Senin, 21 Maret 2016

Memories Of Him - Part 3

~Alvin Pov~
“Udah sampai,” kata Pandu padaku.

Aku langsung membuka kedua mataku dan segera turun dari motornya.

“Thanks Pan,” kataku sambil mengembalikan helm nya.
“Yoi. Kalau gitu aku balik dulu ya.”

Aku mengangguk.

Pandu langsung melajukan motornya lagi.

Ah jaketnya.

“PAAAN,” teriakku memanggil namanya, “jaketmu,” lanjutku lirih ketika menyadari Pandu nggak mendengar panggilanku dan terus menghilang karena kecepatan motornya.

Gimana ini? Kok jaketnya ada di aku lagi? Percuma dong kemarin aku ke tempat kosnya.

Aku menghela nafas sejenak lalu melangkahkan kakiku memasuki halaman rumahku.

DEG

Aku kaget ketika melihat mobil Rico sudah ada di halaman rumahku.
Gimana nih? Jangan-jangan Mama udah tau kalau aku nggak di rumahnya Rico semalam. Aduh.

Aku yang panic langsung berlari melewati sisi kanan rumahku. Tiba-tiba..

BRUUUUKKK…

Aku hampir terjatuh ketika merasakan tubuhku menabrak sesuatu.

“Pa..Pak Ujang,” kataku kaget ketika melihat Pak Ujang yang sudah terduduk di tanah.
“Maaf pak maaf nggak sengaja,” kataku panic sambil membantu Pak Ujang berdiri.
“Aduh duh duh den kok baru pulang? Hampir saja bapak jemput aden,” kata Pak Ujang sambil meringis menahan sakit.
“Maaf Pak, aku nggak bawa hp jadi nggak bisa kasih tau Bapak,” jawabku, “oh ya, Mama gimana? Mama….”
“Tenang aja den, Nyonya nggak tau kok kalau aden kemarin malam keluar.”

Bagus. Kalau gitu aku harus menyusup ke kamarku tanpa ketahuan. Setelah itu baru keluar dari kamar, seolah-olah aku baru bangun tidur.

“Makasih ya Pak dan maaf udah nabrak Pak Ujang tadi,” kataku sambil melanjutkan langkahku.

Setelah sampai di sisi kamarku, aku segera membuka jendela yang nggak terkunci lalu masuk kedalam kamarku. Aku langsung melepas jaket Pandu dan menyimpannya di lemari, setelah itu aku juga melepas baju yang sedang aku pakai dengan baju sehari-hari saat aku berada di rumah.

Saatnya berakting.





~Rico Pov~
“Jangan makan coklat banyak-banyak! Nanti kalau sakit gigi lagi gimana?!” kataku waktu ngeliat Awe makan coklat terus.

Awe cuma manyun-manyun.

Aku menghela nafas karena ngeliat tingkahnya ini. Kekanak-kanakan banget.

Sudah hampir setengah jam aku di ruang keluarga menunggu tuan muda rumah ini bangun. Sebenernya aku masih males ketemu Alvin, tapi tadi subuh-subuh banget Awe sms aku, nyuruh aku buat nganter dia ke sini. Katanya dia pengen pinjem game terbarunya Alvin. Mau nggak mau aku jadi nganterin dia ke sini. Rasanya aku terlalu memanjakan Awe. Ya mau gimana lagi, aku kan sayang banget sama dia. Awe sudah aku anggap kayak adikku sendiri. Manjanya itu yang bikin aku jadi sayang sama dia. Kalau wajah Alvin bagai malaikat yang polos, Awe adalah cowok baby face dengan semua keimutannya.

Selain itu ada yang menarik perhatianku dari Awe. Aku nggak tau apa pun tentang Awe. Padahal aku sudah berteman dengannya hampir tiga tahun. Yang aku tau, dia hidup berdua dengan Tante Lila. Awe nggak punya siapa-siapa lagi selain Tante Lila. Tapi Awe pernah bilang kalau Tante Lila bukan Mama nya. Aku juga penasaran dengan trauma yang dialaminya dulu. Yang lebih bikin penasaran darinya adalah sewaktu dia melihat bulan di malam hari. Wajah cerianya akan lenyap ketika melihat pengganti matahari itu. Kesedihan, kesepian dan kerinduan yang mendalam itulah yang terpancar dari wajahnya. Biarpun dia mencoba menutupinya dengan wajah cerianya tapi aku tau kalau itu semua cuma pura-pura.

Sebenarnya apa yang membuatmu sangat menderita?

Aku mengusap kepala Awe pelan.

Terlihat Awe tersenyum manis ke arahku. Aku pun membalasnya dengan senyuman.

“Pagi Ric, pagi We.”

Aku dan Awe langsung melihat ke sumber suara yang kami kenal baik itu. Terlihat Alvin sudah berdiri nggak jauh dari kami berdua.

“Sorry aku baru bangun,” katanya lagi sambil merapikan rambutnya yang acak-acakkan.
“Bagus ya, kami udah nunggu daritadi kamu baru bangun,” sindirku.
“Maaf deh,” kata Alvin, “tumben kalian ke sini pagi-pagi,” lanjutnya lagi.
“Nih Awe mau pinjem game mu yang terbaru,” jawabku malas.
“Kalau gitu masuk aja ke kamarku, biar Awe pilih sendiri game yang dia suka,” ajak Alvin sambil berjalan menuju ke kamarnya di ikuti aku dan Awe.

Setelah sampai di kamar Awe langsung jongkok di depan rak yang penuh dengan kaset gamenya Alvin. Dia sedang memilih-milih game yang dia suka. Sedangkan aku tiduran di tempat tidur Alvin yang empuk.

“Gimana? Ada yang kamu suka?” terdengar suara Alvin bertanya pada Awe.

Aku melirik ke tempat mereka berdua. Terlihat Awe sudah selesai memilih game yang dia inginkan. Setelah itu dia menunjukkannya pada Alvin.

“Ya udah ambil saja. Itu buat kamu,” kata Alvin sambil mengusap kepala Awe pelan.

Awe melebarkan matanya lalu tersenyum lebar kearah Alvin. Setelah itu dia menulis di notes yang selalu dia bawa lalu menyodorkannya ke Alvin.

“Sama-sama,” kata Alvin sambil tersenyum ke arah Awe.

Aku mendengus kesal. Alvin terlalu memanjakan Awe dan itu membuatku sedikit risih.

Awe kan adikku, harusnya aku dong yang manjain dia (seenakx sndri haha).

“Oh ya Ric. Ehm.. Aku boleh nggak pinjem dadamu?”

Aku langsung melebarkan mataku kaget. Seketika itu juga aku langsung bangun dari rebahanku.

“Jangan aneh-aneh,” kataku panic sambil membentuk tanda silang di depan dadaku dengan ke dua tanganku.

Terlihat dia sedikit syock dengan ekspresiku.

Harusnya aku yang syock, bukan dia. Aku nggak mau jadi korban lelaki.

“Aaaaaa… mak..maksudku bukan kayak yang kamu pikir. Aku cuma mau nempelin telingaku di dadamu sebentar aja. Cuma sebentar kok,” jelasnya dengan panic juga.
“OGAH,” tolakku tegas.

Terlihat Awe tertawa melihat tingkah kami. Sedangkan Alvin cuma menggigit bibir bawahnya dengan muka memerah.

“Ka..kalau gitu, aku pinjem dadanya Awe,” kata Alvin sambil mendekati Awe yang duduk di sofa panjang yang ada di dalam kamar.

Mataku makin melebar ketika ngeliat Awe membiarkan Alvin menempelkan telinganya ke dadanya.

“Hmm..kok berbeda ya?!” desis Alvin pelan.
“Ngapain sih kamu ini?!” tanyaku dengan geram sambil menjauhkan kepala Alvin dari dada Awe.
“A..aku cuma mau memastikan sesuatu aja,” jawabnya gugup.
“Memastikan apa???” tanyaku makin geram.
“Ng..bukan apa-apa,” jawabnya, “aku mandi dulu,” lanjut Alvin sambil ngacir ke kamar mandi yang ada di dalam kamar ini.

Aku langsung menghela nafas jengkel.

Sebenernya apa sih yang dia lakuin tadi?

Aku menatap Awe yang sekarang lagi asyik melihat-lihat game yang ada di tangannya. Mendadak aku jadi ingin melakukan hal yang sama dengan Alvin tadi. Ingin tau apa yang Alvin dengar dari dada Awe. Aku langsung berjongkok di depan sofa di mana Awe duduk. Dengan perlahan aku mendekatkan telingaku ke dadanya. Dia hanya diam saja saat aku menempelkan telingaku.

Deg Dug… Deg Dug… Deg Dug… Deg Dug…

“Nggak ada apa-apa selain detak jantung,” desisku sambil mengangkat wajahku ke atas.

DEG

Aku kaget ketika sadar kalau wajah kami begitu dekat karena Awe menundukkan kepalanya. Senyum Awe langsung merekah ketika mata kami bertemu. Hembusan nafasnya langsung menerpa wajahku. Nggak tau kenapa jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya. Aku perhatikan bibir tipisnya yang terus tersenyum ke arahku. Seperti di hipnotis, tanpa bisa aku cegah aku mulai mendekatkan wajahku pada wajahnya. Aku ingin menciumnya.

KRREEEEKKKK…

Tiba-tiba aku mendengar pintu kamar mandi terbuka, secepat kilat aku langsung menjauh dari Awe.

“A..apa?” tanyaku gugup ketika melihat Alvin berjalan keluar dari kamar mandi.
“Mau ngambil sabun. Sabunku habis,” jawabnya sambil berjalan kearah salah satu lemari kecil, mengambil isi ulang untuk sabun cair lalu kembali kearah kamar mandi.

Tiba-tiba Alvin menghentikan langkahnya ketika melihatku. Alvin memperhatikanku.

“Ke..kenapa?” tanyaku makin gugup.
“Wajahmu sedikit merah. Kamu demam?”
“Hah? Oh iya hahahaha aku..aku sedikit demam,” jawabku sambil memegang keningku.

Sumpah aku bingung banget. Gugup dan panic jadi satu. Campur aduk deh pokoknya.

“Minta obat demam sama Bi Um sana! Demam jangan di biarin loh!” kata Alvin masih memperhatikanku.
“Ya nanti aku minta. Kamu cepetan mandi sana!”

Akhirnya Alvin masuk ke kamar mandi lagi. Belum sempat aku mengatasi rasa kagetku tiba-tiba Awe menempelkan punggung tangannya ke keningku. Nggak sampai sedetik, dia menjauhkan tangannya dari keningku.

-Nggak demam kok- tulis Awe.
“Si..siapa juga yang demam?!” kataku galak sambil berjalan keluar kamar meninggalkan Awe yang kebingungan.

Setelah menutup pintu kamar aku langsung menyandarkan punggungku ke pintu.

Tadi itu aku ngapain sih? Kok bisa-bisanya aku mau nyium Awe?! Rico kamu udah gila!

Aku mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku sambil menghela nafas berkali-kali untuk menenangkan pikiranku, terutama jantungku.

****************************************************************************

~Alvin Pov~
Aku membereskan kamarku yang berantakan karena ulah Rico dan Awe. Mereka berdua pulang tanpa membereskan kamarku yang berantakan. Kaset game dan kaset lagu berantakan dilantai. Belum lagi bungkus makanan ringan yang bertebaran di sana-sini. Setelah kamarku rapi dan lantaiku bersih, aku terduduk di tempat tidurku. Aku capek.

Setelah beberapa menit aku terduduk di tempat tidur, aku akhirnya berdiri lagi. Aku berjalan ke arah lemari baju, membukanya lalu mengambil jaket. Jaketnya Pandu.

Gimana ya ini? Aku kembaliin sekarang atau besok? Tapi gimana kalau dia butuh jaket ini sekarang?!

Aku melihat jam yang sudah menunjukkan pukul dua siang. Setelah berfikir agak lama, akhirnya aku memutuskan untuk mengembalikan jaketnya sekarang. Dengan cepat aku menyambar hp, dompet dan inhaler, setelah itu aku keluar kamar lewat jendela yang tadi pagi aku masuki. Aku langsung berjalan keluar halaman rumah dan langsung berjalan agak jauh dari rumahku. Aku nggak minta di anter Pak Ujang karena Pak Ujang pasti nggak mau ngater aku lagi. Aku menaiki taxi yang lewat dan langsung menuju tempat kos Pandu.

Nggak butuh waktu banyak untuk sampai di tempat kos Pandu. Setelah membayar dan turun dari taxi, aku langsung memencet bel tempat kos itu. Terlihat seorang cowok berjalan keluar menghampiriku. Cowok ini berbeda dengan cowok-cowok yang aku lihat kemarin. Cowok ini kemungkinan masih SMP karena memakai celana SMP. Wajahnya culun banget dengan kacamata tebal dan rambut yang di sisir klimis.

“Cari siapa?” tanyanya tanpa membuka pintu pagar.
“Pandu,” jawabku singkat.
“Dia lagi kerja,” kata cowok itu dengan muka tanpa ekspresi. Benar-benar nggak ramah.

Kerja? Pandu kerja?

“Ehm..kalau boleh tau dia kerja di mana ya?”
“Bengkel. Kamu jalan aja ke kanan, ada belokan kan itu, ya belok aja,” jelasnya masih tanpa ekspresi.

Aku memperhatikan jalan yang dia maksud. Memang ada belokan di ujung sana. Tempatnya juga nggak terlalu jauh.

“Makasih ya,” kataku.

Setelah itu aku berjalan ke tempat yang dia maksudkan tadi. Ternyata benar apa yang dia katakan. Nggak jauh dari belokan ada sebuah bengkel. Bengkelnya nggak terlalu besar, tapi ramai banget. Setelah aku mendekat dan masuk ke area bengkel itu mataku langsung mencari sosok Pandu. Terlihat Pandu sedang sibuk dengan salah satu motor di depannya. Dia hanya memakai celana pendek selutut dengan bertelanjang dada. Di keningnya melingkar bandana dari kain yang berwarna hitam. Kesannya keren banget. Tanpa sadar aku malah terus memperhatikannya.

“Ada yang bisa kami bantu?”

Aku langsung melihat kearah suara yang ada di sisi kananku. Terlihat seorang cowok bertampang preman sedang tersenyum ramah ke arahku. Kenapa aku menyebutnya bertampang preman? Itu karena dari style nya. Rambutnya di cat merah menyala padahal rambutnya sangat cepak. Dia juga memakai anting di pojok kiri bibir bawahnya dan dua anting hitam di kedua telinganya. Tato nggak jelas juga menghiasi lengan kirinya. Tubuhnya yang tinggi, besar, berotot menambah kesan preman itu semakin nyata.

“Jaket..” desisnya.

Aku langsung sadar apa yang dia maksud.

“Ah.. oh.. ini jaketnya Pandu. Aku ke sini mau ngembaliin jaketnya Pandu,” jelasku sambil melepas jaket Pandu dari tubuhku.
“Oh ya..ya aku ngerti.. jadi kamu temennya Pandu?” tanyanya dengan terkekeh pelan, aku mengangguk.
“Ya udah, sebentar ya,” katanya sambil terus menatapku, “PAN, ADA YANG NYARIIN KAMU NIH,” teriak cowok itu tanpa melepas pandangannya dariku.

Pandu yang mendengar teriakan itu langsung melihat kearahku. Sedetik kemudian dia berjalan ke arahku dengan wajah bingung. Sedangkan cowok bertampang preman tadi pergi meninggalkan kami berdua.

“Kok kamu ada di sini?” tanya Pandu bingung.
“Aku mau ngembaliin jaketmu,” jawabku sambil menundukkan kepalaku.

Nggak tau kenapa aku jadi malu bertatapan mata dengannya.

“O.. terus kamu ke sini naik apa? Kok mobilmu nggak keliatan?”
“Aku tadi naik taxi,” jawabku pelan.
“Eeemmm.. kalau gitu tunggu bentar ya, sebentar lagi jam istirahatku. Aku anter kamu pulang,” kata Pandu sambil membenarkan ikat bandana’nya.
“Aku bisa pulang sendiri.”
“Nggak..nggak usah, aku anter aja,” katanya, “kamu tunggu aja di dalem sana,” lanjutnya lagi sambil menunjuk sebuah ruangan.
“Tapi…”

Belum sempat aku melanjutkan kalimatku, Pandu sudah berjalan meninggalkanku.

Akhirnya aku cuma bisa berjalan pasrah ke arah ruangan yang dia tunjuk tadi. Ternyata ruangan itu adalah ruang tunggu untuk pelanggan bengkel ini. Ruangan itu sangat bersih dengan lantai keramik berwarna putih.

“Oh kamu, ayo duduk!”

Aku langsung melihat ke sumber suara, ternyata cowok bertampang preman tadi. Dia duduk di belakang meja kasir yang ada di pojok ruangan.

“Ah iya.”

Aku pun langsung duduk di salah satu sofa yang di sediakan di dalam ruangan.

“Lagi nunggu Pandu ya?” tanya cowok itu sambil berjalan menuju kulkas yang ada di samping kananku.
“Iya mas,” jawabku kikuk.
“Sabar ya, bentar lagi juga jam istirahatnya,” kata cowok itu, “nih minum!” lanjutnya lagi sambil menyodorkan sebotol fanta ke arahku.
“Thanks,” kataku sambil menerima fanta yang dia sodorkan.

Aku nggak langsung meminumnya tapi meletakkannya di meja yang ada di depanku.

“Kenalin aku Aan,” kata cowok itu sambil menyodorkan tangannya ke arahku.
“Alvin,” aku menyambut uluran tangannya.
“Udah lama ya temenan sama Pandu?” tanya cowok bernama Aan itu.

Dia sekarang duduk di sofa yang berseberangan denganku.

“Udah tiga tahun,” jawabku, “kami temen sekolah, ya biarpun baru kemarin aku akrab sama dia,” tambahku lagi.

Kalau seseorang sudah menginap di tempat temennya bisa di sebut akrab kan?! Bisa kan?! Rasanya bisa, karena aku juga pernah tidur di rumah Rico, dan kami sering di bilang akrab.

“Oh temen sekolah, pantes aku nggak pernah liat kamu. Lagian emang nggak ada sih temen Pandu yang modelnya kayak kamu gini.”

Haaahhh… ‘model’??? Emang modelku kayak gimana sih?? Perasaan modelku ya biasa aja deh.

Akhirnya aku cuma bisa tertawa pelan.

“Sebenernya Pandu itu anaknya baik, cuma dia salah menempati tubuh aja,” katanya lagi sambil terkekeh.
“Maksudnya?” tanyaku nggak ngerti.
“Sebaik apapun orangnya tapi kalau orang itu bertampang preman tetep aja orang-orang akan menganggapnya preman. Manusia itu cuma bisa melihat kekurangan orang lain tanpa bisa melihat kekurangan diri sendiri. Bener nggak??”

Aku tertegun mendengar kata-katanya. Ya emang bener yang namanya manusia itu bisanya cuma melihat kekurangan orang lain, termasuk aku. Dulu aku juga cuma melihat tampang preman Pandu dan nggak melihat kebaikan yang ada di dirinya. Sekarang aku malah merasa beruntung sudah mengenalnya, dan aku ingin mengenalnya lebih jauh lagi. Aku ingin lebih akrab dengannya.

“Iya bener,” kataku lirih, “oh iya, kenapa Pandu kerja? Dia kan masih SMA.”
“Ya..ya buat cari uang,” jawab Aan sedikit bingung, “kamu nggak tau ya?”
“’Tau’ apa?” tanyaku balik.
“Pandu kan nggak punya orang tua, makanya dia kerja buat cari uang.”
“Nggak punya orang tua??” aku melebarkan ke dua mataku kaget.
“Iya. Dia di buang sewaktu masih bayi. Dulu dia tinggal di Panti Asuhan, tapi waktu kelas delapan dia memutuskan untuk meninggalkan Panti dan hidup mandiri.”
“Aku..aku baru tau,” desisku.

Jadi foto-foto tua yang ada di kamarnya itu foto ketika dia masih di Panti??

“Sorry lama, yuk aku anter pulang,” kata Pandu yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan tunggu.

Bandana yang dia kenakan di keningnya tadi udah di lepas dan dia juga sudah memakai kaos.

“Ah iya,” kataku sambil langsung meminum fanta pemberian Aan sampai habis.
“An aku anter temenku dulu ya,” kata Pandu pada Aan.
“Yoi.”
“Aku pulang dulu. Makasih minumnya,” pamitku pada Aan.
“Kapan-kapan main ke sini lagi ya! Kayaknya ada yang semangat nih kalau kamu dateng,” kata Aan sambil terkekeh.
“Eh? Siapa?”
“Udah nggak usah di dengerin! Orang sinting aja di dengerin,” kata Pandu yang langsung menyeretku keluar.

Ternyata di luar ruang tunggu sudah terparkir motor Pandu.

“Ayo naik!”
“Oh ya ini jaketmu,” kataku sambil menyodorkan jaketnya.
“Kamu pakai aja dulu.”
“Nggak..nggak usah. Nanti malah kebawa aku lagi,” tolakku.

Sejenak dia hanya melihat kearah jaketnya tapi nggak sampai sedetik kemudian dia mengambil jaket itu lalu memakainya.

Aku pun naik ke motornya. Tanpa ragu-ragu aku mulai melingkarkan ke dua tanganku ke pinggangnya dan menyandarkan kepalaku ke punggungnya. Rasa nyaman yang nggak aku dapat dari Awe tadi pagi, aku dapat lagi saat bersamanya. Aku memejamkan kedua mataku untuk menikmati rasa itu. Sedetik kemudian aku merasakan Pandu mulai melajukan motornya meninggalkan bengkel.

****************************************************************************

~Rico Pov~
Sudah hampir sebulan ini aku menghindari Awe. Sejak dari rumah Alvin dulu nggak tau kenapa dadaku jadi ber dag dig dug ria kalau deket-deket sama Awe. Kalau dia di dekatku aku jadi nggak focus sama apa yang sedang aku kerjain saat itu. Rasanya aku jadi kacau. Terakhir aku kayak gini ketika aku suka sama Cheilla. Tapi itu udah dua tahun yang lalu. Hubunganku dengannya sudah berakhir. Dia mutusin aku karena dia menilai aku lebih memperhatikan Alvin daripada dirinya. Ya mau gimana lagi, waktu itu kondisi tubuh Alvin sangat lemah dan butuh perhatian ekstra.

Tapi aku nggak menduga kalau perasaan yang dulu pernah muncul saat aku menyukai Cheilla sekarang harus muncul lagi ketika berhadapan dengan Awe. Kenapa harus dia? Kenapa harus Awe? Awe itu cowok. Lagian dulu aku nggak kayak gini. Dulu aku cuma merasa Awe cute, lucu dan gemesin. Aku yang cuma jadi seorang adik ketika di rumah bisa menjadi seorang kakak jika bersamanya. Tapi perasaan yang aku rasain sekarang berbeda. Kenapa…..

“Haaaaaaaahhhhhh…..”

Loh siapa yang menghela nafas tadi? Aku belum menghela nafas kok.

Aku langsung melihat ke samping kananku.

Ah Alvin. Aku lupa kalau daritadi dia di sampingku. Aku lupa kalau aku sedang duduk di tepi lapangan. Aku juga lupa kalau sekarang masih pelajaran olah raga. Ya biarpun olah raganya bertema bebas dan kami hanya duduk-duduk di tepi lapangan saja.

Terlihat Alvin menopangkan dagunya pada kedua lututnya yang di lipat, sedangkan ke dua tangannya mendekap lututnya erat-erat. Matanya menatap lurus ke tengah lapangan. Aku baru sadar kalau akhir-akhir ini dia juga jadi lebih pendiam dari biasanya.

“Kenapa kamu? Ada masalah?” tanyaku sambil meluruskan ke dua kakiku.
“Yaaahh..nggak bisa di bilang masalah sih,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari tengah lapangan, “aku cuma bingung,” lanjutnya lagi.
“Bingung? Bingung kenapa?”
“Aku ingin lebih akrab dengannya tapi aku nggak tau caranya.”
“Dengan siapa?”
“Pandu.”
“PANDU????”
“Sssttttt….jangan keras-keras!!” kata Alvin sambil membekab mulutku dengan dua tangannya, tapi langsung aku singkirin.
“Gila kamu! Punya pikiran dari mana kamu kok bisa-bisanya mau ngakrab’in Pandu???” aku melihatnya dengan pandangan tak percaya.

Gimana bisa dia berpikiran koyol seperti itu? Sinting.

“Pandu nggak seperti yang kamu dan anak-anak kira. Dia baik banget.”
“Baik dari Hongkong?! Preman kayak dia nggak pantes temenan sama kamu Vin,” kataku penuh emosi.

Aku nggak nyangka dia bisa sebego ini.

“Dia bukan Preman. Dia baik.”
“Terus kamu dapat kesimpulan dari mana kalau dia baik?”
“Aku..aku..”
“Nah kan nggak bisa jawab,” sindirku, “tuh liat, anak-anak mau main sepak bola sama dia karena mereka takut nolak ajakannya. Mereka takut di hajarnya. Pandu orangnya mengerikan tau. Mending kamu nggak usah berurusan sama dia,” lanjutku lagi sambil menunjuk kearah Pandu.

Alvin terdiam setelah aku menunjuk kea rah pandu. Tapi sedetik kemudian senyum lebar tercetak di bibirnya.

“Ah bener juga. Aku mau ikut sepak bola aja biar akrab sama Pandu,” kata Alvin sambil beranjak dari duduknya.

Aku yang panic langsung menarik tangan kirinya sampai dia terduduk lagi.

“Sinting kamu. Nggak usah!! Ingat tubuhmu!!” omelku mulai emosi.
Udah tau nggak kuat olah raga berat malah nekat mau main sepak bola.

Akhirnya dia cuma terduduk dengan muka masamnya.

“Bener-bener deh,” desisku, “kamu dan Awe itu sama aja, sama-sama susah di kasih tau.”
“Ah ya Awe, denger nama Awe aku jadi ingin tanya sesuatu ke kamu.”
“Tanya apa?”
“Aku liat akhir-akhir ini kamu kayak menghindar dari Awe. Emang ada masalah apa sama dia?” tanya Alvin sambil menatapku.
“Hah? Oh nggak..nggak ada masalah apa-apa kok,” jawabku gugup karena di tanya mendadak seperti itu.
“Nggak usah bohong. Kliatan banget low,” kata Alvin.
“Ya..aku..aku lagi suka sama cewek. Ya sama cewek, bukan sama cowok. Rencananya aku mau nembak cewek itu dan aku nggak mau kejadian waktu sama Cheilla ke ulang lagi. Aku nggak mau cewek itu ngerasa di nomor duakan. Makanya aku agak jaga jarak sama Awe.”

HAAHHH???? JAWABAN APA ITU??? RICO NGACO!!! O’ON!!!! BLO’ON KAMU!!!

“Kok kamu nggak jaga jarak sama aku?? Kalau kamu jaga jarak sama Awe aja kasian Awe nya kan.”

Mampus. Mau jawab apa aku sekarang???

“Ya…ya….it”
“Terus siapa cewek yang kamu suka itu?” tanya Alvin memotong jawabanku.

WEEEWWWWW???? AKU NGGAK KEPIKIRAN DIA BAKAL TANYA-TANYA LAGI >.<

“Aaaaaani. Ya Ani hahaha.”

HAH??? SIAPA LAGI ITU ANI?? AKU NGGAK KENAL YANG NAMANYA ANIIIIIII…AARRGGHHH…..

“Ani? Anak sini atau bukan?”
“Se..sekolah di SMAK Putri sebelah sekolah kita ini.”

HAAAHHHHHH.. EMANG ADA CEWEK YANG NAMANYA ANI DI SANA??? AKU SENDIRI AJA NGGAK TAU. NGACO KAMU RIC!!!

“Kapan rencana nembaknya?” tanya Alvin antusias.
“Nan..ti iya nanti.”

‘NANTI’????? MAU NEMBAK SIAPA KAMU RIC???? NEMBAK BURUNG YANG NAMAYA ANI??? AAAARRRGGHHHH..KACAUUUUUU….

“Wah semangat ya. Semoga di terima. Tapi setelah ini jangan cuekin Awe lagi ya, kasian.”

Aku cuma tersenyum kecut menanggapi kata-katanya.

Dasar bego kamu Ric..Ric..Bego kok di pelihara sendiri. Kenapa aku malah berbohong kayak tadi?! Haaadddduuuhhhh…

Sewaktu aku masih mbego-begoin diri sendiri, tiba-tiba bel istirahat berbunyi. Temen-temen dari kelasku yang masih ada di area lapangan langsung membubarkan diri. Ada yang ke kantin, ada yang kembali ke kelas untuk ganti baju dan sebagian lagi ada yang beristirahat dengan duduk di sisi lapangan sama seperti aku dan Alvin.

“SINI!!” teriak Alvin, aku langsung mengikuti arah pandangnya.

DEG

AWE.

Terlihat Awe berjalan ke tempat kami. Nggak sampai lima detik dia sudah berdiri di depanku dan Alvin. Aku berusaha nggak melihatnya. Terutama nggak melihat wajahnya. Mataku lebih memilih melihat ke tengah lapangan yang sudah mulai sepi. Tapi tiba-tiba mataku harus beralih ke notes yang dia sodorkan ke arahku.

Apaan sih?

Aku segera membaca tulisan yang ada di notes itu.

Isinya:
-Ajari aku gitar-
“Gitar?” tanyaku bingung, “buat ap….” kalimatku terpotong ketika aku mengangkat wajahku dan langsung sadar kalau wajahnya udah sangat dekat dengan wajahku.

Spontan aku memundurkan kepalaku ke belakang.

DUUGGGG…

“AAAUUUU…” rintihku ketika kepalaku sukses membentur dinding di belakangku.
“Ya ampun Ric. Sakit ya?” tanya Alvin sambil mengusap-usap bagian belakang kepalaku yang terbentur.

Aku cuma mengangguk sambil ikut mengusap-usap kepalaku.

-Makanya hati-hati- tulis Awe.

Ya ini gara-gara kamu bego. Ck…

“Yakin mau belajar gitar?” tanya ku pada Awe yang kini sudah duduk di sisi kiriku.

Aku terpaksa duduk di samping Awe dengan debaran jantung yang nggak karuan. Pengennya sih agak geseran dikit duduknya tapi di samping kananku ada Alvin, jadi nggak bisa gerak deh.

-Yakin- tulisnya.

Dia menarik lagi notesnya lalu nggak sampai sedetik notes itu sudah ada di depanku lagi.

-Ada tes menyanyi –
“Wah.. akhirnya suara indahmu keluar juga,” goda Alvin ke Awe.

Terlihat Awe tersenyum malu-malu.

Hmm..bener juga ya. Berarti ini yang ke tiga kalinya Awe mengeluarkan suaranya. Dulu waktu kelas satu dia pernah mengeluarkan suaranya karena harus bermain drama untuk pelajaran bahasa Indonesia. Waktu itu dia berperan sebagai pimpinan bajak laut hehe..bener-bener nggak pantes. Terus yang ke dua dia terpaksa mengeluarkan suaranya ketika di suruh menerangkan jawaban tugasnya di papan tulis. Yah itu cuma waktu kelas sepuluh doang aku dan Alvin bisa mendengar suaranya. Sejak penjurusan kelas sebelas, kami terpisah. Aku dan Alvin masuk IPA, sedangkan dia masuk IPS.

-Gimana Ric? Kalau nanti malam mulai latihan di rumahku gimana? Karena minggu depan aku harus maju. Rumahku sepi kok Ric-

Aduh gimana ya?? Itu artinya aku harus berduaan dengannya di rumah yang sepi. Nggak ada siapa-siapa di rumahnya. Cuma aku dan dia. Berduaan saja dengannya. Berduaan. Berduaan. Berduaan. Berduaan…Pegang tangannya…Pegang tangannya…Pegang tangannya…ci..ci…ci…cium…ciummm….

“Iicc…Riiiccc…RICOOOO!!!!”
“CIUMAN,” teriakku kaget, tapi aku langsung tersadar apa yang baru saja aku teriakkan.

APA YANG BARUSAN AKU PIKIRIN??? APA YANG SUDAH AKU TERIAKKAN TADI??!!! WAAAAAAA…..

“Si..siapa yang ciuman?” tanya Alvin bingung, sedangkan Awe cuma melihat bingung ke arahku.
“Hah?? Oh nggak.. nggak.. itu tadi aku liat ada yang ciuman di pojok sana tuh pojok sana,” aku ngeles sebisaku.

Alvin dan Awe langsung melihat kearah yang aku tunjuk secara sembarangan tadi.

“Nggak ada yang ciuman ah. Sepi gitu.”
“Oh berarti aku salah liat hahahahaha…”

Tenang-tenang Ric. Jangan bikin kacau lebih dari ini. Ambil nafas dalam-dalam. Hembuskan. Nah gitu. Santai Ric. Santai…sebisa mungkin jangan menatapnya. Jangan menatapnya. Jangan menatapanya. Jangan menatapnya. Jangan menatapnya. Tataplah. Tataplah. Tataplah matanya.. Ta..tap….mata..nya…

Aku tertegun ketika menatap ke dua mata Awe. Matanya yang kecil dan membulat itu mempunyai warna hitam pekat di tengah bola matanya. Seperti lubang hitam. Hitam pekat yang menarik apa saja yang ada di dekatnya dalam lingkaran mautnya. Aku tertarik pesonanya yang mematikan itu. Sangat tertarik untuk mendekatinya. Lebih dekat lagi dan lagi.

Tiba-tiba aku merasakan tubuhku di tarik ke belakang.

“Wajahmu terlalu dekat Ric. Kamu mau nyium Awe ya?!”

Aku membulatkan mataku lebar-lebar menatap Awe yang kini wajahnya sedikit memerah.

“Se..seberapa dekat wajah kami tadi?” tanyaku pada Alvin tapi mataku masih tertuju pada Awe.
“Dekat banget. Gerak dikit aja udah nempel bibir kalian.”

Ok cukup!! Kamu udah sinting Ric. Lebih baik sekarang kamu jauhin dia daripada jadi sinting selamanya dan berakhir di rumah sakit jiwa.

Aku menghela nafas panjang lalu berdiri dari dudukku.

“Sorry We aku nggak bisa ngajarin kamu main gitar. Aku sibuk,” kataku dengan nada sedatar mungkin.

Sedetik kemudian aku melangkahkan kakiku meninggalkan mereka berdua yang kebingungan. Yah mungkin aku emang harus menjauhi Awe untuk sementara waktu. Aku bisa beneran gila kalau terus-terusan di dekatnya seperti tadi. Apa mungkin aku udah gila ya?? Haduh nggak tau deh >.<

****************************************************************************

~Alvin Pov~
“Yakin nggak bareng?” tanya Rico yang sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
“Ng..nggak. Aku nanti di jemput kok,” jawabku.
“Oh ya udah kalau gitu, aku duluan ya,” kata Rico sambil berjalan meninggalkanku.

Baru juga Rico keluar kelas, Awe datang ke kelasku. Dia langsung mengeluarkan notesnya, menulis sesuatu di sana lalu menyodorkan notes itu ke arahku.

-Rico mana?-
“Udah pulang,” jawabku, “barusan,” lanjutku.

Terlihat wajahnya langsung lesu. Dia menarik lagi notesnya, menulis lagi lalu menyodorkan ke arahku.

-Ini cuma perasaanku aja atau beneran ya, rasanya Rico ngejauh dari aku- tulisnya.

Aku menatapnya simpati. Aku nggak mungkin bilang ke Awe kalau Rico ngejauh dari dia karena lagi deket sama cewek.

“Cuma perasaanmu aja kok. Rico nggak mungkin ngejauhin kamu,” kataku sambil mengusap kepalanya pelan.
-Semoga- tulis Awe lagi.
“Hai udah dong jangan cemberut gitu,” aku menyubit ke dua pipinya pelan.

Akhirnya Awe tersenyum biarpun dengan senyum masam.

-Aku pulang dulu-
“Nggak bareng aku?” tanyaku, Awe menggeleng pelan lalu menyodorkan notesnya lagi.
-Aku bawa motor-
“Oh ya udah hati-hati ya,” kataku sebelum Awe beranjak pergi.

Akhirnya di kelasku cuma ada aku dan dua temen yang belum keluar kelas. Setelah selesai memasukkan semua bukuku ke dalam tas, aku berjalan menyusuri koridor menuju halaman depan sekolah. Tapi sesampainya di halaman depan, mobil jemputanku belum nongol. Karena malas nunggu di depan akupun masuk kembali ke dalam sekolah. Aku berjalan-jalan menyusuri lorong-lorong kelas yang sudah mulai sepi. Melihat-lihat mading dan melihat-lihat anak sekolahku yang masih belum pulang bermain basket di lapangan. Rasanya aku seperti mengalami dejavu.

Ah ini sama seperti dulu. Awal aku mengenal pandu. Tapi bedanya, sekarang KepSek nggak menyuruhku memanggil Pandu.

Dengan perlahan-lahan aku mulai melangkahkan kakiku menuju kebun. Aku terus tersenyum mengingat betapa begonya aku. Pandu pasti nggak ada di tempat itu lagi. Nggak ada kebetulan sampai dua kali. Tapi nggak tau kenapa kakiku nggak bisa berhenti berjalan.

Nggak butuh waktu lama aku sudah sampai di kebun belakang sekolah. benar dugaanku. Di sini sepi seperti biasa. Aku harus melewati green house untuk sampai di kolam ikan tempat aku tenggelam dulu. Banyak bunga-bunga cantik yang di tanam di sini.

“Pandu,” desisku ketika melihat Pandu berdiri di sisi kolam ikan.

Mendadak jantungku berpacu lebih cepat ketika melihat sosoknya.

Ya Tuhan gimana ini? Aku harus gimana? Apa sebaiknya aku menyapanya? Tapi aku harus ngomong apa ke dia setelah itu?

Jujur aja, sejak aku mengembalikan jaketnya, kami nggak pernah berbicara lagi. Aku nggak pernah ke kos atau ke tempat kerjanya, atau berbicara dengannya di sekolah. Pandu juga nggak berniat ngajak bicara aku duluan. Aku tau dunia kami sangat berbeda. Tapi aku ingin lebih akrab dengannya. Aku ingin tau lebih banyak tentangnya. Tapi aku takut kalau dia terganggu dengan niatku ini.

Apa yang harus aku lakuin agar aku bisa lebih akrab dengannya?!

“Alvin?!”

Aku kaget ketika pandu menyadari kedatanganku. Terlihat Pandu berjalan mendekat ke arahku. Nggak tau kenapa aku menjadi makin panic.

Tenang dong Vin. Bukannya ini yang kamu inginkan. Berbicara dan akhirnya bisa akrab dengannya.

“Kok belum pulang?” tanya Pandu yang sekarang udah ada di depanku, aku langsung menundukkan kepalaku.
“Aku..aku nunggu jemputan,” jawabku gugup.
“Mau aku anter?”
“Apa?” aku langsung mengangkat wajahku melihatnya.
“Kamu mau aku anter pulang apa nggak?” ulangnya lagi.
“Ng..nggak usah, sebentar lagi aku juga di jemput,” tolakku.

Tapi aku langsung menyesali kata-kataku barusan. Harusnya aku terima aja tawarannya, sapa tau aku jadi lebih akrab sama dia.

“Hmm.. Ya udah. Oh ya mau kasih makan ikan nggak?”
“Kasih makan ikan?”
“Iya,” jawabnya, “sini ikut aku!”

Pandu mulai berjalan lagi ke arah kolam dan aku mengikutinya dari belakang. Setelah sampai di sisi kolam, Pandu langsung menyodorkan kotak kecil ke arahku.

“Itu makanan ikan. Ambil sedikit lalu taburkan ke kolam.”
“Se..seperti ini?” tanyaku sambil mempraktekkan kata-katanya.

Nggak sampai sedetik ikan-ikan bermunculan di permukaan air untuk memakan makanan ikan yang aku tabur tadi.

“Ikannya muncul,” desisku.

Aku melangkahkan kakiku lebih dekat ke kolam untuk melihat ikan-ikan itu, tapi aku merasakan kakiku menginjak bebatuan yang licin. Belum sempat aku mundur, keseimbanganku mulai hilang.

“Ups..” tiba-tiba sebuah tangan melingkar di perutku.

Sedetik kemudian tangan kekar berkulit coklat itu menarikku ke belakang.

Aduh gimana ini tangannya ada di perutku. Aaaaaaa…. Dadaku jadi sakit karena debarannya terlalu kencang.

“Hati-hati dong,” kata Pandu sambil melepaskan tangannya.
“Maaf,” kataku pelan sambil menundukkan kepalaku dalam-dalam.
“Ya udah, kamu duduk aja di sana, biar aku yang ngasih makan ikannya,” kata Pandu sambil menunjuk pohon yang letaknya dekat dengan kolam.

Pohon yang dia pakai bersandar waktu tidur dulu.

Dengan perasaan kacau aku mulai berjalan kearah pohon itu dan duduk di sana. Aku berusaha menenangkan debaran jantungku yang aneh. Rasanya jantungku bermasalah. Harus aku periksakan ke dokter secepatnya.

Aku melihat Pandu yang masih menaburkan makanan untuk ikan. Dia dengan sabar menaburkan makanan ikan itu ke dalam kolam.

“Kenapa kamu selalu ke sini waktu pulang sekolah?” tanyaku.
“Karena aku ikut ekstrakulikuler bercocok tanam,” jawabnya tanpa melihatku.

Aku baru tau kalau dia ikut ekstrakulikuler ini. Aku kira dia ikut basket atau sepak bola.

“Kenapa nggak ikut basket atau sepak bola aja? Bukannya di sini nggak keren dan cuma bikin badan kotor?” aku menanyakan apa yang aku pikirkan.

Pandu memutar tubuhnya menghadap ke arahku, sedetik kemudian senyum tipis tercetak di bibirnya.

“Aku suka bercocok tanam,” jawabnya sambil berjalan ke arahku lalu duduk di samping kananku, “selain itu, kalau lagi musim panen, aku boleh membawa pulang sayur-sayuran dan buah-buahan yang ada di sini,” lanjutnya lagi sambil menepuk-nepukkan ke dua tangannya untuk menghilangkan sisa-sisa makanan ikan yang menempel.

Ah iya aku hampir lupa. Dia kan nggak punya orang tua yang setiap saat bisa memberinya apa saja.

Mendadak aku menjadi malu dengan diriku sendiri. Aku sering menyia-nyiakan dan nggak menghargai apa yang aku punya, sedangkan Pandu harus bekerja keras untuk memperoleh apa yang aku sia-siakan.
Menurutku Pandu itu baik dan keren, tapi kenapa anak-anak di sekolah ini nggak ada yang mau berteman dengannya?? Aku yakin gossip tentang dia itu bohong.

“Anu.. gossip tentang kamu itu bohong kan?!” tanyaku ingin tau.

Pandu melihat ke arahku sambil mengernyitkan dahinya.

“Gossip yang mana?”

Aku terdiam bingung ketika dia bertanya balik seperti itu. Habis gossip tentang dia banyak sih. Aku yakin itu semua cuma gossip. Ya semoga aja (ini nmax g yakin Vin –a).

“Luka di pelipismu itu gossipnya karena berkelahi dengan polisi. Bener nggak?” tanyaku hati-hati.
“Oh ini?” tanya Pandu sambil memegang pelipisnya, “nggak lah, ini cuma terbentur ujung meja yang ada pakunya.”

Nah kan apa yang aku bilang, Pandu nggak mungkin bertengkar dengan polisi.

“Te..terus gossip kalau kamu pakai narkoba dan sejenisnya itu gimana?” tanyaku lagi.
“Itu cuma gossip. Aku nggak pernah mengang benda haram itu,” jawab Pandu dengan terkekeh pelan.
“Kalau gossip tentang kamu yang membantai anak dari sekolah lain seorang diri itu juga bohong kan?!”
“Ehmm.. kalau itu nggak semuanya gossip.”
“A..apa??” tanyaku nggak percaya.

Jadi gossip tentang dia bunuh orang itu jangan-jangan….

“Aku memang membantai anak-anak dari sekolah lain yang totalnya ada sekitar 10 orang, tapi aku nggak sendiri. Aku di bantu teman-temanku.”
“Ke..kenapa sampai berkelahi?” tanyaku.
“Mereka yang cari gara-gara duluan. Salah satu temanku di keroyok sama mereka. Aku cuma ngebales aja,” jawabnya.
“Gossip kalau kamu bunuh…”
“Jelas gossip kan,” jawabnya cepat memotong kalimatku. Aku tertawa pelan.
“La..lalu gosiip kalau kamu mukulin guru itu…gi…gimana?” tanyaku hati-hati.

Aku takut kalau itu bukan gossip, karena ada beberapa saksi mata yang mengetahui kejadian itu.

Tiba-tiba Pandu tertawa lebar. Aku yang bingung cuma bisa terdiam melihat tingkahnya itu.

“Itu juga gossip,” jawabnya.
“Gossip? Ta..tapi ada saksinya.”

Pandu menghela nafas lalu melemparkan pandangannya ke tengah kolam.

“Waktu itu aku datang ke sekolah pagi-pagi. Saat di pintu gerbang sekolah aku melihat ada seorang guru yang berjalan kaki sambil menuntun sepeda motornya. Tiba-tiba guru itu terjatuh tepat di depanku. Aku yang panic langsung turun dari motorku dan membantunya berdiri. Tapi aku di kagetkan dengan suara sepeda motorku yang terjatuh karena penyangganya nggak pas. Spontan aku melihat kearah motorku itu dengan tetap membantu guru itu berdiri. Belum reda kagetku tiba-tiba terdengar suara teriakan dari berbagai arah. Aku langsung tersadar dari rasa kagetku dan melihat ke guru tadi. Ternyata hidung guru itu mimisan, ya mungkin karena hidungnya terbentur ketika dia jatuh. Aku juga baru sadar kalau aku memegang kerah bajunya, bukan pundaknya,” jelas Pandu panjang lebar, “lalu setelah itu muncul gossip kalau aku sudah mukul guru,” lanjutnya lagi.
“Ja..jadi kamu nggak mukul guru?”
“Ya nggak lah. Kalau aku beneran mukul guru aku sudah di keluarkan dari sekolah ini.”
“Ah iya juga ya. Tapi kenapa kamu nggak jelasin ke anak-anak kalau itu semua cuma salah paham?”
“Udah tapi tetep aja percuma, mereka lebih percaya gossip daripada kenyataan,” dengusnya kesal, “lagian luka di punggungku ini juga biang keroknya,” kata Pandu lagi sambil membuka seragam atasnya.

Ah iya masih ada luka di punggungnya yang bikin anak-anak makin takut sama dia.

“Itu luka bekas apa?” tanyaku makin penasaran.
“Ini luka sewaktu aku masih kecil,” jawabnya sambil memunggungiku, “dulu aku menolong anak anjing yang hanyut di sungai. Tapi sayangnya punggungku terbentur bebatuan yang tajam dan kasar,” lanjutnya lagi.
“Parah banget ya lukanya sampai berbekas seperti ini,” kataku sambil memegang bekas luka yang ada di punggungnya itu.
“Iya bekasnya jadi nggak bisa hilang-hilang. Banyak yang mengira luka ini aku dapat ketika berkelahi,” jawabnya, “mereka malah tambah takut sama aku,” lanjutnya lagi.
“A..aku nggak takut,” kataku masih mengusap bekas lukanya dengan jari-jari tanganku.
“Kamu takut. Dulu kamu takut sama aku.”
“Tapi sekarang aku nggak takut,” kataku yakin.
“Masa sih? Aku nggak percaya. Kamu pasti masih takut.”
“Nggak kok. Aku nggak takut.”
“Kamu takut.”
“Nggak.”
“Takut.”
“Nggak.”
“Takut.”
“Nggak.”

Terdengar Pandu tertawa pelan.

Aku masih mengusap bekas luka itu dengan jariku secara perlahan. Sedikit demi sedikit aku mulai mendekatkan wajahku ke punggungnya untuk melihat dengan jelas bekas luka itu. Aku terus menatap bekas luka yang ada di punggungnya itu dengan seksama.

Aku nggak takut. Aku nggak takut. Aku nggak takut. Aku nggak takut sama kamu dan luka ini.

“Al..Alvin???”

DEG

Aku langsung memundurkan kepalaku. Lebih tepatnya aku menjauhkan bibirku dari punggungnya. Aku baru sadar kalau tadi aku sudah mencium punggungnya.

Karena panic aku langsung berdiri dari dudukku dan berlari meninggalkannya.

Ya Tuhan apa yang baru saja aku lakukan tadi?? Kenapa aku mencium punggungnya?? Aku..aku.. ini kenapa??

Aku terus berlari dan berlari melewati kelas demi kelas. Aku sudah nggak memperdulikan semuanya. Rasanya aku ingin lenyap sekarang juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar