Senin, 21 Maret 2016

Memories Of Him - Part 9

~Rico Pov~
“Mau ikut ke rumah Alvin nggak?” tanyaku pada Awe yang sedang duduk di sebelahku.

Awe cuma menggelengkan kepalanya pelan. Setelah itu dia mengambil notesnya dan menulisi sesuatu di sana.

-Aku harus pulang. Kemarin aku di marahin karena pulang malam-

Awe terlihat sedih sewaktu menyodorkan notesnya itu.

-Aku sebenernya ingin menjenguk Alvin- tulisnya lagi, sedangkan aku tersenyum waktu membacanya.
“Nggak apa-apa, kamu pulang aja. nanti malah kena marah lagi kalau Tantemu tau kamu pulang telat. Lagian Alvin juga pasti ngerti kok,” kataku sambil mengusap pelan rambut halusnya itu.

Kali ini aku dapat melihat senyum tipis mengembang di bibirnya. Uggghhh….bibir itu…bibir yang sudah aku cium >.<

Aku langsung menghidupkan mobilku dan langsung melajukannya menuju rumah Awe. Kalau aku terus melihat bibir itu bisa-bisa aku jadi piktor lagi. Kalau ada orang yang bertanya gimana hubunganku dengan Awe setelah kemarin malam, akan aku jawab, nggak ada hubungan apa-apa. Ya benar, nggak ada hubungan apa-apa. Hubungan kami masih sama, cuma teman. Kenapa begitu? Sudah jelas karena aku ini pengecut. Sudah ada sinyal-sinyal positif darinya malah nggak aku gunain sebaik-baiknya. Setelah aku memeluknya kemarin, aku hampir nggak bisa mengendalikan diriku sendiri waktu itu. Makanya aku langsung mengantarkannya pulang daripada terjadi hal-hal mesum di tempat umum –a.

Setelah sampai di depan rumah Awe, Awe nggak langsung turun. Dia masih terduduk di kursinya sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Kenapa?” tanyaku.

Awe nggak menjawabku, dia cuma melihat ke arahku sambil menggigit bibir bawahnya. Setelah itu dia tertunduk lagi. Tapi tiba-tiba…

CUP

Awe mencium bibirku sekilas, setelah itu dia langsung turun dari mobilku dan langsung berlari masuk ke dalam rumahnya. Aku? Aku mematung dengan mulut sedikit terbuka karena kaget dengan aksi ndandakan itu.

“Di cium,” desisku sambil meraba bibirku perlahan.
“Hehehehe…HEHEHEHEHE…HAHAHAHA…HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA….. YEEEESSSSSSSSSS…..” tanpa sadar aku tertawa dan berteriak-teriak kegirangan nggak jelas.

Gila…aku seneng banget. Cihuuuyyy….. hahahaha….. XD (clay ikut ktawa sambil nulis haha). Aku jadi makin yakin kalau Awe juga punya rasa yang sama denganku hehehe…

~Awe Pov~
Aku langsung berlari masuk ke dalam rumah sesudah mencium Rico. Setelah sampai di dalam aku mencoba mengintip Rico dari jendelan kaca. Aku tersenyum geli waktu melihat Rico sedang heboh sendiri dalam mobilnya. Karena kaca mobil Rico di turunkan, aku jadi tau kalau Rico tertawa-tawa girang.

“Udah pulang ya?!” aku terlonjak kaget ketika ada suara dari belakangku.
“Ta..Tante?? Bikin kaget aja,” kataku masih sedikit syock karena kaget, “kok ada di rumah? Bukannya hari ini nggak libur?” tanyaku bingung karena jam segini Tante ada di rumah.
“Ini jam makan siang Tante, jadi sekalian makan aku nunggu kamu pulang,” jawab tante sambil memakai sepatunya lagi.
“Ehmm..gitu ya..jadi ini mau balik ke kantor?” tanyaku lagi.
“Iya,” jawabnya singkat sambil menyisir rambutnya yang agak berantakan.
“Hati-hati ya Tante,” aku memeluk Tante Lila erat yang langsung di sambut ciuman di ujung kepalaku ^^.
“Ehm…kamu bau matahari, setelah ini ganti bajumu ya!” suruh Tante Lila, aku mengangguk lalu tersenyum ke arahnya.
“Kunci pintu dan tutup semua tirai ya! Jangan bukain pintu buat orang yang nggak kamu kenal! Jangan keluar rumah sendirian!” pesan Tante Lila, “ya udah Tante berangkat dulu,” lanjutnya lagi sebelum keluar dari rumah, aku langsung melambaikan tanganku mengantar kepergian Tante Lila. Setelah kepergian Tante Lila, aku langsung mengunci dan menutup semua tirai sesuai perintahnya.

Dreett…Dreett…

Tiba-tiba hpku bergetar, aku langsung mengambil hp itu dari kantong celanaku dan melihat siapa yang sms aku. Keningku berkerut saat melihatnya.

“Dia lagi,” desisku.

From: {dianjurkan no. telpon lewat PM krn banyak laporan penyalahgunaan}
Aq akn mnemuimu bbrp minggu lg. ada hal penting yg hrs aku ktakan ke km.

Heeeeeeee????? Mau nemuin aku?????? Siapa sih dia ini?? Jangan-jangan ini penculikan. Dia mau nyulik aku. Tapi masa sih????? Uuuuuhhhhhh…nggak tau ah.

Aku langsung berlari masuk ke kamar lotengku. Mengunci pintu kamarku dan terduduk di sofa yang ada di dalam kamarku. Aku takut hiks >.<. Jangan-jangan ini yang bikin Tante jadi aneh akhir-akhir ini. Tante tau kalau aku lagi di ganggu sama orang asing. Kalau benar berarti aku harus was-was dong.

Aku mengambil hp dan mencari nama di dalam phone bookku. Tapi waktu mau menelfonnya aku mengurungkan niatku.

Nggak mungkin aku telfon Rico setelah aku nyium dia tadi >.<. Huuummm… lagian Rico pasti sudah sampai di rumah Alvin. Masa baru sampai sana sudah aku suruh ke sini lagi?! Tapi aku beneran takut di rumah sendirian T-T.

Rico tolooooonnggg >.<





~Pandu Pov~
Aku terus melihat kearah pintu masuk kelasku. Satu persatu anak mulai datang dan memasuki kelas, tapi orang yang aku tunggu-tunggu belum muncul-muncul juga.

Aku menghela nafas panjang.

Apa mungkin dia nggak masuk lagi hari ini? Apa sakitnya parah?

“Pagi Vin, gimana badanmu? Udah baikan?” aku langsung melihat kearah suara yang cukup keras.

Di sana aku melihat Dewi sedang menyapa Alvin yang baru memasuki kelas. Dengan senyum khasnya, Alvin menyapa teman-temannya. Lalu pandangan kami bertemu ketika Alvin melihatku. Senyumnya makin lebar.

“Lhoh Vin mau kemana?” tanya Rico saat Alvin berjalan ke arahku, tapi Alvin nggak menjawab pertanyaan Rico.
“Hai,” sapanya saat sudah berdiri di samping mejaku.
“Hai,” sapaku balik, nggak tau kenapa suasananya jadi canggung banget, “kamu udah baikan?” tanyaku.
“Iya aku sudah nggak apa-apa,” jawabnya lagi, “boleh aku duduk sini?” tanyanya.
“Boleh aja sih, tapi gimana sama dia?” tanyaku balik dan menunjuk Rico yang sedang melihat kami dengan tatapan sebalnya. Ternyata yang melihat kearah kami bukan cuma Rico, tapi juga temen-temen yang lain.
“Ya udah sebentar ya,” kata Alvin yang berbalik dan berjalan kearah Rico.

Alvin terlihat sedang berbicara dengan Rico tapi dengan suara pelan nyaris berbisik, sehingga nggak kedengaran dari tempatku yang memang di belakang.

“Lhoh..lhoh.. Vin!!” panggil Rico saat Alvin berjalan kembali ke arahku.
“Dia nggak masalah kok kalau duduk sendirian,” kata Alvin yang langsung duduk di sebelahku.
“Tapi rasanya dia keberatan tuh,” kataku yang masih melihat Rico yang sesekali mendengus-dengus sebal.
“Nggak apa-apa, biarin aja,” desis Alvin yang mulai mengeluarkan bukunya karena Bu Novi sudah masuk ke dalam kelas.

Selama pelajaran aku jadi nggak bisa berkonsentrasi karena ada Alvin di sampingku. Sesekali aku melihat ke arahnya dan senyum tipisnya langsung tercetak jelas saat pandangan kami bertemu. Baru kali ini aku duduk bersebelahan dengannya. Maksudku benar-benar duduk bersebelahan. Nggak kayak awal masuk dulu, dia terlihat takut-takut duduk di sampingku. Kali ini dia dengan senang hati duduk di sebelahku.

Aku melihatnya sedang berkonsentrasi menyatat catatan yang ada di papan tulis. Sesekali dia menyisir ujung rambutnya yang menghalangi matanya dengan jarinya. Tiba-tiba aku ingat kejadian kemarin lusa, saat aku mengecup ujung kepalanya.

Apa dia sadar kalau aku sudah mencium kepalanya waktu itu? Tapi aku rasa dia nggak sadar, karena kalau dia sadar seharusnya dia marah sama aku.

Aku terlalu terbawa suasana malam itu sampai menciumnya. Nggak tau kenapa aku merasa nyaman dekat dengannya. Ingin melindungi dan menyayanginya.

Mungkin kayak gini ya rasanya punya adik?!

KRRRRRIIIIIIINNNGGGGGG….

Aku tersentak kaget waktu bel tanda pergantian pelajaran berbunyi. Nggak terasa sudah dua jam pelajaran berlangsung dan aku sama sekali nggak focus karena ada Alvin di sampingku.

“Jangan lupa PRnya di kerjakan,” kata Bu Novi sebelum meninggalkan kelas.
“PR?” tanyaku bingung ke Alvin, “yang mana?” tanyaku lagi.
“Paket, halaman 36 soal 4b,” jawab Alvin sabil menyodorkan bukunya ke arahku.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyaku saat melihat Alvin yang meringis seperti menahan sakit.
“Aku nggak apa-apa, cuma sedikit pusing,” jawabnya sambil tersenyum ke arahku.
“Kamu nggak baik-baik aja. Wajahmu pucat Vin,” kataku sambil memperhatikan wajahnya yang sedikit pucat, “kamu maksain diri ya? Kalau masih sakit kenapa masuk sekolah?”
“Aku nggak apa-apa kok Pan. Kamu tenang aja ya,” Alvin terus tersenyum kearahku.
“Ta…”
“JAM KETIGA KOSONG, GURU-GURU ADA RAPAT,” teriak ketua kelasku yang langsung disambut teriakan ‘yes’, ‘hore’dan sebagainya.
“Kita ke UKS aja,” ajakku.
“Nggak mau. Aku nggak apa-apa Pan. Aku cuma lapar,” kata Alvin sambil memegang perutnya. Aku tersenyum melihatnya.
“Ya udah kita makan dulu di kantin. Yuk!”
“Berdua saja?” tanya Alvin.
“Ya berdua saja,” jawabku sedikit bingung, “ah…apa kamu mau ke kantin sama temen-temenmu? Kalau mau ke kantin sama temen-temenmu ya nggak apa-apa sih,” lanjutku lagi.
“Ng…nggak..aku mau ke kantin sama kamu aja,” kata Alvin cepat.

Alvin langsung mengaduk-aduk isi tasnya dan mengambil bekalnya yang di bawa dari rumah.

“Aaaaaaaaaaaaaa….” tiba-tiba Awe berlari memasuki kelasku dan langsung duduk di kursi Alvin yang kosong.
“Tuh Awe dateng. Nggak ke kantin sama dia?” tanyaku lagi.
“Nggak. Ya udah yuk!” ajak Alvin yang kini sudah berjalan mendahuluiku.

Aku langsung mengikutinya dari belakang.

“Aku sama Pandu ke kantin dulu ya,” kata Alvin saat melewati Rico dan Awe.
“Hah..oh iya..” sahut Rico gugup.

Awe cuma tersenyum ke arahku dan Alvin, setelah itu dia mencium-cium gantungan hpnya yang berbentuk boneka monyet. Sedangkan Rico yang biasanya keberatan kalau Alvin deket-deket aku cuma diam saja.

“Kamu beneran nggak apa-apa?” tanyaku saat berjalan menyusuri lorong kelas.
“Aku nggak apa-apa Pan,” kata Alvin menenangkan.

Setelah itu kami berjalan dalam diam. Sesekali terlihat senyum tipis di bibirnya yang sedikit pucat.

Kami terus berjalan melewati lapangan menuju kantin yang ada di pojok. Terlihat beberapa anak sedang bermain basket untuk mengisi jam kosong.

“AWAS!!!!” sebuah teriakan keras terdengar dari tengah lapangan.

DUUUUUUGGGG…..

Tiba-tiba ada sebuah bola yang terbang dan menghantam kepala Alvin. Alvin yang nggak siap langsung terhuyung-huyung sambil memegangi kepalanya.

“VIN!!” teriakku panic saat Alvin jatuh tersungkur tepat di depanku.

Aku langsung berlari ke arahnya dan melihat keadaannya. Dia pingsan. Tanpa banyak pikir, aku langsung membopong tubuh Alvin.

“So..sorry aku..aku nggak sengaja,” kata cowok yang nggak aku tau namanya dengan nada panic dan ketakutan.
“Minggir!” kataku geram karena dia dan beberapa temannya menghalangi langkahku.
“Ta..tapi…”
“MINGGIR!!!!” bentakku yang langsung membuatnya bergeser ke samping. Anak-anak yang mulai bergerombolpun ikut memberi jalan untukku.

Aku langsung membawa tubuh lemah Alvin ke UKS. Selama berjalan menuju UKS, banyak anak yang melihat ke arahku dengan tatapan ingin taunya. Aku nggak ambil pusing tentang itu semua. Yang aku pikirkan saat ini cuma Alvin. Aku takut kalau terjadi apa-apa dengannya.

“SIAPA SAJA TOLONG!!” teriakku saat memasuki ruang UKS.
“Ada apa ini?” tanya Bu Henny penjaga UKS yang langsung menghampiriku.
“Dia pingsan,” kataku sambil membawa tubuh lemah Alvin ke tempat tidur dan membaringkannya di sana.
“Kenapa dia bisa pingsan?” tanya Bu Henny sambil memeriksa denyut nadi Alvin.
“Kena bola. Tapi sebelum itu dia bilang kalau dia sedikit pusing,” kataku menjelaskan, “kemarin dia baru demam,” lanjutku lagi.

Bu Henny hanya diam mendengarkan penjelasanku. Kali ini dia memeriksa kepala, tangan dan kaki Alvin.

“Nggak ada yang luka,” desisnya, setelah itu dia mengambil beberapa bantal dari tempat tidur sebelah dan menyusunnya sebelum meletakkan kedua kaki Alvin di atasnya.
“Bu, Ibu di panggil Pak Ali di kantornya,” tiba-tiba seorang cewek masuk ke dalam ruang UKS.
“Aduh gimana nih,” desis Bu Henny bingung, “kamu, siapa namamu?” tanya Bu Henny ke arahku.
“Pandu.”
“Ya Pandu, kamu oleskan minyak kayu putih di sekitar hidung dan lehernya. Lalu kamu kompres keningnya dengan air dingin,” kata Bu Henny sambil mencuci tangannya di wastafel.
“Tapi dia nggak apa-apa kan Bu?” tanyaku was-was.
“Dia nggak apa-apa. Mungkin karena pusing akibat demam kemarin belum hilang, jadi waktu kena bola sedikit langsung pingsan,” terang Bu Henny, “ya udah Ibu tinggal sebentar,” pamit Bu Henny sebelum keluar dari UKS.

Aku langsung mengambil minyak kayu putih di kotak P3K dan mengoleskan minyak itu pada hidung dan leher Alvin. Setelah itu aku mengambil baskom dan handuk kecil yang ada di dekat wastafel dan mengisinya dengan air. Aku membawa baskom yang sudah berisi air itu di dekat Alvin. Aku juga mengambil tempat duduk Bu Henny dan meletakkan kursi itu di samping tempat tidur Alvin. Perlahan-lahan aku mulai mengompres kening Alvin.

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

Sudah hampir setengah jam Alvin masih belum sadar dari pingsannya, dan itu membuatku tambah khawatir. Daritadi Bu Henny juga belum kembali ke UKS, kemungkinan besar dia di ajak rapat juga. Padahal aku mau menanyakan kondisi Alvin.

Aku menghembuskan nafas berat. Ku perhatikan wajah Alvin yang masih terlihat pucat itu.

Sebenarnya apa yang ada di pikirannya? Sudah tau masih sakit tapi malah maksain diri masuk sekolah. Aku bener-bener nggak habis pikir.

Perlahan-lahan aku mulai mendekatkan wajahku ke arahnya dan memperhatikannya lebih lagi. Wajah Alvin sangat halus beda dengan wajahku yang…. yah tau sendiri lah, banyak luka di sana-sini. Bekas pukulan atau luka gores. Biarpun nggak terlalu kelihatan tapi tetap terlihat.

Aku mulai membelai lembut wajahnya itu. Perlahan-lahan jariku beralih ke bibirnya. Biasanya bibir ini merah merona karena dia emang nggak merokok, tapi sekarang jadi sedikit pucat.

Sedikit demi sedikit mata Alvin mulai terbuka. Dia sadar. Alvin masih terdiam dalam posisi tidurnya. Matanya terlihat berat untuk di buka sepenuhnya. Tiba-tiba dia menatapku yang langsung membuatku sadar kalau aku masih memegang bibirnya.

“Su…sudah sadar ya?!” kataku sambil menjauhkan tanganku dari wajahnya secepat kilat.

Alvin nggak menanggapi kata-kataku, dia masih saja menatapku dengan mata yang masih belum sepenuhnya terbuka. Perlahan-lahan dia bangkit dari tidurnya sambil menyentuh bibirnya sendiri.

Aduh jangan-jangan dia marah sama aku karena aku sudah menyentuh bibirnya?! Kenapa sih aku jadi kurang ajar gini? Kemarin nyium kepalanya, sekarang malah meraba bibirnya.

DEG

Aku kaget setengah mati ketika tangan Alvin menyentuh dan meraba wajahku. Jarinya yang halus itu terus membelai wajah dan sesekali meraba bibirku, sama seperti yang aku lakukan kepadanya tadi.

Tiba-tiba…

CUP

~Alvin Pov~
Aku merasakan kalau wajah dan bibirku di belai oleh seseorang. Perlahan-lahan aku mulai membuka kedua mataku yang sedikit berat. Tapi yang nampak di hadapanku semua serba putih. Langit-langit atap dan tirai yang ada di sampingku juga berwarna putih. Rasanya tempat ini begitu asing di mataku. Lagipula apa yang aku lihat semuanya nampak seperti ombak. Aku nggak tau kenapa bisa begitu, tapi yang jelas langit-langit atap yang aku pandangi tampak bergoyang seperti ombak. Selain itu telingaku juga sedikit berdengung. Seperti ada jutaan lebah di dalamnya.

Ah iya bibirku..bibirku masih di sentuh seseorang.

Perlahan-lahan aku memiringkan kepalaku ke samping untuk melihat siapa yang menyentuh wajah dan bibirku.

DEG

Pandu??

“Su…sudah sadar ya?!” katanya gugup sambil menjauhkan tangannya dari bibirku.

Aku nggak menanggapi kata-katanya, tapi aku terus memperhatikannya.

Seingatku, aku tadi terkena bola dan setelah itu semuanya jadi gelap. Apa mungkin aku tadi pingsan?? Lalu kenapa sekarang aku sudah ada di tempat yang serba putih gini?? Kenapa ada Pandu di sini??

Perlahan-lahan aku bangkit dari rebahanku sambil memegang bibir yang tadi di sentuh Pandu. Aku masih terus memperhatikan Pandu yang terlihat gugup di depanku. Nggak tau dari mana keberanian yang aku dapat, aku mulai mengulurkan tanganku ke wajahnya. Pandu tersentak kaget sewaktu aku membelai wajahnya, tapi dia nggak marah atau menepis tanganku.

Aha… aku tau. Ini mimpi. Ya ini cuma mimpi. Aku yang asli masih belum terbangun dari pingsanku. Buktinya Pandu cuma terdiam dengan sikap kurang ajarku ini. Kalau benar ini mimpi, apapun yang aku lakukan ke Pandu, dia nggak bakal marah kan sama aku??

Aku terus membelai wajahnya dan bibirnya. Perlahan-lahan aku mulai mendekatkan wajahku ke wajahnya dan…

CUP

Aku menciumnya. Pandu membelalakkan matanya kaget saat aku menempelkan bibirku ke bibirnya. Tapi nggak sampai lima detik aku sudah menarik bibirku menjauh dari bibirnya. Pandu masih terlihat syock dengan aksiku, tapi dia tetap diam dan nggak marah sama aku. Aku sendiri bingung kenapa aku menciumnya.

Ternyata ini memang mimpi. Karena Pandu nggak marah ke aku setelah aku berbuat sampai sejauh ini.

Aku tersenyum kearah Pandu yang masih menampakkan kegugupannya. Perlahan-lahan aku mulai turun dari tempat tidurku. Aku langsung berpegangan pada bahu Pandu ketika aku melihat lantai yang aku injak terlihat bergerak seperti ombak.

“Ka…kamu nggak apa-apa? Kalau belum sem….”
“SSssssttttt…..” desisku sambil menempelkan jari telunjukku ke bibirnya yang langsung membuatnya terdiam.

Setelah itu aku mendekat ke arahnya dan duduk di pangkuan Pandu sehingga posisi kami saling berhadapan.

“Vin..i..ini rasanya agak an…uuummhhhhh….” aku langsung mencium bibir Pandu sebelum dia sempat menyelesaikan kata-katanya.

Aku langsung melumat bibirnya perlahan. Lagi-lagi Pandu cuma terdiam menghadapi tingkahku (kget itu bkn diem –a). Tapi aku sudah nggak perduli, aku terus mencium dan melumat bibirnya lembut. Biarpun aku belum pernah berciuman, tapi instingku berbisik kalau aku harus melakukan itu. Aku merasa aneh karena aku mencium Pandu yang jelas-jelas cowok, tapi aku benar-benar ingin menciumnya saat ini.

Pandu masih diam nggak membalas ciumanku. Perlahan-lahan aku menghentikan ciumanku dan menatap Pandu dengan sebal karena dia nggak mau membuka mulutnya sewaktu aku menekan lidahku di bibirnya.

Pandu langsung mengelap bibirnya yang basah dengan punggung tangannya.

“Pan,” panggilku lirih.

Pandu cuma melihatku sekilas, setelah itu dia melemparkan pandangannya kearah lain. Aku langsung mendengus kesal di buatnya. Akhirnya aku menempelkan kedua telapak tanganku di pipinya dan sedikit memaksa Pandu untuk melihatku.

“Jangan lepaskan pandanganmu dariku!” desisku.
“Nggak Vin. I…ini aneh tau nggak?! Kamu pasti ngelindur atau apa,” kata pandu panic sambil mendorong pelan ke dua bahuku.

Tapi aku langsung melepaskan tangan Pandu dari bahuku. Ku genggam tangannya. Kulitnya yang kasar langsung terasa di telapak tanganku. Perlahan-lahan ku dekatkan jari-jari tangannya ke bibirku.

SSSRRRRUUUUPPPPPP….

“Vin!” Pandu yang kaget saat jarinya aku kulum langsung berusaha mengeluarkan jarinya dari mulutku, tapi langsung aku tahan.

Ku kulum dan ku jilat jari tangannya dalam mulutku. Sesekali ku putar lidahku mengelilingi jari-jarinya. Perlahan-lahan aku mulai membuka kancing bajuku dengan tangan kananku, sedangkan tangan kiriku tetap memegang tangan kanan Pandu supaya jarinya nggak keluar dari mulutku.

“Brengsek,” umpat Pandu sebelum mengeluarkan jarinya dari mulutku dengan paksa. Setelah itu dia langsung menekan kepalaku ke arahnya dan dia menciumku.

Aku sempat kaget dengan reaksi Pandu yang tiba-tiba itu, tapi aku langsung membalas ciumannya. Kali ini Pandu yang agresif. Ternyata dia sangat lihai berciuman. Aku yang belum punya pengalaman ini akhirnya cuma pasrah dalam dekapannya. Aku hanyut oleh permainan lidahnya dalam mulutku. Padahal ini cuma mimpi, tapi nggak tau kenapa semuanya begitu nyata. Sosoknya, dekapannya, desah nafasnya, ciumannya dan lidahnya, semua itu terasa nyata.

Tiba-tiba kedua tangan Pandu menuju kearah pinggulku dan menarik pinggulku merapat ke arahnya, seketika itu juga aku merasakan ada yang mengganjal di bawah sana.

“Paaann…uuummhhh…” rintihku di sela-sela ciuman kami saat menyadari benda apa itu.

Pandu terus melumat bibirku dan memainkan lidahnya di dalam mulutku. Aku benar-benar nggak berdaya di buatnya. Seluruh badanku merasakan panas yang menyebar dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku sedikit bergetar ketika Pandu menggerakkan pinggulnya sehingga benda itu makin tertekan di tubuhku. Nggak cuma itu, Pandu juga mulai meraba dadaku dengan tangannya yang sedikit kasar.

“Ehhmm…” erangku tertahan dalam ciumannya.

Aku mulai menekan tubuhku ke tubuhnya sampai dia bersandar pada sandaran kursi, tapi tiba-tiba…

BRRRUUUAAAKKKKK…..

“Saaakkkiiiitttttttt……” rintihku saat kursi yang kami duduki jatuh ke samping dan membuat siku kiriku terbentur lantai.
“Sial!!” umpat Pandu yang berada di bawahku, “ka…kamu nggak apa-apa?” tanya Pandu saat melihatku meringis kesakitan.
“Aku nggak ap…”

Tunggu!! Kalau ini mimpi kenapa aku bisa merasakan sakit?? Jangan-jangan ini…..

Aku langsung bangkit berdiri dan mengamati ruangan yang serba putih itu dengan seksama. Tiba-tiba tubuhku melemas menyadari sesuatu yang seharusnya aku sadari sejak awal tadi.

I..ini kan UKS. Jadi aku…aku…

Aku langsung menatap Pandu yang kini juga sedang menatapku khawatir.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Pandu lagi, tapi aku nggak menjawabnya.

Gimana aku bisa sebego ini sampai mengira ini semua cuma mimpi?? Ya ampun, ulah apa lagi yang aku buat barusan???

Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat dan menundukkan kepalaku dalam-dalam menahan rasa malu yang luar biasa. Aku nggak berani menatap Pandu lagi >.<

“Kalian sedang ngapain?” tanya seseorang yang suaranya sangat aku kenal. Rico.
“Ka…kami nggak ngapa-ngapain,” sahut Pandu cepat.
“Oh..” desis Rico, “aku di kasih tau temen-temen yang lain kalau kamu pingsan,” kata Rico yang aku tau itu di tujukan untukku.
“Aku nggak apa-apa,” kataku tanpa berani mengangkat wajahku sedikitpun.
“Nggak apa-apa gimana?? Sampai pingsan gitu masih bilang nggak apa-apa?! Bukannya tadi pagi aku sudah bilang kalau masih sakit jangan masuk?!!” omel Rico, “apa lagi ini? Kenapa kancing bajumu copot semua hah? Kalau masuk angin gimana??”
“I..ini..” aku langsung mengancingkan bajuku dengan cepat.
“Hhhaaahhh….dasar,” gumam Rico, sedangkan Pandu daritadi cuma diam saja nggak mengeluarkan sepatah katapun.
“Masih demam?” tanya Rico sambil menempelkan punggung tangannya ke keningku.
“Ng…nggak,” jawabku pelan.
“Pusing?”
“Se…sedikit ngg…mungkin.”
“Ya udah kamu tiduran sana!! Ngapain masih berdiri di sini??!!!” omel Rico geram.
“I..iya,” aku buru-buru naik ke tempat tidur dan menutup seluruh tubuhku dengan selimut.
“Ngapain selimutan sampai kepala gitu?” tanya Rico.
“Di..dingin,” jawabku asal.
“Dingin? Tapi di sini panas. AC nya belum di pasang setelah renovasi kapan hari itu,” kata Rico bingung.
“A..aku nggak tau, aku cuma merasa dingin.”
“Bu Henny ke kamana?”
“Kayaknya sih di kantor. Lagi rapat,” kali ini Pandu yang menjawab.
“Hmm.. ya udah aku coba lihat ke kantor dulu, siapa tau rapatnya udah selesai,” kata Rico, “ng…Pan aku nitip Alvin bentar,” lanjut Rico.
“Hah? Oh i..iya,” sahut Pandu.

Setelah itu aku mendengar suara langkah kaki yang menjauh dari ruang UKS.

“Ka..kamu nggak usah jagain aku Pan. Aku nggak apa-apa,” kataku pelan nyaris berbisik.
“Kenapa? Apa karena kejadian tadi?”
“I..itu… aku..aku kira tadi itu cuma mimpi. Aku…aku…aku nggak sengaja. Maaf.”

Rasanya aku jadi orang paling bodoh di dunia. Bisa-bisanya aku mengira kalau aku sedang bermimpi. Jelas-jelas ini adalah ruang UKS yang baru selesai di renovasi beberapa hari yang lalu. Aku saja yang bego sampai nggak tau. Aku baru sadar kalau ini ruang UKS setelah aku amati dengan seksama tadi. Nggak ada yang berubah, kecuali cat ruangan yang serba putih ini dan perabotan yang bernuansa serba polos. Aku tertipu mata sendiri >.<

“Sudahlah nggak apa-apa. Lagian aku…aku juga menikmatinya kok,” kata Pandu yang spontan membuatku menurunkan selimut yang sedang aku pakai sampai di bawah mata.

Pandu tersenyum melihatku.

“Ka…kamu nggak marah?” tanyaku, Pandu menggeleng sambil tetap tersenyum.
“Istirahatlah,” kata Pandu sambil mengusap pelan rambutku, “aku akan menemanimu,” lanjutnya lagi yang membuat jantungku kembali berdegup kencang.

Aku buru-buru menaikkan selimut yang sedang aku pakai sampai menutupi kepalaku lagi. Rasanya mukaku juga ikut memanas. Aku nggak tau apa yang sedang aku rasakan saat ini, semuanya bercampur aduk. Tapi yang jelas aku senang sekali.



~Rico Pov~
Sudah hampir seminggu ini Awe minta di anter-jemput kalau ke sekolah. Nggak cuma itu, dia juga minta di teminin kalau pergi-pergi keluar. Katanya sih ada yang ganggu dia lewat sms. Sudah aku bilang nggak usah di perduliin, tapi Awe tetep takut. Aku sih nggak masalah dia minta tolong ke aku. aku malah seneng banget bisa berduaan kemana-mana hehee… Masalahnya aku nggak bisa terus-terusan nganter dan nemenin dia karena kondisi Alvin yang kurang sehat akhir-akhir ini. Sejak demam kapan hari itu, Alvin jadi sering sakit. Sembuh sebentar terus sakit lagi. Sekarang aja dia harus mbolos sekolah karena mendadak muntah-muntah.

“Makanya aku bilang pakai jaket kalau mau pergi-pergi biarpun perginya naik mobil!” omelku saat memberi minyak kayu putih ke arahnya.
“Cuma masuk angin biasa kok Ric. Nggak parah,” kata Alvin pelan.

Alvin mengambil minyak kayu putih yang aku sodorkan lalu mengoleskannya ke perut, dada dan leher.

“Iya masuk angin. Tapi sampai muntah. Kenapa sih kalau di kasih tau selalu nggak mau dengerin?!”
“Iya..iya maaf. Ya udah kamu masuk sekolah aja, nanti telat!” kata Alvin yang sedang merebahkan tubuhnya ke tempat tidur.
“Males. Udah telat juga,” gerutuku kesal, “aku bikinin teh manis dulu,” kataku sambil berjalan ke luar kamar Alvin.

Aku langsung berjalan menuju dapur yang letaknya agak di belakang.

“Den Alvin gimana? Udah baikan?” tanya Bi Surti saat aku melewati meja makan.

Bi Surti sedang membersihkan meja makan. Tadi Alvin sempat makan pagi sebelum memuntahkan semua yang di makannya. Sedangkan Om dan Tente nggak ikut makan karena pagi-pagi buta tadi sudah pergi keluar kota. Mereka emang jarang banget ada di rumah. Semua keperluan di rumah ini yang mengurus adalah ortuku.

“Kayaknya nggak apa-apa. Aku mau bikin teh manis dulu buat dia,” jawabku, “oh ya, tolong buatin bubur buat makan siang Alvin. Aku takut kalau maagnya yang kambuh,” lanjutku sambil meneruskan jalanku.

Setelah itu aku meninggalkan Bi Surti dengan tugas-tugasnya. Begitu sampai di dapur aku langsung membuat teh manis hangat untuk Alvin. Sebenernya aku bisa nyuruh Bibi-bibi yang bikin, tapi Alvin lebih suka teh bikinanku karena rasa manisnya yang pas, katanya.

“Nih minum!” kataku setelah masuk kembali ke kamar Alvin sambil membawa segelas teh manis hangat, “biar perutmu enakan,” kataku lagi sambil membantunya duduk dengan tangan kiriku, sedangkan tangan kananku masih memegang gelas.

Alvin langsung meminum setengah gelas teh manis buatanku.

“Thanks. Bikinanmu selalu pas,” kata Alvin sambil tersenyum ke arahku.
“Jelas dong. Rico gitu,” Alvin langsung tertawa pelan ketika mendengarku sok narsis (?).
“Oh ya Ric. Aku mau tanya sesuatu. Boleh?”
“Ya boleh lah. Emang mau tanya apaan?” tanyaku sambil merebahkan tubuhku di sampingnya setelah melepas sepatuku terlebih dahulu.
“Eee…emmmm… tapi pertanyaanku ini agak aneh. Eeee…gimana ya…”
“Apaan sih??” tanyaku nggak sabaran.

Kali ini aku memiringkan tubuhku dan menyangga kepalaku dengan tangan kiriku agar menghadap ke arahnya.

Alvin yang rebahan di sambingku sedikit gugup saat aku memandangnya dengan tatapan ‘ingin tau’ ku.

“Ka…kalau ada orang yang pandai ciuman, menurutmu orang itu pernah gituan nggak?” tanyanya lirih nyaris berbisik. Dia sampai nggak berani menatap ke arahku.
“Gituan? Ngesex maksudmu?” tanyaku yang langsung di sambut anggukan cepat Alvin, “ya tergantung. Nggak semua orang pinter ciuman tuh pernah ngesex,” jawabku.
“Ooohh…” desis Alvin dengan senyum tipis di bibirnya.
“Emang kenapa sih?” tanyaku makin penasaran dengan pertanyaannya itu.
“Eh..apa?? Ng…nggak apa-apa sih, aku cuma ingin tau aja hehehe…” kata Alvin gugup.

Alvin langsung berbalik memunggungiku. Tapi nggak sampai lima detik, dia berbalik lagi menghadap ke arahku. Jadi posisi kami saat ini berhadap-hadapan.

“Apa?” tanyaku.
“Ng…kamu pernah gituan nggak?” tanya Alvin balik.
“Pernah,” jawabku jujur yang membuat Alvin membelalakkan matanya kaget.
“Ka..kamu pernah?” tanyanya nggak percaya.
“Iya. Sama mantanku dulu,” jawabku, “ya nggak sering juga sih, tapi pernah sekali dua kali gitu lah,” lanjutku lagi.

Aku menelentangkan tubuhku lalu mengganjal kepalaku dengan lengan kananku.

“Rasanya gi…gimana?” tanya Alvin yang langsung membuatku melirik ke arahnya.
“Enak,” jawabku apa adanya, “kenapa? Kamu ingin nyoba?”
“Hah??? Ya…ya nggak lah hehe…” aku tersenyum melihatnya salah tingkah seperti ini.

Setahuku Alvin belum pernah ngesex. Punya pacar aja nggak pernah apalagi ngesex hehe. Mungkin saja saat ini dia berada dalam masa-masa yang menghawatirkan. Sesuatu yang harus di tuntaskan sebagai seorang cowok yang menanjak dewasa (haha bhsq). Dulu pernah aku ngajarin dia masturbasi, tapi setelah itu dia nggak mau lagi. Katanya kayak orang kurang kerjaan aja mainin burung sendiri hahaha… Dasar.

“Oh ya…me..menurutmu eemm… Pandu pernah gituan nggak?”
“Pernah lah. Nggak mungkin orang kayak dia nggak pernah ngesex,” jawabku cepat.
“Masa sih?” tanya Alvin sambil memandangku kaget cenderung syock.
“Jelas lah,” jawabku mantap.

Pandu ya. Aku baru ingat, dia yang menggendong Alvin sampai UKS. Rasanya pandanganku ke dia sedikit-sedikit mulai berubah. Mungkin pada dasarnya Pandu itu baik. Aku yang sekarang udah nggak terlalu khawatir kalau Alvin deket sama dia.

Dreett…Dreett..

Tiba-tiba hp ku bergetar di kantong celanaku. Aku sedikit mengangkat pinggulku saat mengambil hpku.

From: Awe cutezz
Gimana keadaan Alvin?

“Siapa?” tanya Alvin.
“Awe,” jawabku.

To: Awe cutezz
Dia baik2 aj kok. Km lg istirahat ya?

SEND

“Sms apa sih dia?” tanya Alvin lagi.
“Cuma tanya keadaanmu aja,” jawabku, “oh ya, kapan kita try out?”
“Kayaknya bulan depan. Hmm..ujian semakin dekat. Aku jadi deg-deg’an,” kata Alvin sambil menatap lurus ke langit-langit kamar.
“Halah kamu kan pinter. Yang seharusnya deg-deg’an itu aku. Aku kan masuk IPA gara-gara kamu. Gimana kalau aku sampai nggak lulus??” gerutuku kesal.
“Pasti lulus,” sahut Alvin sambil tertawa pelan.

Dreett…Dreett..

From: Awe cutezz
Bgs deh hehe ^^.. iy aq istrhat..hmm… barusan aku di tembak Anne.

“HAAHHH?????” aku langsung terduduk kaget membaca sms Awe barusan.
“Ada apa?” tanya Alvin bingung melihat tingkahku.
“Awe di tembak Anne,” jawabku tanpa menoleh kearah Alvin.
“Oh bagus kan, udah lama Anne suka sama Awe kan?!”
“APANYA YANG BAGUS?? ITU…itu…itu nggak bagus,” kataku yang sempat berteriak tapi akhirnya suaraku melunak. Aku hampir membongkar perasaanku ke Alvin.

To: Awe cutezz
Km trima??

SEND

“Kenapa sih? Bagus kan kalau Awe punya cewek. Kenapa kamu khawatir kayak gitu?”
“Ya pokoknya jangan dulu lah. Awe itu masih belum dewasa buat pacaran.”
“Umur udah 17 tahun mau 18 tahun gitu udah besar itu. Kamu aja pertama kali pacaran malah masih SMP.”
“Ck..Awe itu…..”

Dreett…Dreett…

From: Awe cutezz
Hmm.. mnurutmu?? Hehehe ^^

Hiihhhh… kenapa sih jadi main tebak-tebakkan gini?!

Aku langsung membalas sms Awe dengan sangat kesal.

To: Awe cutezz
G usah main tebak-tebakkan. Aq lg g minat

SEND

“Pokoknya aku nggak merestui Awe buat pacaran,” kataku membalas omongan Alvin tadi.
“Emang kamu siapanya Awe?”
“AKU INI….” aku langsung menghela nafas saat hampir keceplosan untuk ke dua kalinya, “temannya,” lanjutku lirih.
“Udah deh, kamu tidur aja!! Lagi sakit juga,” kataku jengkel sambil menyelimuti tubuh Alvin.

Dreett…Dreett…

From: Awe cutezz
Mrh y?? eemm… aq tolak kok. Krn aq ska sma km ^^

DEG

Jantungku hampir berhenti berdetak waktu membaca sms Awe.

Sialan nih anak. Paling bisa bikin aku jantungan.

Ya biarpun belum ada status hubungan resmi di antara kami, tapi aku yakin kalau kami sama-sama suka. Sebenarnya aku ingin memperjelas hubungan kami, tapi aku masih ragu.

To: Awe cutezz
Hmm.. bgs deh. Oh y, nnti sore kita jln2 ya. aq jmput km.

SEND

Dreett…Dreett…

Nggak lama kemudian datang balasan sms dari Awe.

From: Awe cutezz
Ap itu ajakan kencan???

Aku tersenyum membacanya.

To: Awe cutezz
Ya..itu ajakan kencan

SEND

“Kenapa senyum-senyum gitu?” tanya Alvin.
“Rahasia,” jawabku sambil memunggunginya.
“Apaan sih??” tanya Alvin penasaran sambil mengguncang-guncang tubuhku dari belakang.
“Rahasiaaaaaa…”

Ya… ini adalah rahasiaku….

~Awe Pov~
Kencan…kencan…kencan… aku mau kencan sama Rico yeeeiiiiiiiii ^^. Dia akan mengajakku kemana ya?? Ke mall?? Ke taman bermain?? Ke pusat kota?? Ke café?? Ke mana ya hehehe ^^.

Aku langsung membuka lemari pakaianku dan memilih baju yang pas untukku. Sweater atau t-shirt. Hmm… sweater aja deh hehehe ^^.

Setelah memilih celana yang pas untuk di padukan dengan sweaterku, akupun langsung menganti pakaianku. Ku lirik jam dinding kamarku yang sudah menunjukkan pukul 5 sore.

Sebentar lagi Rico datang. Aku nggak boleh membuatnya menungguku.

Setelah ku ambil hp, dompet, notes dan bolpointku, aku langsung menuruni tangga dan berjalan menuju kamar Tante Lila untuk berpamitan.

“KAMU JANGAN MACAM-MACAM!!” aku tersentak kaget ketika mendengar suara bentakan Tante Lila dari dalam kamarnya.

Aku berhenti sejenak di samping pintu kamar Tante Lila yang nggak tertutup.

“AKU NGGAK AKAN BIARIN KAMU NGELAKUIN ITU!! PAHAM!! DIA NGGAK BOLEH BERTEMU ORANG ITU!!” teriak Tante Lila.

Ada apa sih?

Karena penasaran aku mulai mendekat ke kamar Tante dan mengintip sedikit ke dalam kamarnya. Di dalam terlihat Tante Lila sedang menerima telfon dari seseorang. Tante sedang duduk di depan kaca riasnya. Wajahnya terlihat tegang nggak seperti biasanya. Ada kemarahan luar biasa yang terpancar dari wajah cantiknya.

“Kalau kamu berani menginjakkan kakimu di rumah ini, aku akan membunuhmu,” kata Tante Lila mengakhiri telfon itu. Tepat setelahnya hp ku bergetar dalam kantong celanaku.

From: Rico
Aku sdh di dpn rmhmu.

Aku sempat kebingungan setelah membaca sms dari Rico.

Ku gigit bibir bawahku. Berfikir.

Gimana nih?? Aku mau ijin tapi takut. Tante baru marah-marah. Gimana kalau aku nggak di izinin keluar??

Setelah kebingungan sendiri, akhirnya aku memutuskan untuk keluar rumah tanpa berpamitan.

Maaf Tante >.<

Ternyata di luar rumah Rico sudah menungguku dalam mobilnya. Tanpa banyak pikir lagi aku langsung masuk ke dalam mobilnya.

-Mau ke mana?- tanyaku lewat tulisan.
“Terserah kamu maunya ke mana,” jawab Rico sambil tersenyum manis ke arahku.

Aku tertegun melihat senyumnya itu. Aaaaaaa…aku suka senyumannya >.<

“Kenapa?” tanya Rico yang melihatku hanya bengong saja, aku langsung menggelengkan kepalaku.
-Ke Mall sama ke taman kota yaaaaaa- tulisku.
“Sesuai perintahmu tuan,” kata Rico sambil mengusap kepalaku pelan, setelah itu dia mulai melajukan mobilnya.

Sesuai keinginanku, Rico mengajakku jalan-jalan ke manapun aku mau. Pertama-tama kita ke Mall. Di sana kami jalan-jalan, makan dan main game. Waktu main game aku yang selalu menang hehe…Rico nggak suka main game sih, jadi selalu kalah. Setelah itu kami pergi ke pusat kota. Kami berdua cuma duduk-duduk di sana. Pusat kota hari ini terlihat ramai dan penuh. Banyak orang yang sedang makan malam di tenda-tenda sekitar tamannya. Sedangkan di dalam taman banyak pasangan kekasih yang sibuk dengan kemesraan mereka masing-masing.

Ugghhh…aku juga mau bermesraan sama Rico seperti mereka. Tapi…

Aku melirik Rico yang sedang asyik dengan minuman kalengnya.

Tapi…kayaknya nggak bisa ya hiks >.<. Nggak mungkin Rico mau bermesraan denganku. Dia bukan siapa-siapaku. Cuma TTM. Mungkin T-T

Aku menghela nafas panjang lalu mengayun-ayunkan ke dua kakiku yang terjuntai ke bawah.

“Kenapa?” tanya Rico.
-Nggak apa-apa- tulisku yang langsung aku sodorkan ke arahnya.
“Bener nggak apa-apa?” tanya Rico lagi.
-Iya bener-

Rico tersenyum sambil mengusap pelan kepalaku. Aku langsung memejamkan ke dua mataku untuk merasakan usapannya itu.

“We…”
“Hmm?” aku membuka kedua mataku dan melihat Rico sedang menatapku sambil tersenyum.
“Kamu manis banget,” desisnya yang sukses membuat mukaku memanas karena malu.

Akhirnya aku hanya bisa senyum-senyum untuk menutupi rasa malu’ku.

Aaaaaaaaaaa….gimana ini?? Aku deg-deg’an >.<

“We..” panggil Rico.
“Hmm..?”
“Aku..aku…su…”

Sms dari siapa tuh?
Ciiieeehhhh sms dari siapa?
Ciiieeelllaaahhh dari siapa sih?
Waaaaa…hayo ngaku hayo ngaku…
Ciieeeehhhhh…

Tiba-tiba hpku berbunyi nyaring sebelum Rico menyelesaikan kata-katanya.

Tadi waktu di Mall aku mengganti nada hpku dari silent menjadi normal.

From: Tante/Mama Lila
Kamu di mana sekarang? kenapa nggak ada di kamar? kamu pergi nggak pamit sama tante?? cepat pulang!!

“Dari siapa?” tanya Rico dengan muka masamnya.
“Tante,” jawabku panic, “aku harus pulang sekarang. Tante pasti marah sama aku karena aku nggak izin sama dia waktu keluar tadi,” kataku sambil menarik-narik lengan baju Rico.
“Hmm..ya udah kita pulang sekarang,” sahut Rico sambil tersenyum ke arahku, tapi aku tau kalau itu senyum yang di paksakan.

Setelah itu Rico langsung mengantarku pulang. Dalam perjalanan pulang Rico sama sekali nggak ngomong apa-apa. Aku jadi merasa nggak enak karena sudah mengacaukan kencan kami >.<

-Kamu marah?- tanyaku setelah mobil Rico sampai di depan rumahku.
“Nggak. Kenapa kamu tanya gitu?”
-Habisnya kamu diam aja daritadi. Aku takut kalau kamu marah sama aku-
“Aku nggak marah kok,” kata Rico sambil mengusap pelan rambutku, “ya udah sana masuk,” lanjut Rico.

Akhirnya dengan berat hati aku turun dari mobilnya.

“Cepat tidur ya,” kata Rico sebelum melajukan mobilnya lagi.

Aku menghela nafas panjang sewaktu melihatnya pergi seperti itu. Rasanya Rico bener-bener marah sama aku. Seharusnya aku nggak mengacaukan kencan kami. Tapi mau gimana lagi, aku juga takut sama Tante hiks >.<

“Agung,” tiba-tiba ada yang memanggil namaku saat aku membuka pintu pagar.

Aku langsung melihat ke asal suara itu.

DEG

Mataku langsung terbelalak kaget saat melihat siapa pemilik suara itu.

“Ka..kakak?!”

~Awe Pov~
Tik…tik…tik…tik…

Suara jarum jam menggema di seluruh ruang makan. Bukan karena suara jarum jamnya yang terdengar keras dan jelas, tapi karena ruang makan yang terasa sunyi dan sepi. ‘Sunyi dan sepi’ di sini bukan berarti nggak ada orang sama sekali di ruang makan. Di ruang makan malah ada tiga orang yang sedang duduk mengelilingi meja makan. Ada aku, Tante Lila dan kak Hengky. ‘Sunyi dan sepi’ yang aku maksud tadi karena kami bertiga cuma duduk tanpa membuka mulut sedikitpun, alias lagi diem-dieman. Terutama Tante Lila dan kak Hengky yang sedang bertarung lewat tatapan mata mereka. Tante Lila dan kak Hengky sedang duduk berhadapan, sedangkan aku memilih duduk di ujung meja makan di samping mereka berdua. Aku yang melihat mereka bertarung seperti itu saja sampai nggak berani gerak sedikitpun dari tempatku duduk. Mau bernafas saja juga terasa sesak. Suasana di sini benar-benar mencekam dan menakutkan hiks >.<

Sebenarnya setelah pertemuanku dengan kak Hengky di depan rumah tadi, tiba-tiba Tante Lila keluar rumah dan melihat kami. Tante Lila yang memang nggak suka dengan kakak berusaha mengusir kakak. Aku di suruh masuk ke dalam rumah, sementara Tante mengusir kakak. Tadi sempat terjadi dorong mendorong pintu antara Tante dan kakak. Kak Hengky memaksa masuk ke dalam rumah, sedangkan Tante berusaha menahan pintunya agar kak Hengky nggak bisa masuk ke dalam rumah. Tapi akhirnya kakak berhasil masuk juga dan membuat Tante uring-uringan. Mereka berdua memang nggak bisa akur sejak dulu. Tante yang sifatnya keras berbeda 100% dengan sifat kak Hengky yang santai, kelewat santai malah. Dulu Tante mengusir kak Hengky dari rumah karena ulah kak Hengky yang sembrono. Karena sifatnya yang playboy, dia nggak sengaja sudah membuat anak orang hamil. Kak Hengky harus angkat kaki dari rumah ini setelah menikahi cewek itu. Sudah hampir 6 tahun ini aku dan kak Hengky nggak pernah bertemu, tapi sekali bertemu malah jadi seperti ini >.<

Terlihat Tante Lila sedang duduk bersandar sambil melipat kakinya seperti cowok, tangan kirinya juga di lipat di depan dada menyangga siku kanannya karena tangan kanannya sedang memegang rokok tepat di depan bibirnya, sedangkan matanya menatap tajam kearah kak Hengky yang juga sedang menatap Tante. Tapi berbeda dengan Tante, tatapan mata kak Hengky cenderung santai seolah-olah nggak terjadi apa-apa di antara mereka. Kak Hengky juga duduk bersandar di kursinya dengan melipat kakinya seperti cewek dengan ke dua tangan yang terlipat di depan dadanya. Sesekali kak Hengky membenarkan rambut depannya dengan jari-jari tangannya. Kebiasan kak Hengky dari dulu.

Aku tersenyum melihat kak Hengky yang nggak berubah sama sekali. Wajahnya, sifatnya dan gaya santainya masih sama seperti dulu. Biarpun kak Hengky sudah berumur 33 tahun tapi rasanya dia masih seperti berumur 27 tahun. Benar-benar nggak ada yang berubah. Sosok yang selalu aku rindukan hampir tiap detik, tiap menit, tiap jam, tiap malam, tiap hari, tiap waktu sekarang sudah ada di depan mataku. Sangat dekat denganku. Begitu dekat.

“Ck.. apa sih maumu ha?? Untuk apa kamu datang ke sini??” tiba-tiba Tante membuka suaranya dengan sangat ketus, sedangkan kak Hengky hanya tersenyum penuh kemenangan.
“Kan aku sudah bilang kalau aku mau datang ke sini,” jawab kak Hengky santai.
“Aku juga sudah bilang kalau aku nggak ngizinin kamu menginjakkan kaki di rumah ini lagi,” sahut Tante masih dengan nada ketusnya.

Di hisapnya rokoknya dalam-dalam lalu menyemburkan asapnya lurus ke depan kearah kak Hengky. Ya biarpun asapnya nggak benar-benar mengenai wajah kak Hengky, tapi kak Hengky langsung menundukkan kepalanya dan mengibaskan tangan kanannya seolah mengusir asap yang datang ke arahnya.

“Bisakah kakak berhenti merokok?”
“Jangan alihkan topic!”
“Aku cuma kangen sama kakak dan…” kak Hengky menatap ke arahku dengan senyum khasnya, “Agung,” lanjutnya. Tante langsung mendengus kesal, sedangkan aku langsung tertunduk malu.

Malu? Bukankah aku sudah berniat melupakannya?? Tapi..kenapa aku masih malu?? Kenapa aku masih merasa deg-deg’an saat mata kami bertemu walau cuma sedetik??

“Jangan libatkan Agung, atau…”
“Atau apa???”
“Aku akan membunuhmu.”
“Apa kakak bisa? Membunuh seekor kecoa saja kakak nggak tega. Sekarang malah mau membunuhku?? Haha..jangan membuatku tertawa,” kata kak Hengky sambil tertawa pelan.
“Kamu ingin bukti?”
“Silahkan!”
“Bengsek!!”

Kak Hengky tersenyum penuh kemenangan lagi. Mau nggak mau aku juga ikut tersenyum juga mendengar perdebatan mereka berdua. Padahal umur mereka jauh lebih tua dariku, tapi aku merasa kalau mereka sebaya denganku. Ya inilah mereka. Kakak beradik yang nggak pernah bisa akur hehe…^^. Tante Lila adalah kakaknya kak Hengky. Seharusnya aku memanggil kak Hengky dengan sebutan Om. Karena posisiku yang sebagai anak Tante. Tapi dasar kak Hengky yang nggak mau terlihat tua dengan sebutan Om, akhirnya dia menyuruhku memanggilnya kakak.

“Gung, kamu masuk ke kamar sekarang!” perintah Tante. Aku langsung mengangguk dan berdiri dari kursiku.
“Jangan! Dia harus tetap di sini karena aku ada perlu dengannya,” kata kak Hengky.
“Hengky!!” Tante menekan suaranya saat menyebut nama kak Hengky.
“Dengar Gung, aku bertemu dengan orang itu, dia…”

BRAAAAKKKKK….

Kata-kata kak Hengky terputus sewaktu Tante memukul meja dengan kerasnya.

“Gung cepat ke kamar!” perintah Tante pelan tapi tegas.
“I..iya,” sahutku.

Aku langsung beranjak dari kursiku. Aku takut kalau Tante sudah marah seperti itu. Menyeramkan hiks >.<

“Aku bertemu ayahmu Gung.”
“HENGKY!!!!!” bentak Tante.

Tapi aku yang sudah terlanjur mendengarnya langsung berhenti dan langsung membalikkan badanku ke arah mereka. Terlihat Tante sedang mencengkeram kerah baju kak Hengky.

“A..ayah? Ayahku?”
“Iya. Aku bertemu dengannya lima bulan yang lalu. Ayahmu ingin bertemu denganmu,” jawab kak Hengky santai biarpun Tante sedang mencengkeram kerah bajunya kuat-kuat.
“AKU MOHON HENGKY TUTUP MULUTMU!!!” teriak Tante penuh emosi. Sedangkan aku yang masih syock cuma terdiam nggak tau harus gimana.

Ayah. Orang itu…. kenapa aku harus mendengarnya di sebut? Orang yang sudah membuatku merasakan ketakutan yang luar biasa. Orang yang hampir mengotori tubuhku..ah nggak…dia bahkan sudah mengotorinya. Setelah itu dengan mudahnya dia tertawa-tawa tanpa memikirkan nasibku. Dia sudah menghancurkan semuanya. Orang itu….

Tiba-tiba rasa jijik yang dulu sempat hilang kini muncul lagi. Badanku langsung menggigil dan bulu kudukku berdiri. Aku juga merasa mual dan ingin muntah. Aku berusaha menahan rasa mual itu dengan melingkarkan ke dua tanganku di perutku. Perlahan-lahan aku merasakan air mataku menetes tanpa bisa aku tahan.

BRRUUUUUGGG…

“GUNG!!!” teriak Tante panic saat melihatku jatuh terduduk di lantai.

Tante langsung berlari ke arahku dan memeluk tubuhku. Aku masih terdiam dengan perasaan yang bercampur aduk.

“Nggak apa-apa sayang. Jangan pikirkan kata-kata bajingan tengik itu. Kamu aman bersama Tante,” kata Tante dengan suara bergetar, “LIHAT APA YANG BARU SAJA KAMU LAKUKAN HENGKY!!” teriak Tante murka.

Kak Hengky terdiam begitu juga denganku. Rasanya mulutku terkunci rapat. Sangat rapat. Aku takut kalau aku bersuara orang itu akan melakukan lebih lagi kepadaku. Sama seperti dulu, waktu aku mengeluarkan suaraku sedikit saja, orang itu menyakitiku lebih lagi dan lagi. Memaksa benda sebesar itu masuk ke dalam tubuhku. Aku nggak mau. Itu sakit, sangat sakit.

“Sayang jangan menangis! Orang itu nggak ada disini,” kata Tante yang sekarang juga ikut menangis.

Di angkatnya wajahku dan di hapusnya air mataku yang nggak bisa berhenti ini. Padahal aku nggak ingin menangis, tapi air mata ini terus mengalir keluar. Aku juga ingin melupakan semuanya, tapi bayangan waktu itu mendadak muncul kembali dan nggak mau hilang dari ingatanku. Aku harus bagaimana supaya bisa melupakannya???

“Kamu ini menyedihkan Gung.”
“HENGKY!!”
“Kak!! Agung sudah besar sekarang. Nggak seharusnya kakak melindunginya sampai seperti ini. Dia harus bisa nerima kenyaatan dan nggak boleh terus-terusan hidup dalam ketakutan seperti ini,” kata kak Hengky mulai sedikit emosi.
“Tapi bisa di coba pelan-pelan kan?! Nggak seperti ini. Kamu sudah mengacaukan semuanya,” sahut Tante pelan.

Di benamkannya wajahnya di pundakku. Aku merasakan kalau Tante sedang menahan isak tangisnya.

“Sampai kapan kak? Sampai kapan?? Sampai Agung lulus SMA?? Sampai Agung lulus kuliah??” kali ini suara kak Hengky sudah nggak selembut dan sesantai tadi, “Agung Wahono Saputra!!” panggil kak Hengky, tapi aku masih tertunduk.

Kak Hengky marah. Kebiasaan kak Hengky kalau sedang marah dengan seseorang dia selalu memanggil nama lengkap orang itu.

“AGUNG WAHONO SAPUTRA!! LIHAT AKU!!!” bentak kak Hengky karena aku nggak segera menatap ke arahnya.
“JANGAN BENTAK DIA HENGKY!! DIA ANAKKU DAN KAMU NGGAK BERHAK MEMBENTAK ANAKKU!!!” teriak Tante di penuhi emosi yang meluap-luap.
“AKU MOHON KAK. DIAMLAH!!!”
“KAMU…..”
“A…aku nggak apa-apa Tante,” akhirnya aku bisa membuka mulutku biarpun dengan susah payah.

Tante langsung menatap wajahku dengan tatapan khawatir. Perlahan-lahan ku’ulurkan tanganku untuk mengusap wajah cantiknya dari air mata yang mengalir di pipinya.

“Maaf sudah bikin Tante sedih,” desisku, “kak, maaf. Maafin aku,” kataku pelan sambil menatap kak Hengky yang sedang melihat tajam ke arahku.
“Kenapa minta maaf? Apa kamu ada salah sama aku?” tanya kak Hengky sambil berdiri dari kursinya dan berjalan pelan ke arahku dan Tante.

Kak Hengky yang sudah berada di depanku langsung berjongkok. Aku cuma terdiam sambil menatap nanar ke arahnya. Sesekali ku hapus air mata yang terus turun mengalir mambasahi pipiku. Sedangkan Tante juga terdiam dan menatap kak Hengky.

“Kamu nggak perlu minta maaf ke aku. Seharusnya kamu minta maaf ke diri kamu sendiri karena kamu sudah membuat dirimu sendiri menderita,” kata kak Hengky pelan sambil tersenyum tipis ke arahku.

Aku yang melihatnya tersenyum seperti itu langsung tertunduk.

“Kak…aku…aku nggak mau bertemu dengannya. Aku…”
“Aku nggak menyuruhmu bertemu dengannya. Mana tega aku mempertemukanmu dengan orang macam itu,” dengus kak Hengky kesal.
“Terus ngapain kamu kasih tau Agung? Bukannya aku sudah bilang, jangan sakiti Agung!!” kata Tante sambil mendorong bahu kanan kak Hengky.

Tapi untungnya dorongan Tante nggak keras, sehingga kak Hengky nggak sampai terjatuh.

“Ck…aku memang nggak mau mempertemukan Agung dengan orang itu. Tapi gimanapun juga orang itu ayahnya Agung. Kalau orang itu ingin ketemu Agung, kita nggak bisa melarangnya. Yang bisa memutuskan mau atau nggaknya bertemu dengan orang itu ya Agung sendiri,” kata kak Hengky kesal sambil menepuk-nepuk bahunya yang tadi di dorong Tante, setelah itu dia menyisir rambut depannya yang agak berantakan dengan jari-jari tangannya, “berantakan deh,” dengusnya kesal.

Kali ini Tante cuma terdiam setelah itu dia berdiri lalu meninggalkanku dan kak Hengky di ruang makan. Sepertinya Tante sudah sangat kesal dengan kehadiran kak Hengky.

“Huh dasar nenek tua. Kelakuannya nggak berubah,” dengus kak Hengky setelah Tante menghilang dari ruang makan, “kamu nggak apa-apa?” tanya kak Hengky sambil menatapku.
“Aku nggak apa-apa,” jawabku lirih.
“Sorry ya aku sudah bikin kamu syock sampai seperti ini,” kata kak Hengky sambil menghapus sisa-sisa air mataku, “ayo berdiri!” katanya lagi sambil membantuku berdiri.

Setelah itu aku dan kak Hengky duduk di kursi meja makan. Kali ini kak Hengky duduk di sampingku.

“Apa…apa kamu masih membenci…eng…orang itu?” tanya kak Hengky ragu-ragu.
“Aku nggak bisa melupakan apa yang sudah dia lakuin pada ibuku. Gara-gara dia ibuku meninggal. Kalau saja dia nggak suka memukul, memaki, mabuk, judi dan main perempuan, ibu nggak mungkin meninggal karena tekanan batin,” kataku lirih, “aku juga nggak bisa melupakan apa yang sudah dia perbuat padaku,” lanjutku lagi dengan suara yang sedikit bergetar.

Ku pejamkan ke dua mataku rapat-rapat agar air mataku nggak keluar. Tapi percuma, air mataku kembali mengalir membasahi pipiku.

Tiba-tiba kak Hengky memutar tubuhku sampai menghadap ke arahnya. Aku dapat merasakan sentuhan tangannya di kedua pipiku. Perlahan-lahan ku buka mataku dan melihat kak Hengky sedang tersenyum ke arahku. Kak Hengky mulai memajukan kursinya ke arahku, lalu mendekatkan wajahnya.

“Pelan-pelan saja. Pelan-pelan lupakan semuanya. Kamu nggak pantas menderita seperti ini. Kamu berhak bahagia. Aku adalah orang yang sangat ingin melihatmu bahagia lebih dari siapapun,” desisnya sambil menatap lurus ke dalam dua bola mataku. Seakan-akan dia mau melihat apa yang sedang aku pikirkan saat ini.

Aku nggak bisa melepaskan pandangan mataku darinya. Tatapan matanya yang lembut seakan menghipnotisku untuk terus menatap wajahnya.

“Aku merindukanmu,” desisnya, “sangat,” lanjutnya lagi sebelum bibirnya menempel di bibirku.

Belum sempat aku berpikir apa yang terjadi, kak Hengky sudah melumat perlahan bibirku. Rasa rindu yang selama ini aku pendam akhirnya meluap keluar. Aku melingkarkan tanganku di lehernya dan mencoba untuk membalas ciumannya. Biarpun aku belum pernah melakukannya, tapi aku ingin mencobanya. Lagipula aku sudah mempelajari cara berciuman dari kak Hengky dan Rico.

DEG

Rico…

BUUUGGGGG….

“A..apa?” tanya kak Hengky bingung saat aku mendorong tubuhnya sampai ciuman kami terlepas.
“Aku…aku nggak bisa. Maaf,” desisku sambil menundukkan kepalaku dalam-dalam.
“…”
“…”
“Aku ngerti,” kata kak Hengky sambil mengusap kepalaku pelan. Setelah itu dia berdiri dan beranjak pergi meninggalkanku.

Aku langsung menghela nafas panjang setelah kepergian kak Hengky.

Ku raba bibirku yang sedikit basah.

Saat ini aku sangat bingung dengan perasaanku sendiri. Aku sangat merindukan sosok kak Hengky dan ingin merasakan kehangatan cintanya seperti dulu, tapi di sisi lain aku juga sangat menyukai Rico dan nggak mau membuatnya bersedih.

Aku harus gimana?? Rico…maaf. Maafin aku. Maafin aku karena aku sudah berciuman dengan cowok lain. Maafin aku.

Ku gigit bibir bawahku kuat-kuat.

~Alvin Pov~
“Nggak usah!!” tolak Pandu untuk kesekian kalinya.
“Tapi Pan…aku ingin gabung sama kelompok motormu,” kataku setengah memohon.
“Aku bilang nggak usah ya nggak usah,” tolak Pandu lagi.
“Tapi kenapa? Kenapa nggak usah? Kenapa aku nggak boleh gabung?” tanyaku setengah merengek.

Pandu mem-pause game yang sedang dia mainkan lalu menatap ke arahku yang daritadi ada di sampingnya.

“Karena aku bilang nggak usah,” jawab Pandu lalu melanjutkan main game sepak bolanya lagi.

Aku menghela nafas kesal mendengar jawaban Pandu. Akhirnya aku beranjak dari sisi Pandu menuju tempat Aan dan teman-teman yang lain duduk di sofa yang sedang memakan pizza, burger dan kentang goreng yang sengaja aku belikan sebelum ke kosnya Pandu. Aku langsung duduk di samping Aan.

“Gimana?” tanya Aan yang sibuk mengunyah pizzanya.
“Nggak boleh. Pandu tetep nggak ngizinin aku ikut,” jawabku kesal yang langsung di sambut tawa kecil Aan.
“Udah jangan cemberut gitu. Lagian ngapain juga kamu mau gabung? Kamu kan nggak bisa naik motor.”
“Aku kan bisa jadi penyemangat Pandu kalau balapan,” kataku sambil mencomot sepotong pizza lalu memakannya sedikit.
“Kalau cuma mau ngasih semangat nggak perlu sampai ikut gabung. Kamu kan bisa datang waktu Pandu balapan,” sahut Dodo yang kini sedang memakan kentang goreng.

Dodo ini cowok yang pernah membukakan pintu untukku saat pertama kali aku ke sini. Akhirnya aku tau namanya.

“Tapi kalau aku nggak gabung, aku nggak akan tau jadwal-jadwal kalian,” dengusku kesal, “lagian aku ingin tau semua tentang kalian.”
“Ingin tau tentang kami atau ingin tau tentang Pandu?” tanya Yayan, tapi langsung mendapat jitakan dari Pandu yang duduk di sampingnya.

Aku cuma terdiam sambil melihat Pandu dari belakang. Pandu dan Yayan sedang bermain game di depan TV sambil duduk di karpet, sedangkan aku dan teman-teman yang lain duduk di sofa ruang tamu yang nggak jauh dari mereka berdua.

Tadi waktu di sekolah aku minta gabung di gank motornya Pandu, tapi Pandu melarangnya. Alasannya karena aku nggak bisa naik motor, takut aku sakit, takut aku kenapa-napa, dan lain-lain. Padahal aku bakal baik-baik saja kalau berada di dekat Pandu, aku juga nggak bakal sakit. Masalah nggak punya motor itu sih gampang, aku bisa beli motor dan belajar menaikinya. Sebenernya aku sudah minta izin sama Aan langsung, tapi Aan nggak bisa ambil keputusan setelah mendengar alasan Pandu itu. Aan juga takut kalau aku sampai kenapa-napa mengingat daya tahan tubuhku yang lemah. Bukannya aku kurang kerjaan sampai maksa ikut gabung gank nya sampai seperti ini. Aku cuma kepikiran sama omongan Rico kemarin. Aku jadi nggak tenang kalau mikirin Pandu di kelilingin cewek-cewek cantik dan sexy di gank nya itu.

“Mas Aan.”
“Hmm?”
“Eng.. aku mau tanya boleh?” tanyaku sedikit berbisik.
“Boleh. Tanya aja.”
“Pandu pernah gituan sama cewek nggak?” tanyaku yang sekarang sudah benar-benar berbisik tepat di telinganya.

Aan langsung menatapku kaget. Tapi sedetik kemudian dia tertawa-tawa nggak jelas sampai membuat teman-teman yang lain dan Pandu menatap ke arah kami.

“Jadi itu alasanmu,” desis Aan sambil berusaha meredam tawanya.
“Hee???”
“Kalau aku bilang nggak pernah berarti aku bohong,” kata Aan sambil mencomot kentang gorong lalu memakannya, sedangkan aku masih mencerna kata-katanya barusan.

Tiba-tiba mataku terbelalak kaget setelah berhasil mencerna kata-katanya.

“Ja..jadi pernah?” tanyaku ragu, yang langsung di jawab dengan angukan kepala Aan, “be..berapa kali?” tanyaku lagi.
“Sering…mungkin.” (harap di perhatikan, di sini Aan sedang ngerjain Alvin haha)
“SERING??” tanpa sadar aku malah berteriak karena kegetnya.

Aku langsung terdiam waktu teman-teman dan Pandu sedang melihat ke arahku.

“Apa mereka cantik-cantik?” tanyaku menyelidik.

Aan yang sedang menyeruput coca cola nya langsung melihat ke arahku.

“Cantik- cantik dan sexy-sexy dong. Pandu mana mau sama cewek jelek,” kata Aan pelan seolah-olah takut kalau Pandu mendengar kata-katanya, sedangkan aku cuma diam seribu bahasa mendengarnya.

Cantik? Sexy? Hmm.. gitu ya. Cantik dan sexy.

Dadaku menjadi sesak menyadari kalau aku nggak akan bisa seperti itu. Ya jelas lah aku nggak bisa seperti itu.

“Kenapa? Jealous?” tanya Aan, tanpa sadar aku langsung mengangguk.
“Eh nggak. Maksudku, aku…aku…”
“NONTON INI YUK!” teriak Vino salah satu temen Pandu yang membuat kata-kataku terputus dan itu menyelamatkanku dari pertanyaan aneh Aan.

Vino yang tadi sempat masuk ke kamarnya kini keluar lagi sambil mengacungkan beberapa CD yang bercover putih polos.

“Film apaan tuh?” tanya Ipang yang tiduran dipaha Oboy.
“Biasa,” jawab Vino sambil tersenyum misterius.
“Dapet dari mana? Ini barang baru kan?” tanya Dodo yang menerima CD itu dari tangan Vino.
“Ada deh. Barang baru lah. Masih banyak tuh di kamarku, kalau mau pinjem harus di kembaliin ya!” kata Vino yang sudah duduk di belakang Pandu.
“Nggak usah liat sekarang bisa kan?! Masih ada tamu juga,” sahut Pandu sambil menyambar CD yang akan di masukkan Dodo, tapi dengan cepat Dodo sudah mengamankan CD itu di belakang tubuhnya.
“Apaan sih?!! Aan aja nggak masalah kok. Lagian kenapa kalau ada Alvin?” kata Dodo kesal, “Vin, nggak apa-apa kan kalau kita liat film ini?” tanya Dodo ke arahku sambil mengacungkan CD itu.
“Eh.. ya nggak masalah sih,” jawabku sedikit bingung, “tapi itu film apaan sih?” tanyaku penasaran.
“Nanti kamu juga tau,” jawab Dodo sambil mulai memasukkan kepingan CD itu ke dalam DVD player.

Film misterius itu pun di putar. Anak-anak kos yang tadinya duduk di sofa langsung beranjak pindah duduk di karpet, sedangkan Pandu malah mundur dan duduk di sofa yang ada di depanku. Sedangkan Aan masih saja memakan makanannnya. Ternyata itu film barat. Tapi aku nggak tau itu film apa.

“Film apaan sih?” tanyaku yang masih penasaran karena sejak di putar tadi, filmnya masih belum bisa aku pahami.
“Udah liat aja. Nanti juga tau sendiri,” jawab Aan, sedangkan Pandu cuma diam dan terus menatap layar kaca.

Akhirnya nggak sampai tiga menit akhirnya aku tau juga film apa yang sedang di putar.

“I..ini kan…” desisku saat melihat adegan yang mulai menjurus ke arah-arah yang berbau mesum.
“Film Porno,” gumam Pandu meneruskan kata-kataku.
“Gila… lubang me**k nya lebar banget,” kata Hendra, “kepala masuk tuh,” lanjutnya lagi.
“Ah nggak bakal enak kalau udah melar gitu. Nggak bakal nggigit,” sahut Udin.

Aku langsung mengalihkan pandanganku dari layar tv setelah melihat adegan yang menurutku sangat mengerikan. Aku nggak tau apa enaknya nonton blue film yang terlalu ekstrim ini. Tadi aku ngeliat kalau vagina cewek itu di masukin beberapa benda yang nggak seharusnya di masukin di sana. Apalagi ngeliat cewek itu di cambuk dan di siksa sangat sadis seperti itu. Aku nggak tega.

“Kenapa? Nggak suka sama filmnya?” tanya Aan yang melihatku terus menundukkan kepala.
“Iya. Terlalu ekstrim,” jawabku lirih.
“Oh,” desis Aan, “hai Vin!” panggil Aan, aku langsung menatapnya tapi pandangan mata Aan malah ke Vino yang duduk di depan tv.
“Hmm?” tanya Vino tanpa menoleh.
“Ganti dong!! Alvin nggak biasa liat yang kayak gini. Ada yang lebih lembut nggak?”
“Ada, asia. Jepang kalau nggak salah,” jawab Vino yang langsung mengganti film nya.
“Eh.. nggak usah diganti juga nggak apa-apa,” kataku sungkan.
“Udah nggak apa-apa, daripada kamu nggak nyaman,” sahut Pandu yang kini sudah merebahkan tubuhnya di atas sofa dan menutup wajahnya dengan bantal sofa.

Film ke dua yang di putar ini memang penuh dengan perasaan. Tiap adegannya sangat mendetail. Dari percakapan biasa, ciuman, saling raba sampai ke adegan yang benar-benar hot di lakukan penuh perasaan. Suara desahannya sungguh membuat suasana di ruang tamu ini bener-bener menjadi panas. Aku yang baru melihat beberapa kali film porno (di ajak Rico), akhirnya mulai ngerasa nggak nyaman. Tubuhku menjadi panas dingin mendengar desahan yang keluar dari layar kaca itu. Aku juga merasakan ada yang salah di antara ke dua pahaku. Rasanya juniorku mulai menegang. Beberapa kali aku mengganti posisi dudukku agar merasa nyaman, tapi tetep aja nggak nyaman-nyaman (hahahaha kasian).

DEG

Aku kaget saat menyadari Pandu sedang memperhatikanku dari bawah bantal yang menutupi wajahnya. Akhirnya aku yang malu cuma menundukkan kepalaku sambil menutupi bagian depan celanaku yang sedikit menonjol dengan ke dua tanganku.

“Aku ngocok duluan ya. Udah nggak kuat nih,” kata Hendra yang sukses membuatku kaget mendengarnya.
“Aku juga mau ngocok,” sahut Ipang yang terlihat mengusap-usap tonjolan di celananya.

Tunggu-tunggu…. Masturbasi?? Ramai-ramai?? Nggak…nggak salah??

Dengan santainya Hendra membuka kancing celananya dan menurunkan resletingnya.

“Ikut aku!” kata Pandu yang tau-tau sudah ada di sampingku dan menarik tangan kananku sampai aku berdiri.
“Ke..kemana?” tanyaku bingung dan masih bercampur kaget.
“Kamar.”
“Kamar??” aku melebarkan mataku syock.
“Wah langsung main hajar aja nih,” kata Aan sambil terkekeh pelan yang langsung mendapat jitakan keras dari Pandu sampai Aan meringis kesakitan, “ANJRIT…SAKIT TAU!!! NGGAK SOPAN BANGET SIH SAMA BOS MU,” dengus Aan kesal.
“Makanya jangan mikir yang enggak-enggak. Aku cuma nggak mau liat Alvin syock karena liat pemandangan yang nggak biasa dia liat,” kata Pandu kesal sambil menarikku agar aku mengikutinya.

Akhirnya aku pasrah aja mengikuti Pandu yang terus menarik tanganku. Lagian aku memang sudah ngerasa nggak nyaman banget di sana. Aku nggak pernah ngeliat cowok masturbasi selain Rico. Itupun cuma sekali dan aku nggak mau liat untuk yang ke dua kalinya.

“Kamu di sini aja sampai anak-anak yang lain selesai dengan ritualnya,” kata Pandu setelah melepaskan tanganku, setelah itu dia berjalan kearah tempat tidurnya dan merebahkan tubuhnya di sana.

Setelah menutup pintu kamar Pandu, akupun duduk di sampingnya.

Pandu terlihat sedang memejamkan matanya. Suasana mendadak sepi karena nggak ada yang memulai bersuara.

“Pan,” panggilku.
“Hmm??”
“Ka…kalau kamu masih mau liat film nya ya nggak apa-apa, aku di sini sendirian juga nggak masalah,” kataku sambil ikut merebahkan tubuhku di sampingnya.
“Males,” jawabnya pendek masih menutup kedua matanya.
“…”
“…”
“…”

Hening lagi. Aku benar-benar nggak nyaman dengan suasana hening ini.

Perlahan-lahan aku menoleh ke arah Pandu yang tidur terlentang di sampingku. Matanya masih terpejam rapat. Ku dekatkan wajahku ke wajahnya untuk memperhatikannya lebih dekat lagi. Wajahnya benar-benar menggambarkan wajah seorang cowok pekerja keras. Cowok banget. Alisnya tebal tapi rapi yang di bawahnya ada dua mata yang selalu memandang tajam ke siapa saja. Hidungnya panjang (mancung) sedikit besar dan memiliki bibir yang nggak tebal tapi juga nggak tipis yang berwarna sedikit kecoklatan karena dia perokok.

Aku sedikit tersenyum geli saat menyadari ada beberapa jerawat yang hinggap di wajahnya itu. Padahal beberapa hari yang lalu wajahnya masih bebas dari jerawat.

DEG

Aku langsung menjauhkan wajahku dari wajahnya waktu Pandu membuka matanya dengan tiba-tiba.

“Sorry,” desisku sambil kembali berbaring di sampingnya tapi pandanganku sudah kearah lain.

Aku nggak berani melihat ke arahnya. Rasanya malu banget tertangkap basah sedang memperhatikannya sampai seperti itu.

“…”
“…”
“…”
“Pan, kamu marah ya sama aku?” tanyaku takut-takut.

Bukannya aku takut sama orangnya, tapi aku takut sama jawabannya. Kalau di tanya, kenapa aku berani tanya kalau takut mendengar jawabnya? Akan aku jawab, karena aku ingin tau jawabnya biarpun aku takut. Habisnya pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di pikiranku begitu saja sih.

“Kenapa kamu tanya gitu?” tanya Pandu balik.
“Habisnya daritadi… ah nggak, beberapa hari ini kamu diem aja,” jawabku sambil memberanikan diri menatapnya.
“Bukannya aku selalu gitu?!” kata Pandu yang ternyata juga sedang menatapku.

Aku jadi sedikit salting juga di lihat dengan tatapan tajamnya itu.

“Hmm..i…iya sih, tapi ini terlalu diem,” kataku sambil mengalihkan pandangan mataku dari matanya, “apa karena masalah gank motor? Apa aku terlalu memaksamu?” tanyaku.
“Nggak. Bukan masalah itu,” jawab Pandu pelan, “aku cuma lagi bingung aja,” lanjutnya lagi.
“Bingung?” tanyaku penasaran, kali ini aku memberanikan diri menatap Pandu, “bingung karena masalah apa?”

Pandu nggak segera menjawab pertanyaanku. Dia hanya menatapku. Tatapan matanya yang tajam tadi perlahan-lahan berubah menjadi tatapan yang sulit aku artikan.

“Aku bingung sama perasaanku sendiri,” desisnya yang mampu membuat dadaku berdesir aneh.
“Oh..me…memangnya kenapa sama perasaanmu?” tanyaku yang langsung mengalihkan pandanganku darinya saat menyadari jantungku berdetak sangat cepat.
“Kalau aku tau, aku nggak akan sebingung ini,” desisnya. Setelah itu aku mendengar dia menghela nafas panjang.
“Terus kenapa kamu mati-matian ingin masuk gank motorku?” tanya Pandu yang kini sudah memiringkan tubuhnya menghadap ke arahku yang sedang berbaring.
“Aku..itu..aku..aku..”
“Hmm??”
“Aku..aku suka sama motor,” jawabku sekenanya tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya.
“Bohong. Kamu itu bukan orang yang punya hobby seperti itu. Udah jawab aja yang jujur!! Aku nggak bakal ngetawain kamu kok,” desak Pandu.

Aku langsung menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan Pandu.

“Aku nggak mau kalau kamu deket-deket sama cewek di sana. Makanya aku ingin gabung supaya aku bisa liat aktifitasmu,” jawabku cepat secepat kilat.

Aku sendiri sampai bingung dari mana datangnya si kilat tadi –a

“Kamu cemburu?” tanya Pandu sambil tertawa pelan.
“Heee?? Ka…kamu salah paham. Aku…aku cuma takut kalau kamu kena penyakit karena tidur dengan cewek-cewek yang nggak jelas asal-usulnya,” kataku mencoba mengklarifikasi jawabanku tadi.

Kali ini tawa Pandu malah meledak.

“Kalau masalah itu aku lebih tau dari kamu yang belum punya pengalaman,” kata pandu sambil menyentil hidungku pelan. Membuatku mukaku meram padam karena menahan malu dan kesal karena di bilang ‘belum punya pengalaman’.
“Udah deh aku mau pulang aja,” kataku kesal sambil beranjak dari rebahanku.
“Hai jangan ngambek dong!” tiba-tiba Pandu menarik tanganku sampai aku terjatuh di atas tubuhnya.
“Sa..sakit tau!” kataku kaget dan langsung berusaha berdiri, tapi Pandu langsung menahanku dengan memegang pinggangku.
“Di sini aja dulu! Aku masih ingin bersamamu,” kata Pandu pelan.

Perlahan-lahan Pandu mulai memelukku dengan posisi aku berada di atas tubuhnya. Jantungku yang tadi sempat berdetak normal beberapa detik kembali berdebar kencang lagi. Aku masih berusaha agar tubuhku nggak terlalu menimpa Pandu yang ada di bawahku. Tapi karena pelukan Pandu yang makin lama makin erat, mau ngga mau tubuhku jadi merapat ke Pandu.

“Kamu nggak keberatan kan kalau aku peluk kayak gini?” tanya Pandu pelan nyaris berbisik.
“Nggak,” jawabku nggak kalah pelan.

Perlahan-lahan ku sandarkan kepalaku di antara leher dan bahu kirinya. Ku sembunyikan wajahku di sana.

Ah…apa mukaku memerah? Apa Pandu bisa merasakan debaran jantungku??

BRRUUUKKK….

Aku kaget banget waktu Pandu membalikkan posisi kami secara tiba-tiba. Sekarang Pandu yang di atasku. Pandu terus menatap tajam ke arahku. Tatapan matanya menembus lurus masuk ke dalam mataku. Seakan-akan dia mau menyelami apa yang aku pikirkan dan aku rasakan saat ini. Perlahan-lahan aku merasa kalau wajah Pandu mendekat ke wajahku dan…

CUP

Dia mengecup lembut keningku. Tapi nggak lama kemudian dia menjauhkan bibirnya dan menatapku lagi. Aku sudah nggak tau lagi harus gimana. Rasanya aku sudah mati kutu sekarang. Aku cuma bisa manatapnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Entahlah, aku sendiri juga merasa aneh. Aku sama sekali nggak keberatan dengan apa yang sudah dia lakukan padaku barusan. Aku malah merasa senang.

Pandu mulai mendekatkan wajahnya lagi ke arahku. Dia mencium keningku lagi, setelah itu dia mencium ke dua kelopak mataku yang terpejam saat dia mencium keningku tadi. Ciumannya sekarang berpindah ke ujung hidungku, pipiku dan daguku secara bergantian. Semua itu dia lakukan secara perlahan dan penuh perasaan. Dengan ciumannya itu aku merasa sangat di manjakan. Setelah itu dia menghentikan ciumannya itu dan menatapku lagi. Aku yang sudah nggak bisa berpikir apa-apa cuma menatapnya penuh harap. Berharap dia melakukan lebih lagi padaku.

Untuk yang ke tiga kalinya Pandu mulai mendekatkan wajahnya lagi ke arahku dan melumat bibirku perlahan. Aku benar-benar merasakan sensasi yang sulit aku ungkapkan. Rasanya berbeda dengan ciuman yang terjadi di UKS dulu. Ciuman kali ini di lakukan dengan sangat perlahan dan penuh perasaan.

Pandu terus melumat bibir atas dan bawahku secara bergantian. Sedangkan aku cuma diam dan belum membalas ciumannya sama sekali. Aku menutup ke dua mataku dan merasakan nikmatnya di cium oleh orang yang hampir membuatku gila karena terus memikirkannya. Aku merasakan Pandu mulai menindihku sampai tubuh kami berdua menempel erat. Aku juga merasakan Pandu mulai mendorong lidahnya masuk ke dalam rongga mulutku. Lidahnya sibuk mencari-cari lidahku. Setelah lidahnya dan lidahku bertemu, dia langsung menghisapnya, melilitnya dan menggigitnya kecil sampai membuatku sedikit mendesah karena merasakan sensasinya. Tubuhku seakan-akan meleleh di buatnya. Aku benar-benar nggak berdaya di bawah kuasanya saat ini. Nafasku juga makin memburu saat dia menggesek-gesekkan juniornya yang masih terbungkus rapi itu dengan juniorku yang sudah mulai menegang.

“Aahhh…” desahku saat ciumannya merangkak ke telingaku.
“Aahh…ge..geli aaahh Pa…Pandu geliiii…” desahku saat Pandu mulai mencium, menjilat bahkan menggigit kecil daun telingaku.

Aku baru tau kalau telingaku begitu sensitifnya sampai aku mendesah-desah seperti ini.

Nggak lama kemudian aku merasakan ciuman Pandu turun ke leherku.

“Eeeghh…” lagi-lagi aku mengerang pelan saat merasakan Pandu sedang melakukan sesuatu di leherku.

Leherku seperti di gigit kecil tapi gigitannya nggak sakit, tapi malah membuat sensasi aneh di tubuhku.

Tiba-tiba Pandu menjauh dari tubuhku. Dia terduduk di sisi tempat tidur. Aku sempat kecewa karena Pandu mendadak berhenti menciumku. Aku pikir Pandu menyudahi kegiatan kami. Tapi ternyata tebakanku salah. Pandu berhenti menciumku untuk melepas t-shirt yang dia pakai, setelah itu dia menindihku lagi dan mendaratkan ciumannya di bibirku lagi.

Suara erangan tertahan dan decakan air liur yang saling bertukar samar-samar terdengar di seluruh sudut kamar Pandu. Kali ini aku berusaha mengimbangi ciuman Pandu. Tapi aku tetap menjaga erangan yang keluar dari mulutku agar tidak terlalu keras karena mengingat ini di kos Pandu yang banyak orang sedang berkumpul di ruang tamu.

Perlahan-lahan Pandu mulai membuka kancing bajuku satu persatu sampai kancing di bajuku terlepas semua. Setelah itu ciuman Pandu berpindah lagi ke leherku yang kini lebih ter’ekspos (?).

“Aahh..” aku tersentak kaget saat tangan nakal Pandu mulai meraba-raba dadaku bahkan memainkan kedua nipple ku dengan meremas, mimilin dan mencubitnya perlahan.
“Ahh..hmm..Pan jangan di sana, aku…aku geli,” kataku terputus-putus karena desahan menahan geli yang amat sangat.

Tapi Pandu nggak mendengarkanku, dia malah menjilat nipple ku yang membuatku bergetar menahan sensasi yang baru pertama kali aku rasakan.

“Eehhh..haa…aahh..sudah..su..sudah! ja…jangan di situ!! Geli,” kataku sambil berusaha mendorong kepala Pandu menjauh dari dadaku.

Tiba-tiba….

Kleekk…

Pintu terbuka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar