Senin, 21 Maret 2016

Memories Of Him - Part 5

~Rico Pov~
Aku berjalan meninggalkan kelasku dengan alasan sakit dan mau ke UKS. Tapi itu cuma alasanku aja sih. Aku nggak sakit dan aku nggak akan ke UKS. Tujuanku saat ini adalah ke kelas Awe. Hari ini adalah hari tes menyanyi di kelasnya. Kemarin aku nyuruh temenku yang sekelas sama Awe buat sms aku kalau tiba giliran Awe maju tes menyanyi, dan barusan aku mendapat sms itu. Sebenarnya, selain ingin mendengarkan suaranya, aku juga ingin minta maaf sama dia tentang kejadian waktu itu. Aku nggak mau dia terus-terusan menghindariku.

Akhirnya aku sampai juga di depan kelas Awe. Aku berdiri di dekat jendela dan mengintip ke dalam kelasnya. Terlihat Awe sudah duduk di bangku depan kelas dengan memangku sebuah gitar. Terdengar suara tepukan dan semangat dari temen-temennya. Ya jelas aja karena mereka akan mendengarkan suaranya Awe. Jarang-jarang Awe mau membuka mulutnya untuk mengeluarkan suaranya.

“Mau nyanyi apa Gung?” tanya Bu Silvi guru kesenian yang sedang duduk di kursi guru.
“Eemm.. lagunya Wali yang judulnya Harga Diriku,” jawab Awe lirih.

Hampir semua teman sekelasnya heboh ketika mendengar suara Awe.

Jadi dia nggak mau menyanyikan lagu yang aku pilih?!

“Aweeeee…” teriak Anne yang gossipnya suka sama Awe.
“Si bisu akhirnya ngomong juga,” sindir Dodon dengan senyum sinisnya.

Suasana langsung jadi tambah heboh. Temen-temen Awe langsung protes nggak terima Awe di bilang kayak gitu, tapi gerombolan Dodon cuma tertawa-tawa mengejek.

Kalau aja aku bisa mukul dia sekarang, sudah aku pukul dia. Berani-beraninya ngomong gitu sama Aweku.

“Udah diam..diam!” kata Bu Silvi menenangkan suasana heboh di kelas, “silahkan Gung,” lanjut Bu Silvi mempersilahkan Awe untuk bernyanyi.

Awe menghela nafas sejenak sebelum memetik senar gitar yang dia pegang.





Di dirimu aku menemukan
Yang mencintaiku
Yang menyayangiku
Di dirimu aku ketakutan
Kau biarkanku
Kau tinggalkanku

Reff:
Bila kamu tak lagi denganku
Ku tak tahu apa tuk jalani hidupku
Bila memang kau pergi dariku
Ku tak ada lagi di dunia ini

Mengertikah kau siang malamku
Dan tangis tawaku
Kau semua hidupku
Pandang aku pandanglah hatiku
Aku tak mampu melangkah tanpamu

Back to Reff

Bukan ku tak punya harga diri
Tapi dirimu begitu berarti
Kaulah nafasku engkau harga diriku
Mengerti aku…

Back to Reff

Di dirimu aku menemukan….





Awe pun mengakhiri nyanyiannya. Tepuk tangan langsung terdengar dari kelas 12 IPS 3. Aku masih terpaku menatap sosok Awe yang masih menundukkan kepalanya. Sedikit demi sedikit dia mengangkat wajahnya. Tangannya langsung mengusap air mata yang sempat terjatuh di pipinya sewaktu bernyanyi tadi. Ya benar, Awe sempat menangis sewaktu menyanyikan lagu itu.

“Bagus sekali Gung. Kamu menjiwai sekali lagu tadi,” kata Bu Silvi memuji.
“Makasih Bu,” kata Awe sambil tersenyum tipis. Setelah itu dia beranjak dari duduknya menuju bangkunya lagi.

Nggak. Awe nggak menjiwai. Tapi dia merasakan rasa yang terkandung dalam nyanyian itu. Di awal lagu tadi aku sudah melihat kesedihan terpancar dari wajahnya. Matanya terlihat hampa saat menyanyikan lagu tadi. Tapi saat memasuki bagian Reff, Awe mulai menampakkan emosinya. Dalam suaranya menggambarkan adanya rasa kesepian, kesakitan, penyesalan, kemarahan dan kekecewaan yang amat sangat. Dan Awe meneteskan air matanya ketika menyanyikan bagian terakhir.

Aku mengigit bibir bawahku keras-keras. Aku merasakan dadaku yang seperti di rajam. Sakit rasanya. Aku ingin tau siapa orang yang telah mengisi hatinya. Tapi apa hakku untuk tau soal pribadinya? Aku cuma temannya nggak lebih. Ya cuma temannya.

Aku tersentak kaget ketika bel tanda istirahat berbunyi.

“Sekarang kalian istirahat dulu, tesnya di lanjut sesudah istirahat saja,” kata Bu Silvi sambil berjalan keluar kelas.

Aku langsung masuk ke dalam kelas Awe ketika Bu Silvi sudah keluar dari dalam kelas.

“We,” panggilku.

Awe terlihat kaget dengan kedatanganku.

Aku langsung berjalan kearah bangkunya tanpa memperdulikan teman-temannya yang lain. Tapi ketika langkahku tinggal selangkah lagi, tiba-tiba Awe berlari keluar kelas. Spontan aku langsung mengejarnya dan menarik tangannya untuk berhenti.

“Kok lari sih?” tanyaku.

Awe cuma diam saja sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Aku mau ngomong tapi nggak di sini,” kataku sambil memperhatikan sekeliling.

Terlihat temen-temen sekelas Awe yang menatap kami dengan pandangan ingin taunya. Tanpa menunggu persetujuan dari Awe, aku langsung menyeretnya keluar kelas menuju toilet belakang sekolah. Toilet di sana sudah nggak di pakai sejak lama dan biasanya di sekitar toilet itu di pakai anak-anak nakal buat ngerokok. Tapi aku beruntung karena sekarang nggak ada yang ngerokok.

Aku nggak melepaskan tangannya biarpun kami sudah sampai ke tempat yang aku tuju. Aku nggak mau kalau dia sampai kabur lagi.

Untuk sejenak kami cuma terdiam membisu. Kata-kata yang sudah aku rancang sejak kemarin jadi berantakan karena berhadapan langsung dengan Awe.

“Su..suaramu bagus,” kataku memecah keheningan yang aneh.

Awe masih menundukkan kepalanya.

“…”
“…”
“…”
“Sorry,” kataku akhirnya, “sorry buat yang waktu itu,” lanjutku selirih mungkin.

Awe mulai mengangkat wajahnya melihatku.

“Sorry,” kataku lagi, “aku janji aku nggak akan ngulangin hal itu lagi. Jadi aku mohon kamu jangan ngindarin aku kayak gini,” lanjutku memohon.
“Aku nggak mau kamu jauhin aku.”
-Kenapa? Kan masih ada Alvin- tiba-tiba Awe menyodorkan notes ke arahku.
“Beda. Alvin dan kamu itu berbeda. Alvin memang penting buatku tapi kamu jauh lebih penting,” jawabku lirih.

Awe menarik notes dari hadapanku lalu menulisinya lagi.

-Kenapa gitu?- tulisnya.

Aku terdiam sejenak. Aku kebingungan sekarang. Pertanyaannya sulit aku jawab.

“Aku.. aku juga nggak tau,” jawabku apa adanya.
“…”
“…”
“…”
“…”

Hening. Nggak ada kata-kata atau tanggapan darinya.

“Udah yang itu nggak usah di bahas! Aku cuma ingin kamu maafin aku. Ka..kamu mau kan maafin aku?” tanyaku takut-takut.

Awe terdiam menatapku, lalu akhirnya dia menganggukkan kepalanya. Aku langsung tersenyum lebar.

“Bener?” tanyaku meyakinkan, Awe mengangguk lagi.

YES

Aku langsung memeluk tubuhnya karena terlalu senang. Tapi aku buru-buru melepasnya lagi.

“Sorry khilaf,” kataku cepat.

Terlihat Awe tertunduk dengan muka memerah.

“Ah iya, aku punya coklat buat mu,” kataku sambil merogoh kantong celanaku dan menyodorkan silver queen ke arahnya.

Sebenernya coklat ini untuk mengganti coklat yang tempo hari. Gara-gara banyak kejadian waktu di rumahnya, aku sampai kelupaan buat ngasih coklat yang aku bawa dari rumah buat dia.

Awe langsung tersenyum dan menyambar coklat yang aku sodorkan. Dia tersenyum lebar ke arahku. Rasanya aku jadi ingin meluk dia lagi. Tapi aku tahan karena aku tau kalau dia masih takut-takut sama aku. Aku nggak mau usahaku buat minta maaf ke dia jadi sia-sia. Kayaknya sementara ini aku harus menahan diri untuk nggak memeluknya dan menyentuhnya. Moga-moga aku kuat.





~Alvin Pov~
“We kamu mau ini?” tawarku pada Awe yang sibuk main game di kamarku.

Awe langsung mem-pause permainannya dan menghampiriku yang sedang berdiri di depan pintu kamar sambil membawa sepiring agar-agar yang berbentuk lucu. Dengan senyum lebar dia mengambil piring itu dari tanganku. Setelah itu dia membawa piring itu ke tempat dia duduk tadi, meletakkannya di sana lalu memakannya. Sedangkan aku berjalan mendekati Rico yang sedang duduk di sofa yang ada di dalam kamarku.

“Bagus deh kamu udah baikan sama Awe,” kataku sambil duduk di dekat Rico.

Rico tersenyum tipis menanggapi kata-kataku.

“Aku nggak akan ngulangi kesalahanku lagi,” katanya pelan hampir berbisik.
“Maksudmu?” tanyaku bingung.
“Eh? ah..enggak..nggak apa-apa kok,” jawabnya mengelak.
“Kok main rahasia-rahasiaan gitu sih?!” protesku.
“Kayak kamu nggak pernah aja,” sindir Rico. Aku cuma tertawa pelan.

Bener juga ya, dulu aku pernah nyembunyiin sesuatu ke Rico. Aku nggak bilang ke Rico kalau aku pernah di tolong Pandu dan tentang aku yang nginap di kosnya Pandu.

Pandu ya…

“Ric…”
“Apa?”
“Kamu tau kan kalau Awe sekarang suka deket-deket sama Pandu?!”
“Ya tau lah. Jelas banget kan kalau Awe suka nempel ke Pandu. Anak-anak juga heboh karena itu,” kata Rico sambil mendengus kesal.
“Kamu harus awasin Awe. Jangan biarin Awe deket-deket sama Pandu. Pandu itu orang nggak bener.”

Rico langsung menatapku bingung.

“Ap..apa?”
“Nggak sih. Cuma aneh aja denger kamu ngomong gitu.”
“Aneh gimana?”
“Ya aneh aja. Bukannya kamu dulu bilang kalau Pandu itu baik tapi sekarang kamu bilang Pandu orang nggak bener.”
“Oh itu…itu karena aku baru sadar kalau Pandu itu orang nggak bener,” kataku gugup.
“Akhirnya kamu sadar juga. Iya, aku bakal awasin Awe biar nggak deket-deket sama Pandu lagi. Aku nggak mau Awe jadi ikutan nggak bener,” kata Rico sambil mengalihkan pandangannya dariku. Terlihat Rico menatap Awe yang sedang asyik bermain game.

Aku menghela nafas berat.

Gimana ini? Aku sudah menjelek-jelekkan Pandu di depan Rico. Aku nggak mau kalau Awe terlalu deket sama Pandu. Rasanya aku sudah jadi orang jahat yang serakah. Aku nggak mau orang lain tau kebaikan Pandu dan akhirnya jadi akrab sama dia. Pandu.. maafin aku. Ini semua aku lakuin karena aku ingin jadi orang pertama yang bisa akrab sama kamu. Aku sedikit nggak nyaman melihatmu deket sama Awe. Seharusnya aku senang akhirnya Awe mau temenan sama kamu di sekolah, tapi kenyataannya aku malah nggak suka. Apalagi waktu denger Awe pernah nyium kamu, aku jadi makin nggak suka liatnya. Aku nggak benci sama Awe, aku cuma nggak suka liat dia deket-deket sama kamu.

“Vin aku sama Awe pulang dulu ya,” kata Rico membuyarkan lamunanku.
“Hah..oh gitu?? Kok cepet??” tanyaku.
“Udah malam ini,” kata Rico, “We pulang yuk!” ajak Rico pada Awe yang sedang sibuk memakan agar-agar yang tadi aku bawakan.

Awe langsung memakan habis agar-agar itu sebelum beranjak berdiri.

-Aku pulang dulu ya Vin- tulis Awe di notesnya.
“Ah i..iya,” kataku sedikit gugup ketika menghadapi Awe.

Akhirnya aku mengantar kepulangan Rico dan Awe sampai di depan rumah. Sesudah mobil Rico menghilang dari halaman rumahku, akupun masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamarku lagi. Terlihat Bi Surti sedang membersihkan kamarku.

“Den jangan masuk dulu! Kamarnya mau bibi bersihkan,” kata Bi Surti melarang aku masuk ke dalam kamar.

Akupun jadi batal masuk ke kamar dan duduk di ruang keluarga sambil menyalakan TV. Tapi nggak ada acara yang bisa membuatku tertarik. Akhirnya aku merogoh kantong celanaku dan mengeluarkan HP ku. Aku mulai memainkan game yang ada di HP. Setelah mulai bosan, aku mulai membuka akun facebook’ku. Banyak update status yang nggak jelas terpampang di home-ku. Aku tertawa-tawa sendiri ketika membaca berbagai macam status yang bener-bener nggak jelas itu. Tiba-tiba aku jadi ingin update status. Akupun mulai mengetik sesuatu untuk update statusku hari ini.

=P=

Itulah update statusku hari ini. Aku tertawa pelan ketika membaca ulang statusku yang singkat itu.

Kok aku jadi ikut-ikutan bikin status yang nggak jelas ya?!

Tiba-tiba aku sadar kalau aku nggak pernah punya FB nya Pandu. Aku juga nggak punya no HP nya. Tanpa pikir panjang aku mulai menelfon pusat informasi untuk menanyakan no tlp kosnya Pandu. Ternyata ada. Setelah mendapatkan no tlp kosnya Pandu, aku langsung menelfonnya.

Tuuutt…Tuuutt…Tuuutt…

“Hallo..” sapa seseorang di seberang sana.
“Iya Hallo selamat malam. Pandunya ada?” tanyaku.
“Pandunya..sebentar saya tanyakan dulu,” kata cowok itu, “Jo..Johan.. Pandu di mana?” samar-samar terdengar suara cowok itu sedang bertanya pada seseorang.
“Hallo..”
“Ya Hallo..”
“Pandunya keluar itu mas,” kata cowok itu.
“Keluar? Keluar kemana ya?” tanyaku penasaran.
“Emm..biasanya dia ngumpul sama temen-temennya di jl. (sensor ^^).”
“Oh gitu. Makasih ya mas,” kataku.
“Iya sama-sama.”

Aku meletakkan kembali tlp yang baru aku pakai ke tempatnya. Untuk beberapa saat aku cuma terduduk diam. Aku melihat jam yang sudah menunjukkan jam sebelas malam. Dengan sedikit terburu-buru aku kembali ke kamarku. Kamarku sudah terlihat bersih dan rapi. Bi Surti juga sudah nggak terlihat di dalam kamar. Aku segera mengambil dompetku dan buru-buru keluar dari kamar lewat jendela kamarku. Untung nggak ada orang di halaman depan, jadi aku bisa langsung keluar rumah tanpa ketahuan. Aku langsung menaiki taxi yang kebetulan lewat di depan rumahku.

“Pak tolong antarkan aku ke jl. (sensor ^^).”

Supir itu sempat melihatku dengan wajah kebingungan. Tapi akhirnya dia melajukan taxi nya.

Selama di jalan aku terus kepikiran Pandu. Ini sudah jam 10 malam tapi Pandu masih ada di luar dan sedang berkumpul dengan temen-temennya. Aku ingin tau apa yang di lakukannya malam-malam gini. Lagian alamat yang cowok tadi kasih nggak terlalu jauh juga dari rumahku. Cuma melewati dua pertigaan jalan sampai deh.

“Kok berhenti di sini Pak?” tanyaku waktu taxi yang aku tumpangi berhenti mendadak.
“Maaf mas, saya nggak berani ke daerah yang mas mau tuju. Di sana nakutin mas.”
“Nakutin gimana maksudnya?” tanyaku bingung.
“Ya nakutin mas,” katanya sedikit panic.
“Hmm.. ya sudah deh.”

Akhirnya aku membayar ongkos taxi lalu keluar. Aku memutuskan untuk jalan kaki. Lagian pertigaan jalan yang ke dua sudah nggak jauh lagi. Setelah di pertigaan di depan sana tinggal belok kanan udah sampai deh. Dengan sedikit terburu-buru aku melangkahkan kakiku menuju jalan yang di maksud cowok tadi. Aku berjalan sambil melipat ke dua tanganku di depan dada untuk menahan dinginnya malam. Aku lupa nggak bawa jaket tadi. Pertigaan jalan sudah semakin dekat dan aku langsung berbelok ke kanan. Tapi langkahku berhenti ketika melihat pemandangan di depanku. Banyak orang-orang yang memenuhi sisi jalan itu. Mereka semua rata-rata berpakaian serba hitam. Pokoknya mereka nyeremin semua.

Apa ini yang di maksud supir taxi tadi dengan nyeremin tadi?? Ya emang nyeremin sih.

Untuk sejenak aku ragu buat nerusin jalanku dan bermaksud untuk pulang saja. Tapi rasa penasaranku mengalahkan segalanya. Akhirnya dengan perlahan aku mulai berjalan mendekati gerombolan aneh itu. Langkah demi langkah aku melewati mereka yang sedang duduk-duduk di sisi jalan. Aku berjalan sambil menundukkan kepalaku. Aku dapat merasakan kalau mereka menatapku dengan pandangan mengerikan. Aku takut. Harusnya aku tadi pulang aja.

“Hai kamu tunggu!” kata seseorang yang tiba-tiba menghalangi langkahku.
“I..iya?” tanyaku takut.

Aduh gimana ini?? Mau apa dia??

“Siapa kamu? Rasanya aku nggak pernah liat kamu di sini,” kata orang itu.

Sedikit demi sedikit aku mengangkat wajahku untuk melihat orang yang ada di depanku. Orangnya biasa aja. Dia nggak terlalu tinggi dan nggak berbadan besar. Tapi penampilannya bener-bener nakutin banget. Dari leher kiri sampai pipi kirinya ada tato.
“HEH TULI YA KAMU?! DI TANYA MALAH NGGAK JAWAB,” bentak cowok itu, aku langsung menundukkan kepalaku lagi.
“A..aku Alvin. Aku mau cari Pandu,” jawabku nyaris berbisik.
“APA??” tanya cowok itu sambil mendekatkan telinga kirinya ke wajahku.
“Aku..aku Alvin. Aku mau cari Pandu,” ulangku lagi.
“Kamu mau cari Pandu??” tanya cowok itu lagi, aku menganggukkan kepalaku pelan.
“HAI KALIAN SEMUA DENGER!! ORANG YANG BERNAMA ALVIN INI MAU CARI PANDU,” tiba-tiba cowok itu berteriak kearah semua penjuru.

Orang-orang yang mendengar teriakan tadi langsung melihat ke arahku. Sedetik kemudian mereka tertawa keras. Aku nggak tau apa yang mereka tertawakan, tapi aku sangat takut mendengar tawanya. Aku makin merasa nggak nyaman di sini. Aku sudah bener-bener takut sekarang.

“Dompet. Serahin dompetmu, baru aku antar kamu ke Pandu,” kata cowok berambut panjang yang tiba-tiba sudah ada di sisi kiriku.

Dia menjulurkan tangan kanannya ke arahku.

Astaga aku di palak??!! Di mintai uang. Kenapa Pandu bisa berteman dengan mereka?!

Dengan sedikit gemetar tanganku merogoh kantong celanaku dan memberikan dompetku ke cowok berambut panjang itu. Cowok berambut panjang itu mulai membuka dompetku. Sedetik kemudian dia tersenyum lebar.

“Gila. Nih duit apa duit?! Banyak banget. Ada ATM sama kartu kredit juga. Anak orang kaya dia Bon,” kata cowok berambut panjang itu ke cowok bertato tadi.

Cowok bertato itu langsung mendekat ke cowok berambut panjang itu dan ikut melihat ke dalam dompetku. Matanya langsung melebar ketika melihat isi dompetku.

“A..apa aku sudah bisa ketemu sama Pandu?” tanyaku.
“Apa? Pandu? Pandu nggak ada di sini. Daerah sini bukan kekuasaan Pandu. Ini daerah kekuasaanku,” kata cowok berambut panjang itu tanpa melihatku.
“Ta..tapi tadi katamu kalau aku ngasih dompetku, kamu akan mengantarku ke Pandu. Jadi tolong antarkan aku ke Pandu sekarang,” protesku.

Cowok berambut panjang itu langsung menatapku tajam. Tiba-tiba kerah bajuku di cengkeram kuat-kuat dan di tarik keatas. Aku menahan sakit di sekitar leher karena tertekan oleh kerah bajuku.

“Nggak ada yang bisa menyuruhku. PAHAM!!” bentak cowok itu.
“Sedang apa kalian??”

Cowok berambut panjang itu langsung melepaskan cengkeramannya dari kerah bajuku ketika mendengar suara dari arah belakangku. Aku langsung membungkuk dan terbatuk-batuk.

“Kenapa malah diam saja?? AYO JAWAB!!!” bentak cowok yang suaranya sudah sangat aku kenal.

Aku menoleh ke belakang dan terlihatlah Pandu yang sedang berdiri sambil menatap tajam kearah ke dua cowok yang sudah memerasku tadi. Terlihat ada sekitar dua puluh orang yang berjalan di belakang Pandu. Orang-orang yang tadi duduk-duduk di sisi jalan langsung berhamburan pergi. Aku juga ikut menjauh sedikit dari mereka.

“Pa..Pandu..ini kami cuma…bercanda,” jawab cowok bertato dengan nada ketakutan.

Pandu tersenyum sinis mendengar jawaban itu.

BUUUUGGGG…

Tiba-tiba Pandu melayangkan pukulan kearah cowok bertato sampai cowok itu tersungkur. Aku melebarkan mataku menyaksikan kejadian itu. Aku nggak nyangka Pandu bisa memukul seperti itu. Belum puas sampai di situ, Pandu mulai mendekati cowok bertato itu dan memukulnya bertubi-tubi.

“AARRGGGHHH…AM..AMPUN,” teriak seseorang dari sisi kananku.

Aku langsung melihat cowok berambut panjang itu sedang di pukuli oleh dua orang yang tadi mengikuti Pandu. Cowok berambut panjang tadi juga tersungkur di jalanan. Salah satu cowok yang memukuli cowok berambut panjang tadi mulai menjambak rambut cowok itu sampai cowok itu berdiri. Lalu cowok berambut panjang itu di dorong kearah Pandu dengan kasar. Pandu mulai menggeledah jaket yang di pakai cowok berambut panjang tadi dan mengeluarkan dompetku dari sana.

“Bawa mereka pergi dari sini! Mereka bukan anggota kita lagi,” kata Pandu.

Sedetik kemudian dua cowok yang memerasku tadi di seret pergi oleh teman-teman Pandu. Aku cuma menatap kosong kearah dua cowok yang di seret itu. Pikiranku masih kalut. Baru kali ini aku melihat sendiri orang di pukuli seperti tadi. Pandu memukuli orang tadi sampai babak belur. Dia bukan Pandu yang aku tau dan bukan Pandu yang ingin aku kenal.

Tiba-tiba Pandu berjalan ke arahku lalu mendekatkan tangannya ke arahku.

“JANGAN PUKUL!!” teriakku sambil menutup mukaku dengan kedua tanganku.

Aku berjalan mundur menjauh darinya.

“Aku nggak akan memukulmu,” kata Pandu pelan.
“JANGAN MENDEKAT!! JANGAN PUKUL AKU!!”

Tiba-tiba Pandu memelukku. Aku langsung memukul-mukul dadanya agar dia menjauh dariku. Aku takut. Aku takut.

“Aku nggak akan memukulmu Vin. Aku nggak akan memukulmu. Tenanglah!!” kata Pandu sambil terus memelukku.
“Sorry udah buat kamu takut,” kata Pandu lagi.

Aku merasakan Pandu mengencangkan pelukannya. Entah apa yang aku rasakan sekarang. Antara rasa takut dan nyaman. Lama-lama rasa takut itu menghilang dan cuma rasa nyaman yang aku rasakan.

Kenapa aku ini? Bukankah aku ke sini karena ingin mengetahui sisi lain dari Pandu?? Tapi kenapa tadi aku malah takut?? Pandu yang menolongku dari orang-orang tadi nggak mungkin memukulku.

Aku mulai menurunkan tanganku yang daritadi terhimpit di antara badanku dan badan Pandu. Perlahan-lahan aku melingkarkan tanganku memeluk pinggangnya. Aku benar-benar merasa nyaman sekarang.





~Alvin Pov~
“Eheeemm…apa kami semua mengganggu?”

Aku tersentak kaget ketika menyadari kalau ada orang lain di sekitar kami. Aku langsung melepaskan pelukanku dan menundukkan kepalaku dalam-dalam.

“KA…KALIAN KENAPA MASIH DI SINI?? SANA PERGI!!” bentak Pandu.
“Oh.. ngomong dong daritadi kalau kami mengganggu. Kami kan bisa langsung pergi,” goda cowok berkepala botak yang langsung di selingi tawa teman-temannya yang lain.

Pandu langsung memandang mereka ganas. Akhirnya satu persatu mereka kabur meninggalkan kami dengan tertawa keras.

“Dasar,” dengus Pandu kesal.

Dia masih menatap ke arah teman-temannya yang berhamburan kabur itu. Aku cuma tertawa pelan melihatnya.

“Ka..kamu udah nggak apa-apa?”
“Hah??”
“Kamu udah nggak takut lagi kan? Aku bener-bener minta maaf karena sudah bikin kamu takut,” kata Pandu.
“Aku..aku nggak apa-apa kok,” jawabku sambil menundukkan kepalaku.

Aku teringat sama kejadian saat Pandu memelukku.

Aduh aku malu sekali. Wajahku terasa memanas mengingatnya. Gimana ini? gimana ini?

“Bener kamu nggak apa-apa?” tanya Pandu lagi.
“I..iya,” jawabku masih menundukkan kepala.
“Oh ya, ini dompetmu,” kata Pandu sambil menyerahkan dompetku yang di ambilnya dari orang tadi.

Aku mengambil dompetku dari tangannya lalu memasukkannya ke kantong celanaku.

“Makasih Pan. Makasih buat semuanya,” kataku, “makasih juga karena sudah bikin aku takut,” sindirku sambil menahan tawa.

Pandu cuma tertawa mendengar perkataanku.

“Lalu Vin….”
“I..iya?”
“Kenapa malam-malam gini kamu ada di sini?” tanya Pandu.

Aku langsung menundukkan kepalaku dalam-dalam.

Gimana ini? Aku harus jawab apa? Masa aku harus jawab jujur kalau aku ke sini karena ingin tau tentang dia?? aduuhhhh…

“Vin?”
“Ah i..iya..aku..aku ke sini karena ingin ketemu kamu. Ah…” aku langsung menutup mulutku dengan tanganku. Aku keceplosan.

Duh malu sekali rasanya. Jadi pengen menghilang aja.

“Oh..hehe gitu ya,” kata Pandu sambil mengaruk-garuk kepalanya, “E..emangnya ada apa kok pengen ketemu aku?”

Aduh.. di jawab apa ini??

“Aku..aku..aku..”

Akhirnya aku nggak bisa menjawab apa-apa. Aku nggak mungkin bilang ke Pandu, kalau aku ke sini cuma ingin ketemu dia dan ingin tau tentang dia lebih banyak lagi. Pandu pasti mikir kalau aku ini aneh banget.

“Ya..ya sudah nggak usah di jawab aja. Kalau gitu aku ambil motor dulu setelah itu aku anter kamu pulang,” kata Pandu sambil berjalan kearah kiri.

“Ah mo..motorku kan ada di sebelah sana hehe,” kata Pandu lagi sambil memutar jalannya kearah kanan.

Pandu terlihat gugup banget. Ternyata seorang pandu juga bisa gugup seperti itu. Manis sekali ^^

“Pa..Pandu,” panggilku sebelum dia berjalan menjauh.
“Ya?”
“Bisa nggak anter aku pulang dengan jalan kaki?” tanyaku penuh harap.

Aku nggak tau dapat keberanian dari mana sampai bisa bertanya seperti itu. Aku cuma ingin bersamanya lebih lama lagi. Apa aku sudah egois?

“Bisa aja sih. Tapi apa kamu nggak capek?” tanya Pandu, aku langsung menggeleng cepat.

Pandu tersenyum ke arahku.

Huuuaaaaaa… kenapa aku jadi deg-deg’an gini?

“Ya udah ayo!” ajak Pandu.

Aku mulai berjalan mengikutinya. Langkah kakinya yang lebar membuatku sedikit kesulitan menyamakan langkah kami. Tiba-tiba Pandu memperkecil langkahnya sehingga aku dapat menyamakan langkah kami. Kami berjalan ke menuju pertigaan jalan yang tadi aku lalui. Ternyata di sisi-sisi jalan itu masih ada orang-orang yang bergerombol. Aku langsung menundukkan kepalaku. Aku takut melihat atau bertemu pandang dengan mereka.

“Tenang aja, mereka nggak bakal nyakitin kamu,” kata Pandu.

Aku cuma terdiam sambil terus menunduk.

“Nggak apa-apa,” kata Pandu.

Tiba-tiba tangan kirinya merengkuh bahu kiriku sampai badanku merapat ke badannya. Untuk beberapa saat aku masih menundukkan kepalaku. Tapi perlahan-lahan aku mulai memberanikan diri mengangkat wajahku. Terlihat orang-orang itu memandang kami dengan pandangan penuh tanda tanya. Aku nggak tau apa yang ada di pikiran mereka. Selama melewati mereka, nggak ada satu orangpun dari mereka yang mengancam atau memeras kami. Malah di antara mereka ada yang menyapa Pandu.

Pandu terus melingkarkan tangannya ke bahu kiriku sampai melewati mereka semua.

“Ehmm..Pan.”
“Ya?”
“Apa kamu ketua di sini?”
“Bukan. Ketua kami Aan.”
“Aan? Tapi kok mereka takutnya sama kamu?” tanya ku bingung.
“Aku sendiri juga nggak tau kenapa mereka takutnya sama aku,” jawab Pandu sambil terkekeh.
“Aneh,” sahutku sambil ikut tetawa pelan.
“…”
“…”
“…”
“…”
“Em.. dingin ya?” tanya Pandu sambil melihat ke arahku.
“Iya dingin,” jawabku sambil merapatkan ke dua tanganku yang daritadi aku lipat di depan dadaku.

Tiba-tiba Pandu melepas jaketnya lalu menelangkupkannya di kedua bahuku dari belakang. Seketika itu juga aku menghentikan langkahku. Pandu jadi ikutan berhenti.

“Lhoh Pan…??” tanyaku bingung.
“Nggak apa-apa, pakai aja,” kata pandu sambil tersenyum.
“Tapi kamu?”
“Nggak usah perduliin aku. Aku sih udah biasa sama dinginnya malam,” kata Pandu, “yuk jalan lagi!” ajak Pandu sambil melanjutkan jalannya.

Aku buru-buru memakai jaket Pandu dengan benar di tubuhku lalu berjalan menyusul Pandu. Setelah itu kami berjalan dalam diam menyusuri jalanan yang sudah sepi. Cuma ada lampu-lampu jalan yang menyala menjadi panduan langkah kaki kami. Baru kali ini aku berkeliaran di luar rumah pada malam hari. Jalan yang pada siang hari selalu ramai kini terlihat sebagai jalanan yang menyimpan banyak misteri. Padahal jalannya sama tetapi terlihat sangat berbeda.

Aku mencuri pandang kearah Pandu. Terlihat Pandu melipat ke dua tangannya di depan dadanya. Kadang-kadang Pandu menggosok telapak tangannya untuk mengusir dingin yang mendera. Aku tersenyum geli melihatnya seperti itu.

Apanya yang ‘udah biasa sama dinginnya malam’?? Dasar pembohong hehe.

Aku menghela nafas panjang setelah itu aku langsung menggenggam tangan kiri Pandu lalu memasukkannya ke kantong kanan jaketnya yang sedang aku pakai. Aku dapat merasakan Pandu sedikit tersentak kaget karena ulahku. Pandu langsung menghentikan langkahnya dan otomatis aku juga menghentikan langkahku.

“Bi..biar nggak dingin,” kataku cepat tanpa berani menatap wajahnya.
“O..oh…gi..gitu ya…” sahut Pandu dengan nada kebingungan.
“I..iya. Eng..enggak apa-apa kan kalau cuma sebelah tangan yang masuk kantong? Atau kamu pakai aja jaketmu biar kamu nggak kedinginan?” tanyaku panic.

Aku mulai sadar kalau kelakuanku ini sangat…sangat…sangatlah konyol.

“Nggak..nggak usah. Gini juga udah lumayan hangat,” jawab Pandu pelan.

Akhirnya kami melanjutkan langkah kami yang sempat terhenti tadi. Dan lagi-lagi kami berjalan dalam diam. Tanganku yang ada di dalam kantong jaket terus menggenggam tangan Pandu. Aku merasa jadi tambah aneh aja sekarang. Rasanya aku jadi nggak bisa berpikir jernih kalau berhadapan dengan Pandu.

DEG

Aku langsung menatap Pandu ketika menyadari tangannya menggenggam balik tanganku. Terlihat Pandu menatap lurus ke depan tanpa ekspresi apapun. Aku jadi nggak tau apa yang ada di pikirannya sekarang. Tapi aku senang. Bahkan aku sangat senang sekarang ini. Aku ingin Pandu berbuat seperti ini cuma sama aku aja.

Tuhan, aku tau kalau aku ini egois. Tapi aku ingin menikmati keegoisanku ini lebih lama lagi…lebih lama lagi. Biarkan aku menikmati keegoisanku.

Kami berdua terus menyusuri jalan menuju rumahku. Tangan kami berdua saling menggenggam erat di dalam kantong jaket yang sedang aku kenakan. Dinginnya malam sudah nggak aku rasakan lagi. Yang terasa hanyalah kehangatan dari genggaman tangan kirinya.





~Pandu Pov~
Aku berjalan menyusuri jalan yang tadi aku lalui bersama Alvin. Selama berjalan, pikiranku merantau entah kemana. Kejadian saat Alvin mengenggam tanganku membuatku kpikiran. Aku mengamati tangan kiriku yang tadi di genggam Alvin. Tiba-tiba saja mukaku memanas.

Aku malu??? Yang benar saja. Apaan sih aku ini?! Aneh banget.

Kalau temenku yang menggenggam tanganku kayak tadi sudah aku jitak. Harusnya aku merasa risih dan marah karena kelakuannya yang aneh tadi, tapi aku malah diem aja. Parahnya lagi, aku juga ikutan menggenggam tangannya. Mungkin aku tau cara memukul, cara menendang dan cara berkelahi. Tapi aku sama sekali nggak tau cara memperlakukan orang kayak Alvin. Dia orang yang lembut berbeda dengan temen-temenku yang suka seenaknya. Rasanya aku dan dia dari dunia yang berbeda. Aku jadi bingung harus bersikap gimana kalau sama dia.

Tanpa terasa kakiku sudah mendekati gerombolanku yang sedang asyik duduk-duduk di atas motornya.

“Lama banget,” kata Aan.

Aku berjalan mendekati Aan dan ikut duduk di atas motorku yang terparkir tepat di sisi kiri motornya.

“Aku baru antar temenku pulang,” jelasku.
“Alvin kan?!” tanya Aan sambil menyulut rokoknya.
“Tau dari mana?” tanyaku balik.
“Tuh anak-anak yang bilang,” jawab Aan sambil menunjuk gerombolan teman-teman yang lain dengan ujung dagunya.
“Oh,” desisku.
“Kamu perhatian banget ya sama Alvin temenmu itu.”
“Nggak ah biasa aja.”
“Masa sih biasa aja?” tanya Aan sambil senyum-senyum. Sedangkan aku cuma mengerutkan kening.
“Alvin beruntung ya. Dia kedinginan langsung deh dapet pinjeman jaket.”

Aku langsung melotot kaget kearah Aan yang sekarang tertawa keras. Anak-anak yang lain juga cekikikan sambil melihat ke arahku. Mereka langsung menghentikan tawanya dan berhambur menjauh dariku ketika aku memberi mereka tatapan seorang pembunuh.

ANJRIT… Mereka ini nggak punya kerjaan lain apa?! Bisa-bisanya mereka ngikutin aku. Dan parahnya lagi, aku malah nggak sadar kalau udah di ikutin para cecunguk ini.

Aku cuma terdiam nggak bisa berkata-kata. Rasanya aku jadi kayak domba yang dikuliti bulunya di depan banyak orang. Aku malu sekali. Aku yakin mereka nggak cuma ngeliat aku minjemin jaket aja, mereka pasti tau kalau aku dan Alvin bergenggaman tangan tadi. Ya biarpun genggaman tangannya tadi di kantong jaket, tapi tetep aja kelihatan. Mereka pasti nyadar lah.

“Tapi aku seneng liat kamu kayak gitu,” kata Aan yang masih ada di sampingku.
“Iya kamu seneng karena dapet bahan ejekan buat aku,” sindirku kesal. Aan langsung tertawa ngakak.
“Bukan itu,” katanya, “aku seneng liat ekspresi wajahmu saat kamu sedang bersama anak itu,” lanjut Aan sambil tersenyum ke arahku.
“Ekspresiku?” tanyaku bingung.
“Iya. Ekspresimu saat kamu sa…..”
“An ayo! Anak-anak udah pada nunggu kamu tuh. Katanya kamu bakal ngasih peraturan sama anak-anak baru,” kata Roni yang tau-tau muncul di belakangku.
“Kamu aja deh yang ngasih peraturannya!” perintah Aan pada Roni.
“Nggak mau ah. Mereka pasti nggak mau ndengerin aku. Kamu aja lah,” tolak Roni.
“Aku kan masih ngobrol sama Pandu.”
“Udah lah, kamu aja yang ngasih peraturannya. Lagian anak-anak yang baru gabung kurang ajar semua. Mereka cuma bisa bikin onar aja. Sikap mereka yang seenaknya itu bakal ngerugiin kita semua. Bilang sama mereka, kalau kita di sini bukan kumpulan para preman yang nggak tau adat. Kita di sini buat nyalurin hobby bermotor aja. Kalau mereka mau bentuk gank preman, mereka salah tempat,” cerocosku.
“Ok..Ok..kalian ini bikin repot aja. Lagian harusnya Pandu nih yang ngasih peraturannya. Mereka pasti bakal nurut,” gerutu Aan.
“Ketuanya siapa?” tanya aku dan Roni hampir bersamaan.
“Aku,” jawab Aan sambil turun dari motornya.
“YA UDAH SANA!!” bentakku dan Roni bersamaan.

Aan mendengus kesal, setelah itu dia melangkahkan kakinya menuju anak-anak yang sedang bergerombol di sisi jalan yang lain.

“Nggak ngikut?” tanya Roni, aku menggeleng, “ya udah, aku kesana dulu ya,” lanjut Roni, aku mengangguk.

Dari kejauhan terlihat Aan sedang memberi ceramah pada anak-anak baru yang sedang berkumpul. Tapi rasanya ceramah Aan nggak mereka denger karena beberapa anak malah tertawa-tawa mengejek. Aan orangnya nggak tegas sih, terlalu sabar. Nggak sesuai sama badan dan tampangnya yang nakutin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar