamar lotengku. Tas ransel yang dari tadi aku bawa langsung aku lempar ke sofa yang ada di dalam kamar miniku ini. seragam yang dari tadi aku pakaipun langsung aku lepas dan berganti dengan sweater dan celana pendek kesukaanku yeeeeiiiii ^^

Ah iya coklat dan gantungan hp ku masih ada di tas.

Tanpa buang waktu sedetik pun aku langsung mengobok-obok tasku buat ngambil coklat dan gantungan hp. Dengan cepat aku membuka bungkus coklat dan langsung memakannya. Yummy ^^. Aku paling suka coklat. Bisa jadi penghilang strez dan bisa meningkatkan ke happy’an (aduh bhsq haha). Uuuummmm….nggak tau bener apa nggak sih. Itu juga kata dia.

Huuwaaaaaa….jadi keinget lagi sama dia >.<

Aku langsung menggelengkan kepalaku kuat-kuat untuk menghilangkan bayangan wajahnya dari ingatanku.

Sms dari siapa tuh?
Ciiieeehhhh sms dari siapa?
Ciiieeelllaaahhh dari siapa sih?
Waaaaa…hayo ngaku hayo ngaku…
Ciieeeehhhhh…

Tiba-tiba hp ku berbunyi dengan nyaringnya beberapa kali.

Tadi lupa nggak aku silent hpq. Untung nggak bunyi waktu di kelas. Bisa di sita hpku :’(.

Aku pun langsung merogoh kantong celana sekolahku yang ada di gantungan pintu. Waktu aku lihat ada enam sms masuk.

From: Tante/Mama Lila
Sayang hari ini jangan keluar rumah. Kalau sudah sampai rumah tutup semua pintu dan jendela. Jangan biarin seorangpun masuk ke dalam rumah!!! PAHAM!!!

Mataku melebar ketika membaca sms dari Tante Lila. Baru kali ini Tante panic.

To: Tante/Mama Lila
PAHAM :D

SEND

Setelah mengirim pesan balasan ke Tante, aku langsung berjalan menuruni tangga kamarku menuju ruang tamu. Ku kunci semua pintu dan jendela. Nggak lupa juga ku tutup semua tirai yang ada.

Yack…sempurna hehehe ^^. Ah ya masih ada lima sms lagi.

Sambil berjalan menuju kamar, akupun membaca sms yang lainnya lagi.

From: {dianjurkan no. telpon lewat PM krn banyak laporan penyalahgunaan}
Hai..

From: {dianjurkan no. telpon lewat PM krn banyak laporan penyalahgunaan}
Lagi skul atau udah plng?

Aku langsung menghela nafas jengkel ketika membaca sms dari nomor yang akhir-akhir ini selalu menggangguku. Waktu aku tanya siapa dia, dia pasti bilang “nanti kamu juga tau”. Aku nggak suka di jawab gitu. Bikin penasaran tau >.<

Huh biarin aja. Hmm.. baca sms yang lainnya aja ah. Rasanya ada sms dari Rico juga.

From: Rico
Hai km di mn? Aq cari di klsmu tp km g da. di tmpt parkir jg g ad.

From: Rico
HOOOEEEEEE AWEEEEEE…KAMU DI MANA???? KAMU MAU PULANG APA MAU NGINEP DI SEKOLAH????????????????????????????????????

Ini sms tadi pas pulang sekolah kan? Kok baru masuk? Hmm..jaringannya nggak beres nih. Ah.. suka gini deh sim ku hiks T-T

From: Rico
Aq pilih bebek. Mirip km sih hehehe…

Aku langsung tersenyum membaca smsnya yang terakhir.

To: Rico
Kok aq d smain kyk bebek? Hiks…

SEND

Aku langsung merebahkan tubuhku ke tempat tidur setelah mengirim balasan sms untuk Rico. Ku amati gantungan hp monyet yang dari tadi aku pegang sambil tengkurap.

Monyetnya bener-bener mirip Rico hehe..tengil dan suka senyum lebar. Bikin aku suka. Eh??? Suka?? Huuuwaaaaaa… aku beneran suka sama Rico >.<

BLLUUSSHHHH

Ku benamkan kepalaku ke bantal meredam deg-deg’an di dadaku yang tiba-tiba muncul. Perlahan-lahan ku angkat kepalaku dan ku amati lagi monyet itu. Dengan posisi tengkurap, aku mulai menggeser tubuhku ke tepi tempat tidur dan tanganku menggapai-gapai kolong tempat tidurku mencari sesuatu di sana. Ketemu. Ku angkat benda yang tadi aku cari. Sebuah kotak berwarna putih dengan gambar bulan dan bintang di tiap sisinya. Setelah ku bersihkan debu yang menempel, aku mulai membuka kotak itu. Isinya tetap sama, alat-alat sulap kepunyaannya, topi miliknya, segudang surat yang berisi rayuan maut untuk cewek-cewek yang pernah aku ambil diam-diam dari kamarnya, gambar bulan bintang pada malam hari dan foto dirinya.

“Kakak…” desisku saat melihat foto itu.

Kenangan saat bersamanya kembali mempermainkan otakku. Wajahnya, senyumnya, suaranya, belaian tangannya, desah nafasnya dan ciumannya kembali mengusikku.

Nggak…nggak bisa. Kakak udah pergi dan sekarang sudah bersama wanita itu. Aku nggak boleh mengingatnya lagi.

Aku menghela nafas panjang beberapa kali untuk menenangkan perasaanku yang mendadak kacau. Setelah semua kembali normal aku mengambil gambar bulan bintang yang ada di dalam kotak itu juga. Ku amati gambar itu. Aku jadi paham sesuatu.

Kakak pernah bilang kalau aku bintang, dia bulannya. Tapi aku sadar kalau bintang itu banyak. Aku cuma salah satu di antara bintang-bintang itu. Bulan selalu di kelilingi bintang-bintang yang yang bersinar sangat cantik. Aku selalu bersaing dengan semua bintang itu. Sinarku terlalu redup untuk menyaingi sinar bintang yang lain, tapi kakak bisa melihat sinarku itu. Tapi itu untuk beberapa saat saja, kakak terpaksa harus bersanding dengan salah satu bintang yang sinarnya paling terang agar sepadan dengannya.

Sms dari siapa tuh?
Ciiieeehhhh sms dari siapa?
Ciiieeelllaaahhh dari siapa sih?
Waaaaa…hayo ngaku hayo ngaku…
Ciieeeehhhhh…

Aku langsung melihat sms siapa yang masuk ke hp ku.

From: Rico
cz bibirmu kyk bebek klo lgi cemberut hehe…

“Hahahahahahahahahahahahaha…..”

Tawaku langsung meledak ketika membaca sms dari Rico. Aku nggak tau kenapa aku bisa tertawa sekencang itu, padahal nggak ada yang lucu di smsnya. Setelah tawaku berhenti, aku mengambil foto kakak.

“Kak…hatiku sudah berpaling. Kakak cuma masa lalu dan dia…” aku memandang gantungan monyet yang ada di tangan kiriku, “masa depanku,” lanjutku lagi.

Ya biarpun Rico belum tentu suka sama aku juga. Tapi aku ingin menyukainya. Aku nggak mau terjebak masa lalu terus menerus.

Ku masukkan kembali foto kakak ke dalam kotak dan perlahan-lahan ku tutup kotak itu. Ku tutup semua masa laluku. Ku tutup semua kenangan indah antara aku dan dia. Ku tutup semuanya tanpa sisa.

To: Rico
Aq ska km hehehehehehehe…. :D

SEND

~Alvin Pov~
“Den buka pintunya den! Ini sudah siang. Den Alvin belum makan sama sekali,” bujuk Bi Yum dari balik pintu kamarku.
“Iya den. den Alvin nanti bisa sakit,” timpal Bi Surti.
“Nanti kalau den Alvin sakit gimana?” Bi Um ikut-ikutan bersuara.
“Tolong jangan ganggu aku dulu Bi. Aku mau sendiri,” kataku setengah berteriak.
“Tapi den….”
“Tolong Bi!!” tegasku memotong kata-kata Bi Yum.
“Ya udah, ya udah. tapi jangan terlalu lama mengurung diri di kamar. Nanti den Alvin bisa sakit,” kata Bi Um.

Setelah itu aku nggak mendengar lagi bujukan dari para bibi-bibi itu.

Aku kembali pada kegiatanku, yaitu rebahan di tempat tidurku sambil memandangi layar hp yang padam. Hari ini tanggal merah, sekolah libur. Kemarin juga libur karena hari minggu. Itu artinya aku nggak akan bertemu Pandu. Dan itu artinya aku nggak bisa minta maaf secara langsung. Kalau aja smsku dibalas dan telfonku di angkat sama dia, aku nggak mungkin segelisah ini.

Apa kamu semarah ini Pan sama aku? Apa semarah ini??

Huuuuuuffffhhhh…..

Aku menghela nafas panjang sejenak untuk mengusir kepenatanku. Rasanya aku sering pusing akhir-akhir ini. Ya..mungkin karena banyak pikiran. Tentang UAN yang sebentar lagi, tentang mama yang sering maksa aku untuk control ke dokter, tentang Pandu yang marah sama aku dan tentang aku cinta Pan…

Mataku langsung melebar dan seketika itu juga aku bangun dari rebahanku dan duduk di sisi tempat tidur.

Eh tunggu dulu!! Barusan aku mikir apa?? Cinta Pandu?? Aku?? Nggak mungkin ah. Ini gara-gara Awe ngomong yang enggak-enggak, aku jadi mikir yang enggak-enggak deh. Nggak mungkin lah cowok suka sama cowok. Aku kan cuma ingin berteman akrab sama Pandu, nggak lebih. Biarpun aku nggak pernah pacaran dan suka sama cewek secara khusus, tapi aku nggak mungkin suka sama cowok. Aku lebih suka berteman dengan semua orang daripada memikirkan gimana caranya berpacaran.

Aku kembali merebahkan tubuhku dengan kaki menggantung ke lantai. Mataku menatap lurus ke langit-langit kamarku.

Pandu, kamu sedang apa sekarang? Hari libur gini pasti lagi kerja ya? Kamu pasti pakai celana pendek dan bertelanjang dada dengan bandana yang terikat di kepala. Pasti keren banget. Pasti cakep banget ya. Aduh dadaku sesak.

Aku memegang dadaku yang tiba-tiba terasa sesak. Tapi ini berbeda dari asmaku yang biasanya. Terasa lebih sesak dan sakit. Buru-buru ku ambil inhalerku yang ada di sisi bantal dan ku hirup. Tapi sudah hampir setengah jam berlalu sejak aku memakai inhalerku tapi nggak ada reaksi. Sesaknya masih terasa. bertambah sesak waktu aku memikirkan Pandu.

Kembali kurebahkan tubuhku ke tempat tidur. Ku pejamkan kedua mataku lalu ku tutup dengan lengan kananku. Gelap, tapi masih nggak seberapa gelap di banding gelapnya hati dan pikiranku saat ini. Di benci oleh orang yang ingin aku jadikan sahabat. Menyedihkan.

“Pandu…” desisku masih dengan posisi yang sama.





~Pandu Pov~
“Pan, istirahat dulu! Daritadi kamu belum istirahat,” kata Aan dari depan waiting room.

Aku pun langsung keluar dari bawah mobil yang sedang aku tangani. Dengan malas aku mulai berjalan kearah Aan sambil melepas bandana yang ada di atas kepalaku lalu memasukkannya ke kantong celana.

“Nih nasi kucing (prnh mkn g?), baru aku beli,” kata Aan sambil menyerahkan bungkusan nasi ke arahku.
“Thanks,” ucapku sambil menerima bungkusan itu.

Nasi itu nggak langsung aku makan, tapi aku letakkan di kursi kayu yang ada di depan waiting room. Setelah itu aku berjalan menuju kran air untuk mencuci tangan, kaki dan wajahku dari cipratan oli dan sejenisnya.

“Temenmu kok nggak pernah ke sini lagi ya?” tanya Aan dari tempatnya berdiri tadi. Tapi sekarang dia sudah duduk di kursi panjang tempat aku meletakkan nasiku.
“Temen yang mana?” tanyaku balik sambil kembali ke kursi kayu itu dan duduk di samping Aan.
“Alvin,” aku tersentak kaget saat Aan menyebut nama Alvin.

Tanpa menjawab pertanyaan Aan, aku mulai memakan nasiku.

“Hai!! Kok nggak di jawab sih?!”
“Nggak penting. Makanya nggak aku jawab.”
“Kenapa? Kamu bertengkar sama dia?” lagi-lagi aku cuma terdiam mendengar pertanyaannya.

Bertengkar? Apa aku bertengkar sama Alvin? Nggak. Aku marah sama Alvin. Aku sangat kecewa dengan sikapnya.

“Ck… kacang-kacang sebungkus kacang mahal,” sindir Aan karena aku nggak menghiraukannya. Setelah itu dia berjalan memasuki waiting room.

Aku cuma memakan nasiku dalam diam. Biarpun bengkel ini ramai tapi terasa sepi. Nggak cuma di sini. Seramai apapun tempatku berada selalu terasa sepi. Serasa ada yang hilang. Akhir-akhir ini aku merasakan kehampaan yang amat sangat. Rasanya aku jadi males banget mau ngapa-ngapain.





~Rico Pov~
“Ngapain sih liatin hp sampai segitunya?” tanya kak Andi yang sibuk makan di sampingku.
“Sintingnya lagi kambuh. Dari kemarin lusa tuh hp nggak lapas dari matanya,” sahut kak Danil yang asyik bermain game di depanku.

Kak Danil duduk di lantai depan meja, sedangkan aku dan kak Andi duduk di sofa belakang meja.

“Nggak sampai segitunya kali. Lebay!! Gimana caranya hp nggak lepas dari mata?!” dengusku kesal tanpa melepaskan pandanganku pada layar hpku.
“Habisnya, kalau udah lihat hp matamu kayak lengket gitu sama layarnya,” ledek kak Danil.
“Suka-sukaku. Hp-hp ku,” balasku kesal yang langsung di sambut tawa kak Andi yang memuakkan.

Ck…ganggu orang aja.

Aku kembali focus pada apa yang aku lihat tadi. Oh Tuhan sebuah sms indah yang nggak akan pernah bosan untuk di baca. Sebuah sms yang mampu membuatku hampir pingsan sewaktu membacanya. Sebuah sms yang hampir membuatku jadi gila…gila…gila dan GILA. OH GOD AKU HAMPIR GILA.

“Dasar sinting.”
“Apaan?!” aku langsung sewot waktu mendengar celotehan kak Danil.
“Ketawa sendiri gitu kalau bukan sinting apa namanya coba?”
“Bukan urusanmu. Crewet banget sih jadi kakak,” dengusku kesal sambil berjalan meninggalkan ke dua kakakku yang rese itu.

Dasar kakak-kakak nggak berguna. Udah pada besar-besar tapi kelakuannya sama kayak anak TK (sama kek dia haha).

Aku langsung menaiki tangga menuju lantai dua dan langsung masuk ke dalam kamarku. Menyalakan laptopku dan memutar WNP dengan lagu ke sukaanku. Setelah itu aku berjalan menuju tempat tidurku dan menjatuhkan tubuhku di sana dengan posisi tengkurap. Nggak lama kemudian aku memutar tubuhku menjadi rebahan. Ku ambil hp yang ada di kantong celanaku lalu langsung ku pencet tombol untuk mencari picture amplop. Setelah itu ku baca ulang sms yang masuk ke hpku sabtu kemarin.

Aku mendapat sms ini dua hari yang lalu, dan aku tau kalau itu bukan sms yang berarti khusus buat Awe. Apalagi setelah itu dia nggak sms aku lagi dan aku yang masih syock membaca smsnya nggak membalasnya. Aku tau kalau aku ini konyol karena mengharapkan arti khusus dari smsnya. Memalukan memang, tapi itulah yang terjadi. Aku sudah berusaha menekan perasaanku tapi tiap kali ku tekan makin teringat padanya. Dia cowok, aku juga cowok dan aku menyukainya. Itulah faktanya.

Dreett…Dreett…

From: Awe cutezz
Ric…anter aku ke mini market dong.. pliiiizzzzzz :D

Mataku hampir copot dan jantungku hampir berhenti berdetak karena membaca sms dari seseorang yang membuatku hampir gila akhir-akhir ini. Awe minta anter ke mini market, padahal mini marketnya dekat dari rumahnya.

Aduh gimana ini? Di..dia membutuhkanku. Dia mengandalkanku. Aku harus jawab iya.

To: Awe cutezz
10 menit sampai

SEND

To: Awe cutezz
Ah nggak, 5 menit sampai

SEND

Aku langsung menyambar kunci mobilku dan langsung keluar kamar. Bagai kilat ku turuni tangga dan berjalan melewati ke dua kakakku yang terbengong-bengong melihatku yang terburu-buru.

“Hoiii mau ke mana?” tanya kak Andi yang masih terdengar telingaku sebelum menjauh dari mereka.
“KELUAR SEBENTAR. TOLONG MATIIN LAPTOPKU!!” teriakku sebelum menghilang dari pintu depan.

Awe tunggulah aku……

~Alvin Pov~
“Alvin?!” sebuah suara langsung menyapaku ketika melihatku mondar-mandir di depan ruangannya.

Aan langsung berjalan ke arahku lalu membuka pintu ruangan yang pernah aku masuki dulu.

“Cari Pandu ya?” tanya Aan dengan senyum yang mengembang di bibirnya..
“Iya. Tapi aku lihat-lihat Pandunya nggak ada,” jawabku sambil menoleh sekilas kearah montir-montir yang sibuk dengan kerjaannya masing-masing.
“Pandu sih sudah pulang dari tadi,” kata Aan.
“Pulang?” tanyaku bingung.
“Iya, dia kan cuma kerja part time di sini,” jawab Aan.
“Bukannya kalau libur dia kerjanya full?” tanyaku lagi.
“Iya sih. tapi tadi dia izin pulang cepet, ya aku nggak bisa larang dia,” jawab Aan, “yuk masuk dulu!”
“Makasih, tapi aku mau langsung ke kos-kos’annya aja,” tolakku, “kalau gitu aku permisi,” pamitku sebelum membalikkan tubuhku.
“Oh ya Vin!” panggil Aan sebelum aku sempat melangkah pergi.
“Ya?” tanyaku sambil memutar badanku menghadapnya lagi.
“Tolong jaga Pandu.”
“Maksudnya?” tanyaku bingung sambil mengerutkan keningku.

Tanpa sadar aku mulai berjalan mendekat kearah Aan lagi.

“Masuk dulu yuk! Lebih enak kalau ngobrol di dalam,” kata Aan sambil membuka lebar pintu ruangan yang ada di belakangnya.

Mau nggak mau, akhirnya aku masuk juga ke dalam ruangan itu. Aku penasaran dengan kata-katanya barusan. Jagain Pandu? Dari apa? Pandu kan bisa jaga diri sendiri. Dia kuat dan tegas.

“Yuk di minum!” kata Aan sambil menyodorkan teh botol ke arahku setelah aku duduk di sofa yang pernah aku duduki dulu.
“Makasih,” sahutku, setelah itu aku meminum sedikit teh itu, “oh ya maksud mas Aan tadi….”
“Oh yang tadi? Ya sebenernya nggak ada yang khusus sih. Cuma Pandu itu aneh banget akhir-akhir ini. Aku takut dia lagi ada masalah,” kata Aan sambil duduk di sofa depanku.
“Masalah?”
“Iya. Hmm… misalnya dia lagi bertengkar gitu sama seseorang,” aku langsung seperti di sambar petir waktu mendengar kata-kata Aan.

Tiba-tiba Aan tersenyum lembut ke arahku. Sepertinya dia bisa membaca kebenaran dari raut wajahku.

“Kalian ada masalah?” tanyanya masih dengan senyuman di bibirnya.
“Itu..aku…” jawabku terbata-bata dan akhirnya aku nggak meneruskan jawabanku. Aku terdiam.

Aan masih melihatku dengan senyuman yang sama.

“Dari kecil Pandu sudah hidup dalam lingkungan yang ‘dingin’. Benar-benar jauh dari yang namanya kehangatan. Biarpun dia sempat tinggal dipanti, tapi bundanya nggak mungkin menaruh perhatian padanya 100%. Bundanya harus membagi cintanya pada puluhan anak yatim lainnya,” aku cuma terdiam mendengar kata-kata Aan. Aku masih belum mengerti maksudnya.
“Pertama kali aku bertemu dengannya ya di bengkel ini. Dia ngamen di sini.”
“Ngamen?” tanyaku kaget. Mataku melebar memandangnya.
“Ya. Waktu itu dia baru keluar dari panti,” jawabnya sambil menyenderkan tubuhnya ke senderan sofa, “aku langsung tertarik dengannya waktu pertama kali bertemu dengannya. Dia memiliki mata yang sangat tajam dan dingin, padahal dia masih kecil,” kata Aan.

Aku masih terdiam mendengar kata-katanya. Jujur aja aku masih syock. Aku memang tau kalau Pandu pernah tinggal dipanti, tapi aku nggak nyangka dia pernah jadi pengamen.

Ternyata aku belum mengenal Pandu sepenuhnya. Sebenarnya seberapa banyak yang belum ku ketahui tentangmu Pan?

“Waktu itu aku melihatnya sebagai anak yang menarik. Anak yang mempunyai potensi besar untuk jadi sepertiku.”
“Jadi preman?” tanyaku spontan yang langsung menyadarkan kekurangajaranku. Aku langsung menutup mulutku dengan tanganku dan tertunduk takut.
“Sorry,” desisku penuh penyesalan.
“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA……” tiba-tiba Aan tertawa sangat keras membuatku jadi bingung, “kamu ini lucu juga ya hehehehe….” kata Aan setelah tawanya mereda.
“Sorry aku nggak bermaksud…”
“Nggak apa-apa hehe… kata-katamu nggak salah kok,” kata Aan memotong kata-kataku, “dulu aku masih suka bersenang-senang. Mengumpulkan banyak orang untuk membentuk sebuah gang. Makanya waktu ngeliat Pandu, tanpa pikir panjang aku langsung menawarinya bekerja di bengkelku dan memberinya tempat tinggal gratis di kos-kosan milikku. Aku ingin dia menjadi salah satu anggota dalam kelompokku. Tapi lama kelamaan aku jadi tau sifatnya. Pandu itu keras dan tegas. Aku yang lebih tua tujuh tahun dari dia aja kalah tegas hehe…” kata Aan sambil merogoh kantong celana dan mengeluarkan sesuatu dari sana.
“Sorry mas, tapi aku punya asma. Aku nggak tahan asap,” kataku cepat setelah tau apa yang dia ambil. Rokok.
“Ha?? Asma? Oh sorry-sorry aku nggak tau,” Aan langsung memasukkan rokoknya ke dalam kantong celananya lagi.
“Nggak apa-apa kok. Anu..lanjutin aja critanya,” pintaku dengan sangat.

Aku sangat tertarik untuk mendengarkan kisah Pandu secara detail.

“Oh ya, sampai mana tadi?” tanya Aan.
“Eng..sampai mas Aan kalah tegas sama dia.”
“Oh ya-ya. Gini, akhirnya lama-kelamaan aku jadi lebih mengenal Pandu. Selain tegas dan keras, dia ternyata anak yang lurus. Biarpun wajah dan penampilannya nyeremin, tapi dia baik dan jujur. Dia nggak suka hal-hal yang aneh-aneh, seperti nge-drug,” aku manggut-manggut mendengarnya.

Aku tau itu. Pandu juga sudah cerita kalau dia nggak pakai obat-obatan.

“Tapi karena dari kecil dia sudah hidup di lingkungan yang sedikit berbeda dari orang lain, sifatnya makin hari jadi makin keras. Dia jadi lebih tertutup dan jadi emosian.”

Ternyata begitu. Ya aku bisa ngerti sih. Dari kecil sudah hidup di panti, pernah jadi anak jalanan dan menjadi salah satu anggota motor. Nggak heran kalau sifatnya jadi keras dan emosian. Tapi aku juga tau kalau dia itu baik. Kalau aku di dekatnya aku merasa nyaman dan aman. Benar-benar menyenangkan ?

“Ya biarpun sifatnya keras dan mudah emosi tapi dia punya banyak teman. Karena mereka merasa nyaman kalau dekat dengannya…ng…kok kamu senyum-senyum sendiri Vin?”
“Hah? Oh nggak…hehehe…lanjutin aja mas,” kataku gelapan karena ketangkap basah sedang senyum-senyum sendiri. Malu.
“Ya itulah sifat Pandu. Tapi sifatnya sedikit berubah akhir-akhir ini.”
“Berubah?” tanyaku sambil mengerutkan kening.
“Iya. dia jadi lebih sabar, jadi bisa tertawa lepas dan ada satu hal yang aku suka darinya akhir-akhir ini.”
“Apa itu mas?” tanyaku penasaran, Aan tersenyum.
“Tatapan matanya melembut nggak sedingin dulu. Aku rasa dia bisa berubah seperti itu berkat seseorang.”
“Siapa?” tanyaku makin penasaran.

Aan nggak langsung menjawabku, dia cuma tersenyum ke arahku

“Mas?”
“Orang itu kamu,” desisnya.
“Aku? emang aku ngapain? Perasaan aku nggak ngapa-ngapain,” kataku bingung.
“Ya mungkin kamu merasa nggak ngapa-ngapain, tapi kehadiranmu bikin dia berubah. Kamu memberi kesan tersendiri buatnya. Selama ini dia hanya di kelilingi oleh orang yang…yah kamu tau sendiri lah temannya kayak gimana. Kamu pernah ke tempat nongkrong kami kan dulu?”
“Iya pernah,” jawabku di tengah-tengah acara minumku.
“Ya itu. Tapi karena ada kamu, dia jadi berubah. Dia jadi punya alasan untuk melindungi, menyayangi atau mungkin mencintai.”
“UHHUUKK….UHHUUUKKK….” aku langsung terbatuk-batuk kerena tersedak minumanku ketika mendengar kata terakhirnya.
“Waduh kamu nggak apa-apa kan?” tanya Aan panic.

Aan langsung beranjak dari duduknya dan berjalan ke arahku. Setelah itu dia menepuk-nepuk punggungku pelan.

“Ng..uhuk..nggak apa-apa,” jawabku dengan sedikit susah payah.
“Hehehehe…sorry-sorry, tadi aku cuma bercanda kok,” kata Aan sambil tertawa pelan.

Bercanda ya?! Bikin kaget aja deh Aan ini. Rasanya jantungku mau copot.

“Vin,” panggil Aan.
“Ya mas?”
“Kamu nggak ada masalah kan sama dia?” tanya Aan yang membuatku sedikit terhenyak.
“Aku..aku…itu kami cuma ada sedikit salah paham,” jawabku sambil tertunduk lesu, “tapi akan aku beresin secepatnya,” lanjutku lagi dengan cepat. Kali ini aku menatap Aan penuh keyakinan.

Aan langsung tersenyum lebar ke arahku.

“Makasih mas, mas Aan sudah repot-repot bercerita panjang lebar ke aku.”
“Biasa ajalah. Aku cuma khawatir sama Pandu yang agak berubah akhir-akhir ini.”
“Iya mas. Mas Aan tenang aja, aku akan selesain masalah kami secepatnya. Aku juga nggak mau masalah kami terus berlarut-larut seperti ini,” kataku meyakinkan.
“Bos aku mau bayar,” tiba-tiba ada seorang cowok masuk ke dalam.

Sepertinya dia customer di bengkel ini.

“Oh ya. Mari masuk mas,” sambut Aan dengan ramah. Dia langsung berdiri dan mempersilahkan cowok itu duduk di sofa.
“Ngg..kalau gitu aku permisi dulu mas Aan,” pamitku sambil berdiri.
“Lhoh kok cepet?” tanya Aan.
“Iya mas. Aku mau cepet-cepet ke tempat Pandu,” jawabku.
“Oh ya udah. Hati-hati ya,” aku cuma tersenyum sambil mengangguk, setelah itu aku berjalan keluar ruangan.

Aku nggak mau mengganggu kerjaan Aan. Lagian setelah mendengar cerita Aan tadi aku jadi semakin ingin bertemu dan meminta maaf langsung pada Pandu. Kalau Pandu tetep nggak mau maafin aku, aku akan terus minta maaf ke dia sampai dia mau maafin aku. Itu tekadku.

Terlihat hari sudah sedikit gelap karena awan hitam yang menggantung. Pertanda mau turun hujan. Tapi itu nggak menyurutkan tekadku. Aku tetap berjalan mantap ke arah kos-kos’an Pandu.

~Awe Pov~
“Sekali tante bilang nggak ya nggak. Kamu nggak boleh keluar rumah!”
“Eeeeehhhhhhhhhh…..”
“Sudah kamu makan aja, jangan ngerengek terus. Lagian ini juga sudah sore.”
“Aku cuma mau keluar sebentar kok tante,” rengekku sambil mengoyang-goyangkan lengan kiri Tante Lila.
“Nggak!” tegas Tante Lila yang mulai menghisap rokoknya lagi lalu membaca Koran yang sempat di telantarkannya tadi.

Aku mulai kembali ke tempat dudukku dan menghadap nasiku lagi dengan cemberut.

Tante sangat…sangat…sangat aneh akhir-akhir ini. Dia seperti sedang berwaspada pada sesuatu. Setiap pulang kerja Tante langsung memeriksa seluruh isi rumah. Tante juga menyuruhku untuk menutup semua pintu dan jendela kalau sedang berada dalam rumah. Aku juga di larang keluar sendirian. Seperti saat ini. Aku di larang ke mini market. Padahal aku mau beli permen dan coklat >.<.

Sekilas Tante seperti menghindari sesuatu yang berbahaya. Tapi setahuku Tante nggak terlibat dalam hal yang berbahaya kok, kerjaannya halal. Dia bekerja menjadi sekretaris di sebuah perusahaan. Ya biarpun Tante Lila sudah berumur 40 tahun keatas (Tante nggak mau umur aslinya di ketahui orang hehehe), dia masih terlihat seperti cewek berumur 20an. Masih cantik banget. Rambutnya panjang sepinggang dan di warna coklat. Judes sih tapi baik. Yang nggak baik dari Tante adalah Tante suka merokok. Aku aja nggak pernah di marahin. Aku sayang banget sama Tante. Tapi sekarang aku di marahin karena mau ke mini market hiks >.<.

“Kenapa nggak di makan?” tanya Tante yang melihatku nggak menyentuh nasiku sama sekali.
“Iya aku makan,” sahutku lemas.

Aku langsung menyendok makananku dan langsung memakannya. Sesekali kulirik Tante Lila yang duduk di depanku. Tante sedang libur, sama sepertiku. Ya namanya juga tanggal merah.

“Kalau aku keluarnya sama temen gimana Tan?” tanyaku mendadak dan penuh harap.

Tante menatapku datar. Setelah itu dia melihat kearah lain sambil menghisap rokoknya dalam-dalam. Kayaknya dia sedang berfikir.

“Sama siapa?” tanya Tante sambil menatapku kembali.
“Ehm..Rico,” kataku cepat dangan mata berbinar-binar.
“Ya udah. Tapi sebentar saja,” katanya pelan sambil mulai membaca korannya lagi.

Aku yang kegirangan langsung berlari kearah Tante Lila dan memeluknya. Kupeluk Tante Lila dari samping. Badanku sedikit membungkuk karena Tante sedang duduk.

“Makasih Tante,” ucapku kegirangan masih dengan posisi yang sama.
“Tapi cuma sebentar ya. Jangan mampir-mampir lagi!” perintah Tante dengan tegas.
“Iya Tante hehe…” kataku sambil melepas pelukanku. Setelah itu aku langsung berlari meninggalkan Tante menuju kamar lotengku.

Setelah sampai di kamar, aku langsung mengambil hpku yang tergeletak di atas tempat tidurku. Aku langsung menulis pesan untuk di kirim ke Rico. Tapi sewaktu aku mau mengirimnya, tiba-tiba terpikir sesuatu di otakku.

Kalau aku mengajaknya keluar berarti ini kencan pertamaku dengan Rico?? EEEEEHHHHHHHH….KENCAN??????

Mataku langsung melebar kaget dengan pemikiranku itu. Ku telan air liurku untuk membasahi tenggorokanku yang tiba-tiba mengering.

Memikirkan kalau ini akan jadi kencan pertamaku dengan Rico sudah cukup membuatku gugup. Tapi masa ini bisa di sebut kencan? Setelah aku nembak dia lewat sms, Rico nggak membalas smsku. Aku juga nggak sms dia lagi karena malu. Akhirnya aku jadi nggak dapat jawaban tentang perasaanku.

Uuuuummmmmm… Aku harus gimana? Apa ajak Alvin? Tapi aku nggak mau ngrepotin Alvin. Habisnya aku sering ngrepotin dia. Jadi bingung deh >.<.

Alvin apa Rico?? Alvin apa Rico?? Alvin apa Rico?? Alvin apa Rico?? Eeeemmmm…. Rico aja deh hehehehehehe…

Akhirnya aku mengirim sms yang tadi sempat tertunda ke Rico. Nggak sampai sedetik sudah ada balasan dari Rico. Bahkan dua balasan sekaligus hehe.

From: Rico
10 menit sampai

From: Rico
Ah nggak, 5 menit sampai

Heeee….???? 5 menit??? Aaaaaa…. Aku belum ganti baju.

Dengan panic aku mulai mengganti bajuku dengan sweater lengan panjang karena aku lihat cuaca mulai dingin. Akupun buru-buru memasukkan dompet ke belakang kantong celanaku dan memasukkan notes serta bolpoint ke kantong celana kiriku. Ku cium singkat gantungan hp monyetku sebelum memasukkan hpku ke dalam kantong celana kananku. Setelah memakai topi rajutan kesukaanku, akupun berlari menuruni tangga kamarku.

“Aku berangkat,” pamitku ketika berlari melewati Tante Lila yang masih asyik dengan koran dan rokoknya.
“HATI-HATI!!” pesannya setengah berteriak karena aku sudah menjauh darinya.

Aku langsung membuka pintu rumahku dan berdiri didepan rumah menunggu kedatangan Rico. Rasanya nggak sabar menunggunya seperti ini. Kalau dia nggak menganggap ini sebuah kencan itu nggak masalah buatku. Dengan bersamanya saja aku akan senang hehehe…

Tiba-tiba Avanza milik Rico berhenti tepat di depan pagar rumahku. setelah itu aku melihat kaca mobil turun dan terlihatlah wajah Rico. Mendadak aku jadi nggak bisa bergerak dari tempatku berdiri. Jantungku berdetak sangat…sangat…sangat kencang dan kakiku melemas ketika melihatnya.

Aaaaaaaaa….kenapa malah kayak gini sih aku?? Biasanya juga nggak kayak gini >.<

“Ayo!” ajak Rico yang langsung membuatku mau nggak mau harus berjalan kearahnya dan segera masuk ke dalam mobilnya.
“Ngg..sorry lama,” kata Rico pelan yang langsung ku sambut dengan gelengan kepalaku.

Aku langsung mengambil notes dan bolpointku.

-Cepet kok- tulisku yang langsung ku sodorkan ke arahnya.

Dia tersenyum membaca tulisanku itu lalu mengusap kepalaku pelan. Aku langsung tertunduk nggak berani melihat wajahnya.

Aku seperti orang bodoh saja. Padahal aku dengan pe de nya menembaknya, tapi setelah ketemu malah nggak berani bilang apa-apa. Aku juga nggak berani melihat wajahnya terlalu lama >.<

Ku betulkan posisi topi rajutanku yang agak berantakan karena usapan Rico tadi. Sesekali ku lirik Rico yang mulai mengemudikan mobilnya. Keren. Ya, Rico emang keren, dia selalu menjaga penampilannya tetap rapi biarpun dengan baju santai sekalipun. Dan sekarang aku suka sama dia. Suka sama orang keren seperti dia. AaAAaaaaaaAAAAAaaaaAAAAAa…. >.<

~Pandu Pov~
“Ada yang nyariin kamu tuh,” kata Johan yang tiba-tiba membuka pintu kamarku tanpa permisi.
“Siapa?” tanyaku malas.
“Liat aja sendiri,” jawabnya datar. Setelah itu dia meninggalkan kamarku dengan pintu tetap terbuka.

Ck… Dasar anak kurang ajar.

Akhirnya dengan malas aku mulai bangun dari rebahanku. Merapikan rambutku dengan menguncirnya. Setelah itu aku berjalan keluar kamar.

“Kenapa nggak di suruh masuk aja sih?” tanyaku pada Johan saat melewati kamarnya.

Johan yang rebahan di tempat tidurnya langsung menengok ke arahku yang berdiri di depan kamarnya.

“Males,” jawabnya singkat masih dengan muka datarnya.

Aku langsung menghela nafas jengkel.

Akhirnya aku meneruskan jalanku melewati kamar teman-temanku yang kosong. Karena libur dua hari, mereka langsung pulang kampung. Cuma ada aku dan johan yang ada di kos-kosan ini. Bayangkan, berdua dengan makluk tanpa ekspresi. Benar-benar nggak betah. Johan emang baik, tapi dia terlalu cuek untuk anak SMP. Dia jarang banget mengeluarkan ekspresinya. Bisa di hitung berapa kali dia tersenyum, berapa kali dia marah, berapa kali dia cemberut dan berapa kali dia tertawa. Hmm… dia tertawa sewaktu mabuk. Itupun cuma sekali pas pergantian tahun dulu. Parah.

Aku langsung membuka pintu dan langsung berdiri mematung di sana saat melihat Alvin berdiri di depan pagar.

“Pan aku…”

BRAAKK….

Aku langsung menutup pintu sebelum Alvin menyelesaikan kata-katanya.

Ngapain dia di sini? Apa dia mau minta maaf langsung ke aku??

“Ck.. brengsek kamu Jo,” umpatku menyalahkan Johan yang nggak memberitahuku siapa yang datang mencariku.
“PAN… PANDU!! BUKA PAGARNYA PAN!! AKU MAU NGOMONG SAMA KAMU!!” teriak Alvin.
“KAMU SALAH PAHAM PAN!!” teriaknya lagi.

Aku hanya terdiam mendengarnya. Baru kali ini Alvin berteriak-teriak seperti itu. Biasanya Alvin selalu tenang menghadapi segala hal. Dia tenang, sabar, ramah dan ba…

Eh?? Mikir apaan aku barusan? Dia baik? Huh…kalau dia baik, dia nggak akan berpura-pura baik di depan orang lalu menjelek-jelekkan orang itu di belakangnya.

“PAN!!” teriaknya lagi yang membuatku mengintip dari jendela untuk melihatnya.

Terlihat Alvin tertunduk sambil memegang jeruji pagar dengan ke dua tangannya. Sesekali di goyang-goyangkannya pagar itu dengan keras.

“PAN AKU NGGAK AKAN PULANG SEBELUM KETEMU DAN BICARA LANGSUNG SAMA KAMU. AKU NGGAK AKAN PULANG PAN. AKU NGGAK AKAN PULANG,” teriaknya lagi.

Aku langsung menghela nafas mendengar kata-katanya.

Akhirnya aku berjalan menuju kamarku lagi. Ku biarkan Alvin begitu saja. Teriak-teriak seperti itu pasti bikin dia capek sendiri. Apalagi waktu aku membuka pintu terlihat awan hitam sudah menggantung. Dia nggak mungkin bertahan lama di cuaca buruk seperti ini. Dia pasti nggak kuat terkena air hujan. Dia pasti akan pulang.

Setelah sampai di kamar aku mulai merebahkan tubuhku di tempat tidurku. Ku pejamkan ke dua mataku. Aku tidur. Cuaca kayak gini emang pas untuk tidur.

##########################################################################################

Udara dingin mulai kurasakan. Dengan mata masih terpejam, aku mulai mencari-cari sesuatu di sampingku untuk kujadikan selimut. Tapi karena nggak menemukan apa-apa akhirnya aku membuka mataku dan terdiam dalam posisi tidurku. Setelah rasa ngantukku hilang, aku mulai beranjak dari tempat tidur menuju lemari untuk mengambil selimut. Ku lirik jam dinding yang sudah menunjukkan jam 7 malam. Ternyata aku sudah tertidur selama 2 jam.

“Gila dingin banget sih,” gerutuku kesal.

Aku kembali merangkak naik ke atas tempat tidurku dan berniat untuk melanjutkan tidurku.

GLUDUUG…GLUUDUUGGG…

Terdengar suara guntur yang cukup keras.

Pantes dingin banget, sudah hujan ternyata.

Aku langsung menarik selimutku sampai menutupi semua tubuhku, kecuali kepala. Tapi saat mau memejamkan mataku aku jadi teringat sesuatu. Ehm… lebih tepatnya seseorang. Alvin.

Alvin sudah pulang belum ya? Masa sih dia masih di depan?

Untuk beberapa saat aku masih membuka ke dua mataku, menatap langit-langit kamar. Tapi akhirnya, aku memejamkan ke dua mataku untuk melanjutkan tidurku yang sempat terganggu tadi.

‘PAN AKU NGGAK AKAN PULANG SEBELUM KETEMU DAN BICARA LANGSUNG SAMA KAMU. AKU NGGAK AKAN PULANG PAN. AKU NGGAK AKAN PULANG’

Tiba-tiba suara teriakan Alvin tadi terngiang di telingaku. Aku berusaha nggak memperdulikannya tapi aku jadi semakin nggak nyaman. Teriakannya tadi terus menggangguku.

“Ck… brengsek,” umpatku.

Aku langsung bangun dari rebahanku dan menendang selimutku sampai terjatuh ke lantai. Dengan cepat aku berlari keluar kamar.

Mungkin percuma aku keluar karena Alvin pasti sudah pulang daritadi, tapi nggak tau kenapa aku jadi khawatir.

“Alvin,” desisku dengan mata melebar watu melihat sosoknya masih ada di depan pagar kostku.

Dia terduduk di sana sambil bersandar pada pagar. Jadi dia membelakangiku.

“VIN!!” panggilku sambil berlari kearah pagar, tapi Alvin nggak meresponku.

Setelah sampai di dekat pagar, aku merogoh kantong celanaku untuk mencari kunci.

“DAMN,” umpatku jengkel sewaktu ingat kalau aku keluar tanpa membawa kunci.

Aku langsung berlari masuk ke dalam kost dan mengambil segembok kunci yang terletak di belakang pintu ruang tamu. Setelah itu aku kembali berlari menuju pagar.

“DAMN,” umpatku lagi ketika kunci yang aku pakai salah dan gembok pagar nggak mau terbuka.

Aku langsung memilih salah satu kunci yang lebih besar lagi. Terbuka.

“Vin, Alvin!” panggilku ketika pintu pagar sudah terbuka.

Matanya terlihat terpejam rapat dengan bibir membiru. Aku langsung menghampirinya dan berjongkok di sampingnya. Entah apa yang aku rasakan saat ini, yang jelas aku ketakutan. Sangat ketakutan.

“VIN!!” panggilku sambil menggoyang-goyangkan bahunya.

Tiba-tiba kedua matanya terbuka dengan perlahan dan senyum tipis tercetak di bibirnya yang sedikit bergetar. Ketakutan yang tadi sempat aku rasakan mendadak hilang dan berganti rasa lega luar biasa.

“NGAPAIN KAMU MASIH DI SINI?? SEHARUSNYA KAMU PULANG,” tanyaku sedikit berteriak karena suaraku berlomba dengan suara guntur dan derasnya hujan.
“AKU NGGAK MAU PULANG SEBELUM KETEMU DAN MINTA MAAF KE KAMU SECARA LANGSUNG PAN,” jawab Alvin dengan sedikit berteriak juga.

Aku menghela nafas melihat tingkahnya ini.

Kenapa dia bisa ngelakuin hal sampai sejauh ini?! Apa dia nggak sadar dengan kondisinya sendiri?

“AYO MASUK! KALAU DI SINI TERUS KAMU BISA SAKIT,” ajakku sambil menarik kedua tangannya untuk berdiri.

Setelah masuk ke dalam, aku langsung menyuruh Alvin masuk ke kamarku sementara aku mengunci pintu pagar dan pintu depan. Setelah itu barulah aku menyusulnya. Tapi aku malah nggak nemuin Alvin di dalam kamarku.

“VIN,” panggilku setengah berteriak dan mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru.
“Ya?” tiba-tiba Alvin muncul dari arah yang berseberangan denganku.

Kostku berbentuk T. Kamarku ada di sisi kiri, sedangkan Alvin ada di sisi kanan. Jadi kalau dari ruang tamu, kamarku belok ke kiri sedangkan Alvin tadi belok ke kanan. Kalau ke kanan ada dapur, kamar mandi serta ada tempat untuk mencuci dan menjemur pakaian.

“Ngapain kamu di situ?” tanyaku tanpa menghampirinya. Aku tetap berdiri di depan kamarku.
“Ehm…cuma mau lihat-lihat,” jawabnya dengan senyuman khas miliknya.

Rasanya sudah lama aku nggak melihat senyumnya itu (lebay pdhl cm bbrp hr haha).

“Kamu mandi aja dulu,” kataku, “kamar mandinya ada di sampingmu tuh,” lanjutku lagi.
“Nggak usah, aku nggak apa-apa,” tolaknya, setelah itu dia berjalan kearah tempat menjemur pakaian.
“Hati-hati di sana licin,” seruku.

Setelah itu aku masuk ke kamar dan mengganti bajuku yang basah kuyup karena hujan tadi. Aku juga mengambil beberapa baju dan celana pendekku yang sudah nggak aku pakai kerena kekecilan untuk Alvin.

Sebenernya aku pengen mandi. Tapi mengingat ada Alvin di sini, aku jadi mengurungkan niatku. Mungkin aku akan mandi setelah dia ku antar pulang.

“Ganti bajumu dengan ini!” perintahku ketika aku sudah ada di sampingnya.

Alvin menerima bajuku tanpa mengucapkan apapun. Dia duduk di sofa yang ada di sisi dinding yang menghadap kearah jemuran. Sofa yang dia duduki bukan sofa bagus dan terawat tapi sofa yang sudah sobek-sobek sana-sini. Aku letakkan di sini biar nggak ada tamu yang melihatnya.

“Kamu ganti dulu bajumu, aku mau bikin minuman hangat,” kataku.
“Pan,” tiba-tiba Alvin menghentikan langkahku dengan memegang lengan kiriku.
“Hmm?” aku memutar kembali tubuhku menghadap Alvin yang sedang menatapku.
“Sorry,” ucapnya pelan tanpa melepas genggaman tangannya dari tanganku, sedangkan aku cuma terdiam mendengarnya, “aku bisa jelasin semuanya,” lanjutnya lagi, kali ini dia melepaskan genggaman tangannya lalu menundukkan kepalanya.
“Sudahlah lupain aja! Aku sudah nggak memikirkan masalah itu lagi,” kataku, Alvin langsung mengangkat wajahnya dan menatapku bingung.

Wajar kalau dia kebingungan dengan sikapku. Kemarin-kemarin aku sangat marah tapi sekarang dia mendengar sendiri dari mulutku kalau aku sudah nggak memikirkan masalah itu lagi. Yang aku katakan itu memang benar, aku sudah nggak memikirkan masalah itu lagi. Tapi bukan berarti aku melupakannya. Hmm… gimana ya, aku sendiri juga bingung. Aku cuma merasa takut kalau harus mendengar penjelasan darinya. Rasa takut yang sama seperti tadi saat mengetahui Alvin terduduk lemas di pintu pagar. Padahal selama ini nggak ada yang aku takuti. Aku nggak takut bahaya, aku juga nggak takut sendirian, aku nggak takut sakit, aku nggak takut kalah dalam berkelahi dan aku nggak takut mati. Tapi saat ini aku takut satu hal. Takut di sakiti olehnya. Aku takut kalau penjelasannya akan lebih menyakitkan dari apa yang aku dengar dua hari yang lalu.

“Jadi seperti ini rasanya jadi pengecut,” desisku.
“Hah?”
“Oh nggak…nggak apa-apa,” kataku gugup saat menyadari Alvin sedang memperhatikanku, “kok belum di pakai bajunya?”
“Nggak apa-apa, aku nggak ingin ganti baju.”
“Kenapa? Kalau nanti kamu sakit gimana?” tanyaku panic.
“Aku nggak akan sakit kok,” katanya sambil tersenyum kearahku.

Tiba-tiba dia berdiri dan berjalan ke bawah tiang jemuran sehingga tubuhnya terkena air hujan.

“NGAPAIN KAMU?” teriakku panic.
“Hujan-hujan,” jawabnya santai.
“Aku juga tau kamu lagi main hujan. Tapi nanti kamu sakit,” kataku sambil berlari ke arahnya dan berusaha menarik tangannya agar kembali ke tepi.

Tapi setelah sampai di tepi, Alvin malah berlari menuju ke tengah lagi.

“VIN!!” panggilku agak jengkel dengan sikapnya ini.

Tapi Alvin sama sekali nggak menggubrisku, dia malah memejamkan ke dua matanya, mengangkat wajahnya sampai menghadap langit dan merentangkan kedua tangannya ke samping. Seolah-olah dia ingin merasakan yang namanya kebebasan. Nggak lama kemudian dia menurunkan kembali kedua tangannya dan wajahnya. Dia menatapku dengan senyuman lebar di bibirnya.

“Ayo berdansa!”
“Hah?” aku menatapnya bingung.
“Aku ingin berdansa denganmu,” katanya masih dengan senyuman di bibirnya.
“Ngapain? Gila aja. Hujan-hujan gini mau dansa,” seruku, “cepet sini! Bisa sakit kamu kalau lama-lama di sana,” lanjutku, Alvin menggeleng pelan.
“Aku mau berdansa,” katanya bersikeras.

Aku menghela nafas panjang di buatnya.

“Aku nggak bisa dansa.”
“Aku ajarin.”
“Nggak ada music.”
“Ada.”

Aku mengangkat kedua alisku memandangnya bingung. Dia malah tersenyum sambil memejamkan ke dua matanya.

“Ngapain kamu?” tanyaku bingung.
“Sssttt…coba dengar!”
“Dengar apa?”
“Suara musicnya,” katanya sambil membuka kedua matanya perlahan.

Aku yang sudah sangat kesal cuma terdiam dan berusaha mendengar apa yang dia dengar.

“Aku nggak mendengar apa-apa, kecuali bunyi kaleng yang terkena air hujan, suara jangkrik, suara kodok dan angin,” kataku malas.
“Itu music nya,” seru Alvin sambil berjalan ke arahku, “ayo!” ajaknya.

Alvin mengulurkan tangannya ke arahku ala seorang pangeran sewaktu mengajak sang putri berdansa..

Lagi-lagi aku menghela nafas di buatnya.

“Kebalik,” desisku sambil menarik tangannya sampai tubuhnya jatuh ke pelukanku.

Alvin tersentak kaget tapi dia tetap diam dalam pelukanku. Setelah itu aku memposisikan tangan kami berdua. Kuletakkan tangan kirinya di dada kiriku dan tangan kanannya ku genggam dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kananku melingkar di pinggangnya.

“Terus ini gimana?” tanyaku bingung.
“Hah??”
“Setelah ini gimana?” tanyaku lagi.
“Ya…ya dansa,” jawabnya.

Perlahan-lahan Alvin mulai menggerakkan kakinya ke kiri dan kanan yang langsung kuikuti. Tanpa sadar kami berdansa sampai ke tengah dan bermandikan air hujan.

“Vin!”
“Ya?”
“Kayak india ya.”

Alvin nggak menanggapi kata-kataku tapi langsung tertawa ngakak nggak jelas. Tangan kami sampai terlepas di buatnya.

“Emang. Aku kan meniru Sahrukhan yang berdansa di tengah hujan,” katanya setelah berhenti tertawa. Kali ini gantian aku yang tertawa. Nggak lama kemudian Alvinpun ikut tertawa.

Pantes aja aku ngerasa ada yang aneh. Kayak pernah tau adengan saat dia mengajakku berdansa tadi. Ternyata dari film india. Filmnya Sahrukhan yang sempat hit sewaktu aku SD dulu. Dari anak-anak sampai orang dewasa banyak yang suka sama filmnya itu.

“Pan!” panggil Alvin ketika tawa kami mereda.
“Apa?”
“Kamu sudah maafin aku apa belum?” tanyanya tanpa berani menatapku.
“Tadi kan aku sudah bilang. Aku sudah nggak mengingat masalah itu lagi,” jawabku pelan, “yuk udahan, nanti kamu bisa sakit kalau hujan-hujanan gini,” kataku sambil menarik tangannya.

Tapi Alvin masih nggak bergeming dari tempatnya.

“Jadi kamu belum maafin aku kan?!” tanya Alvin sambil menatapku.
“Itu…aku…”
“Belum ya,” desisnya.

Dia menundukkan kepalanya lagi, sedangkan aku cuma terdiam. Aku bingung mau menjawab apa. Nggak mungkin kan aku bilang ke dia kalau aku takut mendengar penjelasannya.

“Udahlah nggak usah di bahas lagi,” kataku sambil berbalik dan melangkah menuju ke tepi.

BRRRUUUKKK….

Mataku melebar ketika Alvin memelukku dari belakang.

“Sakit,” desisnya yang membuatku dengan cepat memutar tubuhku menghadapnya.
“Kamu sakit? Mana yang sakit?” tanyaku panic, tapi Alvin cuma menundukkan kepalanya tanpa menjawab pertanyaanku, “hai!!”
“Di sini,” desisnya sambil menempelkan tanganku ke dadanya.

Matanya terlihat nanar menatapku.

Tiba-tiba Alvin memelukku erat lalu membenamkan wajahnya ke dadaku.

“Dadaku sakit kalau nggak mendapat maaf darimu. Terlalu sakit sampai ingin mati rasanya,” katanya pelan sambil terus memelukku. Sedangkan aku cuma membatu di buatnya.

Sebenernya yang takut itu aku atau dia?? Aku takut mendengar penjelasan darinya, sedangkan dia takut kalau nggak mendapat maaf dariku. Sebenarnya apa yang terjadi di antara kami?? Kenapa jadi serumit ini??

Perlahan-lahan aku mulai melingkarkan ke dua tanganku memeluk tubuhnya.

“Aku nggak pernah maafin orang yang sudah membuatku marah,” kataku, “tapi buatmu…itu pengecualian,” lanjutku lagi.

Entah sadar atau nggak, aku mulai mengeratkan pelukanku lalu mengecup lembut ujung kepalanya. Akhirnya kamipun berpelukan di tengah derasnya hujan.

~Rico Pov~
“We yang ini enak nih,” kataku sambil mengambil snack kesukaanku lalu memperlihatkannya ke Awe yang sibuk dengan coklat-coklatnya.

Awe melihat sekilas snack yang aku bawa lalu mengambilnya.

“Cuma ini aja?” tanyaku setelah melihat belanjaan Awe, Awe cuma mengangguk tanpa melihatku.

Aku langsung mengambil belanjaannya itu dan langsung menuju kasir. Setelah membayar belanjaan kami yang isinya makanan ringan dan beberapa minuman botol, aku dan Awe langsung keluar dari mini market yang sepi itu.

“Pulang sekarang?” tanyaku setelah kami masuk ke dalam mobil.

Untuk beberapa saat Awe cuma terdiam, tapi akhirnya dia menggeleng pelan.

“Terus kita mau kemana? Mendung loh,” kataku saat melihat langit yang sudah berubah menjadi gelap padahal masih jam setengah 5 sore.

Awe terdiam lagi. Aku juga terdiam.

Perasaan daritadi kami banyak diamnya. Awe yang biasanya bikin aku ketawa dengan tingkahnya yang lucu jadi pendiam hari. Ya… aku juga diam sih. Aku masih mikirin smsnya itu. Tapi kalau di lihat dari sikapnya yang seperti ini, rasanya emang smsnya itu sms biasa. Lagian nggak sekali itu Awe bilang suka ke aku, tapi sudah berkali-kali. Dia juga sering bilang suka sama Alvin.

Kok aku jadi ge er gini sih?! Hhuuuuuffhhhh….. Rico…kamu bego!!! Bisa-bisanya kamu berharap lebih.

Aku mengacak-acak rambutku dengan jengkel. Tapi aku langsung menghentikan tingkah konyolku itu waktu menyadari Awe sedang memperhatikanku dengan tersenyum geli.

“Ki..kita cari tempat nongkrong dulu,” kataku gugup, Awe cuma mengangguk lalu menundukkan kepalanya.

Akhirnya aku menjalankan mobilku meninggalkan parkiran mini market. Aku menjalankan mobilku tanpa arah tujuan karena Awe diam dan nggak ngasih pendapat tentang tujuan kami. Setelah mobilku keluar ke jalan raya yang lebih lebar, barulah aku mendapat ide mau kemana.

“Kita ke pusat kota yuk!” ajakku, Awe menganggukkan kepalanya lalu tersenyum dengan cutenya ke arahku.

Ah senyumnya itu. Bikin aku terkesima untuk beberapa detik. Tapi aku langsung focus pada kemudiku lagi.

Haduh bahaya nih. Bisa-bisanya aku terkesima sama senyumannya itu. Padahal dia sudah sering tersenyum seperti itu ke aku, tapi kenapa aku baru sadar sekarang kalau efek senyumannya itu memabukkan jantungku ya?! Hmm…kayaknya aku harus lebih hati-hati nih sekarang kalau menghadapi senyum Awe.

Nggak terasa mobil yang aku tumpangi sedah sampai ke pusat kota. Pusat kota atau yang biasa di sebut alun-alun itu tampak sepi. Ya, mungkin karena mendung ini. Pusat kota itu berbentuk lingkaran dengan taman di tengahnya. Taman yang biasanya di buat ajang kumpul kawula muda dan pasangan kekasih. Sedangkan di tepi-tepinya banyak orang yang berjualan beraneka ragam makanan.

Aku langsung memarkir mobilku di sisi jalan. Setelah itu aku dan Awe langsung berjalan menuju taman dan duduk si salah satu bangku yang atapnya di bentuk seperti jamur raksasa. Awe langsung sibuk dengan kantong plastic yang berisi makanan ringan yang dia beli di mini maket tadi. Sedangkan aku cuma terdiam sambil mengedarkan mataku melihat-lihat sekitar. Terlihat sepi daripada biasanya. Bangku taman yang biasanya ramai sekarang terlihat lenggang. Cuma ada beberapa pasangan kekasih yang mojok di bangku-bangku yang letaknya agak tersembunyi. Bangku yang ku duduki juga bisa di katakan tersembunyi karena ada pohon besar yang menghalangi kami dari luar. Di sisi kiriku ada air mancur, di kananku ada patung salah satu pahlawan waktu penjajahan dulu, sedangkan di belakangku tertutup oleh tenda-tenda warung.

“Aaaaaaaaaaaaaaaa…..” tiba-tiba Awe bersuara dan mengagetkanku.

Aku langsung melihat kearahnya. Awe terlihat panic membersihkan bajunya yang terkena coklat. Ternyata coklat yang dia makan jatuh dan mengenai sweaternya depannya.

“Gimana sih? Makan kok nggak hati-hati gini,” kataku sambil ikut membersihkan noda coklat itu dengan tanganku, “nggak bisa hilang. Harus di cuci baru bisa hi….” kata-kataku terputus ketika melihat Awe yang tertunduk dengan wajah yang sedikit memerah.
“Ka..kayaknya kita harus cepet-cepet pulang,” kataku gugup mengalihkan pembicaraan.

Awe nggak menanggapi kata-kataku. Dia bahkan nggak melihatku.

“Yuk keburu hu….”

BREEEESSSSSSS…..

“…..jan,” lanjutku.
“Waaaaaa….kenapa hujannya mendadak gini sih?!” kataku panic ketika mendadak turun hujan yang cukup deras, “yuk pulang!” ajakku sambil menarik tangan Awe, tapi Awe malah menarik tanganku balik.
“Kenapa?” tanyaku bingung.

Awe langsung mengeluarkan notes dan bolpointnya.

-Percuma. Nanti malah basah semua kita- tulisnya.
“Kalau nggak cepet-cepet nanti malah kejebak hujan di sini,” kataku.
-Aku nggak mau kena air hujan- tulisnya lagi.

Awe menarik lagi notesnya itu dan menulisinya lagi.

-Aku juga nggak mau pulang dulu. Sekali pulang nanti aku nggak di bolehin keluar lagi sama Tante-

Awe memandangku dengan puppy eyes nya.

“Ya udah deh,” desisku yang langsung membuat Awe tersenyum lebar.

DEG

Aku langsung memalingkan wajahku sambil memegang dadaku yang berdebar kencang.

Gila..senyumannya mematikan. Tenang…tenang dan tenang Ric. Kamu bisa kena serangan jantung mendadak kalau gini terus. Nggak lucu kan kalau sampai mati mendadak karena melihat sebuah senyuman doang >.<

Aku langsung menghela nafas berkali-kali untuk menenangkan jantungku yang nggak bisa di control ini.

Akhirnya aku dan Awe memutuskan untuk menunggu hujan reda baru pulang. Kalau aja mobilku nggak aku parkir di pojok sana, pasti bisa langsung lari dan pulang. Jarak mobilku emang sedikit jauh dari tempat kami duduk. Kalau nekat lari, dari sana pasti sudah basah semua badan kami.

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

“Kanapa masih hujan aja sih?!” gerutuku kesal kerena hujannya nggak mereda.

Sudah hampir dua jam aku menunggu hujan reda tapi malah nggak reda-reda. Pasangan yang tadi mojokpun satu persatu sudah nekat pulang daritadi. Sekarang tinggal aku dan Awe. Ya…mungkin masih ada satu atau dua pasangan kekasih yang belum pulang. Bukannya aku nggak betah berduaan sama Awe di tempat sepi seperti ini. Sangat betah malah. Tapi jujur, aku saat ini sangat kelaparan (hahahahahaha…). Makanan yang tadi aku beli habis di makan sama Awe semua. Ya memang aku sih yang nyuruh dia buat makan semuanya. Aku nggak mau sampai dia kelaparan. Sebenernya bisa aja aku berlari beli makanan di sisi taman, tapi aku yang sekarang sudah terlanjur malas kena air hujan.

Tiba-tiba Awe yang duduk di sampingku menyodorkan sekotak coklat fullo ke arahku.

Aku mengerutkan keningku bingung. Awe langsung menulis lagi di notesnya lalu menyodorkannya ke arahku.

-Laparkan?! Nih makan-
“Oh..nggak..nggak lapar kok. Aku sudah kenyang banget,” kataku berbohong.
-Bo’ong. Tadi perutmu bunyi loh-
“Hah??? Bunyi?? Kedengeran jelas ya???” tanyaku kaget yang langsung di sambut tawa Awe.
-Cuma bo’ong-

Ck…aku di kerjain.

“Dasar,” aku menyentil ujung hidungnya perlahan. Awe langsung cemberut dan mengusap ujung hidungnya.
“Makanya jangan ngerjain aku. Itu tuh hukumannya,” kataku sambil tertawa penuh kemenangan.

Lagi-lagi Awe menyodorkan snack yang aku belikan untuknya tadi.

“Kok masih ada? Kenapa nggak di makan?” tanyaku.
-Perutku sudah nggak cukup buat makan lagi. Kamu sih nyuruh aku makan terus- tulisnya.
“Ya udah sini!” kataku sambil mengambil snack itu dari tangannya dan langsung memakannya. Sedangkan Awe masih mengunyah-ngunyah fullonya.

Sambil makan, aku terus memperhatikannya.

Kali ini dia minum aqua botol.

“Di sudut bibirmu ada coklat,” kataku sambil terus memakan snack.

Awe nggak membersihkannya dengan jari tapi menjilatnya membentuk setengah lingkaran di atas bibirnya. Tapi bukannya bersih, coklat itu malah melebar membentuk kumis tipis di atas bibirnya. Aku langsung tertawa geli melihatnya seperti itu. Awe berkumis hahahahaha….

“Tambah kemana-mana coklatnya,” kataku pelan sambil mengulurkan jariku ke arah bibirnya, “sebentar! Jangan gerak-gerak dulu!” lanjutku yang mulai membersihkan kumis tipisnya itu hehe..

Tapi setelah kumis tipisnya itu hilang aku jadi enggan untuk menjauhkan jariku darinya. Perlahan-lahan usapan tanganku beralih ke tepi bibirnya, padahal di sana sudah nggak ada coklat yang menempel. Setelah itu jariku merambat ke bibirnya yang mungil itu. Selama jari-jariku bermain-main di bibirnya, jantungku terus terpacu dengan cepatnya. Perlahan-lahan aku mengangkat wajahku menatapnya. Dan detak jantungku bertambah kencang saat melihat Awe memejamkan matanya seperti menikmati sentuhan jariku pada bibirnya.

CUP

Awe membuka matanya dan terlihat sangat kaget saat aku mencium bibirnya. Ya benar, aku menciumnya. Aku menempelkan bibirku ke bibirnya. Pandangan mata kami saling beradu saat ciuman itu aku lakukan. Tapi aku langsung menjauhkan bibirku dari bibirnya saat menyadari kebodohanku. Aku buru-buru memandang ke arah lain dan berusaha mencerna apa yang baru saja aku lakukan. Tapi saat aku masih mencerna semuanya, aku merasakan pergelangan tanganku di genggam sama Awe.

“Sial,” umpatku pelan, setelah itu aku langsung melihat ke Awe dan…

CUP

Aku menciumnya lagi. Awe terlihat kaget tapi nggak sekaget ciuman pertama. Perlahan-lahan matanya tertutup seolah-olah mengizinkanku untuk berbuat lebih. Akhirnya aku melumat bibirnya perlahan. Melumat bibir mungilnya itu, atas dan bawah. Ku kebasahi bibirnya dengan lidahku. Sesekali aku menekan lidahku kebibirnya agar bibirnya terbuka. Ternyata Awe mengerti maksudku dan segera membuka sedikit bibirnya sehingga lidahku menyeruak masuk ke dalam mulutnya. Aku langsung memainkan lidahku di dalam mulutnya. Awe masih terdiam dan nggak membalas ciumanku. Tapi aku tau kalau dia juga menginginkannya juga, karena Awe nggak menolak ciumanku sedikitpun.

Aku tau kalau aku ini gila. Gimana nggak gila kalau berciuman di tempat umum gini?! Apalagi yang aku cium ini cowok bukan cewek. Untungnya posisi kami ini menguntungkan, jadi aku nggak khawatir kalau ada orang yang mengetahui adegan yang ganjil ini. Tapi kalaupun ada orang yang melihatnya aku juga nggak perduli. Aku sangat menikmati ciuman ini. Terlalu sayang untuk mengakhiri ciuman semanis ini. Aku nggak tau apa yang membuat ciuman ini begitu manis. Apa karena coklat yang baru dia makan tadi atau karena aku mendapatkan ciuman ini dari orang semanis dia?? Entahlah, aku cuma merasakan ini ciuman termanis yang pernah aku rasakan.

Perlahan-lahan aku melepaskan ciuman itu. Ku tatap Awe yang masih memejamkan ke dua matanya dengan mulut sedikit terbuka dan nafas yang sudah nggak teratur. Dia yang seperti ini terlihat sangat cute di mataku.

“Haduh kenapa kamu sangat cute gini sih?!” desisku gemas dan langsung memeluknya.

Awe tersentak kaget tapi aku tetap memeluknya dan nggak berniat untuk melepaskannya dengan cepat. Rasanya aku jadi makin suka sama dia, atau mungkin cinta? Aku nggak tau, tapi yang jelas aku menginginkannya.


~Alvin Pov~
“Den minum obatnya dulu ya,” kata Bi Surti sambil meletakkan obat dan air mineral ke atas meja di dekat tempat tidurku.
“Ehm…” jawabku dengan sudah payah.

Bi Surti langsung membantuku duduk dan bersandar pada bantal yang di letakkan di punggungku. Setelah itu beliau mengambil kembali obat dan air mineral tadi lalu menyodorkan ke arahku. Aku langsung meminum obat itu lalu beringsut merebahkan tubuhku lagi.

“Pusiiiing,” rintihku saat kepalaku sakit yang nggak terkira.
“Pusing ya den? Demamnya masih belum turun?” tanya Bi Surti yang sedang meletakkan kembali gelas kosong ke atas mejaku, setelah itu beliau menempelkan punggung tangannya ke keningku, “kok masih demam aja sih,” gumam Bi Surti, sedangkan aku cuma terdiam sambil memejamkan kedua mataku.

Aku sangat kepayahan sekarang ini. Bergerak turun dari tempat tidur untuk buang air kecil aja susah. Ini gara-gara demam tinggiku ini. Ternyata main hujan kemarin bikin aku jatuh sakit seperti ini dan bikin aku jadi nggak bisa masuk sekolah.

“Kalau sampai nanti malam demamnya belum turun, den Rico mau ngajak aden ke dokter,” kata Bi Surti, “sekarang den Alvin istirahat aja dulu ya biar cepat sembuh,” lanjutnya lagi sebelum keluar dari kamarku.

Setelah terdengar pintu kamarku di tutup, aku kembali membuka mataku. Tapi rasa pusing langsung menyerangku. Benar-benar demam yang menyiksa. Seluruh tubuhku terasa panas. Luar dan dalam sama-sama panasnya. Mulutku juga terasa pahit. Tiap aku membuka mataku, pandanganku selalu berputar-putar dan membuat kepalaku menjadi pusing.

Aku berusaha menggapai-gapai sisi bantalku mencari hp ku. Tapi begitu aku menyalakan hpku, pantulan cahaya dari hp membuat kepalaku bertambah pusing. Dengan susah payah aku berusaha melihat sms dan missed calls yang tertera di sana. Ada 13 missed calls dari mama, 11 missed calls dari Rico, 4 missed calls dari papa dan 5 missed calls dari Pandu.

He….??? Pandu???

Mataku langsung terbuka lebar ketika aku membaca nama Pandu di sana. Pusing yang menyiksaku sudah aku abaikan.

Pandu telfon aku? atau cuma miscol? Jangan-jangan dia juga sms aku?!

Aku langsung membuka sms yang menumpuk. Dan seperti yang sudah aku duga, sebagian besar smsnya dari mama –a

From: Mom
Sayang katanya kamu sakit ya? Kok bisa? Sudah minum obat apa belum? Mama masih belum bisa pulang karena masih banyak panti asuhan yang belum mama kunjungi. Kalau sampai malam demamnya belum reda, kamu langsung saja ke dokter ya.

From: Mom
Gimana? masih demam??

From: Rico
Aq d tlp Bi Um, ktx km demam. Klo udah plng skul aq k sana.

From: Dad
Skt apa km? Demam? Cpt k dokter, mnta antar Rico.

From: Awe
Kata Rico km skt yach? Kok bsa? Main ujan2 yach? Hehe..ketahuan hmm..

From: Mom
Sayang? Kok nggak di balas sms mama? kamu tidur?

From: Dina
Aaaaaalllllvvviiiiiinnnn….km ckit yaacchh??? Kt na demam. Km g apa2 kan?! Mslh kpn hari aquw mnta map yaaacchh… jngn mrh ma aquw yaa T-T

From: Rico
Begh..ank2 pd nanyain km tuh.pusing aq jwbnya. Dasar cwo cakep..bnyk bngt sih penggemarnya. Coba aq jg ckep.

From: Pandu
Km skt? Demam ya katanya? Apa krn hjan2 kmrin? Km nggak apa-apa kan? aku pngn jenguk km, tp aku g pe de mau ke rmhmu yg bsr itu.

Mataku seperti mau copot sewaktu membaca sms dari Pandu.

Pandu beneran sms aku?! Ya ampun gimana nih? Aku seneng banget. Aku seneng banget.

To: Pandu
Aq gpp kok. Cm kecapean. Sbntar lg jg smbuh hehe…km lg apa?

SEND

Setelah mengirim pesan balasan untuk Pandu, aku baru membalas sms-sms yang masuk lainnya.

To: Mom
Aku nggak apa-apa kok ma. Mama tenang aja ya

SEND

To: Rico
Hehe..maaf y jd ngrepotin km. km jd sni kan nanti?

SEND

To: Dad
Iya pa

SEND

To: Awe
Hehe..apa sih yg ada di pikiranmu hmm…???aq g main hujan kok. Km nanti sini ya, bareng Rico. aq pnya permen bwt km ^^

SEND

To: Dina
Iy nih sedikit kcapean. Ntr jg sembuh ^^ km g slah kok. Kan aq yg seenaknya mrh2 sendiri. aku yg hrsnya minta maaf. Sorry ya Din. Sampaikan jg maafku sama yg lain ^^

SEND

Setelah sms semua sudah selesai aku balas, aku kembali meletakkan hpku di sisi tempat tidur. Tapi baru beberapa detik terdengan hpku bergetar cukup lama. Aku langsung mengambil hpku lagi dan membacanya. Ternyata ada sms dari Mama, Rico dan Pandu.

From: Pandu
Lagi pljrnnya Pak Yoyok. Km bnrn gpp? Bnran cm kcapean?

Aku langsung membalas sms Pandu dan membiarkan sms dari Mama dan Rico.

To: Pandu
Wah enak tuh. Pak yoyok haha.. iya aq gpp kok. Aq cm kcapean. Y udah km focus aja ama pljrnnya. Nanti hp mu di sita lo.

SEND

Aku menghela nafas berat.

Sebenernya aku nggak mau kalau sms kami ini berhenti. Tapi aku juga nggak mau egois. Kalau hp nya di sita kan bakal repot. Biarpun aku kangen sama dia, tapi harus aku tahan. Padahal kemarin baru ketemu, tapi sekarang udah ingin ketemu lagi.

Tiba-tiba aku teringat kejadian kemarin malam. Setelah kejadian di tengah hujan itu, Pandu menyuruhku mandi dan mengantarku pulang. Aku senang sekali karena sudah mendapat maaf darinya. Ternyata nggak sia-sia aku menunggunya di depan kos nya sampai demam gini ^^. Untungnya waktu aku pulang Papa dan Mama masih di luar kota. Para bibi juga sibuk sama perkerjaan masing-masing, sedangkan Pak Ujang seperti biasa, selalu melindungiku dan membantuku masuk ke dalam rumah tanpa ketahuan para bibi.

Ah iya, baju Pandu masih aku bawa. Rasanya sudah di cuci sama Bi Um.

Perlahan-lahan aku bangkit dari rebahanku dan duduk di sisi tempat tidur. Pusing di kepalaku masih menjadi raja saat ini. Sakit dan begitu menyiksa. Setelah aku terbiasa dengan keadaan yang menyiksa itu, aku mulai berdiri dan berjalan perlahan kearah lemari bajuku. Aku langsung mencari baju dan celana pinjaman dari Pandu, tapi yang ketemu cuma bajunya. Kemungkinan besar celanya masih di setrika. Aku cuma meminjam baju atau lebih tepatnya kemeja putih dan celana jeans selutut. Sedangkan celana dalamnya aku nggak pinjam, malu.

Aku mulai membuka baju yang sedang aku pakai dan memakai kemeja putih milik Pandu. Aku tersenyum geli waktu melihat bayanganku sendiri di cermin. Panjang. Ujung kemejanya sampai setengah pahaku. Padahal ini yang paling kecil. Kalau Pandu yang pakai, katanya kekecilan tapi waktu aku pakai malah kebesaran. Lengannya juga sampai melewati telapak tanganku. Benar-benar kemeja yang besar.

Setelah puas berpose di depan cermin, aku mulai berjalan kembali ke tempat tidur. Aku langsung merebahkan tubuhku ke tempat tidur tanpa melepas kemeja Pandu. Kalau memakai kemeja milik Pandu ini, aku merasa seperti ada dalam pelukannya. Hangat dan nyaman. Sama seperti kemarin malam. Benar-benar menyenangkan.

Apa aku mulai terobsesi sama Pandu? Hmm…aneh nggak sih kalau aku ingin hubunganku dengan Pandu lebih dari sekedar sahabat? Kalau lebih dari sekedar sahabat apa ya namanya?? Saudara?? Nggak. Aku nggak mau cuma jadi saudaranya. Aku ingin lebih dari saudara. Tapi apa ya namanya?? Hmm…

Aku mulai memejamkan memejamkan mataku mencari istilah yang pas untuk hubunganku dengan Pandu. Tapi nggak tau kenapa aku mulai ngantuk dan akhirnya tertidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar