Senin, 21 Maret 2016

Adikku Alvin Christian - Part 6

... nostalgia

“apa maksudnya tulisan ini, vin?” Ibu bertanya dengan nada campur-campur, antara cemas marah dan bingung.
Jantungku terasa mau copot saat Ibu memegang sebuah buku. Buku harianku, teledor sekali aku menaruhnya di atas meja. Aku masih diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Rasanya tak ada nyali untuk sekedar berbicara.
“kamu suka Adit?” sebuah pertanyaan yang semakin merontokan mentalku. Ibu menatap lekat ke arahku, mata beliau berkaca-kaca.
Aku tak berani menatap Ibu. Kudengar Ibu nyebut berkali-kali. Ibu yang selama ini terkenal religius pasti shok berat saat mengetahui isi curahan hatiku yang benar-benar menyimpang. Sebuah cinta terlarang. Apalagi cinta itu kepada anaknya sendiri, anak satu-satunya. Pelan-pelan kuberanikan mengangkat kepalaku yang tertunduk. Kulihat Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian meletakan buku harianku di tempat tidur. Beliau duduk sambil beristighfar berkali-kali.
“ma.. maafin Alvin, bu ..” ujarku parau.

Ibu tidak menjawab, beliau tampak masih mencoba menenangkan diri dan mendapatkan kembali akal sehatnya. Mengetahui kenyataan yang seperti ini di umur beliau yang sudah tidak muda lagi itu, SANGAT SULIT. Aku memahami itu. Ibu beranjak dan meninggalkanku di kamar sendirian. Beliau tidak berkata apa-apa, hanya diam. Aku meringkuk di lantai bersandar di tembok, duniaku serasa mati begitu saja. Aku benar-benar kesal dengan diriku, kenapa benda sepenting buku harian bisa… ah sudahlah! Mau aku mengutuk diri sendiri keadaan tak akan berubah.

Kutatap buku harianku yang tergeletak diatas tempat tidur. Meski dari jauh tapi aku tetap bisa melihat dan mengenali isi halaman itu. Di halaman itu aku mencoba menulis puisi tentang kak Adit. Puisi yang kubuat dengan susah payah. Membuatnya susah dan hasilnya payah.

Seorang pelindung, bukan
Seorang pemandu, sepertinya lebih.
Seorang malaikat, hampir mendekati
Seorang kakak, itulah engkau

Saat aku dalam bahaya kaulah orang yang berada paling depan melindungiku
Saat aku tersesat di jalan mati kaulah orang yang berada disampingku dan menuntunku
Saat aku sedih kaulah orang pertama yang menyeka air mataku dan memelukku erat

Kaulah adalah ksatria yang telah memenangkan hatiku
Aku ingin selalu bersamamu
tapi aku sadar cintaku ini adalah cinta hitam
memilikimu adalah mustahil
Aku hanya bisa berharap dan berdoa, agar kau bahagia

Di bawah puisi itu kutempelkan foto ijazah SMP kak Adit yang diam-diam kuambil dari arsip Ibu. Tanpa sadar aku malah menangis. Kepalaku nyut-nyutan dan mukaku panas, ibarat seperti seorang jagoan bertopeng yang identitasnya diketahui. Tapi kalau aku tak ada pantas-pantasnya disanding dengan level pahlawan.

Lama kelamaan aku tertidur dalam posisi memeluk kedua lutut yang kutekuk di depan dada. Posisi tidur yang kurang bagus tapi cukup difavoritkan banyak orang.

Sayup-sayup kudengar suara Ibu dan tubuhnya sedikit terguncang. Jiwaku yang tengah melayang di alam mimpi dipaksa kembali ke alam nyata. Dengan malas aku mendongakan kepalaku, tampak sosok Ibu berjongkok di hadapanku dengan wajah sedikit cemas. Tangan beliau ditempelkan ke keningku, tangan itu terasa dingin.
“ayo makan dulu, dari pulang sekolah kamu belum makan ..”
Aku pelan-pelan bangkit, dan aku baru sadar ternyata masih mengenakan seragam putih-biruku. Seragamku sedikit basah karena keringat. Kepalaku agak berat, mungkin karena aku terlelap di lantai yang dingin. Aku berjalan sedikit sempoyongan menuju meja makan, hari ini Ibu masak ayam goreng kesukaanku tapi aku sama sekali tak berselera. Aku cuma menyendok nasi sedikit, Ibu tampak setengah cemas melihat keadaanku. Beliau menuju kotak P3K dan membawakanku obat. Selesai makan dan minum obat aku kembali ke kamar untuk istirahat, Ibu sempat mengecek panas tubuhku tapi tidak berubah suhunya (menurutku)

Jam sepuluh malam aku terbangun, kepalaku sudah lebih enteng dari tadi siang. Tapi, aku ketinggalan sholat ashar maghrib dan isya. Oh my God! Aku menepuk dahiku sendiri. Aku sendiri masih (tetap) mengenakan seragam, tak sempat ganti baju tadi. Aku beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi, sholat isya jangan sampai dikhianati lagi! Dengan langkah gontai aku berjalan menuju kamar mandi, melewati kamar Ibu yang tidak tertutup rapat. Tidak sengaja aku mencuri pembicaraan Ibu dengan seseorang di telpon, aku mendengar Ibu menyebut namaku. Pasti ada kaitannya denganku. Aku berhenti sebentar di sebelah pintu kamar Ibu dan duduk di lantai seraya mendengarkan.

“sekarang aku bingung..” terdengar suara Ibu sambil menghela nafas pelan.
Ibu terdiam sebentar mendengarkan respon dari lawan bicaranya di telpon, sesekali Ibu mendengungkan isyarat iya atau melihat ke cermin menatap bayangannya.
“Alvin masih anak-anak, di! Dia terlalu muda untuk kenal. . . hal seperti ini,” lagi-lagi Ibu menyebut namaku, pelan tapi aku bisa mendengarnya dengan baik (bakat menguping) beliau sempat ragu menyebut soal dunia orang-orang macam aku. Ibu sedang bicara dengan siapa ya?
“aku sekarang gak tau mesti gimana lagi? Seandainya kamu ada di posisiku, sebagai seorang Ibu yang menaruh harapan besar kepada putranya ..”
Ibu terdiam lagi, sepertinya lawan bicaranya mulai mengoceh. Beberapa kali Ibu menggumamkan kalimat maaf, sepertinya kata-kata Ibu tadi menyinggung perasaan lawan bicaranya. Cukup lama Ibu menjadi pendengar, lawan bicara Ibu sepertinya sedang memberikan nasihat panjang.

Aku menghela nafas sembari bangkit, entah apa yang Ibu dan lawan bicaranya diskusikan tentang aku. Apa aku akan diusir atau mereka akan mengirimku ke sekolah militer. Aku tunggu saja besok apa yang akan terjadi.

***

Jam istirahat berbunyi, suara riuh barbar teman sekelasku (terutama anak cowok) membahana. Suara yang sudah biasa kudengar setiap hari. Hampir semua temanku berbaris tertib keluar menuju kantin atau entah kemana yang penting tidak di kelas. Cuma aku saja yang betah berlama-lama di ruangan kelas ini. Disamping aku memang senang ketenangan, pada jam istirahat begini waktunya aku makan bekalku. Ibu selalu membuatkanku bekal makanan, kata beliau biar uang jajanku bisa dioptimalkan untuk hal yang lebih bermanfaat. Aku heran, meski saat ini Ibu sedang kecewa denganku tapi beliau masih tetap membuatkan bekal buatku (sungguh sosok Ibu yang sangat aku kagumi dan kusayang). Bekal hari ini: nasi uduk, gorengan tempe, telur yang diiris-iris seperti pita ditambah pelengkap berupa sambal kacang dan kerupuknya. Dan sialnya aku lupa bawa air minum. Kumasukan lagi bekalku ke kolong meja dan bergegas menuju kantin sekolah.

Yang pasti kantin pasti ramai sekali, hiruk pikuk siswa-siswi kelaparan yang mengantri membeli makan siang. Sedangkan aku jalan lurus menuju stand penjual segala jenis minuman.
“silahkan de,” sapa penjaga warung dengan ramah, seorang mbak-mbak yang kupikir seumuran dengan kak Adit.
Aku tersenyum sambil melihat-lihat minuman apa yang enak (semua kelihatan enak). Pilihanku jatuh pada Teh kotak, minuman kesukaan kak Adit kalau dia sedang pulang. Biasanya dia menyuruhku untuk membelikannya lima sekaligus di alfamart. Kubeli satu buah. Hiruk pikuk anak-anak SMP di kantin memang seperti kerumunan suporter bola. Banyak diantaranya anak-anak junior yang masih membawa jiwa anak SD nya. Mereka bercanda-canda ria bahkan kejar-kejaran. Sampai-sampai aku terjatuh karena terdorong mereka yang sedang bersenda gurau (kelewatan) bahkan teh kotakku terinjak dan mencret isinya. Aku mendengus kesal, sedang anak-anak itu tampak pucat.

“bercandanya liat-liat juga donk mas,” seruku dengan kesal, satu urat muncul di keningku.
“sori, koh.. gak sengaja. Abisnya kokoh ada dibelakang aku, kena deh ..” jawab si junior, nada bicaranya menyesal tapi omongannya seakan main-main.
“kokoh.. kokoh.. emang gue orang china!?” aku tambah kesal.
Belum sempat aku menyelesaikan omonganku, si junior langsung memotong.
“habis kokoh matanya sipit,”
Mungkin niatnya bercanda ngomong begitu, tapi saat itu aku sedang tidak ingin bercanda.
“kalo minta maaf yang bener donk! Diajarin sopan santun gak sih?!” omelku lagi. Meski aku sedang kesal tapi aku masih tetap bisa mengontrol nada omelanku.
“maaf kak, tadi aku yang dorong Erdin sampe bikin kakak jatuh..” tiba-tiba muncul seorang temannya. Setidaknya anak yang ini niat minta maaf. Anak itu melirik teh kotakku yang gepeng terinjak.
“teh kotaknya biar aku ganti kak, sebentar ..” ujarnya sambil berbalik menuju stand minuman. Setelah itu dia kembali dengan sebuah teh kotak plus sebuah cokelat.
“apa ini?” tanyaku saat anak itu sekalian menyerahkan cokelatnya.
“tanda maaf aja kak, gratis kok dari aku ..” jawabnya sambil tersenyum. Sebuah senyuman yang manis.
Kuterima saja kemudian melengos kembali ke kelas tanpa basa-basi apa-apa. Moodku sudah terlanjur rusak, tapi setidaknya cokelat ini lumayan. Dari belakang aku bisa mendengar sayup-sayup temannya berbicara.

“Feri.. Feri.. ngapain lu beliin si kokoh cokelat?”
“gak apa-apa.. anggap aja hadiah kenalan,” jawab anak yang bernama Feri itu.
Aku tak mau terlalu ambil pusinglah, yang penting mereka sudah minta maaf dan minumanku diganti. Waktunya aku makan siang, banyak waktu yang terbuang di kantin.

Sedang anak yang bernama Feri menatap siluetku yang berjalan lurus saja, meninggalkan dia dan teman-temannya yang kembali tertawa-tawa. Entah kenapa anak itu tersenyum-senyum sendiri sebelum dia back into the crowded. Sebuah senyum menawan adik kelasku, sayang aku terlalu mumet sehingga aku tidak memperhatikan dan menyadari hal itu.

***

Aku tiba di rumah lebih cepat, sebab dipelajaran terakhir guruku berhalangan hadir. Jam satu siang, aku jadi jaga rumah seperti biasa. Aku masuk dengan loyonya, iseng kutengok kalender. Tanggal kelulusan kak Adit masih lumayan lama, masih satu semester lagi. Tanggal kelulusannya pun aku tandai dengan spidol. Aku benar-benar menanti kepulangannya ke rumah ini, sampai aku jadi senyum-senyum sendiri. Aku meninggalkan kalender dan menuju kamar. Hari ini terasa panas sekali, sampai-sampai mau nafas terasa sesak. Maka dikarenakan itu kuputuskan untuk mandi. Berlama-lama mandi menjadi semacam terapi relaksasi buatku.

Di tengah keasyikanku menikmati kucuran air dari pancuran, bel pintu depan menjerit-jerit. Tamu mana sih di siang bolong panas begini? Terpaksa cepat-cepat kuselesaikan mandiku, berpakaian seadanya dan bergegas menuju pintu depan. Saat itu aku memakai kaos singlet yang kegedean dan celana boxer merah. Begitu kubuka pintu seorang laki-laki setengah baya berdiri di hadapanku. Kulitnya tidak terlalu gelap, rambutnya dipotong cepak rapi dan wajahnya bebas kumis dan jenggot. Dari pakaiannya kelihatan orang itu bukan golongan kelas biasa meski saat itu dia mengenakan pakaian santai. Untuk sesaat aku tertegun melihat orang itu.
“selamat siang, mas ..” sapanya sambil tersenyum.
Entah perasaanku saja atau memang senyumnya itu kelihatan seperti senyuman mesum. Buru-buru kutepis pikiran itu, suudzon itu tidak baik.
“si.. siang, cari siapa ya pak?”
“saya cari Ibu Emilia Rosharlianti,” jawabnya dengan ramah.
Ini orang sepertinya tidak asing bagiku. Wajahnya aku seperti pernah lihat tapi dimana ya?

“Ibu Emilnya belum pulang. Kira-kira jam setengah lima pulangnya, pak ..”
“hmm, begitu ..” sahut orang itu sambil mengelus dagunya yang bersih dari jenggot. “kamu pasti yang namanya Alvin? Alvin Christian?”
“betul,” jawabku menelan ludah.
Orang itu mengulurkan tangannya. “kenalkan, saya Hadi Firman Sudirja ayahnya Adit ..”
Aku tercengang mendengarnya, ayahnya kak Adit? Beliau kesini? Pantas saja wajahnya tak asing.
“udah jangan kebanyakan bercanda kamu,” suara Ibu terdengar dari belakang.
Beliau tampak dengan seragam PNS nya muncul agak belakangan.
“kok udah pulang aja bu?” tanyaku keheranan.
Ibu tidak menjawab langsung, beliau hanya tersenyum. Tersenyum lirih yang tidak kumengerti apa maksudnya.

“saya diijinin masuk gak, vin ..” tanya Ayah yang kuacuhkan sesaat.
“ooh, maaf maaf pak.. silahkan,” ujarku buru-buru, tidak enak juga karena sikap kurang tanggapku.
Ayah melewatiku dan langsung menuju sofa. Sedang Ibu mengikuti dibelakang.
“kok bajunya kaya begini di depan tamu, vin?” bisik Ibu saat melewatiku.
“maaf, Alvin ganti baju dulu ..”
Aku buru-buru melengos menuju kamar.

“gak usah, vin. Duduk aja sini,” ujar Ayah mencegahku.
Dengan ragu aku duduk di kursi dekat Ayah. Aku mulai risih karena pakaianku kurang sopan di depan tamu. Namanya juga lagi enak-enak mandi eh digedor-gedor, salah siapa dah?
“maaf ya, pak. Kalau baju Alvin.. begini,” ujarku dengan muka agak merah.
“gak apa, santai aja kok..” ujar Ayah sambil tersenyum. Senyumnya kali ini beda dengan senyum waktu pertama datang. “Ayah ingin bicarakan sesuatu sama kamu.. tentang.. kamu. Boleh?”
Aku menelan ludah lagi sambil menganggukan kepala. Obrolan ini sepertinya sesuatu yang berat, jantungku berdetak hebat. Aku takut ; tidak berani membayangkan apa yang akan dikatakan Ayah.

***

Aku termenung di meja belajar, jariku masih memegang pulpen dan tanganku menindih buku harian. Lembaran kosong yang baru ingin kuisi. Kata-kata Ayah benar-benar masuk ke hatiku.

“Alvin masih muda, masih sangat hijau untuk kenal dunia ‘itu’. Saya tau kalau menjadi seperti ini adalah bukan pilihan Alvin, tapi percayalah! Pilihan itu ada. Kamu mempunyai akal, hati dan yang terpenting yaitu agama. Yang sekarang jadi masalah adalah apakah kamu mau, memilih untuk kembali ke jalan yang benar? Alvin harus mempunyai tekad. Buka pikiran kamu, asah mata hati dan dekatkan diri kepada agama. Allah menggariskan takdir Alvin seperti ini bukan tanpa tujuan. Saya mungkin gak bisa tau apa maksud dan tujuan Allah tapi sekali lagi kita harus percaya bahwa tujuannya baik. Pasti itu! Kan bisa aja, misalkan nih ya.. Alvin jadi lebih terjaga dari hubungan laki-laki dan perempuan yang jaman sekarang udah seperti tak ada batasannya.

Anggap saja ini sebuah ujian. Ujian yang menentukan kelulusan Alvin ke derajat yang lebih tinggi di mata Allah. Jangan pernah menganggap takdir sebagai cobaan. Yang ada kita hanya ada mengeluh dan mengeluh.

Saya tau, berat untuk mengubah ‘jati diri’ kamu tapi ingatlah kodrat Alvin sebagai laki-laki, yang tercipta untuk wanita, berkeluarga dan memiliki keturuan. Pesan dari salah satu teman saya: accept it but don’t agree with it! Terima keadaan ini, tapi jangan setuju. Saya sendiri juga gak bisa maksa Alvin untuk kembali ‘ke jalur’. Ini adalah pilihan Alvin, apakah Alvin mau memilih jalan yang lurus atau tidak, semua kembali ke diri Alvin lagi ..”

Aku kembali menatap lembaran kosong yang tertindih tanganku. Pelik sekali takdir hidupku ini. Aku pun berjanji kepada Ayah dan Ibu bahwa aku tak akan macam-macam dengan kak Adit. Mau macam-macam bagaimana? Toh kak Adit normal, mana mungkin mencintai laki-laki juga. Tiba-tiba aku mendapat inspirasi:

Do you know the taste of being cursed?
It’s so pain.
You will hate yourself!
Curse of love


Good bye . . . .

Tanpa sadar aku tertidur dalam posisi tengkurap, meski nafasku agak sesak karena mukaku terbenam di bantal tapi tubuhku tidak peduli. Hingga sebuah sentuhan dingin mendarat di leherku. Sentuhan itu tidak hanya dingin tapi juga basah, spontan aku bangun. Revan tampak agak kaget dengan reaksiku, kulihat tubuhnya agak kuyup. Genangan air bekas langkah kakinya menjadi saksi dirinya kehujanan.
“sori de, kamu dibangunin susah banget. Udah gitu posisi tidur kamu aneh. Eh mata kamu kenapa sembab gitu?”

Aku cuma menggelengkan kepala sambil menyeka air mata yang masih menetes. Revan sempat terlihat bingung, ia mengelus-elus lembut kepalaku dan pelan-pelan mendekapku. Rupanya Revan orang yang cukup peka. Dan aku bisa meneruskan tangisanku di dada Revan.
“ade kalau ada masalah atau apa, ceritalah ke aku. Aku siap jadi pendengar yang baik. Lagian masalah gak baik disimpan sendiri, itu akan menyiksa diri kamu perlahan lho,”
Aku menganggukan kepala, tapi tak ada sepatah katapun keluar dari mulutku. Yang kubutuhkan saat ini adalah orang yang bisa menopang dan memelukku. Tak peduli baju Revan yang basah karena guyuran hujan. Kurasakan Revan menghela nafas panjang dan membelai punggungku ; seperti kak Adit biasa lakukan ketika aku menangis. Sudahlah! Jangan bahas tentang kak Adit lagi!!

***

“ade mau sekolah di tempat oom?” ulang Revan tak percaya sekaligus senang mendengar keputusanku.
“iya bang! Yang abang bilang tentang pendidikan itu benar. Aku harus mempersiapkan semuanya untuk masa depanku,”
Revan tampak tersenyum lebar. Ia lalu mengambil ponselnya. Entah apa yang dia lakukan saat kulihat jemarinya dengan lincah beraksi diatas layar sentuh. aku mana mengerti soal teknologi. Tiba-tiba dia naik ke atas tempat tidur, menggeser sedikit posisiku. Revan sempat tersenyum kepadaku, senyuman yang lebih mirip seringai lucu.

“abis ini jalan-jalan yuk ke mall?” ajaknya tiba-tiba.
“mau ngapain?”
Revan diam sebentar pura-pura berpikir. “baca buku ..”
“cuma baca?” reaksiku seakan cuek padahal di dalam hati sudah lompat-lompat kegirangan.
“ya sekalian belilah, yang mana aja terserah. Ade boleh dipilih..”
“asyiiik!!” aku kegirangan betulan.
“iya donk, kan bayarnya masing-masing ..”
Seketika ekspresiku yang kegirangan berubah jadi cemberut. Revan cuma tertawa melihat reaksiku, apalagi kalau kesal aku tanpa sadar suka menggembungkan pipiku. Dan itu sasaran kesukaan Revan: cubit pipi.
“bercandalah de, ntar aku yang bayarin ..” ujar Revan dengan sukses mengerjaiku. “kan aku yang ajak, udah tanggung jawabku buat ngebeliin kamu,”
Aku masih pura-pura cemberut. Dan tanpa aba-aba Revan merangkulku sambil mengacak-acak rambutku seenaknya. Aku tidak protes atau memberontak, nikmati saja.. hehehe.

Habis maghrib aku dan Revan ke mall, ke toko buku yang cabangnya di seantero negeri ini. Aku yang penggila buku langsung menuju deretan buku best seller. Harga tidak usah dilihat, toh itu urusan Revan, hehehe. Saat sedang memilah buku tak kusengaja melihat buku: Anak Kos Dodol dikomikin 3. Aku sempat terdiam melihat buku itu. Itu adalah buku yang mengingatkan aku dengan kak... ah sudahlah! Kuambil buku itu ke dalam daftar buku yang akan kubeli.

Setelah dengan selektif dan telitinya aku memilih, dapatlah di tanganku sekitar tujuh buah buku dengan harga yang beda-beda pula.
“cuma segini?” tanya Revan dengan jumawanya diikuti cengiran khasnya.
“sisanya buat traktir makan,”
“okeeeh ..”
Setelah transaksi, Revan memilih sebuah rumah makan. Desainnya lumayan menarik dan punya ciri khas, terlebih saat aku melihat menu makanannya. Sayur asam, tumis kangkung sampai tauge ikan asin. Dan harganya pun merakyat.
“ini namanya kualitas bintang lima harga kaki lima,” sahut Revan sambil nyengir.
Aku setuju dengan kata-kata Revan. Rasanya mantap dan lezat harganya terjangkau pula.

“eh, de.. gak ada lagi nih yang mau dibeli? Bekal buat di asrama nanti?” celetuk Revan membuka obrolan.
“aku kira cukup, bang. Emang mau bawa apa ke asrama?”
“kipas angin, mini compo, Laser Disc sama laptop?”
Aku menatap (¬.¬”) Revan. “ini kan asrama bang, bukan penjara ..”
“lho kok penjara?”
“iyah, abang sering liat kan? Penjaranya pejabat korup yang selevel sama hotel bintang lima?”
Kami pun tertawa lepas. Selesai makan aku dan Revan memutuskan pulang, aku tidak terlalu tertarik saat Revan menawariku membeli baju di sebuah toko baju bermerk.
“baju buat aku mah gak usah muluk-muluk. Yang penting berkualitas dan desainnya oke ..”
Gantian Revan yang menatapku (¬.¬”).

Sesampainya di mobil aku memilih bangku belakang, soalnya lebih lega dan luas. Revan terkesan seperti sopirku. Saat sedang melihat-lihat buku yang kubeli, aku merasa menduduki sesuatu. semacam kertas yang agak tebal dibungkus plastik. Kugeser posisiku dan melihat benda apa yang mengusikku. Selembar undangan. Undangan yang sangat aku kenal. Ini adalah undangan yang dibawa Feri. Undangan pernikahan kakakku? Kenapa bisa ada di mobil Revan? Aku menatap Revan yang tengah menyetir dengan santai.
“ini undangan siapa, bang?”
“ooh itu, undangan temanku. Aku kenal dia dari temanku juga sih, namanya Adit. Satu kampus denganku tapi beda jurusan. Hebat lho dia de, di umur 22 tahun sudah berani nikah! Aku pribadi kagum sama dia, itu adalah keputusan yang luar biasa ...”

Aku tak mendengarkan lanjutan kata-kata Revan itu, aku cuma bisa terpaku sambil memegang undangan ini. Aku benar-benar sama sekali tidak menyangka bahwa Revan mengenal kakakku. Seharusnya aku mengira-ngira ini. Sepanjang perjalanan aku cuma diam, sedang Revan terus berceloteh mengenai berbagai hal. Aku pura-pura menanggapi dengan menggumam iya.

Kira-kira tiga hari persiapanku sebelum berangkat ke Bandung. Revan dan oom Fian mengatur semuanya, jadi aku cuma perlu mempersiapkan diri saja. Inilah jalan yang kupilih yakni melanjutkan sekolahku lagi di Bandung. Pak Beni pun setuju, tidak lupa dia memberikan nomer ponselnya kepadaku. Jadi komunikasiku dengan dia tidak terputus. Semakin aku jauh dari kak Adit pasti aku akan semakin mampu melupakannya. Life must go on! Aku tidak bisa terus-terusan berharap kepada sesuatu yang mustahil. Aku ingin mencoba apa yang Ayah tanamkan kepadaku: accept it but don’t agree with it!. Lagipula aku selama ini belum pernah mencoba menjalin hubungan dengan wanita. Dan tak ada salahnya jika aku coba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar