Senin, 21 Maret 2016

Memories Of Him - Part 4

~Clay Pov~
ini udah aq ksh enter tp pas di baca lwt hp kok tetep rapet aja ya..bingung aku…hmm….

~Pandu Pov~
“Paaaannnnn…. Jahat banget siiihhhh… aku mau curhat nih….” rengek Ricky sambil berusaha masuk ke dalam kamarku.

Aku yang lagi males ngeladenin dia berusaha menahan pintu kamarku dari dalam. Akhirnya jadilah dorong mendorong pintu kamar.

“Aku lagi nggak minat terima tamu,” kataku geram.
“Nggak bisa! Kamu harus terima aku sebagai tamumu!!”
“Emangnya kamu siapa?!”
“An**ng!! Gitu banget seh ma aku.”
“Biar,” dengusku kesal sambil tetap berusaha menutup pintu kamarku lagi.
“Oh hai, kamu cowok alim yang kapan hari itu kan?!” tanya Ricky yang pasti bukan ditujukan untukku.

Cowok alim?? Jangan-jangan….

Aku buru-buru keluar dari kamar, bersamaan dengan itu Ricky menerobos masuk.

“Satu kali kena tipu hahahahahaha…” kata Ricky girang.

ANJRIT…AKU DI TIPU.

DDUUUKKK….

Dengan kesal aku menjitak kepalanya.

“DAMN…SAKIT TAU,” Ricky langsung mengusap-usap kepalanya yang kena jitak.

Aku cuma mendengus kesal.

Anak ini bener-bener bikin emosi aja.

“Wah nggak nyangka ya kamu bener-bener perhatian sama tuh anak. Berarti bener omongannya Aan.”

Aan? Oh awas aja dia. Tuh mulut minta di jahit besok.

“Cepetan kalau mau curhat. Aku nggak terima tamu sampai jam 11 malam,” kataku ketus.

Aku berjalan ke tempat tidur lalu merebahkan tubuhku di sana.

“Ck pelit banget sih jamnya. Aku malah pengen nginep sini. Ya udah deh, gini aku… bla..bla..bla..”

Aku nggak habis pikir kenapa Alvin bisa nyium punggungku. Jangan-jangan dia gay?? Tapi kok rasanya meragukan ya. Dia itu seperti angel yang selalu baik sama semua orang. Mungkin aja dia cuma simpati sama bekas lukaku. Tapi masa ada sih cowok yang mau nyium punggung cowok. Kok rasanya ada yang janggal ya.

Aku menghela nafas sejenak. Memejamkan mataku, tapi aku malah terbayang-bayang wajahnya.

AN**NG…kok aku jadi mikirin dia terus ya?! Nggak tadi siang, nggak sekarang yang muncul wajahnya terus.

“Uuuuu…”
“Anduuu…”
“Panduuuuuu…”
“PANDUUUUUUUUUUU……WWOOOOEEEE SARAP!!!! DI CURHATIN MALAH NGELAMUN SENDIRI.”
“Hah?? Apa??” aku langsung tersadar dari lamunanku, “aahhh… sorry-sorry aku nggak sengaja,” lanjutku lagi sambil bangun dari rebahanku, setelah itu aku mengusap mukaku dengan telapak tanganku.
“Ck dasar. Aku curhat tapi nggak di denger,” kata Ricky jengkel sambil mulai menyulut rokoknya.
“Ya udah ulangi lagi curhatan’mu tadi,” kataku sambil mengambil rokok Ricky sebatang lalu menyulutnya.
“Gini, orang yang aku suka mulai di deketin sama cowok lain,” curhatnya.
Udah aku duga dia bakal curhat lagi tentang cewek yang dia suka.

Dia udah curhat ke aku berkali-kali tapi nggak pernah mau nyebutin nama cewek yang dia suka itu.

“Kemarin tuh cowok berani dateng ke rumahku eh salah, maksudku ke rumahnya buat ngajak dia kencan. Bikin emosi aja,” kata Ricky dengan muka geram.
“Ya udah kamu jadian aja sama cewek itu. Kalau dia udah sah jadi cewekmu, nggak ada yang berani deketin dia lagi.”

Wajah Ricky yang tadi terlihat geram sedikit demi sedikit melunak dan bahkan sekarang wajahnya memancarkan kesedihan.

“Aku nggak bisa. Ada sesuatu yang bikin kami nggak bisa jadian tapi aku nggak mau dia jadian sama yang lain.”
“E.G.O.I.S,” cibirku.
“Emang.”

Aku menghela nafas melihat tingkahnya ini. Sifat keras kepalanya itu menyebalkan.

“Cintaku memang egois, aku juga tau itu. Tapi Paaaannnnnn… aku beneran nggak rela dia jadian sama yang lain. Aku nggak sanggup kalau ngebayangin dia di raba-raba cowok lain. AKU NGGAK MAU AAARRGGGHHHH…..”
“Oke..Okey..aku ngerti. Nggak usah teriak-teriak gitu!! Ini udah malem tau,” kataku geram.

Terlihat Ricky menghisap rokoknya dalam-dalam lalu menyemburkan asapnya melalui mulutnya.

“Aku harus gimana Pan?” tanya Ricky dengan nada frustasi.
“Tadi kamu bilang kalau cintamu egois kan?” aku balik tanya.
“Iya,” jawab Ricky.
“Kalau gitu kenapa kamu nggak pakai cara yang egois juga untuk mempertahankan dia?”
“Hah??”
“Buat dia bener-bener cinta mati sama kamu dan bikin dia nggak bisa berpaling darimu. Bikin dia nggak bisa lepas dari jeratanmu. Dengan begitu dia nggak akan bisa menyukai cowok lain selain kamu,” kataku asal.

Terlihat dia terdiam sambil memandangku.

“Ah bener juga. Thanks Pan, kamu jenius,” kata Ricky cepat sambil beranjak dari duduknya.
“Udah mau pulang?” tanyaku waktu melihat Ricky berjalan mendekati pintu kamarku.
“Yupz. Aku mau ‘menjeratnya’ malam ini,” jawab Ricky sebelum hilang dari pintu kamarku.

Serius?? Dia mau kerumah cewek itu sekarang?? Mau ngapain dia malem-malem gini ke tempat cewek?? Hmm..jangan-jangan….

Aku tertawa pelan menyadari apa yang akan dia lakukan terhadap cewek itu. Dengan malas, aku mengambil asbak di bawah meja lalu mematikan rokokku ke dalam asbak. Tiba-tiba perutku berbunyi tanda minta di isi. Aku buru-buru membuka lemariku dan melihat persediaan mie instanku. NOL. Aku lupa beli tadi.

Akhirnya mau nggak mau aku mutusin untuk belanja di mini market 24 jam yang dekat dengan tempat kosku. Aku segera menyambar hp, dompet, kunci motor dan jaketku sebelum keluar dari kamarku.
Dinginnya malam nggak menghentikan niatku untuk terus memacu motorku ke arah mini market. Sebenernya mini marketnya dekat dari tempat kosku tapi aku terlalu malas untuk berjalan kaki di udara yang dingin ini.

Nggak sampai semenit motorku sudah sampai di depan mini market yang aku tuju. Setelah memarkir motorku, aku pun berjalan memasuki mini market itu.

“Selamat malam kakak,” sapa penjaga kasir yang selalu ramah menyapa tiap pengunjungnya yang masuk.

Aku nggak membalas sapaannya. Males. Toh aku juga nggak bakal di usir.

Sejenak aku pandangi rak-rak yang tersusun rapi di depanku. Rencananya aku mau beli mie instan, kecap, minyak goreng, camilan, sabun mandi dan sabun cuci. Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil mie instan dulu.

Akupun berjalan mengambil keranjang untuk menampung semua belanjaanku. Setelah aku memasukkan 20 mie instan ke dalam keranjang belanjaku, aku segera berjalan ke rak sebelah yang berisi sabun cuci. Tapi langkahku terhenti ketika melihat sosok cowok yang rasanya aku kenal.

Itu kan Awe temennya Alvin.

Terlihat Awe sedang berjinjit-jinjit berusaha mengambil sabun cuci berukuran besar yang ada di rak paling atas. Tapi percuma, tangannya nggak sampai di rak yang paling tas itu. Aku jadi berniat untuk membantunya mengambil sabun yang mau dia beli.

“Mau yang mana?” tanyaku ketika sudah sampai di sampingnya.

Terlihat Awe sangat kaget dengan kedatanganku. Dengan cepat dia memundurkan langkahnya menjauhiku.

“Ekspresimu berlebihan banget sih. Aku cuma mau bantuin ngambil doang, bukan mau nyulik kamu,” kataku jengah melihat tingkahnya itu.

Awe menatapku dengan pandangan takut-takut. Aku ngerti sih, tapi lama-lama jengah juga di pandang kayak gitu terus-terusan. Untung jam segini mini market sepi, jadi nggak ada yang menonton kami. Salah-salah nanti aku di kira penculik beneran. Bisa berabe kan.

Aku menghela nafas karena jengkel. Setelah itu aku mengambil satu sabun cuci yang mau dia ambil tadi.

“Tadi kamu mau ambil ini kan?” tanyaku sambil menyodorkan sabun cuci ke arahnya.

Awe mengamati sabun cuci yang ada di tanganku lalu sedetik kemudian dia menggelengkan kepalanya.

“Bukan ini?” tanyaku bingung, lagi-lagi dia menggelengkan kepalanya.

Aneh, bukannya dia tadi mau ambil sabun yang ini?!

“Lalu yang mana?” tanyaku lagi.

Awe cuma terdiam sambil memandang rak paling atas. Aku yang melihatnya jadi nggak sabar sendiri. Akhirnya aku meletakkan keranjang belanjaku ke lantai lalu berjalan ke arahnya. Sebelum dia sempat menjauh lagi dariku, aku melingkarkan kedua tanganku di bawah perutnya lalu mengangkat tubuhnya.

“Aaaaa…Aaaaaaa..” Awe yang kaget langsung meronta-ronta panic.
“Hai..hai… jangan gerak-gerak! Cepet ambil sabun yang mau kamu ambil!” kataku kesal.

Sedetik kemudian Awe menundukkan wajahnya, menatapku.

“Kok malah liat aku?! Cepet ambil barang yang mau kamu ambil tadi!” kataku nggak sabaran.

Akhirnya Awe mengobok-ngobok rak yang paling atas. Aku melihat dia mengambil sesuatu dari sana, tapi bukan sabun.

Itu.. itu notes? NOTES??

Aku menurunkan Awe setelah dia mengambil notes itu.

“Kok notesmu ada di atas? Gimana caranya tuh?” tanyaku sambil mengamati rak paling atas.

Aku melihat ke Awe lagi, terlihat dia sedang menulis sesuatu di notes itu. Setelah itu dia menyodorkan notes itu ke arahku.

-Tadi notesnya aku buat main-main dengan melempar-lemparkannya ke atas, tapi malah nyangkut di sana- tulisnya.

Aku tertawa pelan membaca tulisannya itu.

“Makanya hati-hati. Ya udah aku mau belanja dulu,” kataku sebelum meninggalkannya.

Tapi baru satu langkah, Awe menahanku dengan menarik ujung jaketku.

“Apa?” tanyaku.
-Thanks bantuannya-
“Ya,” kataku singkat sambil mulai berjalan lagi.

Tapi lagi-lagi langkahku terhenti ketika aku merasakan ujung jaketku di tarik.

“Apa lag…”

Belum selesai aku ngomong tiba-tiba kerah jaketku di tarik ke bawah. Lalu…

CUP

APA???

Belum sempat aku mencerna apa yang terjadi, Awe sudah berlari ke kasir. Sesudah membayar belanjaannya, dia langsung keluar dari mini market. Sedangkan aku cuma mematung. Pikiranku masih blank. Aku memegang pipi kananku yang Awe cium tadi. Antara percaya nggak percaya tapi kenyataanya Awe memang mencium pipiku tadi.

Aku langsung melihat sekitarku. Sepi nggak ada orang. Aku beruntung karena ini sudah hampir tengah malam jadi di sini sudah nggak ada orang. Cuma ada penjaga kasir yang sibuk dengan barang-barang di sekitarnya. Mendadak kepalaku menjadi pusing. Aku buru-buru membayar mie instan yang aku ambil tadi lalu segera keluar dari mini market dan langsung pulang.

Setelah sampai tempat kosku, aku buru-buru masuk kamar dan langsung merebahkan tubuhku di tempat tidur. Rasa lapar yang tadi menyiksa kini hilang nggak tau kemana. Aku mulai memejamkan mataku untuk tidur. Hari ini hari sialku. Aku di cium dua cowok dan aku harap hari ini cuma mimpi.

****************************************************************************


~Alvin Pov~
Rico terus menarik tanganku menyusuri lorong kelas menuju kelas kami.

“Aku nggak mau masuk Ric. Aku mau pulang aja,” rengekku sambil berusaha melepaskan pergelangan tanganku dari cengkramannya.

Aku masih belum siap mental kalau harus bertemu dengan Pandu. Sekarang dia pasti sudah membenciku. Dia pasti berpikir aku aneh. Aku sendiri juga berpikir kalau aku aneh. Aku cuma mau akrab sama dia tapi aku malah mengacaukan semuanya.

“Kamu nggak sakit jadi nggak boleh bolos.”
“Tapi Riiicccccc….”
“Nggak ada tapi-tapian.”

Akhirnya Rico terus menyeretku sampai lantai atas. Dan nggak butuh waktu lama akhirnya kami sampai di depan kelas.

“Kenapa berhenti?” tanyaku pada Rico karena Rico berhenti mendadak.

Aku langsung melihat ke dalam kelas. Terlihat Awe duduk di atas meja Pandu. Kepalanya menunduk melihat kedua kakinya yang di ayun-ayunkannya sendiri. Sedangkan Pandu terlihat duduk santai di kursinya. Dia menyenderkan punggungnya di sandaran kursi dengan mata terpejam. Sepertinya dia sedang asyik sendiri dengan headset yang menempel di telinganya sampai-sampai dia cuek bebek dengan Awe yang duduk di atas mejanya.

Kenapa Awe…

“Apa-apaan itu? Kenapa Awe bisa sama berandalan itu?” tanya Rico dengan nada panic. Aku cuma menggelengkan kepalaku.

Aku juga nggak tau kenapa Awe bisa sama Pandu. Bukannya dia takut sama Pandu?! Tapi kok sekarang dia…

Terlihat Awe sangat santai duduk di deket Pandu. Sesekali dia senyum-senyum sendiri kearah Pandu. Aku bener-bener nggak ngerti sama Awe.

“Pagi Vin,” sapa Yenny dari tempat duduknya.
“Pagi,” balasku sambil melangkahkan kakiku memasuki kelas di ikuti Rico di belakangku.

Awe yang menyadari kedatanganku karena suara Yenny langsung turun dari meja Pandu dan berjalan menghampiriku.

-Pagi Vin pagi Ric- tulisnya.

Setelah Awe menyodorkan notesnya ke arahku, dia menyodorkan notesnya ke Rico.

“Pagi juga We,” balasku sambil mengusap kepalanya pelan. Sedangkan Rico nggak membalas sapaan Awe, dia langsung duduk terdiam di bangkunya. Awe yang merasa di cuekin cuma berdiri di samping tempat duduk Rico.

Nggak seperti Rico yang biasanya. Kalau Awe menyapa, Rico pasti balas menyapa dengan mencubit ke dua pipi Awe.

Apa Rico masih mau nyuekin Awe karena cewek yang dia suka?? Atau ada hal lain?? Apa karena Awe deket-deket sama Pandu?? Rico kan nggak suka sama Pandu.

Aku melihat kearah Pandu tapi aku buru-buru mengalihkan pandanganku ketika menyadari kalau Pandu juga melihat ke arahku. Aku langsung menundukkan kepalaku dalam-dalam, nggak berani menatapnya lagi.

Bel masukpun berbunyi. Awe terpaksa meninggalkan kelasku dengan muka cemberutnya.

“Awe kasian banget ya,” kataku setelah kepergian Awe.
“Kasian kenapa?”
“Di cuekin sama orang dengan alasan nggak jelas,” sindirku sambil menyiapkan buku pelajaranku.
“Bukan itu masalahnya. Aku nggak suka dia deket-deket sama Pandu.”
“Oh jadi sekarang alasannya nambah?”
“Nambah?”
“Iya. Kemarin alasan kamu nggak mau deket sama Awe karena lagi pe-de-ka-te sama cewek, sekarang nyuekin dia karena dia deket-deket sama Pandu.”

Rico cuma terdiam mendengar sindiranku. Ada kebingungan di raut wajahnya.

“Oh ya gimana kemarin?” tanyaku.
“Apanya?”
“Kok ’apanya?’, ya acara nembakmu kemarin.”
“Di tolak.”
“Serius?” tanyaku nggak percaya. Rico mengangguk tanpa melihatku, “karma.”
“Hah??
“Karma karena udah nyuekin Awe,” sindirku lagi. Rico cuma terdiam.
“Ayo-ayo kembali ke tempat duduk masing-masing! Pelajaran mau di mulai,” kata Pak Ikhsan yang sudah sampai di ambang pintu kelas.

Terlihat teman-teman yang masih asyik bergerombol langsung membubarkan diri dan langsung duduk di kursinya masing-masing. Pelajaran pun di mulai.





~Rico Pov~
Aku nggak suka adegan hari ini. Adegan di mana Awe jadi deket sama Pandu. Ya biarpun pandunya terlihat cuek tapi aku tetep nggak suka. Bukannya Awe takut sama Pandu?! Tapi kok sekarang dia malah nempel terus sama Pandu. Tadi waktu istirahat pertama Awe langsung ke kelasku, tapi dia cuma berbasa basi sebentar dengan Alvin lalu dia duduk lagi deket Pandu. Sekarang juga gitu, dia malah sibuk nyariin Pandu yang langsung menghilang ketika bel istirahat ke dua berbunyi.

“Awe aneh Awe aneh Awe aneh Awe aneh.”
“Rico bisa diem nggak?!” protes Alvin yang sedang sibuk membaca buku untuk tes kimia nanti.
“Habisnya Awe aneh banget hari ini. Kamu juga tau kan?!”
“Iya aku tau. Tapi daripada mikirin itu mendingan kamu belajar buat nanti.”
“Gimana bisa belajar kalau aku masih mikirin Awe?”
“Mikirin tapi nyuekin. Kalau khawatir ya jangan dicuekin!” kata Alvin ketus.
“Tapi kan..”
“Udahlah kasian Awe kamu cuekin gitu. Kamu kan udah ditolak sama cewek itu jadi nggak ada alasan lagi buat kamu nyuekin dia.”

Aku menghela nafas sejenak.

Nggak tau kenapa moodnya jelek hari ini. Jarang-jarang Alvin jadi jutek kayak gini. Lagian aku nyuekin dia bukan karena cewek, aku nyuekin dia karena takut aku jadi aneh kalau deket-deket sama dia. Tapi aku juga nggak mau liat dia deket-deket sama berandalan itu. Aduh aku bener-bener bingung.

Tiba-tiba aku ngeliat Awe dan Pandu masuk ke kelas. Pandu berjalan lebih dulu lalu Awe mengikutinya dari belakang. Kalau dilihat-lihat jadi kayak induk ayam dan anaknya. Bener-bener bikin sakit mata kalau ngeliatnya.

Oke cukup, aku nggak mau terus-terusan ngeliat pemandangan ganjil ini.

Dengan tekat kuat akupun mulai berjalan kearah tempat duduk Pandu.

“Nan..nanti malem aku ke rumahmu,” kataku pada Awe, terlihat Awe memandangku kaget. Sedangkan Pandu juga melihatku dengan tatapan datar.
“Aku..aku mau ngajarin kamu gitar,” lanjutku lagi, Awe yang tadinya masih kaget kini tersenyum lebar ke arahku.

BLLUUUGGG….

Tiba-tiba Awe memelukku. Ke dua tangannya di lingkarkan ke leherku. Tubuhku langsung membeku dibuatnya. Kaget. Iya kaget. YA JELAS KAGET LAH….

Aku merasa seperti ada di langit ke tujuh dengan banyak bidadari yang menari di sekelilingku. Aku nggak pernah sesenang ini sebelumnya. Padahal nggak sekali ini Awe meluk aku tapi nggak tau kenapa pelukkannya kali ini begitu menyenangkan.

“Thanks kamu udah nyelametin aku,” kata Pandu yang langsung membuatku terseret ke dunia nyata lagi.
“Mak..maksudmu?” tanyaku bingung sambil melepaskan pelukan Awe.
“Dia maksa aku buat ngajarin dia main gitar malem ini.”

APA??

“Di rumahnya.”

HAAAHH????

“Oh tenang aja, udah ada aku kok yang bakal ngajarin dia,” kataku.

Setelah itu aku berjalan menjauhi bangku Pandu sambil menyeret Awe. Aku nggak mau lama-lama di deket Pandu. Terlihat Awe yang sedikit keberatan ketika aku menyeretnya pergi menjauh dari Pandu. Tapi aku nggak akan membiarkan Awe deket-deket sama Pandu lagi. Aku nggak akan memberi domba ke kandang serigala. Awe ini pesonanya sangat kuat. Gimana kalau Pandu jadi punya pikiran macem-macem sama Awe?? Di kamar berduaan dengan Awe pasti bikin Pandu pengen macem-macemin Awe. Gimana kalau Awe sampai di pegang-pegang, di raba-raba, di cium-cium lalu…lalu…

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku kuat-kuat. Aku nggak mau mikirin hal itu. Dasar mesum. PANDU MESUM >.< (bknx kbalik ya haha).

“Udah sana kamu balik ke kelasmu aja!” kataku sambil mendorong tubuh Awe sampai keluar dari kelasku.

Terlihat Awe masih ragu-ragu buat meninggalkan kelasku.

“Sebentar lagi juga udah masuk,” kataku lagi.

Dan benar kataku, bel tanda istirahat ke dua sudah berakhir berbunyi nyaring. Mau nggak mau Awe pun berjalan meninggalkan kelasku.





~Rico Pov~
Aku terus bercermin di depan kaca. Memastikan baju yang aku pakai pas di tubuhku. Aku memakai kaos putih dengan kemeja berlengan pendek warna hitam sebagai pelengkapnya. Untuk celananya aku memakai jeans panjang warna hitam.

“Mau kencan ya?” tanya kak Andi yang melihatku dari depan kamarku yang nggak tertutup.

Kak Andi berdiri sambil menyandarkan tubuhnya di sisi pintu kamarku dengan ke dua tangan yang di lipat di depan dada.

“Mau tau aja,” jawabku sambil menyemprotkan parfum milik kak Danil ke seluruh bajuku.
“Hhhmmm….udah punya cewek nggak bilang-bilang,” sindir kak Andi, aku cuma diam sambil senyum-senyum sendiri, “itu parfumnya kak Danil kan? Baru beli udah kamu pakai gitu. Kalau dia sampai marah aku nggak ikut-ikut ya,” lanjut kak Andi sambil beranjak pergi.

Aku nggak menghiraukan kak Andi. Aku lebih memilih memperhatikan penampilanku di depan kaca.

“Perfect,” desisku sambil tersenyum puas.

Aku pun segera berjalan mengambil tas gitarku yang tergeletak di atas tempat tidurku lalu menyandang tas itu di bahu kananku. Dengan sedikit tergesa-gesa aku berjalan menuruni tangga menuju lantai bawah. Sebelum keluar rumah aku melangkahkan kakiku menuju dapur dan langsung membuka lemari es yang ada di sana. Mataku langsung tertuju pada setumpuk coklat dan permen yang ada di pojok atas. Tanpa ba bi bu be bo aku mengambil semuanya tanpa sisa dan langsung memasukkannya ke dalam saku celanaku yang memang muat buat benda-benda mungil itu. Setelah itu aku melangkahkan kakiku meninggalkan dapur. Tapi baru sampai di ruang tamu aku mendengar teriakan histeris dari arah dapur.

“COKLATKUUUUUU,” teriak kak Danil.

Aku buru-buru keluar dari rumah dan langsung melajukan mobilku. Aku nggak mau mendengar teriakan kak Danil untuk yang ke dua kalinya sewaktu dia tau parfumnya baru aku pakai.

Selama di perjalanan menuju rumah Awe, aku terus senyum-senyum sendiri. Rasanya aku udah beneran jadi gila. Aku nggak pernah merasa se-nervous ini kalau ke rumah Awe.

Nggak butuh waktu lama untuk sampai ke rumah Awe. Sekarang aja aku sudah memasukkan mobilku ke halaman depan rumah Awe. Aku pun segera keluar dari mobilku dan langsung berdiri di pintu depan rumahnya. Aku menghela nafas sejenak sebelum jari-jari tanganku memencet bel rumah Awe.

“Eh ada Rico. Kirain siapa tadi yang bertamu malem-malem gini,” kata tante Lila ketika membukakan pintu untukku.
“Awe eh Agungnya ada tante?” tanyaku basa-basi karena aku sudah tau kalau Awe pasti ada di rumah. Dia kan nungguin aku hehe..
“Ada kok. Dia ada di kamarnya, langsung naik aja,” kata tante Lila mempersilahkan aku untuk langsung masuk.
“Oh ya udah kalau gitu, permisi ya tante.”

Tanpa membuang waktu lagi aku langsung naik ke loteng menuju kamarnya. Aku langsung mengetuk pintu kamarnya setelah sampai di depan kamarnya. Nggak sampai sedetik aku mendengar suara kunci di buka dari dalam lalu pintu kamar terbuka. Terlihat Awe berdiri di depanku dengan senyum yang merekah.

Aku langsung melebarkan ke dua mataku ketika melihatnya. Kaget dengan penampilannya. Dia memakai sweater warna coklat muda yang di bagian lehernya longgar sampai memperlihatkan ke dua bahunya. Sweater itu berlengan panjang, bahkan sangat panjang sampai jari-jari tangannya nggak terlihat. Bagian bawahnya, dia memakai celana yang cuma setengah paha.

Untuk beberapa saat aku cuma berdiri mematung sambil memandangnya. Padahal aku sudah tau kalau Awe suka memakai baju-baju seperti itu, tapi aku baru sadar sekarang kalau penampilannya ini ternyata begitu…begitu menggoda. Rasanya mataku sampai nggak bisa berkedip karena melihatnya.

Tiba-tiba Awe menarik tanganku sampai aku masuk ke dalam kamarnya. Aku yang masih kaget berusaha mengembalikan semua nyawaku yang tadi hampir terlepas dari badanku.

Santai Ric..Santai.. Kamu harus ingat bahwa kamu ke sini buat ngajarin dia main gitar, bakan buat lihat penampilannya.

Aku mencoba menghela nafas berkali-kali untuk mengurangi kekotoran dalam otakku (emng bisa ya??).

-Dari mana?- tiba-tiba Awe menyodorkan notesnya ke arahku.
“Ru..rumah,” jawabku gugup, “langsung aja ya. Nih gitarnya. Di dalamnya juga ada buku panduan belajar gitar untuk pemula,” lanjutku lagi sambil menyodorkan tas gitarku ke arahnya.

Setelah menyerahkan gitarku ke Awe, aku langsung duduk di atas tempat tidurnya. Aku mengamati kamar Awe yang unik. Kamar Awe ini letaknya di loteng, di bawah atap. Nggak banyak barang yang di tempatkan di kamar ini. Cuma ada tempat tidur, lemari kecil dan sofa kecil berwarna hitam.

Aku melihat Awe yang sudah duduk di dekatku. Dia mencoba memetik senar gitar mengikuti petunjuk yang ada di dalam buku.

“Sulit sih kalau langsung mau jago cuma dalam seminggu,” kataku sambil mengambil gitar dari tangan Awe.

Aku memposisikan gitar itu sedemikian nyaman di tangan dan pangkuanku lalu mulai memetiknya dan bernyanyi.





Mungkinkah bila kubertanya
Pada bintang-bintang
Dan bila ku mulai merasa
Bahasa kesunyian

Sadarkan aku yang berjalan
Dalam kehampaan
Terdiam, terpana terbata
Semua dalam keraguan

Aku dan semua
Yang terluka karena kita

Aku kan menghilang dalam pekat malam
Lepas kumelayang
Biarlah kubertanya pada bintang2
Tentang arti kita
Dalam mimpi yang sempurna

Aku dan semua
Yang terluka karena kita

Dalam mimpi yang sempurna..





Aku mengakhiri nyanyianku. Terlihat Awe memandangku dengan tatapan datar.

“Kenapa?” tanyaku, Awe menggeleng.
“Menurutku lagu ini gampang karena kuncinya cuma EM C G dan D yang terus diulang-ulang,” kataku sambil menyerahkan gitarku ke Awe.

Awe mulai mencoba lagunya Peterpan yang baru saja aku mainkan tadi. aku mencoba memberi arahan selama dia mencobanya. Terlihat dia mencocokkan jari tangannya dengan gambar yang ada di buku. Awe terlihat bersungguh-sungguh belajar gitarnya. Ekspresinya sungguh lucu banget kalau lagi serius seperti itu. Aku jadi ingin menatapnya terus.

“Ehhmmmm…” rengek Awe sambil menarik-narik lenganku.
“Kenapa?” tanyaku sambil mendekat ke arahnya.

Terlihat Awe menulis sesuatu di notesnya lalu menyodorkannya ke arahku.

-Bingung. Kamu bantu nyanyi dong-

Aku langsung tertawa membaca tulisannya.

“Harusnya kamu sendiri yang nyanyi jadi biar aku tau di mananya yang nggak kamu bisa,” kataku sambil mencubit pipinya.

Awe cemberut. Aku tertawa melihat tingkahnya itu. Aku yang gemas langsung mencubit ke dua pipinya dengan agak keras. Awe yang kesakitan berusaha melepaskan pipinya dari cubitanku dengan memukul-mukul tanganku. Akhirnya Awe memilih kabur begitu cubitanku terlepas. Tapi dengan sigap aku langsung menarik tangannya dan menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Aku langsung menindihnya sebelum dia sempat bangun dan kabur lagi. Awe yang panic berusaha mendorong tubuhku menjauh tapi usahanya itu sia-sia aja. Aku tetawa melihatnya nggak berdaya di bawahku. Beberapa detik kemudian Awe berhenti mendorong dan meronta. Wajahnya terlihat memerah dengan mata terpejam. Sepertinya dia sedang mengatur nafasnya yang hilang sia-sia tadi. Setelah nafasnya teratur, Awe membuka ke dua matanya.

DEEEGGG

Jantungku langsung berpacu lebih cepat ketika Awe menatapku dengan tatapan memohon. Aku sebenernya tau kalau dia ingin aku menjauh dari tubuhnya, tapi di tatap seperti itu aku jadi punya pikiran lain. Aku yang mulai kehilangan akal sehat mulai mendekatkan wajahku ke arahnya. Sampai aku bisa merasakan hembusan nafasnya di wajahku. Aku jadi makin gila di buatnya.

“Eeemmm…” Awe sedikit tersentak kaget ketika aku membenamkan wajahku di lehernya.

Aku langsung memcium dan menjilat lehernya. Aku nggak perduli dengan semuanya. Aku seperti kesetanan. Aku kehilangan kendali.

Setelah puas bermain-main dengan lehernya aku mengangkat wajahku. Tapi mataku langsung melebar ketika melihat wajahnya. Awe menangis. Matanya terpejam dengan air mata yang berlinang.

“We so..sorry aku..aku nggak sengaja. Aku cuma bercanda tadi,” kataku panic sambil menghapus air matanya.

GOD… APA YANG BARU SAJA AKU LAKUKAN? AKU SUDAH MEMBUAT AWE NANGIS.

Awe membuka ke dua matanya dengan perlahan.

“Sorry,” ucapku lagi.

Nggak ada reaksi apa-apa dari Awe. Dia cuma melihatku dengan mata yang sembab.

“Sorry We. Kamu..kamu marah ya sama aku? Kalau kamu marah, kamu boleh kok mukul aku,” kataku sambil memegang tangannya lalu mengarahkannya ke pipiku.

Tapi bukannya memukul dia malah mencubit pipiku keras-keras.

“Aaaaaa…” rintihku menahan sakit.

Sedetik kemudian Awe melepaskan cubitannya lalu tertawa pelan. Aku menatapnya bingung, tapi Awe langsung menghindari tatapan mataku dengan memandang kearah lain. Akhirnya dia bangun dan duduk di sisi tempat tidur lalu mulai memainkan gitarku lagi.

****************************************************************************


~Alvin Pov~
“Kamu kenapa lagi sama Awe?” tanyaku pada Rico yang sedang menyembunyikan mukanya di kedua lipatan tangannya yang ada di tas meja kantin.

Rico mengangkat wajahnya, melihatku lalu menggelengkan kepalanya.

“Nggak ada apa-apa,” desisnya sambil membenamkan kepalanya lagi.

Aku menghela nafas melihatnya seperti ini.

Aku nggak tau apa yang terjadi pada mereka, tapi sudah hampir seminggu ini mereka bersikap aneh. Terutama Awe. Awe selalu menghindar dari Rico. Kalau nggak sengaja bertemu dan beratatapan mata dengan Rico, muka Awe langsung memerah dan dia buru-buru pergi menjauh. Pokoknya nggak seperti Awe yang biasanya deh. Si Rico juga gitu, dia malah terlihat memprihatinkan. Mukanya selalu kelihatan kusut dan nggak bersemangat. Aku denger dari Rico kalau Awe sudah nggak meminta dia buat ngajarin main gitar lagi karena Awe sudah minta bantuan temen sekelasnya. Aku nggak tau apa yang terjadi sama mereka, tapi moga-moga aja mereka nggak seperti ini terus-menerus.

Tiba-tiba bel tanda istirahat berakhir berbunyi. Rico beranjak dari duduknya dengan malas. Terlihat anak-anak yang lain juga masih terlihat enggan untuk kembali ke kelas.

“Ayo!” ajak Rico.
“Kamu duluan aja. Aku ke toilet dulu mau cuci tangan,” kataku sambil memberikan kotak makanku yang sudah kosong ke Rico.
“Ya udah,” kata Rico sambil menerima kotak makanku.

Setelah itu aku berjalan ke arah yang berlainan dengan Rico. Aku langsung masuk ke dalam toilet cowok yang nggak begitu jauh dari kantin.

BRRRUUUKKK…

Aku bertabrakan dengan seseorang yang keluar dari toilet.

“Alvin?!”

DEG

Suara ini..Janga.jangan..

“Pa..Pandu,” aku melihat Pandu yang kaget melihatku, “sorry,” lanjutku lagi.
“Hai tunggu!” kata Pandu sambil memegang pergelangan tanganku ketika aku mau kabur darinya.
“Kok main kabur gitu aja sih?!” kata Pandu. Tangannya masih mencengkeram pergelangan tanganku.
“Aku..aku mau kembali ke kelas,” kataku gugup.

Tiba-tiba Pandu menyeretku masuk ke dalam toilet tapi setelah itu dia langsung membawaku masuk ke dalam salah satu bilik WC.

“Ap..”
“SStttttt….” desis Pandu sambil menutup mulutku dengan tangannya.

Akhirnya aku terdiam menuruti perintahnya. Tiba-tiba terdengar langkah kaki memasuki toilet, lalu terdengar orang yang sedang buang air kecil. Nggak lama kemudian terdengar suara air dari wastafel mengalir pelan. Setelah itu aku mendengar suara langkah kaki yang berjalan meninggalkan toilet.

“Sudah pergi,” desis Pandu sambil menjauhkan perlahan tangannya dari bibirku.
“Si..siapa?” tanyaku bingung karena aku nggak melihat siapa yang masuk ke toilet tadi.
“Ya siapa lagi kalau bukan temenmu Awe,” jawab Pandu sambil keluar dari bilik WC.

Ah iya juga ya. Awe juga jadi suka deket-deket sama Pandu. Mungkin saja Pandu merasa terganggu atau gimana gitu. Pandu juga pasti sudah membenciku sekarang karena kejadian di dekat kolam tempo hari. Apalagi aku belum minta maaf ke dia.

“Vin.”
“AH IYA MAAF,” teriakku spontan karena kaget.
“Bu..buat apa minta maaf?” tanya Pandu bingung.

Seketika itu juga aku langsung menundukkan kepalaku. Aku nggak berani menatapnya.

“Buat..buat..ehm..ke..kejadian tempo hari di deket kolam,” jawabku hampir berbisik.
“…”
“…”
“…”

Nah kan dia diem saja. Dia pasti marah sama aku.

Aku makin menundukkan kepalaku dalam-dalam.

“Itu..itu nggak usah di pikir lagi. Lagian cuma nyium di punggung kan. Awe malah nyium pipiku.”
“Apa?” aku langsung mengangkat wajahku melihatnya dengan tatapan nggak percaya. Terlihat Pandu menutup mulutnya dengan tangan kanannya.
“Oh.. nggak..nggak kok nggak kayak yang kamu kira. Maksudku aku dan dia nggak punya hubungan kayak ‘gitu’,” jelas Pandu sambil membentuk tanda kutip dengan jarinya sewaktu mengucapkan kata ‘gitu’.
“Awe nyium aku buat ucapan terima kasih karena udah aku tolong,” katanya lagi.

Aku menggigit bibir bawahku. Nggak tau kenapa dadaku sakit mendengarnya. Padahal aku juga tau kalau tingkah Awe memang kayak gitu, tapi aku…. aku… aku nggak suka dengernya.

“Hai,” panggil Pandu membuyarkan lamunanku.
“Ah i..iya?” tanyaku.
“Balik ke kelas yuk!” ajak Pandu sambil beranjak meninggalkan toilet.

Untuk beberapa saat aku masih terdiam terpaku di tempatku berdiri, tapi akhirnya aku menyusul Pandu. Selama berjalan menuju kelas, aku dan Pandu sama-sama terdiam. Aku nggak tau apa yang di pikirkan Pandu, aku juga nggak tau apa yang sedang aku pikirkan sendiri. Entahlah aku sendiri juga bingung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar